input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
Peraturan Nomor IV.A.4 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR: KEP- 14 /PM/2002 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan pemodal, fleksibilitas dan efisiensi pengelolaan reksa dana guna lebih meningkatkan peran reksa dana sebagai salah satu wahana investasi dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7/M Tahun 2000; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, diatur dalam Peraturan Nomor: IV.A.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. IV-1 Peraturan Nomor IV.A.4 Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta Agustus 2002 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Herwidayatmo NIP 060065750 IV-2 Peraturan Nomor IV.A.4 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 14/PM/2002 Tanggal : 14 Agustus 2002 PERATURAN NOMOR IV.A.4 : PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut : 1. Nama dan alamat Manajer Investasi. 2. Komposisi investasi dalam pasar uang dan pasar modal. 3. Rencana diversifikasi Efek dalam obligasi dan saham. 4. Rencana diversifikasi investasi Efek berdasarkan jenis industri Emiten. 5. Kewajiban-kewajiban bagi Manajer Investasi. 6. Alokasi dan perincian biaya Manajer Investasi dengan Reksa Dana. 7. Ketentuan pembukuan dan laporan (termasuk perhitungan Nilai Aktiva Bersih). 8. Tata cara pemutusan dan perubahan kontrak. 9. Tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan) saham, bagi Reksa Dana terbuka. 10. Manajer Investasi wajib menjamin bahwa semua Efek, dana dan aktiva lain Reksa Dana disimpan oleh Bank Kustodian. 11. Keadaan yang dapat menjadi dasar dilakukannya likuidasi bagi Reksa Dana. 12. Reksa Dana dilarang melakukan, antara lain : a. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya tidak dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia; b. pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih; c. pembelian Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efeknya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima perseratus) dari modal disetor perusahaan dimaksud; d. pembelian Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan lebih dari 10% (sepuluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat. Pembatasan ini termasuk pemilikan surat berharga yang dikeluarkan oleh bank-bank tetapi tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia dan obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; e. penjualan saham Reksa Dana terbuka kepada setiap pemodal lebih dari 2% (dua per seratus) dari modal yang dikeluarkan, kecuali bagi Manajer Investasi Reksa Dana terbuka yang bersangkutan; IV-3 Peraturan Nomor IV.A.4 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 14/PM/2002 Tanggal : 14 Agustus 2002 f. pembelian Efek Beragun Aset lebih dari 10% (sepuluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana dengan ketentuan bahwa setiap jenis Efek Beragun Aset tidak lebih dari 5% (lima per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; g. pembelian Efek yang tidak melalui Penawaran Umum dan atau tidak dicatatkan pada Bursa Efek di Indonesia, kecuali Efek pasar uang, dan Obligasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; h. pembelian Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi baik dengan Manajer Investasi maupun pemegang Unit Penyertaan lebih dari 20% (dua puluh perseratus) dari Nilai Aktiva Bersih, kecuali hubungan afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah; i. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi kembali atau perdagangan Efek; j. terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki (short sale ); k. terlibat dalam pembelian Efek secara margin; l. melakukan emisi obligasi atau sekuritas kredit; m. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus) dari nilai portofolio Reksa Dana pada saat pembelian; n. pembelian Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran Umum dimana Manajer Investasi bertindak sebagai Penjamin Emisi dari Efek dimaksud; o. terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil dengan Manajer Investasi atau Pihak Afiliasinya; p. pembayaran dividen selain berasal dari laba; q. pembelian Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasinya sama dengan Manajer Investasi Reksa Dana dan atau terafiliasi dengan Kreditur Awal Efek Beragun Aset tersebut; atau r. pembelian Efek Beragun Aset yang tidak tercatat di Bursa Efek. 13. Larangan investasi dalam bidang-bidang tertentu. 14. Tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya. 15. Semua kontrak yang baru, diperpanjang maupun pengalihannya dari suatu Reksa Dana harus merupakan hasil perundingan yang dibuat berdasarkan kepentingan objektif para Pihak yang bersangkutan sebagaimana halnya apabila perundingan tersebut dibuat oleh Pihak-pihak yang tidak mempunyai kepentingan terhadap Pihak lainnya. IV-4 Peraturan Nomor IV.A.4 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 14/PM/2002 Tanggal : 14 Agustus 2002 16. Kontrak Pengelolaan Reksa Dana, Kontrak Penyimpanan Kekayaan, atau Kontrak penggunaan jasa Akuntan hanya dapat dibuat, diperpanjang atau dialihkan berdasarkan persetujuan sebagian besar direktur Reksa Dana. 17. Reksa Dana dilarang mengadakan kontrak untuk mengganti kerugian yang timbul bagi Reksa Dana atau pemegang saham Reksa Dana sebagai akibat penyalahgunaan kekuasaan, kelalaian atau kecerobohan yang dilakukan oleh Manajer Investasi. 18. Pemisahan harta Reksa Dana dan harta Manajer Investasi. 19. Hal yang memperbolehkan Reksa Dana melakukan penundaan pembelian kembali (pelunasan) oleh pemodal. 20. Kewajiban menghitung Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, apabila Manajer Investasi ditugaskan untuk melakukan perhitungan Nilai Aktiva Bersih. 21. Dalam hal Reksa Dana dibubarkan, maka biaya Konsultan Hukum, Akuntan, dan beban lain kepada Pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar Manajer Investasi kepada Pihak-pihak yang bersangkutan. 22. Dengan berlakunya peraturan ini, maka Peraturan nomor IV.A.4 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-20/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta 14 Agustus 2002 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Herwidayatmo NIP 060065750 IV-5
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN KONTRAK PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN </reg_title> <set_date> Agustus 2002 </set_date> <effective_date> Agustus 2002 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-20/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996' </replaced_reg> <related_reg> '46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '7/M|KEPPRES/2000' </related_reg>
Peraturan Nomor IX.I.6 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR: KEP- 45/PM/2004 TENTANG DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) bagi Emiten dan Perusahaan Publik terutama yang berkaitan dengan persyaratan dan pertanggungjawaban anggota direksi dan komisaris, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587); 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 530/KMK.01/2004 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 446/KMK.01/1983 tentang Penunjukan Pejabat Pengganti Dalam Lingkungan Departemen Keuangan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK. IV-1 Peraturan Nomor IX.I.6 Pasal 1 Ketentuan mengenai Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik diatur dalam Peraturan Nomor IX.I.6 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 29 November 2004 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Pgs Ketua, DARMIN NASUTION NIP. 130605098 IV-2 Peraturan Nomor IX.I.6 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-45/PM/2004 Tanggal : 29 November2004 PERATURAN NOMOR IX.I.6 : DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK 1. Calon anggota direksi dan komisaris wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. mempunyai akhlak dan moral yang baik; b. mampu melaksanakan perbuatan hukum; c. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan d. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. 2. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 1 peraturan ini wajib dipenuhi selama masa jabatan anggota direksi dan komisaris. 3. Anggota direksi dan atau komisaris dilarang baik langsung maupun tidak langsung membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan Emiten atau Perusahaan Publik yang terjadi pada saat pernyataan dibuat. 4. Anggota direksi dan atau komisaris bertanggungjawab secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng atas kerugian pihak lain sebagai akibat pelanggaran terhadap ketentuan angka 3 peraturan ini. 5. Anggota direksi dan atau komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 peraturan ini, apabila anggota direksi dan atau komisaris yang bersangkutan telah cukup berhati-hati dalam menentukan bahwa pernyataan tersebut adalah benar dan tidak menyesatkan. 6. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran keten tuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 29 November 2004 Pgs Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Darmin Nasution NIP 130605098 IV-3
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 </reg_id> <reg_title> DIREKSI DAN KOMISARIS EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 29 November 2004 </set_date> <effective_date> 29 November 2004 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '530/KMK.01/2004|KEP-MENKEU/2004', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '446/KMK.01/1983|KEP-MENKEU/1983', '8/UU/1995', '1/UU/1995' </related_reg>
Peraturan Nomor IX.C.2 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-51/PM/1996 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-05/PM/1995 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dan Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran 1 Keputusan ini. Pasal 2 Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran 2 Keputusan ini. IV-1 Peraturan Nomor IX.C.2 Pasal 3 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-05/PM/I995 tanggal 20 Maret 1995 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-2 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR IX.C.2: PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM Suatu Prospektus harus mencakup semua rincian dan fakta material mengenai Penawaran Umum dari Emiten, yang dapat mempengaruhi keputusan pemodal, yang diketahui atau layak diketahui oleh Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada). Prospektus harus dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif. Fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling penting harus dibuat ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal Prospektus. Urutan penyampaian fakta pada Prospektus ditentukan oleh relevansi fakta tersebut terhadap masalah tertentu, bukan urutan sebagaimana dinyatakan pada peraturan ini. Emiten harus berhati-hati apabila menggunakan foto, diagram, atau tabel pada Prospektus, karena bahan-bahan tersebut dapat memberikan kesan yang menyesatkan kepada masyarakat. Emiten juga harus menjaga agar penyampaian informasi penting tidak dikaburkan dengan informasi yang kurang penting yang mengakibatkan infonnasi penting tersebut terlepas dari perhatian pembaca. Sebagian informasi yang dicantumkan dalam peraturan ini mungkin kurang relevan dengan keadaan Emiten tertentu. Emiten dapat melakukan penyesuaian atas pengungkapan fakta material tidak terbatas hanya pada fakta material yang telah diatur dalam ketentuan ini. Pengungkapan atas fakta material tersebut harus dilakukan secara jelas dengan penekanan yang sesuai dengan bidang usaha atau sektor industrinya, sehingga Prospektus tidak menyesatkan. Emiten, Penjamin Pelaksana Emisi, dan Lembaga serta Profesi Penunjang Pasar Modal bertanggung jawab untuk menentukan dan mengungkapkan fakta tersebut secara jelas dan mudah dibaca. Prospektus tersebut antara lain memuat informasi sebagai berikut : 1. Informasi yang harus disajikan (diungkapkan) pada bagian luar kulit muka Prospektus: a. tanggal efektif; b. masa penawaran; c. tanggal penjatahan; d. tanggal pengembalian uang pemesanan; e. tanggal penyerahan surat Efek; f. tanggal pencatatan apabila dicatatkan di Bursa Efek; g. nama lengkap, alamat, logo (jika ada), nomor telepon/teleks/faksimili dan kotak pos (tidak saja kantor pusat tetapi juga pabrik serta kantor perwakilan), kegiatan usaha utama dari Emiten; h. nama Bursa Efek (jika ada) di mana Efek tersebut akan dicatatkan; i. jenis dari penawaran, termasuk uraian mengenai sifat, jumlah dan uraian singkat tentang Efek yang ditawarkan serta nilai nominal dan harga; j. nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek (jika ada); k. tempat dan tanggal penerbitan Prospektus; IV-3 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 l. pemyataan berikut dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca : "BAPEPAM TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI. TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL-HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM"; m. pernyataan bahwa Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada) bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran semua informasi dan kejujuran pendapat yang diungkapkan dalam Prospektus sebagai berikut : EMITEN DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika ada) BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INI; dan n. pernyataan singkat, dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca, mengenai faktor risiko kemungkinan tidak likuidnya Efek yang ditawarkan. 2. Selain persyaratan yang disebut di atas, dalam hal Penawaran Efek yang bersifat utang, keterangan berikut juga harus disajikan sesuai relevansinya : a. tanggal jatuh tempo; b. suku bunga; c. tanggal pembayaran bunga; d. pelaksanaan untuk pembayaran kembali lebih dini, hak konversi, waran; e. nama lengkap Wali Amanat; f. nama lengkap Penanggung (jika ada); dan g. hasil peringkat Efek dari Perusahaan Pemeringkat Efek. 3. Informasi yang harus diungkapkan pada bagian dalam kulit muka Prospektus sekurang- kurangnya memuat : a. jika direncanakan untuk menstabilisasikan harga Efek tertentu yang telah tercatat di bursa untuk mempermudah pelaksanaan penjualan Efek dalam rangka Penawaran Umum, harus diberikan pernyataan dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : "DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN HARGA PASAR EFEK YANG SAMA, BAIK JENIS MAUPUN KELASNYA, DENGAN YANG DITAWARKAN PADA PENAWARAN UMUM INI, PENJAMIN EMISI DAPAT MELAKUKAN STABILISASI HARGA PADA TINGKAT HARGA YANG LEBIH TINGGI DARI YANG MUNGKIN TERJADI DI BURSA EFEK SEKIRANYA TIDAK DILAKUKAN STABILISASI HARGA. JIKA PENJAMIN EMISI MELAKUKAN STABILISASI HARGA, MAKA BAIK STABILISASI HARGA MAUPUN PENAWARAN UMUM TERSEBUT DAPAT DIHENTIKAN SEWAKTU-WAKTU". IV-4 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 b. keterangan bahwa Pernyataan Pendaftaran telah diajukan kepada Bapepam dengan menunjuk pada peraturan perundang-undangan Pasar Modal yang berlaku; c. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Prospektus tersebut bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan sesuai dengan fungsi mereka, sesuai dengan peraturan yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia dan kode etik, norma serta standar profesi masing-masing; d. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum, setiap Pihak terafiliasi dilarang memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak diungkapkan dalam Prospektus tanpa persetujuan tertulis dari Emiten dan Penjamin Pelaksana Emisi (jika ada); dan e. apakah Bursa Efek telah memberikan persetujuan awal terhadap perjanjian pendahuluan pencatatan Efek. Juga tindakan apa yang akan diambil jika bursa Efek tersebut menolak permohonan pencatatan saham Emiten. 4. Daftar Isi Uraian meliputi bab, sub bab, dan halaman. 5. Informasi yang sekurang-kurangnya harus diungkapkan dalam Prospektus dan terbagi atas bab-bab : a. Penawaran Umum : 1) sehubungan dengan Penawaran Umum saham Jumlah saham yang ditawarkan, nilai nominal, harga penawaran, dan Efek lain yang menyertai saham ini (jika ada). Hak-hak pemegang saham berkenaan dengan dividen, Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu untuk membeli tambahan saham baru yang dikeluarkan, obligasi konversi dan penerbitan waran (jika ada) selanjutnya. Pernyataan singkat dalam huruf cetak besar yang langsung dapat menarik perhatian pembaca tentang faktor-faktor yang dapat mengakibatkan perdagangan Efek yang ditawarkan pada Penawaran Umum menjadi terbatas atau kurang likuid. 2) sehubungan dengan Penawaran Umum Efek yang bersifat utang : a) jumlah nominal keseluruhan Efek; b) jumlah lembar, penomoran, dan denominasi dari Efek yang akan ditawarkan dalam rangka Penawaran Umum; c) ikhtisar hak-hak pemegang Efek; d) ikhtisar sifat Efek yang memberi kemungkinan untuk ditukarkan dengan jenis Efek lain dari Emiten; IV-5 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 e) ikhtisar sifat Efek yang memberi kemungkinan pembayaran lebih dini atas pilihan Emiten atau pemegang Efek; f) harga, suku bunga atau imbalan dengan cara lain yang ditetapkan untuk Efek. Jika suku bunga mengambang, uraian lengkap tentang cara penentuan kurs mengambang; g) tanggal atau tanggal-tanggal pembayaran utang pokok, dan jumlah utang pokok yang harus dibayar pada tanggal-tanggal tersebut; h) tanggal-tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara lainnya; i) ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan utang (jika ada); j) mata uang yang menjadi denominasi utang dan mata uang lain yang menjadi alternatif (jika ada); k) rincian pokok-pokok perjanjian penanggungan utang serta nama dan alamat Penanggung (jika ada); l) nama, alamat perusahaan, dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai Penanggung (jika ada) dan Wali Amanat; m) ikhtisar mengenai persyaratan pokok dalam perjanjian Perwaliamanatan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan hak keutamaan (senioritas) dari utang secara relatif dibandingkan dengan utang lainnya dari Emiten yang belum lunas dan tambahan utang yang dapat dibuat oleh Emiten pada masa yang akan datang; dan n) ikhtisar aktiva tertentu Emiten yang menjadi agunan atas utang yang timbul berkenaan dengan Efek yang ditawarkan. 3) nama lengkap, alamat, logo (jika ada), nomor telepon/teleks/faksimili dan nomor kotak pos (tidak saja kantor pusat tetapi juga pabrik serta kantor perwakilan), kegiatan usaha utama dari Emiten. 4) pernyataan ringkas dalam huruf cetak besar tentang faktor risiko utama yang mungkin mempunyai dampak merugikan yang material atas kualitas Efek. 5) struktur Modal Saham pada waktu Prospektus diterbitkan meliputi Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh termasuk: a) seluruh jumlah dan nilai saham yang akan ditawarkan kepada umum; b) jumlah saham, nilai nominal per saham, dan jumlah nilai nominal; c) keterangan tentang apakah saham yang diterbitkan dan ditawarkan kepada umum, merupakan saham dalam simpanan (portepel) dan atau saham yang sudah disetor penuh (divestasi); d) keterangan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek, jika ada (terbagi atas saham yang ditawarkan kepada masyarakat dan tambahan pencatatan saham yang sudah disetor penuh); dan e) keterangan tentang maksud Emiten atau pemegang saham yang ada untuk mengeluarkan atau tidak mengeluarkan, atau mencatatkan atau tidak mencatatkan saham lain dan Efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal efektif. 6) keterangan tentang rincian dari struktur Modal Saham sebelum dan sesudah Penawaran Umum (dalam bentuk tabel). Tabel atau keterangan dimaksud harus mencakup : a) Modal Dasar, Modal Ditempatkan dan Disetor Penuh (jumlah saham, nilai nominal, dan jumlah nilai nominal); IV-6 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 b) rincian kepemilikan saham oleh pemegang saham yang memiliki 5% (lima perseratus) atau lebih, direktur, dan komisaris (jumlah saham, nilai nominal dan persentase); c) saham dalam simpanan (portepel), yang mencakup jumlah saham dan nilai nominal; dan d) proforma modal saham apabila Efek dikonversikan (jika ada). b. penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum Keterangan tentang tujuan Penawaran Umum dan penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum setelah dikurangi dengan biaya-biaya dibuat secara rinci yang mencakup antara lain : 1) rincian penggunaan dana sesuai dengan tujuan dari Penawaran Umum seperti pengembangan sarana yang ada, diversifikasi, penambahan modal kerja dan sebagainya; 2) rincian untuk pembayaran utang, seluruhnya atau sebagian. Jika kreditur yang akan dibayar adalah afiliasi dari Emiten, fakta tersebut dan sifat hubungannya dengan Emiten harus diungkapkan; dan 3) rincian yang diperkirakan akan digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk pembelian atau investasi dalam perusahaan lain (jika ada). Jika perusahaan dimaksud adalah Pihak terafiliasi dengan Emiten, maka fakta tersebut dan sifat hubungannya dengan Emiten harus diungkapkan; c. Pernyataan Utang; Keterangan yang harus diungkapkan dalam pemyataan ini meliputi : 1) pernyataan mengenai posisi seluruh kewajiban pada tanggal laporan keuangan terakhir yang meliputi jumlah kewajiban jangka pendek dan jangka panjang; 2) penjelasan rincian masing-masing kewajiban sesuai dengan akun-akun kewajiban di dalam neraca; 3) keterangan tentang komitmen dan kontinjensi yang ada pada tanggal laporan keuangan terakhir; dan 4) pernyataan manajemen yang meliputi : a) pernyataan bahwa seluruh kewajiban Perseroan per tanggal laporan keuangan terakhir telah diungkapkan di dalam Prospektus; b) pernyataan mengenai adanya kewajiban setelah tanggal neraca sampai dengan tanggal laporan Akuntan dan kewajiban setelah tanggal laporan Akuntan sampai dengan tanggal efektifnya Pemyataan Pendaftaran; dan c) pernyataan kesanggupan manajemen untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya. d. Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen Emiten harus memberikan uraian singkat yang membahas dan menganalisis laporan keuangan dan informasi atau fakta lain yang tercanturn dalam Prospektus, dengan tujuan untuk memberikan penjelasan atas keadaan keuangan dan kegiatan usaha pada saat Prospektus diterbitkan dan yang diharapkan pada masa yang akan datang. Sepanjang dipandang penting untuk memperoleh pengertian tentang keadaan keuangan Emiten dan pengambilan keputusan pemodal berkenaan dengan investasi pada Efek yang ditawarkan pada Penawaran Umum, bahasan dan analisis dimaksud harus mencakup : IV-7 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 1) bahasan mengenai kecenderungan yang diketahui, permintaan, ikatan-ikatan, kejadian- kejadian atau ketidakpastian yang mungkin mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan yang material terhadap likuiditas Emiten; 2) bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi ikatan-ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang direncanakan Emiten untuk melindungi risiko dari posisi mata uang asing yang terkait; 3) bahasan tentang seberapa jauh hasil usaha atau keadaan keuangan Emiten pada masa yang akan datang menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga. Dalam hal ini harus diberikan keterangan tentang semua pinjaman dan ikatan tanpa proteksi yang dinyatakan dalam mata uang asing, atau utang yang suku bunganya tidak ditentukan terlebih dahulu; 4) bahasan dan analisis tentang inforrnasi keuangan yang telah dilaporkan yang mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan tidak akan berulang lagi dimasa datang; 5) uraian tentang kejadian atau transaksi yang tidak normal dan jarang terjadi atau perubahan penting dalam ekonomi yang dapat mempengaruhi jumlah pendapatan yang dilaporkan dalain laporan keuangan yang telah diaudit Akuntan, sebagaimana tercantum dalam Prospektus, dengan penekanan pada laporan keuangan terakhir. Selain itu, uraian tentang komponen-komponen penting dari pendapatan atau beban lainnya yang dianggap perlu oleh Emiten dalam rangka mengetahui hasil usaha Emiten; 6) jika laporan keuangan dalam Prospektus mengungkapkan peningkatan yang material dari penjualan atau pendapatan bersih, perlu adanya bahasan tentang sejauh mana kenaikan tersebut dapat dikaitkan dengan kenaikan harga, volume atau jumlah barang atau jasa yang dijual, atau adanya produk atau jasa baru; 7) bahasan tentang dampak perubahan harga terhadap penjualan dan pendapatan bersih Emiten serta laba operasi Emiten selama 3 (tiga) tahun atau selama Emiten menjalankan usahanya jika kurang dari 3 (tiga) tahun; dan 8) jika dikehendaki oleh Emiten, dapat diberikan bahasan tentang prospek. Jika prakiraan dan atau proyeksi keuangan diungkapkan, hal tersebut harus dipersiapkan dengan seksama serta obyektif dan berdasarkan asumsi yang layak. Penilaian atas penyusunan laporan keuangan prospektif dan hal-hal yang mendasari asumsi harus diperiksa dan dilaporkan oleh Akuntan yang mengaudit laporan keuangan Emiten. Namun demikian Emiten bertanggung jawab secara langsung atas kelayakan prakiraan dan atau proyeksi keuangan tersebut. e. Risiko Usaha Disusun berdasarkan bobot risiko yang dihadapi. Keterangan tentang risiko yang disebabkan oleh antara lain : 1) persaingan; 2) pasokan bahan baku; 3) ketentuan negara lain atau peraturan intemasional; dan IV-8 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 4) kebijaksanaan pemerintah. f. Kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan. Informasi tentang semua fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan Akuntan. g. Keterangan tentang Emiten 1) Riwayat singkat perusahaan a) keterangan tentang pendirian perusahaan, yaitu antara lain tanggal, pemegang saham, nama lengkap dan kegiatan usahanya. Gambaran tersebut harus mencakup riwayat singkat mengenai pendirian perusahaan, termasuk bentuk dan nama organisasi dimaksud. Uraian mengenai sifat dan akibat dari kepailitan, peristiwa terjadinya keadaan dibawah pengawasan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan proses kepailitan atau penundaan pembayaran atau proses yang sejenis menyangkut perusahaan. Uraian mengenai sifat dan akibat dari restrukturisasi penggabungan (merger), atau konsolidasi dari Emiten atau perusahaan Afiliasinya yang penting. Uraian tentang aktiva yang material yang dibeli diluar kegiatan usaha biasa, dan setiap perubahan penting dalam cara menjalankan kegiatan usaha; b) kronologis singkat dokumen hukum sehubungan dengan pendirian perusahaan dan perubahan penting yang terjadi sesudahnya, termasuk akta pendirian, persetujuan Menteri Kehakiman dan pendaftaran pada Pengadilan Negeri serta pengumuman pada Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; c) perubahan penting dalam kepemilikan saham setelah pendirian; d) kejadian sehubungan dengan perkembangan kegiatan usaha dari perusahaan, seperti penambahan sarana produksi yang penting atau penggunaan teknologi baru; e) perjanjian penting menyangkut lisensi, pembeli utama, penunjukan agen atau distributor tunggal produk penting, perjanjian teknis, dan sebagainya; f) gambaran umum dari sarana dan prasarana yang kuasai Emiten seperti tanah, gedung dan pabrik serta statusnya; dan g) hubungan dengan perusahaan-perusahaan lain berdasarkan pemilikan, pemegang saham yang sama atau faktor-faktor lain. 2) Pengurusan dan Pengawasan a) nama-nama disertai foto masing-masing direktur dan komisaris; b) uraian singkat dari setiap direktur dan komisaris termasuk : (1) kewarganegaraan; (2) umur; (3) jabatan sekarang dan sebelumnya; (4) pengalaman kerja serta usaha yang relevan; dan (5) jika pendidikan diungkapkan, sekolah, bidang studi, dan tahun tamat belajar harus dicantumkan. IV-9 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 3) Sumber daya manusia a) rincian pegawai menurut jabatan dan pendidikan (disajikan dalam tabel); b) sarana pendidikan dan pelatihan (jika ada); c) tenaga kerja asing (jika ada); dan d) sarana kesejahteraan (jika ada), seperti : (1) pengobatan; (2) transportasi; (3) perjanjian tenaga keda (SPSI, KKB); (4) asuransi (Jamsostek); (5) koperasi; dan (6) dana pensiun. h. Kegiatan dan Prospek Usaha dari Emiten Uraian secara umum mengenai kegiatan usaha perusahaan, produk dan atau jasa utama yang diberikan, dan kedudukannya dalam industri (jika tersedia sumber data yang layak dipercaya), termasuk : 1) Produksi atau Operasi a) keterangan tentang sumber dan tersedianya bahan baku untuk produksi serta tingkat ketergantungan pada pemasok tertentu; b) keterangan tentang proses produksi dan pengendalian mutu, termasuk uraian secara umum mengenai status pengembangan produk dan jasa tertentu, serta apakah perkembangan tersebut memerlukan investasi yang relatif berarti. Ketentuan ini tidak dimaksudkan sebagai keharusan pengungkapan keterangan tentang perusahaan yang tidak layak terbuka untuk umum, oleh karena dapat merugikan kedudukan persaingan perusahaan; c) kapasitas dan hasil produksi selama 5 (lima) tahun atau sejak perusahaan berdiri jika kurang dari 5 (lima) tahun; d) produk dan jasa utama perusahaan; e) masa berlaku dari paten, merek, lisensi, franchise, dan konsesi utama serta pentingnya hal tersebut bagi perusahaan; f) besamya ketergantungan perusahaan terhadap satu atau sekelompok pelanggan; g) sifat musiman, dari kegiatan usaha perusahaan (jika ada); h) kegiatan usaha perusahaan sehubungan dengan modal kerja yang menimbulkan risiko khusus seperti : (1) memiliki persediaan dalam jumlah yang berarti; (2) memberikan kemungkinan untuk pengembalian barang-barang dagangan; atau (3) memberikan kelonggaran syarat pembayaran kepada pelanggan; IV-10 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 i) uraian tentang pesanan yang sedang menumpuk, perkembangan dari pesanan-pesanan tersebut dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan kemungkinan penumpukan pesanan pada masa yang akan datang; j) ketergantungan pada kontrak-kontrak dengan pemerintah; k) keadaan persaingan dalam industri termasuk kedudukan perusahaan dalam persaingan tersebut (jika ada sumber data yang layak dipercaya); l) informasi singkat tentang pengeluaran untuk riset dan pengembangan; m) uraian tentang kegiatan pemasaran antara lain mencakup : (1) daerah pemasaran produk; (2) sistem penjualan dan distribusi; dan (3) data tentang penjualan dari perusahaan dan anak perusahaan, dalam nilai rupiah (dijelaskan kesesuaiannya dengan laporan keuangan) dan dalam satuan (jika ada) selama 5 (lima) tahun terakhir atau sejak berdirinya jika kurang dari 5 (lima) tahun (jika mungkin, data penjualan dirinci menurut kelompok produk utama). n) uraian tentang prospek perusahaan sehubungan dengan industri, ekonomi secara umum dan pasar intemasional serta dapat disertai data pendukung kuantitatif jika ada sumber data yang layak dipercaya; dan o) transaksi dengan Pihak Afiliasi yang uraiannya meliputi jenis transaksi, volume, jangka waktu serta harga (jika ada). i. Ikhtisar Data Keuangan Penting 1) keterangan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data; 2) pernyataan tentang apakah laporan keuangan telah diaudit Akuntan dan penjelasan tentang jangka waktu yang dicakup; 3) data yang disajikan harus konsisten dengan laporan keuangan termasuk nama akun yang digunakan. 4) selain data dari laporan keuangan, rasio keuangan yang relevan dengan industri bersangkutan juga harus disajikan; dan 5) data keuangan penting 5 (lima) tahun terakhir atau sejak berdirinya perusahaan jika kurang dari 5 (lima) tahun. j. Ekuitas Keterangan tentang ekuitas berdasarkan laporan keuangan yang diaudit Akuntan, termasuk: 1) tabel ekuitas yang memuat rincian ekuitas per tanggal laporan keuangan seluruh periode yang disajikan dalam laporan keuangan; 2) uraian secara kronologis yang menggambarkan perubahan struktur permodalan perusahaan antara lain menyangkut perubahan modal dasar beserta keterangan pengesahan dari Menteri Kehakiman, perubahan Modal Disetor dan nilai nominal per saham; IV-11 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 3) perubahan struktur permodalan yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir; 4) rencana Penawaran Umum saham atau obligasi konversi yang menyebutkan jumlah saham yang ditawarkan, nilai nominal per saham, dan atau jumlah nominal obligasi konversi; dan 5) tabel proforma ekuitas pada tanggal laporan keuangan terakhir dengan asumsi bahwa perubahan angka 3) di atas dan Penawaran Umum saham telah terjadi pada tanggal laporan keuangan terakhir. Dalam hal Penawaran Umum berupa obligasi konversi, maka tabel proforma menggambarkan posisi ekuitas pada tanggal laporan keuangan dengan asumsi bahwa seluruh obligasi konversi telah ditukarkan ke dalam saham pada saat diterbitkan. k. Kebijakan Dividen Informasi tentang kebijakan dividen yang direncanakan termasuk rentang jumlah persentase dividen tunai yang direncanakan dikaitkan dengan jumlah laba bersih atau dasar lainnya. l. Perpajakan Uraian tentang pajak yang berlaku baik bagi pemodal maupun perusahaan dan fasilitas khusus perpajakan yang diperoleh. m. Penjaminan Emisi Efek 1) uraian tentang ketentuan yang penting dari perjanjian Penjaminan Emisi, termasuk nama Penjamin Pelaksana Emisi Efek, Penjamin Emisi Efek, jenis penjaminan dan besamya persentase penjaminan serta uraian tentang masing-masing Penjamin Emisi Efek (jika ada); 2) pengungkapan hubungan Afiliasi antara Penjamin Emisi Efek dengan Emiten; dan 3) pendekatan dalam penentuan harga Efek pada Pasar Perdana. n. Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal 1) nama, alamat dan pernyataan tertulis dari Wali Amanat, Penanggung, Notaris, Konsultan Hukum, Akuntan, Penilai, dan profesi penunjang lain (misal geologist) yang berperan serta dalam Penawaran Umum; dan 2) pengungkapan tidak adanya hubungan Afiliasi antara Emiten dengan Profesi Penunjang Pasar Modal. o. Pendapat Dari Segi Hukum Pendapat dari Konsultan Hukum antara lain meliputi: 1) keabsahan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan perubahan-perubahannya; 2) keabsahan perjanjian-pedanjian dalam rangka Penawaran Umum dan perjanjian penting lainnya; 3) apakah semua izin dan persetujuan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha yang direncanakan Emiten telah diperoleh; 4) status pemilikan aktiva yang material dari Emiten; IV-12 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 5) sengketa (litigasi) yang penting dan relevan, tuntutan perdata atau pidana serta tindakan hukum lainnya menyangkut Emiten, komisaris atau direktur; 6) apakah modal Emiten dan perubahan-perubahan yang direncanakan, diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memperoleh semua persetujuan yang diperlukan; dan 7) hal-hal yang material lainnya sehubungan dengan status hukum dari Emiten dan penawaran Efek yang akan dilaksanakan. p. Laporan Keuangan 1) laporan Akuntan berkenaan dengan laporan keuangan yang disajikan; 2) menyajikan laporan keuangan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya bagi perusahaan yang berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun buku sebagai berikut: a) neraca; b) laporan laba rugi; c) laporan saldo laba; d) laporan arus kas; e) catatan atas laporan keuangan; dan f) laporan lain serta materi penjelasan yag merupakan bagian integral dari laporan keuangan jika di persyaratkan, seperti laporan komitmen dan kontinjensi untuk Emiten yang bergerak dalam bidang perbankan. Dalam hal efektifnya Pernyataan Pendaftaran melebihi 180 (seratus delapan puluh) hari dari laporan keuangan tahunan terakhir, maka laporan keuangan tahunan terakhir harus dilengkapi dengan laporan keuangan interim yang telah diaudit, sehingga jangka waktu antara tanggal efektif Pemyataan Pendaftaran dan tanggal laporan keuangan interim tidak melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari. q. Laporan Penilai (jika ada) Ikhtisar Laporan Penilai yang mencakup antara lain metoda penilaian serta uraian tentang aktiva bersangkutan, dan hasil penilaiannya. r. Anggaran Dasar Anggaran Dasar yang diungkapkan adalah Anggaran Dasar terakhir yang telah disetujui oleh Menteri Kehakiman. s. Persyaratan Pemesanan Pembelian Efek 1) pengajuan pemesanan pembelian Efek; 2) pemesanan yang dapat diterima; 3) jumlah yang dipesan; 4) penyerahan formulir pemesanan; 5) masa penawaran; 6) tanggal penjatahan; IV-13 Peraturan Nomor IX.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-51/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 7) pemesanan khusus oleh karyawan; 8) persyaratan pembayaran; 9) tanda terima untuk formulir pemesanan; 10) penjatahan Efek; 11) pembatalan pemesanan; 12) pengembalian uang pemesanan; 13) penyerahan Surat Kolektif Efek; dan 14) persyaratan lain (jika ada). t. Penyebarluasan Prospektus dan Formulir Pemesanan Pembelian Efek Penjelasan tentang nama, alamat, dan nomor telepon Penjamin Emisi Efek dan Agen Penjualan Efek. u. Wali Amanat dan Penanggung Untuk obligasi atau Efek yang bersifat utang lainnya, perlu diungkapkan informasi tentang Penanggung (jika ada) dan Wali Amanat, yang mencakup antara lain: 1) nama lengkap; 2) struktur modal; 3) komisaris dan direksi; 4) bidang usaha; 5) tugas utama Wali Amanat, dan Penanggung (jika ada); 6) penggantian Wali Amanat atau Penanggung (jika ada); dan 7) laporan keuangan perbandingan. Ditetapkan di pada tanggal : : Jakarta 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-14
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-51/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS DAN PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM </reg_title> <set_date> 17 Januari 1996 </set_date> <effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-05/PM/I995|KEPTA-BAPEPAM/1995' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
Peraturan Nomor III.B.5 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-11/PM/1996 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Persetujuan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan, diatur dalam Peraturan Nomor III.B.5 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN : Keputusan Ketua BAPEPAM Nomor : Kep-11/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR III.B.5 : TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN 1. Anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan, sekurang- kurangnya memuat : a. maksud dan tujuan Perseroan menyelenggarakan kegiatan sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan; b. ketentuan mengenai direksi dan komisaris mencakup antara lain sebagai berikut : 1) persyaratan calon direktur dan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sesuai dengan persyaratan Peraturan Nomor III.B.3; 2) jumlah anggota direksi dan komisaris masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang; 3) tata cara pengajuan calon direktur dan komisaris; 4) anggota direksi dan komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali; 5) berakhirnya masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan 6) anggota direksi tidak mempunyai jabatan rangkap sebagai anggota direksi, komisaris, atau pegawai pada perusahaan lain. c. ketentuan mengenai saham mencakup antara lain : 1) saham Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah saham atas nama yang mempunyai nilai nominal dan hak suara yang sama; 2) saham Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya dapat dimiliki oleh Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain atas persetujuan Bapepam; dan 3) mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, harus dimiliki oleh Bursa Efek. d. ketentuan mengenai pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan: 1) pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan hanya dapat dilakukan kepada Bursa Efek, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, atau Pihak lain yang memperoleh persetujuan Bapepam; 2) pemindahan hak atas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh Bursa Efek kepada Pihak yang bukan Bursa Efek hanya dapat dilakukan sepanjang Bursa Efek tetap memiliki mayoritas saham Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan IV-2 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 11/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 3) dalam hal saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dimiliki oleh Pihak yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka saham tersebut wajib dialihkan dalam waktu 6 (enam) bulan kepada Pihak yang memenuhi persyaratan. e. ketentuan bahwa Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak membagikan dividen kepada pemegang saham. 2. Setiap anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memperoleh persetujuan Bapepam sebelum diajukan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh pengesahan. 3. Permohonan persetujuan anggaran dasar dan perubahannya diajukan kepada Bapepam dalam rangkap 4 (empat) dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-1 lampiran 1 peraturan ini disertai dengan dokumen : a. anggaran dasar atau perubahan anggaran dasar yang dimintakan persetujuan; b. akta berita acara Rapat Umum Pemegang Saham yang dibuat oleh notaris; c. surat panggilan Rapat Umum Pemegang Saham; d. agenda Rapat Umum Pemegang Saham; dan e. daftar hadir Rapat Umum Pemegang Saham. 4. Dalam permohonan dijelaskan alasan permohonan yang antara lain menyangkut latar belakang perubahan anggaran dasar. 5. Dalam rangka memproses permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini, Bapepam akan melakukan penelaahan atas materi anggaran dasar dan perubahannya yang diajukan pemohon. 6. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permohonan tersebut, Bapepam wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa : a. permohonannya tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5 -2 lampiran 2 peraturan ini; b. permohonannya ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-3 lampiran 3 peraturan ini; atau c. permohonannya disetujui dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.5-4 lampiran 4 peraturan ini. 7. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam angka 5 peraturan ini, Bapepam tidak memberikan tanggapan maka permohonan pemberian persetujuan atas anggaran dasar dan perubahan dimaksud berlaku efektif. IV-3 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep- 11/PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 Ditetapkan di Pada tanggal : Jakarta : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-4 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.5-1 Nomor : Lampiran : --- Perihal : Permohonan Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan. : 1 Peraturan Nomor : III.B.5 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal di - Jakarta Sehubungan dengan perihal tersebut diatas, dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini disampaikan penjelasan dan dokumen sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian, atas perhatiannya di ucapkan terimakasih. PT . ...................................... ............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) Tembusan Yth. : 1. Sekretaris Bapepam; 2. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-5 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.5-2 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Permintaan Keterangan Tambahan Permohonan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan. KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... : 2 Peraturan Nomor : III.B.5 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ...................... tanggal ........................ perihal .........................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk memperoleh Persetujuan atas perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan- kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-6 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.5-3 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : --- Perihal : Penolakan Atas Permohonan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan. : 3 Peraturan Nomor : III.B.5 Jakarta,. ...........................19.... KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal perihal Permohonan Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan, setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. 2. 3. ................................................................................................................... ................................................................................................................... ................................................................................................................... Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-7 Peraturan Nomor III.B.5 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: III.B.5-4 Nomor : S- /PM/19... Lampiran : Perihal --- : Persetujuan atas Perubahan Peraturan yang berlaku pada saat diajukan. KEPADA Yth.................................................. di - ...................................... : 4 Peraturan Nomor : III.B.5 Jakarta,. ...........................19.... Menunjuk surat Saudara Nomor ................... tanggal ............. perihal Permohonan Persetujuan atas Perubahan Anggaran Dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan ini disampaikan bahwa perubahan anggaran dasar Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam permohonan Saudara dapat disetujui. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, ............................................ NIP. .................................... Tembusan Kepada Yth : 1. Sdr. Sekretaris Bapepam; 2. Sdr. para Kepala Biro di lingkungan Bapepam. IV-8
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-11/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMBERIAN PERSETUJUAN ANGGARAN DASAR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 17 Januari 1996 </set_date> <effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
Peraturan Nomor X.C.2 KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP-69/PM/1996 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL, Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322/M Tahun 1995; M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pemeliharaan Dokumen Oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor X.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : pada tanggal : Jakarta 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP. 060065493 IV-1 Peraturan Nomor X.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-69 /PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 PERATURAN NOMOR X.C.2 : PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Setiap Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mengadministrasikan, menyimpan dan memelihara catatan, pembukuan, data dan keterangan tertulis yang berhubungan dengan: a. status dan kegiatan para pemegang rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. catatan atas penyimpanan Efek di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. penyelenggaraan penyimpanan dan penyelesaian Transaksi Bursa; dan d. pengelolaan administrasi dan manajemen Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai Perseroan. 2. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a peraturan ini terdiri dari sekurang- kurangnya : a. daftar pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan b. catatan kegiatan pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian termasuk kesulitan keuangan perusahaan yang dihadapi dan pelanggaran yang pernah dilakukan. 3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b peraturan ini sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut : a. daftar nama Emiten pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan b. jumlah dan jenis Efek yang pencatatannya pada buku daftar pemegang saham Emiten diwakili oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 4. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf c peraturan ini terdiri dari sekurang- kurangnya : a. daftar mutasi penyimpanan dan penyelesaian Efek harian dengan merinci nama Efek yang dimutasi; b. perubahan jam penyimpanan dan penyelesaian di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; c. informasi bersifat rahasia yang menurut Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dianggap mempunyai pengaruh yang penting dan relevan terhadap pasar pada umumnya dan/atau Efek tertentu pada khususnya; d. penyelesaian perselisihan antar pemakai jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan e. tindakan lain yang diambil dalam rangka menghadapi keadaan darurat perdagangan. IV-2 Peraturan Nomor X.C.2 LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor : Kep-69 /PM/1996 Tanggal : 17 Januari 1996 5. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf d peraturan ini terdiri dari sekurang- kurangnya : a. anggaran dasar beserta semua perubahannya; b. buku Daftar Pemegang Saham dan administrasi penyimpanannya; c. notulen Rapat Umum Pemegang Saham, rapat direksi dan atau dewan komisaris, rapat komite atau panitia; d. perubahan dalam kepengurusan sampai satu tingkat di bawah direksi; e. pembentukan komite atau panitia dan atau perubahan komposisi keanggotaan komite atau panitia tersebut; dan f. dokumen lain termasuk surat-menyurat, memorandum, makalah, buku, pemberitahuan, pengumuman, edaran dan catatan lain yang dibuat atau diterima oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan usahanya. 6. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5 peraturan ini wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Bapepam. 7. Dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 6 peraturan ini wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk masa 5 (lima) tahun. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 17 Januari 1996 BADAN PENGAWAS PASAR MODAL Ketua, I PUTU GEDE ARY SUTA NIP 060065493 IV-3
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-69/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 </reg_id> <reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 17 Januari 1996 </set_date> <effective_date> 17 Januari 1996 </effective_date> <related_reg> '8/UU/1995', '45/PP/1995', '322/M|KEPPRES/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-426/BL/2007 TENTANG PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan peranan Pasar Modal dan memberikan alternatif investasi pemodal di sektor riil namun dengan tetap memperhatikan perlindungan hukum kepada pemodal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 โ€“ Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, diatur dalam Peraturan Nomor IX.M.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 18 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-426/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 PERATURAN NOMOR IX.M.2 : PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF 1. Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama dan alamat Manajer Investasi; b. nama dan alamat Bank Kustodian; c. komposisi diversifikasi investasi; d. kebijakan pembentukan dan penggunaan Special Purpose Company (jika ada); e. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, Bank Kustodian dan pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (jika ada); f. kebijakan mengenai pembagian hasil secara berkala kepada pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; g. tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; h. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi; i. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian; j. hak pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; k. tata cara penjualan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif bagi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak mencatatkan Unit Penyertaannya di Bursa Efek; l. Nilai Aktiva Bersih awal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; m. penyampaian laporan keuangan tahunan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; n. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer Investasi dan atau Bank Kustodian; o. pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; p. beban biaya atas Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dibubarkan dan dilikuidasi; dan q. penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan bagi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak mencatatkan Unit Penyertaannya di Bursa Efek. 2. Tindakan-tindakan yang dilarang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf g peraturan ini, paling kurang memuat: a. larangan terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki (short sale); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 426/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 - 2 - b. larangan terlibat dalam pembelian Efek secara margin; c. larangan untuk membeli tanah kosong atau berinvestasi di properti yang masih dalam tahap pembangunan. Kegiatan dalam tahap pembangunan ini tidak termasuk dekorasi ulang, perbaikan (retrofitting) dan renovasi; d. larangan untuk meminjamkan dan atau menjaminkan aset Real Estat yang dimilikinya untuk kepentingan Pihak lain; e. larangan berinvestasi pada aset Real Estat dan atau Aset yang berkaitan dengan Real Estat di luar wilayah Indonesia; dan f. larangan melakukan penerbitan Efek bersifat hutang. 3. Kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf h peraturan ini, paling kurang memuat: a. pelaksanaan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sebaik mungkin semata-mata untuk kepentingan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a; c. ketentuan pembukuan dan pelaporan; d. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Manajer Investasi sebagai Manajer Investasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; e. pemisahan kekayaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan kekayaan Manajer Investasi; f. tata cara penjualan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; g. penunjukan Bank Kustodian pengganti bila diperlukan; h. pelaksanaan investasi sesuai dengan komposisi investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; i. penyusunan dan penyampaian laporan tahunan dan laporan keuangan tahunan serta laporan lainnya Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan Bapepam dan LK; dan j. penerbitan pembaharuan Prospektus yang disertai laporan keuangan tahunan terakhir serta wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh Manajer Investasi pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. 4. Kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf i peraturan ini, paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. pelaksanaan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sebaik mungkin semata-mata untuk kepentingan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 426/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 - 3 - b. tanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a peraturan ini; c. ketentuan pembukuan dan pelaporan; d. ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri Bank Kustodian sebagai Bank Kustodian Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; e. penghitungan Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif paling kurang sekali dalam satu bulan; f. pembukuan semua perubahan aset berupa Real Estat dan Aset yang berkaitan dengan Real Estat, jumlah Unit Penyertaan, pengeluaran, biaya- biaya pengelolaan, pendapatan bunga atau pendapatan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan Bapepam dan LK; g. penyelesaian transaksi yang dilakukan oleh Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan instruksi Manajer Investasi; h. pembayaran biaya pengelolaan dan biaya lain yang dikenakan pada aset berupa Real Estat dan Aset yang berkaitan dengan Real Estat sesuai Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; i. pembayaran kepada pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif setiap pembagian uang tunai yang berhubungan dengan Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; j. penyimpanan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki setiap pemegang Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat serta identitas lain dari para pemegang Unit Penyertaan; k. kepastian bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana dari calon pemegang Unit Penyertaan; l. pemisahan kekayaan Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dari kekayaan Bank Kustodian; m. pemberian jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian sehubungan dengan kekayaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; n. penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan kepada Manajer Investasi, Bapepam dan LK, serta pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan o. penolakan instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Bapepam dan LK apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh Bank Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan atau Kontrak Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 426/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 - 4 - 5. Hak pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j peraturan ini, paling kurang memuat: a. bukti kepemilikan; b. laporan keuangan secara periodik; c. informasi mengenai Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan d. bagian atas hasil likuidasi. 6. Tahun buku Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dimulai sejak tanggal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember. 7. Penyampaian laporan keuangan tahunan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf m peraturan ini, wajib diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK serta wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. 8. Pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf o peraturan ini, paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. Kewajiban Manajer Investasi untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada Bapepam dan LK mengenai rencana pembubaran, likuidasi dan pembagian hasil likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan melampirkan: 1) kesepakatan pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian; 2) alasan pembubaran; dan 3) kondisi keuangan terakhir. b. Kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat 2 (dua) hari bursa setelah pemberitahuan kepada Bapepam dan LK. c. Pada hari yang sama dengan pengumuman tentang rencana pembubaran, likuidasi dan pembagian hasil likuidasi tersebut, Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. d. Kewajiban Manajer Investasi untuk memastikan bahwa hasil dari likuidasi dibagi secara proporsional menurut komposisi jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki oleh masing-masing pemegang Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 426/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 - 5 - e. Kewajiban Manajer Investasi untuk menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi dan pembagian hasil likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) bulan setelah tanggal pemberitahuan rencana pembubaran, likuidasi dan pembagian hasil likuidasi tersebut yang diajukan dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum dan Akuntan, serta Akta Pembubaran dan Likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dari Notaris. 9. Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dibubarkan dan dilikuidasi, maka beban biaya pembubaran dan likuidasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf p peraturan ini termasuk biaya Konsultan Hukum, Akuntan dan beban lain kepada pihak ketiga menjadi tanggung jawab dan wajib dibayar Manajer Investasi kepada Pihak-pihak yang bersangkutan. 10. Kontrak Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib dibuat dalam bentuk akta notariil oleh Notaris yang terdaftar di Bapepam dan LK. 11. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 18 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM </reg_type> <reg_id> KEP-426/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM/2007 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title> <set_date> 18 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 18 Desember 2007 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 412/BL/2010 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT UTANG KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa Wali Amanat yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang merupakan Pihak yang memiliki peranan sangat penting dalam penerbitan Efek bersifat utang oleh Emiten; b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Wali Amanat wajib membuat kontrak perwaliamanatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor Lembaran Negara Nomor 3617) dengan Peraturan Pemerintah Nomor (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; M E M U T U S K A N: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT UTANG. 86, Tambahan sebagaimana diubah 12 Tahun 2004 27, Tambahan 64, Tambahan KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai Ketentuan Umum Dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 6 September 2010. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 6 September 2010 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 195411111981121001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 PERATURAN NOMOR VI.C.4 : KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT UTANG 1. KETENTUAN UMUM a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah: 1) Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang yang dibuat dalam bentuk akta notariil. 2) Agen Pembayaran adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten dalam bentuk akta notariil untuk melaksanakan pembayaran bunga dan/atau pelunasan jumlah pokok Efek bersifat utang termasuk denda kepada pemegang Efek bersifat utang untuk dan atas nama Emiten. 3) Daerah adalah Daerah Otonom atau Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.12. b. Tugas pokok dan tanggung jawab Wali Amanat adalah: 1) mewakili kepentingan para pemegang Efek bersifat utang, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan dan peraturan perundang-undangan; 2) mengikatkan diri untuk melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam butir 1) sejak menandatangani Kontrak Perwaliamanatan dengan Emiten, tetapi perwakilan tersebut mulai berlaku efektif pada saat Efek bersifat utang telah dialokasikan kepada pemodal; 3) melaksanakan tugas Perwaliamanatan dan dokumen lainnya Kontrak Perwaliamanatan; dan sebagai Wali Amanat berdasarkan Kontrak yang berkaitan dengan 4) memberikan semua keterangan atau informasi sehubungan dengan pelaksanaan tugas-tugas perwaliamanatan kepada Bapepam dan LK. c. Wali Amanat wajib menjalankan tugas dengan itikad baik, cermat, dan penuh kehati-hatian sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. d. Wali Amanat wajib perwaliamanatannya. 2. KEWAJIBAN WALI AMANAT a. Sebelum penandatanganan Kontrak Perwaliamanatan, Wali Amanat wajib melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap Emiten, yang paling sedikit meliputi: 1) penelaahan terhadap Emiten, meliputi: a) peninjauan lapangan (inspeksi) terhadap Emiten dan/atau proyek yang didanai; menaati pedoman operasional kegiatan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -2- b) jumlah dan jenis Efek bersifat utang yang diterbitkan; c) kemampuan keuangan sebelum penerbitan dan selama umur Efek bersifat utang; d) risiko keuangan dan risiko-risiko lainnya yang mempunyai dampak terhadap kelangsungan usaha Emiten; e) benturan kepentingan dan potensi benturan kepentingan antara Wali Amanat dengan Emiten; f) hasil penilaian atas jaminan yang dikeluarkan oleh Penilai (jika menggunakan jaminan); g) hasil pemeringkatan yang dilakukan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek; dan h) hal-hal material lainnya yang memiliki dampak terhadap kemampuan keuangan Emiten baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kewajiban Emiten kepada pemegang Efek bersifat utang; dan 2) penelahaan terhadap rancangan Kontrak Perwaliamanatan, meliputi: a) penelaahan kesesuaian Kontrak Perwaliamanatan dengan pedoman Kontrak Perwaliamanatan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini; dan b) penelaahan terhadap ketentuan-ketentuan yang dapat merugikan kepentingan pemegang Efek bersifat utang. b. Wali Amanat wajib membuat dan menandatangani surat pernyataan di atas meterai cukup yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kontrak Perwaliamanatan, yang menyatakan bahwa Wali Amanat telah melakukan uji tuntas (due diligence) sebagaimana dimaksud dalam huruf a. c. Wali Amanat wajib melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam Kontrak Perwaliamanatan, paling sedikit meliputi: 1) memantau perkembangan pengelolaan kegiatan usaha Emiten atau pengelolaan proyek jika Emiten adalah Daerah, berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh baik langsung maupun tidak langsung, termasuk melakukan peninjauan lapangan; 2) mengawasi dan memantau pelaksanaan kewajiban Emiten berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan Kontrak Perwaliamanatan; 3) melaksanakan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang sesuai dengan tanggung jawabnya; 4) mengawasi, melakukan inspeksi, dan mengadministrasikan harta Emiten yang menjadi jaminan bagi pembayaran kewajiban kepada pemegang Efek bersifat utang (jika ada); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -3- 5) memantau pembayaran yang dilakukan oleh Emiten atau Agen Pembayaran kepada pemegang Efek bersifat utang; 6) mengambil tindakan yang diperlukan apabila terjadi perubahan hasil pemeringkatan Efek; 7) mengambil tindakan yang diperlukan apabila terjadi perubahan nilai atas jaminan (jika ada); dan 8) mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Perwaliamanatan. d. Wali Amanat wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang Efek bersifat utang atas kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam Kontrak Perwaliamanatan dan peraturan perundang-undangan. e. Wali Amanat wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah ditemukan adanya indikasi kelalaian Emiten sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Perwaliamanatan dan Peraturan ini. 3. LARANGAN WALI AMANAT Sejak penandatanganan Kontrak Perwaliamanatan sampai dengan berakhirnya tugas Wali Amanat, Wali Amanat dilarang: a. mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. b. mempunyai hubungan kredit dengan Emiten sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3. c. menerima dan meminta pelunasan terlebih dahulu atas kewajiban Emiten kepada Wali Amanat selaku kreditur dalam hal Emiten mengalami kesulitan keuangan, berdasarkan pertimbangan Wali Amanat, sehingga tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada pemegang Efek bersifat utang. d. merangkap sebagai penanggung dan pemberi agunan dalam penerbitan Efek bersifat utang sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3. 4. KONTRAK PERWALIAMANATAN Dalam rangka melindungi dan mewakili hak-hak para pemegang Efek bersifat utang, Wali Amanat wajib membuat Kontrak Perwaliamanatan dengan Emiten yang memuat paling sedikit: a. Identitas para pihak Memuat keterangan identitas masing-masing pihak yang sah secara hukum serta berhak mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Emiten dan Wali Amanat. b. Utang pokok Memuat ketentuan paling sedikit mengenai: 1) besarnya utang pokok, dalam denominasi mata uang rupiah atau mata uang lainnya; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -4- 2) nilai satuan pemindahbukuan. c. Jatuh tempo utang pokok Memuat ketentuan paling sedikit mengenai: 1) 2) jadwal pelunasan; jumlah yang wajib dibayarkan oleh Emiten pada tanggal pembayaran; dan 3) tata cara pembayaran. d. Bunga Memuat ketentuan paling sedikit mengenai: 1) 2) sifat dan besarnya tingkat bunga; jadwal dan periode pembayaran; 3) penghitungan bunga; dan 4) tata cara pembayaran bunga. e. Jaminan (jika ada) 1) Dalam hal Efek bersifat utang dijamin dengan kekayaan Emiten, maka wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut: a) jenis benda jaminan; b) nilai benda jaminan; dan c) status kepemilikan. 2) Dalam hal Efek bersifat utang dijamin dengan bentuk penjaminan lainnya, maka wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut: a) rincian benda jaminan dan/atau identitas penjamin; b) identitas dari pihak yang hartanya dijaminkan; c) penanggung telah mengikatkan diri untuk menanggung atau menjamin kewajiban Emiten dalam hal Emiten memenuhi kewajibannya (jika ada penanggung); d) kedudukan pemegang Efek bersifat utang terhadap kreditur Emiten lainnya yang memegang hak tanggungan atas benda jaminan yang sama; dan e) nilai dan/atau persentase jaminan dari total utang pokok. 3) Pembebanan jaminan atas benda jaminan wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4) Dokumen pendukung yang terkait dengan penjaminan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan Kontrak Perwaliamanatan. f. Hak keutamaan (senioritas) dari Efek bersifat utang (jika ada) Dalam hal Efek bersifat utang memiliki hak keutamaan (senioritas) dibandingkan dengan utang lainnya dari Emiten yang belum lunas dan/atau tidak bisa LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -5- tambahan utang yang dapat dibuat oleh Emiten pada masa yang akan datang, maka wajib dinyatakan dengan tegas, hal-hal sebagai berikut: 1) 2) tingkat senioritas Efek bersifat utang; total jumlah utang yang memiliki hak keutamaan (senioritas) dan batasan atas penerbitan tambahan utang dengan hak keutamaan (senioritas); dan 3) batasan hak yang dimiliki oleh Efek bersifat utang karena adanya penerbitan Efek dari jenis Efek yang berbeda. g. Sanksi Ketentuan mengenai sanksi yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya kewajiban dalam Kontrak Perwaliamanatan dari Efek bersifat utang yang diterbitkan wajib diatur secara jelas. h. Penyisihan dana untuk pembayaran pokok atau bunga (jika ada) Dalam hal Emiten melakukan penyisihan dana untuk pembayaran pokok atau bunga, maka wajib dinyatakan secara tegas paling sedikit: 1) jumlah yang harus disisihkan dan/atau perbandingan jumlah tersebut dengan utang pokok atau bunga; 2) periode dan jangka waktu penyisihan; dan 3) penyimpanan, penempatan, dan pemanfaatan dana yang disisihkan dengan ketentuan sebagai berikut: a) penyimpanan, penempatan, dan penggunaan pemanfaatan dana yang disisihkan harus berada di bawah pengawasan dan atas dasar persetujuan tertulis dari Wali Amanat; b) bukti penyimpanan dan penempatan dana yang disisihkan wajib disampaikan oleh Emiten kepada Wali Amanat; dan c) Emiten wajib memisahkan dana tersebut dari aktiva lain dan jumlah yang disisihkan wajib tercantum dalam laporan keuangan. i. Pembatasan-pembatasan terhadap Emiten Ketentuan tentang pembatasan keuangan dan pembatasan-pembatasan lain terhadap Emiten (debt covenants) wajib diatur secara jelas. j. Pemeringkatan Efek bersifat utang Hasil pemeringkatan Efek bersifat utang wajib dicantumkan, dan apabila terdapat lebih dari satu pemeringkatan Efek bersifat utang maka masing- masing hasil pemeringkatan tersebut wajib dicantumkan. k. Penggunaan dana Penggunaan dana, perubahan penggunaan dana, dan penempatan sementara dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang, wajib mencantumkan: 1) uraian mengenai rencana penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -6- 2) ketentuan mengenai perubahan penggunaan dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang wajib memperoleh persetujuan Wali Amanat setelah terlebih dahulu dilaporkan kepada Bapepam dan LK dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang Efek bersifat utang; dan 3) ketentuan mengenai penempatan sementara dana hasil Penawaran Umum Efek bersifat utang wajib memperhatikan keamanan dan likuiditas serta dapat memberikan keuntungan finansial yang wajar bagi Emiten. l. Tugas dan kewajiban Agen Pembayaran Memuat ketentuan paling sedikit mengenai kewajiban Agen Pembayaran untuk: 1) memberitahukan jumlah dana yang wajib dibayar oleh Emiten untuk pembayaran bunga dan/atau pokok Efek bersifat utang kepada Emiten dengan tembusan kepada Wali Amanat sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam Kontrak Perwaliamanatan; 2) melaksanakan pembayaran bunga dan/atau pokok Efek bersifat utang pada tanggal pembayaran bunga dan/atau tanggal pelunasan pokok Efek bersifat utang sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam Kontrak Perwaliamanatan; 3) bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pembayaran bunga dan/atau pokok Efek bersifat utang sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam Kontrak Perwaliamanatan; dan 4) menyampaikan laporan secara tertulis kepada Wali Amanat tentang pemenuhan kewajiban Emiten sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya setiap pembayaran. m. Efek bersifat utang dalam denominasi mata uang selain mata uang rupiah Dalam hal Emiten menerbitkan Efek bersifat utang dalam denominasi mata uang selain mata uang rupiah maka wajib mencantumkan ketentuan sebagai berikut: 1) 2) jumlah, nilai, dan jangka waktu serta kesetaraan nilainya dalam mata uang rupiah pada saat Efek bersifat utang tersebut ditawarkan; risiko yang dihadapi berkaitan dengan selisih kurs; dan 3) ada atau tidak adanya sarana lindung nilai. n. Amortisasi Efek bersifat utang Dalam hal Emiten melakukan amortisasi wajib memuat ketentuan sebagai berikut: 1) amortisasi atas satu jenis Efek bersifat utang maka pemegang Efek bersifat utang tetap mempunyai hak suara dan hak untuk menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang secara proporsional LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -7- sebanding dengan Efek bersifat utang yang masih beredar (outstanding) atas Efek dimaksud; dan 2) amortisasi secara berkala atas satu jenis atau lebih Efek bersifat utang berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan dan memiliki jaminan yang sama maka pemegang Efek bersifat utang tetap mempunyai hak suara dan hak untuk menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang dimaksud secara proporsional sebanding dengan Efek bersifat utang yang masih beredar (outstanding) atas Efek tersebut. o. Pembelian kembali Efek bersifat utang Dalam hal Emiten melakukan pembelian kembali Efek bersifat utang maka Kontrak Perwaliamanatan wajib mencantumkan ketentuan bahwa: 1) pembelian kembali Efek bersifat utang ditujukan sebagai pelunasan atau disimpan untuk kemudian dijual kembali dengan harga pasar; 2) pelaksanaan pembelian kembali Efek bersifat utang dilakukan melalui Bursa Efek atau di luar Bursa Efek; 3) pembelian kembali Efek bersifat utang baru dapat dilakukan satu tahun setelah tanggal penjatahan; 4) pembelian kembali Efek bersifat utang tidak dapat dilakukan apabila hal tersebut mengakibatkan Emiten tidak dapat memenuhi ketentuan- ketentuan di dalam Kontrak Perwaliamanatan; 5) pembelian kembali Efek bersifat utang tidak dapat dilakukan apabila Emiten melakukan kelalaian (wanprestasi) sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Perwaliamanatan, kecuali telah memperoleh persetujuan rapat umum pemegang Efek bersifat utang; 6) pembelian kembali Efek bersifat utang hanya dapat dilakukan oleh Emiten kepada Pihak yang tidak terafiliasi kecuali Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah; 7) rencana pembelian kembali Efek bersifat utang wajib dilaporkan kepada Bapepam dan LK oleh Emiten paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum pengumuman rencana pembelian kembali Efek bersifat utang tersebut di surat kabar; 8) pembelian kembali Efek bersifat utang, baru dapat dilakukan setelah pengumuman rencana pembelian kembali Efek bersifat utang. Pengumuman tersebut wajib dilakukan paling sedikit melalui satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat 2 (dua) hari sebelum tanggal penawaran untuk pembelian kembali dimulai; 9) rencana pembelian kembali Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud dalam butir 7) dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam butir 8), paling sedikit memuat informasi tentang: a) periode penawaran pembelian kembali; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -8- b) jumlah dana maksimal yang akan digunakan untuk pembelian kembali; c) kisaran jumlah Efek bersifat utang yang akan dibeli kembali; d) harga atau kisaran harga yang ditawarkan untuk pembelian kembali Efek bersifat utang; e) tata cara penyelesaian transaksi; f) persyaratan bagi pemegang Efek bersifat utang yang mengajukan penawaran jual; g) tata cara penyampaian penawaran jual oleh pemegang Efek bersifat utang; h) tata cara pembelian kembali Efek bersifat utang; dan i) hubungan Afiliasi antara Emiten dan pemegang Efek bersifat utang; 10) Emiten wajib melakukan penjatahan secara proporsional sebanding dengan partisipasi setiap Pihak yang melakukan penjualan Efek bersifat utang apabila jumlah Efek bersifat utang yang ditawarkan untuk dijual oleh pemegang Efek bersifat utang, melebihi jumlah Efek bersifat utang yang dapat dibeli kembali; 11) Emiten wajib menjaga kerahasiaan atas semua informasi mengenai penawaran jual yang telah disampaikan oleh pemegang Efek bersifat utang; 12) Emiten dapat melaksanakan pembelian kembali Efek bersifat utang tanpa melakukan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam butir 9) dengan ketentuan: a) jumlah pembelian kembali tidak lebih dari 5% (lima perseratus) dari jumlah Efek bersifat utang untuk masing-masing jenis Efek bersifat utang yang beredar dalam periode satu tahun setelah tanggal penjatahan; b) Efek bersifat utang yang dibeli kembali tersebut bukan Efek bersifat utang yang dimiliki oleh Afiliasi Emiten; dan c) Efek bersifat utang yang dibeli kembali hanya untuk disimpan yang kemudian hari dapat dijual kembali, dan wajib dilaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya pembelian kembali Efek bersifat utang; 13) Emiten wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK dan Wali Amanat serta mengumumkan kepada publik dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya pembelian kembali Efek bersifat utang, informasi yang meliputi antara lain: a) jumlah Efek bersifat utang yang telah dibeli; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -9- b) rincian jumlah Efek bersifat utang yang telah dibeli kembali untuk pelunasan atau disimpan untuk dijual kembali; c) harga pembelian kembali yang telah terjadi; dan d) jumlah dana yang digunakan untuk pembelian kembali Efek bersifat utang; 14) dalam hal terdapat lebih dari satu Efek bersifat utang yang diterbitkan oleh Emiten, maka pembelian kembali Efek bersifat utang dilakukan dengan mendahulukan Efek bersifat utang yang tidak dijamin; 15) dalam hal terdapat lebih dari satu Efek bersifat utang yang tidak dijamin, maka pembelian kembali wajib mempertimbangkan aspek kepentingan ekonomis Emiten atas pembelian kembali tersebut; 16) dalam hal terdapat jaminan atas seluruh Efek bersifat utang, maka pembelian kembali wajib mempertimbangkan aspek kepentingan ekonomis Emiten atas pembelian kembali Efek bersifat utang tersebut; dan 17) pembelian kembali Efek bersifat utang oleh Emiten mengakibatkan: a) hapusnya segala hak yang melekat pada Efek bersifat utang yang dibeli kembali, hak menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang, hak suara, dan hak memperoleh bunga serta manfaat lain dari Efek bersifat utang yang dibeli kembali jika dimaksudkan untuk pelunasan; atau b) pemberhentian sementara segala hak yang melekat pada Efek bersifat utang yang dibeli kembali, hak menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang, hak suara, dan hak memperoleh bunga serta manfaat lain dari Efek bersifat utang yang dibeli kembali, jika dimaksudkan untuk disimpan untuk dijual kembali. p. Rapat umum pemegang Efek bersifat utang 1) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang diadakan untuk tujuan antara lain: a) mengambil keputusan sehubungan dengan usulan Emiten atau pemegang Efek bersifat utang mengenai perubahan jangka waktu, pokok pinjaman Efek yang bersifat utang, suku bunga, perubahan tata cara atau periode pembayaran bunga, jaminan atau penyisihan dana pelunasan (sinking fund) dan ketentuan lain dalam Kontrak Perwaliamanatan; b) menyampaikan pemberitahuan kepada Emiten dan/atau Wali Amanat, memberikan pengarahan kepada Wali Amanat, dan/atau menyetujui suatu kelonggaran waktu atas suatu kelalaian berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan serta akibat-akibatnya, atau untuk mengambil tindakan lain sehubungan dengan kelalaian; c) memberhentikan Wali Amanat dan menunjuk pengganti Wali Amanat menurut ketentuan Kontrak Perwaliamanatan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -10- d) mengambil tindakan yang dikuasakan oleh atau atas nama yang dapat menyebabkan pemegang Efek bersifat utang termasuk dalam penentuan potensi kelalaian terjadinya kelalaian sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Perwaliamanatan dan dalam Peraturan ini; dan e) Wali Amanat bermaksud mengambil tindakan lain yang tidak dikuasakan atau tidak termuat dalam Kontrak Perwaliamanatan atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dapat diselenggarakan atas permintaan: a) pemegang Efek bersifat utang baik sendiri maupun secara bersama-sama yang mewakili paling sedikit lebih dari 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah Efek bersifat utang yang belum dilunasi tidak termasuk Efek bersifat utang yang dimiliki oleh Emiten dan/atau Afiliasinya kecuali Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah; b) Emiten; c) Wali Amanat; atau d) Bapepam dan LK. 3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam butir 2) poin a), poin b), dan poin d) wajib disampaikan secara tertulis kepada Wali Amanat dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya surat permintaan tersebut Wali Amanat wajib melakukan panggilan untuk rapat umum pemegang Efek bersifat utang. 4) Dalam hal Wali Amanat menolak permohonan pemegang Efek bersifat utang atau Emiten untuk mengadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang, maka Wali Amanat wajib memberitahukan secara tertulis alasan penolakan tersebut kepada pemohon dengan tembusan kepada Bapepam dan LK, paling lambat 14 (empat belas) hari setelah diterimanya surat permohonan. 5) Pengumuman, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan rapat umum pemegang Efek bersifat utang. a) Pengumuman rapat umum pemegang Efek bersifat utang wajib dilakukan melalui satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan. b) Pemanggilan rapat umum pemegang Efek bersifat utang dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum rapat umum pemegang Efek bersifat utang, melalui paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional. c) Pemanggilan untuk rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua atau ketiga dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -11- rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua atau ketiga dilakukan dan disertai informasi bahwa rapat umum pemegang Efek bersifat utang sebelumnya telah diselenggarakan tetapi tidak mencapai kuorum. d) Panggilan harus dengan tegas memuat rencana rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan mengungkapkan informasi antara lain: (1) tanggal, tempat, dan waktu penyelenggaraan rapat umum pemegang Efek bersifat utang; (2) agenda rapat umum pemegang Efek bersifat utang; (3) pihak yang mengajukan usulan rapat umum pemegang Efek bersifat utang; (4) pemegang Efek bersifat utang yang berhak hadir dan memiliki hak suara dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang; dan (5) korum yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengambilan keputusan rapat umum pemegang Efek bersifat utang. e) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua atau ketiga diselenggarakan paling cepat 14 (empat belas) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari rapat umum pemegang Efek bersifat utang sebelumnya. 6) Tata cara rapat umum pemegang Efek bersifat utang a) Pemegang Efek bersifat utang, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah Efek bersifat utang yang dimilikinya. b) Efek bersifat utang yang dimiliki oleh Emiten dan/atau Afiliasinya tidak memiliki hak suara dan tidak diperhitungkan dalam korum kehadiran, kecuali Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. c) Sebelum pelaksanaan rapat umum pemegang Efek bersifat utang, Emiten berkewajiban untuk menyerahkan daftar pemegang Efek bersifat utang dari Afiliasinya kepada Wali Amanat. d) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dapat diselenggarakan di tempat Emiten atau tempat lain yang disepakati antara Emiten dan Wali Amanat. e) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang dipimpin oleh Wali Amanat. f) Wali Amanat wajib mempersiapkan acara rapat umum pemegang Efek bersifat utang termasuk materi rapat umum pemegang Efek LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -12- bersifat utang dan menunjuk Notaris untuk membuat berita acara rapat umum pemegang Efek bersifat utang. g) Dalam hal penggantian Wali Amanat diminta oleh Emiten atau pemegang Efek bersifat utang, maka rapat umum pemegang Efek bersifat utang dipimpin oleh Emiten atau wakil pemegang Efek bersifat utang yang meminta diadakannya rapat umum pemegang Efek bersifat utang tersebut. Emiten atau pemegang Efek bersifat utang yang meminta diadakannya rapat umum pemegang Efek bersifat utang tersebut diwajibkan untuk mempersiapkan acara rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan materi rapat umum pemegang Efek bersifat utang. 7) Korum dan Pengambilan Keputusan a) Dalam hal rapat umum pemegang Efek bersifat utang bertujuan untuk memutuskan mengenai perubahan Kontrak Perwaliamanatan sebagaimana dimaksud dalam huruf p butir 1), diatur sebagai berikut: (1) Apabila rapat umum pemegang Efek bersifat utang dimintakan oleh Emiten maka wajib diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut: (a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua. (c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga. (e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -13- empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (2) Apabila rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketentuan dimintakan oleh pemegang Efek bersifat utang atau Wali Amanat maka wajib diselenggarakan dengan sebagai berikut: (a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua. (c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga. (e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (3) Apabila rapat umum pemegang Efek dimintakan oleh Bapepam bersifat utang dan LK maka wajib diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut: tidak tercapai, maka wajib diadakan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -14- (a) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (b) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang kedua. (c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (d) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam huruf (c) rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga. (e) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. b) Rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang diadakan untuk tujuan selain perubahan Kontrak Perwaliamanatan, dapat diselenggarakan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (2) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka (1) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua. tidak tercapai, maka wajib diadakan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -15- (3) rapat umum pemegang Efek bersifat utang kedua dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat apabila disetujui paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. (4) dalam hal korum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka (3) tidak tercapai, maka wajib diadakan rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang ketiga. (5) rapat umum pemegang Efek bersifat utang ketiga dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang Efek bersifat utang atau diwakili paling sedikit 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah Efek bersifat utang yang masih belum dilunasi dan berhak mengambil keputusan yang sah dan mengikat berdasarkan keputusan suara terbanyak. 8) Biaya-biaya penyelenggaraan rapat umum pemegang Efek bersifat utang menjadi beban Emiten dan wajib dibayarkan kepada Wali Amanat paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah permintaan biaya tersebut diterima Emiten dari Wali Amanat, yang ditetapkan dalam Kontrak Perwaliamanatan. 9) Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang wajib dibuatkan berita acara secara notariil. 10) Emiten, Wali Amanat, dan pemegang Efek bersifat utang wajib memenuhi keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang. q. Penunjukan, penggantian dan berakhirnya tugas Wali Amanat Ketentuan mengenai penunjukan, penggantian, dan berakhirnya tugas Wali Amanat, paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: 1) penunjukkan Wali Amanat untuk pertama kalinya dilakukan oleh Emiten; 2) penggantian Wali Amanat dilakukan karena sebab-sebab sebagai berikut: a) izin usaha bank sebagai Wali Amanat dicabut; b) pencabutan atau pembekuan kegiatan usaha Wali Amanat di Pasar Modal; c) Wali Amanat dibubarkan oleh suatu badan peradilan atau oleh suatu badan resmi lainnya atau dianggap telah bubar berdasarkan ketentuan perundang-undangan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -16- d) Wali Amanat dinyatakan pailit oleh badan peradilan yang berwenang atau dibekukan operasinya usahanya oleh pihak yang berwenang; dan/atau e) Wali Amanat tidak dapat melaksanakan kewajibannya; f) Wali Amanat melanggar ketentuan Kontrak Perwaliamanatan dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; g) timbulnya hubungan Afiliasi antara Wali Amanat dengan Emiten setelah penunjukan Wali Amanat, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena Pemerintah; h) timbulnya hubungan kredit yang melampaui jumlah sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3; atau i) atas permintaan para pemegang Efek bersifat utang. 3) berakhirnya tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Wali Amanat adalah pada saat: a) Efek yang bersifat utang telah dilunasi baik pokok, bunga termasuk denda (jika ada) dan Wali Amanat telah menerima laporan pemenuhan kewajiban Emiten dari Agen Pembayaran atau Emiten (jika tidak menggunakan Agen Pembayaran); b) tanggal tertentu yang telah disepakati c) setelah diangkatnya Wali Amanat baru. r. Keadaan Lalai 1) Memuat ketentuan menyebabkan Emiten melaksanakan atau mengenai kondisi-kondisi tidak menaati Perwaliamanatan, termasuk: a) kewajiban pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang pada saat jatuh tempo. b) fakta mengenai jaminan, keadaan, atau status Emiten serta pengelolaannya tidak sesuai dengan informasi dan keterangan yang diberikan oleh Emiten. c) kondisi Emiten yang dinyatakan lalai sehubungan dengan suatu perjanjian kredit oleh salah satu atau lebih krediturnya (cross default). d) adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (moratorium). e) kewajiban lain yang tercantum dalam Kontrak Perwaliamanatan. 2) Ketentuan mengenai pernyataan default wajib diatur secara jelas. dinyatakan lalai apabila Emiten ketentuan dalam yang dapat tidak Kontrak dalam Kontrak Perwaliamanatan setelah tanggal jatuh tempo pokok Efek bersifat utang; atau kepemilikan atau penyertaan modal kegiatan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -17- 3) Ketentuan mengenai cara penyelesaian atas kondisi lalai atau Emiten dinyatakan default wajib diatur secara jelas. s. Wewenang Wali Amanat Memuat ketentuan paling sedikit mengenai wewenang Wali Amanat untuk: 1) meminta dokumen dan informasi yang diperlukan dari Emiten dalam rangka menjalankan tugas pemantauan perkembangan pengelolaan perusahaan dan pengawasan pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang wajib dipenuhi Emiten berdasarkan Kontrak Perwaliamanatan. 2) memegang kuasa untuk mewakili pemegang Efek bersifat utang dalam melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan kepentingan pemegang Efek bersifat utang, termasuk melakukan penuntutan hak- hak pemegang Efek bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari pemegang Efek bersifat utang dimaksud. 3) menunjuk Profesi Penunjang Pasar Modal untuk membantu melakukan pemeriksaaan terhadap kondisi lalai/default. Segala biaya yang timbul penunjukan tersebut menjadi beban Emiten. 4) menolak permintaan untuk diselenggarakannya rapat umum pemegang Efek bersifat utang yang diajukan oleh pemegang Efek bersifat utang atau Emiten sesuai dengan Kontrak Perwaliamanatan dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis tentang penolakan dan alasan penolakan. 5. PELAPORAN a. Emiten wajib menyampaikan laporan penggantian Wali Amanat kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat baru. b. Wali Amanat yang digantikan wajib menyampaikan laporan penggantian Wali Amanat kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diangkatnya Wali Amanat baru. c. Laporan penggantian Wali Amanat wajib paling kurang memuat: 1) alasan penggantian; dan 2) Wali Amanat baru. d. Seluruh kewajiban penyampaian laporan yang terkait Perwaliamanatan wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK. dalam Kontrak e. Dalam hal kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf d jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka penyampaian laporan dimaksud wajib disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya. apabila terjadi perbedaan pemahaman atas LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-412/BL/2010 Tanggal : 6 September 2010 -18- 6. KETENTUAN PENUTUP Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan Peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 6 September 2010 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 195411111981121001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-412/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 </reg_id> <reg_title> KETENTUAN UMUM DAN KONTRAK PERWALIAMANATAN EFEK BERSIFAT UTANG </reg_title> <set_date> 6 September 2010 </set_date> <effective_date> 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 6 September 2010 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 395/BL/2008 TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka efektifitas pengawasan dan pembinaan Akuntan yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Laporan Berkala Kegiatan Akuntan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai laporan berkala kegiatan Akuntan diatur dalam Peraturan Nomor X.J.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 6 Oktober 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep- 395/BL/2008 : 6 Oktober 2008 PERATURAN NOMOR X.J.2 : LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Laporan Berkala Kegiatan Akuntan adalah laporan yang memuat informasi tentang kegiatan yang berkaitan dengan penugasan Akuntan termasuk penugasan profesional, selama satu tahun terhitung sejak 1 April sampai dengan 31 Maret atau sejak terdaftar di Bapepam dan LK apabila terdaftar kurang dari satu tahun. b. Klien adalah pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran dari Bapepam dan LK serta Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif. 2. Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Akuntan atas penugasan dari Klien yang meliputi: a. Laporan Jasa Atestasi dengan opini, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-1 lampiran 1; b. Laporan Jasa Atestasi dengan tanpa opini, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-2 lampiran 2; dan c. Laporan Jasa Non Atestasi, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-3 lampiran 3. 3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib disampaikan setiap tahun kepada kepada Bapepam dan LK paling lambat pada tanggal 15 April tahun berikutnya. Dalam hal tanggal 15 April jatuh pada hari libur maka Laporan Berkala Kegiatan Akuntan disampaikan pada satu hari kerja berikutnya. 4. Laporan Berkala Kegiatan Akuntan wajib disertai dengan laporan dalam format digital dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan mengenai kebenaran data dan informasi yang dilaporkan dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-4 lampiran 4. 5. Dalam hal Akuntan bekerja pada Kantor Akuntan Publik yang memiliki lebih dari satu rekan yang terdaftar di Bapepam dan LK maka Laporan Berkala Kegiatan Akuntan dapat disampaikan secara bersamaan dalam satu surat pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Akuntan Publik. 6. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR : X.J.2-1 LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN BIDANG JASA ATESTASI DENGAN OPINI Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20.... Nama Akuntan Nomor STTD No Nama Klien : : Kantor Akuntan Publik : Keterangan Klien*) ......... ......... ......... Jenis Jasa Audit Periode Laporan Keuangan yang diaudit 1 PT A 2 PT B 3 Opini Tanggal Laporan Auditor Penugasan Profesional Penugasan Tahun ke- Tanggal Mulai Tanggal berakhir Akuntan KAP Anggota Tim Penugasan Audit **) Nama Jabatan : Peraturan Nomor : 1 X.J.2 PT .... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan KAP) Keterangan: *) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll. **) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan. .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (Nama jelas) LAMPIRAN FORMULIR NOMOR : X.J.2-2 LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN BIDANG JASA ATESTASI TANPA OPINI Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20.... Nama Akuntan Nomor STTD No Nama Klien : : Kantor Akuntan Publik : ......... ......... ......... Keterangan Klien*) Jenis Jasa Atestasi Non-Audit 1 PT A 2 PT B 3 Periode Laporan Jasa Atestasi Non-Audit (jika ada) Tanggal Laporan Penugasan Profesional Tanggal Mulai Tanggal berakhir Penugasan Tahun ke- Akuntan KAP Anggota Tim Penugasan **) Nama Jabatan : Peraturan Nomor : 2 X.J.2 PT .... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan KAP) Keterangan: *) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll. **) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan. .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (Nama jelas) LAMPIRAN FORMULIR NOMOR : X.J.2-3 LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN BIDANG JASA NON ATESTASI Periode 1 April 20... Sampai Dengan 31 Maret 20.... Nama Akuntan Nomor STTD Kantor Akuntan Publik No Nama Klien : : : ......... ......... ......... Keterangan Klien*) Jenis Jasa non-Audit Ringkasan Rekomendasi (jika ada)**) Tanggal Mulai 1 PT A 2 PT B 3 PT .... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan KAP) Keterangan: *) Klien sebagaimana dimaksud Peraturan Nomor : X.J.2 seperti: Emiten, Reksadana, Perusahaan Efek, dll. **) Hasil Rekomendasi agar dilampirkan. ***) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah dan diungkapkan untuk setiap Klien. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan Tanggal berakhir Nama Jabatan Tanggal Laporan Periode Penugasan Profesional Anggota Tim Penugasan***) : Peraturan Nomor : 3 X.J.2 .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (Nama jelas) LAMPIRAN : 4 Peraturan Nomor : X.J.2 FORMULIR NOMOR : X.J.2-4 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nomor STTD : Tanggal STTD : Nama KAP Alamat : : .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya laporkan dalam Laporan Berkala Kegiatan Akuntan untuk periode 1 April 20..... sampai dengan 31 Maret 20..... adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya laporkan tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ........ (domisili), โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (nama jelas)
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN AKUNTAN </reg_title> <set_date> 6 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 133/BL/2006 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan alternatif produk investasi Reksa Dana di Pasar Modal kepada pemodal dan perlindungan hukum yang memadai kepada pemodal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa Efek; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; M E M U T U S K A N: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa Efek, diatur dalam Peraturan Nomor IV.B.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 4 Desember 2006 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Badan Abraham Bastari NIP 060076245 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : 133/BL/2006 Tanggal : 4 Desember 2006 PERATURAN NOMOR IV.B.3 : REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud: a. Dealer Partisipan adalah Anggota Bursa Efek yang menandatangani perjanjian dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk melakukan penjualan atau pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud. b. Sponsor adalah Pihak yang menandatangani perjanjian dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek untuk melakukan penyertaan dalam bentuk uang dan atau Efek dalam rangka penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. 2. Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, wajib mengikuti Peraturan Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan memuat ketentuan sebagai berikut: a. Penitipan Kolektif atas Unit Penyertaan; b. prosedur penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek antara lain: 1) jenis Efek yang menjadi dasar pembentukan Reksa Dana dimaksud; dan 2) jumlah minimal Unit Penyertaan yang akan dicatatkan di Bursa Efek; c. tata cara penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi dan bahwa penjualan kembali dimaksud hanya diperbolehkan bagi Sponsor dan Dealer Partisipan; d. pembelian kembali (pelunasan) oleh Manajer Investasi dari Sponsor dan Dealer Partisipan per hari bursa paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari total Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar; e. kebijakan investasi wajib mengacu pada Peraturan Nomor IV.C.3 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka atau Peraturan Nomor IV.C.4 tentang Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : 133/BL/2006 Tanggal : 4 Desember 2006 - 2 - 1) komposisi portofolio Efek yang membentuk Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek harus terdiri dari Efek yang likuid; dan 2) tingkat likuiditas Efek yang menjadi portofolio Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib ditentukan bersama antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian; f. nama Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif akan dicatatkan; g. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek dan melaporkan kepada Bapepam dan LK Nilai Aktiva Bersih setiap hari setelah penutupan perdagangan Bursa Efek sebagai indikasi harga Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dicatatkan di Bursa Efek; h. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek komposisi portofolio setiap hari setelah penutupan perdagangan di Bursa Efek; i. kewajiban Manajer Investasi untuk mengumumkan di Bursa Efek jumlah Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang beredar setiap ada perubahan; dan j. mekanisme Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek (jika ada). 3. Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Sponsor jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek melibatkan Sponsor, yang antara lain memuat: a. jumlah minimum setoran Efek atau uang oleh Sponsor yang akan dibelikan Efek yang membentuk portofolio Efek Reksa Dana dimaksud; dan b. jangka waktu kesanggupan Sponsor untuk tidak melakukan penjualan kembali. 4. Dalam rangka mewujudkan likuiditas pasar Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, Manajer Investasi wajib membuat kontrak dengan Dealer Partisipan. 5. Dalam hal terdapat perubahan jumlah Dealer Partisipan, Manajer Investasi wajib mengumumkannya di Bursa Efek. 6. Penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Manajer Investasi hanya dapat dilakukan oleh Sponsor dan Dealer Partisipasi dengan ketentuan: a. jika pembayarannya dengan Efek dari portofolio Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek, maka: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : 133/BL/2006 Tanggal : 4 Desember 2006 - 3 - 1) dasar penghitungan nilai Efek tersebut adalah nilai pasar wajar; dan 2) apabila Efek dimaksud tidak ada, maka pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, dengan ketentuan nilainya dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih. b. jika pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, maka nilainya dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih. c. Manajer Investasi wajib mengumumkan permohonan penjualan kembali oleh Dealer Partisipan dan Sponsor di Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan pada hari yang sama dengan permohonan penjualan kembali dimaksud. 7. Dalam hal Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek memuat ketentuan mengenai Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan (RUPUP), maka ketentuan RUPUP paling kurang memuat: a. RUPUP dapat diselenggarakan atas usulan satu Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang beredar; b. Pemberitahuan, Pemanggilan, dan Waktu Penyelenggaraan RUPUP: 1) pemberitahuan RUPUP dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan dan pemanggilan dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sebelum RUPUP melalui paling sedikit satu surat kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran Nasional; 2) panggilan RUPUP wajib mencantumkan tempat, waktu penyelenggaraan, prosedur serta agenda rapat; 3) dalam hal RUPUP pertama gagal diselenggarakan atau gagal mengambil keputusan, maka diselenggarakan RUPUP kedua; 4) panggilan untuk RUPUP kedua dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum RUPUP kedua dilakukan dengan menyebutkan telah diselenggarakannya RUPUP pertama tetapi tidak mencapai korum atau tidak dapat mengambil keputusan; dan 5) RUPUP kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari RUPUP pertama; dan c. korum kehadiran dan keputusan RUPUP. 8. Sebelum pemberitahuan rencana RUPUP di surat kabar dilaksanakan, Manajer Investasi wajib menyampaikan terlebih dahulu agenda rapat tersebut secara jelas dan rinci ke Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemberitahuan. 9. Dalam hal agenda RUPUP adalah penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian, maka Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : 133/BL/2006 Tanggal : 4 Desember 2006 - 4 - Kolektif yang diperdagangkan di Bursa Efek yang dimiliki oleh Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan atau Pihak terafiliasinya tidak mempunyai hak suara. 10. Manajer Investasi wajib menyampaikan hasil RUPUP paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah RUPUP tersebut diselenggarakan kepada Bapepam dan LK, dan mengumumkannya kepada masyarakat melalui paling sedikit satu surat kabar berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan Bursa Efek. 11. Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek: a. Manajer Investasi wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan: 1) Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; 2) menyampaikan dokumen perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek akan diperdagangkan; dan 3) menyampaikan dokumen perjanjian antara Manajer Investasi dengan Sponsor dan antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan. b. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah menjadi efektif. 12. Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.6 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana, serta memuat: a. informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 peraturan ini; b. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan dan nama-nama Dealer Partisipan; dan c. pokok-pokok perjanjian antara Manajer Investasi dengan Sponsor dan nama-nama Sponsor (jika ada perjanjian dimaksud). 13. Pencatatan awal Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek wajib dilaksanakan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran. 14. Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek yang diterbitkan setelah pencatatan awal wajib dicatatkan selambat-lambatnya satu hari kerja sejak diterbitkannya Unit Penyertaan dimaksud. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : 133/BL/2006 Tanggal : 4 Desember 2006 - 5 - 15. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 7 huruf b butir 1) dan butir 2) serta angka 10 wajib pula diumumkan melalui media yang dapat diakses oleh masyarakat, antara lain: a. website Manajer Investasi; dan b. website atau media penyebaran informasi elektronik yang disediakan oleh Bursa Efek dimana Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan. 16. Dealer Partisipan wajib mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perdagangan yang likuid atas Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. 17. Dalam rangka menciptakan likuiditas pasar, Dealer Partisipan diperkenankan untuk membeli dan menjual Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek dengan ketentuan: a. Dealer Partisipan wajib secara berkala atau terus menerus menyampaikan penawaran jual atau penawaran beli Unit Penyertaan dimaksud pada sistem perdagangan yang disediakan oleh Bursa Efek; dan b. Dealer Partisipan mampu dan bersedia merealisasi transaksi dalam jumlah sesuai dengan komitmen sebagaimana tertuang dalam Kontrak Investasi Kolektif. 18. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di pada tanggal ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Abraham Bastari NIP 060076245 : Jakarta : 4 Desember 2006 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-133/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 </reg_id> <reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF YANG UNIT PENYERTAANNYA DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 4 Desember 2006 </set_date> <effective_date> 4 Desember 2006 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 396/BL/2008 TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka efektifitas pengawasan dan pembinaan terhadap Penilai yang terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI. Pasal 1 Ketentuan mengenai laporan berkala kegiatan Penilai diatur dalam Peraturan Nomor X.J.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 6 Oktober 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep- 396/BL/2008 : 6 Oktober 2008 PERATURAN NOMOR X.J.4 : LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Laporan Berkala Kegiatan Penilai adalah laporan yang memuat informasi tentang kegiatan yang berkaitan dengan penugasan Penilai termasuk penugasan profesional selama satu tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember atau sejak terdaftar di Bapepam dan LK apabila terdaftar kurang dari satu tahun. b. Klien adalah pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran dari Bapepam dan LK serta Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif. 2. Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sesuai ruang lingkup kegiatan penilaian atas penugasan dari Klien yaitu: a. Laporan Penilaian Properti, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.4-1 lampiran 1; dan/atau b. Laporan Penilaian Usaha, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.4-2 lampiran 2; 3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib disampaikan setiap tahun kepada Bapepam dan LK paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya. Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka Laporan Berkala Penilai disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. 4. Laporan Berkala Kegiatan Penilai wajib disertai dengan laporan dalam format digital dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan mengenai kebenaran data dan informasi yang dilaporkan dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.4-3 lampiran 3. 5. Dalam hal Penilai bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik yang memiliki lebih dari satu rekan yang terdaftar di Bapepam dan LK maka Laporan Berkala Kegiatan Penilai dapat disampaikan secara bersamaan dalam satu surat pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Jasa Penilai Publik. 6. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 6 Oktober 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: X.J.4-1 LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI BIDANG JASA PENILAIAN PROPERTI Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20.... Nama Penilai Nomor STTD No : : Kantor Jasa Penilai Publik : Nama Klien ......... ......... ......... Jenis Penilaian Properti*) Tujuan Penilaian Objek Penilaian Tanggal Penilaian Opini Nilai Penugasan Penilaian Profesional Tanggal Mulai 1 PT A 2 PT B 3 Tanggal Berakhir Penugasan Penilaian Profesional tahun ke - Anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional **) Nama Jabatan : Peraturan Nomor : 1 X.J.4 PT.... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan KJPP) Keterangan: *) Pengertian Properti adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1 **) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (Nama jelas) LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: X.J.4-2 LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI BIDANG JASA PENILAIAN USAHA Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20.... Nama Penilai Nomor STTD No : : Kantor Jasa Penilai Publik : Nama Klien ......... ......... ......... Jenis Penilaian Usaha Tujuan Penilaian Objek Penilaian Tanggal Penilaian Opini Nilai Penugasan Penilaian Profesional Tanggal Mulai 1 2 3 PT A PT B PT .... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan KJPP) Keterangan: *) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (Nama jelas) Tanggal Berakhir Penugasan Penilaian Profesional tahun ke - Anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional *) Nama Jabatan : Peraturan Nomor : 2 X.J.4 LAMPIRAN : 3 Peraturan Nomor : X.J.4 FORMULIR NOMOR: X.J.4-3 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nomor STTD : Tanggal STTD : Nama KJPP Alamat : : .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya laporkan dalam Laporan Berkala Kegiatan Penilai untuk periode 1 Januari 20..... sampai dengan 31 Desember 20..... adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya laporkan tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ........ (domisili), โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (nama jelas)
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI </reg_title> <set_date> 6 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 372/BL/2012 TENTANG PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi Penilai dan/atau Kantor Jasa Penilai Publik dalam menjalankan tugasnya melakukan penilaian di Pasar Modal, dipandang perlu menyempurnakan Peraturan Nomor VIII.C.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-42/BL/2008 tanggal 14 Februari 2008 tentang Pendaftaran Penilai Yang Melakukan Kegiatan Di Pasar Modal dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik; M E M U T U S K A N: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai pendaftaran Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di Pasar Modal, diatur dalam Peraturan Nomor VIII.C.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Kantor Jasa Penilai Publik yang melakukan kegiatan penilaian di Pasar Modal namun belum memiliki paling sedikit 2 (dua) orang Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK, dengan ketentuan masing-masing sekutu merupakan rekan dan salah seorang sekutu bertindak sebagai pemimpin rekan, wajib segera menyesuaikan dengan Peraturan Nomor VIII.C.1 Lampiran Keputusan ini, paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-42/BL/2008 tanggal 14 Februari 2008 tentang Pendaftaran Penilai Yang Melakukan Kegiatan Di Pasar Modal dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 9 Juli 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 PERATURAN NOMOR VIII.C.1 : PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL 1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: a. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian di Pasar Modal. b. Kantor Jasa Penilai Publik yang selanjutnya disebut KJPP adalah badan usaha yang berbentuk persekutuan dan telah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Penilai dalam melakukan kegiatan penilaian. c. Forum Penilai Pasar Modal yang selanjutnya disebut FPPM adalah organisasi profesi Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal. d. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dengan muatan materi tentang kegiatan penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang diselenggarakan oleh FPPM โ€“ Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). e. Pendidikan Profesi Lanjutan adalah suatu pendidikan lanjutan bagi Penilai dengan muatan materi tentang kegiatan penilaian dan/atau peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang diselenggarakan oleh FPPM โ€“ MAPPI. 2. Penilai yang melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam dan LK serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. 3. Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK dilarang melakukan penilaian dan pemberian jasa lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. 4. Ruang lingkup kegiatan penilaian yang dilakukan oleh Penilai mencakup: a. penilaian properti; dan/atau b. penilaian usaha. 5. Dalam melakukan kegiatan penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka 4, Penilai dapat melakukan kegiatan sebagai berikut: a. Kegiatan penilaian properti, antara lain: 1) penilaian real properti; 2) penilaian personal properti; 3) penilaian pembangunan/pengembangan proyek; 4) penilaian pengembangan properti; 5) penilaian aset perkebunan; 6) penilaian aset perikanan; 7) penilaian aset kehutanan; 8) penilaian aset pertambangan; dan 9) penilaian properti lainnya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -2- b. Kegiatan penilaian usaha, antara lain: 1) penilaian perusahaan dan/atau badan usaha; 2) penilaian penyertaan dalam perusahaan; 3) penilaian instrumen keuangan 4) penilaian aset takberwujud; 5) pemberian pendapat kewajaran atas transaksi; 6) penyusunan studi kelayakan proyek dan usaha; 7) 8) penilaian usaha lainnya. 6. Persyaratan Penilai sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah sebagai berikut: a. mempunyai izin Penilai dari Menteri Keuangan; b. berpendidikan paling rendah setara sarjana strata 1 (S1); c. telah lulus ujian standar profesi di bidang penilaian yang diselenggarakan oleh MAPPI; d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; e. memiliki akhlak dan moral yang baik; f. telah menjadi anggota FPPM - MAPPI; g. tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain dan/atau Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di Bapepam dan LK; h. dalam hal Penilai merangkap jabatan pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan/atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, maka Penilai, KJPP, dan/atau Pihak afiliasinya dilarang memberikan jasa penilaian atau jasa apapun yang dapat menimbulkan benturan kepentingan terhadap Pihak dimana Penilai tersebut merangkap jabatan serta Afiliasinya; i. wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal. Persyaratan keahlian tersebut dipenuhi melalui Pendidikan Profesi dengan jumlah paling kurang 30 (tiga puluh) satuan kredit profesi dalam satu kali keikutsertaan; dan j. berkedudukan sebagai rekan dan/atau sekutu pada KJPP. 7. KJPP sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf j wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan dan dipimpin oleh Penilai yang telah memiliki izin Penilai dari Menteri Keuangan dan telah terdaftar di Bapepam dan LK; b. berbentuk persekutuan yang dijalankan oleh paling sedikit 2 (dua) orang Penilai, dengan ketentuan masing-masing sekutu merupakan rekan dan salah seorang sekutu bertindak sebagai pemimpin rekan; penilaian keuntungan/kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau suatu peristiwa tertentu; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -3- c. menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) dalam melakukan penilaian yaitu Penilai yang bertanggung jawab untuk menandatangani laporan dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; d. memiliki dan menerapkan secara konsisten pedoman pengendalian mutu yang merupakan standar yang berlaku pada KJPP yang bersangkutan, yang terdiri dari: 1) pedoman penerimaan dan penolakan pemberi tugas; 2) pedoman kepastian mutu dan kebijakan etika; 3) pedoman pengendalian mutu penugasan; 4) pedoman independensi Penilai dan KJPP; 5) pedoman penilaian untuk penilaian properti dan/atau penilaian usaha; dan 6) pedoman penelaahan mutu; Setiap unsur pedoman pengendalian mutu wajib memuat ketentuan mengenai manajemen risiko. e. sanggup menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang bersangkutan; dan f. membuat surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama. 8. Permohonan pendaftaran Penilai sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada Bapepam dan LK dengan mempergunakan Formulir Nomor VIII.C.1-1 Lampiran 1. 9. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 8 disertai dokumen sebagai berikut: a. Dokumen yang menyangkut Penilai: 1) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta memuat pengalaman kerja paling kurang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam ruang lingkup Penilaian yang sesuai dengan klasifikasi permohonan pendaftaran beserta jabatan dalam pekerjaan tersebut pada KJPP yang dilengkapi dengan keterangan tentang: a) nama pemberi tugas, b) tahun penilaian, c) d) 2) tujuan penilaian, dan jenis penilaian; fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Penilai yang bersangkutan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -4- 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4) pasfoto terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah 2 (dua) lembar; 5) fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan; 6) 7) fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir paling rendah setara sarjana strata 1 (S1) yang telah dilegalisasi; fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf i yang diperoleh dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir terhitung sejak tanggal penyelenggaraan Pendidikan Profesi; 8) fotokopi bukti keanggotaan dalam FPPM โ€“ MAPPI; 9) surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM - MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; 10) fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian yang diselenggarakan oleh MAPPI sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang diajukan kepada Bapepam dan LK; 11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa: a) b) c) Penilai tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; Penilai bersedia melaporkan jika terdapat perubahan data dan informasi dari Penilai yang bersangkutan; dan Penilai tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain dan/atau Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di Bapepam dan LK; 12) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai sanggup untuk: a) menaati Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang disusun oleh MAPPI dan standar penilaian lain yang berlaku secara internasional jika belum diatur dalam SPI sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bapepam dan LK yang berlaku; b) menaati kode etik profesi yang disusun oleh MAPPI; dan c) bersikap independen, obyektif, dan professional. b. Dokumen yang menyangkut KJPP: 1) fotokopi akta pendirian KJPP beserta perubahannya; 2) fotokopi izin usaha dari Menteri Keuangan; 3) fotokopi Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari pemimpin rekan dari Bapepam dan LK; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -5- 4) fotokopi surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama; 5) bagan organisasi KJPP yang menunjukkan: a) susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana, beserta nama yang menduduki posisi tersebut; dan b) bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu Penilai yang bertanggung jawab menandatangani laporan, dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; 6) fotokopi izin pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan, bagi KJPP yang mempunyai cabang; 7) fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing; 8) dokumen perjanjian kerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing; 9) dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf d; 10) fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KJPP; 11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pemimpin rekan KJPP yang menyatakan bahwa: a) pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada KJPP yang bersangkutan; b) KJPP bersedia untuk menjalani pemeriksaan Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang bersangkutan; c) KJPP bersedia untuk menjalani penelaahan (peer review) FPPM โ€“ MAPPI terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang bersangkutan; dan d) pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari KJPP. 10. Dalam rangka pendaftaran Penilai yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen tambahan selain sebagaimana yang telah disebutkan dalam angka 8 dan angka 9. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -6- 11. Dalam hal Penilai menambah ruang lingkup kegiatan penilaian dari Penilai Properti atau Penilai Usaha menjadi Penilai Properti dan Penilai Usaha, maka Penilai wajib menyampaikan permohonan pendaftaran penambahan ruang lingkup kegiatan Penilai dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-2 Lampiran 2 dengan melampirkan: a. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal yang dimiliki sebelumnya; b. fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang diajukan kepada Bapepam dan LK; c. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta memuat pengalaman kerja paling kurang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dalam ruang lingkup Penilaian yang sesuai dengan klasifikasi permohonan pendaftaran beserta jabatan dalam pekerjaan tersebut pada KJPP yang dilengkapi dengan keterangan tentang: 1) nama pemberi tugas; 2) tahun penilaian; 3) tujuan penilaian; dan 4) jenis penilaian; d. surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM - MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; e. fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian yang diselenggarakan oleh MAPPI sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang diajukan kepada Bapepam dan LK; f. fotokopi surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama; dan g. dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf d. 12. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 dan angka 11 tidak memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan LK wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-3 Lampiran 3; atau b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-4 Lampiran 4. 13. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -7- pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf a dianggap telah mengundurkan diri. 14. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 8 dan angka 11 memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal kepada pemohon dengan menggunakan: a. Formulir Nomor VIII.C.1-5 Lampiran 5 untuk Penilai Properti; b. Formulir Nomor VIII.C.1-6 Lampiran 6 untuk Penilai Usaha; atau c. Formulir Nomor VIII.C.1-7 Lampiran 7 untuk Penilai Properti dan Penilai Usaha. 15. Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK wajib: a. melakukan penilaian sesuai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang disusun oleh MAPPI dan standar penilaian lain yang berlaku secara internasional jika belum diatur dalam SPI, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bapepam dan LK yang berlaku; b. secara terus-menerus mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan paling sedikit 5 (lima) satuan kredit profesi setiap tahun; c. melaporkan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Bapepam dan LK disertai dokumen pendukung secara berkala setiap tahun paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya; d. melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP paling lambat 14 (empat belas) hari sejak terjadinya perubahan dengan disertai dokumen pendukung; dan e. kewajiban penyampaian perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf d mencakup hal-hal antara lain: 1) perubahan data dan informasi terkait Penilai yang wajib dilaporkan oleh Penilai yang bersangkutan yang meliputi: a) perubahan alamat tempat tinggal Penilai; b) perubahan izin Penilai dari Menteri Keuangan; c) perpindahan Penilai ke KJPP lain; dan d) jabatan apapun pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan/atau Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif serta afiliasinya. 2) perubahan data dan informasi terkait KJPP yang wajib dilaporkan oleh pemimpin rekan KJPP yang meliputi: a) perubahan akta pendirian KJPP termasuk apabila terjadi perubahan susunan rekan, pemimpin rekan dan/atau perubahan nama KJPP; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -8- b) perubahan izin usaha KJPP dari Menteri Keuangan dalam hal terjadi perubahan nama KJPP; c) KJPP yang memiliki cabang dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan; d) KJPP yang bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing dan telah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan; dan e) perubahan dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf d. f. menaati kode etik profesi Penilai yang disusun oleh MAPPI; g. melakukan penilaian sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian sebagaimana tercantum dalam Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal; dan h. bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam melakukan penilaian. 16. Dalam hal Penilai bermaksud untuk tidak menjalankan kegiatan di Pasar Modal dalam jangka waktu paling kurang satu tahun, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penilai wajib menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK untuk tidak menjalankan kegiatan profesi Penilai di bidang Pasar Modal dengan menyebutkan jangka waktunya; b. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal atas nama Penilai bersangkutan akan dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu oleh Bapepam dan LK dengan memberikan surat pemberitahuan menggunakan Formulir Nomor VIII.C.1-8 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 8; c. Penilai bersangkutan sejak tanggal pemberitahuan sebagaimana dimaksud huruf b: 1) dilarang untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal untuk sementara waktu sampai dengan diaktifkannya kembali Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal; dan 2) dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g termasuk kewajiban penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4 sampai dengan diaktifkannya kembali Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal; d. apabila Penilai dimaksud akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal, maka Penilai wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK dan menyertakan: 1) 2) fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi Lanjutan setiap tahunnya sebagaimana diatur dalam angka 15 huruf b; atau fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6 huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi oleh FPPM - MAPPI, apabila dalam jangka waktu LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -9- tersebut Penilai bersangkutan tidak mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam angka 15 huruf b; dan 3) daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila ada perubahan yang terjadi dengan disertai bukti pendukung. e. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembali Surat Tanda Terdaftar setelah Penilai memenuhi ketentuan pada huruf d dengan memberikan surat pemberitahuan kepada Penilai yang bersangkutan menggunakan Formulir nomor VIII.C.1-9 sebagaimana tercantum dalam Lampiran 9. 17. Ketentuan mengenai Pendidikan Profesi Lanjutan adalah sebagai berikut: a. Kewajiban Penilai untuk mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf b mulai berlaku untuk tahun yang sama pada saat Penilai memperoleh Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari Bapepam dan LK kecuali Penilai telah mengikuti Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam angka 6 huruf i yang diselenggarakan pada tahun yang sama pada saat Penilai memperoleh Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari Bapepam dan LK. b. Penilai yang tidak menyampaikan laporan keikutsertaan Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa denda yang dihitung sejak tanggal kewajiban pelaporan sampai dengan tanggal dipenuhinya kewajiban pelaporan keikutsertaan Pendidikan Profesi Lanjutan oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK. c. Jika dalam waktu 2 (dua) tahun berturut-turut Penilai tidak mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan, atau jika dalam waktu 5 (lima) tahun Penilai tidak mengikuti Pendidikan Profesi Lanjutan sebanyak 3 (tiga) kali, Penilai dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal. d. Jika dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Penilai tidak menyampaikan laporan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi Lanjutan, Penilai dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal. e. Penilai yang dikenakan sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf b, huruf c, dan huruf d. f. Penilai yang dikenakan sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d selama satu tahun atau lebih dikecualikan dari kewajiban penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4. g. Dalam hal sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d telah berakhir, Penilai dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan mengajukan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -10- permohonan kepada Bapepam dan LK serta melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) 2) 3) fotokopi bukti penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b; fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6 huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi oleh FPPM โ€“ MAPPI; surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; dan 4) daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila terdapat perubahan dengan disertai bukti pendukung. h. Apabila dalam jangka waktu satu tahun Pendidikan Profesi atau Pendidikan Profesi Lanjutan tidak diselenggarakan, maka Ketua Bapepam dan LK dapat menetapkan ketentuan lain. 18. Dalam hal Surat Tanda Terdaftar Penilai dibekukan atas pelanggaran selain sebagaimana dimaksud dalam angka 17 huruf c dan huruf d, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penilai tetap wajib memenuhi ketentuan dalam angka 15 huruf b dan huruf c serta tetap wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4 kecuali dalam hal sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dikenakan selama satu tahun atau lebih. b. Dalam hal sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal telah berakhir, Penilai dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan mengajukan permohonan kepada Bapepam dan LK serta melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam angka 6 huruf i yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi oleh FPPM - MAPPI bagi Penilai yang dikenakan sanksi pembekuan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal selama satu tahun atau lebih; 2) surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan layak dipertimbangkan untuk kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; dan 3) daftar perubahan data dan informasi dari Penilai dan/atau KJPP sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf d dan huruf e apabila terdapat perubahan dengan disertai bukti pendukung. 19. Dalam hal Penilai dan/atau KJPP tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dan angka 7, maka Penilai pada KJPP tersebut tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-372/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 -11- 20. Penilai yang tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di bidang Pasar Modal dikarenakan tidak memenuhi persyaratan dalam angka 6 huruf j tetap wajib memenuhi ketentuan dalam angka 15 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e serta tetap wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.J.4. 21. Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dan huruf d jatuh pada hari libur, maka laporan dimaksud disampaikan pada satu hari kerja berikutnya. 22. Dalam hal Penilai terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c dan huruf d, maka penghitungan jumlah hari keterlambatan tersebut dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan dimaksud. 23. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di pada tanggal ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 : Jakarta : 9 Juli 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-1 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Pendaftaran Penilai Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal ( Penilai Properti / Penilai Usaha / Penilai Properti dan Usaha)* : 1 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Keuangan u.p. Kepala di Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Jakarta Dengan ini saya mengajukan permohonan pendaftaran Penilai sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya sampaikan data sebagai berikut: A. Data Pemohon 1. Nama Lengkap : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. Alamat Tempat Tinggal : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (nama jalan & nomor) โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (kota & kode pos) 3. Nomor Telepon & Faksimile 4. Alamat e-mail 5. Kedudukan di KJPP 6. Nomor dan Tanggal Keanggotaan FPPM-Masyarakat Indonesia (MAPPI) Profesi Penilai : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 7. Nomor dan Tanggal Keanggotaan MAPPI 8. Nomor dan Tanggal Izin Penilai dari Menteri Keuangan 9. Sertifikat Pendidikan Profesi (minimal 30 SKP) di bidang Pasar Modal a. Judul b. Penyelenggara c. Tanggal Penyelenggaraan d. Jumlah SKP 10. Sertifikat Kelulusan Ujian Standar Profesi di bidang Penilaian a. Nama Ujian Standar Profesi b. Penyelenggara : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lembaga : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN c. Nomor Sertifikat d. Tanggal Sertifikat 11. Ijazah Pendidikan Formal Terakhir a. Sarjana / Jurusan b. Universitas c. Tanggal 12. Nomor Pokok Wajib Pajak Penilai 13. Nomor Kartu Tanda Penduduk B. Data KJPP 1. Nama Kantor 2. Alamat Kantor : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (nama jalan & nomor) โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (kota & kode pos) 3. Nomor Telepon & Faksimile 4. Alamat website & e-mail 5. Nomor dan tanggal izin usaha dari Menteri Keuangan 6. Susunan Penilai dalam KJPP a. Nama Pemimpin Rekan b. Nama Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK c. Nama Penilai yang belum terdaftar di Bapepam dan LK d. Jumlah karyawan dalam KJPP 1) Penilai No. Nama : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 3. dst. : 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 3. dst. Pendidikan Terakhir Kelulusan dalam Ujian Standar Profesi 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 2) Non-penilai No. Nama Pendidikan Terakhir 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ... 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ... dst. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 7. Daftar Riwayat Pekerjaan sebagai Penilai No. Nama KJPP Periode Jabatan 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 8. Daftar Cabang KJPP No. Nomor & Tanggal Izin Pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan Alamat Cabang KJPP Nama Pemimpin Cabang KJPP 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 9. Nomor Pokok Wajib Pajak KJPP : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 10. Kerjasama dengan Penilai dari KJPP lain yang telah terdaftar di Bapepam dan LK dan memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama (jika dipersyaratkan) a. Nama Penilai b. Nama KJPP c. Nomor STTD d. Jangka Waktu Kerjasama b. Jangka waktu kerjasama c. Nomor & Tanggal Surat Keterangan dari Menteri Keuangan : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 11. Kerjasama/afiliasi dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing (jika ada) a. Nama KJPP asing : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Melengkapi permohonan ini, saya lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: A. Dokumen yang menyangkut Penilai: 1. Daftar riwayat hidup; 2. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak; 3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4. Pasfoto terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah 2 (dua) lembar; 5. Fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan; 6. Fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir yang telah dilegalisasi; 7. Fotokopi sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal; 8. Fotokopi bukti keanggotaan dalam FPPM - MAPPI; 9. Surat rekomendasi dari FPPM- MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM - MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 10. Fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian; 11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa: a. Penilai tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; b. Penilai bersedia melaporkan jika terdapat perubahan data dan informasi dari Penilai yang bersangkutan; dan c. Penilai tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada KJPP lain dan/atau Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya yang terdaftar di Bapepam dan LK; 12. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai sanggup untuk: a. menaati Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang disusun oleh MAPPI dan standar penilaian lain yang berlaku secara internasional jika belum diatur dalam SPI sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Bapepam dan LK yang berlaku; b. menaati kode etik profesi yang disusun oleh MAPPI; dan c. bersikap independen, obyektif, dan professional 13. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar Pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini. B. Dokumen yang menyangkut KJPP: 1. Fotokopi akta pendirian KJPP beserta perubahannya; 2. Fotokopi izin usaha dari Menteri Keuangan; 3. Fotokopi Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal dari pemimpin rekan dari Bapepam dan LK; 4. Surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama; 5. Bagan organisasi KJPP yang menunjukkan: a. susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana, beserta nama yang menduduki posisi tersebut; dan b. bahwa dalam melakukan penilaian, Penilai menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu Penilai yang bertanggung jawab menandatangani laporan, dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 6. Fotokopi izin pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan, bagi KJPP yang mempunyai cabang; 7. Fotokopi surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing; 8. Dokumen perjanjian kerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing, apabila KJPP bekerja sama dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing; 9. Dokumen pedoman pengendalian mutu; 10. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama KJPP; 11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh pemimpin rekan KJPP yang menyatakan bahwa: a. pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada KJPP yang bersangkutan; b. KJPP bersedia untuk menjalani pemeriksaan Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang bersangkutan; c. KJPP bersedia untuk menjalani penelaahan (peer review) FPPM โ€“ MAPPI terhadap pelaksanaan pekerjaan penilaian dan pengendalian mutu pada KJPP yang bersangkutan; dan d. pemimpin rekan KJPP bertanggung jawab melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari KJPP. Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab. Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak / Ibu saya ucapkan terima kasih. Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran DAFTAR PERTANYAAN PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon. 2. Berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โ€œyaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œtidakโ€. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar A yang antara lain memuat: a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil; c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. Tindakan dan sanksi yang diambil. Jawablah pertanyaan berikut ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? Ya Tidak b. atau kejahatan lain? Ya 2. Apakah pengadilan: a. pernah menyatakan Pemohon pailit? Ya Tidak : 1 Formulir Nomor : VIII.C.1-1 Tidak b. pernah menyatakan pailit atas perusahaan dimana pemohon berkedudukan sebagai direksi/komisaris? Ya Tidak c. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan profesinya? Ya Tidak d. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai direksi/komisaris? Ya Tidak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN e. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut? Ya Tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai? Ya Tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal? Ya Tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? Ya Tidak d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara, membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? Ya Tidak 4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak fair atau tidak etis? Ya Tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang keuangan dan peraturan perundang-undangan lainnya? Ya Tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? Ya Tidak d. melarang atau membatasi Pemohon untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir? Ya Tidak e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon? KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ya Tidak 5. Apakah Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? Ya Tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa Efek? Ya Tidak 6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam hubungannya dengan profesinya? Ya Tidak 7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan? Ya Tidak 8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh keputusan dari Pengadilan? Ya Tidak 9. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah memberi teguran, baik lisan maupun tertulis, kepada Pemohon? Ya Tidak 10. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah mendapatkan atau membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia? Ya Tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 20โ€ฆโ€ฆ Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran DAFTAR A Penjelasan atas semua jawaban "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-1 Nomor Pertanyaan Penjelasan : 2 Formulir Nomor: VIII.C.1-1 Catatan : Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat jawaban โ€Yaโ€ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 20โ€ฆโ€ฆ Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-2 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Penambahan Ruang Lingkup Kegiatan Penilai sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Properti dan Usaha) : 2 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Keuangan u.p. Kepala di Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Jakarta Dengan ini saya mengajukan permohonan pendaftaran dalam rangka penambahan ruang lingkup kegiatan penilaian. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya sampaikan data sebagai berikut: A. Data Pemohon 1. Nama Lengkap : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. Alamat Tempat Tinggal : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (nama jalan & nomor) โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (kota & kode pos) 3. Nomor Telepon & Faksimile 4. Alamat e-mail 5. Kedudukan di KJPP 6. Nomor & Tanggal STTD yang dimiliki saat ini 7. Nomor dan Tanggal Keanggotaan FPPM-Masyarakat Indonesia (MAPPI) Profesi Penilai : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 8. Nomor dan Tanggal Keanggotaan MAPPI 9. Nomor dan Tanggal Izin Penilai dari Menteri Keuangan 10. Sertifikat Pendidikan Profesi (minimal 30 SKP) di bidang Pasar Modal a. Judul b. Penyelenggara c. Tanggal Penyelenggaraan d. Jumlah SKP 11. Sertifikat Kelulusan Ujian Standar Profesi di bidang Penilaian a. Nama Ujian Standar Profesi : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lembaga KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN b. Penyelenggara c. Nomor Sertifikat d. Tanggal Sertifikat 12. Ijazah Pendidikan Formal Terakhir a. Sarjana / Jurusan b. Universitas c. Tanggal 13. Nomor Pokok Wajib Pajak Penilai 14. Nomor Kartu Tanda Penduduk B. Data KJPP 1. Nama Kantor 2. Alamat Kantor : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (nama jalan & nomor) โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (kota & kode pos) 3. Nomor Telepon & Faksimile 4. Alamat website & e-mail 5. Nomor dan tanggal izin usaha dari Menteri Keuangan 6. Susunan Penilai dalam KJPP a. Nama Pemimpin Rekan b. Nama Penilai yang telah terdaftar di Bapepam dan LK c. Nama Penilai yang belum terdaftar di Bapepam dan LK d. Jumlah karyawan dalam KJPP 1) Penilai No. Nama : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 3. dst. : 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : 3. dst. Pendidikan Terakhir Kelulusan dalam Ujian Standar Profesi 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 2) Non-penilai No. Nama Pendidikan Terakhir 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ... 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ... dst. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 7. Daftar Riwayat Pekerjaan sebagai Penilai No. Nama KJPP Periode Jabatan 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 8. Daftar Cabang KJPP No. Nomor & Tanggal Izin Pembukaan Cabang KJPP dari Menteri Keuangan Alamat Cabang KJPP Nama Pemimpin Cabang KJPP 1. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dst. 9. Nomor Pokok Wajib Pajak KJPP : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 10. Kerjasama dengan Penilai dari KJPP lain yang telah terdaftar di Bapepam dan LK dan memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama (jika dipersyaratkan) a. Nama Penilai b. Nama KJPP c. Nomor STTD d. Jangka Waktu Kerjasama b. Jangka waktu kerjasama c. Nomor & Tanggal Surat Keterangan dari Menteri Keuangan : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 11. Kerjasama/afiliasi dengan KJPP asing atau organisasi penilai asing (jika ada) a. Nama KJPP asing : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Melengkapi permohonan ini, saya lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: A. Dokumen yang menyangkut Penilai: 1. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal yang dimiliki sebelumnya; 2. Fotokopi izin Penilai dari Menteri Keuangan; 3. Daftar riwayat hidup; 4. Surat rekomendasi dari FPPM - MAPPI yang menyatakan bahwa Penilai yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh FPPM - MAPPI dan layak dipertimbangkan untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal sesuai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang dimiliki; 5. Fotokopi sertifikat kelulusan ujian standar profesi di bidang penilaian; 6. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar Pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN B. Dokumen yang menyangkut KJPP: 1. Surat perjanjian dengan Penilai dari KJPP lain yang memiliki ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama tentang pengalihan tanggung jawab apabila Penilai yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dalam hal KJPP yang bersangkutan tidak memiliki 2 (dua) Penilai dengan ruang lingkup kegiatan penilaian yang sama; 2. Dokumen pedoman pengendalian mutu. Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab. Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak / Ibu saya ucapkan terima kasih. Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran DAFTAR PERTANYAAN PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon. 2. Berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โ€œyaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda ๏ dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œtidakโ€. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar A yang antara lain memuat: a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil; c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. Tindakan dan sanksi yang diambil. Jawablah pertanyaan berikut ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? Ya Tidak b. atau kejahatan lain? Ya 2. Apakah pengadilan: a. pernah menyatakan Pemohon pailit? Ya Tidak : 1 Formulir Nomor : VIII.C.1-2 Tidak b. pernah menyatakan pailit atas perusahaan dimana pemohon berkedudukan sebagai direksi/komisaris? Ya Tidak c. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan profesinya? Ya Tidak d. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai direksi/komisaris? Ya Tidak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN e. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut? Ya Tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai? Ya Tidak b. Mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal? Ya Tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? Ya Tidak d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara, membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? Ya Tidak 4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak fair atau tidak etis? Ya Tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang keuangan dan peraturan perundang-undangan lainnya? Ya Tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? Ya Tidak d. melarang atau membatasi Pemohon untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir? Ya Tidak e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon? KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ya Tidak 5. Apakah Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? Ya Tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa Efek? Ya Tidak 6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam hubungannya dengan profesinya? Ya Tidak 7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan? Ya Tidak 8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh keputusan dari Pengadilan? Ya Tidak 9. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah memberi teguran, baik lisan maupun tertulis, kepada Pemohon? Ya Tidak 10. Apakah Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) pernah mendapatkan atau membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Kode Etik Penilai Indonesia? Ya Tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 20โ€ฆโ€ฆ Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran DAFTAR A Penjelasan atas semua jawaban "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-2 Nomor Pertanyaan Penjelasan : 2 Formulir Nomor: VIII.C.1-2 Catatan : Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat jawaban โ€Yaโ€ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.C.1-2. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. 20โ€ฆโ€ฆ Pemohon, materai ........................................... (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-3 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Pemberitahuan Kekurangan Data /Dokumen Pendaftaran/ Penambahan Ruang Lingkup Kegiatan Penilai Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal : 3 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal .......................................... perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa terkait dengan permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. ....................................................................................................................... 2. ....................................................................................................................... 3. dst. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-4 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Penolakan Permohonan Pendaftaran/Penambahan Ruang Lingkup Kegiatan Penilai Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal : 4 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal .......................................... perihal ..................................., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. ....................................................................................................................... 2. ....................................................................................................................... 3. dst. Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-5 SURAT TANDA TERDAFTAR PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Nomor : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada: ........................................................ Nomor Izin: .................. sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Properti) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Properti dan Saudara tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam dan LK dapat meninjau kembali. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 20โ€ฆโ€ฆ Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, : 5 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-6 SURAT TANDA TERDAFTAR PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Nomor : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada: ........................................................ Nomor Izin: .................. sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Usaha) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Usaha dan Saudara tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam dan LK dapat meninjau kembali. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 20โ€ฆโ€ฆ Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, : 6 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-7 SURAT TANDA TERDAFTAR PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Nomor : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada: ........................................................ Nomor Izin: .................. sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Penilai Properti dan Usaha) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004, dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor: VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Surat Tanda Terdaftar ini diberikan kepada Saudara untuk melakukan kegiatan penilaian dalam ruang lingkup Penilaian Properti dan Penilaian Usaha dan Saudara tidak dapat melakukan kegiatan penilaian di luar ruang lingkup yang telah ditetapkan. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam dan LK dapat meninjau kembali. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ 20โ€ฆโ€ฆ Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, : 7 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-8 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Pemberitahuan Sementara STTD Pembekuan : 8 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal .......................................... perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa bahwa Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara dengan Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan tidak berlaku sampai dengan Saudara memberitahukan akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan pada angka 16 huruf d Peraturan Nomor VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: VIII.C.1-9 Nomor : .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Lampiran : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Perihal : Pemberitahuan Kembali STTD Pemberlakuan : 9 Peraturan Nomor : VIII.C.1 โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ , โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 20โ€ฆโ€ฆ.. KEPADA Yth. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal .......................................... perihal ..................................., setelah meneliti surat permohonan Saudara, dengan ini diberitahukan bahwa Saudara telah memenuhi ketentuan pada angka 16 huruf d Peraturan Nomor VIII.C.1 tentang Pendaftaran Penilai yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara dengan Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan berlaku kembali. Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, โ€ฆโ€ฆโ€ฆ............................................. NIP โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Yth: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-372/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 9 Juli 2012 </set_date> <effective_date> 9 Juli 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-42/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-208/BL/2012 TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan industri keuangan syariah saat ini serta untuk mendorong perkembangan industri Pasar Modal syariah di Indonesia, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Kep-180/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Peraturan Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional โ€“ Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: B-370/DSN- MUI/X/2011 tanggal 20 Oktober 2011 perihal Penjelasan DSN-MUI atas penggunaan Total Asset sebagai Pengganti Total Ekuitas dalam Kriteria Rasio Keuangan Saham Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai kriteria dan penerbitan daftar efek syariah diatur dalam Peraturan Nomor II.K.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-180/BL/2009 tanggal 30 Juni 2009 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 24 April 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-208/BL/2012 Tanggal : 24 April 2012 PERATURAN NOMOR II.K.1 : KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH 1. KETENTUAN UMUM Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Daftar Efek Syariah adalah kumpulan Efek yang tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK atau diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. b. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah Pihak yang telah mendapatkan persetujuan dari Bapepam dan LK untuk menerbitkan Daftar Efek Syariah. 2. DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH BAPEPAM DAN LK a. Efek yang dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK meliputi: 1) Efek berupa saham termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan Waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar; syariah 2) Efek berupa saham termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan Waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik yang tidak menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah, sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik tersebut: a) tidak melakukan kegiatan usaha sebagai berikut: (1) perjudian dan permainan yang tergolong judi; (2) perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain: (a) perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa; (b) perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu; (3) jasa keuangan ribawi, antara lain: (a) bank berbasis bunga; (b) perusahaan pembiayaan berbasis bunga; (4) jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional; (5) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan/atau menyediakan antara lain: (a) barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi); (b) barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li- ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-208/BL/2012 Tanggal : 24 April 2012 -2- (c) barang atau jasa yang merusak moral dan/atau bersifat mudarat; (6) melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan b) memenuhi rasio-rasio keuangan sebagai berikut: (1) total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima per seratus); atau (2) total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus); dan 3) Efek Syariah lainnya. b. Daftar Efek Syariah akan diterbitkan secara periodik 2 (dua) kali setiap tahun, yaitu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum berakhirnya bulan Mei dan bulan November. c. Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf b berlaku efektif pada setiap tanggal 1 Juni dan 1 Desember. d. Bapepam dan LK dapat menambahkan dan/atau mengurangkan Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a. 3. DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH a. Efek yang dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah meliputi: 1) saham dan/atau Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang diperdagangkan di bursa efek di luar negeri; dan/atau 2) surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper) yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek. b. Efek berupa saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1) dapat dimuat dalam DES sepanjang: 1) termasuk efek syariah yang ditetapkan oleh regulator dan/atau penyedia indeks di luar negeri yang menggunakan kriteria kegiatan usaha dan rasio keuangan yang paling kurang terdiri dari rasio terkait utang dan/atau utang berbasis bunga dan rasio terkait pendapatan non halal; atau 2) disusun dengan menggunakan kriteria sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a. c. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mencantumkan sumber data atas efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diperdagangkan di bursa efek di luar negeri. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-208/BL/2012 Tanggal : 24 April 2012 -3- 4. PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH a. Pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mengajukan permohonan kepada Bapepam dan LK untuk mendapatkan persetujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Indonesia; 2) memiliki sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah yang berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan; 3) memiliki standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah yang paling kurang meliputi: a) b) prosedur penelaahan, baik periodik maupun insidentil; c) tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah; d) prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah; dan e) prosedur perubahan Daftar Efek Syariah. 4) bersedia menjalani reviu yang dilakukan oleh Bapepam dan LK. b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan dalam rangkap 2 (dua) dengan menggunakan Formulir II.K.1-1 lampiran 1 dan wajib disertai dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) Dokumen yang menyangkut pemohon: a) fotokopi akta pendirian beserta akta perubahannya; b) fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama pemohon; c) daftar sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah beserta daftar riwayat hidupnya; d) dalam hal sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah berasal dari luar pemohon, maka wajib dilengkapi dengan surat penunjukan dari direksi pemohon; e) f) fotokopi dokumen standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah; dan surat pernyataan direksi yang menyatakan bahwa pemohon bersedia menjalani reviu Bapepam dan LK. 2) Dokumen yang menyangkut prosedur dan tata cara penetapan Efek yang masuk dalam Daftar Efek Syariah: a) nama dan jenis Efek yang akan dimuat dalam Daftar Efek Syariah; dan b) dokumen kertas kerja penelaahan Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang wajib memuat kriteria yang digunakan dalam penelaahan termasuk tetapi tidak terbatas pada akad dan skema atau struktur masing-masing Sukuk atau Efek Syariah lainnya yang dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah. prosedur pengumpulan data termasuk mekanisme permintaan informasi tambahan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-208/BL/2012 Tanggal : 24 April 2012 -4- c. Bapepam dan LK dapat meminta tambahan dokumen dan/atau informasi berkaitan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. d. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak memenuhi syarat, maka dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: 1) permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor II.K.1- 2 lampiran 2; atau 2) permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor II.K.1-3 lampiran 3. e. Pihak sebagaimana dimaksud huruf a yang tidak melengkapi kekurangan dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud huruf c angka 1) dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat pemberitahuan Bapepam dan LK, dianggap telah mengundurkan diri. f. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memenuhi persyaratan, maka dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan surat persetujuan kepada pemohon dengan menggunakan Formulir Nomor II.K.1-4 lampiran 4. g. Setiap Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dapat mengumumkan Daftar Efek Syariah yang diterbitkan atau menggunakannya secara terbatas untuk kepentingan Pihak tertentu. h. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah mengumumkan Daftar Efek Syariah kepada masyarakat, maka Pihak tersebut wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK serta wajib mengumumkan setiap perubahan Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya perubahan Daftar Efek Syariah dimaksud. i. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menerbitkan Daftar Efek Syariah secara terbatas untuk kepentingan Pihak tertentu, maka penerbit Daftar Efek Syariah wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK dan memberitahukan kepada Pihak tertentu tersebut atas setiap perubahan Daftar Efek Syariah yang diterbitkan pada hari yang sama dengan terjadinya perubahan tersebut. j. Setiap Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib melaporkan Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya kepada Bapepam dan LK setelah pelaporan terakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau huruf i per tanggal 31 Mei dan 30 November dan disampaikan paling lambat setiap tanggal 5 bulan berikutnya. k. Dalam hal tanggal 5 bulan berikutnya jatuh pada hari libur, maka laporan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. l. Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf k, maka penghitungan jumlah hari keterlambatan tersebut dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan penerbitan Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf j. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-208/BL/2012 Tanggal : 24 April 2012 -5- m. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyimpan seluruh dokumen yang terkait dengan Efek dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya untuk jangka waktu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang dokumen perusahaan. 5. KETENTUAN PENUTUP a. Setiap Pihak yang menerbitkan indeks Efek Syariah atau menyusun daftar portofolio investasi Efek Syariah wajib menggunakan Daftar Efek Syariah yang disusun sesuai dengan ketentuan Peraturan ini. b. Bapepam dan LK berwenang: 1) mencabut persetujuan yang telah diberikan kepada Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah, jika dikemudian hari ditemukan pelanggaran; dan/atau 2) memerintahkan kepada Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah untuk mengeluarkan Efek yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf b dari Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya. c. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini atau Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran ketentuan peraturan ini. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 24 April 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 FORMULIR NOMOR: II.K.1-1 LAMPIRAN: 1 Peraturan Nomor: II.K.1 Nomor Lampiran Perihal : : Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.โ€ฆ.20โ€ฆ : Permohonan Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan di โ€“ .โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Untuk bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut : 1. Nama pemohon 2. Alamat pemohon : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. (Nama Jalan & Nomor) : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. (Kota & Kode Pos) 3. Nomor Telepon, Faksimile, dan Email 4. Nomor dan tanggal pengesahan Anggaran Dasar oleh Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia 5. Nomor Pokok Wajib Pajak : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. Fotokopi akta pendirian beserta akta perubahannya; 2. Fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama pemohon; 3. Daftar sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah beserta daftar riwayat hidupnya; 4. Surat penunjukan dari direksi pemohon kepada sumber daya manusia yang berkompeten di bidang syariah;*) 5. Fotokopi dokumen standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah; 6. Surat pernyataan direksi yang menyatakan bahwa pemohon bersedia menjalani reviu Bapepam dan LK; 7. Nama dan jenis Efek yang akan dimuat dalam Daftar Efek Syariah; dan 8. Dokumen kertas kerja penelaahan Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang memuat kriteria yang digunakan dalam penelaahan termasuk tetapi tidak terbatas pada akad dan skema atau struktur masing-masing Sukuk atau Efek Syariah lainnya yang dimasukkan dalam Daftar Efek Syariah : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Demikianlah permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, materai โ€ฆ..โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. (Nama Lengkap) Catatan: *) Jika sumber daya manusia yang berkompeten berasal dari luar perusahaan pemohon. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: II.K.1-2 Nomor Lampiran Perihal : .../BL/20... : : Perubahan dan atau tambahan informasi atas Permohonan Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Kepada Yth ............................................... di- ...................................................... Setelah diadakan penelaahan atas dokumen yang Saudara sampaikan melalui surat Nomorโ€ฆ.........tanggalโ€ฆโ€ฆโ€ฆ...perihalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ., maka Saudara diminta untuk menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK sebagai berikut: 1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. 2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah: โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Sebelum hal tersebut diatas dipenuhi, permohonan Saudara untuk memperoleh persetujuan belum dapat dipertimbangkan. Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, LAMPIRAN: 2 Peraturan Nomor: II.K.1 Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20โ€ฆ NIP ........................ Tembusan Kepada Yth : 1. Sekretaris Bapepam dan LK; 2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK; dan 3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: II.K.1-3 LAMPIRAN: 3 Peraturan Nomor: II.K.1 Nomor Lampiran Perihal : โ€ฆ../BL/20... : : Penolakan Atas Permohonan Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Kepada Yth ............................................... di- โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Setelah diadakan penelaahan atas dokumen yang Saudara sampaikan melalui surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.tanggalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.perihalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ., maka dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. 2. 3. ................................................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................................................ ................................................................................................................................................................................ Demikian agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20โ€ฆ. NIP........................ Tembusan Kepada Yth : 1. Sekretaris Bapepam dan LK; 2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK; dan 3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: II.K.1-4 LAMPIRAN: 4 Peraturan Nomor: II.K.1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : KEP- .../BL/20.. TENTANG PERSETUJUAN SEBAGAI PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH KEPADA PT........................................................................................ (NPWP :.............................. .) KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Membaca : Surat permohonan memperoleh persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Nomor tanggal serta tambahan kelengkapan dokumen terakhir yang telah disampaikan dengan surat Nomor tanggal Menimbang Memperhatikan : bahwa permohonan Saudara telah memenuhi persyaratan dan atas dasar itu dapat dipertimbangkan untuk diberikan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomorโ€ฆ..; 2. Peraturan Nomor IX.A.13 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- ... ./BL/20... tanggal tentang Penerbitan Efek Syariah; 3. Peraturan Nomor II.K.1 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- .../BL/20.... tanggal .... tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN PERSETUJUAN SEBAGAI PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH KEPADA PTโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Pasal 1 Memberikan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah kepada PT โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ dengan alamat kantor pusatโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Pasal 3 Apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, dapat diadakan perubahan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ NIPโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Sekretaris Bapepam dan LK; 2. Kepala Biro Pengelolaan Investasi, Bapepam dan LK; 3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan, Bapepam dan LK; 4. Asosiasi Manajer Investasi (AMI); 5. Asosiasi Bank Kustodian Indonesia (ABKI); dan 6. Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI).
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH </reg_title> <set_date> 24 April 2012 </set_date> <effective_date> 24 April 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-180/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-263/BL/2011 TENTANG PENAWARAN TENDER SUKARELA KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pelaksanaan penawaran tender yang dilakukan secara sukarela, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor IX.F.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-04/PM/2002 tanggal 3 April 2002 tentang Penawaran Tender dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENAWARAN TENDER SUKARELA. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai penawaran tender sukarela diatur dalam Peraturan Nomor IX.F.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Pernyataan Penawaran Tender Sukarela yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK sebelum ditetapkan Keputusan ini dan belum menjadi efektif, wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.F.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-04/PM/2002 tanggal 3 April 2002 tentang Penawaran Tender dan Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-85/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Pedoman Tentang Bentuk Dan Isi Pernyataan Penawaran Tender, dan Pedoman Tentang Bentuk dan Isi Pernyataan Perusahaan Sasaran dan Pihak Lainnya Sehubungan dengan Penawaran Tender, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Mei 2011. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 PERATURAN NOMOR IX.F.1 : PENAWARAN TENDER SUKARELA 1. KETENTUAN UMUM a. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: 1) Efek Bersifat Ekuitas adalah saham atau Efek yang dapat ditukar dengan saham atau Efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham. 2) Media Massa adalah surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan media elektronik lainnya, atau surat, brosur, dan barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak. 3) Penawaran Tender Sukarela adalah penawaran yang dilakukan secara sukarela oleh Pihak untuk memperoleh Efek Bersifat Ekuitas yang diterbitkan oleh Perusahaan Sasaran dengan cara pembelian atau pertukaran dengan Efek lainnya melalui Media Massa. 4) Pernyataan Penawaran Tender Sukarela adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela. 5) Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. 6) Perusahaan Sasaran adalah Perusahaan yang Efek Bersifat Ekuitasnya merupakan obyek dari Penawaran Tender Sukarela. b. Transaksi dalam rangka Penawaran Tender Sukarela dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar Bursa Efek. Transaksi di luar Bursa Efek adalah transaksi yang dilaksanakan antara pembeli dan penjual secara langsung. 2. PERNYATAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA a. Pihak yang akan melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib menyampaikan Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Bapepam dan LK, serta ditembuskan kepada: 1) Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela dicatatkan; 2) Perusahaan Sasaran; dan 3) Pihak lain yang telah menyampaikan pengumuman Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas dari Perusahaan Sasaran yang sama yang masa penawarannya belum berakhir. b. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib memuat hal-hal sebagai berikut: 1) nama dan alamat Perusahaan Sasaran; DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- 2) uraian lengkap mengenai Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela yang paling sedikit memuat informasi tentang: a) harga Penawaran Tender Sukarela; b) waktu pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela; dan c) tata cara Penawaran Tender Sukarela; 3) persyaratan serta kondisi khusus dari Penawaran Tender Sukarela; 4) nama Bursa Efek dimana Efek Bersifat Ekuitas yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela diperdagangkan; 5) hasil penghitungan harga Efek Bersifat Ekuitas sebagaimana diatur dalam angka 4 huruf a; 6) nama, alamat, dan kewarganegaraan dari Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela, dan keterangan apakah Pihak tersebut: a) pernah dinyatakan pailit; b) pernah menjadi direktur atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; c) pernah dihukum karena melakukan kejahatan di bidang keuangan; atau d) pernah diperintahkan oleh pengadilan atau lembaga yang berwenang untuk menghentikan kegiatan usahanya yang berhubungan dengan Efek; 7) penjelasan tentang hubungan, kontrak, dan transaksi material dengan Perusahaan Sasaran atau Afiliasinya dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir yang dilakukan oleh Pihak yang akan melakukan Penawaran Tender Sukarela, antara lain meliputi: a) kontrak penjualan/pembelian; b) hubungan keagenan; dan c) hubungan kepengurusan; 8) pernyataan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela tentang tersedianya dana yang cukup untuk menyelesaikan Penawaran Tender Sukarela yang didukung dengan pendapat dari Akuntan, bank, atau Perusahaan Efek; 9) pernyataan tentang tujuan Penawaran Tender Sukarela dan setiap rencana atas Perusahaan Sasaran setelah Penawaran Tender Sukarela selesai dilaksanakan, diantaranya rencana untuk mengubah struktur modal, kebijakan dividen, atau mengubah manajemen. 10) penjelasan tentang jumlah dan persentase Efek Perusahaan Sasaran yang dimiliki baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela termasuk opsi untuk membeli : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- atau hak untuk memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa untuk menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Sasaran; 11) daftar nama dan alamat Pihak yang diberi imbalan oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela untuk membuat pembelaan atau rekomendasi sehubungan dengan penawaran tersebut (jika ada); 12) penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang wajib dipenuhi sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela (jika ada); dan 13) informasi tambahan yang diperlukan agar pernyataan dalam Penawaran Tender Sukarela tidak menyesatkan. c. Seluruh informasi yang dimuat dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional, pada tanggal yang bersamaan dengan penyampaian Pernyataan Penawaran Tender Sukarela kepada Bapepam dan LK. Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, informasi tersebut juga dapat diumumkan dalam Media Massa yang lain. d. Penawaran Tender Sukarela tidak dapat dibatalkan setelah pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf c, kecuali memperoleh persetujuan Bapepam dan LK. e. Pernyataan Penawaran Tender Sukarela dapat menjadi efektif dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1) atas dasar lewatnya waktu, yakni: a) 15 (lima belas) hari sejak tanggal Pernyataan Penawaran Tender Sukarela diterima Bapepam dan LK secara lengkap, yaitu telah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan ini; atau b) 15 (lima belas) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang disampaikan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela atau yang diminta Bapepam dan LK dipenuhi; atau 2) atas dasar pernyataan efektif dari Bapepam dan LK bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan. f. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib mengumumkan perbaikan dan/atau tambahan atas Pernyataan Penawaran Tender Sukarela paling lambat satu hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Penawaran Tender Sukarela (jika ada). : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- 3. PERNYATAAN PERUSAHAAN SASARAN DAN PIHAK LAINNYA SEHUBUNGAN DENGAN PENAWARAN TENDER SUKARELA a. Perusahaan Sasaran, Afiliasi dari Perusahaan Sasaran, Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela atas Efek Bersifat Ekuitas yang sama pada waktu yang bersamaan, atau Pihak yang mengungkapkan informasi atau pendapat terhadap suatu Penawaran Tender Sukarela, dapat membuat pernyataan tertulis untuk mendukung atau keberatan atas Penawaran Tender Sukarela tersebut. b. Jika direksi atau komisaris dari Perusahaan Sasaran mengetahui atau mempunyai alasan yang cukup bahwa informasi yang dimuat dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela tidak benar atau menyesatkan, maka Perusahaan Sasaran yang bersangkutan wajib membuat pernyataan tertulis. c. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b wajib diumumkan dalam paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sebelum berakhirnya masa Penawaran Tender Sukarela. d. Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b wajib: 1) menunjukkan dengan jelas hal-hal yang merupakan bantahan dan/atau menjadi keberatan serta alasan-alasannya; 2) mencantumkan dalam pernyataannya tersebut, nama, alamat, dan hubungan dengan Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela; dan 3) mengungkapkan secara jelas kepemilikan atas Efek Bersifat Ekuitas oleh Pihak yang bersangkutan yang menjadi obyek Penawaran Tender Sukarela atau perubahan kepentingan atas Efek Bersifat Ekuitas yang akan terjadi karena adanya Penawaran Tender Sukarela. 4. HARGA EFEK BERSIFAT EKUITAS YANG MENJADI OBYEK PENAWARAN TENDER SUKARELA a. Untuk obyek Penawaran Tender Sukarela berupa saham dan/atau waran, harga Penawaran Tender Sukarela atas saham dan/atau waran kecuali ditentukan lain oleh Bapepam dan LK, harus lebih tinggi dari harga berikut: 1) harga Penawaran Tender Sukarela tertinggi yang diajukan sebelumnya oleh Pihak yang sama dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c; 2) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c, dalam hal Penawaran : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- Tender Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek; 3) harga rata-rata dari harga tertinggi pada perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atas saham dimaksud, dalam hal saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran tidak diperdagangkan di Bursa Efek dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c; atau 4) harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai, dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilakukan atas saham dan/atau waran Perusahaan Sasaran yang tidak tercatat di Bursa Efek. b. Dalam hal obyek Penawaran Tender Sukarela berupa surat utang yang dapat ditukar dengan saham, maka harga Penawaran Tender Sukarela harus lebih tinggi dari harga Efek dimaksud yang telah ditetapkan pada saat penerbitan. c. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan perubahan harga Penawaran Tender Sukarela, sepanjang perubahan harga tersebut tidak lebih rendah dari harga yang telah diumumkan. d. Perubahan harga sebagaimana dimaksud dalam huruf c hanya dapat dilakukan sebelum efektifnya Pernyataan Penawaran Tender Sukarela. 5. PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER SUKARELA a. Masa Penawaran Tender Sukarela wajib dimulai paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela menjadi efektif. b. Masa Penawaran Tender Sukarela adalah paling sedikit 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama menjadi 90 (sembilan puluh) hari, kecuali disetujui lain oleh Ketua Bapepam dan LK. c. Transaksi Penawaran Tender Sukarela wajib diselesaikan paling lambat dalam waktu 12 (dua belas) hari setelah masa penawaran berakhir dengan penyerahan uang atau penyerahan Efek sebagai penukarnya. d. Dalam hal persyaratan atau kondisi khusus yang ditetapkan dalam Penawaran Tender Sukarela tidak dipenuhi, maka Efek yang ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah masa Penawaran Tender berakhir. e. Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dibatalkan, maka Efek yang ditawarkan wajib dikembalikan dalam waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah pembatalan. f. Dalam hal Penawaran Tender Sukarela dilaksanakan melalui penukaran Efek Perusahaan Sasaran dengan Efek lain, maka Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib memberikan pilihan untuk menerima Efek lain tersebut atau uang dalam jumlah sebagaimana diatur dalam angka 4 huruf a atau angka 4 huruf b. : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- g. Dengan memperhatikan batasan masa Penawaran Tender Sukarela yang diatur dalam huruf b, setiap masa perpanjangan Penawaran Tender Sukarela wajib dilaksanakan paling sedikit 15 (lima belas) hari dan diumumkan dalam waktu 2 (dua) hari sebelum masa perpanjangan dimulai. Pengumuman dimaksud wajib dimuat dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu di antaranya berperedaran nasional dan mencantumkan jumlah penawaran Efek yang sudah diterima sampai dengan masa perpanjangan dimulai. h. Dalam hal jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditawarkan untuk dijual atau ditukar melebihi jumlah Efek Bersifat Ekuitas yang ditetapkan dalam Penawaran Tender Sukarela, maka Pihak yang melaksanakan Penawaran Tender Sukarela wajib melakukan penjatahan secara proporsional sebanding dengan partisipasi setiap Pihak yang melakukan penjualan dalam Penawaran Tender Sukarela tersebut dengan memperhatikan satuan perdagangan yang berlaku di Bursa Efek tanpa pecahan. i. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib menunjuk Akuntan untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai kewajaran pelaksanaan penjatahan dan wajib menyampaikan laporannya kepada Bapepam dan LK dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penjatahan berakhir. j. Pihak yang akan menjual Efek Bersifat Ekuitas sehubungan dengan Penawaran Tender Sukarela wajib menyerahkan Efek tersebut kepada Kustodian yang ditunjuk oleh Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan dapat menarik kembali Efek tersebut setiap saat sebelum Penawaran Tender Sukarela berakhir. k. Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam huruf b, perubahan persyaratan Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum Penawaran Tender Sukarela berakhir. Perubahan tersebut wajib diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, salah satu diantaranya berperedaran nasional dan disampaikan kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a pada waktu yang bersamaan dengan pengumuman tersebut. l. Pihak yang melakukan Penawaran Tender dilarang membeli atau menjual Efek Bersifat Ekuitas yang sedang ditawarkan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sebelum penerbitan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela berakhir. m. Formulir Penawaran Tender Sukarela hanya dapat dibagikan setelah Pernyataan Penawaran Tender Sukarela efektif. Formulir Penawaran Tender Sukarela tersebut wajib memuat pernyataan bahwa Pihak yang menawarkan Efek Bersifat Ekuitas telah menerima dan membaca Pernyataan Penawaran Tender Sukarela. n. Dalam masa Penawaran Tender Sukarela, Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat melakukan pengumuman ulang atas : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- Pernyataan Penawaran Tender Sukarela yang diajukan kepada Bapepam dan LK. o. Perusahaan Sasaran dilarang melakukan transaksi yang semata-mata dilaksanakan dengan tujuan menghalangi perubahan pengendalian Perusahaan Sasaran dimaksud sebagai akibat pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela dalam jangka waktu sejak pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c sampai dengan masa Penawaran Tender Sukarela berakhir. p. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dan Afiliasinya wajib merahasiakan rencana Penawaran Tender Sukarela sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c. q. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dilarang menetapkan pembatasan dan persyaratan yang berbeda berdasarkan penggolongan atau kedudukan Pihak yang menjadi pemegang Efek Bersifat Ekuitas, kecuali apabila terdapat perbedaan hak atau manfaat yang melekat pada Efek Bersifat Ekuitas dimaksud. r. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela dapat membuat rencana mengenai kelangsungan atau perubahan manajemen perusahaan dan karyawan setelah Penawaran Tender Sukarela, sepanjang hal tersebut tidak merupakan persyaratan Penawaran Tender Sukarela, dan diungkapkan seluruhnya dalam Pernyataan Penawaran Tender Sukarela. 6. KETENTUAN PENUTUP a. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Sukarela wajib melaporkan hasil dari Penawaran Tender Sukarela tersebut kepada Bapepam dan LK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penyelesaian Penawaran Tender Sukarela berakhir. b. Bukti iklan yang wajib diumumkan di surat kabar sebagaimana diatur dalam Peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat kabar. c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011 DRAFT 11 MARET 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 : Kep-263/BL/2011 : 31 Mei 2011
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-263/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PENAWARAN TENDER SUKARELA </reg_title> <set_date> 31 Mei 2011 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-85/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-04/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 16/BL/2011 TENTANG PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pembinaan Konsultan Hukum yang terdaftar di Bapepam dan LK, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008 dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL. DRAFT KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 โ€“ Pasal 1 Ketentuan mengenai pendaftaran konsultan hukum yang melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Keputusan ini, namun: a. belum menjadi anggota Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal; b. tidak berkedudukan sebagai rekan yang memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum atau tidak memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan Kantor Konsultan Hukum untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum; atau c. menjadi rekan atau bekerja pada Kantor Konsultan Hukum yang belum memiliki dan menerapkan sistem pengendalian mutu dalam melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran Keputusan ini, paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011. Pasal 3 (1) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan yang bersangkutan menjadi anggota Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal. (2) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan yang bersangkutan berkedudukan sebagai rekan yang memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan Kantor Konsultan Hukum untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum. (3) Konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dikenakan sanksi administratif DRAFT KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 โ€“ berupa pembekuan Surat Tanda Terdaftar sampai dengan yang bersangkutan menjadi rekan atau bekerja pada Kantor Konsultan Hukum yang memiliki dan menerapkan sistem pengendalian mutu dalam melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum. Pasal 4 Kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan bagi konsultan hukum yang telah terdaftar di Bapepam dan LK, untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 2011. Pasal 5 (1) Konsultan hukum yang diangkat atau ditetapkan sebagai pejabat negara, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana diatur dalam angka 11 huruf a, huruf b, dan huruf c Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran Keputusan ini sampai dengan berakhirnya jabatan dimaksud. (2) Konsultan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan kembali seluruh kewajiban sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 Lampiran Keputusan ini setelah yang bersangkutan tidak lagi menduduki jabatan sebagai pejabat negara, kecuali kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan. (3) Kewajiban mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada tahun berikutnya setelah yang bersangkutan tidak lagi menduduki jabatan sebagai pejabat negara. Pasal 6 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah pimpinan dan anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan pejabat negara yang ditentukan oleh undang-undang. Pasal 7 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. DRAFT KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 4 โ€“ Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 18 Januari 2011. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 18 Januari 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP. 19541111 198112 1 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 PERATURAN NOMOR VIII.B.1: PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL 1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: a. Konsultan Hukum Pasar Modal adalah konsultan hukum yang telah memperoleh surat tanda terdaftar dari Bapepam dan LK untuk melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. b. Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal yang selanjutnya disebut HKHPM adalah organisasi profesi konsultan hukum yang menjalankan praktek spesialisasi di bidang Pasar Modal. c. Kantor Konsultan Hukum adalah persekutuan perdata atau firma yang menjadi wadah bagi Konsultan Hukum Pasar Modal dalam melakukan kegiatannya. d. Pendidikan Profesi adalah suatu pendidikan dengan muatan materi hukum Pasar Modal dan hukum tentang kegiatan ekonomi yang diselenggarakan oleh HKHPM, pihak lain yang bekerja sama dengan HKHPM, atau pihak yang telah disetujui atau diakui oleh Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Peraturan ini. 2. Konsultan hukum yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam dan LK dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. 3. Persyaratan konsultan hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 2 adalah sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. anggota HKHPM; c. memiliki gelar sarjana dalam pendidikan tinggi hukum (Strata 1); d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; e. memiliki akhlak dan moral yang baik; f. berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Konsultan Hukum yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) dipimpin oleh rekan yang bertanggung jawab atas uji tuntas hukum dan pendapat hukum; 2) dalam melakukan uji tuntas hukum, menerapkan paling sedikit 2 (dua) jenjang pengendalian atau supervisi yaitu konsultan hukum yang bertanggung jawab menandatangani laporan dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; 3) memiliki dan menerapkan sistem pengendalian mutu dalam melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum; dan LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 -2- 4) bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya memiliki satu orang rekan Konsultan Hukum Pasar Modal, untuk dapat melaksanakan kegiatan di Pasar Modal wajib membuat surat perjanjian kerja sama dengan Kantor Konsultan Hukum lain yang memiliki rekan Konsultan Hukum Pasar Modal tentang pengalihan tanggung jawab apabila Konsultan Hukum Pasar Modal yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya; g. memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan untuk mengikatkan diri dengan pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, apabila konsultan hukum tidak berkedudukan sebagai rekan; dan h. memiliki keahlian di bidang Pasar Modal yang dapat dipenuhi melalui Pendidikan Profesi dengan jumlah paling sedikit 30 (tiga puluh) satuan kredit profesi dengan materi yang disusun oleh HKHPM. 4. Permohonan pendaftaran konsultan hukum sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada Bapepam dan LK dalam rangkap 2 (dua) dengan mempergunakan Formulir Nomor VIII.B.1-1. lampiran 1. 5. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 4, disertai dokumen sebagai berikut: a. Dokumen yang menyangkut konsultan hukum: 1) fotocopy kartu keanggotaan dalam HKHPM; 2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama konsultan hukum yang bersangkutan; 3) fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4) pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar; 5) fotocopy ijazah sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum (Strata 1), yang telah dilegalisasi; 6) fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi yang telah dilegalisasi, sebagaimana diatur dalam angka 3 huruf h; 7) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa konsultan hukum tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; 8) surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa konsultan hukum bersedia diperiksa oleh HKHPM atas pemenuhan standar profesi dan kode etik profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang disusun oleh HKHPM; dan 9) surat pernyataan dari rekan atau pimpinan Kantor Konsultan Hukum yang menyatakan bahwa konsultan hukum dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, apabila konsultan hukum yang bersangkutan tidak berkedudukan sebagai rekan. LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 -3- b. Dokumen yang menyangkut Kantor Konsultan Hukum: 1) fotocopy akta pendirian Kantor Konsultan Hukum beserta perubahannya; 2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Kantor Konsultan Hukum; 3) surat perjanjian kerja sama Kantor Konsultan Hukum dimana konsultan hukum menjadi rekan dengan Kantor Konsultan Hukum lain yang memiliki Konsultan Hukum Pasar Modal tentang pengalihan tanggung jawab apabila konsultan hukum yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya memiliki satu orang rekan Konsultan Hukum Pasar Modal; 4) bagan organisasi Kantor Konsultan Hukum yang menunjukkan pimpinan, susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana; 5) surat keterangan domisili Kantor Konsultan Hukum dari instansi yang berwenang; 6) dokumen sistem pengendalian mutu dalam melaksanakan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum; dan 7) surat pernyataan dengan materai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Konsultan Hukum yang menyatakan bahwa Kantor Konsultan Hukum akan melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Pasar Modal dan peraturan lain yang berlaku. 6. Dalam rangka pendaftaran konsultan hukum yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, apabila diperlukan, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen tambahan untuk mendukung pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 5. 7. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 tidak memenuhi syarat, maka Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.B.1-2 lampiran 2; atau b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.B.1-3 lampiran 3. 8. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dan/atau tidak diterima Bapepam dan LK dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran konsultan hukum yang sudah diajukan dan pemohon dapat mengajukan permohonan baru. 9. Dokumen yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK menjadi milik Bapepam dan LK. LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 -4- 10. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) kepada pemohon dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.B. 1-4 lampiran 4. 11. Konsultan Hukum Pasar Modal, wajib: a. mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan dengan jumlah paling sedikit 5 (lima) satuan kredit profesi setiap tahun; b. melaporkan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Bapepam dan LK disertai bukti pendukung, secara berkala paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya; Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja pertama berikutnya; c. melaporkan kepada Bapepam dan LK setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari Konsultan Hukum Pasar Modal dan/atau Kantor Konsultan Hukum termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi sebagaimana diatur dalam angka 5 paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah terjadinya perubahan tersebut disertai dengan dokumen pendukung; d. melakukan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum sesuai dengan standar profesi HKHPM atau standar uji tuntas hukum dan standar pendapat hukum lainnya yang lazim berlaku, sepanjang tidak diatur dalam standar profesi yang disusun oleh HKHPM; e. menaati kode etik profesi yang disusun oleh HKHPM; dan f. bersikap independen, obyektif, dan profesional dalam menjalankan tugasnya. 12. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a mulai berlaku untuk tahun berikutnya sejak Konsultan Hukum Pasar Modal memperoleh STTD dari Bapepam dan LK. 13. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak melaporkan keikutsertaannya dalam Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a dalam jangka waktu paling lama satu tahun setelah berakhirnya jangka waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf b, maka Konsultan Hukum Pasar Modal dianggap tidak mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan. 14. Apabila dalam jangka waktu satu tahun Pendidikan Profesi dan/atau Pendidikan Profesi lanjutan tidak terselenggarakan, maka Bapepam dan LK dapat menetapkan ketentuan lain. 15. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal bermaksud untuk tidak menjalankan kegiatan di bidang Pasar Modal dalam jangka waktu paling sedikit satu tahun, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 -5- a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK untuk tidak menjalankan kegiatan di bidang Pasar Modal dengan menyebutkan jangka waktunya; b. STTD atas nama Konsultan Hukum Pasar Modal bersangkutan akan dinyatakan tidak berlaku untuk sementara oleh Bapepam dan LK dengan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon menggunakan Formulir Nomor VIII.B. 1-5 lampiran 5; c. Konsultan Hukum Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak diwajibkan mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a; d. Kewajiban Pendidikan Profesi lanjutan terhadap Konsultan Hukum Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan pada tahun berikutnya setelah Konsultan Hukum Pasar Modal dimaksud menjalankan kembali kegiatan di bidang Pasar Modal; e. Apabila Konsultan Hukum Pasar Modal dimaksud akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal, maka Konsultan Hukum Pasar Modal wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK; f. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembaliSTTD dengan memberikan surat pemberitahuan kepada Konsultan Hukum Pasar Modal yang bersangkutan menggunakan Formulir Nomor VIII.B. 1-6 lampiran 6. 16. Konsultan Hukum Pasar Modal yang tidak mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi denda yang dihitung dari tanggal kewajiban penyampaian laporan sampai dengan tanggal dipenuhinya kewajiban penyampaian laporan keikutsertaan Pendidikan Profesi lanjutan oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK; 17. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak mengikuti Pendidikan Profesi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a selama 2 (dua) tahun berturut-turut atau 3 (tiga) kali dalam waktu 5 (lima) tahun, maka Konsultan Hukum Pasar Modal dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan STTD. 18. Konsultan Hukum Pasar Modal yang tidak lagi berkedudukan sebagai rekan atau tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, tidak dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. 19. Dalam hal Konsultan Hukum Pasar Modal tidak lagi berkedudukan sebagai rekan atau tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum dalam jangka waktu paling sedikit satu tahun, maka STTD Konsultan Hukum Pasar Modal yang bersangkutan dapat dibekukan sampai dengan yang bersangkutan berkedudukan sebagai rekan yang memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh para rekan Kantor Konsultan Hukum untuk mengikatkan diri dengan Pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum. LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-16/BL/2011 Tanggal : 18 Januari 2011 -6- 20. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 18 Januari 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP. 19541111 198112 1 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 1 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-1 Nomor : Lampiran : Perihal : Pendaftaran Konsultan Hukum Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Yth. ..............., ...........................20.... KEPADA Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan di - Jakarta Dengan ini kami mengajukan permohonan Pendaftaran Konsultan Hukum sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut: 1. Nama pemohon : ........................................................................ 2. Alamat pemohon : ........................................................................ : ........................................................................ : (Nama Jalan & Nomor) ................................... - (Kota & Kode Pos) 3. Nomor telepon 6. Alamat Kantor : ........................................................................ 4. Nomor Pokok Wajib Pajak: . . . - 5. Nama Kantor : ........................................................................ : ........................................................................ : ........................................................................ : (Nama Jalan & Nomor) ................................... - (Kota & Kode Pos) 7. Nomor Pokok Wajib Pajak Kantor Konsultan Hukum : . . . - 8. Nomor telepon & Fax. : ........................................................................ 9. Nama Pimpinan Kantor : ........................................................................ Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. Dokumen Pemohon a. Fotocopy kartu keanggotaan dalam HKHPM; b. Fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama konsultan hukum yang bersangkutan; c. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN d. Pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna sejumlah satu lembar; e. Fotocopy ijazah sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum (Strata 1), yang telah dilegalisasi; f. Fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi yang telah dilegalisasi; g. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa konsultan hukum tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; h. Surat pernyataan dengan materai cukup yang menyatakan bahwa konsultan hukum bersedia diperiksa oleh HKHPM atas pemenuhan standar profesi dan kode etik profesi Konsultan Hukum Pasar Modal yang disusun oleh HKHPM; dan i. Surat pernyataan dari rekan atau pimpinan Kantor Konsultan Hukum yang menyatakan bahwa konsultan hukum dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga atas nama Kantor Konsultan Hukum, apabila konsultan hukum yang bersangkutan tidak berkedudukan sebagai rekan. 2. Dokumen Kantor Konsultan Hukum Pemohon a. Fotocopy akta pendirian Kantor Konsultan Hukum beserta perubahannya; b. Fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Kantor Konsultan Hukum; c. Surat perjanjian kerja sama Kantor Konsultan Hukum dimana konsultan hukum menjadi rekan dengan Kantor Konsultan Hukum lain yang memiliki Konsultan Hukum Pasar Modal tentang pengalihan tanggung jawab apabila konsultan hukum yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, bagi Kantor Konsultan Hukum yang hanya memiliki satu orang rekan Konsultan Hukum Pasar Modal; d. Bagan organisasi Kantor Konsultan Hukum yang menunjukkan pimpinan, susunan rekan, pengawas menengah, dan staf pelaksana; e. Surat keterangan domisili Kantor Konsultan Hukum dari instansi yang berwenang; f. Dokumen sistem pengendalian mutu dalam melaksanakan uji tuntas hukum dan memberikan pendapat hukum; dan g. Surat pernyataan dengan materai cukup yang ditandatangani oleh pimpinan rekan Kantor Konsultan Hukum yang menyatakan bahwa Kantor Konsultan Hukum akan melaksanakan kegiatan sesuai dengan peraturan perundang- undangan di Pasar Modal dan peraturan lain yang berlaku. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 3. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar Pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini. Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih. Pemohon, materai .............................................. (Nama Lengkap dan Jabatan) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 1 Formulir Nomor : VIII.B.1-1 DAFTAR PERTANYAAN PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon. 2. Berilah tanda ๏€ณ dalam kotak di depan kata โ€œyaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda ๏€ณ dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œtidakโ€. Untuk setiap jawaban "Ya", Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam lembaran terpisah yang antara lain memuat: a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil; c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. Tindakan dan sanksi yang diambil. Jawablah pertanyaan berikut ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ? ya tidak b. atau kejahatan lain? ya 2. Apakah pengadilan: a. pernah menyatakan Pemohon pailit? ya tidak b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? ya tidak c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ya tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai ? ya tidak tidak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal? ya tidak c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ya tidak d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara, membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ? ya tidak 4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak fair atau tidak etis? ya tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang investasi dan peraturan perundang-undangan lainnya? ya tidak c. menyatakan Pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ya tidak d. memerintahkan untuk melarang Pemohon dalam hubungannya dengan kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir? ya tidak e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon ? ya tidak 5. Apakah Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? ya tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa Efek ? ya tidak 6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam hubungannya dengan investasi atau profesinya ? ya tidak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan? ya tidak 8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh keputusan dari Pengadilan? ya tidak ......................, ..............................., 20.. Pemohon materai .............................................. (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 2 Formulir Nomor : VIII.B.1-1 DAFTAR A Penjelasan atas semua pertanyaan "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.B.1-1 Nomor Pertanyaan Penjelasan Catatan: Lampiran 1 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat jawaban โ€Yaโ€ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.B.1-1. ........................., ...............................20.. Pemohon materai .............................................. (Nama Lengkap) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 2 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-2 Nomor : Lampiran : Perihal : Pemberitahuan Kekurangan Data Pendaftaran Konsultan Hukum sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Yth. Jakarta,.............................. 20........ KEPADA ........................................................... di - ............................. .......................................... perihal Menunjuk surat Saudara Nomor : ...................... tanggal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. ....................................................................................................................... 2. ....................................................................................................................... 3. ....................................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. ....................... Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; 3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan 4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil. 1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 3 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-3 Nomor Lampiran Perihal : S- /BL/20... : --- : Penolakan Permohonan Pendaftaran Konsultan Hukum Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Yth. Jakarta,.............................. 20โ€ฆ..... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. ....................................................................................................................... 2. ....................................................................................................................... 3. ....................................................................................................................... Demikianlah agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. ....................... Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; 3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan 4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil. 1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 4 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-4 SURAT TANDA TERDAFTAR PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Nomor : ..................... Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada .......................... sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap surat ini, maka Ketua Bapepam dan LK dapat meninjau kembali. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, .................................... NIP. ................... Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; 3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan 4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil. 1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 5 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-5 Nomor : S- Lampiran : --- Perihal /BL/20... : Pemberitahuan Pembekuan Sementara STTD. Yth. Jakarta, ........................... 20 โ€ฆ.... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara, Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan tidak berlaku sampai dengan Saudara memberitahukan akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. ..................... Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; 3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan 4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil. 1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 6 Peraturan Nomor : VIII.B.1 FORMULIR NOMOR : VIII.B.1-6 Nomor Lampiran Perihal : S- : --- /BL/20... : Pemberitahuan Pemberlakuan kembali STTD. Yth. Jakarta, ........................... 20 โ€ฆ... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa sesuai ketentuan dalam Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara, Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan berlaku kembali. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. .................. Tembusan: 1. Sekretaris Badan; dan 2. Kepala Biro Perundang-undangan dan Bantuan Hukum; 3. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa; dan 4. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Riil. 1 s.d 4 di Lingkungan Bapepam dan LK.
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-16/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN KONSULTAN HUKUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 18 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 18 Januari 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-261/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 3' </penalty_list>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 262/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka untuk memberikan fleksibilitas bagi Manajer Investasi dalam melakukan pengelolaan Reksa Dana dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana Indeks, sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; 5. Peraturan Nomor IX.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-52/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 6. Peraturan Nomor IV.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-13/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - 7. Peraturan Nomor IV.A.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-14/PM/2002 tanggal 14 Agustus 2002 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; 8. Peraturan Nomor IV.C.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana Indeks; 9. Peraturan Nomor IX.C.5, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; 10. Peraturan Nomor IV.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana Indeks diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Terhadap Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang belum melakukan investasi pada Efek derivatif, namun dalam Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektusnya telah diatur mengenai Efek derivatif sebagai Portofolio Reksa Dana tersebut, tetap dapat berinvestasi pada Efek derivatif tanpa harus mengubah Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus Reksa Dana tersebut. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - Pasal 3 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-429/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, Dan Reksa Dana Indeks, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 PERATURAN NOMOR IV.C.4 : PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS 1. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks adalah Reksa Dana selain dari yang disebutkan dalam Peraturan Nomor IV.C.3 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka. 2. Ketentuan pada: a. angka 14 huruf b, angka 14 huruf c, angka 14 huruf d, angka 14 huruf e, dan angka 14 huruf f Peraturan Nomor IV.A.3 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; b. angka 12 huruf b, angka 12 huruf c, angka 12 huruf d, angka 12 huruf e, dan angka 12 huruf f Peraturan Nomor IV.A.4 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; c. angka 14, angka 16 huruf b, angka 16 huruf c, angka 16 huruf d, dan angka 16 huruf f Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, tidak berlaku bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks. 3. Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.4 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. 4. Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi dan Reksa Dana Dengan Penjaminan bersifat terbatas baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan, sedangkan Reksa Dana Indeks dapat bersifat terus menerus atau terbatas baik dalam masa penawaran maupun jumlah saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan. 5. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks wajib mencantumkan nama yang mencerminkan jenis Reksa Dana tersebut. 6. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Terproteksi sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka: a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 1) Mekanisme proteksi yang paling kurang memuat: a) jumlah investasi yang terproteksi yang paling kurang sama dengan jumlah investasi awal; b) jangka waktu proteksi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -2- c) persentase investasi pada Efek Bersifat Utang yang digunakan sebagai basis proteksi; d) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu proteksi (jika ada); e) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya proteksi; f) hal-hal yang membuat pemegang saham atau Unit Penyertaan kehilangan hak atas proteksi; dan g) risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan. 2) Kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Manajer Investasi wajib menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terproteksi yang akan diinvestasikan pada Efek bersifat utang, instrumen pasar uang dan Efek lain; b) Manajer Investasi wajib membentuk Portofolio Efek sebagai basis proteksi dengan melakukan investasi pada Efek bersifat utang termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam kategori layak investasi (investment grade), sehingga nilai Efek bersifat utang pada saat jatuh tempo paling kurang dapat menutupi jumlah nilai yang diproteksi; c) Kebijakan investasi sebagaimana dimaksud pada butir b) tidak berlaku sepanjang Manajer Investasi melakukan investasi pada Surat Berharga Negara; d) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi dengan ketentuan sebagai berikut: (1) paling kurang 70% (tujuh puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: (a) portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan dan /atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; dan/atau (b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: (i) Pemerintah Republik Indonesia; (ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal; (iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada butir (ii), dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -3- (iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (2) paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas internet. e) Manajer Investasi dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan Reksa Dana memiliki Efek yang diterbitkan oleh pihak terafiliasinya sebagai basis proteksi, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Pelaksanaan ketentuan tersebut wajib memperhatikan ketentuan pada angka 14 huruf h Peraturan Nomor IV.A.3 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, angka 12 huruf h Peraturan Nomor IV.A.4 tentang Pedoman Kontrak Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan angka 16 huruf h Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; f) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio Efek sebagaimana ketentuan butir b), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan kembali dari pemegang saham atau Unit Penyertaan atau penurunan peringkat Efek; g) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi underlying dari derivatif tersebut dengan memperhatikan ketentuan bahwa investasi dalam Efek bersifat utang tetap menjadi basis nilai proteksi; h) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang merupakan turunan dari Efek (derivatif), maka Manajer Investasi wajib menambahkan keterbukaan informasi mengenai investasi pada Efek tersebut, antara lain: (1) jenis Efek derivatif; (2) jatuh tempo (jika ada); (3) Efek yang mendasari (underlying asset); (4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi); (5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek derivatif (counterparty); (6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; dan (7) risiko Efek derivatif. i) Manajer Investasi wajib menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan/ atau instrumen pasar uang. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -4- 3) Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan; 4) Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan; dan 5) Reksa Dana Terproteksi wajib mengumumkan dan melaporkan Nilai Aktiva Bersih paling kurang satu kali dalam 1 (satu) bulan. b. Manajer Investasi wajib memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Terproteksi tersebut ataupun indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil tersebut termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi; 2) menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan 3) menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Terproteksi sehubungan dengan asumsi dan kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang paling kurang memuat: a) risiko pasar; b) risiko tingkat suku bunga; c) risiko kredit; d) risiko nilai tukar mata uang; e) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek yang menjadi basis proteksi; dan f) risiko likuiditas bagi pemegang saham atau pemegang Unit Penyertaan. c. Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK sebagai bagian dari dokumen Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.4 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Perseroan atau Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk KIK. 7. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Dengan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka: a. Manajer Investasi wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK salinan Kontrak Penjaminan yang dibuat secara notariil antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan pihak yang memberikan penjaminan (penjamin/guarantor) yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 1) jumlah investasi yang dijamin, paling kurang sama dengan jumlah investasi awal; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -5- 2) jangka waktu penjaminan; 3) pelunasan lebih awal sebelum jangka waktu penjaminan (jika ada); 4) ruang lingkup dan persyaratan bagi berlakunya penjaminan; 5) hal-hal yang membuat Reksa Dana kehilangan hak atas penjaminan; 6) syarat-syarat dan pihak-pihak yang dapat menghentikan penjaminan; 7) risiko yang ditanggung oleh Reksa Dana; 8) keadaan darurat; dan 9) hal-hal yang dimuat dalam perjanjian ini tidak boleh mengakibatkan atau menghilangkan tanggung jawab para pihak sesuai ketentuan yang berlaku. b. Manajer Investasi wajib menunjuk lembaga yang dapat melakukan kegiatan penjaminan dan mempunyai izin usaha dari instansi yang berwenang sebagai penjamin/guarantor. c. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus yang paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 1) penjelasan mengenai penjaminan sebagaimana terdapat pada angka 7 huruf a; 2) penjelasan mengenai penjamin/guarantor, yang paling kurang memuat: a) izin usaha; dan b) profil ringkas tentang penjamin/guarantor. 3) kebijakan investasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Manajer Investasi wajib melakukan investasi pada Efek bersifat utang termasuk Efek Beragun Aset Arus Kas Tetap yang masuk dalam kategori layak investasi (investment grade) paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih; b) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio Efek Reksa Dana dengan ketentuan sebagai berikut: (1) paling kurang 70% (tujuh puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: (a) portofolio Efek yang diterbitkan, ditawarkan dan /atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; dan/atau (b) Efek bersifat utang yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: (i) Pemerintah Republik Indonesia; (ii) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -6- dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. (iii) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada butir (ii), dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun dana dari luar negeri bagi kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau (iv) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (2) paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau fasilitas internet. c) Manajer Investasi dilarang mengubah portofolio Efek sebagaimana ketentuan butir a), kecuali dalam rangka pemenuhan penjualan kembali dari pemegang saham atau Unit Penyertaan atau penurunan peringkat Efek; d) Manajer Investasi dapat melakukan investasi pada Efek derivatif tanpa harus terlebih dahulu memiliki Efek yang menjadi underlying dari derivatif tersebut; e) Dalam hal Manajer Investasi melakukan investasi pada Efek yang merupakan turunan dari Efek (derivatif), maka Manajer Investasi wajib menambahkan keterbukaan informasi mengenai investasi pada Efek tersebut, antara lain: (1) jenis Efek derivatif; (2) jatuh tempo (jika ada); (3) Efek yang mendasari (underlying asset); (4) harga perolehan atas Efek derivatif tersebut (premi); (5) Pihak yang memiliki kewajiban pemenuhan manfaat atas Efek derivatif (counterparty); (6) penghitungan nilai kas saat jatuh tempo; dan (7) risiko Efek derivatif; f) Manajer Investasi wajib menjelaskan persentase dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Dengan Penjaminan yang akan diinvestasikan pada Efek dan instrumen pasar uang; dan g) Manajer Investasi wajib menjelaskan kriteria pemilihan Efek dan atau instrumen pasar uang. 4) Jangka waktu Penawaran Umum saham atau Unit Penyertaan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -7- 5) Jumlah minimum dan maksimum saham atau Unit Penyertaan yang ditawarkan; dan 6) Reksa Dana Dengan Penjaminan wajib mengumumkan dan melaporkan Nilai Aktiva Bersih paling kurang satu kali dalam satu bulan. d. Manajer Investasi wajib memberikan gambaran dalam Prospektus dan/atau dokumen keterbukaan mengenai kinerja Reksa Dana Dengan Penjaminan tersebut ataupun indikasi hasil yang akan diterima oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan di masa datang, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) menjelaskan secara lengkap kalkulasi kinerja atau indikasi hasil tersebut termasuk semua kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi; 2) menjelaskan asumsi yang menjadi latar belakang kalkulasi dan kemungkinan tersebut; dan 3) menjelaskan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham atau Unit Penyertaan Reksa Dana Dengan Penjaminan sehubungan dengan asumsi dan kalkulasi kinerja dan indikasi hasil tersebut yang paling kurang memuat: a) risiko pasar; b) risiko derivatif; c) risiko tingkat suku bunga; d) risiko kredit; e) risiko nilai tukar mata uang; f) risiko industri yang mencerminkan sebagian besar Portofolio Efek; dan g) risiko likuiditas bagi pemegang saham atau pemegang Unit Penyertaan. e. Dokumen keterbukaan sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK sebagai bagian dari dokumen pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.5 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk KIK. 8. Dalam hal Manajer Investasi bermaksud menerbitkan Reksa Dana Indeks sebagaimana dimaksud pada angka 1, maka: a. Manajer Investasi wajib memberikan keterangan tambahan dalam Prospektus mengenai ketentuan investasi sebagai berikut: 1) paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana tersebut wajib diinvestasikan pada Efek yang merupakan bagian dari kumpulan Efek yang ada dalam indeks tersebut; 2) investasi pada Efek yang ada dalam indeks sebagaimana dimaksud pada butir 1) wajib berjumlah paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dari keseluruhan Efek yang ada dalam indeks tersebut; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 262/BL/2011 Tanggal : 31 Mei 2011 -8- 3) pembobotan atas masing-masing Efek dalam Reksa Dana Indeks tersebut paling kurang 80% (delapan puluh per seratus) dan paling banyak 120% (seratus dua puluh per seratus) dari pembobotan atas masing-masing Efek dalam indeks yang menjadi acuan; dan 4) tingkat penyimpangan (tracking error) dari kinerja Reksa Dana Indeks terhadap kinerja indeks yang menjadi acuan. b. Reksa Dana Indeks wajib melaporkan Nilai Aktiva Bersih sesuai dengan Peraturan Nomor X.D.1 tentang Pelaporan Reksa Dana. c. Manajer Investasi wajib menginformasikan bahwa indeks Efek tersebut tersedia di media massa atau dapat diakses melalui fasilitas internet. d. Bapepam dan LK berwenang menolak indeks Efek yang akan dijadikan tujuan investasi tersebut dengan menyampaikan alasan penolakan. 9. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-262/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA TERPROTEKSI, REKSA DANA DENGAN PENJAMINAN, DAN REKSA DANA INDEKS </reg_title> <set_date> 31 Mei 2011 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-429/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007' </replaced_reg> <related_reg> 'KEP-429/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.4', '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5', 'KEP-14/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.4', 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.1', '12/PP/2004', '46/PP/1995', 'KEP-52/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.4', '8/UU/1995', 'KEP-13/PM/2002|KEPTA-BAPEPAM/2002 | Lampiran Peraturan Nomor IV.A.3' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-181/BL/2009 TENTANG PENERBITAN EFEK SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penerbitan Efek Syariah serta pengelolaan Reksa Dana Syariah dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep- 130/BL/2006 tanggal 3 Nopember 2006, dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006. Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional โ€“ Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: B-194/DSN-MUI/VI/2009 tanggal 25 Juni 2009 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan Bapepam dan LK; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN EFEK SYARIAH. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Penerbitan Efek Syariah diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.13 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 130/BL/2006 tanggal 23 Nopember 2006 tentang Penerbitan Efek Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Juni 2009. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 30 Juni 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 PERATURAN NOMOR IX.A.13: PENERBITAN EFEK SYARIAH 1. KETENTUAN UMUM a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1) Akad Syariah adalah perjanjian/kontrak yang sesuai dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Nomor IX.A.14 dan/atau akad lainnya yang tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 2) Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan di bidang Pasar Modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan ini dan/atau Peraturan Bapepam dan LK yang didasarkan pada fatwa DSN-MUI. 3) Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang akad, cara, dan kegiatan usaha yang menjadi landasan penerbitannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 4) Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 5) Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif, yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 6) Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah yang portofolionya terdiri dari aset keuangan yang tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 7) Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyuโ€™/undivided share)) atas: a) b) c) aset berwujud tertentu (aโ€™yan maujudat); nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul aโ€™yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; d) aset proyek tertentu (maujudat masyruโ€™ muโ€™ayyan); dan/atau e) kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah). LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -2- b. Kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah antara lain: 1) perjudian dan permainan yang tergolong judi; 2) perdagangan yang dilarang menurut syariah, antara lain: a) perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa; dan b) perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu; 3) jasa keuangan ribawi, antara lain: a) bank berbasis bunga; dan b) perusahaan pembiayaan berbasis bunga; 4) jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional; 5) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan dan/atau menyediakan antara lain: a) barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi); b) barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau c) barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. 6) melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); c. Setiap Pihak yang melakukan penerbitan Efek Syariah dan menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah wajib memenuhi: 1) Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, Peraturan ini, dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang ditawarkan; 2) kepatuhan terhadap Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang diterbitkan. d. Efek Syariah tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal apabila kegiatan usaha, cara pengelolaan, kekayaan Reksa Dana, dan/atau kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dari Pihak yang menerbitkan Efek tersebut bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang diterbitkan. e. Pihak yang menerbitkan Efek Syariah dan menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal wajib menyatakan bahwa: 1) kegiatan usaha serta cara pengelolaan usaha Pihak yang melakukan Penawaran Umum dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -3- 2) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan perusahaan Pihak yang melakukan Penawaran Umum tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; 3) untuk Emiten dan Perusahaan Publik, wajib memiliki anggota direksi dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan 4) untuk Reksa Dana Syariah dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah, wajib memiliki Wakil Manajer Investasi dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank Kustodian yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 2. PENERBITAN ATAU PENDAFTARAN EFEK SYARIAH BERUPA SAHAM Penerbitan atau pendaftaran Efek Syariah berupa saham yang dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik yang menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pernyataan Pendaftaran dari Emiten atau Perusahaan Publik wajib: 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 atau Peraturan Nomor IX.B.1, serta ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan 2) mengungkapkan informasi tambahan dalam Prospektus bahwa: a) dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; b) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan c) Emiten atau Perusahaan Publik memiliki anggota direksi dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. b. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah berupa saham hanya dapat mengubah anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan cara pengelolaan usahanya menjadi tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal hanya jika: 1) terdapat usulan dari pemegang saham yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; dan 2) usulan tersebut telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -4- c. Pengumuman dan pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.J.1. d. Pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib memuat informasi: 1) bahwa usulan Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengubah anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan dan cara pengelolaan usahanya menjadi tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal berasal dari pemegang saham; 2) 3) 4) 5) penjelasan, pertimbangan dan alasan dilakukannya perubahan anggaran dasar yang terkait dengan kegiatan usaha dan cara pengelolaan perusahaan; rencana kegiatan dan pengelolaan usaha setelah Emiten tidak memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; cara penyelesaian terhadap pemegang saham yang tidak setuju atas perubahan tersebut; dan penjelasan bahwa keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang perubahan anggaran dasar hanya berlaku efektif setelah memperoleh persetujuan pemegang saham dan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. e. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib dikirimkan dengan surat tercatat atau faksimili ke alamat pemegang saham disamping melalui surat kabar. f. Korum dan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud dalam huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai perubahan anggaran dasar Perseroan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.J.1 dengan persyaratan bahwa pemegang saham yang mengusulkan perubahan anggaran dasar serta afiliasinya tidak dapat diperhitungkan dalam korum kehadiran. g. Emiten atau Perusahaan Publik yang mengubah anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib menyelesaikan hak-hak pemegang saham yang tidak menyetujui perubahan anggaran dasar dimaksud dengan cara menjamin pembelian saham pemegang saham tersebut pada harga wajar dengan ketentuan sebagai berikut: 1) dalam hal sahamnya tidak tercatat di Bursa Efek, maka harga pelaksanaan pembelian paling kurang sama dengan harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai independen; 2) dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek namun selama 90 (sembilan puluh) hari tidak diperdagangkan atau dihentikan sementara perdagangannya, maka harga pelaksanaan pembelian paling kurang sebesar harga tertinggi dalam waktu 12 (dua belas) bulan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -5- terakhir sebelum hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya; atau 3) dalam hal sahamnya tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pelaksanaan pembelian paling kurang sebesar harga tertinggi dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari terakhir sebelum pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam huruf c. 3. PENERBITAN SUKUK a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Emiten yang melakukan Penawaran Umum Sukuk wajib: 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; 2) menyampaikan kepada Bapepam dan LK, antara lain: a) b) surat pernyataan yang menyatakan bahwa: (1) kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b; dan (2) selama periode Sukuk kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak akan bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b. c) surat pernyataan dari Wali Amanat Sukuk yang menyatakan bahwa Wali Amanat Sukuk mempunyai pejabat penanggung jawab dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; d) surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan Emiten untuk menyampaikan hasil pemeringkatan tahunan terbaru kepada Bapepam dan LK, Wali Amanat Sukuk dan Bursa Efek tempat Sukuk dicatatkan serta mengumumkan hasil pemeringkatan dimaksud paling kurang dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah berakhirnya masa berlaku hasil pemeringkatan tahunan terakhir; e) surat pernyataan yang menyatakan kesanggupan Emiten untuk menyampaikan hasil pemeringkatan terbaru, pernyataan atau pendapat dari perusahaan pemeringkat efek (termasuk pencabutan/pembatalan peringkat) akibat terdapatnya fakta material atau kejadian penting yang dapat mempengaruhi kemampuan Emiten untuk memenuhi kewajibannya dan mempengaruhi risiko yang dihadapi pemegang Sukuk, kepada hasil pemeringkatan dan kontrak perwaliamanatan Sukuk serta Akad Syariah yang terkait dengan penerbitan Sukuk dimaksud; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -6- Bapepam dan LK, Wali Amanat Sukuk dan Bursa Efek dimana sukuk tersebut dicatatkan, paling kurang dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya hasil pemeringkatan baru, pernyataan, atau pendapat dimaksud; dan 3) mengungkapkan informasi dalam Prospektus paling kurang meliputi: a) kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b, dan Emiten menjamin bahwa selama periode Sukuk kegiatan usaha yang mendasari penerbitan Sukuk tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b; b) Wali Amanat Sukuk mempunyai pejabat penanggungjawab dan/atau tenaga ahli di bidang perwaliamanatan dalam penerbitan Sukuk yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; c) jenis Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan Sukuk, yang disertai dengan penjelasan tentang skema transaksi syariah; d) ringkasan Akad Syariah atau perjanjian berdasarkan syariah yang dilakukan oleh para Pihak; e) f) g) sumber pendapatan yang menjadi dasar penghitungan pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); dan h) hasil pemeringkatan Sukuk. b. Kontrak perwaliamanatan penerbitan Sukuk wajib paling kurang memuat: 1) uraian tentang Akad Syariah yang mendasari diterbitkannya Sukuk; 2) penggunaan dana hasil penerbitan Sukuk sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; 3) sumber dana yang digunakan untuk melakukan pembayaran imbal hasil sesuai dengan karakteristik Akad Syariah; 4) besaran nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); 5) rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); 6) kewajiban Wali Amanat Sukuk untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan dalam rangka memastikan kepatuhan Emiten terhadap Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -7- 7) tindakan yang harus dilakukan dalam hal Emiten akan mengubah jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan usaha dan/atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk; 8) perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan usaha dan/atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk wajib terlebih dahulu disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUP Sukuk); 9) mekanisme pemenuhan hak pemegang Sukuk yang tidak setuju terhadap perubahan dimaksud; 10) ketentuan yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan angka 7), angka 8) dan angka 9) di atas dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Emiten gagal dalam memenuhi kewajibannya; dan 11) mekanisme penanganan dalam hal terjadi kegagalan dalam memenuhi kewajiban. c. Dalam hal terjadi perubahan jenis Akad Syariah, isi Akad Syariah, kegiatan usaha dan/atau aset tertentu yang mendasari penerbitan Sukuk sehingga bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, maka Sukuk tersebut menjadi batal demi hukum dan Emiten wajib menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada pemegang Sukuk. d. Emiten dan Wali Amanat Sukuk wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam kontrak perwaliamanatan. e. Emiten wajib menggunakan dana hasil Penawaran Umum Sukuk untuk membiayai kegiatan atau investasi yang tidak bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal. f. Emiten wajib menyampaikan laporan kepada Bapepam dan LK dan mengumumkan kepada masyarakat melalui Bursa Efek paling lambat satu hari kerja setelah terpenuhinya kondisi sebagai berikut: 1) seluruh dana hasil Penawaran Umum Sukuk telah diterima oleh Emiten; dan/atau 2) dana yang diterima sudah mulai digunakan sesuai dengan tujuan penerbitan Sukuk. g. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f butir 1) telah terpenuhi, maka perdagangan Sukuk selain Sukuk mudharabah dan/atau musyarakah telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. h. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f belum terpenuhi, maka perdagangan Sukuk mudharabah dan/atau musyarakah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal hanya jika diperdagangkan pada harga nominal. 4. PENERBITAN SAHAM DAN/ATAU UNIT PENYERTAAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA SYARIAH a. Penerbitan Saham Reksa Dana Syariah Sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan ini, Emiten yang melakukan Penawaran Umum Saham Reksa Dana Syariah wajib: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -8- 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.4 dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan 2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Pengelolaan dan/atau Kontrak Penyimpanan Reksa Dana serta informasi tambahan dalam Prospektus hal-hal sebagai berikut: a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak untuk kepentingan Direksi Reksa Dana Perseroan (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk melakukan pengelolaan Reksa Dana dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penyimpanan kekayaan; b) dalam anggaran dasar Emiten dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; c) kebijakan investasi Reksa Dana tidak bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; d) aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan Emiten dimaksud tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; e) memiliki anggota direksi, Wakil Manajer Investasi, dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank Kustodian yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; f) mekanisme pembersihan kekayaan Emiten dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; g) kata โ€œSyariahโ€ pada nama Emiten; dan h) dana kelolaan Reksa Dana Syariahnya hanya dapat diinvestasikan pada: (1) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK; (2) Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan Waran syariah; (3) Sukuk (Obligasi Syariah); yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia; (4) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK; (5) Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang diperdagangkan di Bursa Efek di luar negeri, dan termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Pihak yang disetujui oleh Bapepam dan LK; (6) Efek Beragun Aset Syariah yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -9- (7) surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper) yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek serta termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK. (8) Efek Syariah yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga internasional dimana Pemerintah Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan/atau (9) Instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari satu tahun, baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing. b. Penerbitan Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pihak yang melakukan Penawaran Umum Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Syariah wajib: 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.5 dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan 2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif dan informasi tambahan dalam Prospektus hal-hal sebagai berikut: a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak untuk kepentingan para pemegang unit penyertaan (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif; b) kebijakan investasi Reksa Dana tidak bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; c) Wakil Manajer Investasi yang melaksanakan pengelolaan Reksa Dana dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; d) kata โ€œSyariahโ€ pada nama Reksa Dana yang diterbitkan; e) mekanisme pembersihan kekayaan Reksa Dana dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan f) dana kelolaan Reksa Dana Syariahnya hanya dapat diinvestasikan pada: (1) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK; (2) Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) syariah dan Waran syariah; (3) Sukuk (Obligasi Syariah); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -10- yang telah dijual dalam Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia; (4) Saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK; (5) Sukuk yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang diperdagangkan di Bursa Efek di luar negeri, dan termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Pihak yang disetujui oleh Bapepam dan LK; (6) Efek Beragun Aset Syariah yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek; (7) surat berharga komersial syariah (sharia commercial paper) yang memenuhi Prinsip-Prinsip Syariah di Pasar Modal dan sudah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat Efek serta termasuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang ditetapkan oleh Pihak yang disetujui Bapepam dan LK; (8) Efek Syariah yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang diterbitkan oleh lembaga internasional dimana Pemerintah Indonesia menjadi salah satu anggotanya; dan/atau (9) Instrumen pasar uang syariah dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo kurang dari satu tahun, baik dalam rupiah maupun dalam mata uang asing. c. Direksi, Manajer Investasi, dan/atau Bank Kustodian wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang diatur dalam Kontrak Pengelolaan, Kontrak Penyimpanan, atau Kontrak Investasi Kolektif. d. Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Bapepam dan LK apabila pelaksanaan instruksi tersebut mengakibatkan portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen (surat berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana diatur dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f). e. Dalam hal portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen (surat berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana diatur dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f) yang bukan disebabkan oleh tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian, maka: 1) Manajer Investasi wajib menjual secepat mungkin dan diselesaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak: a) saham tidak lagi tercantum dalam Daftar Efek Syariah, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat masih tercantum dalam Daftar Efek Syariah dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan diperlakukan sebagai dana sosial; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -11- b) Efek atau instrumen (surat berharga) tidak memenuhi prinsip- prinsip syariah, dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari Nilai Pasar Wajar pada saat masih memenuhi prinsip-prinsip syariah, dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan diperlakukan sebagai dana sosial. 2) Bank Kustodian wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK serta pemegang Efek Reksa Dana, informasi tentang perolehan selisih lebih penjualan Efek sebagaimana dimaksud dalam huruf e butir 1) dan informasi tentang penggunaannya sebagai dana sosial selambat- lambatnya pada hari ke-12 (kedua belas) setiap bulan (jika ada). f. Dalam hal karena tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian mengakibatkan portofolio Reksa Dana terdapat Efek atau instrumen (surat berharga) selain Efek atau instrumen (surat berharga) sebagaimana diatur dalam huruf a butir 2) poin h) atau huruf b butir 2) poin f)., maka Bapepam dan LK dapat: 1) melarang Manajer Investasi untuk melakukan penjualan Unit Penyertaan Reksa Dana baru; 2) melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan kekayaan Reksa Dana selain dalam rangka pembersihan kekayaan Reksa Dana dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; 3) mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung renteng untuk membeli portfolio yang bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal sesuai dengan harga perolehan dalam waktu yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK; dan/atau 4) mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud pada butir 1), butir 2), dan butir 3), sesegera mungkin paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat Bapepam dan LK, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank Kustodian. g. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak mematuhi larangan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf f, maka Bapepam dan LK berwenang untuk: 1) mengganti Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; atau 2) membubarkan Reksa Dana tersebut. 5. PENERBITAN EFEK BERAGUN ASET SYARIAH a. Sepanjang tidak diatur lain dalam Peraturan ini, Pihak yang melakukan Penawaran Umum Efek Beragun Aset Syariah wajib: 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1, Peraturan Nomor IX.C.9 dan ketentuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -12- 2) mencantumkan ketentuan dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dan informasi tambahan dalam Prospektus hal- hal sebagai berikut: a) bahwa Manajer Investasi dan Bank Kustodian (wakiliin) bertindak untuk kepentingan para pemegang Efek Beragun Aset Syariah (muwakil) dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif; b) bahwa aset yang menjadi portofolio Efek Beragun Aset Syariah tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; c) Wakil Manajer Investasi yang melaksanakan pengelolaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Syariah dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan Kustodian pada Bank Kustodian mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; d) kata โ€œSyariahโ€ pada nama Efek Beragun Aset yang diterbitkan; e) mekanisme pembersihan portofolio dan dana Efek Beragun Aset Syariah dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; f) bahwa pengelolaan dana Efek Beragun Aset Syariah dilarang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; g) Akad Syariah dan skema transaksi syariah yang digunakan dalam penerbitan Efek; h) i) j) ringkasan Akad Syariah yang dilakukan oleh para Pihak; besarnya nisbah pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee); dan rencana jadwal dan tata cara pembagian dan/atau pembayaran bagi hasil, marjin, atau imbal jasa (fee). b. Dalam hal karena tindakan Manajer Investasi dan Bank Kustodian, mengakibatkan kekayaan Efek Beragun Aset Syariah terdapat unsur kekayaan yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, maka Bapepam dan LK dapat: 1) melarang Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk mengalihkan kekayaan Efek Beragun Aset selain dalam rangka pembersihan kekayaan Efek Beragun Aset dari unsur-unsur yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; 2) mewajibkan Manajer Investasi dan Bank Kustodian secara tanggung renteng wajib untuk membeli aset portofolio Efek Beragun Aset dengan harga perolehan atau membersihkan dana Efek Beragun Aset yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal dalam waktu yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK dan/atau secepat mungkin, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah ditemukannya pelanggaran tersebut; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-181/BL/2009 Tanggal : 30 Juni 2009 -13- 3) mewajibkan Manajer Investasi untuk mengumumkan kepada publik larangan dan/atau kewajiban yang ditetapkan Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan butir 2), sesegera mungkin paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya surat Bapepam dan LK, dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional atas biaya Manajer Investasi dan Bank Kustodian. c. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak mematuhi larangan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf b, maka Bapepam dan LK berwenang untuk: 1) mengganti Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; atau 2) membubarkan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset tersebut. 6. KETENTUAN PENUTUP Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Juni 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. td. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-181/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> PENERBITAN EFEK SYARIAH </reg_title> <set_date> 30 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 30 Juni 2009 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-130/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-283/BL/2012 TENTANG LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kegiatan Manajer Investasi yang meliputi pengelolaan dana nasabah yang bersifat kolektif dan bersifat individual mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah dana kelolaan maupun nasabah; b. bahwa peningkatan sebagaimana dimaksud pada huruf a perlu disertai dengan peningkatan efektivitas pelaporan maupun kualitas laporan kegiatan Manajer Investasi; c. bahwa peningkatan efektivitas pelaporan kegiatan Manajer Investasi dapat dilakukan dengan penggunaan sarana elektronik (internet), dengan tetap memperhatikan keamanan dan keandalan sarana elektronik dimaksud; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor X.N.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 347/BL/2008 tanggal 13 Agustus 2008 tentang Laporan Kegiatan Bulanan Manajer Investasi, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembara Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi diatur dalam Peraturan Nomor X.N.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka: a. Ketentuan angka 2 sampai dengan angka 5 Peraturan Bapepam Nomor II.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-41/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam, dinyatakan tidak berlaku bagi penyampaian laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi sejak tanggal berakhirnya masa uji coba penerapan Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan ini dan/atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tidak menyatakan dan mengumumkan bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk penyampaian laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi dimaksud mengalami gangguan dan tidak dapat digunakan; dan b. Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-347/BL/2008 tanggal 13 Agustus 2008 tentang Laporan Kegiatan Bulanan Manajer Investasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 (1) Manajer Investasi yang telah mendapatkan izin usaha dari Bapepam dan LK sebelum berlakunya Keputusan ini, wajib melakukan uji coba penyampaian laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi secara elektronik sebagaimana diatur dalam Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan ini pada 3 (tiga) periode pelaporan setelah ditetapkannya Keputusan ini. (2) Selama masa uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi tetap diwajibkan menyampaikan laporan kegiatan bulanan sebagaimana diatur dalam Peraturan X.N.1 Lampiran Keputusan ini kepada Bapepam dan LK secara fisik (hard copy), sesuai dengan Peraturan Bapepam Nomor II.A.3 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 41/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 tentang Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - Pasal 4 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka ketentuan angka 7 huruf c Peraturan Bapepam Nomor II.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 39/PM/1997 tentang Dokumen Yang Terbuka Untuk Umum dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 24 Mei 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-283/BL/2012 Tanggal : 24 Mei 2012 PERATURAN NOMOR X.N.1 : LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI 1. Setiap Manajer Investasi wajib menyampaikan laporan kegiatan bulanan kepada Bapepam dan LK. 2. Laporan kegiatan bulanan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dibuat sesuai dengan Formulir Nomor X.N.1-1 lampiran Peraturan ini. 3. Laporan kegiatan bulanan sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib disampaikan melalui sistem elektronik kepada Bapepam dan LK paling lambat pada tanggal 12 bulan berikutnya. Dalam hal tanggal 12 bulan berikutnya jatuh pada hari libur, maka laporan kegiatan bulanan wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. 4. Sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat diakses oleh Manajer Investasi dengan memasukkan data laporan pada format isian yang telah disediakan pada http://aria.bapepam.go.id/ dengan terlebih dahulu mengisi member ID, user ID, dan password pada form login. Member ID, user ID, dan password dimaksud diterbitkan oleh Bapepam dan LK kepada Manajer Investasi. 5. Manajer Investasi wajib menyimpan tanda bukti elektronik penerimaan laporan kegiatan bulanan yang diperoleh dari sistem yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK beserta dokumen elektronik laporan kegiatan bulanan paling kurang 10 (sepuluh) tahun. 6. Laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggap diterima oleh Bapepam dan LK berdasarkan menit, jam, tanggal, bulan dan tahun yang tercantum pada tampilan tanda bukti elektronik penerimaan laporan pada sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 4 di atas. 7. Dalam hal Bapepam dan LK menyatakan dan mengumumkan bahwa sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada angka 3 mengalami gangguan sehingga tidak dapat digunakan, laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi wajib disampaikan sesuai dengan Peraturan Bapepam Nomor II.A.3 tentang Surat, Laporan dan Dokumen Lain Yang Dikirim Kepada Bapepam. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-283/BL/2012 Tanggal : 24 Mei 2012 - 2 - 8. Laporan kegiatan bulanan Manajer Investasi yang disampaikan kepada Bapepam dan LK dalam rangka pemenuhan Peraturan ini tidak tersedia untuk umum, dan hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan oleh Bapepam dan LK. 9. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 24 Mei 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN Peraturan Nomor: X.N.1 FORMULIR NOMOR: X.N.1-1 LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI Bulan: ................... A. Bidang Pengelolaan 1. REKSA DANA BANK KUSTODIAN : (diisi dengan nama Reksa Dana) : (diisi dengan nama Bank Kustodian) NASABAH NASIONAL NASABAH Perorangan : Lembaga : 1. Perusahaan Efek 2. Dana Pensiun 3. Asuransi 4. Bank 5. Perusahaan Swasta/Patungan 6. BUMN 7. BUMD 8. Yayasan 9. Koperasi 10. Lainnya, sebutkan Total Lembaga Total Perorangan dan Lembaga Investasi Dalam Negeri (%) Investasi Luar Negeri (%) Jumlah Dana Kelolaan (Rp) NASABAH ASING Jumlah Dana Kelolaan (Rp) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 2. PENGELOLAAN DANA BERSIFAT BILATERAL DAN INDIVIDUAL Nomor & No Nama Nasabah Nomor & Tanggal Kontrak Tanggal Jatuh Tempo Tanggal Kontrak Adendum (jika ada) Nilai Investasi Awal Nilai Investasi Akhir (Netto) Indi- vidu Lem- baga IDR Mata Uang Asing IDR Mata Uang Asing Dalam Negeri Jenis Efek Nama Efek (DN)/ Luar Negeri (LN) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) Pener- bit Portofolio Efek Total Nilai Depo- sito Total Nilai Investasi (Bruto) ((16)atau (18) x (19)) Jatuh Tempo Efek (jika ada) dalam Bulan & Tahun (15) Jumlah Efek Nilai Pem- belian Nilai Nominal Harga Pasar Wajar Kete- rangan (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) Keterangan Tabel : 1. Nomor : Diisi dengan nomor urut. 2. Nama Nasabah Individu 3. Nama Nasabah Lembaga 4. Nomor dan Tanggal Kontrak 5. Tanggal Jatuh Tempo 6. Nomor dan Tanggal Kontrak Adendum (jika ada) 7. Nilai Investasi Awal (IDR) : Diisi dengan menyebutkan nama nasabah individu. : Diisi dengan menyebutkan nama nasabah lembaga. : Diisi dengan nomor dan tanggal kontrak dengan nasabah. : Diisi dengan keterangan jatuh tempo/tanggal berakhirnya kontrak dimaksud. : Diisi dengan nomor dan tanggal kontrak dengan nasabah jika terjadi adendum/perubahan. : Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi awal dalam mata uang Rupiah sesuai dengan kontrak. 8. Nilai Investasi Awal (Mata Uang Asing) 9. Nilai Investasi Akhir (Netto) (IDR) 10. Nilai Investasi Akhir (Netto) (Mata Uang Asing) 11. Jenis Efek 12. Nama Efek 13. Dalam Negeri (DN)/Luar Negeri (LN) 14. Penerbit 15. Jatuh Tempo Efek (jika ada) dalam Bulan& Tahun 16. Jumlah Efek 17. Nilai Pembelian 18. Nilai Nominal 19. Harga Pasar Wajar 20. Total Nilai Deposito 21. Total Nilai Investasi (Bruto) 22. Keterangan : Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi awal dalam mata uang asing sesuai dengan kontrak. : Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi akhir setelah dikurangi biaya-biaya dalam mata uang Rupiah. : Diisi dengan total keseluruhan nilai investasi akhir setelah dikurangi biaya-biaya dalam mata uang asing. : Diisi dengan jenis Efek dalam pengelolaan portofolio Efek atas kontrak dimaksud. Misalnya : Saham, Surat Perbendaharaan Negara, Obligasi negara, Surat Berharga Syariah Negara, Obligasi Korporasi, Reksa Dana, Medium Term Notes, Promissory Notes, Sertifikat Bank Indonesia, Commercial Paper, Waran, dll. : Diisi dengan nama Efek yang dibeli, Misal: " Saham PT. A", "Obligasi PT. B", dll. : Diisi dengan kategori Efek yang dibeli, (DN) apabila merupakan Efek dalam negeri dan (LN) jika merupakan Efek luar negeri. : Diisi dengan nama penerbit Efek atas Efek yang dibeli. Misal: Pemerintah, PT. A, dll. : Diisi dengan keterangan jatuh tempo/ tanggal maturity Efek yang dibeli (jika ada). : Diisi dengan jumlah Efek yang dibeli (dalam lembar,unit penyertaan, dsb). : Diisi dengan nilai pembelian Efek. : Diisi dengan total nilai nominal Efek (misal: Obligasi) yang dibeli. : Diisi dengan harga pasar wajar Efek yang dibeli. : Diisi dengan jumlah total nilai yang dialokasikan pada Kas, Deposito Berjangka, Sertifikat Deposito, Deposito On Call. : Diisi dengan Total Nilai Efek yang dibeli, dengan perhitungan: jumlah efek atau nilai nominal x harga pasar wajar, atau total nilai deposito (untuk kas dan atau jenis deposito). : Diisi dengan keterangan lainnya. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 3. EFEK BERAGUN ASET (EBA) : (diisi dengan jumlah EBA) NASABAH Jumlah Perorangan : Lembaga : 1. Perusahaan Efek 2. Dana Pensiun 3. Asuransi 4. Bank 5. Perusahaan Swasta/Patungan 6. BUMN 7. BUMD 8. Yayasan 9. Koperasi 10. Lainnya, sebutkan Total Lembaga Total Perorangan dan Lembaga Investasi Dalam Negeri (%) Investasi Luar Negeri (%) NASABAH NASIONAL NASABAH ASING Dana Kelolaan (Rp) Jumlah Dana Kelolaan (Rp) NAMA KUSTODIAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 4. PRODUK LAINNYA, Sebutkan. NASABAH Perorangan : Lembaga : 1. Perusahaan Efek 2. Dana Pensiun 3. Asuransi 4. Bank 5. Perusahaan Swasta/Patungan 6. BUMN 7. BUMD 8. Yayasan 9. Koperasi 10. Lainnya, sebutkan Total Lembaga Total Perorangan dan Lembaga Investasi Dalam Negeri (%) Investasi Luar Negeri (%) NASABAH NASIONAL Jumlah Dana Kelolaan (Rp) NASABAH ASING Jumlah Dana Kelolaan (Rp) NAMA KUSTODIAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN B. Daftar Direktur, Koordinator Fungsi-Fungsi, dan Pegawai Yang Memiliki Izin Wakil Perusahaan Efek, dan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana No. Nama Jabatan Nomor dan Tanggal SK Tanggal Mulai Bekerja (Tempat dan tanggal) (Nama Perusahaan Manajer Investasi) (ttd) ..................................... (nama jelas) Direktur
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-283/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KEGIATAN BULANAN MANAJER INVESTASI </reg_title> <set_date> 24 Mei 2012 </set_date> <effective_date> 24 Mei 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-39/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor II.A.1 Angka 7 Huruf c', 'KEP-347/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan X.N.1', 'KEP-41/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997 | Lampiran Peraturan Nomor II.A.3 Angka 2 Sampai Dengan Angka 5' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 178/BL/2008 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET BACKED SECURITIES) KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong pemanfaatan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) sebagai alternatif pendanaan dunia usaha, maka Peraturan Nomor V.G.5, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) tanggal 26 Desember 1997 perlu disempurnakan; Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 2. Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities); MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET BACKED SECURITIES). Pasal 1 Ketentuan angka 1 huruf d dalam Peraturan Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities), Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 diubah sehingga keseluruhan angka 1 huruf d berbunyi sebagai berikut: โ€d. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Kreditur Awal, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.โ€ Pasal 2 Dengan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan ini, maka seluruh ketentuan dalam Peraturan Nomor V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan Dengan Efek DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Beragun Aset (Asset Backed Securities), Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-46/PM/1997 tanggal 26 Desember 1997 adalah sebagaimana yang terlampir dalam Keputusan ini. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 14 Mei 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 178/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 PERATURAN NOMOR V.G.5: FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET BACKED SECURITIES) 1. Manajer Investasi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. mempunyai Modal Kerja Bersih Disesuaikan sekurang-kurangnya Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); b. mempunyai sekurang-kurangnya 2 (dua) orang pegawai yang mempunyai pengalaman kerja sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dalam kegiatan pengorganisasian, strukturisasi, dan pengelolaan Kontrak Investasi Kolektif; c. melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin untuk mengembangkan likuiditas Efek Beragun Aset dan membantu pemegang Efek Beragun Aset untuk menjual Efek Beragun Asetnya; dan d. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Kreditur Awal, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. 2. Manajer Investasi Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset wajib: a. melakukan tugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset sebagaimana ditentukan dalam Kontrak Investasi Kolektif; b. bertindak dengan cermat dan sikap profesional dalam meneliti Kreditur Awal, aset keuangan yang akan diperoleh, aspek hukum dan perpajakan, dan hal lain dalam proses strukturisasi Efek Beragun Aset; c. bertanggung jawab atas keterbukaan dan kebenaran atas fakta material tentang Efek Beragun Aset, sebagaimana dinyatakan dalam Dokumen Keterbukaan Efek Beragun Aset dan dalam Pernyataan Pendaftaran apabila Efek Beragun Aset tersebut ditawarkan melalui Penawaran Umum; d. bertindak cepat dan efektif untuk melindungi kepentingan para pemegang Efek Beragun Aset; e. membeli aset dari Kreditur Awal untuk dicatatkan atas nama Bank Kustodian yang dalam hal ini bertindak untuk kepentingan pemegang Efek Beragun Aset; dan f. melaporkan hasil penjualan Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui Penawaran Umum setiap 15 (lima belas) hari kepada Bapepam sampai Penawaran Umum selesai. 3. Manajer Investasi wajib melaporkan kepada setiap pemegang Efek Beragun Aset setiap bulan: a. jumlah Efek Beragun Aset yang dimiliki oleh pemegang Efek Beragun Aset tersebut; b. laporan keuangan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; c. laporan atas aset keuangan yang mendukung masing-masing kelas Efek Beragun Aset; d. rata-rata tertimbang jatuh tempo aset keuangan dalam portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 178/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 - 2 - e. jumlah tunggakan pembayaran atas aset keuangan dalam portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; f. perkiraan pembayaran kepada tiap kelas Efek Beragun Aset selama 12 (dua belas) bulan ke depan; g. perkiraan nilai pasar wajar setiap kelas Efek Beragun Aset yang didasarkan pada tingkat suku bunga pasar, peringkat terakhir dari tiap kelas Efek Beragun Aset, dan pembayaran yang diharapkan untuk tiap kelas Efek Beragun Aset, disertai dengan uraian metode penilaian tersebut; dan h. informasi material berkaitan dengan komposisi portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset atau pengelolaan aset keuangan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan adanya kemungkinan perubahan arus kas, nilai dan atau peringkat kelas unit tertentu. 4. Disamping berkewajiban untuk menyampaikan kepada pemegang Efek laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b peraturan ini, Manajer Investasi juga berkewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diperiksa oleh Akuntan Publik yang telah terdaftar di Bapepam. 5. Manajer Investasi berwenang mengganti Bank Kustodian dan melaporkan kepada Bapepam paling lambat 5 (lima) hari sesudah penggantian sesuai dengan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. 6. Manajer Investasi wajib mewakili kepentingan pemegang Efek Beragun Aset di dalam dan di luar pengadilan sehubungan dengan aset keuangan dalam portofolio Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset atau berkaitan dengan fungsi Bank Kustodian dan Penyedia Jasa. 7. Bapepam berwenang untuk mengganti Manajer Investasi dalam hal Manajer Investasi tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Mei 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-178/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN PERATURAN NOMOR V.G.5 TENTANG FUNGSI MANAJER INVESTASI BERKAITAN DENGAN EFEK BERAGUN ASET (ASSET BACKED SECURITIES) </reg_title> <set_date> 14 Mei 2008 </set_date> <effective_date> 14 Mei 2008 </effective_date> <changed_reg> 'KEP-46/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </changed_reg> <related_reg> '45/M|KEPPRES/2006', 'KEP-46/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 478/BL/2009 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan obyektifitas dan kualitas hasil penilaian properti, diperlukan pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian properti yang dapat mendorong profesionalisme, independensi, dan obyektifitas Pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penilai Properti; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Properti di Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian properti di Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor VIII.C.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Penilai Properti yang telah menandatangani kontrak penugasan penilaian profesional namun belum menerbitkan Laporan Penilaian Properti wajib mengikuti Peraturan Nomor VIII.C.4 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2010. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Desember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Pjs. Kepala Bagian Umum ttd. Kristrianti Puji Rahayu NIP 060089892 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 PERATURAN NOMOR VIII.C.4: TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL 1. KETENTUAN UMUM a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah: 1) Penilai Properti adalah Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK sesuai dengan Peraturan Nomor VIII.C.1. 2) Nilai adalah perkiraan harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli atas suatu barang atau jasa pada waktu tertentu dan merupakan jumlah manfaat ekonomi berdasarkan Nilai Pasar (Market Value) yang akan diperoleh dari obyek penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 3) Nilai Pasar (Market Value) adalah perkiraan jumlah uang pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date), yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu obyek penilaian, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berniat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan. 4) Nilai Pasar Untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing Use) adalah Nilai Pasar (Market Value) obyek penilaian dengan mempertimbangkan penggunaan yang ada dari obyek penilaian tersebut tanpa mempertimbangkan prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use). 5) Nilai dalam Penggunaan (Value in Use) adalah Nilai obyek penilaian tertentu bagi penggunaan tertentu dan pengguna tertentu tanpa mempertimbangkan prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use). 6) Real Properti adalah real estat serta konsep hukum yang melekat pada real estat atau penguasaan atas real estat yang mencakup semua hak atas tanah tertentu, semua kepentingan (interest), dan keuntungan (benefit) yang melekat real estat tersebut. 7) Personal Properti adalah properti yang tidak secara permanen melekat pada real estat, dan dapat dipindahkan, antara lain mesin dan peralatan termasuk semua hak, kepentingan, dan manfaat yang terkait. 8) Properti Khusus (Specialized Property) atau Properti Dengan Tujuan Khusus (Special Purpose Property) atau Properti Yang Dirancang Khusus (Special Design Property) adalah properti yang memiliki karakteristik tertentu, memiliki manfaat yang terbatas pada penggunaan atau pengguna tertentu, dan jarang diperjualbelikan di pasar terbuka, kecuali sebagai bagian dari suatu penjualan properti secara keseluruhan. 9) Aset Operasional adalah aset yang digunakan dalam operasional perusahaan yang digunakan secara berkelanjutan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -2- 10) Aset Non Operasional adalah aset yang terpisahkan dari operasional perusahaan dan terdiri atas aset yang akan dipakai pada masa yang akan datang (reserve aset), Aset Surplus, atau Aset Investasi. 11) Aset Surplus adalah aset berlebih yang tidak digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan. 12) Aset Investasi adalah aset yang dimiliki oleh perusahaan untuk menghasilkan pendapatan sewa dan/atau keuntungan, dan tidak digunakan: a) dalam produksi, penyediaan barang atau jasa, atau untuk administrasi perusahaan; dan b) untuk penjualan dalam kegiatan usaha. 13) Aset Tanaman adalah tanaman yang dibudidayakan secara komersial pada suatu lahan tertentu dan dikelola berdasarkan teknis budidaya yang berlaku umum pada suatu tempat tertentu. 14) Aset Non Tanaman adalah sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya yang merupakan bagian satu kesatuan properti perkebunan. Sarana dan prasarana meliputi bumi atau lahan, bangunan dan sarana pelengkap serta fasilitas penunjang. 15) Laporan Penilaian Properti adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Penilai Properti yang memuat opini Penilai Properti mengenai obyek penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian. 16) Pendekatan Penilaian adalah suatu cara untuk memperkirakan Nilai dengan menggunakan salah satu atau lebih Metode Penilaian. 17) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) adalah Pendekatan Penilaian yang menggunakan data transaksi atau penawaran atas properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian yang didasarkan pada suatu proses perbandingan dan penyesuaian. 18) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) adalah Pendekatan Penilaian yang didasarkan pada pendapatan dan biaya dari obyek penilaian per periode tertentu, yang dapat dihasilkan oleh obyek penilaian, yang kemudian dikapitalisasikan. 19) Pendekatan Biaya (Cost Approach) adalah Pendekatan Penilaian untuk mendapatkan indikasi Nilai obyek penilaian berdasarkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New), pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) setelah dikurangi dengan Penyusutan. 20) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) adalah tanggal pada saat Nilai, hasil penilaian, atau perhitungan manfaat ekonomi dinyatakan. 21) Tanggal Laporan Penilaian Properti adalah tanggal dimana laporan diterbitkan dan ditandatangani oleh Penilai Properti. 22) Inspeksi adalah kunjungan dan penelitian suatu obyek penilaian dengan tujuan mendapatkan informasi atas obyek penilaian sebagai dasar untuk menentukan opini profesional atas nilai obyek penilaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -3- 23) Asumsi adalah sesuatu yang dianggap akan terjadi termasuk fakta, syarat, atau keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi obyek penilaian atau Pendekatan Penilaian dan kewajarannya telah dianalisis oleh Penilai Properti sebagai bagian dari proses penilaian. 24) Dasar Penilaian adalah suatu penjelasan dan/atau pendefinisian, tentang jenis nilai yang sedang diteliti berdasarkan kriteria tertentu. 25) Metode Penilaian adalah suatu cara atau rangkaian cara tertentu dalam melakukan penilaian. 26) Metode Biaya Penggantian Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC) adalah Metode Penilaian dalam Pendekatan Biaya (Cost Approach) yang digunakan untuk menentukan Nilai Properti Khusus (Specialized Property), dimana data pasar yang tersedia terbatas atau data yang tidak berbasis pasar, dengan mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya. 27) Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) adalah estimasi biaya untuk membuat suatu properti baru yang setara dengan obyek penilaian, berdasarkan harga pasaran setempat pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 28) Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) adalah estimasi biaya untuk mereproduksi suatu properti baru yang sama atau identik dengan obyek penilaian, berdasarkan harga pasaran setempat pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 29) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method) adalah metode perhitungan estimasi biaya pembangunan berdasarkan rincian kuantitas satuan pekerjaan dan harga satuan pekerjaan. 30) Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method) adalah metode perhitungan estimasi biaya pembangunan berdasarkan harga satuan unit terpasang. 31) Metode Meter Persegi (Square Meter Method) adalah metode perhitungan estimasi biaya pembangunan berdasarkan satuan mata uang per unit luas atau volume. 32) Penyusutan adalah besarnya pengurangan Nilai obyek penilaian yang disebabkan oleh adanya kemunduran fisik (physical deterioration), keusangan fungsional (functional obsolescence) dan keusangan ekonomis (economic obsolescence). 33) Tingkat Diskonto adalah suatu tingkat imbal balik untuk mengkonversikan nilai di masa depan ke nilai sekarang yang mencerminkan nilai waktu dari uang (time value of money) dan ketidakpastian atas terealisasinya pendapatan ekonomi. 34) Tingkat Kapitalisasi adalah jumlah pembagi yang digunakan untuk mengkonversi pendapatan menjadi Nilai. 35) Tingkat Kekosongan adalah suatu faktor yang digunakan untuk mengurangi pendapatan kotor potensial sehingga mencerminkan pendapatan kotor efektif. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -4- 36) Tenaga Ahli adalah orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan penilaian dan tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik. 37) Hutan Tanaman adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. 38) Daur Tanaman adalah jangka waktu yang diperlukan bagi suatu jenis tanaman sejak mulai penanaman sampai mencapai umur tebang. 39) Umur Tanaman adalah masa waktu tanaman dapat dibudidayakan dimulai dari penanaman hingga akhir masa produktif. 40) Areal Tertanam adalah areal yang sudah diolah (land clearing) dan ditanami dengan komoditas perkebunan, baik yang telah menghasilkan maupun belum menghasilkan. b. Umum 1) Dalam rangka melakukan kegiatan penilaian properti di Pasar Modal, Penilai Properti wajib menaati kode etik dan standar yang ditetapkan oleh asosiasi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini. 2) Penilai Properti wajib menggunakan Nilai Pasar (Market Value) dalam setiap kegiatan penilaian properti. 3) Penilaian properti dapat menggunakan Nilai Pasar untuk Penggunaan Yang Ada (Market Value for the Existing Use) atau Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use) dalam penilaian Properti Khusus (Specialized Property) dengan Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC). 4) Nilai Pasar (Market Value), Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing Use) dan Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use) sebagaimana dimaksud dalam butir 2) dan 3) digunakan untuk menentukan Nilai Wajar (Fair Value). 5) Penggunaan Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 2), 3) dan 4) wajib disajikan secara konsisten oleh Penilai Properti dalam Laporan Penilaian Properti. 6) Laporan Penilaian Properti berlaku untuk jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Tanggal Penilaian (Cut Off Date), kecuali terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi kesimpulan Nilai lebih dari 5% (lima perseratus). 7) Dalam hal Penilai Properti melakukan revisi atas Laporan Penilaian Properti, maka Penilai Properti wajib menerbitkan kembali Laporan Penilaian Properti dengan tanggal dan nomor yang berbeda dengan disertai alasan dan penjelasan diterbitkannya revisi atas Laporan Penilaian Properti dimaksud. Fakta dan perubahan yang material wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti yang telah direvisi tersebut. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -5- 2. PENGGANTIAN PENILAI PROPERTI Dalam hal terjadi penggantian Penilai Properti, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penggantian Penilai Properti hanya dapat dilakukan apabila Penilai Properti: 1) mengundurkan diri; atau 2) diberhentikan oleh pemberi tugas dengan pemberitahuan bahwa penugasannya telah dihentikan disertai dengan alasan yang obyektif. b. Penggantian Penilai Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dibuktikan dengan surat tertulis dari pemberi tugas. c. Penggantian Penilai Properti hanya dilakukan untuk penilaian atas obyek yang sama. d. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Properti pengganti wajib terlebih dahulu: 1) meminta persetujuan tertulis dari calon pemberi tugas untuk meminta keterangan dari Penilai Properti yang digantikan; 2) melakukan komunikasi, baik tertulis maupun lisan, dengan Penilai Properti yang digantikan mengenai masalah-masalah yang menurut keyakinan Penilai Properti pengganti akan membantu dalam penerimaan atau penolakan penugasan penilaian profesional; dan 3) melakukan evaluasi atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dan 2) untuk memutuskan menerima atau menolak penugasan penilaian profesional. e. Penilai Properti yang digantikan wajib memberikan jawaban dengan segera dan lengkap atas pertanyaan dari Penilai Properti pengganti berdasarkan fakta yang diketahuinya. f. Penilai Properti pengganti hanya dapat menerima suatu penugasan penilaian profesional apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah dilakukan. g. Penilai Properti yang digantikan maupun Penilai Properti pengganti wajib menjaga kerahasiaan informasi yang telah diperoleh kecuali atas permintaan Bapepam dan LK atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. h. Penilai Properti pengganti wajib mengulang pelaksanaan penilaian sesuai dengan standar dan pedoman penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b butir 1). i. Penilai Properti pengganti tidak bertanggung jawab atas pekerjaan Penilai Properti yang digantikan dan tidak menerbitkan suatu laporan yang mencerminkan pembagian tanggung jawab. 3. OPINI KEDUA (SECOND OPINION) TERHADAP HASIL PENILAIAN a. Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian, maka Bapepam dan LK dapat melakukan review khusus terhadap Laporan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -6- Penilaian Properti yang telah diterbitkan dalam rangka memperoleh opini kedua (second opinion). b. Pelaksanaan review khusus terhadap Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan oleh Penilai Properti lain yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK. c. Hasil review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a bertujuan memberikan opini bahwa analisis, Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan kesimpulan nilai dalam Laporan Penilaian Properti yang direview adalah benar, layak, dan didukung dengan bukti yang cukup. d. Review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan terhadap paling kurang hal-hal sebagai berikut: 1) keakuratan atas proyeksi penilaian dan perhitungan dalam Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian; 2) keakuratan dan kelayakan dari seluruh asumsi yang digunakan sesuai dengan data dan informasi yang relevan; 3) kecukupan dan relevansi data serta kelayakan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan; 4) kebenaran, kelayakan, dan konsistensi atas analisis, opini, dan kesimpulan dari Laporan Penilaian Properti yang direview; dan 5) kesesuaian hasil penilaian yang disajikan dalam Laporan Penilaian Properti yang direview dengan standar dan pedoman sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. e. Apabila diperlukan, review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat meminta pendapat dari Tenaga Ahli. f. Laporan hasil review khusus wajib paling kurang mengungkapkan: 1) identitas Penilai Properti yang menerbitkan Laporan Penilaian Properti yang direview serta maksud dan tujuan penilaian; 2) identitas pemberi tugas dan pengguna laporan hasil review khusus; 3) hasil identifikasi atas obyek penilaian, Tanggal Penilaian (Cut Off Date), Tanggal Laporan Penilaian Properti dan opini Penilai Properti yang ada pada Laporan Penilaian Properti yang direview; 4) tanggal pelaksanaan review khusus; 5) uraian proses review khusus yang dilaksanakan; 6) 7) pendapat Tenaga Ahli (jika ada); 8) opini dan kesimpulan; dan 9) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas dalam pelaksanaan review khusus; seluruh informasi yang digunakan dalam proses review khusus. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -7- g. Review khusus atas Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilarang mendasarkan pada kejadian-kejadian setelah Tanggal Penilaian (subsequent event) dari Laporan Penilaian Properti yang direview. h. Laporan hasil review khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib mengungkapkan alasan-alasan secara komprehensif mengenai opini dan kesimpulan yang dinyatakan. i. Perbedaan kesimpulan Nilai antara laporan hasil review khusus dengan Laporan Penilaian Properti yang direview dianggap material jika terdapat perbedaan kesimpulan Nilai lebih dari 15% (lima belas perseratus) dari kesimpulan Nilai Laporan Penilaian Properti yang direview. j. Hasil review khusus wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal laporan hasil review khusus. k. Biaya yang timbul sebagai akibat dari review khusus atas Laporan Penilaian Properti menjadi beban pemberi tugas sebagaimana disebutkan dalam Laporan Penilaian Properti yang direview atau Pihak tertentu yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK. 4. KEWAJIBAN PENILAI PROPERTI DALAM PENUGASAN PENILAIAN PROFESIONAL Hal-hal yang wajib dilakukan Penilai Properti dalam melakukan penugasan penilaian profesional adalah: a. Penilai Properti wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai dengan spesialisasi industri yang terkait dengan obyek penilaian. b. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Properti wajib: 1) memperoleh informasi yang memadai paling kurang atas hal-hal berikut ini: a) identitas pemberi tugas; b) kondisi entitas dan industrinya; c) obyek penilaian; d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); e) ruang lingkup dari penugasan penilaian profesional, antara lain: (1) maksud dan tujuan dari penugasan penilaian profesional; (2) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan dalam penugasan penilaian profesional; dan (3) dasar Nilai yang digunakan. f) kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja; g) h) syarat penugasan penilaian profesional yang diajukan oleh pemberi tugas; sifat dari obyek penilaian; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -8- i) j) prosedur yang wajib dipenuhi dalam penugasan penilaian profesional serta pembatasan prosedur tersebut oleh pemberi tugas; keadaan lain di luar kendali Penilai Properti atau pemberi tugas (jika ada); dan k) ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan obyek penilaian atau penugasan penilaian profesional. 2) membuat kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja dengan pemberi tugas dalam bentuk tertulis yang mencakup paling kurang: a) dasar Nilai yang akan digunakan; b) maksud dan tujuan penugasan penilaian profesional; c) hak dan kewajiban pemberi tugas; d) hak dan kewajiban Penilai Properti; e) f) asumsi-asumsi awal yang dapat digunakan dan kondisi-kondisi pembatas; jenis dan penggunaan laporan yang akan diterbitkan; dan g) dasar penghitungan imbalan jasa Penilai Properti. c. Setelah menerima penugasan, Penilai Properti wajib melakukan hal-hal berikut: 1) pada saat permulaan penugasan profesional, Penilai Properti wajib melakukan analisis mengenai sifat, fakta, obyek penilaian, dan kondisi rencana transaksi untuk: a) mengklarifikasi kebutuhan data dan melakukan diskusi dengan pemberi tugas guna memperoleh kesepahaman atas penugasan penilaian profesional; b) mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data; dan c) menentukan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang sesuai dan tepat. 2) melakukan penilaian secara tidak berpihak, obyektif, dan tanpa mengakomodasi kepentingan pribadi atau pihak tertentu; 3) menganalisis seluruh aspek obyek penilaian; 4) melakukan Inspeksi terhadap obyek penilaian; 5) membuat dan memelihara kertas kerja penilaian properti; 6) membuat dan memelihara dokumentasi pendukung; dan 7) dalam hal terdapat kondisi yang mewajibkan dilakukannya revisi atas kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2), maka revisi dimaksud wajib dilakukan atas dasar kesepakatan antara Penilai Properti dan pemberi tugas. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -9- d. Penilai Properti wajib mempertimbangkan ruang lingkup penugasan penilaian profesional yang paling kurang meliputi: 1) obyek penilaian yang perlu diidentifikasi dan diinspeksi; 2) 3) 4) Inspeksi obyek penilaian; data yang perlu diteliti; dan analisis data dan informasi yang perlu dilakukan untuk memperoleh opini dan hasil penilaian. e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan opini, hasil pekerjaan, atau pernyataan Tenaga Ahli, maka Penilai Properti wajib: 1) mengungkapkan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas termasuk tingkat tanggung jawab dan asumsi Penilai Properti atas hasil pekerjaan Tenaga Ahli tersebut; 2) memuat opini atau hasil pekerjaan atau pernyataan Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan Penilaian Properti; dan 3) melampirkan laporan hasil kerja Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan Penilaian Properti. Jangka waktu antara laporan hasil kerja Tenaga Ahli dan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterbitkannya laporan Tenaga Ahli. f. Penilai Properti wajib menentukan klasifikasi aset yang menjadi obyek penilaian, antara lain: 1) Aset operasional; dan 2) Aset non-operasional. g. Penilai Properti wajib menggunakan data dan informasi atau properti pembanding yang bersumber dari dan/atau divalidasi oleh Asosiasi Profesi Penilai untuk setiap pendekatan dalam rangka penilaian properti. h. Data dan informasi serta waktu perolehannya sebagaimana dimaksud dalam huruf g wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti, antara lain: 1) Data pasar tanah; 2) Standar biaya bangunan; dan 3) Properti market. i. Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf h. j. Penilai Properti wajib memastikan bahwa Tim Penugasan Penilaian Profesional memiliki: 1) kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai dengan spesialisasi industri yang terkait dengan obyek penilaian; dan 2) pemahaman yang memadai mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf b sampai dengan i. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -10- 5. LARANGAN PENILAI PROPERTI DALAM PENUGASAN PENILAIAN PROFESIONAL Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh Penilai Properti dalam melakukan penugasan penilaian profesional adalah: a. Melakukan penilaian yang opini atau kesimpulan dalam Laporan Penilaian Properti telah ditentukan terlebih dahulu; b. Mengeluarkan 2 (dua) atau lebih hasil penilaian pada obyek penilaian yang sama dan untuk Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama; c. Menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang menyesatkan dan/atau membiarkan Pihak lain menyampaikan Laporan Penilaian Properti yang menyesatkan; d. Menerima penugasan penilaian profesional dari pembeli dan penjual terhadap obyek penilaian yang sama pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama; e. Menerima penugasan penilaian profesional dimana terdapat pembatasan ruang lingkup penugasan dan/atau yang memiliki kondisi-kondisi yang membatasi ruang lingkup penugasan sedemikian rupa sehingga dapat mengakibatkan hasil penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan; f. Memberikan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang dapat mengakibatkan penggunaan Laporan Penilaian Properti menjadi terbatas; g. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang menyebabkan Dasar Penilaian menyimpang dari kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja; h. Menggunakan asumsi yang mengurangi substansi Nilai; i. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang mengurangi tanggung jawab Penilai Properti terhadap hasil penilaian; j. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang membatasi pelaksanaan prosedur penilaian secara keseluruhan; k. Menerima pembayaran atas jasa penilaian, baik berupa komisi maupun dalam bentuk lainnya, selain yang telah disepakati dalam kontrak penugasan penilaian profesional atau surat perjanjian kerja; dan l. Memberikan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk melakukan penilaian properti dan/atau untuk tujuan lain selain untuk keperluan kegiatan penilaian properti kepada siapapun, kecuali: 1) telah memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data dan/atau informasi rahasia tersebut; 2) dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau 3) untuk kepentingan peradilan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -11- 6. KERTAS KERJA PENILAIAN PROPERTI Dalam melakukan penugasan penilaian profesional, Penilai Properti wajib membuat dan memelihara kertas kerja penilaian properti dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kertas kerja penilaian properti wajib memuat catatan-catatan yang diselenggarakan oleh Penilai Properti tentang prosedur penilaian, pengujian, seluruh data dan informasi yang digunakan termasuk properti pembanding, sumber data dan informasi, analisis atas data dan informasi, dan kesimpulan yang dibuat sehubungan dengan proses penilaian yang dilakukan. b. Bentuk kertas kerja penilaian properti antara lain berupa program penilaian, analisis, memorandum, surat konfirmasi, surat representasi, ikhtisar dari dokumen-dokumen pemberi tugas, dokumen properti pembanding, seluruh dokumen yang berkaitan dengan hasil Inspeksi, bukti konfirmasi status dan posisi hukum atas obyek penilaian dari pemberi tugas, dan daftar atau komentar yang dibuat atau diperoleh oleh Penilai Properti dalam rangka penugasan penilaian profesional. c. Kertas kerja penilaian properti wajib menunjukkan bahwa: 1) penugasan penilaian profesional telah direncanakan dan disupervisi dengan baik; 2) pemahaman yang memadai atas obyek penilaian telah diperoleh; dan 3) data dan informasi yang digunakan, bukti penilaian yang diperoleh, prosedur penilaian yang ditetapkan, dan pengujian yang dilaksanakan, telah memadai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas obyek penilaian. d. Kertas kerja penilaian properti wajib didokumentasikan baik dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) dan dokumen elektronik (soft copy) yang tidak dapat diubah. Dalam hal kertas kerja penilaian properti tidak dimungkinkan untuk didokumentasikan dalam bentuk dokumen cetak (hard copy) maka kertas kerja dimaksud dapat didokumentasikan dalam bentuk dokumen elektronik (soft copy) atau sebaliknya. e. Kertas kerja penilaian properti wajib disimpan dalam jangka waktu sesuai dengan Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan. 7. INSPEKSI Dalam melakukan Inspeksi, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Obyek Inspeksi adalah obyek penilaian yang meliputi Aset Operasional dan/atau Aset Non Operasional. b. Penilai Properti wajib mengajukan permintaan secara tertulis kepada pemberi tugas untuk memperoleh data obyek penilaian, antara lain legalitas obyek penilaian dan perizinan; c. Penilai Properti wajib melakukan identifikasi untuk memperoleh informasi secara obyektif atas kondisi obyek penilaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -12- d. Penilai Properti wajib mengidentifikasi legalitas obyek penilaian dan perizinan, yaitu: 1) jenis kepemilikan atau penguasaan, antara lain: a) hak milik; b) hak guna bangunan; c) hak guna usaha; d) hak bangun serah guna (built operating transfer); e) sewa guna properti (leasing); atau f) hak dan penguasaan lainnya. 2) identitas pemegang hak atas obyek penilaian; 3) syarat dan ketentuan obyek penilaian, antara lain; a) perjanjian-perjanjian yang mengikat obyek penilaian; b) dampak atas rencana tata ruang dan tata kota, lingkungan, dan rencana tata ruang dan tata kota lainnya; c) dampak atas rencana pemerintah untuk wilayah yang terkena pembatasan pembangunan; dan/atau d) pelanggaran atas peraturan perundang-undangan. e. Penilai Properti wajib melakukan verifikasi untuk memeriksa kesesuaian antara data obyek penilaian yang diperoleh dari pemberi tugas dengan kondisi obyek penilaian. f. Penilai Properti wajib memperoleh daftar aset dan/atau bukti kepemilikan lainnya dari pemberi tugas dan melakukan konfirmasi untuk memastikan legalitas obyek penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf d. g. Penilai Properti wajib mengungkapkan tentang keraguan atas legalitas obyek penilaian setelah melakukan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang dapat mempengaruhi nilai (jika ada). h. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap tanah, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: 1) Inspeksi atas tanah dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: a) kondisi fisik tanah, termasuk bentuk, ukuran, elevasi, topografi, keadaan permukaan (contour), luasan, dan batas-batas. b) karakteristik umum wilayah, kota, lingkungan setempat, fasilitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan lingkungan lainnya serta peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi Nilai; c) penggunaan lahan pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan d) pengembangan (improvement) yang ada. 2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -13- Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. i. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap bangunan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: 1) Inspeksi atas bangunan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: a) spesifikasi teknis bangunan, meliputi jenis bangunan, jenis konstruksi, jumlah lantai, bentuk dan ukuran serta peralatan penunjang bangunan; b) kondisi fisik bangunan; c) penggunaan bangunan pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date); d) izin mendirikan bangunan; e) Peraturan Pemerintah Daerah mengenai tata bangunan di wilayah lokasi properti; dan f) data dan informasi antara lain tentang tarif sewa, tingkat hunian, daftar penyewa, biaya operasi dan kondisi operasional secara umum, dalam hal untuk bangunan komersial seperti perkantoran yang disewakan dan pusat perbelanjaan. 2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. j. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap Personal Properti yang berupa mesin dan peralatan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: 1) Inspeksi atas mesin dan peralatan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: a) spesifikasi teknis, antara lain nama mesin dan peralatan, merek, buatan, tipe/model, tahun pembuatan, kapasitas dan spesifikasi utama lainnya, serta peralatan penunjang; b) kondisi mesin dan peralatan; c) proses produksi dan pengelompokan mesin-mesin produksi maupun mesin penunjang yang digunakan dari suatu industri; d) kondisi pasar dari produk yang dihasilkan oleh industri/ usaha dimana mesin dan peralatan digunakan serta kondisi pasar mesin dan peralatan; e) masa penggunaan tanah dan bangunan dimana mesin dan peralatan melekat; f) Peraturan Pemerintah yang terkait dengan jenis industri/ usaha obyek penilaian; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -14- g) status kepemilikan atas mesin dan peralatan, antara lain dokumen kepemilikan, kontrak, bukti pengadaan/ pembelian, faktur (invoice), daftar aset tetap dan/atau surat keterangan kepemilikan properti dari pemilik. 2) Dalam hal penilai tidak memperoleh informasi mengenai spesifikasi teknis mesin dan peralatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka penilai dapat memperkirakan spesifikasi teknis mesin dan peralatan secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. k. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap prasarana, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: 1) Inspeksi atas prasarana dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: a) spesifikasi teknis prasarana, meliputi jenis prasarana, jenis konstruksi, bentuk dan ukuran; dan b) kondisi fisik prasarana. 2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a), maka Penilai Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. l. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi 1) terhadap properti perkebunan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: Inspeksi atas properti perkebunan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi, antara lain: a) b) c) jenis komoditas tanaman yang dikembangkan, luas areal keseluruhan dan areal tertanam, lokasi kebun, sarana dan prasarana perkebunan yang ada; sarana dan prasarana umum yang ada disekitar lokasi perkebunan; iklim di wilayah lokasi perkebunan; d) keadaan pasar, baik untuk komoditas yang dihasilkan maupun perkebunan itu sendiri; e) Peraturan Pemerintah mengenai jenis perkebunan yang menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan; f) tanaman perkebunan, dengan memenuhi ketentuan antara lain: (1) Inspeksi atas tanaman dapat dilakukan secara acak maupun satu demi satu (sensus); (2) pada Inspeksi tanaman secara acak Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas cara pengambilan dan penentuan sampel beserta alasannya dalam Laporan Penilaian Properti; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -15- (3) Inspeksi atas tanaman dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: (a) varietas tanaman atau jenis bibit yang dikembangkan; (b) usia tanaman; (c) luas area tertanam per usia tanaman; (d) jarak tanam dan kerapatan tanaman; (e) kondisi tanaman termasuk perlakuan pemeliharaan tanaman, pemupukan, pencegahan dan pemberantasan hama penyakit tanaman; (f) pembibitan, meliputi sumber bibit, metode pembibitan dan ketersediaan bibit; dan (g) data dan informasi tentang produktivitas tanaman, kualitas produk, sistem pemanenan, pengumpulan hasil dan perlakuan hasil panen, untuk tanaman yang telah berproduksi. g) Inspeksi atas tanah perkebunan dilakukan sesuai dengan Inspeksi tanah secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf h serta wajib diperoleh tambahan data dan informasi, antara lain: (1) Sertifikat atau jenis hak penggunaan tanah; (2) Luas tanah, perincian luas tertanam, luas untuk sarana dan prasarana kebun, luas untuk pembibitan, luas tanah yang belum dikembangkan serta luas tanah yang tidak dapat ditanami; dan (3) Tingkat kesuburan tanah serta kesesuaian lahan untuk jenis komoditas perkebunan yang dikembangkan; h) i) j) Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti perkebunan dilakukan sesuai dengan Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf i; Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti perkebunan dapat dilakukan sesuai dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf l; dan Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti perkebunan dilakukan sesuai dengan inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf k. 2) Dalam hal Penilai Properti tidak memperoleh ukuran obyek penilaian yang pasti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin g) nomor (2), maka Penilai Properti dapat melakukan pengukuran sendiri secara profesional dan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. m. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap properti kehutanan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -16- 1) Inspeksi atas properti kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: a) jenis dari hak atau kuasa kehutanan yang dimiliki termasuk persyaratan-persyaratan dan batasan-batasan yang tercantum didalamnya beserta dokumen pendukungnya; b) keadaan wilayah disekitar lokasi hutan termasuk sarana dan prasarana yang ada; c) iklim di wilayah lokasi hutan; d) keadaan pasar untuk tiap-tiap jenis tegakan kayu yang terkandung serta produk olahan kayu; e) Peraturan Pemerintah mengenai kehutanan yang menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan; f) tegakan kayu yang terkandung didalam hutan yang menjadi obyek penilaian, dengan memenuhi ketentuan antara lain: (1) Inspeksi atas tegakan kayu dapat dilakukan dengan cara membandingkan kandungan tegakan kayu dengan dokumen nilai rata-rata potensi tegakan atau melakukan sampling secara acak maupun satu demi satu (sensus); (2) pada Inspeksi tegakan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas cara pengambilan dan penentuan sampel beserta alasannya dalam kertas kerja Penilai Properti dan Laporan Penilaian Properti; dan (3) Inspeksi atas tegakan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: (a) jenis-jenis kayu yang terkandung di dalam hutan yang menjadi obyek penilaian; (b) diameter dan ketinggian tiap tegakan serta jumlah tegakan untuk masing-masing jenis kayu termasuk volume dan jumlah pohon rata-rata per satuan luas; dan (c) luas area dan kondisi umum hutan; g) Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan sesuai dengan Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf i; h) Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan sesuai dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf j; dan i) Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti kehutanan yang berupa hak pengelolaan hutan alam dilakukan sesuai dengan Inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf k. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -17- 2) Inspeksi atas properti kehutanan yang berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi, antara lain: a) b) c) jenis komoditas tanaman yang di kembangkan, luas areal keseluruhan dan areal tertanam, lokasi hutan, serta sarana dan prasarana hutan yang ada; sarana dan prasarana umum yang ada disekitar lokasi hutan; iklim di wilayah lokasi hutan; d) keadaan pasar, baik untuk komoditas yang dihasilkan maupun hutan budidaya tanaman itu sendiri; e) Peraturan Pemerintah mengenai jenis hutan budidaya tanaman yang menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan; f) tanaman hutan budidaya, dengan memenuhi ketentuan antara lain: (1) Inspeksi atas tanaman hutan budidaya dapat dilakukan dengan cara membandingkan jumlah tanaman hutan budidaya dengan hasil inventarisasi yang telah dilakukan, atau melakukan sampling secara acak maupun satu demi satu (sensus); (2) pada Inspeksi tanaman hutan budidaya sebagaimana dimaksud pada nomor (1) Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas cara pengambilan dan penentuan sampel beserta alasannya dalam kertas kerja penilaian dan Laporan Penilaian Properti; (3) Inspeksi atas tanaman hutan budidaya dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi antara lain: (a) varietas tanaman hutan budidaya atau jenis bibit yang dikembangkan; (b) usia tanaman hutan budidaya; (c) luas area tertanam per kelas usia tanaman; (d) jarak tanam dan kerapatan tanaman; (e) kondisi tanaman hutan budidaya termasuk perlakuan pemeliharaan tanaman, pemupukan, pencegahan dan pemberantasan hama penyakit tanaman; (f) pembibitan, meliputi sumber bibit, metode pembibitan dan ketersediaan bibit; dan (g) data dan informasi tentang sistem pemanenan, pengumpulan hasil dan perlakuan hasil panen, untuk tanaman hutan budidaya yang telah siap panen; g) Inspeksi atas tanah yang tercakup dalam properti kehutanan berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -18- Inspeksi tanah secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf h serta wajib diperoleh tambahan data dan informasi, antara lain: (1) (2) sertifikat atau jenis hak penggunaan tanah; luas tanah, perincian luas tertanam, luas untuk sarana dan prasarana, luas untuk pembibitan, luas tanah yang belum dikembangkan serta luas tanah yang tidak dapat ditanami; dan (3) h) tingkat kesuburan tanah serta kesesuaian lahan untuk jenis komoditas perkebunan yang dikembangkan. Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti kehutanan berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf i; i) Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti kehutanan berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf l; dan j) Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti kehutanan yang berupa budidaya Hutan Tanaman dilakukan sesuai dengan inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf k. n. Dalam hal Penilai Properti melakukan Inspeksi terhadap properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan, maka selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g berlaku pula ketentuan: 1) Inspeksi atas properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi, antara lain: a) jenis dari hak atau kuasa pertambangan yang dimiliki termasuk persyaratan-persyaratan dan batasan-batasan yang terkandung didalamnya; b) keadaan wilayah disekitar lokasi tambang termasuk sarana dan prasarana yang ada; c) Peraturan Pemerintah mengenai properti pertambangan yang menjadi obyek penilaian serta komoditas yang dihasilkan; d) laporan survei atau penelitian geologi atas pertambangan yang menjadi obyek penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang kompeten untuk memperoleh data dan informasi tentang: (1) keadaan tambang secara umum termasuk luas areal dan formasi kandungan bahan tambang; (2) kualitas dan kuantitas kandungan bahan tambang serta variasi tebal dan kedalaman lapisan kandungan bahan tambang; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -19- (3) rekomendasi sistem eksploitasi bahan tambang, kemungkinan diperlukannya pengolahan lanjutan serta sistem pengangkutan bahan tambang; dan e) Proyeksi volume eksploitasi pertahun yang diperoleh dari manajemen dengan memperhatikan kapasitas mesin dan peralatan, fasilitas lain yang tersedia dan keadaan pasar. 2) 3) 4) Inspeksi atas tanah yang tercakup dalam properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan Inspeksi tanah secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf h; Inspeksi atas bangunan yang tercakup dalam properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan Inspeksi bangunan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf i; Inspeksi atas mesin dan peralatan yang tercakup dalam properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan Inspeksi mesin dan peralatan secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf l; dan 5) Inspeksi atas prasarana yang tercakup dalam properti pertambangan berupa hak atau Kuasa Pertambangan dilakukan sesuai dengan inspeksi prasarana secara umum sebagaimana dimaksud dalam huruf k. o. Dalam hal tidak dimungkinkan untuk dilakukannya Inspeksi obyek penilaian disebabkan karena karakteristik obyek penilaian, maka Penilai Properti wajib: 1) menggunakan data yang mencerminkan kondisi dan spesifikasi obyek penilaian dan dapat dipertanggungjawabkan; 2) meyakini bahwa sumber data dapat dipertanggungjawabkan; dan 3) mengungkapkan alasan tidak dapat dilakukannya Inspeksi terhadap obyek penilaian dalam Laporan Penilaian Properti. 8. KEJADIAN-KEJADIAN PENTING SETELAH TANGGAL PENILAIAN (SUBSEQUENT EVENTS) Dalam hal terdapat kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events), Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events), baik yang diketahui maupun yang patut diketahui sampai dengan Tanggal Laporan Penilaian Properti, wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti. b. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tidak dapat digunakan untuk memutakhirkan hasil penilaian. c. Dalam hal kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tersebut mengandung informasi yang dapat mempengaruhi Nilai obyek penilaian, maka Penilai Properti wajib mengungkapkan sifat dan dampaknya dalam Laporan Penilaian Properti. d. Pengungkapan kejadian-kejadian penting sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf c wajib secara jelas mengindikasikan bahwa LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -20- pengungkapan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penentuan Nilai pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 9. ASUMSI-ASUMSI DAN KONDISI PEMBATAS Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan oleh Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang bersifat non-disclaimer opinion; b. mencerminkan bahwa Penilai Properti telah melakukan penelaahan atas dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penilaian; c. mencerminkan bahwa data dan informasi yang diperoleh bersumber dari atau divalidasi oleh Asosiasi Profesi Penilai; d. menggunakan proyeksi keuangan yang telah disesuaikan yang mencerminkan kewajaran proyeksi keuangan yang dibuat oleh manajemen dengan kemampuan pencapaiannya (fiduciary duty); e. mencerminkan bahwa Penilai Properti bertanggung jawab atas pelaksanaan penilaian dan kewajaran proyeksi keuangan; f. menghasilkan Laporan Penilaian Properti yang terbuka untuk publik kecuali terdapat informasi yang bersifat rahasia, yang dapat mempengaruhi operasional perusahaan; g. mencerminkan bahwa Penilai Properti bertanggung jawab atas Laporan Penilaian Properti dan kesimpulan Nilai akhir; dan h. mencerminkan bahwa Penilai Properti telah melakukan penelaahan atas status hukum obyek penilaian. 10. PENDEKATAN PENILAIAN, METODE PENILAIAN, DAN PROSEDUR PENILAIAN Penilai Properti dalam menggunakan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan prosedur penilaian, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Wajib memilih dan menerapkan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan prosedur penilaian yang sesuai dengan maksud dan tujuan penilaian, definisi Nilai yang dicari, dan karakteristik penilaian. b. Pendekatan Penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf a terdiri dari: 1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach); 2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach); dan 3) Pendekatan Biaya (Cost Approach). c. Wajib menggunakan paling kurang 2 (dua) Pendekatan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf b untuk memperoleh hasil penilaian yang akurat dan obyektif. d. Dapat menggunakan satu Pendekatan Penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dalam hal melakukan: 1) Penilaian tanah kosong; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -21- a) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dan tidak menghasilkan pendapatan; b) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang dapat dijual bagian demi bagian (kapling per kapling). 2) Penilaian unit properti dengan status strata title; 3) Penilaian properti dengan status bangun kelola dan serah (built operate and transfer/BOT); 4) Penilaian properti industri termasuk mesin dan peralatan yang tidak memiliki data pasar; dan 5) Penilaian Properti Khusus (Specialized Property). e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d maka Penilai Properti wajib mengungkapkan alasannya dalam Laporan Penilaian Properti. 11. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN DATA PASAR (MARKET DATA APPROACH) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat diterapkan dengan menggunakan data pasar terkini dari obyek penilaian dan properti pembanding. b. Properti pembanding sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib merupakan properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian dan telah ditransaksikan atau ditawarkan. c. Nilai obyek penilaian wajib diperoleh melalui perbandingan antara data pasar obyek penilaian dengan data pasar properti pembanding. d. Properti pembanding sebagaimana dimaksud dalam huruf a, paling sedikit berjumlah 3 (tiga) properti. e. Dalam menentukan properti pembanding, Penilai Properti wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) tingkat permintaan dan penawaran properti pembanding; 2) harga properti yang seharusnya dibayar untuk mendapatkan substitusi obyek penilaian dengan utilitas properti yang serupa; 3) keseimbangan antara permintaan dan penawaran properti pembanding; dan 4) pengaruh yang signifikan dari lingkungan sekitar obyek penilaian. f. Data properti pembanding yang wajib diperoleh paling kurang berupa: 1) data transaksi atau penawaran; 2) peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -22- 3) data lainnya dari properti pembanding yang merupakan subtitusi dari obyek penilaian. g. Properti pembanding yang digunakan wajib terletak di lingkungan sekitar atau kawasan yang sejenis dengan obyek penilaian dan berasal dari transaksi atau penawaran yang bersifat layak dan wajar. h. Setiap perbedaan data antara obyek penilaian dan properti pembanding yang signifikan mempengaruhi Nilai, wajib digunakan sebagai faktor pembanding. i. Wajib melakukan verifikasi dan analisis setiap data yang digunakan, paling kurang: 1) melakukan Inspeksi untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara obyek penilaian dengan properti pembanding; 2) melakukan analisis data properti pembanding sehingga memenuhi syarat atau asumsi dalam Nilai Pasar (Market Value), yaitu: a) c) penjual dan pembeli tidak berada dalam kondisi terpaksa; b) penjual dan pembeli tidak mempunyai hubungan khusus yang dapat menyebabkan transaksi tidak wajar; penjual dan pembeli memiliki waktu yang cukup untuk mengambil keputusan dalam transaksi; dan d) tidak terdapat hal-hal khusus lainnya dalam transaksi. 3) memilih faktor-faktor pembanding yang tepat dan mengembangkan analisis perbandingan untuk setiap faktor pembanding; dan 4) menggunakan faktor-faktor pembanding serta membuat penyesuaian terhadap faktor-faktor pembanding dalam melakukan perbandingan antara data pasar obyek penilaian dengan data pasar properti pembanding. j. Prosedur yang wajib dilakukan dalam Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan Data a) pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi data transaksi dan data penawaran dari properti yang sebanding dan sejenis; dan b) data wajib bersumber dari asosiasi penilai. 2) Penyesuaian di dalam Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) dilakukan paling kurang terhadap faktor: a) lokasi antara lain dengan memperhatikan lingkungan, akses, dan fasilitas; b) peruntukan (zoning) antara lain dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat penilaian; c) sifat-sifat fisik obyek penilaian (1) tanah antara lain dengan memperhatikan fisik, luasan, bentuk, dan elevasi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -23- (2) bangunan antara lain dengan memperhatikan kondisi dan fasilitas bangunan; dan (3) obyek penilaian lainnya disesuaikan dengan karakteristik jenis obyek penilaian. k. Faktor-faktor pembanding yang wajib dipertimbangkan, paling kurang meliputi: 1) Hak-hak yang terkandung dalam obyek penilaian dan properti pembanding Penilai Properti wajib mengidentifikasi hak-hak yang terdapat pada obyek penilaian dan properti pembanding yang dipilih untuk dianalisis dan selanjutnya dilakukan penyesuaian untuk setiap perbedaan hak- hak yang terdapat pada obyek penilaian dan properti pembanding; 2) Kondisi penjualan Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas harga transaksi atau penawaran jual properti pembanding terkait dengan kondisi penjualan, seperti motivasi penjual dan pembeli dalam suatu transaksi yang layak dan bersifat wajar, transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, atau penguasaan yang dilakukan oleh pemerintah (eminent domain); 3) Kondisi pasar Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian harga transaksi atau penawaran jual properti pembanding dengan kondisi pasar; 4) Lokasi Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas harga transaksi atau penawaran jual properti pembanding terkait dengan lokasi properti; dan 5) Karakteristik fisik Penilai Properti wajib melakukan penyesuaian atas perbandingan, dalam hal terdapat perbedaan karakteristik fisik antara properti pembanding dengan obyek penilaian. Perbedaan tersebut meliputi antara lain ukuran, umur, kondisi, kualitas konstruksi, model arsitektur, material bangunan, sarana pelengkap, ukuran tapak, atau karakteristik lainnya dalam hal obyek penilaian bukan tanah dan bangunan. l. Dalam melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf i butir 2), Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) menerapkan secara konsisten dalam menetapkan penyesuaian antara data obyek penilaian dengan data properti pembanding. 2) melakukan penyesuaian data properti pembanding, dengan menggunakan bentuk penyesuaian sebagai berikut: a) Penyesuaian bentuk persentase Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan antara data obyek penilaian dengan data properti pembanding LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -24- antara lain, berupa kondisi fisik dan lokasi dalam bentuk persentase. Penyesuaian dilakukan dengan menghitung perbedaan kelebihan atau kekurangan dalam bentuk persentase, antara lain: (1) jika data obyek penilaian dan data properti pembanding sama, maka tidak diperlukan penyesuaian; (2) jika data obyek penilaian lebih unggul sebesar x% (x perseratus) dari data properti pembanding, maka keunggulan sebesar x% (x perseratus) tersebut ditambahkan kepada nilai properti pembanding; dan (3) jika data obyek penilaian lebih buruk sebesar x% (x perseratus) dari data properti pembanding, maka kekurangan sebesar x% tersebut dikurangkan dari nilai properti pembanding; atau b) Penyesuaian bentuk satuan uang Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan antara data obyek penilaian dengan data properti pembanding antara lain, berupa kondisi fisik dan lokasi dalam satuan uang. Penyesuaian dilakukan dengan menghitung perbedaan kelebihan atau kekurangan dalam bentuk satuan uang, antara lain: (1) (2) jika data obyek penilaian dan data properti pembanding sama, maka tidak diperlukan penyesuaian; jika data obyek penilaian lebih unggul sebesar x rupiah daripada data properti pembanding, maka keunggulan sebesar x rupiah tersebut ditambahkan kepada nilai properti pembanding; dan (3) jika data obyek penilaian lebih buruk sebesar x rupiah dari data properti pembanding, maka kekurangan sebesar x rupiah tersebut dikurangkan dari nilai properti pembanding. 3) melakukan rangkaian penyesuaian (sequence of adjustment) dengan cara menjumlahkan faktor-faktor penyesuaian secara bersama-sama atau dapat dilakukan sendiri-sendiri menurut cara penyesuaian yang dilakukan dalam bentuk persentase atau satuan uang. m. Dalam melakukan penyesuaian Penilai Properti dapat menggunakan teknik penyesuaian, sebagai berikut: 1) Teknik tambah kurang secara menyeluruh (Overall Adjusment / Pluses Minuses) Penyesuaian dilakukan dengan langsung membandingkan secara keseluruhan kelebihan dan kekurangan dari obyek penilaian dengan properti pembanding. 2) Teknik Penyesuaian Biaya (Cost Adjusment) LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -25- Penyesuaian dilakukan dengan memperhitungkan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penyamaan kondisi dengan properti pembanding jika terdapat perbedaan yang dapat diubah, seperti: Ketinggian tanah (elevasi), topografi, struktur tanah dapat dilakukan penyesuian dengan memperhitungkan biaya pengurukan (cut and fill). Dalam menggunakan teknik Penyesuaian Biaya, Penilai Properti wajib memperhatikan bahwa biaya pengembangan lahan (land improvement) tidak selalu setara dengan nilai dari pengembangan tersebut. 3) Teknik Berpasangan (Paired Comparison) Penyesuaian dilakukan berdasarkan satu perbedaan dari pasangan properti pembanding yang dipasang-pasangkan. 4) Teknik Statistik Dalam penggunaan teknik statistik diperlukan jumlah properti pembanding yang cukup, paling kurang 20 (dua puluh) properti pembanding. n. Penilai Properti wajib menggunakan market data grid untuk menyatakan konsistensi dari penyesuaian-penyesuaian yang dibuat. Grid tersebut merupakan bagian untuk melakukan rekonsiliasi terhadap beberapa indikasi Nilai dari properti pembanding yang telah disesuaikan. o. Penilai Properti wajib membuat rekonsiliasi (pembobotan) terhadap berbagai indikasi Nilai yang dihasilkan setelah dilakukan penyesuaian pada setiap properti pembanding untuk menghasilkan indikasi nilai tunggal. Tingkat pembobotan untuk masing-masing properti pembanding ditentukan berdasarkan pada tingkat kemiripan masing-masing properti pembanding terhadap obyek yang dinilai. 12. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PENDAPATAN (INCOME APPROACH) a. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) hanya dapat digunakan untuk melakukan penilaian atas properti yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) properti yang menghasilkan pendapatan (income producing property); (1) properti yang menghasilkan pendapatan dan sudah beroperasi; dan (2) properti yang menghasilkan pendapatan dan belum beroperasi atau digunakan sendiri (owner occupied). b) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang menghasilkan pendapatan; atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -26- c) tanah yang memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) untuk dikembangkan sebagai properti yang dapat dijual bagian demi bagian (kapling per kapling). 2) melakukan verifikasi dan analisis setiap data yang digunakan; 3) melakukan analisis terhadap laporan arus kas dan laba rugi selama 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak pendirian apabila berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun yang diperoleh dari pihak manajemen. 4) melakukan penyesuaian atas laporan arus kas dan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam butir 3) berdasarkan kondisi data pasar dari properti yang sebanding dan sejenis. 5) penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam butir 4) wajib menggunakan paling kurang 3 (tiga) properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian. 6) dalam hal obyek penilaian berupa properti yang menghasilkan pendapatan dan belum beroperasi sebagaimana dimaksud dalam butir 1) poin a) nomor (2), maka ketentuan dalam butir 5) tidak diwajibkan. 7) membuat proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih obyek penilaian. 8) mengungkapkan data mengenai properti pembanding sebagaimana dimaksud dalam butir 5) dalam Laporan Penilaian Properti. 9) setelah dilakukan penyesuaian terhadap pos-pos yang relevan dalam laporan arus kas dan laba rugi, maka Penilai Properti wajib menyajikan proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih dalam Laporan Penilaian Properti. b. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Approach) adalah sebagai berikut: 1) Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/Metode DCF); 2) Metode Kapitalisasi Langsung (Direct Capitalization Method); 3) Metode Penyisaan (Residual Technique Method); dan 4) Gross Income Multiplier (GIM). c. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Dalam hal proyeksi tingkat pendapatan tidak stabil dan dengan periode pendapatan tertentu Penilai Properti wajib menggunakan metode diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF). 2) Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengalikan rangkaian proyeksi aliran pendapatan dimasa yang akan datang dengan Tingkat Diskonto tertentu menjadi nilai sekarang. 3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan metode diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF), paling kurang: a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek penilaian dan properti pembanding; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -27- b) mengestimasi pendapatan kotor potensial (potential gross income) dengan memperhatikan, paling kurang: (1) keandalan asumsi yang digunakan; (2) data historis yang digunakan; dan (3) biaya sewa dan luas area bangunan. c) melakukan penjumlahan antara pendapatan lain-lain dan pendapatan kotor potensial setelah dikurangi tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss) untuk memperoleh perkiraan pendapatan kotor efektif (effective gross income); d) menentukan biaya-biaya operasi (operating expenses), dengan memperhatikan, paling kurang: (1) keandalan asumsi yang digunakan; (2) data historis yang digunakan; dan (3) biaya perawatan bangunan. e) mengurangkan pendapatan kotor efektif dengan biaya-biaya operasional untuk mendapatkan pendapatan bersih operasi sebelum bunga dan pajak; f) menentukan Tingkat Diskonto; g) menentukan prosedur pendiskontoan; h) mendiskontokan pendapatan bersih operasi (net operating income) untuk mengestimasi indikasi Nilai obyek penilaian; dan i) dalam hal terdapat terminal value sebagai salah satu unsur pembentuk indikasi Nilai, maka Penilai Properti dapat menggunakan tingkat kapitalisasi terminal (terminal capitalization rate) dalam perhitungan terminal value dengan mempertimbangkan Tingkat Kapitalisasi pada periode awal (Initial Capitalization Rate) yang merupakan tolok ukur untuk memastikan besaran tingkat kapitalisasi terminal (terminal capitalization rate). d. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Nilai obyek penilaian didapatkan dengan membagi proyeksi pendapatan tahunan yang mencerminkan dan mewakili pendapatan tahunan dimasa yang akan datang dengan Tingkat Kapitalisasi tertentu. 2) Dalam melakukan penilaian dengan menggunakan metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method) wajib memenuhi persyaratan, paling kurang: a) pendapatan bersih per tahun selama masa investasi, diestimasi jumlahnya tetap; dan b) masa investasi sifatnya tak terhingga (perpetuity). LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -28- 3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method), paling kurang: a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek penilaian dan properti pembanding; b) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian; c) mengestimasi tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss) dari obyek penilaian; d) melakukan pengurangan antara total pendapatan kotor potensial dengan tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss) untuk memperoleh pendapatan kotor efektif (effective gross income); e) mengestimasi total biaya operasional yang terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan cadangan; f) melakukan pengurangan antara pendapatan kotor efektif (effective gross income) dengan total biaya operasional untuk memperoleh pendapatan bersih operasi; g) menetapkan tingkat kapitalisasi; dan h) mengkapitalisasikan pendapatan bersih operasi untuk mengestimasi indikasi Nilai obyek penilaian; e. Dalam hal Penilai Properti menggunakan metode penyisaan (residual technique method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Metode ini digunakan untuk menilai obyek penilaian yang merupakan bagian dari satu kesatuan properti. 2) Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkapitalisasi komponen pendapatan yang merupakan bagian dari komponen properti, antara lain tanah dan bangunan serta mesin dan peralatan. 3) Melakukan pengurangan antara pendapatan bersih operasi properti secara keseluruhan dengan pendapatan tahunan (annual income) dari komponen-komponen properti lainnya yang bukan obyek penilaian untuk memperoleh komponen pendapatan obyek penilaian. 4) Teknik yang digunakan dalam metode penyisaan (residual technique method), adalah sebagai berikut: a) Teknik Penyisaan Tanah (Land Residual Technique); b) Teknik Penyisaan Bangunan (Building Residual Technique); dan/atau c) Teknik Penyisaan Mesin dan Peralatan Bangunan (Building Equipment Residual Technique). 5) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Tanah (Land Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -29- b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh tanah dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain tanah (bangunan, prasarana, mesin serta peralatan lain); c) properti selain tanah sebagaimana dimaksud dalam poin b) dapat berupa properti yang telah ada ataupun berupa proyeksi apabila dibangun/dikembangkan dalam hal memenuhi prinsip penggunaan terbaik dan tertinggi dari tanah; d) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk tanah; dan e) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari tanah sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi tanah untuk mendapatkan indikasi nilai tanah; 6) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Bangunan (Building Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3); b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh bangunan dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain bangunan (tanah, mesin serta peralatan lain); c) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk bangunan; dan d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari bangunan sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi bangunan untuk mendapatkan indikasi nilai bangunan; 7) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Mesin dan Peralatan Bangunan (Building Equipment Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam metode kapitalisasi langsung dalam huruf d butir 3); b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh mesin dan peralatan bangunan dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain mesin dan peralatan bangunan (tanah, bangunan dan prasarana); c) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk mesin dan peralatan bangunan; dan d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari mesin dan peralatan bangunan sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi mesin dan peralatan bangunan untuk mendapatkan indikasi nilai mesin dan peralatan bangunan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -30- f. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Gross Income Multiplier (GIM), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkonversikan Pendapatan kotor tahunan (potential gross income) yang mencerminkan dan mewakili pendapatan tahunan dimasa yang akan datang dengan konstanta tertentu. 2) Dalam melakukan penilaian dengan menggunakan gross income multiplier method wajib memenuhi persyaratan, sebagai berikut: a) tersedianya data pasar penjualan dan sewa properti yang sebanding dan sejenis; b) properti pembanding yang dianalisis dengan obyek penilaian wajib sebanding dalam hal fisik, lokasi, dan karakteristik investasi; dan c) data pendapatan yang digunakan properti pembanding wajib sesuai dengan data pendapatan yang digunakan obyek penilaian. 3) Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan gross income multiplier method, paling kurang: a) mengestimasi nilai jual dari properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian; b) mengestimasi pendapatan kotor potensial dari properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian; c) membagi nilai jual properti sebanding dengan pendapatan kotor potensial properti sebanding dan sejenis untuk memperoleh gross income multiplier; d) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian; dan e) mengalikan gross income multiplier dengan pendapatan kotor potensial obyek penilaian untuk memperoleh indikasi Nilai obyek penilaian. g. Penilai Properti dalam hal menetapkan proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 9) paling kurang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) menggunakan proyeksi pendapatan yang didasarkan pada proyeksi keuangan yang diperoleh dari pihak manajemen untuk mengestimasi aliran pendapatan obyek penilaian dan melakukan penyesuaian terhadap proyeksi pendapatan tersebut sesuai dengan kondisi pasar; Proyeksi keuangan wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti; 2) 3) dilarang mendasarkan proyeksi pendapatan hanya dengan menggunakan tren data historis; bertanggung jawab atas proyeksi yang telah disesuaikan; 4) menganalisis laporan laba rugi dan laporan arus kas obyek penilaian dengan memperhatikan kondisi pasar berupa data dan informasi LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -31- mengenai tingkat operasional perusahaan pembanding pada industri yang sebanding dan sejenis dalam rangka melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam butir 1); 5) memperhatikan kondisi yang terjadi setelah Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang dapat mempengaruhi proyeksi pendapatan; 6) mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan usaha obyek penilaian sesuai dengan tingkat pendapatan yang dihasilkan oleh obyek penilaian dan kepentingan usaha obyek penilaian; 7) penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam butir 1) digunakan sebagai kertas kerja Penilai Properti; Informasi keuangan hasil penyesuaian wajib diungkapkan dalam Laporan Penilai Properti. 8) dalam melakukan penyesuaian terhadap laporan laba rugi dan laporan arus kas sebagaimana dimaksud dalam butir 1), maka Penilai Properti wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a) menganalisis dan menyajikan kembali data keuangan obyek penilaian secara konsisten, dan menggunakan mata uang yang sama dengan mata uang yang digunakan dalam laporan keuangan; b) menyesuaikan nilai yang disajikan dalam laporan laba rugi dan laporan arus kas menjadi nilai yang wajar; c) menyesuaikan pendapatan dan beban ke tingkat yang wajar dan menggambarkan hasil yang berkelanjutan; d) melakukan pengelompokan serta penyesuaian terhadap seluruh, pendapatan, dan beban non-operasi; dan e) melakukan penyesuaian terhadap pendapatan serta biaya yang tidak lazim. 9) setelah dilakukan penyesuaian laporan laba rugi dan laporan arus kas, maka Penilai Properti wajib menyajikan proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih dalam Laporan Penilaian Properti; dan 10) proyeksi pendapatan dan proyeksi pendapatan operasi bersih wajib dilakukan paling kurang 3 (tiga) tahun kedepan, atau disesuaikan dengan sisa umur dari fasilitas produksi utama obyek penilaian. h. Penilai Properti dalam menetapkan Tingkat Diskonto sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 3) poin f) dapat ditentukan dari: 1) data pasar, dengan cara membandingkan antara tingkat pengembalian (rate of return) tahunan obyek penilaian dengan investasi properti yang sebanding dan sejenis, sesuai dengan kondisi pasar; 2) metode penjumlahan (arbitrase method), dengan cara menambahkan atau mengurangi tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) dengan tingkat risiko usaha dari investasi properti yang sebanding dan sejenis; 3) band of investment, dengan cara: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -32- a) menghitung biaya ekuitas (cost of equity) dengan memperhatikan: (1) (2) perkiraan inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (3) koefisien beta wajib berasal dari data rata-rata industri pada sektor yang sama dengan obyek penilaian. b) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang terdapat di pasar dari industri yang sebanding dan sejenis; c) mempertimbangkan struktur modal yang terdapat di pasar dari industri yang sebanding dan sejenis; d) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi properti sejenis; e) mempertimbangkan risiko spesifik obyek penilaian; dan f) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut: (1) menghitung persentase struktur modal investasi berdasarkan rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date); (2) menggunakan data tingkat bunga pinjaman dari rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan dalam menentukan biaya utang (cost of debt) pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan (3) menghitung biaya modal rata-rata secara proporsional berdasarkan bobot setiap jenis struktur modal dan biaya dari setiap jenis struktur modal; atau 4) menambahkan perkiraan tingkat pertumbuhan dari Tingkat Kapitalisasi yang dipergunakan dalam metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method). Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Diskonto. i. Dalam hal penentuan Tingkat Kapitalisasi Penilai Properti wajib membedakan: 1) 2) Tingkat Kapitalisasi pada saat sekarang (hanya digunakan pada metode Direct Capitalization); dan Tingkat Kapitalisasi terminal (hanya digunakan pada metode diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF)). j. Penilai Properti dalam menetapkan Tingkat Kapitalisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 3) poin i) dan huruf d butir 3) poin g) dapat ditentukan dari: 1) data pasar, dengan cara membandingkan antara pendapatan bersih tahunan obyek penilaian dengan nilai properti pembanding, sesuai dengan kondisi pasar. tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu investasi yang berisiko; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -33- 2) metode penjumlahan (summation method) dengan cara menambahkan atau mengurangi tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) dengan tingkat risiko usaha dari investasi properti yang sebanding dan sejenis. 3) band of investment, dengan cara: a) menghitung biaya ekuitas (cost of equity) dengan memperhatikan: (1) (2) perkiraan inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (3) koefisien beta wajib berasal dari data rata-rata industri pada sektor yang sama dengan obyek penilaian. b) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang terdapat di pasar dari industri yang sebanding dan sejenis; c) mempertimbangkan struktur modal yang terdapat di pasar dari industri yang sebanding dan sejenis; d) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi properti sejenis; e) mempertimbangkan risiko spesifik obyek penilaian; dan f) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut: (1) menghitung persentase struktur modal investasi berdasarkan rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). (2) menggunakan data tingkat bunga pinjaman dari rata-rata bank pemerintah dalam melaksanakan fungsi pembiayaan dalam menentukan biaya utang (cost of debt) pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan (3) menghitung biaya modal rata-rata secara proporsional berdasarkan bobot setiap jenis struktur modal dan biaya dari setiap jenis struktur modal; atau 4) mengurangkan perkiraan tingkat pertumbuhan yang masih ada pada periode terus menerus atau tak terhingga (perpetuity period) dari Tingkat Diskonto yang dipergunakan dalam periode metode diskonto arus kas (discounted cash flow method/DCF). Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Kapitalisasi. 13. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN BIAYA (COST APPROACH) Dalam hal Penilai Properti menggunakan Pendekatan Biaya (Cost Approach) maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pendekatan Biaya (Cost Approach) dilarang digunakan untuk melakukan penilaian atas: 1) hak bangun serah guna (built operating transfer); 2) unit properti dengan status strata title; tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu investasi yang berisiko pada properti yang sejenis; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -34- 3) penilaian tanah; 4) penilaian kendaraan yang bukan merupakan Properti Khusus (Specialized Property); dan 5) penilaian hak sewa (lease hold property). b. Nilai obyek penilaian dalam Pendekatan Biaya (Cost Approach) wajib menghasilkan: 1) 2) 3) Nilai Pasar (Market Value); Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use); atau Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing Use). c. Data yang digunakan dalam Pendekatan Biaya (Cost Approach) adalah: 1) 2) data pasar; dan data pasar yang tersedia terbatas atau data yang tidak berbasis pasar, dengan mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya. d. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 1), maka akan menghasilkan Nilai Pasar (Market Value). e. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menggunakan data sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 2), maka akan menghasilkan Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use) atau Nilai Pasar untuk Penggunaan yang Ada (Market Value for the Existing Use). f. Penggunaan data sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib disajikan secara konsisten oleh Penilai Properti dalam Laporan Penilaian Properti. g. Prosedur yang wajib dilakukan dalam penilaian dengan Pendekatan Biaya (Cost Approach), adalah: 1) menentukan estimasi biaya yang akan digunakan, yaitu Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New); 2) menghitung besarnya estimasi biaya yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dari obyek penilaian; 3) menghitung jumlah penyusutan dari obyek penilaian; 4) mengurangkan besarnya estimasi biaya yang telah dihitung sebagaimana dimaksud dalam butir 2) dengan jumlah penyusutan yang telah dihitung sebagaimana dimaksud dalam butir 3); dan 5) dalam hal obyek penilaian meliputi tanah, maka Nilai tanah wajib ditambahkan ke dalam indikasi Nilai obyek penilaian yang merupakan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam butir 4). h. Perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) sebagaimana dimaksud dalam huruf f butir 1) wajib menggunakan salah satu metode berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -35- 1) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method). a) Dalam menggunakan Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method), Penilai Properti wajib memperoleh data: (1) biaya langsung, antara lain biaya persiapan lahan, biaya material, dan biaya tenaga kerja; (2) biaya tidak langsung, antara lain biaya survey, biaya perizinan, biaya asuransi, biaya lain-lain (overhead cost), keuntungan, dan pajak; dan (3) harga satuan yang digunakan, meliputi biaya bahan dan biaya upah; b) Metode Survei Kuantitas (Quantity Survey Method) wajib mencerminkan kualitas dan kuantitas seluruh bahan yang digunakan dalam konstruksi dan seluruh kategori tenaga kerja. 2) Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method). Dalam menggunakan Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method), Penilai Properti wajib menghitung estimasi biaya bangunan atau konstruksi berdasarkan harga satuan unit terpasang 3) Metode Meter Persegi (Square Meter Method). a) Dalam menggunakan Metode Meter Persegi (Square Meter Method), Penilai Properti wajib: (1) menghitung estimasi biaya pembangunan dengan memperhatikan harga kontrak atau biaya pembangunan dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis yang baru selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak Tanggal Penilaian (Cut Off Date); (2) melakukan penyesuaian terhadap data properti pembanding yang sebanding dan sejenis, dalam hal terdapat perbedaan data secara signifikan antara obyek penilaian dan properti pembanding yang sebanding dan sejenis yang dapat mempengaruhi Nilai; (3) melakukan penyesuaian estimasi biaya pembangunan terhadap kecenderungan perubahan biaya pembangunan pada tanggal kontrak atau tanggal konstruksi sampai dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan (4) menghitung estimasi biaya pembangunan yang dapat diambil dari biaya pembangunan properti pembanding yang sebanding dan sejenis atau biaya pembangunan properti yang baru selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama satu tahun sebelum Tanggal Penilaian (Cut Off Date), dalam hal biaya pembangunan pada tanggal kontrak atau tanggal konstruksi tidak diketahui, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -36- (a) properti pembanding yang sebanding dan sejenis memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use); (b) properti pembanding yang sebanding dan sejenis dalam kondisi pasar yang stabil; dan (c) nilai lokasi (site value) dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis dapat diketahui. b) Metode Meter Persegi (Square Meter Method) wajib digunakan untuk menghitung estimasi nilai obyek penilaian, berdasarkan biaya properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan melakukan penyesuaian, dalam hal properti pembanding dan obyek penilaian berbeda spesifikasi. 4) Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method). a) Dalam menggunakan Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method), Penilai Properti wajib mengalikan biaya pembangunan properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan Indeks Biaya tertentu untuk menghasilkan estimasi biaya pembangunan obyek penilaian. b) Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method) hanya dapat digunakan apabila diketahui biaya pembangunan dari obyek penilaian atau properti pembanding yang sebanding dan sejenis. c) Perbedaan tingkat biaya akibat perbedaan waktu wajib diperoleh dengan cara membandingkan tingkat biaya pada saat ini dengan tingkat biaya pada saat pembangunan. d) perbedaan tingkat biaya akibat perbedaan lokasi wajib diperoleh dengan cara membandingkan harga pasar pada lokasi properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan harga pasar pada lokasi obyek penilaian. i. Penilai Properti wajib menghitung penyusutan estimasi biaya properti dengan menggunakan salah satu metode penyusutan sebagai berikut: 1) Metode ekstraksi pasar a) Metode ekstraksi pasar hanya dapat digunakan jika: (1) harga jual properti pembanding yang berasal dari asosiasi penilai tersedia; (2) properti pembanding yang digunakan wajib memiliki kriteria sebanding dan sejenis; dan (3) perhitungan nilai tanah dan/atau Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atas properti pembanding dapat dilakukan dengan akurat. b) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode ekstraksi pasar adalah: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -37- (1) memperoleh data transaksi atau penawaran properti pembanding dari asosiasi penilai; (2) melakukan penyesuaian data transaksi atau penawaran properti pembanding; (3) menghitung nilai properti pembanding yang telah disusutkan (depreciated cost of improvements) untuk properti yang terdiri atas tanah dan bangunan serta prasarana lain dilakukan dengan cara mengurangkan data transaksi atau penawaran properti pembanding dengan nilai tanah properti pembanding; (4) menghitung Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding; (5) menghitung penyusutan dengan cara mengurangkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding dengan nilai properti pembanding yang telah disusutkan; dan (6) mengkonversikan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi penyusutan dengan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding. 2) Metode umur ekonomis a) Dalam menghitung penyusutan dengan menggunakan metode umur ekonomis, Penilai Properti wajib terlebih dahulu memperoleh data sebagai berikut: (1) umur aktual properti dengan cara menghitung jumlah tahun sejak properti selesai didirikan atau dibuat sampai dengan tanggal penilaian; (2) umur efektif dengan cara melakukan penyesuaian terhadap umur aktual berdasarkan kondisi dan kegunaan properti, atau sisa umur ekonomis properti dengan cara melakukan estimasi terhadap sisa umur yang masih tersisa sebelum properti tidak dapat digunakan atau dioperasikan secara ekonomis; (3) umur ekonomis (economic life) atau umur manfaat (useful life) dengan cara menghitung jumlah tahun sejak properti didirikan atau dibuat sampai dengan estimasi waktu properti tidak dapat digunakan atau dioperasikan secara ekonomis; b) Metode umur ekonomis hanya dapat digunakan jika umur ekonomis dan umur efektif obyek penilaian dapat ditentukan secara akurat. c) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode umur ekonomis adalah: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -38- (1) menentukan umur ekonomis dan umur efektif obyek penilaian; dan (2) menentukan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis obyek penilaian. 3) Metode breakdown a) Dalam metode breakdown, penyusutan dikelompokkan kedalam tiga bagian utama yaitu: (1) kemunduran fisik (physical deterioration); (2) keusangan fungsional (functional obsolescence); dan (3) keusangan ekonomis (economic obsolescence). b) Dalam menentukan penyusutan akibat kemunduran fisik (physical deterioration) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Kemunduran fisik (physical deterioration) disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: (a) umur; (b) intensitas penggunaan; (c) cara pemeliharaan; atau (d) kondisi terlihat. (2) Prosedur perhitungan penyusutan berdasarkan kemunduran fisik (physical deterioration), antara lain: (a) kemunduran fisik (physical deterioration) yang tidak dapat diperbaiki (incurable) didasarkan pada faktor umur, dihitung dengan cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis; atau (b) kemunduran fisik (physical deterioration) yang dapat diperbaiki (curable) didasarkan pada faktor kondisi terlihat, dihitung dengan cara memperkirakan besaran biaya perbaikan yang diperlukan. c) Dalam menentukan penyusutan akibat keusangan fungsional (functional obsolescence) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Keusangan fungsional (functional obsolescence) disebabkan oleh faktor-faktor yang timbul dari dalam obyek penilaian, antara lain: (a) perencanaan yang tidak baik; (b) ukuran ruangan yang tidak sesuai dengan fungsinya; (c) pemakaian bahan bangunan yang tidak sesuai dengan kelaziman; (d) tidak tersedianya sarana yang seharusnya ada; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -39- (e) penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsi semula; atau (f) ketertinggalan teknologi (model). (2) perhitungan penyusutan akibat keusangan fungsional (functional obsolescence) dilakukan dengan cara menghitung estimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membuat obyek penilaian berfungsi dengan optimal, atau memperkirakan inefisiensi operasional. d) Dalam menentukan penyusutan akibat keusangan ekonomis (economic obsolescence) maka wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Keusangan ekonomis (economic obsolescence) disebabkan oleh faktor-faktor yang timbul dari luar obyek penilaian, antara lain: (a) peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) perubahan peruntukkan; (c) perubahan kondisi sosial dan ekonomi; (d) kondisi keamanan; (e) masa penggunaan tanah dan bangunan dimana mesin dan peralatan melekat; (f) kelangkaan bahan baku; dan (g) isu lingkungan hidup. (2) perhitungan penyusutan akibat keusangan ekonomis (economic obsolescence) dilakukan dengan memperhatikan hal- hal, antara lain: (a) dalam hal obyek penilaian dapat diperjualbelikan, maka dihitung dari besarnya nilai perbandingan harga penjualan pada saat sebelum terjadinya keusangan ekonomis (economic obsolescence) dengan pada saat sesudah terjadinya keusangan ekonomis (economic obsolescence); (b) dalam hal obyek penilaian merupakan properti komersial, maka dihitung dari besarnya penurunan pendapatan obyek penilaian dengan memperhatikan penyebab penurunan pendapatan tersebut; dan (c) dalam hal obyek penilaian merupakan properti industri, maka dihitung dari besarnya penurunan produksi obyek penilaian dengan memperhatikan penyebab penurunan produksi tersebut. j. Dalam melakukan penyesuaian maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -40- 1) menerapkan secara konsisten dalam menetapkan penyesuaian harga satuan dan volume pada obyek penilaian. 2) melakukan penyesuaian harga satuan dan volume sesuai dengan kondisi terkini pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date), dengan menggunakan bentuk penyesuaian sebagai berikut: a) Penyesuaian bentuk persentase Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan harga satuan dan volume dalam bentuk persentase. b) Penyesuaian bentuk satuan uang Penyesuaian yang digunakan untuk menyesuaikan perbedaan harga satuan dan volume dalam satuan uang. 3) mengkonversi penyesuaian harga satuan dan volume dalam bentuk persentase atau bentuk satuan uang untuk memperoleh Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) dari obyek penilaian. k. Dalam hal Pendekatan Biaya (Cost Approach) menghasilkan Nilai Pasar (Market Value) obyek penilaian, maka: 1) Nilai Pasar (Market Value) dengan Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atau Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) dikurangi penyusutan; 2) Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atau Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) dan penyusutan yang digunakan diperhitungkan berdasarkan data pasar atau data yang sesuai dengan kelaziman yang ada di pasar atau yang seluruhnya berasal dari pasar. l. Penilai Properti wajib memberikan penjelasan mengenai alasan penggunaan Pendekatan Biaya (Cost Approach) sebagaimana dimaksud dalam huruf f, huruf g dan huruf h, dalam Laporan Penilaian Properti. m. Dalam hal Penilai Properti menggunakan Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) obyek penilaian wajib memenuhi kriteria sebagai Properti Khusus (Specialized Property). 2) obyek penilaian tidak memiliki data pasar atau data yang tidak berbasis pasar, tetapi wajib mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya. 3) perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) dan penyusutan menggunakan data yang tidak berbasis pasar, tetapi wajib mempertimbangkan keadaan pasar atas obyek penilaian sesuai dengan penggunaannya. 4) prosedur yang digunakan dalam Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC), adalah sebagaimana diatur dalam huruf g. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -41- 5) Metode Biaya Pengganti Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC) akan menghasilkan Nilai Dalam Penggunaan (Value in Use) atau Nilai Pasar Untuk Penggunaan Yang Ada (Market Value for the Existing Use). 14. PRINSIP PENGGUNAAN TERTINGGI DAN TERBAIK (HIGHEST AND BEST USE) a. Dalam melakukan penilaian properti untuk menghasilkan Nilai Pasar (Market Value), Penilai Properti wajib melakukan analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis). b. Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari obyek penilaian wajib memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat penilaian. 2) melakukan analisis kelayakan fisik dari obyek penilaian. 3) melakukan analisis kelayakan finansial dari obyek penilaian yang didukung dengan kondisi pasar. 4) melakukan analisis yang menunjukkan produktivitas optimal dari obyek penilaian. 5) tidak diperkenankan untuk mempertimbangkan adanya perubahan peruntukan obyek penilaian, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar hijau, dan ketinggian bangunan. c. Penilai Properti wajib mengungkapkan penjelasan dan alasan dilakukannya analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis) dalam Laporan Penilaian Properti. 15. PENILAIAN REAL PROPERTI Dalam penilaian Real Properti, Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. penilaian Real Properti dilakukan pada obyek penilaian berupa tanah dan bangunan serta prasarananya baik secara terpisah maupun dalam satu kesatuan. b. melakukan identifikasi sifat dari obyek penilaian yang, mencakup antara lain: 1) lokasi; 2) uraian data fisik, antara lain luas, tata ruang (lay-out), kualitas konstruksi; 3) 4) data yuridis; aspek ekonomi serta parameter ekonomi atau parameter keuangan untuk obyek penilaian penghasil pendapatan; 5) perlengkapan properti (trade fixtures) yang bukan real properti; 6) pembatasan dalam perjanjian (negative covenants); 7) pengenaan pajak secara khusus; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -42- 8) peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti hal-hal yang mempengaruhi penilaian, antara lain: 1) 2) 3) 1) analisis kemungkinan penggabungan kepemilikan (marriage atau assemblage value) atau pemisahan hak kepemilikan (component value); analisis pengaruh dari kemungkinan perubahan peruntukan tanah dan pembangunan infrastruktur, misalnya perluasan sistem utilitas publik atau koridor akses; dan analisis kondisi pasar yang tidak menentu. d. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa tanah, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: Nilai Pasar (Market Value) atas tanah merupakan Nilai Pasar (Market Value) dari: a) b) c) tanah kosong yang belum atau tanpa ada properti lain yang melekat diatasnya; tanah siap untuk dibangun; tanah dengan bangunan diatasnya untuk dikembangkan menjadi bangunan yang lebih produktif; dan d) tanah yang telah dikembangkan sesuai dengan peruntukan. 2) memperhatikan kemampuan ekonomis tanah dan posisi atau letak tanah. 3) Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam melakukan penilaian Real Properti berupa tanah adalah: a) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach); b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan (residual technique method); atau c) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan (residual technique method) hanya dipergunakan apabila: (1) Nilai Pasar (Market Value) atas tanah diperuntukkan sebagai bangunan komersial, seperti gedung perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan dan apartemen; atau (2) asosiasi penilai tidak dapat menyediakan data dan informasi properti pembanding yang sebanding dan sejenis atas tanah yang menjadi obyek penilaian. 4) Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa tanah kosong, maka wajib menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) atau metode penyisaan (residual technique method). 5) Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa tanah yang telah dikembangkan dan tanah yang belum dikembangkan, Penilai Properti wajib melakukan analisis penggunaan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -43- tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis) sebagaimana dimaksud dalam angka 14 dan tidak diperkenankan untuk mempertimbangkan adanya perubahan peruntukan obyek penilaian, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, koefisien dasar hijau, dan ketinggian bangunan. e. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa bangunan, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Indikasi Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa bangunan merupakan bagian dari kesatuan nilai yang tidak terpisahkan dari unsur Nilai tanah dan Nilai bangunan. 2) Pemisahan Nilai bangunan (ekstraksi nilai) dari Real Properti berupa tanah dan bangunan tidak mencerminkan Nilai Pasar (Market Value) atas bangunan secara tersendiri melainkan hanya indikasi Nilai. 3) Penentuan indikasi Nilai sebagaimana dimaksud dalam butir 2) hanya dapat dilakukan melalui Pendekatan Biaya (Cost Approach) dengan memperhitungkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) dikurangi dengan penyusutan. 4) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan yang berdiri diatas tanah milik pihak lain wajib memperhatikan perjanjian penggunaan tanah. 5) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir 4) wajib dilakukan dengan menyesuaikan tingkat penyusutan bangunan berdasarkan jangka waktu penggunaan tanah yang masih tersisa. 6) Penilaian Real Properti yang berupa bangunan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan (residual technique method). f. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa strata title, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) strata title merupakan bangunan yang berdiri diatas tanah milik bersama dengan status kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 2) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa strata title dapat dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) atau Pendekatan Pendapatan (Income Approach). 3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa strata title dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach) hanya dapat dilakukan apabila tersedia data berupa harga sewa dan harga jual dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis. g. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa properti komersial, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) properti komersial merupakan properti yang memiliki potensi untuk dioperasikan dalam jangka panjang dan menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -44- 2) memperoleh informasi dari pihak manajemen tentang kondisi yang dapat mempengaruhi pendapatan obyek penilaian. 3) penilaian Real Properti yang berupa bangunan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dengan metode penyisaan (residual technique method). 4) penilaian Real Properti yang berupa properti komersial, dapat menggunakan Pendekatan Penilaian sebagai berikut: a) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach); b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach); dan c) Pendekatan Biaya (Cost Approach). 5) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti komersial dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF). h. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa properti perhotelan, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi: a) perkembangan wisatawan di daerah sekitar; b) c) jumlah hotel di daerah sekitar; hotel yang menjadi pesaing; d) tarif kamar hotel di daerah sekitar; e) tingkat hunian dari hotel di daerah sekitar; dan f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan hotel yang menjadi obyek penilaian. 2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian dibandingkan dengan hotel pesaing. 3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti perhotelan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF). 4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir 3), paling kurang meliputi: a) Pendapatan kamar; b) Pendapatan makanan dan minuman; dan c) Pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan hotel. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -45- i. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa properti perkantoran, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi: a) perkembangan kegiatan usaha di daerah sekitar lokasi; b) jumlah gedung perkantoran di daerah sekitar lokasi; c) gedung perkantoran lain yang menjadi pesaing; d) tarif sewa ruang perkantoran di daerah sekitar lokasi; e) tingkat hunian dari perkantoran di daerah sekitar lokasi; dan f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan obyek penilaian. 2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian dibandingkan dengan perkantoran pesaing. 3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti perkantoran dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DFC). 4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir 3), paling kurang meliputi: a) Pendapatan sewa dan service charge; dan b) Pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan properti perkantoran. j. Dalam hal penilaian Real Properti dilakukan atas obyek penilaian berupa properti pusat perbelanjaan, maka Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) melakukan analisis atas data dan informasi, paling kurang meliputi: a) perkembangan kegiatan usaha perbelanjaan di daerah sekitar lokasi; b) jumlah pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi; c) pusat perbelanjaan lain yang menjadi pesaing; d) tarif sewa lantai pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi; e) tingkat isian dari pusat perbelanjaan di daerah sekitar lokasi; dan f) kondisi yang mempengaruhi pendapatan pusat perbelanjaan yang menjadi obyek penilaian. 2) melakukan analisis atas keunggulan dan kelemahan obyek penilaian dibandingkan dengan pusat perbelanjaan pesaing. 3) penentuan Nilai Pasar (Market Value) atas Real Properti berupa properti pusat perbelanjaan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach), wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF). LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -46- 4) unsur pendapatan yang digunakan dalam Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam butir 3), paling kurang meliputi: a) pendapatan sewa dan service charge; b) pendapatan lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan properti pusat perbelanjaan; 16. PENILAIAN PERSONAL PROPERTI Dalam penilaian Personal Properti, Penilai Properti wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. penilaian Personal Properti dilakukan pada obyek penilaian berupa mesin dan peralatan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) digunakan antara lain untuk: a) produksi atau menyediakan barang atau jasa; b) c) disewakan kepada pihak lain; atau tujuan administratif. 2) dinilai sebagai bagian yang dapat direlokasi atau dipindahkan (ex-situ); 3) dinilai sebagai bagian dari satu kesatuan unit produksi atau dinilai sebagai suatu unit individual di tempat (in-situ); dan 4) digunakan dalam suatu produksi yang berkelanjutan dan lebih dari satu tahun buku. b. Dalam hal mesin dan peralatan merupakan properti milik pihak ketiga, maka tidak dimasukan dalam penilaian. c. Dalam hal Mesin dan Peralatan terdiri dari klasifikasi Properti Khusus (Specialized Property) dan bukan Properti Khusus maka kesimpulan Nilai dibuat berdasarkan masing-masing klasifikasi dan tidak dapat digabung. d. Prosedur yang wajib dilakukan dalam penilaian mesin dan peralatan, paling kurang: 1) mempertimbangkan biaya-biaya dari mesin dan peralatan yang merupakan satu kesatuan unit produksi termasuk biaya fondasi, instalasi, dan persiapan operasi mesin dan peralatan. 2) memperoleh gambaran umum tentang proses produksi dari mesin dan peralatan; 3) melakukan identifikasi atas mesin dan peralatan yang mencakup antara lain nama mesin atau peralatan, merk, tipe atau model, kapasitas, tahun pembuatan, dan tahun penggunaan; 4) memperoleh data dan informasi mengenai program pemeliharaan yang dilakukan terhadap mesin dan peralatan; 5) memperoleh data dan informasi mengenai kondisi mesin dan peralatan; 6) memperoleh data dan informasi mengenai kemampuan produksi dan kondisi utilitas mesin; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -47- 7) memperoleh data dan informasi mengenai kondisi ekonomi atau industri; 8) menghitung estimasi penyusutan mesin dan peralatan yang mencakup kemunduran fisik (physical deterioration), keusangan fungsional (functional obsolescence) dan keusangan ekonomis (economic obsolescence); 9) menentukan asumsi-asumsi mengenai status dan kondisi dari mesin dan peralatan; 10) memperoleh informasi tentang: a) b) c) tersedianya sumber bahan baku; jangka waktu penggunaan tanah dan bangunan; peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan d) dampak lingkungan yang mempengaruhi nilai mesin dan peralatan. 11) menentukan klasifikasi atas bagian dari Mesin dan Peralatan sebagai Properti Khusus (Specialized Property) atau bukan Properti Khusus. 12) memperoleh data dan informasi mengenai status kepemilikan atas mesin dan peralatan; dan 13) memperoleh data dan informasi mengenai adanya nilai tak berwujud (intangible value) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mesin dan peralatan yang memberikan nilai tambah; e. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam melakukan penilaian Personal Properti berupa Mesin dan Peralatan adalah: 1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach); 2) Pendekatan Pendapatan (Income Aproach); dan/atau 3) Pendekatan Biaya (Cost Approach). f. Dalam hal menggunakan Pendekatan Biaya (Cost Approach), maka besarnya penyusutan atas mesin dan peralatan ditetapkan dengan metode penyusutan berikut: 1) Metode ekstraksi pasar a) Metode ekstraksi pasar hanya dapat digunakan jika: (1) harga jual properti pembanding berupa mesin dan peralatan yang berasal dari asosiasi penilai tersedia; (2) properti pembanding berupa mesin dan peralatan yang digunakan wajib memiliki kriteria sebanding dan sejenis; (3) usia dan kondisi dari properti pembanding berupa mesin dan peralatan dapat diketahui ; dan (4) perhitungan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) atas properti pembanding berupa mesin dan peralatan dapat dilakukan dengan akurat. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -48- b) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode ekstraksi pasar adalah: (1) memperoleh data transaksi atau penawaran properti pembanding berupa mesin dan peralatan dari asosiasi penilai; (2) melakukan penyesuaian data transaksi atau penawaran properti pembanding berupa mesin dan peralatan; (3) menghitung nilai properti pembanding berupa mesin dan peralatan yang telah disusutkan (depreciated cost of improvements) dengan cara menyesuaikan data transaksi atau penawaran properti pembanding berupa mesin dan peralatan; (4) menghitung Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding berupa mesin dan peralatan; (5) menghitung penyusutan dengan cara mengurangkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding berupa mesin dan peralatan dengan nilai properti pembanding berupa mesin dan peralatan yang telah disusutkan; dan (6) mengkonversikan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi penyusutan dengan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction Cost New) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding berupa mesin dan peralatan. 2) Metode umur ekonomis a) Dalam menghitung penyusutan dengan menggunakan metode umur ekonomis, Penilai Properti wajib terlebih dahulu memperoleh data sebagai berikut: (1) umur aktual mesin dan peralatan dengan cara menghitung jumlah tahun sejak mesin dan peralatan selesai dibuat hingga tanggal penilaian; (2) umur ekonomis (economic life) atau umur manfaat (useful life) dengan cara menghitung jumlah tahun sejak mesin dan peralatan dibuat sampai dengan estimasi waktu dimana mesin dan peralatan tidak lagi dapat digunakan atau dioperasikan secara ekonomis; (3) umur efektif dengan cara melakukan penyesuaian terhadap umur aktual berdasarkan kondisi dan kegunaan mesin dan peralatan, atau sisa umur ekonomis mesin dan peralatan dengan cara melakukan estimasi terhadap sisa umur yang masih tersisa sebelum mesin dan peralatan tidak lagi dapat digunakan atau dioperasikan secara ekonomis; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -49- b) Metode umur ekonomis hanya dapat digunakan jika umur ekonomis dan umur efektif mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian dapat ditentukan secara akurat. c) Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode umur ekonomis adalah: (1) menentukan umur ekonomis, umur efektif dan sisa umur ekonomis mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian; dan (2) menentukan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis obyek penilaian, atau 100% (seratus perseratus) dikurangi dengan presentase pembagian sisa umur ekonomis dengan umur ekonomis mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian. 3) Menentukan penyusutan dari mesin dan peralatan dengan Metode breakdown Di dalam metode breakdown, depresiasi dikelompokkan kedalam tiga bagian utama yaitu: a) Kemunduran fisik (Physical Deterioration); (1) faktor penyebab Kemunduran fisik, yaitu: (a) Akibat umur; (b) intensitas penggunaan; (c) cara pemeliharaan; dan (d) Kondisi terlihat. (2) Prosedur perhitungan penyusutan berdasarkan kemunduran fisik (physical deterioration), antara lain: (a) kemunduran fisik yang tidak dapat diperbaiki (incurable) didasarkan pada faktor umur, dihitung dengan cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis; atau (b) kemunduran fisik yang dapat diperbaiki (curable) didasarkan pada faktor kondisi terlihat, dihitung dengan cara memperkirakan besaran biaya perbaikan yang diperlukan. b) keusangan fungsional (Functional Obsolescence); (1) Penyusutan akibat keusangan fungsional yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang timbul dari mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian tetapi diluar kemunduran fisik, antara lain: (a) Ketinggalan teknologi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -50- (b) Perencanaan yang tidak optimal; (c) Ketidakseimbangan yang berhubungan dengan ukuran, model, bentuk dan kapasitas; (d) Tidak tersedianya peralatan penunjang yang semestinya ada; dan (e) Penggunaan yang tidak sesuai dengan fungsi semula. (2) penyusutan akibat keusangan fungsional dapat dihitung dari besarnya biaya yang dibutuhkan, agar mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian berfungsi sesuai dengan yang telah direncanakan. c) Keusangan ekonomis (Economic Obsolescence), (1) Penyusutan akibat keusangan ekonomis diakibatkan oleh sebab-sebab yang timbul dari luar, antara lain: (a) peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) perubahan sosial ekonomi masyarakat; (c) kondisi perekonomian; (d) masa penggunaan tanah dan bangunan yang terbatas; (e) kelangkaan bahan baku; dan (f) isu lingkungan hidup. (2) penyusutan akibat keusangan ekonomis dari mesin dan peralatan yang menjadi obyek penilaian dapat dihitung dengan cara, antara lain: (a) dalam hal terdapat data pasar, digunakan perbandingan harga penjualan pada saat sebelum dan sesudah terjadinya keusangan ekonomis; dan (b) dari tingkat pemanfaatan kapasitas pada saat sebelum dan sesudah terjadinya keusangan ekonomis. g. Mesin dan Peralatan yang termasuk dalam jenis Properti Khusus (Specialized Property) dinilai atas dasar Nilai Dalam Penggunaan atau Nilai Pasar untuk Penggunaan Yang Ada, sedangkan mesin dan peralatan yang termasuk dalam jenis properti bukan khusus dinilai atas dasar Nilai Pasar (Market Value). 17. PENILAIAN PROPERTI PERKEBUNAN a. Obyek penilaian dalam penilaian properti perkebunan antara lain Aset Tanaman dan Aset Non Tanaman. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -51- b. Penilai Properti wajib memahami dan mengetahui sifat dan karateristik properti perkebunan. c. Properti perkebunan meliputi tanah dalam satuan lahan yang dalam luasan tertentu, dengan satu atau lebih dari satu komoditas tanaman yang dibudidayakan, sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya. d. Tahapan-tahapan yang wajib dilakukan dalam melakukan penilaian properti perkebunan adalah sebagai berikut: 1) melakukan review atas rencana penugasan, yang antara lain meliputi: a) identifikasi obyek penilaian; b) identifikasi status obyek penilaian; c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); d) maksud dan tujuan penilaian; e) batasan nilai; dan f) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas. 2) membuat rencana Inspeksi yang antara lain meliputi: a) mengidentifikasi jumlah dan jenis data yang diperlukan; b) mengidentifikasi sumber data; c) mengidentifikasi kebutuhan tenaga kerja; d) membuat rencana kerja; dan e) mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perkebunan. 3) melakukan pengumpulan data dan analisis data, yaitu: a) data umum, antara lain meliputi: (1) lokasi yang meliputi wilayah, aksesibilitas, dan kondisi sosial; (2) kondisi ekonomi yang meliputi analisis pasar, pertumbuhan dan arah perkembangan ekonomi; dan (3) karateristik lahan secara umum yang meliputi iklim, ketinggian dari permukaan laut, topografi, kedalaman efektif tanah, jenis, fisik dan kimia tanah, sumber air dan sistem pengairan (drainase), dan batuan dipermukaan dan di dalam tanah. b) data khusus, antara lain meliputi: (1) data agronomi dan budidaya komoditi perkebunan yang diusahakan antara lain jarak tanam, jumlah populasi pokok per tahun tanam yang berdasarkan hasil sensus atau secara sampling, produksi per tahun tanam, asal bibit/kecambah, data kesesuaian lahan, pemupukan dan perawatan tanaman; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -52- (2) (3) teknik budidaya, sertifikat asal bibit, klasifikasi kelas lahan, hasil sensus tanaman atau hasil sampling, laporan analisis tanah dan daun (jika ada), daftar curah hujan; legalitas (masa berlakunya hak guna usaha), gambaran umum perusahaan, jumlah tenaga kerja; dan (4) peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perkebunan. 4) melakukan analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use analysis) dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 14 kecuali huruf b butir 5) serta tidak diperkenankan untuk mempertimbangkan adanya perubahan peruntukan obyek penilaian. 5) menerapkan pendekatan dan Metode Penilaian; 6) melakukan rekonsiliasi nilai; dan 7) memberikan kesimpulan nilai. e. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam penilaian properti perkebunan adalah: 1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat digunakan apabila diperoleh properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian. 2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) hanya dapat digunakan untuk penilaian properti perkebunan yang memiliki menghasilkan. tanaman 3) Pendekatan Biaya (Cost Approach) hanya dapat digunakan untuk penilaian Properti Perkebunan yang seluruhnya terdiri dari tanaman belum menghasilkan. 4) Dalam hal menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Approach) atau Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach), nilai tanaman wajib diperoleh melalui teknik ekstraksi, yaitu dengan cara mengurangi nilai perkebunan dengan nilai tanah, nilai aktiva non tanaman seperti bangunan, infrastruktur, kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan peralatan lainnya. 5) Untuk memperoleh nilai aktiva non tanaman dalam teknik ekstraksi sebagaimana dimaksud dalam butir 4), wajib menggunakan Pendekatan Biaya dan/atau Pendekatan Data Pasar. f. Biaya yang dapat dimasukkan dalam menilai tanaman belum menghasilkan, meliputi: 1) Pembukaan lahan (Land Clearing); 2) Pemancangan; 3) Pembuatan lubang tanam; 4) Penanaman pohon pelindung, kacang-kacangan/leguminosa (jika ada); 5) Pembibitan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -53- 6) Penanaman; 7) Penyulaman dan Penyisipan (jika ada); 8) Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan; 9) Sarana Penunjang meliputi, antara lain: a) bangunan kantor dan perumahan; b) infrastruktur jalan dan jembatan; c) mesin dan peralatan; d) alat berat dan kendaraan; e) inventaris kantor; dan f) unit pengolahan (Pabrik). 10) Biaya yang dapat dimasukkan dalam menilai aset tanah perkebunan, meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan dalam mengurus perizinan sampai diperolehnya hak guna usaha, yaitu antara lain: a) b) biaya pembebasan tanah; dan biaya administrasi dan pengadaan tanah, yang meliputi, antara lain: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) biaya pendaftaran hak guna usaha; biaya pengukuran; biaya panitia; biaya analisis tata guna lahan; biaya pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); biaya ganti rugi tanam tumbuh (jika ada); dan biaya-biaya lain yang dibayarkan. g. Dalam hal menggunakan Pendekatan Biaya, penilaian Properti Perkebunan yang seluruhnya terdiri dari tanaman belum menghasilkan, untuk biaya tanaman per hektar (unit cost) dan standar pemeliharaan tanaman per hektar, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Perkiraan semua biaya yang dikeluarkan mengacu pada standar properti perkebunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dikalikan dengan luas areal tanaman dan dilakukan penyesuaian (adjusment) dengan kondisi sebenarnya sesuai dengan hasil penilaian teknis tanaman; dan 2) Penyesuaian (adjustment) dengan kondisi sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dilakukan terhadap, antara lain: a) populasi tanaman; b) keragaman tanaman; c) tingkat perawatan tanaman; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -54- d) kualitas tanaman. h. Metode Penilaian properti perkebunan yang memiliki tanaman menghasilkan wajib menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF). i. Prosedur yang wajib dilakukan dalam menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) sebagaimana dimaksud dalam huruf h, paling kurang meliputi: 1) menghitung pendapatan bersih tahunan dari produksi tanaman; 2) memperkirakan dan memproyeksikan biaya operasional (Operating Cost) yaitu biaya variabel, biaya tetap, dan beban biaya cadangan atas aktiva pengganti; 3) menghitung pendapatan bersih tahunan, yang diperoleh dari selisih pendapatan kotor dengan biaya operasional (Operating Cost); dan 4) mendiskontokan pendapatan bersih tahunan selama periode operasional atau periode tanaman produktif dengan menggunakan Tingkat Diskonto yang disesuaikan dengan risiko usaha obyek penilaian. 18. PENILAIAN PROPERTI KEHUTANAN a. Penilaian Properti Kehutanan dikelompokkan dalam: 1) Penilaian terhadap Hak Pengelolaan Hutan Alam (HPH), yang terdiri atas Hak Pengelolaan terhadap: a) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI); b) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan Alam (THPB); c) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Alam (THPA); dan d) Kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). 2) Penilaian terhadap Budidaya Hutan Tanaman. 3) Penilaian terhadap sarana dan prasarana properti antara lain bangunan dan peralatan kerja. b. Pendekatan Penilaian yang dapat digunakan dalam penilaian properti kehutanan berupa Hak Pengelolaan Hutan adalah Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dan/atau Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach). c. Pendekatan Penilaian yang digunakan dalam penilaian properti kehutanan berupa Budidaya Hutan Tanaman adalah sebagai berikut : 1) Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) hanya dapat digunakan apabila diperoleh properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -55- 2) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dapat digunakan untuk menilai suatu tegakan hutan yang terletak dalam kawasan hutan baik yang dikelola dengan hutan alam maupun Hutan Tanaman industri dengan menggunakan adalah Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF). 3) Pendekatan Biaya (Cost Approach) digunakan untuk menilai tegakan Hutan Tanaman yang belum masak tebang dan atau pohon bila ditebang belum dapat digunakan. d. Teknik ekstraksi wajib digunakan untuk: 1) menilai tanaman belum masak tebang pada budidaya Hutan Tanaman; 2) menilai tanaman masak tebang pada budidaya Hutan Tanaman; dan 3) menilai tegakan budidaya Hutan Tanaman; apabila Penilai menggunakan Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) atau Pendekatan Biaya (Cost Approach). e. Teknik ekstraksi untuk memperoleh nilai aktiva non tanaman antara lain bangunan, infrastruktur, kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan peralatan lainnya digunakan Pendekatan Biaya dan/atau Pendekatan Data Pasar. f. Penilai Properti dalam melakukan penilaian terhadap properti kehutanan wajib memperoleh pemahaman yang memadai tentang jenis dan karakteristik properti kehutanan yang dinilai. komponen penting yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: 1) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) a) Penataan Areal Kerja; b) Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan; c) Pembukaan Wilayah Hutan; d) Penebangan; e) Pembebasan; f) Inventarisasi Tegakan Tinggal; g) Pengadaan Bibit; h) Penanaman Pengayaan; i) Pemeliharaan Tahapan Pertama; j) Pemeliharaan Lanjutan (Pembebasan dan Penjarangan); dan k) Perlindungan dan Penelitian. 2) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Buatan Alam (THPB) a) Penataan Areal Kerja; b) Pembibitan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -56- c) Pembukaan Wilayah Hutan; d) Penebangan; e) Penyaradan; f) Pengangkutan; g) Pengumpulan; h) Penanaman; i) Pemeliharaan; dan j) Perlindungan dan Penelitian. 3) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) a) Inventarisasi pohon dan permudaan tingkat semai sebelum eksploitasi; b) Penebangan; c) Penyemaian; d) Inventarisasi permudaan tingkat pancang setelah eksploitasi; e) Pemeliharaan Tegakan Hutan; dan f) Perlindungan Hutan. 4) Properti kehutanan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) a) Rancangan Penataan Areal Kerja dan Risalah; b) Pembukaan Wilayah Hutan; c) Pengadaan Bibit; d) Penebangan dan Pembuatan Jalur Bebas Naungan; e) Penyiapan Jalur Bersih; f) Penanaman; g) Pemeliharaan Tanaman; dan h) Perlindungan Tanaman. 5) Properti kehutanan dengan sistem Budidaya Hutan Tanaman a) Pra Tanam, yang meliputi kegiatan: (1) Land Clearing; (2) Pemancangan; (3) Pembuatan lubang tanam; dan (4) Pembibitan. b) Masa Tanaman Belum Masak Tebang (TBMT), yang meliputi kegiatan: (1) Penanaman; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -57- (2) Penyulaman (bila ada); (3) Pemeliharaan TBMT; dan (4) Penjarangan (tergantung jenis tanaman). c) Masa Tanaman Masak Tebang (TMT), yang meliputi kegiatan: (1) Biaya pemanenan tegakan; dan (2) Hasil pemanenan (sesuai jenis dan daur). d) Pengolahan dan Pemasaran Hasil, yang meliputi kegiatan: (1) Pengolahan; (2) Pengepakan; dan (3) Pengiriman. g. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) dalam penilaian Properti Kehutanan wajib memperhatikan: 1) Sumber Pendapatan a) Sumber pendapatan properti kehutanan diperoleh dari penjualan tegakan kayu yang terkandung didalam hutan yang menjadi obyek penilaian. b) Harga jual tegakan kayu diperoleh dari data pasar disekitar lokasi hutan, dengan memperhatikan jenis, perkiraan usia dan diameter tegakan. c) Jumlah tegakkan yang dapat ditebang dan dijual disesuaikan dengan potensi tegakkan yang terkandung di dalam hutan. d) Melakukan analisis terhadap fungsi hutan, kondisi hutan (primer atau sekunder) dan pertumbuhan tegakan hutan. 2) Biaya dan Pengeluaran Biaya dan pengeluaran yang diperhitungkan dalam operasional properti kehutanan, antara lain: a) Hutan Alam (1) (2) (3) (4) (5) biaya penebangan dan pengangkutan; iuran dan kewajiban lain kepada pemerintah; biaya operasional dan pemasaran; biaya reboisasi; dan biaya perizinan. b) Hutan Budidaya (1) (2) (3) (4) biaya perizinan biaya penanaman dan pemeliharaan; biaya operasional; biaya penebangan, pengangkutan, dan pemasaran; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -58- (5) 3) iuran dan kewajiban lain kepada Pemerintah. Tingkat Diskonto (Discount Rate) Besaran Tingkat Diskonto (Discount Rate) yang diterapkan mengacu pada penentuan Tingkat Diskonto (Discount Rate) sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf h disesuaikan dengan jenis oprasional properti kehutanan obyek penilaian. 19. PENILAIAN PROPERTI PERTAMBANGAN a. Obyek penilaian pada properti pertambangan terdiri dari: 1) Aset cadangan antara lain cadangan tambang, areal produktif dan areal belum produktif; dan 2) Aset non cadangan antara lain sarana dan prasarana properti termasuk bangunan dan peralatan kerja. b. Dalam melakukan penilaian properti pertambangan wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Penyelidikan umum, termasuk observasi secara geologi untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian (prospeksi); 2) Eksplorasi, dengan penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan seksama adanya dan letak sifat letakan bahan galian; 3) Eksploitasi properti pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya dengan cara: a) b) c) tambang terbuka (surface mining/open pit); tambang dalam/bawah tanah (underground mining); dan tambang bawah air (underwater mining/marine mine). 4) Pengolahan dan pemurnian bahan galian; 5) Penjualan bahan galian dari hasil pengolahan dan pemurnian; dan 6) Analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan setelah penambangan. c. Penilai Properti dalam melakukan prosedur penilaian pertambangan wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Pengumpulan Data Dan Analisis Pendahuluan: a) Aspek teknik; (1) Kajian geologi dan eksplorasi; (2) Kajian geoteknik; (3) Kajian hidrogeologi; (4) Sistim penambangan; (5) Sistim pengolahan dan pemurnian; (6) Sistem pengangkutan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -59- (7) Nisbah Pengupasan (Stripping Ratio/SR); (8) Kadar Batas Rata-rata Terendah (COG); dan (9) Ketebalan Batas Rata-rata Terambil (COT). b) Aspek ekonomi; (1) Infrastruktur; (2) Tenaga kerja; (3) Harga komoditas bahan galian dan persaingan; (4) Jenis produk sampingan dan produk akhir; dan (5) Nilai dan prospek bahan galian. c) Aspek lingkungan, Kesehatan dan keselamatan Kerja; dan d) Aspek hukum. d. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian properti Pertambangan adalah sebagai berikut: 1) Dalam hal penilaian properti pertambangan berupa aset cadangan, pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut: a) Pendekatan Biaya (Cost Approach) digunakan untuk penilaian pada areal belum produktif (areal dalam tahap penyelidikan umum, eksplorasi dan konstruksi) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan; b) Pendekatan Pendapatan (Income Approach) digunakan untuk penilaian pada areal produktif (areal kawasan produktif dan areal belum produktif tetapi sudah dapat diukur besarnya cadangan tambang) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan dengan menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF); c) Penentuan nilai cadangan dilakukan dengan menghitung perkiraan penerimaan yang akan diperoleh pada tahun-tahun mendatang selama umur tambang dan didiskontokan menjadi nilai saat ini; dan d) Teknik ekstraksi untuk memperoleh nilai cadangan dilakukan dengan cara mengurangi nilai pertambangan dengan nilai tanah dan nilai aktiva non cadangan antara lain bangunan, infrastruktur, kendaraan dan alat berat, mesin-mesin dan peralatan. 2) Dalam hal penilaian properti pertambangan berupa aset non cadangan, pendekatan penilaian yang digunakan adalah Pendekatan Biaya (Cost Approach) dan/atau Pendekatan Data Pasar. e. Penilai Properti pertambangan dalam melakukan penilaian dengan menggunakan metode Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method/DCF) wajib melakukan prosedur sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf c, dan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Mengestimasi dan memproyeksikan Pendapatan kotor tahunan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -60- 2) Mengestimasi biaya operasional (Operating Cost) yang diperoleh dari biaya variabel, biaya tetap dan beban biaya cadangan, sesuai dengan pos pengeluaran sebagai berikut: a) b) biaya eksplorasi; biaya eksploitasi, antara lain; (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) c) biaya persiapan dan biaya pembersihan; biaya pengupasan overburden (OB); biaya penggalian atau peledakan dan pemuatan bahan galian; biaya pengangkutan ke tempat penimbunan (stockpile); biaya perawatan jalan; biaya tenaga kerja langsung; biaya bahan bakar dan pelumas; biaya perawatan alat berat; biaya reklamasi atau penutupan tambang; dan (10) biaya pencadangan. biaya pengolahan atau pemurnian atau ekstraksi; d) biaya pengolahan, termasuk bahan kimia (jika ada); e) f) g) h) i) j) k) l) biaya tenaga kerja langsung; biaya bahan bakar dan pelumas; biaya pemasaran; biaya umum dan administrasi; biaya perawatan: alat berat, mesin dan pelaratan, dermaga, aset operasional lainnya, infrastruktur; biaya pencadangan: alat berat, mesin dan pelaratan, dermaga, aset operasional lainnya, infrastruktur; biaya pemuatan dari stockpile ke kapal (vessel); biaya royalty; m) biaya retribusi; n) biaya pajak bumi dan bangunan; o) biaya asuransi; dan p) keuntungan penambang yang wajar. 3) Mengestimasi pendapatan bersih tahunan, yang diperoleh dari selisih pendapatan kotor proyeksi dengan biaya operasi proyeksi. 4) mendiskontokan pendapatan bersih tahunan proyeksi selama periode operasi atau periode penambangan produktif berdasarkan Tingkat Diskonto sebagaimana dimaksud dalam angka 12 huruf h. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -61- 20. KESIMPULAN NILAI a. Dalam membuat kesimpulan Nilai, Penilai Properti wajib mempertimbangkan: 1) Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian dan prosedur penilaian yang relevan sesuai dengan maksud dan tujuan penilaian; dan 2) Data dan informasi yang relevan serta dapat dipertanggungjawabkan. b. Kesimpulan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, wajib diperoleh dengan cara: 1) mengukur kehandalan hasil penilaian yang didapatkan dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang berbeda; 2) menghubungkan dan merekonsiliasi hasil penilaian yang didapatkan dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang berbeda; dan 3) menentukan bahwa kesimpulan Nilai merupakan hasil penilaian pada lebih dari satu Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian. c. Penilai Properti wajib melakukan rekonsiliasi atas hasil yang didapatkan dengan cara Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross Weighted Method) dalam hal menggunakan lebih dari satu pendekatan, dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Langkah-langkah minimum Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross Weighted Method) dilakukan dengan cara: a) menetapkan faktor tertimbang (weighting factor) berdasarkan besarnya indikasi Nilai yang didapatkan dari pendekatan yang digunakan, dengan cara: (1) menjumlahkan indikasi Nilai yang didapatkan dari masing- masing pendekatan; dan (2) membagi indikasi Nilai masing-masing pendekatan dengan jumlah keseluruhan indikasi Nilai yang didapatkan sebagaimana dimaksud dalam nomor (1). b) mengalikan faktor tertimbang dengan indikasi Nilai yang didapatkan dari masing-masing pendekatan sebagaimana dimaksud dalam poin a). 2) Nilai dari Metode Rata-Rata Tertimbang (Gross Weighted Method) didapatkan dengan cara menjumlahkan indikasi Nilai sebagaimana dihasilkan dari butir 1). d. Penilai Properti wajib mengungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian Properti mengenai prosedur penyesuaian dan rekonsiliasi yang dilakukan untuk memperoleh kesimpulan Nilai, termasuk: 1) alasan-alasan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -62- 2) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian laporan laba rugi dan laporan arus kas, dalam hal Penilai Properti menggunakan data dan informasi dari laporan keuangan; 3) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian proyeksi yang diperoleh dari pihak pemberi tugas, dalam hal Penilai Properti menggunakan data dan informasi dari pemberi tugas; dan 4) rekonsiliasi terhadap indikasi Nilai yang dihasilkan oleh masing-masing Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan. e. Kesimpulan Nilai wajib dinyatakan dalam satu nilai tertentu (single amount) dalam mata uang yang sesuai dengan mata uang yang digunakan di dalam laporan keuangan obyek penilaian. 21. LAPORAN PENILAIAN PROPERTI a. Ketentuan Umum 1) Penilai Properti yang melakukan penugasan penilaian profesional wajib membuat Laporan Penilaian Properti. 2) Laporan Penilaian Properti sebagaimana dimaksud dalam butir 1) wajib berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) dan laporan ringkas (short form report). 3) Jenis dan isi laporan tergantung pada penggunaan laporan penilaian, persyaratan hukum jenis properti, dan sifat dasar serta kompleksitas penugasan. 4) Penilai Properti wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban pelaporan dalam Peraturan ini. 5) Penilai Properti wajib menggunakan definisi dan istilah-istilah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a. Dalam hal Penilai Properti menggunakan definisi dan istilah-istilah lain yang tidak ditetapkan dalam Peraturan ini, maka definisi dan istilah-istilah lain tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian Properti. b. Isi Laporan Penilai Properti Laporan Penilai Properti sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 2) yang berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 1) Surat Pengantar; 2) Daftar Isi; 3) Pendahuluan, yang wajib menjelaskan dan mengungkapkan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a) nomor laporan penilaian atau nomor referensi; b) tanggal laporan penilaian; c) identitas pemberi tugas antara lain nama, bidang usaha, alamat, nomor telepon, faksimili, alamat email; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -63- d) nomor dan tanggal kontrak surat perjanjian kerja atau proposal yang telah disetujui untuk penugasan dimaksud; e) uraian mengenai obyek penilaian; f) g) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); h) maksud dan tujuan penilaian; i) j) ruang lingkup penilaian; dasar nilai yang digunakan; k) definisi dan istilah yang digunakan dalam penilaian; l) uraian informasi yang digunakan dalam analisis; m) pendekatan dan metode penilaian yang ditetapkan serta alasan penggunaannya; n) uraian proses penilaian; o) pernyataan independensi dari Penilai Properti dan tim penugasan penilaian profesional yang terlibat dalam penugasan dan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP); p) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas serta skenario hipotesis yang secara langsung mempengaruhi penilaian; q) uraian mengenai Tenaga Ahli dan hasil pekerjaan Tenaga Ahli dalam hal Penilai Properti mendasarkan penilaiannya pada hasil kerja Tenaga Ahli; r) penjelasan mengenai kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent event); s) uraian mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penilaian (jika ada); dan t) 4) tambahan informasi lain yang diperlukan diluar hal-hal yang telah diuraikan sebagaimana dimaksud dalam poin a) sampai poin t). Tinjauan Pasar Penilai Properti wajib menguraikan tinjauan pasar yang memuat paling kurang: a) obyek penilaian, termasuk kondisi-kondisi yang mempengaruhi proses dan hasil penilaian; dan b) produk yang dihasilkan oleh obyek penilaian. 5) Pengungkapan atas aset adalah sebagai berikut: a) Aset Operasional Uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan Nilai dan Nilai setiap Aset Operasional tersebut termasuk status kepemilikan; dan tanggal Inspeksi properti yang diuraikan untuk setiap obyek penilaian; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -64- b) Aset Non-Operasional Uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan Nilai dan Nilai setiap Aset Non-Operasional tersebut termasuk status kepemilikan. 6) Data dan Informasi Penilai Properti wajib mengidentifikasi dan mengungkapkan data dan informasi baik yang diketahui maupun patut diketahui, yang diperoleh dari dalam atau dari luar pihak pemberi tugas, atas obyek penilaian yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemberi tugas, paling kurang meliputi: a) Dalam hal obyek penilaian meliputi tanah, maka hal-hal yang wajib diungkapkan, antara lain: Uraian teknis tanah meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Lokasi dan Identifikasi; Berisi uraian tentang lokasi tanah dengan menyebutkan: (a) Alamat lengkap; (b) akses menuju lokasi tanah; (c) jarak lokasi tanah dengan properti atau tempat tertentu yang mudah diidentifikasi; dan (d) spesifikasi jalan di sekitar lokasi tanah. (2) Data Lingkungan; Uraian tentang keadaan lingkungan dari lokasi tanah berada dan sekitarnya, paling kurang: (a) pemanfaatan atau penggunaan tanah disekitarnya; (b) peruntukkan penggunaan tanah (zoning); (c) properti atau tempat disekitarnya yang mudah diidentifikasi dan dapat dijadikan acuan lokasi; dan (d) fasilitas umum yang tersedia. (3) Data Tanah; Uraian tentang keadaan status atau legalitas sertifikat tanah serta spesifikasi teknis tanah obyek penilaian, paling kurang: (a) jenis dan nomor sertifikat, tanggal dan tempat diterbitkan serta masa berlaku, nomor dan tanggal gambar situasi atau surat ukur, luas tanah, dan nama pemegang hak; dan (b) bentuk, ukuran, keadaan permukaan, serta keterangan lainnya yang terkait dan relevan. (4) Pemanfaatan Tanah; Uraian tentang pemanfaatan atau penggunaan tanah pada saat penilaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -65- (5) Penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use); dan Uraian tentang Penggunaan Terbaik dan Tertinggi dari obyek penilaian, dalam hal memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use). (6) Uraian tentang obyek penilaian yang tidak memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use). (7) Data dan/atau Properti Pembanding Uraian tentang data dan/atau properti pembanding yang digunakan sebagai pembanding dalam proses penilaian. b) Dalam hal obyek penilaian meliputi bangunan, maka hal-hal yang wajib diungkapkan, paling kurang: (1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan Nilai dan Nilai setiap bangunan tersebut; dan (2) spesifikasi teknis bangunan meliputi nama bangunan, jenis konstruksi, jumlah lantai, jenis fondasi, material yang digunakan, tata ruang, kelengkapan bangunan, luas lantai dan kondisi fisik. c) Dalam hal obyek penilaian meliputi mesin dan peralatan, maka hal-hal yang wajib diungkapkan, adalah sebagai berikut: (1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan Nilai dan Nilai setiap Mesin dan Peralatan; dan (2) spesifikasi teknis mesin dan peralatan meliputi jenis mesin, nama mesin, pembuat, model atau tipe mesin, tahun pembuatan, negara asal, sistem kerja, kapasitas keluar, tenaga penggerak, sumber daya dan kebutuhan tenaganya, peralatan pendukung, kelengkapan mesin, dan kondisi fisik. d) Dalam hal obyek penilaian meliputi prasarana maka hal-hal yang wajib diungkapkan, adalah sebagai berikut: (1) uraian teknis, pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan Nilai dan Nilai setiap prasarana. (2) spesifikasi teknis prasarana meliputi nama prasarana, jenis konstruksi, jenis fondasi, material yang digunakan, kelengkapan prasarana dan kondisi fisik. 7) Pertimbangan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian Penilai Properti wajib menyatakan bahwa telah mempertimbangkan penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini. 8) Penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -66- Penilai Properti wajib menjelaskan dan mengungkapkan penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian serta uraian dalam penerapannya. 9) Perhitungan Indikasi Nilai Penilai Properti wajib mengungkapkan proses perhitungan untuk menghasilkan indikasi Nilai. 10) Rekonsiliasi Estimasi Nilai dan Kesimpulan Nilai a) Penilai Properti wajib menyajikan rekonsiliasi dari berbagai estimasi Nilai yang diperoleh dari Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan serta mengungkapkan pertimbangan rekonsiliasi yang mendasari kesimpulan Nilai, terkecuali penilaian atas obyek penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka 10 huruf d. b) uraian dari indikasi Nilai obyek penilaian atau bagian dari obyek penilaian serta kesimpulan Nilai akhir yang berupa nilai tunggal (single amount). 11) Pernyataan Penilai Properti Penilai Properti wajib menyatakan bahwa: a) penugasan penilaian profesional telah dilakukan terhadap obyek penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date); b) analisis telah dilakukan untuk tujuan penilaian yang diungkapkan dalam Laporan Penilaian Properti; c) penugasan penilaian profesional telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d) telah dilakukan Inspeksi terhadap obyek penilaian; e) f) h) i) perkiraan Nilai yang dihasilkan dalam penugasan penilaian profesional telah disajikan sebagai kesimpulan Nilai; lingkup pekerjaan dan data yang dianalisa telah diungkapkan; g) kesimpulan Nilai telah sesuai dengan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; seluruh data dan informasi yang diungkapkan dalam laporan dapat dipertanggungjawabkan; dan besaran imbalan jasa penilai tidak tergantung pada hasil penilaian. 12) Kualifikasi Penilai Properti Penilai Properti wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan keahlian Penilai Properti. 13) Tanda Tangan Penilai Properti Penilai Properti wajib menandatangani Laporan Penilaian Properti dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal pelaporan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -67- 14) Lampiran Laporan Penilai Properti wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian. c. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas Properti khusus (Specialized Property), maka laporan lengkap (long form report) paling kurang memuat: 1) 2) 3) informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; penjelasan identifikasi Properti Khusus (Specialized Property); dan alasan penggunaan Pendekatan Biaya (Cost Approach) dengan Metode Biaya Penggantian Terdepresiasi (Depreciated Replacement Cost Method/Metode DRC). d. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas obyek penilaian dalam tahap pembangunan atau pengembangan, maka Laporan Penilaian lengkap (long form report) paling kurang memuat: 1) 2) 3) 4) 1) 2) informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; tingkat penyelesaian pembangunan atau pengembangan properti; rencana penyelesaian pembangunan atau pengembangan; dan rencana mulai beroperasi secara komersial. e. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti perkebunan, maka laporan lengkap (long form report) paling kurang memuat: informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; informasi tambahan yang wajib disajikan dalam laporan penilaian properti perkebunan, antara lain: a) Tanaman Perkebunan meliputi tanaman belum menghasilkan; b) bibitan; c) perkebunan plasma; dan d) Aset Non Tanaman. f. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti kehutanan, maka Laporan Penilaian lengkap (long form report) paling kurang memuat: 1) informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; 2) Identifikasi properti, meliputi: a) legalitas properti; b) perizinan pemanfaatan hasil hutan yang telah diperoleh; c) sejarah pengelolaan kawasan hutan; d) kondisi fisik dan sosial ekonomi; e) f) fungsi hutan; analisis areal efektif; tanaman menghasilkan dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -68- g) h) i) j) k) 3) luas dan umur tanaman; survei potensi, jenis kayu yang bisa diperdagangkan dan dilindungi; etat luas, etat volume, daur tanaman, faktor eksploitasi dan pengaman; kewajiban-kewajiban perlindungan hutan; areal konsesi dan proyeksi rencana kerja tahunan sesuai daur; dan l) kinerja pengelolaan properti hutan. Analisis pasar sesuai dengan jenis dan penggunaan kayu obyek penilaian; g. Dalam hal Penilai Properti melakukan penilaian atas properti pertambangan, maka laporan lengkap (long form report) paling kurang memuat: 1) informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b; 2) Uraian mengenai data yang telah diverifikasi dalam penilaian properti pertambangan antara lain: a) Legalitas perizinan perusahaan termasuk sertifikat Hak Guna Bangunan pada unit pengolahan, dan perizinan lainnya yang berkaitan dengan penambangan termasuk pada: (1) uraian mengenai kepemilikan, hak guna lahan, Izin Usaha Pertambangan; (2) tanggal persetujuan, mulai, dan masa berlakunya Izin Usaha Pertambangan; (3) penjelasan mengenai daerah target eksploitasi dan/atau daerah yang dilepas; (4) penjelasan mengenai bahan galian yang diselidiki; dan (5) luas wilayah properti pertambangan, dan luas daerah penyelidikan. b) Standar biaya pengolahan per Ton atau per Kilo Gram atau per satuan lainnya dari hasil bahan galian (break event stripping ratio/BESR); c) Hasil pekerjaan Tenaga Ahli mengenai kelayakan pertambangan dan laporan analisa cadangan; d) Uraian tentang lokasi pertambangan dengan mengungkapkan: (1) akses menuju lokasi tambang; (2) (3) 3) spesifikasi jalan di sekitar lokasi tambang. informasi tambahan yang wajib disajikan dalam Laporan Penilaian Properti pertambangan, antara lain: a) Aset Cadangan; dan jarak lokasi obyek penilaian dengan properti/aset atau tempat tertentu yang mudah diidentifikasi; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-478/BL/2009 Tanggal : 31 Desember 2009 -69- b) Aset Non Cadangan. h. Laporan ringkas (short form report) sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 3) merupakan ringkasan seluruh informasi penting dari Laporan Penilaian Properti yang berbentuk laporan lengkap (long form report). i. Laporan ringkas (short form report) dapat disajikan secara terpisah namun merupakan satu kesatuan dari Laporan Penilaian Properti. 22. KETENTUAN PENUTUP a. Untuk obyek penilaian dalam kondisi tertentu, Bapepam dan LK dapat menetapkan ketentuan mengenai obyek penilaian tersebut. b. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan Peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Desember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Pjs. Kepala Bagian Umum ttd. Kristrianti Puji Rahayu NIP 060089892
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-478/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN PROPERTI DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 31 Desember 2009 </set_date> <effective_date> 1 April 2010 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 106 /BL/2008 TENTANG KOMISARIS BURSA EFEK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Bursa Efek yang sehat dan berdaya saing global, maka diperlukan pengawas Bursa Efek yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan komisaris Bursa Efek dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KOMISARIS BURSA EFEK. Pasal 1 Ketentuan mengenai Komisaris Bursa Efek, diatur dalam Peraturan Nomor III.A.12 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 โ€“ Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan terkait dengan komisaris Bursa Efek sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.A.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-05/PM/2001 tanggal 8 Maret 2001 sebagaimana diubah terakhir dengan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-352/BL/2007 Tentang Perubahan Peraturan Nomor III.A.3 Tentang Komisaris dan Direktur Bursa Efek tanggal 30 Oktober 2007 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Komisaris Bursa Efek yang sedang menjabat pada saat ditetapkannya Keputusan ini tetap dapat menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 PERATURAN NOMOR III.A.12 : KOMISARIS BURSA EFEK 1. Ketentuan Umum a. Bursa Efek wajib mempunyai paling sedikit 3 (tiga) orang komisaris. b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan komisaris Bursa Efek paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan komisaris. Penetapan Bapepam dan LK dimaksud berlaku sampai dengan adanya penetapan Bapepam dan LK selanjutnya. 2. Persyaratan Komisaris a. Setiap komisaris Bursa Efek wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; 7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia; dan 9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko. b. Anggota Dewan Komisaris Bursa Efek, selain persyaratan huruf a tersebut di atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 3 (tiga) atau 4 (empat) orang, maka: a) paling sedikit satu orang komisaris merupakan direktur Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; b) satu orang komisaris merupakan direktur pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; dan c) satu orang komisaris wajib: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 2 - (1) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; (2) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau (3) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun; atau 2) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang, maka: a) 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; b) satu orang komisaris merupakan direktur pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; c) satu orang komisaris wajib berpengalaman pada: (1) posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; atau (2) posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; dan d) satu orang komisaris merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun; atau 3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris terdiri lebih dari 5 (lima) orang, maka: a) paling sedikit 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur Anggota Bursa Efek dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; b) paling sedikit 2 (dua) orang komisaris merupakan direktur pada Emiten atau Perusahaan Publik yang tercatat di Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dicatatkan dan telah menjabat paling kurang 2 (dua) tahun; c) paling sedikit satu orang komisaris wajib berpengalaman pada: (1) posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; atau (2) posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang- undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 3 - d) paling sedikit satu orang komisaris merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun. c. Dua atau lebih komisaris Bursa Efek dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. 3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Bursa Efek wajib dilakukan oleh kelompok Anggota Bursa Efek dengan paling sedikit terdiri dari 10 (sepuluh) Anggota Bursa Efek, dengan persyaratan sebagai berikut: 1) 10 (sepuluh) atau lebih Anggota Bursa Efek tersebut telah melakukan transaksi Efek secara bersama-sama paling kurang 10% (sepuluh per seratus) dari total frekuensi dan nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua belas) bulan terakhir; 2) masing-masing Anggota Bursa Efek secara sendiri-sendiri telah melakukan transaksi Efek paling kurang 0,2% (dua per seribu) dari total frekuensi dari nilai perdagangan Efek di Bursa Efek selama 12 (dua belas) bulan terakhir; dan 3) masing-masing Anggota Bursa Efek hanya dapat menjadi anggota pada satu kelompok Anggota Bursa Efek. b. Dalam pencalonan komisaris Bursa Efek, kelompok Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas secara bersama-sama bertanggung jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai komisaris sesuai peraturan ini dan mengusulkan atau merekomendasikan honorarium dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada). c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dalam satu kesatuan paket calon Dewan Komisaris dan salah satu calon wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, kelompok Anggota Bursa sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) riwayat hidup calon komisaris; 2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai dengan angka 8) peraturan ini; 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris; 4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris dengan Anggota Bursa Efek, Emiten atau Perusahaan Publik yang Efeknya tercatat di Bursa Efek; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 4 - 5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon komisaris (jika ada); 6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Bursa Efek yang teratur, wajar dan efisien dengan komisaris lain dan direktur Bursa Efek; 7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan Formulir Nomor III.A.12-1; 8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan 9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon komisaris dan minuta rapat dari kelompok Anggota Bursa Efek, termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon komisaris diangkat menjadi komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Bursa Efek khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; e. Pengajuan nama calon komisaris oleh Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c tersebut di atas beserta dokumen- dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di atas wajib diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut diajukan kembali kepada Bapepam dan LK. 4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK. b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai anggota. c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite. d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan presentasi. e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi. f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 4 huruf e di atas meliputi: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 5 - 1) cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundangโ€“undangan di bidang Pasar Modal; dan 7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek dan Pasar Modal Indonesia. g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 4 huruf e di atas meliputi: 1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko; dan 3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas. h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud kepada kelompok Anggota Bursa Efek yang mengajukan calon komisaris paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh kelompok Anggota Bursa sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka kelompok Anggota Bursa Efek dapat mengajukan kembali calon komisaris lain untuk menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada kelompok Anggota Bursa Efek dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e peraturan ini. 6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi, Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Bursa Efek paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. 7. Direksi Bursa Efek wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf d paling lambat satu hari kerja setelah diterimanya daftar calon komisaris LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 6 - dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. 8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Bursa Efek untuk mengangkat komisaris Bursa Efek dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham. d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama berhalangan. 9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang satu bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. 10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris. b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium termasuk metode penentuannya, bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan memperhatikan masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung jawabnya serta kelayakan yang berlaku pada umumnya. 11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh kelompok Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada), sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. 12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. 13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir dan atau ada tambahan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 7 - komisaris baru, maka masa jabatan komisaris tersebut berlaku selama sisa masa jabatan Dewan Komisaris yang sedang menjabat; dan b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. 14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan direksi. 15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan kelompok Anggota Bursa Efek wajib segera mengajukan calon komisaris penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini. 16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Bursa Efek wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh direksi Bursa Efek. 17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka: a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini. b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada. c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini. 18. Anggota Dewan Komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris tersebut, antara lain: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Bursa Efek; i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau j. berhalangan tetap. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-106/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 8 - 19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Formulir Nomor: III.A.12-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œYaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œTidakโ€.โ€. 3. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat: a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan atau sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas tuduhan: a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 1 b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya ๎€€ tidak 2. Apakah pengadilan: a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya c. pernah memutuskan ๎€€ tidak bahwa calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris? 2 ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar negeri pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya b. ๎€€ tidak menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam bidang usaha tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Pengacara atau Penilai? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3 b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan: 1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau 3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana? ๎€€ ya ๎€€ tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20 Pemohon Materai โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (Nama Lengkap) 4
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-106/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> KOMISARIS BURSA EFEK </reg_title> <set_date> 10 April 2008 </set_date> <effective_date> 10 April 2008 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-352/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3', 'KEP-05/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001 | Lampiran Peraturan Nomor III.A.3' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 394/BL/2008 TENTANG INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan kualitas informasi penilaian yang menjadi salah satu dasar dalam pengambilan keputusan pemodal, maka diperlukan pendapat dari Penilai yang independen dan profesional; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang independensi Penilai yang melakukan kegiatan di Pasar Modal; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai independensi Penilai yang melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor VIII.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Penilai yang pada saat berlakunya peraturan ini telah memberikan jasa penilaian untuk 3 (tiga) tahun berturut-turut atau lebih kepada klien dan masih mempunyai perikatan penugasan penilaian profesional pada tahun berikutnya, hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk satu penugasan penilaian profesional. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 6 Oktober 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep- 394/BL/2008 : 6 Oktober 2008 PERATURAN NOMOR VIII.C.2: INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL 1. Definisi dari istilah-istilah pada peraturan ini adalah: a. Penugasan Penilaian Profesional adalah penugasan yang diterima oleh Penilai dari klien untuk melakukan penilaian atas objek tertentu dengan tujuan penilaian tertentu pada tanggal tertentu dimana Penilai mendasarkan opininya, yang disajikan dalam laporan penilaian. b. Periode Penugasan Penilaian Profesional adalah periode penugasan yang diperlukan untuk melakukan suatu proses penilaian hingga ditandatanganinya laporan penilaian. c. Anggota Keluarga Dekat adalah istri atau suami, orang tua, anak baik di dalam maupun di luar tanggungan, dan saudara kandung. d. Fee Kontinjen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional yang hanya akan dibebankan apabila ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut kecuali jika fee ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur atau dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur. e. Orang Dalam Kantor Jasa Penilai Publik adalah: 1) Orang yang termasuk dalam Tim Penugasan Penilaian Profesional yaitu: a) semua rekan, pimpinan, karyawan profesional dan atau tenaga ahli yang berpartisipasi dalam penugasan penilaian; b) mereka yang melakukan penelaahan lanjutan atau yang bertindak sebagai rekan ke dua dan (seterusnya) selama Periode Penugasan Penilaian Profesional; atau c) Penilai lain sebagai anggota konsorsium dalam suatu penugasan penilaian profesional; atau 2) Orang yang termasuk dalam rantai pelaksana/perintah yaitu semua orang yang: a) mengawasi atau mempunyai tanggung jawab manajemen secara langsung terhadap penugasan penilaian profesional; b) mengevaluasi kinerja atau merekomendasikan kompensasi bagi rekan dan anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional; atau c) mengawasi pelaksanaan pengendalian mutu atau pengawasan lain atas penugasan penilaian profesional; atau 3) Setiap rekan, pimpinan, karyawan profesional dan atau tenaga ahli lainnya dari Kantor Jasa Penilai Publik yang telah melaksanakan penugasan penilaian profesional lainnya kepada klien. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- f. Tenaga Ahli yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan Penilaian dan tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik. g. Karyawan Kunci yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan kegiatan perusahaan yang meliputi anggota Komisaris, anggota Direksi, dan manajer dari pihak yang dinilai dan atau pemberi tugas. h. Hubungan usaha yang material adalah hubungan usaha yang nilainya lebih dari 5 % (lima perseratus) dari total pendapatan usaha yang diterima dari klien. 2. Jangka waktu Periode Penugasan Penilaian Profesional: a. Periode Penugasan Penilaian Profesional dimulai sejak dimulainya pekerjaan lapangan profesional, mana yang lebih dahulu. b. Periode Penugasan Penilaian Profesional berakhir pada saat laporan penilaian yang ditandatangani oleh Penilai diserahkan kepada klien. 3. 4. 5. Dalam memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini atau penilaian, Penilai wajib mempertahankan sikap independen. Dalam memberikan jasa profesional, Penilai dilarang menggunakan tenaga penilai dari Kantor Jasa Penilai Publik lain. Penilai tidak independen selama Periode Penugasan Penilaian Profesionalnya, apabila Penilai, Kantor Jasa Penilai Publik, atau Orang Dalam Kantor Jasa Penilai Publik: a. mempunyai kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material pada klien, seperti: 1) investasi pada klien; atau 2) kepentingan keuangan lain pada klien, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; b. mempunyai hubungan pekerjaan dengan klien, seperti: 1) merangkap sebagai Karyawan Kunci pada klien; 2) memiliki Anggota Keluarga Dekat yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci; 3) mempunyai mantan rekan atau karyawan profesional dari Kantor Jasa Penilai Publik yang bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci, kecuali setelah lebih dari 1 (satu) tahun tidak bekerja lagi pada Kantor Jasa Penilai Publik yang bersangkutan; atau 4) mempunyai rekan atau karyawan profesional dari Kantor Jasa Penilai Publik yang sebelumnya pernah bekerja pada klien sebagai Karyawan Kunci, kecuali yang bersangkutan tidak ikut melaksanakan penugasan penilaian profesional terhadap klien tersebut dalam Periode Penugasan Penilaian Profesional; c. mempunyai Hubungan Usaha Yang Material secara langsung atau tidak langsung dengan klien, atau dengan Karyawan Kunci yang bekerja pada atau penandatanganan penugasan penilaian : Kep- 394/BL/2008 : 6 Oktober 2008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- klien, atau dengan Pemegang Saham Utama atau pengendali klien. Hubungan usaha dalam ketentuan ini tidak termasuk hubungan usaha dalam hal Penilai, Kantor Jasa Penilai Publik, atau Orang Dalam Kantor Jasa Penilai Publik memberikan jasa penilaian kepada klien, atau merupakan konsumen dari produk barang atau jasa klien dalam rangka menunjang kegiatan rutin; d. memberikan jasa-jasa lain kepada klien yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; atau e. memberikan jasa atau produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee Kontinjen atau komisi dari klien. 6. Sistim Pengendalian Mutu Kantor Jasa Penilai Publik wajib mempunyai sistem pengendalian mutu dengan tingkat keyakinan yang memadai bahwa Kantor Jasa Penilai Publik atau karyawannya dapat menjaga sikap independen dengan mempertimbangkan ukuran dan sifat praktik dari Kantor Jasa Penilai Publik tersebut. 7. Pembatasan Penugasan Penilaian Profesional a. Pemberian jasa penilaian kepada klien hanya dapat dilakukan oleh seorang Penilai paling lama 3 (tiga) tahun berturut-turut terhitung sejak tanggal laporan penilaian pada Penugasan Penilaian Profesional pertama. b. Penilai dapat menerima penugasan penilaian profesional kembali dari klien sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf a peraturan ini setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak melakukan penugasan penilaian profesional bagi klien tersebut terhitung sejak tanggal laporan penilaian pada penugasan penilaian profesional terakhir. c. Dalam hal pemberian jasa penilaian kepada klien yang dilakukan oleh seorang Penilai tidak 3 (tiga) tahun berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf a peraturan ini, maka Penilai baru dapat menerima penugasan penilaian profesional kembali dari klien tersebut setelah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b peraturan ini. 8. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 6 Oktober 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 : Kep- 394/BL/2008 : 6 Oktober 2008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- : Kep- 394/BL/2008 : 6 Oktober 2008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-394/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> INDEPENDENSI PENILAI YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 6 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 6 Oktober 2008 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 13/BL/2009 TENTANG DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sehat dan berdaya saing global, maka diperlukan pengelola Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan diatur dalam Peraturan Nomor III.B.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DIREKTUR DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan terkait dengan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.B.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-09/PM/1996 tentang Persyaratan Calon Direktur dan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tanggal 17 Januari 1996 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat sebelum ditetapkannya peraturan ini tetap dapat menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Januari 2009. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Januari 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 PERATURAN NOMOR III.B.3 : DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN 1. Ketentuan Umum a. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang direktur. b. Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan serta mengajukan kepada Bapepam dan LK paling lambat 121 (seratus dua puluh satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. c. Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, dewan komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada Peraturan ini, Peraturan Nomor III.B.1, dan struktur organisasi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang berlaku. d. Dalam menentukan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana diatur dalam angka 11 dan angka 12. e. Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dewan komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka Bapepam dan LK menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. f. Bapepam dan LK menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 109 (seratus sembilan) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. g. Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan, Bapepam dan LK dapat menambah direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat. 2. Persyaratan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan a. Setiap direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 2 - 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; 7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan pasar modal internasional; 8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan 9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko. b. Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a, calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; 2) calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya wajib berpengalaman pada: a) posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling kurang 5 (lima) tahun; b) posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling kurang 3 (tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; c) posisi manajerial paling kurang satu tingkat di bawah direktur atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling kurang 3 (tiga) tahun; dan/atau d) mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal, paling kurang 5 (lima) tahun. c. Bagi calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan sebagai direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan, selain wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, juga wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. 3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan a. Pencalonan dan pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dilakukan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 3 - b. Dalam pencalonan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada huruf a bertanggung jawab mencari dan menyeleksi calon direktur, meneliti bahwa setiap calon direktur tersebut mempunyai keahlian, pengalaman dan tanggung jawab untuk masing-masing jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11 dan angka 12, dan menegosiasikan atau merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi masing-masing calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.B.8 (jika ada). c. Calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam satu kesatuan paket calon direksi, dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11 dan angka 12. d. Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku untuk pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. e. Dalam pengajuan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Bapepam dan LK, pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) riwayat hidup calon direktur; 2) surat pernyataan calon direktur yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3), angka 4), angka 5), angka 6) dan angka 8); 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon direktur; 4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan calon direktur lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan, komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan/atau Anggota Bursa Efek yang merupakan anggota kliring Lembaga Kliring dan Penjaminan; 5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan (jika ada); 6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertanggung jawab untuk kegiatan yang menjadi tugasnya sebagaimana dimaksud dalam, angka 11 dan angka 12 dan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar, dan efisien dengan komisaris dan direktur lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan dimaksud; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 4 - 7) surat pernyataan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai direktur, komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan terpilih sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan; 8) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 peraturan ini mengenai integritas calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.3-1; 9) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); 10) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi, dan meneliti calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dari pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a, termasuk negosiasi atau rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon direktur diangkat menjadi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, melainkan semata- mata kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; 11) Rencana strategis calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sejalan dengan visi dan misi Lembaga Kliring dan Penjaminan; 12) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang menyatakan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan setelah menjadi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tidak akan menggunakan aset Lembaga Kliring dan Penjaminan atau melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada Pihak terafiliasinya, direktur lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan, Pihak terafiliasi dari direktur lain Lembaga Kliring dan Penjaminan, komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan/atau Pihak terafiliasi dari komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan 13) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang menyatakan antara lain : a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau tidak mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. f. Pengajuan nama calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf c beserta dokumen-dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf e, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan direktur Lembaga Kliring dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 5 - Penjaminan. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut disampaikan kepada Bapepam dan LK. 4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan a. Setiap calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK. b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai anggota. c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite. d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan antara lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan/atau permintaan presentasi. e. Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, Komite dapat dibantu oleh nara sumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Bapepam dan LK. f. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi. g. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi: 1) cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundangโ€“undangan di bidang Pasar Modal; dan 7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia. h. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi: 1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan pasar modal internasional; 2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 6 - 3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau huruf c; dan 4) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau keahlian sesuai dengan bidang yang dipersyaratkan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) dan butir 2) poin b). i. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud kepada kelompok pemegang saham mayoritas yang mengajukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 21 (duapuluh satu) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. Jika dalam satu daftar paket calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diajukan oleh pemegang saham mayoritas sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka pemegang saham mayoritas dapat mengajukan kembali calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan lain untuk menggantikan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada pemegang saham mayoritas dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e. 6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi, Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Direktur beserta fotokopi dokumen calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. 7. Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf e paling lambat satu hari kerja setelah diterimanya daftar calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dari Bapepam dan LK. Daftar paket calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. 8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal Rapat Umum Pemegang Saham, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 7 - c. Direktur untuk masing-masing jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka 6, dipilih dan diangkat berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham dengan tetap memenuhi komposisi sebagaimana ditetapkan dalam angka 2 huruf b. d. Pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan secara paket sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c tidak berlaku untuk pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. e. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. f. Seorang calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terpilih sebagaimana huruf c, mempunyai hak untuk mengundurkan diri, sebelum diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham. g. Pada saat Rapat Umum Pemegang Saham calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham. Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum Rapat Umum Pemegang Saham yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. 9. Gaji dan manfaat lain bagi calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b wajib ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.B.8 (jika ada). 10. Gaji dan manfaat lain bagi direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 9 yang diajukan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a wajib disetujui dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. 11. Salah seorang diantara calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditetapkan sebagai calon direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan tugas utama antara lain mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat direksi tidak dapat mengambil keputusan, melakukan koordinasi kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan, kegiatan hubungan masyarakat dan kegiatan pemeriksaan internal. 12. Calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan lainnya wajib ditetapkan sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang antara lain bertanggung jawab terhadap satu atau lebih kegiatan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 8 - a. kliring dan penyelesaian; b. penjaminan dan pengelolaan risiko; c. riset dan pengembangan; d. teknologi informasi; e. hukum; dan f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum. 13. Dalam hal direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan mengganggap direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan pada saat yang bersangkutan diangkat tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, maka atas keputusan rapat direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan dewan komisaris, Bapepam dan LK, dan ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. 14. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan direktur lain dari Lembaga Kliring dan Penjaminan dan/atau komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. 15. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek. 16. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau dilarang mentraksaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam hal pada saat direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham telah memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, maka saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. 17. Masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Apabila seorang direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan diangkat untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut berlaku selama sisa masa jabatan direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat; b. Penghitungan satu kali masa jabatan bagi seorang direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling kurang 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan c. Keseluruhan masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 9 - 18. Berakhirnya masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan. 19. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan diketahui atau dinyatakan oleh Bapepam dan LK tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham mayoritas wajib segera mengajukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 20. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong, maka jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dimaksud lowong, dan pemegang saham mayoritas wajib segera mengajukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 21. Dalam hal terjadi: a. Jabatan direktur utama Lembaga Kliring dan Penjaminan lowong, maka salah satu direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menduduki jabatan direktur utama yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK. b. Jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan selain direktur utama lowong, maka tugas direktur tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dialihkan kepada direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK. 22. Bapepam dan LK dapat menetapkan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong tidak wajib diisi sebagaimana ditentukan dalam angka 20 setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Kliring dan Penjaminan. 23. Batas waktu penggantian dan/atau pengisian direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 19 dan angka 20 dapat ditentukan lain oleh Bapepam dan LK. 24. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan, maka direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 10 - 25. Dalam pengisian jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk menggantikan jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan baru, maka: a. penggantian atau penambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3. b. calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang ada. c. penambahan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 huruf f dan huruf g, dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 26. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan yang tidak lagi menjabat sebagai direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan karena sebab apapun, tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Kliring dan penjaminan kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan. 27. Masa jabatan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan berakhir dengan sendirinya apabila direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan tersebut antara lain: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; e. berhalangan tetap. f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. 28. Direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Bapepam dan LK apabila direktur tersebut, antara lain: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 13/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 11 - e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. 29. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Januari 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN : 1 Peraturan Nomor : III.B.3 Formulir Nomor: III.B.3-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan integritas dan wajib dijawab oleh setiap calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œYaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œTidakโ€.โ€. 3. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat: a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan atau sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS CALON DIREKTUR Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas tuduhan: a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha yang berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya 2. Apakah pengadilan: a. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pailit? ๎€€ tidak ๎€€ tidak Investasi, Bank atau 1 ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan dengan Investasi, dan/atau terlibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan Investasi yang Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran atau Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran atau Pernyataan Pendaftaran atau mengenakan sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar negeri pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya b. ๎€€ tidak menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak 2 c. memerintahkan untuk menegur calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan untuk bergerak dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam bidang usaha tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. mencabut atau menghentikan untuk sementara izin usaha/kegiatan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Konsultan Hukum (Advokat), atau Penilai? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan menyebabkan suatu usaha berhubungan dengan Investasi yang Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menertibkan calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa Efek, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan: 1) mengeluarkan atau menghentikan sementara perusahaannya dari keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungan perusahaannya dengan Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau 3 3) membatasi kegiatan perusahaannya sebagai Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 7. Apakah calon direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana? ๎€€ ya ๎€€ tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20 Calon Direktur Materai โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (Nama Lengkap) 4
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-13/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> DIREKTUR LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 30 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-09/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 181/BL/2007 TENTANG PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 huruf m Undang- undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pengenaan Biaya Tahunan atas Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pengenaan Biaya Tahunan atas Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor II.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Pengenaan biaya tahunan atas Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor II.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini mulai berlaku atas pendapatan usaha tahun 2007. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 3 Biaya tahunan atas Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dikenakan kepada PT Bursa Efek Surabaya atas pendapatan usaha tahun 2007. Pasal 4 Penyetoran biaya tahunan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk periode 3 (tiga) bulan pertama tahun 2007 wajib dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran biaya tahunan untuk periode 3 (tiga) bulan berikutnya, yaitu paling lambat tanggal 15 Juli 2007. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 13 Juni 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 181/BL/2007 Tanggal : 13 Juni 2007 PERATURAN NOMOR II.J.1 : PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dikenakan biaya tahunan masing-masing sebesar 7,5% (tujuh koma lima perseratus) dari pendapatan usaha tahun berjalan berdasarkan laporan realisasi anggaran. 2. Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib disetorkan oleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ke Kas Negara setiap 3 (tiga) bulan paling lambat pada setiap tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober tahun berjalan, dan Januari tahun berikutnya. 3. Biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 merupakan penerimaan negara dan disetor ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (SSBP) dengan kode MAP 423483 dan asli lembar ke-5 (kelima) bukti penyetoran ke Kas Negara tersebut wajib segera disampaikan ke Bapepam dan LK. 4. Dalam hal terdapat kekurangan pembayaran terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam angka 3, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran tersebut paling lama pada periode pembayaran bulan April tahun berikutnya. 5. Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam angka 3, maka kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas penerimaan negara yang terutang dari Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pada periode berikutnya. 6. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4, penyetoran biaya tahunan atau kekurangan pembayaran tidak dilakukan, Bapepam dan LK memberikan surat teguran pertama untuk segera melunasi biaya tersebut ditambah denda berupa bunga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama. 7. Besarnya denda sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 2% (dua perseratus) per bulan dari kewajiban yang harus disetor. 8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran pertama sebagaimana dimaksud dalam angka 6 telah lewat, maka Bapepam dan LK memberikan surat teguran kedua dengan jangka waktu pelunasan selambat- lambatnya 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran kedua. 9. Apabila jangka waktu yang diberikan dalam surat teguran kedua sebagaimana dimaksud dalam angka 8 telah lewat, maka kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 6 tersebut dikategorikan sebagai piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)/ Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 181/BL/2007 Tanggal : 13 Juni 2007 - 2 - 10. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 13 Juni 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-181/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id> <reg_title> PENGENAAN BIAYA TAHUNAN ATAS BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 13 Juni 2007 </set_date> <effective_date> 13 Juni 2007 </effective_date> <related_reg> '8/UU/1995', '45/M|KEPPRES/2006' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP-107/BL/2008 TENTANG KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sehat dan berdaya saing global, maka diperlukan pengawas Lembaga Kliring dan Penjaminan yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Komisaris Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan terkait dengan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.B.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor:Kep-09/PM/1996 tentang Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan yang sedang menjabat pada saat ditetapkannya peraturan ini tetap dapat menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 Lembaga Kliring dan Penjaminan diatur dalam Peraturan Nomor III.B.8 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 PERATURAN NOMOR III.B.8 1. Ketentuan Umum a. Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang komisaris. b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan komisaris. Penetapan Bapepam dan LK dimaksud berlaku sampai dengan adanya penetapan Bapepam dan LK selanjutnya. 2. Persyaratan Komisaris a. Setiap komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; 7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia; dan 9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko. b. Anggota Dewan Komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, selain persyaratan huruf a tersebut di atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) berpengalaman pada posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal atau keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; 2) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; 3) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau : KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 2 - 4) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktek secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun. c. Komposisi komisaris diatur sebagai berikut: 1) dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 4 (empat) orang atau kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal usul dan atau pengalaman yang berbeda; dan 2) dalam hal jumlah komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau lebih, maka sekurang-kurangnya komposisi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c butir 1) tetap wajib dipenuhi. d. Dua atau lebih komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. 3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib dilakukan oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan. b. Dalam pencalonan komisaris Lembaga Kliring dan Penjaminan, pemegang saham mayoritas bertanggung jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai komisaris sesuai peraturan ini dan mengusulkan atau merekomendasikan honorarium dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada). c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dalam satu kesatuan paket calon Dewan Komisaris, dan salah satu calon wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) riwayat hidup calon komisaris; 2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai dengan angka 8) peraturan ini; 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris; 4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris dengan Anggota Bursa Efek yang merupakan anggota kliring Lembaga Kliring dan Penjaminan; 5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon komisaris (jika ada); 6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 3 - komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang teratur, wajar dan efisien dengan komisaris lain dan direktur Lembaga Kliring dan Penjaminan; 7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan Formulir Nomor III.B.8-1; 8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan 9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon komisaris dan minuta rapat dari pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon komisaris diangkat menjadi komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Lembaga Kliring dan Penjaminan khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; e. Pengajuan nama calon komisaris oleh pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c tersebut di atas beserta dokumen-dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di atas, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut diajukan kembali kepada Bapepam dan LK. 4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK. b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai anggota. c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite. d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan presentasi. e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi. f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf e di atas meliputi: 1) cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 4 - 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundangโ€“undangan di bidang Pasar Modal; dan 7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Pasar Modal Indonesia. g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf c di atas meliputi: 1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko; dan 3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas. h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud kepada pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan yang mengajukan calon komisaris paling lambat 14 (empat belas) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh pemegang saham mayoritas sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka Pemegang saham mayoritas dapat mengajukan kembali calon komisaris lain untuk menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada pemegang saham mayoritas dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e peraturan ini. 6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi, Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. 7. Direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf d paling lambat satu hari kerja setelah diterimanya daftar calon komisaris dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 5 - 8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum pemegang saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham. d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama berhalangan. 9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang satu bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. 10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris. b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium, termasuk metode penentuannya, bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan memperhatikan masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung jawabnya serta kelayakan yang berlaku pada umumnya. 11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh kelompok pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada), sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. 12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. 13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris yang lowong dan atau ada tambahan komisaris baru, maka masa jabatan komisaris tersebut berlaku selama sisa masa jabatan Dewan Komisaris yang sedang menjabat; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 6 - b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. 14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan direksi. 15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham mayoritas Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib segera mengajukan calon komisaris penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini. 16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh direksi Lembaga Kliring dan Penjaminan. 17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka: a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini. b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada. c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini. 18. Anggota komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris tersebut, antara lain: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Kliring dan Penjaminan; i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau j. berhalangan tetap. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 107/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 7 - 19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Formulir Nomor: III.B.8-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œYaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œTidakโ€.โ€. 3. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat: a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan atau sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas tuduhan: a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 1 b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya ๎€€ tidak 2. Apakah pengadilan: a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya c. pernah memutuskan ๎€€ tidak bahwa calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris? 2 ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar negeri pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya b. ๎€€ tidak menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam bidang usaha tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Pengacara atau Penilai? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3 b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan: 1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau 3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana? ๎€€ ya ๎€€ tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20 Pemohon Materai โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (Nama Lengkap) 4
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-107/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> KOMISARIS LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 10 April 2008 </set_date> <effective_date> 10 April 2008 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-09/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.B.3' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-692/BL/2011 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka menyelaraskan tata cara dan prosedur mengenai penyampaian Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum obligasi daerah dengan tata cara dan prosedur Penawaran Umum yang berlaku, dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-66/BL/2007 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.12 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.C.12, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-66/BL/2007 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Jakarta : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep-692/BL/2011 : 30 Desember 2011 PERATURAN NOMOR IX.C.12 : PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH 1. KETENTUAN UMUM a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1) Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3) Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau wali kota bagi daerah kota. 4) Obligasi Daerah adalah obligasi yang diterbitkan oleh Daerah melalui Penawaran Umum. 5) Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 6) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 7) Proyek adalah kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang diperoleh dari pungutan atas penggunaan prasarana dan/atau sarana tersebut. b. c. Peraturan ini berlaku bagi Daerah yang melakukan Penawaran Umum Obligasi Daerah. Peraturan Nomor IX.A.1 dan Peraturan Nomor IX.A.2 berlaku bagi Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah, kecuali diatur lain dalam Peraturan ini. 2. DOKUMEN PERNYATAAN PENDAFTARAN a. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah paling sedikit mencakup: 1) surat pengantar Pernyataan Pendaftaran, sesuai dengan Formulir Nomor IX.C.12-1 lampiran Peraturan ini; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- 2) Prospektus, sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.13; 3) Prospektus ringkas, sesuai dengan Peraturan Nomor IX.C.14; 4) rencana jadwal Penawaran Umum; 5) contoh surat Obligasi Daerah; 6) laporan keuangan Daerah tahun terakhir yang disajikan berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.14 dan telah diaudit oleh Akuntan; 7) surat dari Akuntan sehubungan dengan perubahan keadaan keuangan Daerah yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan (comfort letter) yang disusun berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.15; 8) surat pernyataan dari Kepala Daerah di bidang akuntansi yang disusun berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.16; 9) laporan pemeriksaan dan pendapat dari segi hukum; 10) riwayat hidup dari Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Pimpinan unit pengelolaan Obligasi Daerah, Pimpinan Proyek, dan Bendaharawan Proyek; 11) Kontrak Perwaliamanatan antara Daerah dan Wali Amanat; 12) pernyataan Pihak yang berkaitan dengan Penawaran Umum Obligasi Daerah, yaitu: a) pernyataan Kepala Daerah sesuai dengan Formulir Nomor IX.C.12-2 lampiran Peraturan ini; dan b) pernyataan Profesi Penunjang Pasar Modal sesuai dengan Formulir Nomor IX.C.12-3 lampiran Peraturan ini; 13) laporan hasil studi kelayakan atas Proyek dan usaha Proyek dari Penilai; 14) persetujuan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait dengan penerbitan Obligasi Daerah; dan 15) Peraturan Daerah tentang penerbitan Obligasi Daerah. b. Dalam hal Daerah: 1) melakukan Penawaran Awal; 2) memiliki perjanjian penanggungan dengan penanggung; 3) memiliki perjanjian pendahuluan pencatatan Efek dengan Bursa Efek; 4) memiliki perjanjian penjaminan emisi Efek dengan Penjamin Emisi Efek; dan/atau 5) mencantumkan hasil pemeringkatan Efek dari Perusahaan Pemeringkat Efek dalam Prospektus, maka Prospektus Awal, perjanjian penanggungan, perjanjian pendahuluan pencatatan Efek, perjanjian penjaminan emisi Efek, dan/atau hasil pemeringkatan Efek dari Perusahaan Pemeringkat Efek dimaksud wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran. : Kep-692/BL/2011 : 30 Desember 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- c. Dalam hal Penawaran Umum Obligasi Daerah dijamin oleh Penjamin Emisi Efek, maka Penjamin Pelaksana Emisi Efek wajib membuat pernyataan sesuai dengan Formulir Nomor IX.C.12-4 lampiran Peraturan ini, dan Daerah wajib menyampaikan pernyataan dimaksud kepada Bapepam dan LK pada saat penyampaian Pernyataan Pendaftaran. d. Seluruh dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c merupakan dokumen yang terbuka untuk umum, setelah diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Daerah wajib mengumumkan Prospektus Ringkas dan/atau Daerah sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding). e. Bapepam dan LK dapat meminta keterangan atau informasi tambahan selain yang telah diatur dalam huruf a, antara lain: 1) informasi tertentu yang berkaitan dengan Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Pimpinan unit pengelolaan Obligasi Daerah, Pimpinan Proyek, dan Bendaharawan Proyek, antara lain berupa: a) Nomor Pokok Wajib Pajak; b) fotokopi KTP; c) surat pernyataan bermeterai cukup tentang ada atau tidaknya keterlibatan dalam kasus hukum; dan 2) keterangan lain dari Pihak yang berperan dalam suatu Penawaran Umum untuk mendukung kecukupan dan ketelitian dari pengungkapan yang diwajibkan. f. g. Seluruh dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf e bukan merupakan dokumen yang terbuka untuk umum. Jangka waktu antara tanggal penilaian studi kelayakan Proyek dan usaha Proyek (cut off date) sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 13) dan tanggal efektif Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 9 (sembilan) bulan. 3. KETENTUAN PENUTUP Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 ttd.. Nurhaida NIP 195906271989022001 : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan : Kep-692/BL/2011 : 30 Desember 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- : Kep-692/BL/2011 : 30 Desember 2011 LAMPIRAN : 1 Peraturan Nomor : IX.C.12 FORMULIR NOMOR : IX.C.12-1 Nomor : Lampiran : Perihal : Surat Pengantar Pernyataan untuk Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah ............................................ (nama Daerah) Yth. .......(domisili) ,........ (tgl./bln./thn.) Kepada Ketua Bapepam dan LK di- J a k a r t a Bersama ini kami menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dalam rangkap 2 (dua) beserta salinan elektronik (softcopy) nya sebagai berikut: (JELASKAN : - SIFAT - JUMLAH PENAWARAN OBLIGASI DAERAH dan - URAIAN SINGKAT TENTANG OBLIGASI DAERAH YANG DITAWARKAN) 1. Daerah: a. Nama lengkap; b. Alamat lengkap; dan c. Dasar hukum yang mendasari keberadaan/pembentukan Daerah. 2. Nama, lokasi, tujuan, dan nilai Proyek. 3. Masa Penawaran Umum yang direncanakan. 4. Daftar dokumen yang dilampirkan: a. ..................................................................................................... b. ..................................................................................................... c. ..................................................................................................... PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN. Kepala Daerah .................(nama Daerah) Meterai yang cukup (tanda tangan) (nama jelas) LAMPIRAN : 2 Peraturan Nomor : IX.C.12 FORMULIR NOMOR : IX.C.12-2 PERNYATAAN KEPALA DAERAH Daerah Alamat Kami yang bertanda tangan di bawah ini, Kepala Daerah dari: : ................ (nama Daerah) : ................ (alamat kantor Pemerintah Daerah) dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah ..... (nama Daerah) sejumlah ............... (โ€ฆโ€ฆdalam huruf) lembar dengan total nilai Rp............ (.........Rupiah) menyatakan dengan sesungguhnya bahwa : 1. Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Obligasi Daerah yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK pada tanggal .............................. telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam peraturan Pasar Modal yang berlaku. 2. 3. 4. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan- pernyataan atau informasi atau fakta yang tidak benar atau menyesatkan. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa seluruh Informasi atau Fakta Material yang diperlukan bagi pemodal untuk pengambilan keputusan investasi telah diungkapkan seluruhnya. Selanjutnya kami akan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam rangka menyempurnakan atau melengkapi Pernyataan Pendaftaran yang telah disampaikan. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak benar, menyesatkan atau belum mengungkapkan Informasi atau Fakta Material yang seharusnya diungkapkan, maka kami berjanji untuk segera memperbaiki dan menyampaikan informasi atau fakta tersebut kepada Bapepam dan LK baik sebelum ataupun sesudah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. 5. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak benar, menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau Fakta Material yang seharusnya diungkapkan, maka atas perintah Bapepam dan LK kami bersedia untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: a. mengubah Pernyataan Pendaftaran dan menyebarluaskan kembali Prospektus; b. menangguhkan Penawaran Umum; dan atau c. membatalkan Penawaran Umum. 6. Selanjutnya kami menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kemungkinan adanya tuntutan baik perdata maupun pidana sebagai akibat dari informasi atau fakta yang tidak benar, menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau Fakta Material yang ada hubungannya dengan Penawaran Umum ini. 7. Kami tidak membuat perjanjian lain dengan Penjamin Emisi Efek dalam rangka Penawaran Umum ini selain perjanjian yang telah diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran (jika Daerah menggunakan Penjamin Emisi Efek). 8. Kami berjanji untuk memberikan informasi atau fakta yang sama, baik kepada calon pemodal Indonesia maupun asing pada saat yang bersamaan. 9. Kami sanggup menyerahkan semua informasi atau laporan yang diwajibkan dan diminta oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan Pasar Modal yang berlaku. 10. Kami berjanji akan mengelola dan mengawasi Proyek yang akan didanai dengan Obligasi Daerah dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan seluruh pemegang Obligasi Daerah. .................. (domisili) , .....................(tgl./bln./thn.) Kepala Daerah ....(nama Daerah) (tanda tangan) di atas meterai yang cukup (nama jelas) LAMPIRAN : 3 Peraturan Nomor : IX.C.12 FORMULIR NOMOR : IX.C.12-3 PERNYATAAN PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL (Akuntan/Notaris/Konsultan Hukum/Penilai *) ) Kami yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Profesi Penunjang Pasar Modal Nama Rekan Alamat STTD Nomor *) : .......................................................... : .......................................................... : .......................................................... : .......................................................... bertindak sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Akuntan/Notaris/Konsultan Hukum/Penilai ) dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah (nama Daerah) sejumlah .............(......dalam huruf) lembar dengan total nilai Rp ...........(.........Rupiah) menyatakan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Kami bertanggung jawab atas pendapat yang kami berikan yang merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran. 2. Kami sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dalam melaksanakan tugas telah bertindak sesuai dengan norma atau standar profesi dan kode etik profesi .............. (Akuntan /Notaris/Konsultan Hukum /Penilai ) *) 3. Kami sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dalam melaksanakan tugas telah bersikap independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan Daerah dan Profesi Penunjang Pasar Modal lainnya. 4. Kami bertanggung jawab atas penelaahan Pernyataan Pendaftaran dan telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan permintaan informasi secara tertulis kepada ...... (nama Daerah) dan permintaan informasi atau fakta kepada Pihak lain yang dipandang perlu. Jawaban telah kami terima dari Pihak lain dan secara tertulis dari ...... (nama Daerah). Prosedur yang kami laksanakan telah sesuai dengan norma atau standar profesi kami dan peraturan Pasar Modal yang berlaku. 5. 6. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan atau informasi atau fakta yang tidak benar dan menyesatkan. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama sesuai dengan standar profesi, kami yakin bahwa tidak terdapat hal-hal yang dapat menghambat terlaksananya Penawaran Umum ini. 7. Kami bertanggung jawab atas pendapat yang kami buat dalam rangka Penawaran Umum ini dan kami juga telah membaca seluruh Prospektus dan dokumen Pernyataan Pendaftaran terutama untuk melihat apakah informasi atau fakta yang dimuat tidak bertentangan dengan pendapat kami. 8. Dalam hal ditemukan adanya informasi atau fakta yang tidak benar, menyesatkan atau belum mengungkapkan informasi atau fakta yang seharusnya diungkapkan, kami berjanji untuk segera menyampaikan informasi atau fakta tersebut kepada Bapepam dan LK baik sebelum maupun sesudah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. ....................... (domisili) , .....................(tgl./bln./thn.) Profesi Penunjang Pasar Modal (Akuntan/Notaris/Konsultan Hukum/Penilai (tanda tangan) di atas meterai yang cukup (nama jelas) *) ) *) coret yang tidak perlu LAMPIRAN : 4 Peraturan Nomor : IX.C.12 FORMULIR NOMOR : IX.C.12-4 PERNYATAAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Kami yang bertanda tangan di bawah ini komisaris dan direktur dari: Penjamin Pelaksana Emisi Efek : .............................................................................. Alamat : .............................................................................. .............................................................................. dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah .........(nama Daerah) sejumlah ..................(.......dalam huruf) lembar dengan total nilai Rp ............ (......... Rupiah) menyatakan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK pada tanggal .............................. telah lengkap dan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam peraturan Pasar Modal yang berlaku. 2. 3. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan tidak memuat pernyataan atau informasi atau fakta yang tidak benar atau menyesatkan. Setelah dilakukan penelaahan secara cermat dan seksama, kami yakin bahwa seluruh Informasi atau Fakta Material yang diperlukan bagi pemodal untuk pengambilan keputusan investasi telah diungkapkan seluruhnya. 4. Kami telah melakukan penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran dan telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta informasi secara tertulis kepada ......(nama Daerah) dan kepada Profesi Penunjang Pasar Modal yang namanya tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran. Pertanyaan dan permintaan informasi tersebut telah dijawab secara tertulis dan telah mencakup seluruh Informasi atau Fakta Material yang harus diketahui oleh pemodal sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi untuk membeli atau menjual Efek yang ditawarkan. 5. Kami juga telah melakukan penelaahan atas seluruh informasi atau fakta yang diberikan oleh Daerah dan Profesi Penunjang Pasar Modal. Berdasarkan penelaahan yang kami lakukan atas seluruh jawaban dan informasi atau fakta yang diberikan oleh......(nama Daerah) dan Profesi Penunjang Pasar Modal, kami berkesimpulan bahwa informasi atau fakta yang disampaikan adalah lengkap dan benar. 6. Kami telah menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kemungkinan adanya gugatan perdata atau tuntutan pidana apabila ternyata terdapat informasi atau fakta yang tidak benar, menyesatkan atau tidak mengungkapkan Informasi atau Fakta Material dalam Pernyataan Pendaftaran sehubungan dengan Penawaran Umum ini. 7. Kami tidak membuat perjanjian lain dengan .....(nama Daerah) atau Penjamin Emisi Efek lain dalam rangka Penawaran Umum ini selain perjanjian yang telah diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran. 8. Kami sanggup menyerahkan semua informasi, fakta, atau laporan yang diwajibkan dan diminta oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan Pasar Modal yang berlaku. 9. Kami berjanji untuk memberikan informasi yang sama, baik kepada calon pemodal Indonesia maupun asing pada saat yang bersamaan. ............................ (domisili) , .........................(tgl./bln./thn.) Komisaris (tanda tangan) (nama jelas) Direktur (tanda tangan) di atas meterai yang cukup (nama jelas)
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-692/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH </reg_title> <set_date> 30 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 30 Desember 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-66/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.12' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP-326/BL/2012 TENTANG SUB REKENING EFEK PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan kepada pemegang Rekening Efek pada Kustodian dan meningkatkan efektifitas pengawasan transaksi Efek maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor III.C.7 tentang Sub Rekening Efek Pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG SUB REKENING EFEK PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Sub Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, diatur dalam Peraturan Nomor III.C.7 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Perusahaan Efek dan Bank Kustodian selaku Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Nomor III.C.7 Lampiran Keputusan ini termasuk tetapi tidak terbatas untuk: a. memperbaharui kontrak pembukaan rekening Efek nasabah yang telah ada sesuai dengan ketentuan angka 9 Peraturan dimaksud paling lambat tanggal 31 Desember 2012 dan melaporkan perkembangannya kepada Bapepam dan LK pada tanggal 30 September 2012 dan 31 Desember 2012; dan b. membuat nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk nasabah, bagi nasabah yang telah ada sesuai dengan ketentuan angka 4 (empat) Peraturan dimaksud paling lambat tanggal 31 Juli 2012. Pasal 3 Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyesuaikan kontrak pembukaan rekening Efek Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan ketentuan angka 10 Peraturan Nomor III.C.7 Lampiran Keputusan ini, paling lambat tanggal 31 Agustus 2012. Pasal 4 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep- 01/PM/2003 tentang Sub Rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tanggal 5 Januari 2003 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Juni 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd Nurhaida Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19751028 198512 1 001 NIP 19590627 198902 2 001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-326/BL/2012 Tanggal : 14 Juni 2012 PERATURAN NOMOR III.C.7 TENTANG SUB REKENING EFEK PADA LEMBAGA PENYIMPANAN PENYELESAIAN 1. Definisi dari istilah-istilah pada peraturan ini adalah: a. Nasabah adalah pemegang rekening Efek pada Partisipan. b. Partisipan adalah Perusahaan Efek atau Bank Kustodian yang telah membuka rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. c. Sub Rekening Efek adalah rekening Efek setiap Nasabah yang tercatat dalam rekening Efek Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 2. Partisipan yang mengadministrasikan rekening Efek Nasabah atas Efek yang disimpan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib: a. membuka Sub Rekening Efek atas nama setiap Nasabahnya pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. mencatat rekening Efek Nasabah dalam Sub Rekening Efek; c. memastikan saldo rekening Efek setiap Nasabah yang tercatat dalam pembukuan Partisipan selalu sama dengan saldo rekening Efek setiap Nasabah yang tercatat dalam Sub Rekening Efek; dan d. memastikan identitas Nasabah yang tercatat dalam pembukuan Partisipan sama dengan identitas Nasabah yang tercatat dalam Sub Rekening Efek. 3. Dalam rangka melaksanakan penyelesaian transaksi Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan dan/atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat mewajibkan Partisipan untuk membuka Sub Rekening Efek Jaminan untuk setiap Nasabah. 4. Pembukaan Sub Rekening Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a wajib diikuti dengan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah oleh Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, bagi Nasabah yang belum memiliki. 5. Pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 6. Partisipan wajib memberikan akses informasi kepada Nasabah yang memungkinkan Nasabah dapat secara langsung memonitor mutasi dan/atau saldo Efek dan/atau dana yang disimpan pada Sub Rekening Efek atas nama Nasabah tersebut pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 7. Partisipan wajib menyampaikan nomor Sub Rekening Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a dan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 4 kepada masing-masing Nasabah yang bersangkutan. 8. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memberikan akses informasi yang memungkinkan Nasabah dapat secara langsung memonitor mutasi dan/atau saldo Efek dan/atau dana yang disimpan pada Sub Rekening Efek atas nama Nasabah DAN LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-326/BL/2012 Tanggal : 14 Juni 2012 - 2 - tersebut pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Nasabah yang telah diberi akses oleh Partisipan untuk mengakses Sub Rekening Efek milik Nasabah di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian 9. Kontrak pembukaan rekening Efek Nasabah pada Partisipan wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memuat ketentuan mengenai: a. pemberian kuasa oleh Nasabah kepada Partisipan untuk membuka Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah; b. kewajiban Partisipan untuk melaksanakan kuasa pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah; dan c. hak Nasabah untuk sewaktu-waktu meminta laporan dan/atau menguji kesesuaian antara saldo rekening Efek Nasabah dalam pembukuan Partisipan dengan saldo Efek Nasabah dalam Sub Rekening Efek. 10. Kontrak pembukaan rekening Efek Partisipan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memuat ketentuan tentang pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah. 11. Dalam rangka pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah, Partisipan wajib menyampaikan data Nasabah kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling kurang terdiri dari: a. nama; b. tempat lahir/pendirian; c. tanggal lahir/pendirian; d. nomor identitas; e. domisili; f. kewarganegaraan bagi nasabah orang perseorangan; g. tipe Nasabah berupa orang perseorangan atau kelembagaan; dan h. jenis usaha, bagi nasabah kelembagaan. 12. Dalam rangka pembukaan Sub Rekening Efek, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib: a. menyediakan sistem pengadministrasian Sub Rekening Efek yang memadai dan aman; b. mengadministrasikan secara terpisah setiap Sub Rekening Efek dan wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekening Efek; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-326/BL/2012 Tanggal : 14 Juni 2012 - 3 - c. menyampaikan laporan harian mengenai posisi Sub Rekening Efek kepada setiap Partisipan; 13. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melakukan pemeriksaan atau evaluasi berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali atas pemenuhan peraturan ini yang terkait dengan penerapan pembukaan Sub Rekening Efek dan pembuatan nomor tunggal identitas pemodal (single investor identification) untuk Nasabah oleh Partisipan dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan atau evaluasi berkala dimaksud kepada Bapepam dan LK jika terdapat dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Partisipan. 14. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya bertanggung jawab kepada Partisipan atas pengadministrasian Sub Rekening Efek di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan tidak bertanggung jawab kepada Pihak lain termasuk Nasabah 15. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Juni 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19751028 198512 1 001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-326/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> SUB REKENING EFEK PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 14 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 14 Juni 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-01/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 108 /BL/2008 TENTANG KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sehat dan berdaya saing global, maka diperlukan pengawas Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor III.C.8 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 โ€“ Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan terkait dengan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-14/PM/1996 tentang Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tanggal 17 Januari 1996 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat pada saat ditetapkannya Keputusan ini tetap dapat menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 PERATURAN NOMOR III.C.8 : KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Ketentuan Umum a. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang komisaris. b. Dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam angka 1 huruf a, Bapepam dan LK dapat menetapkan jumlah kebutuhan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 50 (lima puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan komisaris. Penetapan Bapepam dan LK dimaksud berlaku sampai dengan adanya penetapan Bapepam dan LK selanjutnya. 2. Persyaratan Komisaris a. Setiap komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; 7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan 9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko. b. Anggota Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, selain persyaratan huruf a tersebut di atas, wajib pula memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) berpengalaman pada posisi direktur pada Perusahaan Efek paling kurang 2 (dua) tahun; 2) berpengalaman pada posisi direktur pada Bank Kustodian atau Biro Administrasi Efek paling kurang 2 (dua) tahun; 3) berpengalaman pada posisi manajemen pada institusi Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun atau pernah menjadi pimpinan pada institusi pengawas jasa keuangan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 2 - 4) berpengalaman pada posisi direktur pada organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya paling kurang 2 (dua) tahun; atau 5) merupakan profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal paling kurang 5 (lima) tahun. c. Komposisi komisaris diatur sebagai berikut: 1) dalam hal jumlah anggota Dewan Komisaris terdiri dari 5 (lima) orang atau kurang, maka komposisi anggota Dewan Komisaris wajib mempunyai asal usul dan atau pengalaman yang berbeda; dan 2) dalam hal jumlah komisaris terdiri dari 6 (enam) orang atau lebih, maka sekurang-kurangnya komposisi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf c butir 1) tetap wajib dipenuhi. d. Dua atau lebih komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang berasal dari perusahaan yang sama atau berasal dari 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh Pihak yang sama. 3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Komisaris a. Pencalonan dan pengajuan calon komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilakukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. Masing-masing pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian hanya dapat menjadi anggota pada satu kelompok pemegang saham. b. Dalam pencalonan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, bertanggung jawab menyeleksi calon komisaris, meneliti tingkat keahlian, pengalaman dan tanggung jawab sebagai komisaris sesuai peraturan ini dan mengusulkan atau merekomendasikan honorarium dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada). c. Calon komisaris wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dalam satu kesatuan paket calon Dewan Komisaris, dan salah satu calon wajib ditetapkan sebagai komisaris utama. d. Dalam pengajuan calon komisaris kepada Bapepam dan LK, pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 3 - 1) riwayat hidup calon komisaris; 2) surat pernyataan calon komisaris yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) sampai dengan angka 8) peraturan ini; 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon komisaris; 4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan afiliasi calon komisaris dengan Perusahaan Efek dan Bank Kustodian yang merupakan partisipan/pengguna jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan tingkat keahlian dari calon komisaris (jika ada); 6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon komisaris yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi komisaris dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang teratur, wajar dan efisien dengan komisaris lain dan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 7) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 peraturan ini mengenai integritas calon komisaris dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.8-1; 8) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); dan 9) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon komisaris dan minuta rapat dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, termasuk rekomendasi mengenai honorarium apabila calon komisaris diangkat menjadi komisaris, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada umumnya. e. Pengajuan nama calon komisaris oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c tersebut di atas beserta dokumen- dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d tersebut di atas, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut diajukan kembali kepada Bapepam dan LK. 4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan a. Setiap calon komisaris yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK. b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 4 - anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai anggota. c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite. d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon komisaris antara lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan atau permintaan presentasi. e. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon komisaris memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi. f. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf e di atas meliputi: 1) cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundangโ€“undangan di bidang Pasar Modal; dan 7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia. g. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf d di atas meliputi: 1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal; 2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip- prinsip pengelolaan risiko; dan 3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau c di atas. h. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf d yang dilakukan, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang mengajukan calon komisaris paling lambat 14 (empat belas)hari setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. Jika dalam satu paket calon Dewan Komisaris yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon komisaris yang tidak lulus penilaian LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 5 - kemampuan dan kepatutan, maka Pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dapat mengajukan kembali calon komisaris lain untuk menggantikan calon komisaris yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e peraturan ini. 6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi, Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon Dewan Komisaris beserta fotokopi dokumen calon komisaris kepada direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. 7. Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon komisaris yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 di atas beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf d paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon komisaris dari Bapepam dan LK. Daftar calon komisaris beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. 8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Komisaris a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan komisaris. c. Komisaris dipilih dan diangkat dari paket calon Dewan Komisaris yang memperoleh suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham. d. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat komisaris wajib dipimpin oleh direktur utama atau salah satu direktur dalam hal direktur utama berhalangan. 9. Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang 1 (satu) bulan sekali yang dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. 10. Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugasnya dapat membentuk Komite Audit dan Komite Remunerasi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Ketua Komite Audit dan Komite Remunerasi adalah salah seorang komisaris. b. Komite Audit bertugas untuk memberikan pendapat profesional yang independen kepada Dewan Komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 6 - disampaikan oleh direksi kepada Dewan Komisaris serta mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris. Anggota Komite Audit wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan. c. Komite Remunerasi adalah panitia ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk mengkaji dan mengusulkan honorarium, termasuk metode penentuannya, bagi komisaris atau gaji dan manfaat lain bagi direktur dengan memperhatikan masing-masing jabatan direktur dengan tugas dan tanggung jawabnya serta kelayakan yang berlaku pada umumnya. 11. Komisaris diberi honorarium yang jumlahnya diusulkan atau direkomendasikan oleh pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c peraturan ini dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c peraturan ini (jika ada), sebelum pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan komisaris. 12. Honorarium bagi komisaris sebagaimana dimaksud dalam angka 11 wajib mendapat persetujuan dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. 13. Masa jabatan komisaris adalah 3 (tiga) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. apabila seorang komisaris diangkat karena menggantikan jabatan komisaris yang lowong dan atau ada tambahan komisaris baru, maka masa jabatan komisaris tersebut berlaku selama sisa masa jabatan Dewan Komisaris yang sedang menjabat; dan b. Keseluruhan masa jabatan komisaris pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. 14. Berakhirnya masa jabatan Dewan Komisaris wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan direksi 15. Komisaris yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 peraturan ini wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon komisaris penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini 16. Dalam hal terdapat jabatan komisaris yang lowong, maka direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diketahui oleh direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 17. Dalam pengisian jabatan komisaris untuk menggantikan jabatan komisaris yang lowong dan atau diperlukannya tambahan komisaris baru, maka: a. penggantian atau penambahan komisaris wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3 peraturan ini. LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep-108/BL/2008 Tanggal : 10 April 2008 - 7 - b. calon komisaris yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan dan tidak memperoleh keberatan dari komisaris yang ada. c. penambahan komisaris baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 b dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 peraturan ini. 18. Anggota Dewan Komisaris dapat diberhentikan dari jabatannya apabila komisaris tersebut, antara lain: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; d. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; e. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; f. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; g. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; h. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; i. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas; dan atau j. berhalangan tetap. 19. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 April 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Formulir Nomor: III.C.8-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan integritas wajib dijawab oleh setiap calon komisaris. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œYaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œTidakโ€.โ€. 3. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat: a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan atau sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS CALON KOMISARIS Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Investasi, Bank atau Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon komisaris pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas tuduhan: a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 1 b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya ๎€€ tidak 2. Apakah pengadilan: a. pernah memutuskan bahwa calon komisaris pailit? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon komisaris dalam kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya c. pernah memutuskan ๎€€ tidak bahwa calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan dengan investasi, terlibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftaran atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon komisaris? 2 ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar negeri pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya b. ๎€€ tidak menemukan calon komisaris melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. memerintahkan untuk menegur calon komisaris sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin Usaha, Persetujuan, atau Pernyataan Pendaftaran para calon komisaris atau direktur untuk bergerak dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam bidang usaha tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon komisaris sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Pengacara atau Penilai? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah: a. menemukan calon komisaris membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3 b. menemukan calon komisaris terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon komisaris menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan Investasi dimana Izin Usaha, Persetujuan atau Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menertibkan calon komisaris dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan: 1) mengeluarkan atau menghentikan sementara dari keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungannya dengan Anggota Bursa atau Anggota Kliring lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau 3) membatasi kegiatan Anggota Bursa atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah calon komisaris pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 7. Apakah calon komisaris pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana? ๎€€ ya ๎€€ tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20 Pemohon Materai โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (Nama Lengkap) 4
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-108/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> KOMISARIS LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 10 April 2008 </set_date> <effective_date> 10 April 2008 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-14/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-412/BL/2009 TENTANG TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang saham, khususnya pemegang saham independen berkaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dengan Afiliasinya atau transaksi yang mengandung benturan kepentingan, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.E.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-521/BL/2008 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi tertentu diatur dalam Peraturan Nomor IX.E.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-521/BL/2008 tanggal 12 Desember 2008 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 25 Nopember 2009. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 25 Nopember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal PERATURAN NOMOR IX.E.1 : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 : TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU 1. KETENTUAN UMUM Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Perusahaan adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. b. Perusahaan Terkendali adalah suatu perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Perusahaan. c. Transaksi adalah aktivitas dalam rangka: 1) memberikan dan/atau mendapat pinjaman; 2) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan aset termasuk dalam rangka menjamin; 3) memperoleh, melepaskan, atau menggunakan jasa atau Efek suatu Perusahaan atau Perusahaan Terkendali; atau 4) mengadakan kontrak sehubungan dengan aktivitas sebagaimana dimaksud dalam butir 1), butir 2), dan butir 3), yang dilakukan dalam satu kali transaksi atau dalam suatu rangkaian transaksi untuk suatu tujuan atau kegiatan tertentu. d. Transaksi Afiliasi adalah Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali dengan Afiliasi dari Perusahaan atau Afiliasi dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama Perusahaan. e. Benturan Kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis Perusahaan dengan kepentingan ekonomis pribadi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau pemegang saham utama yang dapat merugikan Perusahaan dimaksud. f. Pemegang Saham Independen adalah pemegang saham yang tidak mempunyai Benturan Kepentingan sehubungan dengan suatu Transaksi tertentu dan/atau bukan merupakan Afiliasi dari anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau pemegang saham utama yang mempunyai Benturan Kepentingan atas Transaksi tertentu. g. Karyawan adalah semua tenaga kerja yang menerima upah dan/atau gaji dari Perusahaan. 2. TRANSAKSI AFILIASI a. Perusahaan wajib mengumumkan keterbukaan informasi atas setiap Transaksi Afiliasi kepada masyarakat dan menyampaikan bukti pengumuman dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi, yang paling kurang meliputi: 1) uraian mengenai Transaksi Afiliasi paling kurang: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- a) obyek transaksi yang bersangkutan; b) nilai transaksi yang bersangkutan; c) nama Pihak-pihak yang melakukan transaksi dan hubungan mereka dengan Perusahaan; dan d) sifat hubungan Afiliasi dari Pihak-pihak yang melakukan transaksi dengan Perusahaan; 2) ringkasan laporan Penilai, paling kurang meliputi informasi: a) identitas Pihak; b) obyek penilaian; c) tujuan penilaian; d) asumsi; e) pendekatan dan metode penilaian; f) kesimpulan nilai; dan g) pendapat kewajaran atas transaksi. Jangka waktu antara tanggal penilaian dan tanggal transaksi tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan. 3) penjelasan, pertimbangan dan alasan dilakukannya Transaksi tersebut, dibandingkan dengan apabila dilakukan Transaksi lain yang sejenis yang tidak dilakukan dengan Pihak terafiliasi; 4) rencana Perusahaan, data perusahaan yang diambil alih, dan informasi terkait lain dalam hal Transaksi merupakan pengambilalihan perusahaan; 5) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi yang menyatakan bahwa semua informasi material telah diungkapkan dan informasi tersebut tidak menyesatkan; dan 6) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika dianggap perlu. b. Transaksi Afiliasi berikut ini hanya wajib dilaporkan oleh Perusahaan kepada Bapepam dan LK paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya Transaksi yang meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1), butir 3), butir 4), dan butir 5): 1) penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama juga menjabat sebagai Karyawan dan fasilitas tersebut langsung berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); 2) Transaksi antara Perusahaan dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan tersebut maupun dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terkendali dengan persyaratan yang sama, sepanjang hal tersebut telah : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- disetujui RUPS. Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang diberikan oleh Perusahaan kepada semua Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dengan persyaratan yang sama, menurut kebijakan yang ditetapkan Perusahaan; 3) Transaksi dengan nilai transaksi tidak melebihi 0,5% (nol koma lima perseratus) dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 4) Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan; 5) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) atau antara sesama Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) oleh Perusahaan dimaksud; dan/atau 6) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya tidak dimiliki seluruhnya dan tidak satu pun saham atau modal Perusahaan Terkendali dimiliki oleh anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, pemegang saham utama Perusahaan dimaksud, atau Pihak Terafiliasinya, dan laporan keuangan Perusahaan Terkendali tersebut dikonsolidasikan dengan Perusahaan. c. Transaksi Afiliasi berikut ini dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b: 1) imbalan, termasuk gaji, iuran dana pensiun, dan/atau manfaat khusus yang diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama menjabat juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara keseluruhan dari imbalan tersebut diungkapkan dalam laporan keuangan berkala; 2) Transaksi berkelanjutan yang telah dilakukan sebelum Perusahaan melaksanakan Penawaran Umum perdana atau sebelum disampaikannya pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik, dengan persyaratan: a) Transaksi telah diungkapkan sepenuhnya dalam Prospektus Penawaran Umum perdana atau dalam keterbukaan informasi pernyataan pendaftaran Perusahaan Publik; dan b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan; 3) Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik menjadi efektif, dengan persyaratan: a) Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah memenuhi peraturan ini; dan b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan; 4) Transaksi yang merupakan kegiatan usaha utama Perusahaan atau Perusahaan Terkendali; dan : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- 5) Transaksi yang merupakan penunjang kegiatan usaha utama Perusahaan atau Perusahaan Terkendali. 3. TRANSAKSI YANG MENGANDUNG BENTURAN KEPENTINGAN a. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan wajib terlebih dahulu disetujui oleh para Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu dalam RUPS sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta notariil. b. Dalam hal Transaksi yang telah disetujui dalam RUPS sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dilaksanakan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal persetujuan RUPS, maka Transaksi hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan kembali RUPS. c. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan berikut ini dikecualikan dari ketentuan huruf a, yaitu: 1) penggunaan setiap fasilitas yang diberikan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham utama dalam hal pemegang saham utama juga menjabat sebagai Karyawan, dan fasilitas tersebut langsung berhubungan dengan tanggung jawab mereka terhadap Perusahaan dan sesuai dengan kebijakan Perusahaan, serta telah disetujui RUPS; 2) Transaksi antara Perusahaan baik dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan tersebut maupun dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terkendali, atau Transaksi antara Perusahaan Terkendali baik dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan Terkendali tersebut maupun dengan Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris Perusahaan dengan persyaratan yang sama, sepanjang hal tersebut telah disetujui RUPS. Dalam Transaksi tersebut termasuk pula manfaat yang diberikan oleh Perusahaan atau Perusahaan Terkendali kepada semua Karyawan, anggota Direksi, atau anggota Dewan Komisaris dengan persyaratan yang sama, menurut kebijakan yang ditetapkan Perusahaan; 3) imbalan, termasuk gaji, iuran dana pensiun, dan/atau manfaat khusus yang diberikan kepada anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan pemegang saham utama yang juga sebagai Karyawan, jika jumlah secara keseluruhan dari imbalan tersebut diungkapkan dalam laporan keuangan berkala; 4) Transaksi berkelanjutan yang dilakukan sesudah Perusahaan melakukan Penawaran Umum atau setelah pernyataan pendaftaran sebagai Perusahaan Publik menjadi efektif, dengan persyaratan: a) Transaksi awal yang mendasari Transaksi selanjutnya telah memenuhi Peraturan ini; dan b) syarat dan kondisi Transaksi tidak mengalami perubahan yang dapat merugikan Perusahaan; : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- 5) Transaksi dengan nilai transaksi tidak melebihi 0,5% (nol koma lima perseratus) dari modal disetor Perusahaan dan tidak melebihi jumlah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); 6) Transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan; dan/atau 7) Transaksi antara Perusahaan dengan Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) atau antara sesama Perusahaan Terkendali yang saham atau modalnya dimiliki paling kurang 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) oleh Perusahaan dimaksud. d. Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, namun merupakan Transaksi Afiliasi, tetap mengikuti ketentuan mengenai Transaksi Afiliasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2. 4. RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM INDEPENDEN a. Pengumuman mengenai RUPS untuk menyetujui suatu Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan, harus meliputi informasi sebagai berikut: 1) uraian mengenai Transaksi paling kurang: a) obyek transaksi yang bersangkutan; b) nilai Transaksi yang bersangkutan; c) nama Pihak-pihak yang mengadakan Transaksi dan hubungan mereka dengan Perusahaan yang bersangkutan; dan d) sifat dari Benturan Kepentingan Pihak-pihak yang bersangkutan dalam Transaksi tersebut; 2) ringkasan laporan Penilai, paling kurang meliputi informasi: a) identitas Pihak; b) obyek penilaian; c) tujuan penilaian; d) asumsi; e) pendekatan dan metode penilaian; f) kesimpulan nilai; dan g) pendapat kewajaran atas transaksi; 3) keterangan tentang RUPS selanjutnya yang direncanakan akan diselenggarakan jika korum kehadiran Pemegang Saham Independen yang disyaratkan tidak diperoleh dalam rapat pertama, pernyataan tentang persyaratan pemberian suara dalam rencana Transaksi tersebut dan pemberian suara setuju yang disyaratkan dalam setiap rapat sesuai dengan Peraturan ini; 4) penjelasan, pertimbangan, dan alasan dilakukannya Transaksi tersebut, dibandingkan dengan apabila dilakukan Transaksi lain yang sejenis yang tidak mengandung Benturan Kepentingan; : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- 5) rencana Perusahaan, data Perusahaan, dan informasi lain yang dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam butir 3) dan 4); 6) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi yang menyatakan bahwa semua informasi material telah diungkapkan dan informasi tersebut tidak menyesatkan; dan 7) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika dianggap perlu oleh Bapepam dan LK. b. Salinan atau fotokopi pengumuman sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diumumkan. c. Perusahaan wajib menyampaikan dokumen kepada Bapepam dan LK bersamaan dengan pengumuman RUPS, yang paling kurang meliputi: 1) informasi tentang rencana transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1); 2) laporan Penilai, dengan ketentuan jangka waktu antara tanggal penilaian dalam laporan Penilai dan tanggal pelaksanaan RUPS tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan; 3) data perusahaan yang akan diakuisisi atau didivestasi, jika obyek transaksi adalah saham, yang sekurang-kurangnya berisi antara lain: a) laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir berturut-turut; b) struktur permodalan; dan c) struktur kepengurusan; jika data perusahaan belum tersedia di Bapepam dan LK dan publik. 4) pernyataan Dewan Komisaris dan Direksi bahwa informasi material yang disajikan telah diungkapkan secara lengkap dan tidak menyesatkan; dan 5) ringkasan laporan tenaga ahli atau konsultan independen, jika ada. d. Dalam hal terdapat perubahan atau penambahan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka wajib diumumkan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum RUPS dilaksanakan. e. Sebelum RUPS, Perusahaan wajib menyediakan formulir pernyataan bermeterai cukup untuk ditandatangani Pemegang Saham Independen yang paling kurang menyatakan bahwa: 1) yang bersangkutan benar-benar merupakan Pemegang Saham Independen; dan 2) apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Pengumuman dan pemanggilan RUPS yang disyaratkan untuk rapat-rapat dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Jangka waktu pengumuman dan pemanggilan RUPS wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- IX.J.1. Pemanggilan dapat dikirimkan dengan surat tercatat atau faksimili ke alamat pemegang saham disamping pemanggilan yang diterbitkan melalui surat kabar. Pemanggilan dimaksud harus disertai dengan informasi yang disyaratkan dalam huruf a; dan 2) untuk rapat kedua dan ketiga dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) jangka waktu penyelenggaraan RUPS kedua dan ketiga dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana Peraturan Nomor IX.J.1; b) pemanggilan dimaksud harus diumumkan melalui 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang satu diantaranya mempunyai peredaran nasional dan lainnya yang terbit ditempat kedudukan Perusahaan, dengan menyebutkan telah diselenggarakannya RUPS pertama atau kedua tetapi tidak mencapai korum. g. Pemberian suara dari Pemegang Saham Independen dapat dilakukan langsung oleh Pemegang Saham Independen atau wakil yang diberi kuasa. h. RUPS ketiga hanya dapat menyetujui Transaksi dimaksud apabila disetujui oleh Pemegang Saham Independen yang mewakili lebih dari 50% (limapuluh perseratus) saham yang dimiliki oleh Pemegang Saham Independen yang hadir. i. Jika suatu Transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan tidak memperoleh persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS yang telah mencapai korum kehadiran, maka rencana Transaksi dimaksud tidak dapat diajukan kembali dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal keputusan penolakan. j. Hasil pelaksanaan Transaksi yang mempunyai Benturan Kepentingan wajib segera dilaporkan kepada Bapepam dan LK. 5. KETENTUAN PENUTUP a. Dalam hal Transaksi Afiliasi: 1) nilainya memenuhi kriteria Transaksi Material sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.2 dan tidak terdapat Benturan Kepentingan, maka Perusahaan hanya wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.2. 2) merupakan transaksi pengambilalihan Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.H.1, maka Perusahaan disamping wajib memenuhi peraturan ini juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.H.1. b. Dalam hal Transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan: 1) merupakan Transaksi Material dan/atau Perubahan Kegiatan Usaha Utama, maka Perusahaan tersebut disamping wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini juga wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.E.2. : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- 2) merupakan pengambilalihan Perusahaan Terbuka, maka Perusahaan tersebut disamping wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan ini juga wajib memenuhi ketentuan Peraturan Nomor IX.H.1. c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadi pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 25 Nopember 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 : Kep-412/BL/2009 : 25 Nopember 2009
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-412/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI AFILIASI DAN BENTURAN KEPENTINGAN TRANSAKSI TERTENTU </reg_title> <set_date> 25 Nopember 2009 </set_date> <effective_date> 25 Nopember 2009 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-521/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM/2008' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-690/BL/2011 TENTANG KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk lebih menyederhanakan persyaratan penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum oleh Emiten atau Perusahaan Publik, dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-111/PM/1996 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Dengan berlakunya keputusan ini, maka Peraturan Bapepam Nomor IX.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-111/PM/1996 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Jakarta : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep-690/BL/2011 : 30 Desember 2011 PERATURAN NOMOR IX.A.1 : KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN 1. Pernyataan Pendaftaran serta semua dokumen pendukungnya wajib diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) secara lengkap, kecuali informasi tertentu seperti informasi harga penawaran dan tanggal efektif yang belum dapat ditentukan pada saat pengajuan Pernyataan Pendaftaran. 2. Pengajuan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dilaksanakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. 3. Emiten atau Perusahaan Publik bertanggung jawab sepenuhnya atas ketelitian, kecukupan, dan kebenaran serta kejujuran pendapat dari semua informasi yang ada dalam Pernyataan Pendaftaran serta semua dokumen lainnya yang disampaikan kepada Bapepam dan LK. Apabila ketentuan mengenai keterbukaan dalam peraturan atau formulir Bapepam dan LK tidak relevan bagi Emiten atau Perusahaan Publik, maka hal tersebut tidak perlu diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran. 4. Di samping keterangan dan dokumen yang secara khusus wajib disertakan dalam Pernyataan Pendaftaran, Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran wajib pula menyertakan informasi yang material lainnya yang diperlukan untuk memastikan bahwa para pemodal telah memperoleh informasi yang cukup tentang keadaan keuangan dan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dan bahwa pengungkapan yang diwajibkan tersebut tidak menyesatkan. 5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek, Profesi Penunjang Pasar Modal serta Pihak lain yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran, bertanggung jawab atas pernyataan dan pendapat yang diberikannya sebagaimana tercantum dalam dokumen yang disampaikan kepada Bapepam dan LK. 6. Pengajuan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dalam bentuk: a. b. naskah tercetak (hardcopy) dalam rangkap 2 (dua), masing-masing wajib dijilid atau disatukan dengan cara lain atau terdiri atas beberapa bagian, sebagai satu kesatuan; dan salinan elektronik (softcopy). 7. Paling sedikit satu naskah tercetak Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukung lainnya harus memuat tanda tangan asli dari Pihak yang namanya disebut dalam Pernyataan Pendaftaran dan dibubuhi meterai yang cukup. 8. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf a wajib dibuat di atas kertas berwarna terang yang berkualitas baik, dengan ukuran A4. Tabel, grafik, laporan keuangan, dan dokumen lainnya dapat berukuran lebih besar, namun wajib dilipat sehingga menjadi berukuran A4. Prospektus dapat berukuran lebih kecil dari dokumen Pernyataan Pendaftaran lainnya apabila dikehendaki. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- 9. Pernyataan Pendaftaran dan semua dokumen pendukung lainnya yang diajukan wajib dicetak, diketik, atau dipersiapkan dengan cara proses lain yang sama, sehingga isinya jelas, mudah dibaca serta mudah untuk difotokopi dan disimpan. 10. Pernyataan Pendaftaran wajib dalam Bahasa Indonesia. Jika dokumen lain yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran menggunakan bahasa lain, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. 11. Surat pengantar untuk Pernyataan Pendaftaran dan dokumen lain yang disampaikan dalam rangka Pernyataan Pendaftaran wajib diberi nomor secara berurutan. Masing-masing dokumen wajib diberi nomor halaman secara berurutan. 12. Setiap dokumen yang disampaikan dalam rangka Pernyataan Pendaftaran baik secara langsung diberikan maupun dalam rangka memenuhi permintaan Bapepam dan LK, yang tidak merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran serta bersifat rahasia, wajib dipisahkan dari dokumen yang diwajibkan dalam rangka Pernyataan Pendaftaran dimaksud dan diberi tanda secara jelas dengan permintaan supaya tidak terbuka untuk umum. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, dokumen bersangkutan merupakan dokumen yang tersedia untuk umum. 13. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal ttd.. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd.. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Kep-690/BL/2011 : 30 Desember 2011 : 30 Desember 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-690/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> KETENTUAN UMUM PENGAJUAN PERNYATAAN PENDAFTARAN </reg_title> <set_date> 30 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 30 Desember 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-111/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.1' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-122/BL/2009 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Penawaran Umum dengan tetap memperhatikan perlindungan kepada masyarakat pemodal, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.2 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-25/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003, dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372) 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM. Pasal 1 Ketentuan mengenai Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 2 Pernyataan Pendaftaran yang telah diterima oleh Bapepam dan LK namun belum menjadi efektif, tetap mengikuti Peraturan Nomor IX.A.2 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-25/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-25/PM/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Tata Cara Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris : 29 Mei 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Pande Putu Raka NIP 060034443 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 PERATURAN NOMOR IX.A.2: TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM 1. PENYAMPAIAN PERNYATAAN PENDAFTARAN a. Untuk melaksanakan Penawaran Umum wajib dipenuhi hal-hal berikut: 1) Emiten harus menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK dalam bentuk serta mencakup informasi yang ditetapkan untuk Penawaran Umum sesuai dengan Peraturan Nomor IX.A.1; dan 2) Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada butir 1) harus sudah menjadi efektif. b. Pada waktu menerima Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya, Bapepam dan LK membuat tanda terima sebagai bukti penyerahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor II.A.3. c. Emiten bertanggung jawab atas kelengkapan dan kebenaran informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setiap Pihak yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya, pendapat atau keterangan tersebut dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya, wajib bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, atas pendapat atau keterangan yang diberikannya. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, tidak menghalangi Emiten atau Pihak yang mewakilinya untuk melengkapi atau memperbaiki isi Pernyataan Pendaftaran yang telah disampaikan semula jika dipertimbangkan bahwa data yang bersangkutan kurang lengkap, tidak benar atau menyesatkan, atau mengadakan perubahan yang dipandang perlu karena terjadinya perubahan keadaan sesudah pengajuan Pernyataan Pendaftaran. 2. PENGUMUMAN PROSPEKTUS RINGKAS, PROSPEKTUS, DAN PROSPEKTUS AWAL a. Setelah disampaikannya Pernyataan Pendaftaran, Emiten dan setiap Pihak yang memberikan pendapat atau keterangan dan atas persetujuannya, pendapat atau keterangan tersebut dimuat dalam Pernyataan Pendaftaran dan dokumen pendukungnya dilarang: 1) mengumumkan Prospektus Ringkas yang merupakan bagian dari Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.C.1 sampai dengan diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Emiten wajib mengumumkan Prospektus Ringkas sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9, untuk Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil; atau 2) mengumumkan Prospektus dan/atau Prospektus Awal sampai dengan diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Emiten sudah dapat LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -2- melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10, untuk Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil. b. Propektus Ringkas wajib diumumkan dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya pernyataan Bapepam dan LK sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9. Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan Propektus Ringkas tersebut dalam media massa yang lain. Bukti pengumuman Propektus Ringkas wajib disampaikan oleh Emiten kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman Propektus Ringkas dimaksud. c. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak berlaku dalam hal penawaran dimaksud dilakukan oleh Perusahaan Menengah atau Kecil, atau ditujukan kepada Pihak tertentu dan sifat penawarannya terbatas. d. Dalam hal Emiten bermaksud mengumumkan Prospektus dan/atau Prospektus Awal melalui media massa, maka pengumuman tersebut wajib dilaksanakan: 1) untuk Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil, paling cepat bersamaan dengan diumumkannya Prospektus Ringkas. 2) untuk Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil, paling cepat bersamaan dengan diterimanya pernyataan Bapepam dan LK bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10. e. Dalam hal Emiten akan melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.A.8, maka Penawaran Awal tersebut hanya dapat dilakukan setelah Bapepam dan LK memberikan pernyataan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dengan menggunakan: 1) Formulir Nomor: IX.A.2-9 lampiran 9, untuk Emiten yang bukan merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil. 2) Formulir Nomor: IX.A.2-10 lampiran 10, untuk Emiten yang merupakan Perusahaan Menengah atau Kecil. 3. PERMINTAAN PERUBAHAN DAN/ATAU TAMBAHAN INFORMASI a. Bapepam dan LK dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi kepada Emiten untuk tujuan penelaahan atau pengungkapan keterbukaan kepada umum. Hal ini dimaksudkan agar Emiten dapat memenuhi kewajibannya dalam mengungkapkan semua fakta material tentang penawaran Efek yang bersangkutan dan keadaan keuangan serta kegiatan usaha Emiten. b. Dalam hal Bapepam dan LK meminta Emiten membuat perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran dan dokumen LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -3- pendukungnya, maka Pernyataan Pendaftaran tersebut dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal perubahan dimaksud disampaikan kepada Bapepam dan LK. c. Emiten wajib menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf b dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Bapepam dan LK. d. Pernyataan Pendaftaran menjadi batal apabila dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Emiten tidak memberikan tanggapan. e. Dalam hal Bapepam dan LK tidak meminta Emiten untuk menyampaikan perubahan dan tambahan informasi dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau perubahan dan tambahan informasi terakhir dari Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam dan LK, maka Pernyataan Pendaftaran dianggap telah disampaikan secara lengkap dan memenuhi persyaratan serta prosedur yang ditetapkan. 4. EFEKTIFNYA PERNYATAAN PENDAFTARAN a. Pernyataan Pendaftaran dapat menjadi efektif dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1) atas dasar lewatnya waktu, yakni: a) 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal Pernyataan Pendaftaran diterima Bapepam dan LK secara lengkap, yaitu telah mencakup seluruh kriteria yang ditetapkan dalam peraturan yang terkait dengan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum dan peraturan yang terkait dengan Penawaran Umum; atau b) 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal perubahan terakhir yang disampaikan Emiten atau yang diminta Bapepam dan LK dipenuhi; atau 2) atas dasar pernyataan efektif dari Bapepam dan LK bahwa tidak ada lagi perubahan dan/atau tambahan informasi lebih lanjut yang diperlukan. b. Pernyataan efektif dari Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 2) dapat diberikan setiap saat setelah: 1) kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta Bapepam dan LK tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut; dan 2) Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan informasi atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan harga penawaran Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku bunga obligasi atau imbal hasil Sukuk. c. Pernyataan efektif harus dibuat berdasarkan Formulir Nomor: IX.A.2-1 lampiran 1. d. Konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2) disampaikan kepada Bapepam dan LK paling cepat 7 (tujuh) hari kerja setelah LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -4- pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau setelah Bapepam dan LK menyatakan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum. e. Apabila dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau setelah Bapepam dan LK menyatakan bahwa Emiten sudah dapat melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum, Emiten tidak menyampaikan konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2), maka Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan oleh Emiten menjadi batal. f. Pernyataan yang dimaksud dalam huruf a butir 2), huruf b, dan huruf c tidak berarti bahwa Bapepam dan LK telah menyetujui Efek yang bersangkutan atau menyatakan bahwa data yang diungkapkan adalah cukup atau benar. Memberikan pernyataan yang bertentangan dengan hal tersebut di atas adalah perbuatan melanggar hukum. g. Jangka waktu antara tanggal laporan keuangan terakhir yang diperiksa Akuntan sebagaimana dimuat dalam Prospektus dan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Dalam hal Penawaran Umum Obligasi Daerah maka jangka waktu antara tanggal laporan keuangan terakhir yang diperiksa Akuntan sebagaimana dimuat dalam Prospektus dan efektifnya Pernyataan Pendaftaran tidak lebih dari 9 (sembilan) bulan. h. Perubahan atau tambahan informasi dalam Prospektus sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2) dapat dibuat dalam bentuk suplemen Prospektus yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Prospektus. i. Setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran dan sebelum dimulainya masa Penawaran Umum, Emiten wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) mengumumkan perbaikan dan/atau tambahan atas Prospektus Ringkas, jika ada, mengenai informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b butir 2) dan tanggal efektif dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat satu hari kerja setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran. Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan informasi tersebut dalam media massa yang lain. Kewajiban tersebut tidak berlaku dalam hal penawaran dimaksud dilakukan oleh Perusahaan Menengah atau Kecil, atau ditujukan kepada Pihak tertentu dan sifat penawarannya terbatas. 2) menyediakan Prospektus yang dipersyaratkan sebagai bagian Pernyataan Pendaftaran bagi masyarakat atau calon pembeli. 3) menyampaikan Prospektus dalam bentuk tercetak kepada Bapepam dan LK sebanyak 5 (lima) eksemplar beserta salinan elektronik (soft copy) nya. 4) menyampaikan kepada Bapepam dan LK bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada butir 1) paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -5- 5. MASA PENAWARAN UMUM, PENJATAHAN, DAN LAPORAN HASIL PENAWARAN UMUM a. Dalam rangka Penawaran Umum, Efek dapat ditawarkan oleh para Penjamin Emisi Efek dengan bantuan para Agen Penjualan Efek. b. Emiten wajib melaksanakan Penawaran Umum paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. c. Masa Penawaran Umum paling kurang satu hari kerja dan paling lama 5 (lima) hari kerja. d. Dalam hal terjadi penghentian perdagangan Efek di Bursa Efek selama paling kurang satu hari bursa dalam masa Penawaran Umum, maka Emiten dapat melakukan perpanjangan masa Penawaran Umum untuk periode yang sama dengan masa penghentian perdagangan Efek dimaksud. e. Pembayaran atas pemesanan Efek dalam rangka Penawaran Umum wajib dilunasi paling lambat pada saat dilakukannya penyerahan Efek. f. Dalam hal jumlah permintaan Efek selama masa Penawaran Umum melebihi jumlah Efek yang ditawarkan, maka harus diadakan penjatahan sesuai dengan Peraturan Nomor: IX.A.7. g. Penjatahan Efek untuk suatu Penawaran Umum Efek wajib diselesaikan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah berakhirnya masa Penawaran Umum. h. Jika dalam Pernyataan Pendaftaran dinyatakan bahwa Efek akan dicatatkan pada Bursa Efek dan ternyata persyaratan pencatatan tidak dipenuhi, Penawaran atas Efek batal demi hukum dan pembayaran pesanan Efek dimaksud wajib dikembalikan kepada pemesan. i. Dalam hal suatu pemesanan Efek ditolak sebagian atau seluruhnya, atau dalam hal terjadi pembatalan Penawaran Umum, jika pesanan Efek sudah dibayar maka uang pemesanan harus dikembalikan oleh Manajer Penjatahan atau Agen Penjualan Efek kepada para pemesan, paling lambat 2 (dua) hari kerja sesudah tanggal penjatahan atau sesudah tanggal diumumkannya pembatalan tersebut. j. Persyaratan dan tata cara penggantian kerugian untuk pemesan jika terjadi keterlambatan dalam pengembalian uang sehingga menjadi lebih dari 2 (dua) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf i, harus diungkapkan dalam Prospektus, Prospektus Ringkas, dan Prospektus Awal (jika ada). k. Penyerahan Efek beserta bukti kepemilikan Efek wajib dilakukan kepada pembeli Efek dalam Penawaran Umum paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal penjatahan. l. Apabila Efek yang ditawarkan dalam rangka Penawaran Umum akan dicatatkan pada Bursa Efek, maka pencatatan tersebut wajib dilaksanakan paling lambat satu hari kerja setelah tanggal penyerahan Efek. m. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek) wajib menyerahkan laporan hasil Penawaran Umum kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal penjatahan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -6- dalam bentuk dan isi sesuai dengan Formulir Nomor: IX.A.2-2 lampiran 2, Formulir Nomor: IX.A.2-3 lampiran 3, Formulir Nomor: IX.A.2-4 lampiran 4, Formulir Nomor: IX.A.2-5 lampiran 5, Formulir Nomor: IX.A.2-6 lampiran 6, Formulir Nomor: IX.A.2-7 lampiran 7, dan Formulir Nomor: IX.A.2-8 lampiran 8. Laporan dimaksud disertai dengan Laporan Penjatahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IX.A.7. n. Penjamin Emisi Efek atau Emiten (dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek) wajib menunjuk Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK untuk melakukan pemeriksaan khusus mengenai telah diterimanya dana hasil Penawaran Umum oleh Emiten. Laporan pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya masa Penawaran Umum. 6. PENUNDAAN MASA PENAWARAN UMUM ATAU PEMBATALAN PENAWARAN UMUM. a. Dalam jangka waktu sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran sampai dengan berakhirnya masa Penawaran Umum, Emiten dapat menunda masa Penawaran Umum untuk masa paling lama 3 (tiga) bulan sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran atau membatalkan Penawaran Umum, dengan ketentuan: 1) terjadi suatu keadaan di luar kemampuan dan kekuasaan Emiten yang meliputi: a) Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek turun melebihi 10% (sepuluh perseratus) selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut; b) Bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, pemogokan yang berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha Emiten; dan/atau c) Peristiwa lain yang berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha Emiten yang ditetapkan oleh Bapepam dan LK berdasarkan Formulir Nomor: IX.A.2-11 lampiran 11; dan 2) Emiten wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) mengumumkan penundaan masa Penawaran Umum atau pembatalan Penawaran Umum dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat satu hari kerja setelah penundaan atau pembatalan tersebut. Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan informasi tersebut dalam media massa lainnya; b) menyampaikan informasi penundaan masa Penawaran Umum atau pembatalan Penawaran Umum tersebut kepada Bapepam dan LK pada hari yang sama dengan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam poin a); c) menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam poin a) kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja setelah pengumuman dimaksud; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -7- d) Emiten yang menunda masa Penawaran Umum atau membatalkan Penawaran Umum yang sedang dilakukan, dalam hal pesanan Efek telah dibayar maka Emiten wajib mengembalikan uang pemesanan Efek kepada pemesan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak keputusan penundaan atau pembatalan tersebut. b. Emiten yang melakukan penundaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan akan memulai kembali masa Penawaran Umum berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) dalam hal penundaan masa Penawaran Umum disebabkan oleh kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1) poin a), maka Emiten wajib memulai kembali masa Penawaran Umum paling lambat 8 (delapan) hari kerja setelah indeks harga saham gabungan di Bursa Efek mengalami peningkatan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari total penurunan indeks harga saham gabungan yang menjadi dasar penundaan; 2) dalam hal indeks harga saham gabungan di Bursa Efek mengalami penurunan kembali sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1) poin a), maka Emiten dapat melakukan kembali penundaan masa Penawaran Umum; 3) wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK informasi mengenai jadwal Penawaran Umum dan informasi tambahan lainnya, termasuk informasi peristiwa material yang terjadi setelah penundaan masa Penawaran Umum (jika ada) dan mengumumkannya dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat satu hari kerja sebelum dimulainya lagi masa Penawaran Umum. Disamping kewajiban mengumumkan dalam surat kabar, Emiten dapat juga mengumumkan dalam media massa lainnya; dan 4) wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam butir 3) kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja setelah pengumuman dimaksud. 7. KETENTUAN PENUTUP a. Setelah selesainya Penawaran Umum, Emiten wajib: 1) menyimpan dokumen Pernyataan Pendaftaran yang telah dinyatakan efektif oleh Bapepam dan LK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan dokumen perusahaan; dan 2) menyampaikan Prospektus yang telah tergabung dengan suplemennya dalam bentuk tercetak kepada Bapepam dan LK sebanyak 5 (lima) eksemplar beserta salinan elektroniknya (soft copy), dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah selesainya penyerahan Efek kepada pembeli Efek. b. Contoh alur proses Penawaran Umum tercantum dalam lampiran 12 Peraturan ini. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-122/BL/2009 Tanggal : 29 Mei 2009 -8- c. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadi pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 29 Mei 2009 Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Pande Putu Raka NIP 060034443 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: IX.A.2-1 LAMPIRAN: 1 Peraturan Nomor: IX.A.2 Nomor Lampiran Perihal : : : Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran Kepada Ythโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di- โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan dengan Surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆtanggal โ€ฆโ€ฆโ€ฆperihal โ€ฆโ€ฆserta revisi kelengkapan dokumen dengan Surat Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆ..tanggalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆperihalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ setelah di lakukan penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif. Penyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan atau meneliti keunggulan investasi pada perusahaan atau Efek yang disampaikan dalam Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas. Dengan efektifnya Pernyataan Pendaftaran ini, maka Perusahaan wajib tunduk pada peraturan Pasar Modal yang berlaku. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, Jakarta, ..............................20... โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. NIPโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Tembusan kepada Yth : 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia; 2. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia; 3. Sekretaris Bapepam dan LK; 4. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK; 5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada); 6. Wali Amanat / Wali Amanat Sukuk *); dan 7. Pusat Referensi Pasar Modal. Catatan: *) Jika Penawaran Umum Obligasi / Sukuk DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-2 KEGIATAN PENJAMIN EMISI EFEK PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM / WARAN/OBLIGASI/SUKUK *) PT. ......................................................................... Tanggal ......................... s/d .................. Jumlah untuk setiap Penjamin Emisi Efek No. Penjamin Emisi Efek A B Jumlah Saham/Waran /Obligasi/ Sukuk *) C Nilai (Rp 000,00) D Jumlah Pemesanan Jumlah Pemesanan Saham/Waran/ Obligasi/ Sukuk *) E % Pemesanan terhadap jatah E x 100% C F Saham/Waran/Obligasi/Sukuk *) oleh golongan pemodal Perorangan G Lembaga/ Badan Usaha H Total I Perorangan J LAMPIRAN: 2 Peraturan Nomor : IX.A.2 Jumlah Golongan Pemesan Lembaga/ Badan Usaha K Total L Sub Total Dikurangi jumlah pemesan yang sama yang mengajukan sahamnya kepada lebih dari satu Penjamin Emisi Efek Total CATATAN : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Direktur Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-3 KEGIATAN PENJAMIN EMISI EFEK PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM / WARAN/OBLIGASI/ SUKUK *) PT. .............................................................. Tanggal .................... s/d ..................... LAMPIRAN: 3 Peraturan Nomor : IX.A.2 No Agen Penjualan Efek A B Jatah untuk setiap Agen Penjualan Efek % Jatah Jumlah Jumlah Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk *) Nilai (Rp 000,00) Pemesanan Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk *) % Pemesanan terhadap Jatah E x 100% C C D E F terhadap Pemesanan C x 100% E G Perorangan H Jumlah Pemesanan Lembaga/ Badan Usaha T o t a l I J Jumlah Catatan : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Direktur Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: IX.A.2-4 PEMESANAN DAN PENJATAHAN PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM / WARAN/OBLIGASI/ SUKUK *) PT. .......................................................................... Tanggal ........................... s/d ............. No A I Perorangan : a. Indonesia b. Asing c. Karyawan Perseroan Sub Total II Lembaga/Badan Usaha : a. Indonesia b. Asing Sub Total Total CATATAN : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Direktur Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur Kelompok/Golongan Pemesan (Investor) B Jumlah Formulir Pemesanan C Jumlah Pemesanan D Jumlah Pemesanan Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk *) E Jumlah Penjatahan Saham/ Waran/ Obligasi/Sukuk *) F % Penjatahan Terhadap Pemesanan G LAMPIRAN: 4 Peraturan Nomor : IX.A.2 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-5 PENYEBARAN SAHAM/ WARAN/OBLIGASI/SUKUK *) PADA PASAR PERDANA PT. .............................................................. Tanggal ................... s/d .................. Jumlah Pemesanan No A P R O P I N S I B Per- orangan C Lembaga/ Badan Usaha D Jumlah E Saham/ Waran/Obligasi/ Sukuk *) yang dipesan Per- orangan F Lembaga/ Badan Usaha G Jumlah H LAMPIRAN: 5 Peraturan Nomor : IX.A.2 Penjatahan Saham/ Waran/Obligasi/ Sukuk *) Per- orangan I Lembaga/ Badan Usaha J Jumlah K Persen- tase ( % ) L J U M L A H CATATAN : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-6 PENYEBARAN PEMILIKAN OLEH PERORANGAN BERDASARKAN JUMLAH PEMILIKAN SAHAM/ WARAN/OBLIGASI/SUKUK *) PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK*) PT. ................................................................ Tanggal ................... s/d ..................... Penggolongan No berdasarkan jumlah Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk*) Jumlah Saham/Waran/ Obligasi/ Sukuk*) yang dipesan Jumlah Pemesan Jumlah Pemilikan Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk*) Setelah Penyerahan Persentase Pemilikan (% dari Penawaran Umum) Tanggal Penyerahan LAMPIRAN: 6 Peraturan Nomor : IX.A.2 Jumlah CATATAN : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Direktur Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-7 PENYEBARAN PEMILIKAN OLEH LEMBAGA/BADAN USAHA BERDASARKAN JENIS KELEMBAGAAN PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK *) PT. .............................................................. Tanggal ................... s/d ..................... Penggolongan No berdasarkan jumlah Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk*) Jumlah Saham/Waran/ Obligasi/Sukuk*) yang dipesan Jumlah Pemesan Jumlah LAMPIRAN: 7 Peraturan Nomor : IX.A.2 Pemilikan Saham/Waran/ Obligasi/ Sukuk*) Setelah Penyerahan Persentase Pemilikan (% dari Penawaran Umum) Tanggal Penyerahan Jumlah CATATAN : *) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Direktur Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR : IX.A.2-8 SISTEM PENJATAHAN *) PADA PASAR PERDANA PENAWARAN UMUM SAHAM/WARAN/OBLIGASI/SUKUK **) PT. ........................................................................ Tanggal ...................... s/d .......................... NO Pemesanan Saham/Waran/Obligasi/Sukuk **) Sampai dengan ........................................................................................ Saham/Waran/Obligasi/Sukuk **) s/d s/d s/d s/d s/d s/d Dipenuhi Dipenuhi Dipenuhi Dipenuhi Dipenuhi Dipenuhi Dipenuhi Penjatahan Saham/Waran/Obligasi/Sukuk **) % % % % % % % LAMPIRAN: 8 Peraturan Nomor : IX.A.2 CATATAN : *) Atau metode lain (bila ada) **) Coret yang tidak perlu. Mengetahui : E M I T E N Jakarta, .......................................20 ..... PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Direktur Direktur DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: IX.A.2-9 Nomor : Lampiran : Perihal Kepada Yth โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di- โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan dengan Surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆtanggal โ€ฆโ€ฆโ€ฆperihal โ€ฆโ€ฆserta revisi kelengkapan dokumen dengan Surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..tanggalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆperihalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ setelah di lakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara wajib mengumumkan Prospektus Ringkas paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat ini dan sudah dapat melaksanakan Penawaran Awal (bookbuilding)*) bersamaan dengan diumumkannya Prospektus Ringkas. Surat ini bukan merupakan pernyataan efektif atas Pernyataan Pendaftaran yang Saudara ajukan dan Penawaran Umum yang akan Saudara laksanakan hanya dapat dilakukan apabila Pernyataan Pendaftaran telah menjadi efektif. Pernyataan efektif hanya akan diberikan oleh Bapepam dan LK setelah: 1. kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta Bapepam dan LK tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut; dan 2. Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan informasi atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan harga penawaran Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku bunga obligasi atau imbal hasil Sukuk. Demikian, agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, LAMPIRAN: 9 Peraturan Nomor: IX.A.2 Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.20... : Pengumuman Prospektus Ringkas dan/atau Pelaksanaan Penawaran Awal (bookbuilding) *) โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. NIPโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Tembusan: 1. Sekretaris Badan; 2. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa/Riil; dan 3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan. Catatan: *) Jika Emiten bermaksud untuk melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: IX.A.2-10 Nomor : Lampiran : Perihal LAMPIRAN: 10 Peraturan Nomor: IX.A.2 Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.20... : Pelaksanaan Penawaran Awal (bookbuilding) *) dan/atau Penyebaran Informasi yang Berkaitan dengan Penawaran Umum Kepada Yth โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di- โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Berkenaan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara yang disampaikan dengan Surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆtanggal โ€ฆโ€ฆโ€ฆperihal โ€ฆโ€ฆserta revisi kelengkapan dokumen dengan Surat Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..tanggalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆperihalโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ setelah di lakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara sudah dapat melaksanakan Penawaran Awal (bookbuilding)*) dan/atau menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Penawaran Umum paling cepat bersamaan dengan diterimanya surat ini. Surat ini bukan merupakan pernyataan efektif atas Pernyataan Pendaftaran yang Saudara ajukan dan Penawaran Umum yang akan Saudara laksanakan hanya dapat dilakukan apabila Pernyataan Pendaftaran telah menjadi efektif. Pernyataan efektif hanya akan diberikan oleh Bapepam dan LK setelah: 1. kecukupan dan objektivitas informasi yang diungkapkan dalam Pernyataan Pendaftaran selesai ditelaah oleh Bapepam dan LK, serta Bapepam dan LK tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut; dan 2. Emiten telah mengkonfirmasikan ada atau tidak adanya perubahan informasi atau telah menyampaikan informasi mengenai jumlah dan harga penawaran Efek, penjaminan emisi Efek, dan/atau tingkat suku bunga obligasi atau imbal hasil Sukuk. Demikian, agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. NIPโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Tembusan: 1. Sekretaris Badan; 2. Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa/Riil; dan 3. Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan. Catatan: *) Jika Emiten bermaksud untuk melakukan Penawaran Awal (bookbuilding) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN FORMULIR NOMOR: IX.A.2-11 Nomor : Lampiran : Perihal : Penundaan Masa Penawaran Umum atau Pembatalan Penawaran Umum *) Kepada Yth โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ di- โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. Berkenaan dengan surat Saudara Nomorโ€ฆโ€ฆโ€ฆtanggal โ€ฆโ€ฆโ€ฆperihal โ€ฆโ€ฆ dan setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut, kami beritahukan bahwa Saudara dapat/tidak dapat**) menunda masa Penawaran Umum atau membatalkan Penawaran Umum*). Saudara wajib mengumumkan penundaan masa Penawaran Umum atau pembatalan Penawaran Umum*) dalam paling kurang satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang mempunyai peredaran nasional paling lambat satu hari kerja setelah penundaan masa Penawaran Umum atau pembatalan Penawaran Umum. Demikian, agar Saudara maklum. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Ketua, LAMPIRAN: 11 Peraturan Nomor: IX.A.2 Jakarta,โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.20... โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. NIPโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ Tembusan: 1. Menteri Keuangan Republik Indonesia; 2. Sekretaris Jenderal, Departemen Keuangan Republik Indonesia; 3. Sekretaris Bapepam dan LK; 4. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK; 5. Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada); 6. Wali Amanat / Wali Amanat Sukuk***) ; dan 7. Pusat Referensi Pasar Modal. Catatan:*) Disesuaikan dengan surat Emiten. **) Pilih salah satu. ***) Jika Penawaran Umum Obligasi / Sukuk. LAMPIRAN : 12 PERATURAN NOMOR IX.A.2 CONTOH ALUR PROSES PENAWARAN UMUM (SEBELUM EFEKTIF) Pemberian Ijin Permintaan perubahan /tambahan Informasi I permintaan perubahan /tambahan Informasi II Penelaahan dokumen Masa eksposur dan bookbuilding โ‰ค 10 hari kerja Jawaban atas permintaan perubahan /tambahan Informasi I Penyampaian Pernyataan Pendaftaran Jawaban atas permintaan perubahan /tambahan Informasi II Pengumuman Prospektus Ringkas โ‰ค 10 hari kerja โ‰ค 2 hari kerja โ‰ค 2 hari kerja โ‰ฅ 7 hari kerja dan โ‰ค 21 hari kerja Prospektus publikasi Prospektus Ringkas Surat Pernyataan Efektif Penyampaian informasi harga + keterbukaan lain Penyampaian bukti Pengumuman Prospektus Ringkas Alur proses Penawaran Umum ini hanyalah gambaran singkat dari keseluruhan proses Penawaran Umum. Tatacara Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum secara lengkap tetap mengacu pada Peraturan Nomor IX.A.2. EMITEN BAPEPAM DAN LK LAMPIRAN : 12 PERATURAN NOMOR IX.A.2 CONTOH ALUR PROSES PENAWARAN UMUM (SETELAH EFEKTIF) Surat Pernyataan Efektif mulai masa Penawaran Umum โ‰ค 2 hari kerja โ‰ฅ 1 hari kerja dan โ‰ค 5 hari kerja โ‰ค 5 hari kerja masa Penawaran Umum* akhir masa Penawaran Umum โ‰ค 30 hari โ‰ค 1 hari kerja โ‰ค 2 hari kerja โ‰ค 2 hari kerja Penyampaian bukti pengumuman Pengumuman perbaikan / tambahan atas Prospektus Ringkas Catatan: * untuk kondisi tertentu, masa Penawaran Umum dapat ditunda untuk masa paling lama 3 bulan sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran. Listing Penjatahan Refund/ distribusi Efek Penyampaian laporan hasil Penawaran Umum Penyampaian laporan hasil pemeriksaan Akuntan โ‰ค 2 hari kerja โ‰ค 1 hari kerja Alur proses Penawaran Umum ini hanyalah gambaran singkat dari keseluruhan proses Penawaran Umum. Tata cara Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum secara lengkap tetap mengacu pada Peraturan Nomor IX.A.2.
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-122/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM </reg_title> <set_date> 29 Mei 2009 </set_date> <effective_date> 29 Mei 2009 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-25/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 68/BL/2007 TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk menciptakan tertib administrasi dan menjamin kepastian hukum dalam penyusunan Prospektus Ringkas dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437); 3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4574); 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Prospektus Ringkas Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.14 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Ketentuan Peraturan Nomor IX.C.14 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini berlaku untuk penyusunan Prospektus ringkas yang digunakan sebagai dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah yang disampaikan kepada Bapepam dan Lembaga Keuangan pada atau setelah tanggal ditetapkannya keputusan ini. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 13 April 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13April 2007 PERATURAN NOMOR IX.C.14: PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN OBLIGASI DAERAH UMUM 1. Seluruh definisi yang tercantum dalam Peraturan Nomor IX.C.12 tentang Pedoman Mengenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah, berlaku pula untuk peraturan ini. 2. Prospektus ringkas wajib mencakup seluruh informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut, yang diketahui atau selayaknya diketahui oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, pimpinan unit pengelolaan Obligasi Daerah/satuan kerja perangkat daerah, Pimpinan Proyek, Bendaharawan Proyek, dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika menggunakan Penjamin Emisi Efek). 3. Prospektus ringkas wajib memuat data dan informasi yang secara substansi sama dengan Prospektus dan dibuat sedemikian rupa sehingga memuat informasi yang lengkap, cukup, objektif, jelas, dan mudah dimengerti. 4. Data dan informasi dalam Prospektus ringkas wajib diungkapkan dengan urutan sebagai berikut: a. informasi tentang prakiraan jadwal Penawaran Umum, meliputi : 1) tanggal efektif; 2) masa penawaran; 3) tanggal penyerahan surat Obligasi Daerah; 4) tanggal penjatahan; 5) tanggal pengembalian uang pemesanan; 6) tanggal pencatatan di Bursa Efek (jika ada); dan 7) Bursa Efek dimana Obligasi Daerah tersebut akan dicatatkan (jika ada). b. informasi berupa pernyataan dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca, yaitu: 1) โ€œINFORMASI DALAM DOKUMEN INI MASIH DAPAT DILENGKAPI DAN ATAU DIUBAH. PERNYATAAN PENDAFTARAN OBLIGASI DAERAH INI TELAH DISAMPAIKAN KEPADA BAPEPAM DAN LK NAMUN PERNYATAAN PENDAFTARAN TERSEBUT BELUM EFEKTIF. OBLIGASI DAERAH INI TIDAK DAPAT DIJUAL SEBELUM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG TELAH DISAMPAIKAN KEPADA BAPEPAM DAN LK MENJADI EFEKTIF. PEMESANAN MEMBELI OBLIGASI DAERAH INI HANYA DAPAT DILAKSANAKAN SETELAH CALON PEMBELI ATAU PEMESAN MENERIMA ATAU MEMPUNYAI KESEMPATAN UNTUK MEMBACA PROSPEKTUSโ€; LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13 April 2007 -2- 2) โ€œBAPEPAM DAN LK TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI OBLIGASI DAERAH INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN ISI PROSPEKTUS INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL-HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUMโ€; dan 3) โ€DAERAH DAN PENJAMIN PELAKSANA EMISI EFEK (jika ada) BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL SERTA KEJUJURAN PENDAPAT YANG TERCANTUM DALAM PROSPEKTUS INIโ€; c. informasi tentang nama lengkap, alamat, lambang Daerah, nomor telepon, nomor faksimili, alamat e-mail (jika ada), website (jika ada) dan kotak pos (jika ada) dari Kantor Pemerintah Daerah serta Proyek yang akan dibiayai dengan Obligasi Daerah tersebut; d. data dan informasi tentang Penawaran Umum Obligasi daerah, meliputi : 1) jenis dari penawaran, termasuk uraian mengenai sifat, jumlah nominal keseluruhan dan uraian singkat tentang Obligasi Daerah yang ditawarkan; 2) jumlah lembar, penomoran (jika dalam bentuk denominasi dari Obligasi Daerah yang akan ditawarkan; warkat), dan 3) ikhtisar sifat Obligasi Daerah termasuk uraian tentang pelunasan lebih dini atas pilihan Daerah atau pemegang Obligasi Daerah, atau pembelian kembali (jika ada); 4) harga penawaran, suku bunga, tingkat diskonto atau premi untuk Obligasi Daerah. Jika menggunakan suku bunga mengambang, maka diuraikan lengkap tentang cara penentuan kurs mengambang; 5) tanggal atau tanggal-tanggal pembayaran utang pokok Obligasi Daerah, dan jumlah utang pokok yang wajib dibayar pada tanggal- tanggal tersebut; 6) tanggal-tanggal pembayaran bunga atau imbalan dengan cara lainnya; 7) ikhtisar persyaratan mengenai dana pelunasan Obligasi Daerah; 8) nama, alamat kantor Pemerintah Daerah, dan uraian mengenai pihak yang bertindak sebagai penjamin Obligasi Daerah (jika ada) dan Wali Amanat; 9) ikhtisar mengenai persyaratan pokok dalam perjanjian perwaliamanatan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan hak keutamaan (senioritas) dari utang Obligasi Daerah secara relatif dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya dari Daerah yang belum lunas dan tambahan utang pinjaman yang dapat dibuat oleh Daerah pada masa yang akan datang; 10) Proyek dan barang milik Daerah yang melekat dalam Proyek tersebut yang menjadi jaminan atas Obligasi Daerah (jika ada); 11) keterangan mengenai sinking fund; LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13 April 2007 -3- 12) hasil peringkat Obligasi Daerah dari perusahaan pemeringkat Efek (jika ada); 13) nama lengkap dari Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek (jika ada); dan 14) prakiraan tempat dan tanggal penerbitan Prospektus; e. pernyataan bahwa sehubungan dengan Penawaran Umum, Daerah melarang setiap Pihak yang terlibat dalam Penawaran Umum untuk memberikan keterangan atau pernyataan mengenai data yang tidak diungkapkan dalam Prospektus tanpa persetujuan tertulis dari Daerah dan Penjamin Pelaksana Emisi Efek (jika ada), kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. informasi berupa pernyataan singkat, dalam huruf kapital yang langsung dapat menarik perhatian pembaca, mengenai faktor risiko kemungkinan tidak likuidnya Obligasi Daerah yang ditawarkan dan risiko utama dari Daerah serta Proyek yang dibiayai dengan Obligasi Daerah; g. data dan informasi ringkas tentang penggunaan dana yang diperoleh dari hasil Penawaran Umum; h. data dan informasi ringkas tentang analisis dan pembahasan oleh Daerah yang mencakup: 1) analisis kinerja keuangan berdasarkan laporan keuangan tahun terakhir, antara lain mengenai: a) aset; b) kewajiban; c) penerimaan; d) belanja; dan e) sisa anggaran lebih atau kurang; 2) bahasan mengenai ikatan yang material untuk investasi barang modal dengan penjelasan tentang tujuan dari ikatan tersebut, sumber dana yang diharapkan untuk memenuhi ikatan-ikatan tersebut, mata uang yang menjadi denominasi, dan langkah-langkah yang ditempuh Daerah untuk melindungi risiko dari posisi mata uang yang terkait (jika ada); dan 3) bahasan dan analisis tentang informasi keuangan yang telah dilaporkan yang mengandung kejadian yang sifatnya luar biasa dan jarang terjadi (jika ada); i. data dan informasi tentang kejadian penting setelah tanggal laporan Akuntan; j. data dan informasi tentang perubahan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh signifikan terhadap Daerah dan dampaknya terhadap laporan keuangan (jika ada); k. data dan informasi tentang perubahan kebijakan akuntansi, alasan dan dampaknya terhadap laporan keuangan (jika ada); LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13 April 2007 -4- l. data dan informasi ringkas tentang risiko Daerah dan Proyek yang disusun sesuai dengan bobot risiko yang dihadapi; m. data dan informasi ringkas tentang Proyek yang dibiayai dengan Obligasi Daerah yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) nama pimpinan dan bendaharawan Proyek; 2) keterangan umum tentang Proyek meliputi: a) nama; b) lokasi; c) latar belakang; d) tujuan; e) manfaat; f) nilai; g) perizinan dalam rangka pelaksanaan; h) jangka waktu; dan i) tahap-tahap pelaksanaan Proyek; n. data dan informasi ringkas tentang studi kelayakan Proyek dan usaha Proyek, berupa uraian mengenai hal-hal penting dalam studi kelayakan Proyek dan usaha Proyek yang telah dilakukan oleh Penilai sekurang- kurangnya mencakup metode, asumsi, dan pendapat atas kelayakan Proyek; o. data dan informasi ringkas tentang rencana operasional Proyek secara komersial, yang sekurang-kurangnya meliputi: 1) mulai beroperasinya Proyek secara komersial; 2) unit pelaksana operasional Proyek; 3) perkiraan kapasitas dan hasil atau pendapatan dari Proyek; 4) tingkat ketergantungan pada pelanggan tertentu termasuk pelanggan dari Pemerintah; 5) keadaan persaingan dalam sektor industri yang akan dijalankan; 6) uraian tentang aspek pemasaran yang meliputi daerah pemasaran dan sistem pemasaran; dan 7) keterangan tentang prospek usaha dari Proyek; p. data dan informasi ringkas tentang Daerah meliputi : 1) pengurusan Daerah berupa nama Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; 2) sarana dan atau prasarana yang dimiliki; 3) sumber daya alam; dan 4) nama perusahaan-perusahaan yang dimiliki Daerah dan jumlah atau persentase kepemilikannya; LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13 April 2007 -5- q. data dan informasi tentang ikhtisar data keuangan penting, yang sekurang- kurangnya meliputi: 1) pernyataan bahwa laporan keuangan merupakan sumber data; 2) pernyataan bahwa laporan keuangan telah diaudit dan memperoleh opini dari Akuntan beserta penjelasan tentang jangka waktu laporan keuangan yang dicakup; 3) rasio keuangan yang relevan dengan Daerah; dan 4) data keuangan penting sekurang-kurangnya dari laporan keuangan satu tahun terakhir; Data yang disajikan wajib konsisten dengan laporan keuangan termasuk nama pos yang digunakan. r. data dan informasi tentang aspek perpajakan berupa uraian tentang pajak yang berlaku baik bagi pemodal, Proyek maupun Daerah dan fasilitas khusus perpajakan yang diperoleh; s. informasi tentang nama lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal; t. data dan informasi tentang penjaminan emisi Efek berupa ringkasan tentang ketentuan penting dari perjanjian penjaminan emisi termasuk nama Penjamin Pelaksana Emisi Efek dan Penjamin Emisi Efek, jenis penjaminan dan besarnya persentase penjaminan. Dalam hal Penjamin Emisi Efek terdapat hubungan Afiliasi dengan Daerah agar diungkapkan; u. informasi tentang persyaratan pemesanan pembelian Obligasi Daerah yang sekuang-kurangnya meliputi: 1) pengajuan pemesanan pembelian Obligasi Daerah; 2) kriteria pesanan Obligasi Daerah yang dapat diterima; 3) jumlah Obligasi Daerah yang dapat dipesan; 4) penyerahan formulir pemesanan Obligasi Daerah; 5) persyaratan pembayaran Obligasi Daerah; 6) bentuk tanda terima pesanan Obligasi Daerah; 7) metode penjatahan Obligasi Daerah; 8) pembatalan pesanan Obligasi Daerah; 9) pengembalian uang pesanan Obligasi Daerah; dan 10) penyerahan surat kolektif Obligasi Daerah; dan v. informasi tentang penyebarluasan Prospektus dan formulir pemesanan pembelian Obligasi Daerah yang meliputi penjelasan tentang nama, alamat, dan nomor telepon Penjamin Emisi Efek dan agen penjual Efek dimana Prospektus dan formulir pesanan pembelian Obligasi Daerah dapat diperoleh. LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 68/BL/2007 Tanggal : 13 April 2007 -6- 5. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 13 April 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP. 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-68/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN MENGENAI BENTUK DAN ISI PROSPEKTUS RINGKAS DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OBLIGASI DAERAH </reg_title> <set_date> 13 April 2007 </set_date> <effective_date> 13 April 2007 </effective_date> <related_reg> '147/PMK.07/2006|PER-MENKEU/2006', '45/PP/1995', '33/UU/2004', '45/M|KEPPRES/2006', '54/PP/2005', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995', '32/UU/2004' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-367/BL/2012 TENTANG NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka memberikan landasan hukum bagi Manajer Investasi untuk menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) sebagai acuan penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011. MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA. Pasal 1 Ketentuan mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 2 Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana sesuai dengan Peraturan Nomor IV.C.2 Lampiran Keputusan ini sejak tanggal 1 Januari 2013. Pasal 3 Sejak ditetapkannya Keputusan ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2012, penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana dilakukan sesuai Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana. Pasal 4 Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-402/BL/2008 tanggal 9 Oktober 2008 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 9 Juli 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 367/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 PERATURAN NOMOR IV.C.2 : NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA 1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan: a. Efek Bersifat Utang adalah Efek yang menunjukkan hubungan utang piutang antara kreditor (pemegang Efek) dengan Pihak yang menerbitkan Efek. b. Nilai Pasar Wajar (fair market value) dari Efek adalah nilai yang dapat diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para Pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi. c. Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) adalah Pihak yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam dan LK untuk melakukan penilaian harga Efek dalam rangka menetapkan harga pasar wajar, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor V.C.3 tentang Lembaga Penilaian Harga Efek. 2. Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana wajib dihitung dan disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Bank Kustodian paling lambat pukul 17.00 WIB setiap hari bursa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek menggunakan informasi harga perdagangan terakhir atas Efek tersebut di Bursa Efek; b. Penghitungan Nilai Pasar Wajar dari: 1) Efek yang diperdagangkan di luar Bursa Efek (over the counter); 2) Efek yang tidak aktif diperdagangkan di Bursa Efek; 3) Efek yang diperdagangkan dalam denominasi mata uang asing; 4) Instrumen pasar uang dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; 5) Efek lain yang transaksinya wajib dilaporkan kepada Penerima Laporan Transaksi Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor X.M.3 tentang Penerima Laporan Transaksi Efek; 6) Efek lain yang berdasarkan Keputusan Bapepam dan LK dapat menjadi Portofolio Efek Reksa Dana; dan/atau 7) Efek dari perusahaan yang dinyatakan pailit atau kemungkinan besar akan pailit, atau gagal membayar pokok utang atau bunga dari Efek tersebut, menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh LPHE sebagai harga acuan bagi Manajer Investasi. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 367/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 c. Dalam hal harga perdagangan terakhir Efek di Bursa Efek tidak mencerminkan Nilai Pasar Wajar pada saat itu, penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut menggunakan harga pasar wajar yang ditetapkan oleh LPHE sebagai harga acuan bagi Manajer Investasi. d. Dalam hal LPHE tidak mengeluarkan harga pasar wajar terhadap Efek sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) sampai dengan butir 6), dan angka 2 huruf c Peraturan ini, Manajer Investasi wajib menentukan Nilai Pasar Wajar dari Efek dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan secara konsisten, dengan mempertimbangkan antara lain: 1) harga perdagangan sebelumnya; 2) harga perbandingan Efek sejenis; dan/atau 3) kondisi fundamental dari penerbit Efek. e. Dalam hal LPHE tidak mengeluarkan harga pasar wajar terhadap Efek dari perusahaan yang dinyatakan pailit atau kemungkinan besar akan pailit, atau gagal membayar pokok utang atau bunga dari Efek tersebut, sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b butir 7), Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan secara konsisten dengan mempertimbangkan: 1) harga perdagangan terakhir Efek tersebut; 2) kecenderungan harga Efek tersebut; 3) tingkat bunga umum sejak perdagangan terakhir (jika berupa Efek Bersifat Utang); 4) informasi material yang diumumkan mengenai Efek tersebut sejak perdagangan terakhir; 5) perkiraan rasio pendapatan harga (price earning ratio), dibandingkan dengan rasio pendapatan harga untuk Efek sejenis (jika berupa saham); 6) tingkat bunga pasar dari Efek sejenis pada saat tahun berjalan dengan peringkat kredit sejenis (jika berupa Efek Bersifat Utang); dan 7) harga pasar terakhir dari Efek yang mendasari (jika berupa derivatif atas Efek). f. Dalam hal Manajer Investasi menganggap bahwa harga pasar wajar yang ditetapkan LPHE tidak mencerminkan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana yang wajib dibubarkan karena: 1) diperintahkan oleh Bapepam dan LK sesuai peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 367/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 2) total Nilai Aktiva Bersih kurang dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) selama 90 (sembilan puluh) hari bursa secara berturut- turut, Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan secara konsisten. g. Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana yang diperdagangkan dalam denominasi mata uang yang berbeda dengan denominasi mata uang Reksa Dana tersebut, wajib dihitung dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. 3. LPHE wajib: a. menentukan standar deviasi atas harga pasar wajar atas Efek yang ditetapkannya; dan b. mempunyai prosedur operasi standar atau mekanisme untuk memperbaiki harga pasar wajar atas Efek dimaksud, apabila terjadi kesalahan penilaian (error pricing). 4. LPHE wajib menyediakan: a. akses digital secara daring (online) kepada Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana untuk mengetahui harga pasar wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana dimaksud; dan b. harga pasar wajar atas Efek, sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b, yang terdapat dalam portofolio Reksa Dana yang dikelola oleh masing- masing Manajer Investasi untuk hari yang bersangkutan dan satu hari sebelumnya, secara harian dan tanpa memungut biaya. 5. Dalam rangka penghitungan harga pasar wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana, LPHE dapat meminta informasi kepada Manajer Investasi atas Efek yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi tersebut. 6. Dengan memperhatikan ketentuan Peraturan Nomor V.C.3 tentang Lembaga Penilaian Harga Efek, LPHE dapat memungut biaya atas akses harga pasar wajar dari Efek, jika Manajer Investasi: a. mengakses harga pasar wajar atas Efek sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b, selain pada waktu sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf b di atas; b. mengakses harga pasar wajar atas Efek sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b di atas dalam bentuk olahan, atau bentuk tertentu untuk memenuhi kebutuhan khusus Manajer Investasi; dan/atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 367/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 c. mengakses harga pasar wajar atas Efek selain sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b. 7. LPHE wajib menyediakan harga pasar wajar Efek sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf b di atas kepada Manajer Investasi pengelola Reksa Dana sebelum pukul 17.00 WIB setiap hari bursa. 8. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf d dan huruf e di atas, Manajer Investasi wajib sekurang-kurangnya: a. memiliki prosedur operasi standar; b. menggunakan dasar penghitungan yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan diterapkan secara konsisten; c. membuat catatan dan/atau kertas kerja tentang tata cara penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek yang mencakup antara lain faktor atau fakta yang menjadi pertimbangan; dan d. menyimpan catatan tersebut di atas paling kurang 5 (lima) tahun. 9. Penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, wajib menggunakan Nilai Pasar Wajar dari Efek yang ditentukan oleh Manajer Investasi. 10. Dalam penghitungan Nilai Pasar Wajar Surat Berharga Negara yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi, Manajer Investasi dapat menggunakan metode harga perolehan yang diamortisasi, sepanjang Surat Berharga Negara dimaksud untuk dimiliki dan tidak akan dialihkan sampai dengan tanggal jatuh tempo (hold to maturity). 11. Bagi Reksa Dana Terproteksi yang portofolionya terdiri dari Surat Berharga Negara yang dimiliki dan tidak akan dialihkan sampai dengan tanggal jatuh tempo, dan penghitungan Nilai Pasar Wajar-nya menggunakan metode harga perolehan yang diamortisasi, maka pembelian kembali atas Unit Penyertaan hanya dapat dilakukan pada tanggal pelunasan sesuai dengan Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus. 12. Nilai Aktiva Bersih per saham atau Unit Penyertaan dihitung berdasarkan Nilai Aktiva Bersih pada akhir hari bursa yang bersangkutan, setelah penyelesaian pembukuan Reksa Dana dilaksanakan, tetapi tanpa memperhitungkan peningkatan atau penurunan kekayaan Reksa Dana karena permohonan pembelian dan/atau pelunasan yang diterima oleh Bank Kustodian pada hari yang sama. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 367/BL/2012 Tanggal : 9 Juli 2012 13. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 9 Juli 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-367/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO REKSA DANA </reg_title> <set_date> 9 Juli 2012 </set_date> <effective_date> 9 Juli 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-402/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.2' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 423 /BL/2007 TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka mendorong investasi di bidang real estat melalui Pasar Modal dan memberikan landasan hukum Pernyataan Pendaftaran dalam Penawaran Umum Efek berbasis real estat, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 Ketentuan mengenai Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.15 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 18 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 423/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 PERATURAN NOMOR IX.C.15 : PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF 1. Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diajukan oleh Manajer Investasi dengan cara sebagai berikut: a. menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dengan mengisi Formulir Nomor IX.C.15-1 lampiran 1 peraturan ini; b. Pernyataan Pendaftaran diajukan dalam rangkap 2 (dua); c. paling kurang satu dokumen Pernyataan Pendaftaran dan dokumen lainnya harus ditandatangani secara langsung oleh Pihak yang namanya disebut dalam Pernyataan Pendaftaran dan dibubuhi meterai yang cukup; d. pernyataan bahwa semua Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal yang disebut dalam Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab sepenuhnya atas data yang disajikan relevan dengan fungsi mereka, sesuai dengan peraturan yang berlaku, kode etik, norma, dan standar profesi masing- masing; e. menyertakan dokumen antara lain sebagai berikut: 1) Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disertai dengan format digitalnya; 2) perjanjian pengelolaan Real Estat; 3) dokumen penilaian Real Estat; 4) perjanjian Agen Penjual Unit penyertaan (jika ada); 5) perjanjian pendahuluan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek; 6) perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian jika Unit Penyertaan dicatatkan di Bursa Efek; 7) pendapat hukum dan laporan Uji Tuntas dari segi hukum; 8) Prospektus (diberi meterai dan ditandantangani para pihak disertai dengan format digitalnya); 9) salinan perjanjian sewa menyewa yang terkait dengan Real Estat; 10) salinan perjanjian jual beli Real Estat; 11) foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak atas tanah dan atau bangunan lainnya; dan 12) Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menggunakan Special Purpose Company, wajib menyertakan pula: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 423/BL/2007 Tanggal : 18 Desember 2007 - 2 - a) akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company; b) ijin usaha dari pihak yang berwenang; dan c) daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company. f. menyampaikan rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. 2. Dalam hal Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a peraturan ini, tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor IX.C.15-2 lampiran 2 peraturan ini. b. Pernyataan Pendaftaran yang dinyatakan efektif oleh Bapepam dan LK, menggunakan Formulir Nomor IX.C.15-3 lampiran 3 peraturan ini. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 18 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: IX.C.15-1 Nomor : Lampiran : Perihal : Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif .................... (nama Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif) KEPADA Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Di Jakarta : 1 Peraturan Nomor : IX.C.15 Jakarta,............. 20... Bersama ini kami mengajukan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum sejumlah ................. Unit Penyertaan dengan nilai per Unit Penyertaan Rpโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ I. Manajer Investasi Nama 1. Alamat 2. Nomor dan tanggal akta pendirian berikut perubahan anggaran dasar 3. Nomor dan tanggal persetujuan atau pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM 4. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia 5. Nomor dan tanggal izin usaha dari Bapepam dan LK 6. Nomor Pokok Wajib Pajak perusahaan 7. Anggota direksi dan dewan komisaris No. a. b. c. d. e. II. Bank Kustodian 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor dan tanggal akta : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... Nama : : : : : : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... Kewarganegaraan Alamat pendirian berikut perubahan anggaran dasar 4. Nomor dan tanggal persetujuan atau pemberitahuan Menteri Hukum dan HAM 5. Nomor dan tanggal pengumuman dalam Berita Negara Indonesia 6. Nomor dan tanggal izin usaha Dari Bapepam dan LK 7. Nomor Pokok Wajib Pajak Perusahaan 8. Anggota Direksi dan Dewan Komisaris No. a. b. c. d. e. III. Akuntan 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Bapepam dan LK IV. Konsultan Hukum 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Bapepam dan LK V. Penilai 1. Nama 2. Alamat 3. Nomor Pokok Wajib Pajak 4. Nomor pendaftaran di Bapepam dan LK : : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... Nama : : : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... Kewarganegaraan Alamat : : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... : : : : ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... ........................................................................... VI. Jumlah halaman Pernyataan Pendaftaran ini adalah ____ halaman. VII. Daftar dokumen yang dilampirkan: 1. Prospektus (diberi meterai dan ditandatangani para Pihak); 2. Spesimen Unit Penyertaan (jika ada); 3. Contoh formulir pemesanan pembelian Unit Penyertaan; 4. Foto copy Kontrak Pencetakan Unit Penyertaan (jika ada); 5. Salinan perjanjian yang telah ditandatangani para Pihak: a. Kontrak Investasi Kolektif; b. Perjanjian pengelolaan Real Estat; c. Perjanjian agen penjual Unit Penyertaan (jika ada); d. perjanjian pendahuluan dengan Bursa Efek (jika ada); e. perjanjian Penitipan Kolektif dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (jika ada); f. Perjanjian hak sewa menyewa; g. Perjanjian jual beli Real Estat; h. Perjanjian-perjanjian lainnya (jika ada); 6. Foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan dan Sertifikat Hak atas tanah dan atau bangunan lainnya; 7. Dalam hal Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menggunakan Special Purpose Company, wajib melampirkan pula: a. akta pendirian dan perubahan anggaran dasar Special Purpose Company; b. ijin usaha dari pihak yang berwenang; dan c. daftar Pihak yang terafiliasi dengan Special Purpose Company; 8. Rencana pemasaran dan operasional Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; 9. Laporan uji tuntas hukum (legal audit) dan pendapat hukum (legal opinion) berdasarkan dokumen-dokumen yang relevan; 10. Dokumen tentang Manajer Investasi: a. foto copy akta pendirian perseroan yang telah disahkan Menteri Hukum dan HAM; b. laporan Keuangan sebagai Manajer Investasi; c. struktur Organisasi; d. foto copy izin usaha sebagai Manajer Investasi; e. pengalaman sebagai Manajer Investasi; f. foto copy izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi; g. foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari masing-masing anggota direksi Manajer Investasi; dan h. riwayat hidup masing-masing anggota direksi; 11. Dokumen Bank Kustodian: a. Foto copy Akta pendirian perseroan yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; b. Laporan keuangan; c. Foto copy persetujuan dari Bapepam dan LK; d. Pengalaman sebagai Bank Kustodian; e. Penanggung jawab Bank Kustodian; dan f. Struktur organisasi bagian Kustodian; 12. Foto copy Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal: a. Notaris; b. Konsultan Hukum; c. Akuntan; d. Penilai; dan e. Profesi lain (jika ada). 13. Batas jumlah Unit Penyertaan yang akan diterbitkan; 14. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 formulir ini (Daftar Pertanyaan) dan lampiran 2 formulir ini yang terdiri dari daftar Afiliasi direksi dan setiap Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Daftar A) serta lampiran 3 formulir ini yang memuat penjelasan atas jawaban โ€œyaโ€ (Daftar B). PERNYATAAN ATAU KETERANGAN YANG DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN ADALAH BENAR DAN TIDAK ADA FAKTA MATERIAL YANG TIDAK DIMUAT DALAM PERNYATAAN PENDAFTARAN YANG DIPERLUKAN AGAR PERNYATAAN PENDAFTARAN TIDAK MENYESATKAN. MANAJER INVESTASI, Materai ............................................ Nama lengkap LAMPIRAN : 1 Formulir Nomor: IX.C.15-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh setiap anggota direksi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œyaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œtidakโ€. Untuk setiap jawaban "ya" setiap anggota direksi Manajer Investasi dan Pihak yang melakukan pengendalian atas perusahaan (Manajer Investasi) wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam Daftar B lampiran 3 Formulir Nomor IX.C.15-1 antara lain memuat: a. perusahaan dan pihak-pihak yang terkait; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan dan sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS SETIAP ANGGOTA DIREKSI PERUSAHAAN EFEK YANG BERTINDAK SEBAGAI MANAJER INVESTASI DAN SETIAP PIHAK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN ATAS PERUSAHAAN. Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan/real estate, termasuk kegiatan baik langsung atau tidak langsung berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan perusahaan lain yang bergerak di bidang keuangan Jawablah pertanyaan dibawah ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak membantah atas tuduhan: a. Tindak pidana atau kejahatan melibatkan investasi atau usaha berhubungan dengan investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. Atau kejahatan lain? ๎€€ ya ๎€€ tidak 2. Apakah pengadilan : a. Pernah memutuskan Saudara bangkrut? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini melarang Saudara dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. Pernah memutuskan bahwa Saudara menyebabkan suatu usaha yang berhubungan dengan menjalankan usahanya ditolak, dibekukan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. Menemukan Saudara menyebabkan ditolaknya, dibekukannya, dicabutnya atau dibatasinya izin usaha Saudara atau izin menjalankan usaha Saudara yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. Menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut izin usaha Saudara, memberi sanksi dengan membatasi kegiatan Saudara? ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga/instansi lain yang berwenang di Indonesia atau negara lain pernah: a. Mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang benar atau tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan Investasi, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah suatu Bursa Efek pernah: a. Menemukan Saudara membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta yang sebenarnya. ๎€€ ya ๎€€ tidak b. Menemukan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. Menemukan Saudara menyebabkan Izin Usaha atau persetujuan untuk menjalankan usaha suatu Reksa Dana yang berhubungan dengan Investasi yang menyebabkan dibekukan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. Mengambil tindakan disipliner terhadap Saudara dengan mengeluarkan atau membekukan dari keanggotaan, dengan mencegah atau membekukan hubungannya dengan anggota lain, atau dengan membatasi kegiatannya? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah pengadilan dari negara lain, badan peraturan, atau Bursa Efek memerintahkan diambilnya tindakan terhadap Saudara sehubungan dengan investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak melakukan investasi, izin usahanya atau izin untuk 7. Apakah Saudara sedang menghadapi perkara dalam sidang pengadilan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 8. Apakah suatu perusahaan asuransi pernah menolak membayar kepada atau mencabut pertanggungan Saudara? ๎€€ ya ๎€€ tidak 9. Apakah Saudara mempunyai kewajiban atas dasar keputusan pengadilan atau perikatan lain yang dibuatnya dengan pihak lain yang tidak dapat dilaksanakan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 10. Apakah Saudara pernah menjadi direktur dan atau komisaris Perusahaan Efek, Penasihat Investasi Perorangan atau Pihak yang melakukan pengendalian atas Perusahaan Efek yang dinyatakan bangkrut? ๎€€ ya ๎€€ tidak .............................., .............. Yang membuat pernyataan .......................................... (nama lengkap) LAMPIRAN : 2 Formulir Nomor: IX.C.15-1 DAFTAR A AFILIASI DIREKSI PERUSAHAAN EFEK YANG BERTINDAK SEBAGAI MANAJER INVESTASI Daftar ini memuat keterangan tentang Afiliasi dari semua anggota direksi Perusahaan Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer Investasi dengan: 1. Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif itu sendiri selain sebagai anggota direksi Perusahaan Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer Investasi; 2. Perusahaan Efek Yang Bertindak Sebagai Manajer Investasinya; 3. Bank Kustodian; 4. Akuntan atau Konsultan Hukum yang akan atau memberikan jasa profesional kepada Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan atau Afiliasi dari profesi dimaksud; 5. Perusahaan Efek lain; 6. Orang perseorangan yang mempunyai hubungan usaha penting dan relevan atau hubungan profesi dengan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dimaksud, Manajer Investasi Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dimaksud atau dengan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif lain. Beri tanda โˆš apabila ada Afiliasi Nama Lengkap Direktur/Pihak yang melakukan pengendalian Afilisasi sebagaimana dijelaskan di atas dengan angka 1 2 3 4 5 6 LAMPIRAN : 3 Formulir Nomor: IX.C.15-1 DAFTAR B PENJELASAN ATAS JAWABAN โ€œYAโ€ Daftar pertanyaan nomor 1 sampai dengan 10. Diisi dengan penjelasan rinci terhadap jawaban โ€Yaโ€ atas pertanyaan nomor 1 sampai dengan nomor 10. No Nomor Pertanyaan/Daftar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Penjelasan .............................., .............. Yang membuat pernyataan Materai .......................................... (nama lengkap) LAMPIRAN FORMULIR NOMOR: IX.C.15-2 Nomor : Lampiran : Perihal S- /BL/20 : Perubahan dan atau Tambahan Informasi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Oleh Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif ............................................... : 2 Peraturan Nomor : IX.C.15 Jakarta,. ............ 20.... KEPADA Yth................................. di ........................... Menunjuk surat Saudara Nomor : ................. tanggal .................................... perihal .............................., dengan ini diberitahukan bahwa setelah diadakan penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran Dana Investasi Real Estat Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.........................................., maka Saudara diminta untuk menyampaikan perubahan dan atau tambahan informasi yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK sebagai berikut : 1. Perubahan yang perlu dilaksanakan adalah : a. ......................................................................................................................................... b. ......................................................................................................................................... 2. Tambahan informasi yang wajib disampaikan adalah : a. ......................................................................................................................................... b. ......................................................................................................................................... Sebelum hal-hal di atas dipenuhi, Pernyataan Pendaftaran Saudara belum dapat dinyatakan menjadi efektif. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ............................................ NIP. .................................. Tembusan Yth : Kepala Biro Pengelolaan Investasi. LAMPIRAN : 3 Peraturan Nomor : IX.C.15 FORMULIR NOMOR: IX.C.15-3 Nomor : Lampiran : Perihal S- /BL/20 : Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran Jakarta,. ............ 20... KEPADA Yth. ................................. di ....................... Sehubungan dengan Pernyataan Pendaftaran Saudara Nomor ......................, tanggal ................... serta revisi kelengkapan dokumen yang telah disampaikan dengan surat Nomor ..................., tanggal ......................, dan setelah dilakukan penelaahan lebih lanjut, kami tidak memerlukan informasi tambahan dan tidak mempunyai tanggapan lebih lanjut dan Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif. Pernyataan efektif ini bukan merupakan persetujuan Bapepam dan LK atas kecukupan atau kebenaran keterangan yang tercantum dalam Pernyataan Pendaftaran atau dokumen lampirannya atau menyetujui, mengesahkan, atau meneliti keunggulan investasi pada Efek yang diajukan dalam Pernyataan Pendaftaran tersebut di atas BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ............................................ NIP. .................................. Tembusan Yth : Kepala Biro Pengelolaan Investasi.
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-423/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id> <reg_title> PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM OLEH DANA INVESTASI REAL ESTAT BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title> <set_date> 18 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 18 Desember 2007 </effective_date> <related_reg> '12/PP/2004', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '46/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 179/BL/2008 TENTANG POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur tentang pokok-pokok anggaran dasar Perseroan yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan Perusahaan Publik; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menyempurnakan Peraturan Nomor IX.J.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep- 13/PM/1997 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK. Pasal 1 Ketentuan mengenai pokok-pokok anggaran dasar Perseroan yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan Perusahaan Publik diatur dalam Peraturan Nomor IX.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 (1) Perseroan yang melakukan Penawaran Umum Efek bersifat ekuitas dan Perusahaan Publik sebelum ditetapkannya Keputusan ini, wajib mengubah anggaran dasarnya sesuai dengan Peraturan Nomor IX.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini paling lambat tanggal 30 Agustus 2009. (2) Perseroan yang telah mengajukan Pernyataan Pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, namun pada saat ditetapkannya Keputusan ini Pernyataan Pendaftaran tersebut belum menjadi efektif, wajib menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan Peraturan Nomor IX.J.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini paling lambat pada Rapat Umum Pemegang Saham pertama yang dilaksanakan setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-13/PM/1997 tanggal 30 April 1997 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 14 Mei 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Efek Bersifat Ekuitas adalah: 1) Saham; 2) Efek yang dapat ditukar dengan saham; atau 3) Efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham; dari Perseroan selaku penerbit. b. HMETD adalah Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. c. Perseroan adalah Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam UUPT yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. d. RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang dapat berupa Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan atau Rapat Umum Pemegang Saham lainnya. e. UUPT adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 2. Nama dan Tempat Kedudukan Perseroan a. Pada akhir nama Perseroan wajib ditambahkan kata โ€œTbkโ€ yang berarti terbuka. b. Tempat kedudukan Perseroan adalah Kecamatan atau kota di Indonesia dimana Perseroan berkantor pusat, dengan ketentuan apabila tempat kedudukan tersebut terletak di Kecamatan harus disebutkan juga Daerah Tingkat II dari Kecamatan tersebut. 3. Jangka Waktu Berdirinya Perseroan Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas. 4. Maksud dan Tujuan serta Kegiatan Usaha Perseroan a. Maksud dan tujuan Perseroan merupakan usaha pokok Perseroan; b. Kegiatan Usaha Perseroan merupakan aktivitas bisnis yang dilaksanakan oleh Perseroan sesuai dengan izin kegiatan usaha yang dimiliki yang diperoleh dari instansi yang berwenang; c. Kegiatan usaha utama yang dilakukan untuk merealisasikan usaha pokok wajib diuraikan secara rinci dan jelas dalam anggaran dasar. d. Kegiatan usaha penunjang yang mendukung kegiatan usaha utama wajib diuraikan secara rinci dan jelas dalam anggaran dasar. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -2- 5. Permodalan a. Modal disetor harus sama dengan modal ditempatkan. b. Bentuk penyetoran harus dijelaskan dalam pasal yang mengatur mengenai permodalan. c. Penyetoran atas saham dalam bentuk lain selain uang baik berupa benda berwujud maupun tidak berwujud wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) benda yang akan dijadikan setoran modal dimaksud wajib diumumkan kepada publik pada saat pemanggilan RUPS mengenai penyetoran tersebut; 2) benda yang dijadikan sebagai setoran modal wajib dinilai oleh Penilai yang terdaftar di Bapepam dan LK dan tidak dijaminkan dengan cara apapun juga; 3) memperoleh persetujuan RUPS dengan kuorum sebagaimana diatur dalam angka 15 huruf c butir 1) peraturan ini; 4) dalam hal benda yang dijadikan sebagai setoran modal dilakukan dalam bentuk saham Perseroan yang tercatat di Bursa Efek, maka harganya harus ditetapkan berdasarkan nilai pasar wajar; dan 5) dalam hal penyetoran tersebut berasal dari laba ditahan, agio saham, laba bersih Perseroan, dan/atau unsur modal sendiri, maka laba ditahan, agio saham, laba bersih Perseroan, dan/atau unsur modal sendiri lainnya tersebut sudah dimuat dalam Laporan Keuangan Tahunan terakhir yang telah diperiksa oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK dengan pendapat wajar tanpa pengecualian. d. Dalam RUPS yang memutuskan untuk menyetujui Penawaran Umum, harus diputuskan mengenai jumlah maksimal saham yang akan dikeluarkan kepada masyarakat serta memberi kuasa kepada dewan komisaris untuk menyatakan realisasi jumlah saham yang telah dikeluarkan dalam Penawaran Umum tersebut. 6. Pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas a. Setiap penambahan modal melalui pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas yang dilakukan dengan pemesanan, maka hal tersebut wajib dilakukan dengan memberikan HMETD kepada pemegang saham yang namanya terdaftar dalam daftar pemegang saham Perseroan pada tanggal yang ditentukan RUPS yang menyetujui pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas dalam jumlah yang sebanding dengan jumlah saham yang telah terdaftar dalam daftar pemegang saham Perseroan atas nama pemegang saham masing-masing pada tanggal tersebut. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -3- b. Pengeluaran Efek bersifat ekuitas tanpa memberikan HMETD kepada pemegang saham dapat dilakukan dalam hal pengeluaran saham: 1) ditujukan kepada karyawan Perseroan; 2) ditujukan kepada pemegang obligasi atau Efek lain yang dapat dikonversi menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; 3) dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS; dan/atau 4) dilakukan sesuai dengan peraturan di bidang Pasar Modal yang memperbolehkan penambahan modal tanpa HMETD. c. HMETD wajib dapat dialihkan dan diperdagangkan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Nomor IX.D.1 Tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. d. Efek bersifat ekuitas yang akan dikeluarkan oleh Perseroan dan tidak diambil oleh pemegang HMETD harus dialokasikan kepada semua pemegang saham yang memesan tambahan Efek bersifat ekuitas, dengan ketentuan apabila jumlah Efek bersifat ekuitas yang dipesan melebihi jumlah Efek bersifat ekuitas yang akan dikeluarkan, Efek bersifat ekuitas yang tidak diambil tersebut wajib dialokasikan sebanding dengan jumlah HMETD yang dilaksanakan oleh masing-masing pemegang saham yang memesan tambahan Efek bersifat ekuitas. e. Dalam hal masih terdapat sisa Efek bersifat ekuitas yang tidak diambil bagian oleh pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf d peraturan ini, maka dalam hal terdapat pembeli siaga, Efek bersifat ekuitas tersebut wajib dialokasikan kepada Pihak tertentu yang bertindak sebagai pembeli siaga dengan harga dan syarat-syarat yang sama. f. Pelaksanaan pengeluaran saham dalam portepel untuk pemegang Efek yang dapat ditukar dengan saham atau Efek yang mengandung hak untuk memperoleh saham, dapat dilakukan oleh direksi berdasarkan RUPS Perseroan terdahulu yang telah menyetujui pengeluaran Efek tersebut. g. Penambahan modal disetor menjadi efektif setelah terjadinya penyetoran, dan saham yang diterbitkan mempunyai hak-hak yang sama dengan saham yang mempunyai klasifikasi yang sama yang diterbitkan oleh Perseroan, dengan tidak mengurangi kewajiban Perseroan untuk mengurus pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 7. Penambahan Modal Dasar Perseroan a. Penambahan modal dasar Perseroan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS. Perubahan anggaran dasar dalam rangka perubahan modal dasar harus disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. b. Penambahan modal dasar yang mengakibatkan modal ditempatkan dan disetor menjadi kurang dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar, dapat dilakukan sepanjang: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -4- 1) telah memperoleh persetujuan RUPS untuk menambah modal dasar; 2) telah memperoleh persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; 3) penambahan modal ditempatkan dan disetor sehingga menjadi paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 2) peraturan ini; 4) Dalam hal penambahan modal disetor sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 3) peraturan ini tidak terpenuhi sepenuhnya, maka Perseroan harus mengubah kembali anggaran dasarnya, sehingga modal dasar dan modal disetor memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUPT, dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah jangka waktu dalam angka 7 huruf b butir 3) peraturan ini tidak terpenuhi; 5) Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 1) peraturan ini termasuk juga persetujuan untuk mengubah anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b butir 4) peraturan ini. b. perubahan anggaran dasar dalam rangka penambahan modal dasar menjadi efektif setelah terjadinya penyetoran modal yang mengakibatkan besarnya modal disetor menjadi paling kurang 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar dan mempunyai hak-hak yang sama dengan saham lainnya yang diterbitkan oleh Perseroan, dengan tidak mengurangi kewajiban Perseroan untuk mengurus persetujuan perubahan anggaran dasar dari Menteri atas pelaksanaan penambahan modal disetor tersebut. 8. Saham a. Saham Perseroan adalah saham atas nama. b. Perseroan dapat mengeluarkan saham dengan nilai nominal atau tanpa nilai nominal. c. Pengeluaran saham tanpa nilai nominal wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. d. Anggaran dasar Perseroan wajib memuat ketentuan mengenai perlakuan pecahan nilai nominal saham, hak pemegang pecahan nilai nominal saham, dan bukti kepemilikan pecahan nilai nominal saham. e. Seluruh saham yang dikeluarkan oleh Perseroan dapat dijaminkan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian jaminan saham, peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal, dan UUPT. 9. Bukti Kepemilikan Saham a. Dalam hal Saham Perseroan tidak masuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan, maka Perseroan wajib memberikan bukti pemilikan saham berupa surat saham atau surat kolektif saham kepada pemegang sahamnya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -5- b. Dalam hal Saham Perseroan masuk dalam Penitipan Kolektif Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan, maka Perseroan wajib menerbitkan sertifikat atau konfirmasi tertulis kepada Lembaga Penyelesaian dan Penyimpanan sebagai tanda bukti pencatatan dalam buku daftar pemegang saham Perseroan. 10. Surat saham dan surat kolektif saham yang rusak atau hilang a. Dalam hal surat saham rusak, penggantian surat saham tersebut dapat dilakukan jika: 1) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham adalah pemilik surat saham tersebut; dan 2) Perseroan telah menerima surat saham yang rusak. b. Perseroan wajib memusnahkan surat saham yang rusak setelah memberikan penggantian surat saham. c. Dalam hal surat saham hilang, penggantian surat saham tersebut dapat dilakukan jika: 1) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham adalah pemilik surat saham tersebut; 2) Perseroan telah mendapatkan dokumen pelaporan dari Kepolisian RI atas hilangnya suratsaham tersebut; 3) Pihak yang mengajukan permohonan penggantian saham memberikan jaminan yang dipandang cukup oleh direksi Perseroan; dan 4) rencana pengeluaran pengganti surat saham yang hilang telah diumumkan di Bursa Efek di mana saham Perseroan dicatatkan dalam waktu paling kurang 14 (empat belas) hari sebelum pengeluaran pengganti surat saham. d. Ketentuan tentang surat saham dalam angka 10 huruf a, huruf b, dan huruf c peraturan ini, berlaku pula bagi surat kolektif saham. 11. Penitipan Kolektif Ketentuan mengenai Penitipan Kolektif sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Saham dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian harus dicatat dalam buku daftar pemegang saham Perseroan atas nama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk kepentingan pemegang rekening pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. b. Saham dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian atau Perusahaan Efek yang dicatat dalam rekening Efek pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dicatat atas nama Bank Kustodian atau Perusahaan Efek dimaksud untuk kepentingan pemegang rekening pada Bank Kustodian atau Perusahaan Efek tersebut. c. Apabila saham dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian merupakan bagian dari Portofolio Efek Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dan tidak termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka Perseroan akan mencatatkan saham tersebut dalam LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -6- buku daftar pemegang saham Perseroan atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemilik Unit Penyertaan dari Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif tersebut. d. Perseroan wajib menerbitkan sertifikat atau konfirmasi kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf a peraturan ini atau Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf c peraturan ini sebagai tanda bukti pencatatan dalam buku daftar pemegang saham Perseroan. e. Perseroan wajib memutasikan saham dalam Penitipan Kolektif yang terdaftar atas nama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Bank Kustodian untuk Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dalam buku daftar pemegang saham Perseroan menjadi atas nama Pihak yang ditunjuk oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Bank Kustodian dimaksud. Permohonan mutasi disampaikan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau Bank Kustodian kepada Perseroan atau Biro Administrasi Efek yang ditunjuk Perseroan. f. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bank Kustodian atau Perusahaan Efek wajib menerbitkan konfirmasi kepada pemegang rekening sebagai tanda bukti pencatatan dalam rekening Efek. g. Dalam Penitipan Kolektif setiap saham dari jenis dan klasifikasi yang sama yang diterbitkan Perseroan adalah sepadan dan dapat dipertukarkan antara satu dengan yang lain. h. Perseroan wajib menolak pencatatan saham ke dalam Penitipan Kolektif apabila surat saham tersebut hilang atau musnah, kecuali Pihak yang meminta mutasi dimaksud dapat memberikan bukti dan/atau jaminan yang cukup bahwa Pihak tersebut benar-benar sebagai pemegang saham dan surat saham tersebut benar-benar hilang atau musnah. i. Perseroan wajib menolak pencatatan saham ke dalam Penitipan Kolektif apabila saham tersebut dijaminkan, diletakkan dalam sita berdasarkan penetapan pengadilan atau disita untuk pemeriksaan perkara pidana. j. Pemegang rekening Efek yang Efeknya tercatat dalam Penitipan Kolektif berhak hadir dan/atau mengeluarkan suara dalam RUPS sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya pada rekening tersebut. k. Bank Kustodian dan Perusahaan Efek wajib menyampaikan daftar rekening Efek beserta jumlah saham Perseroan yang dimiliki oleh masing-masing pemegang rekening pada Bank Kustodian dan Perusahaan Efek tersebut kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk selanjutnya diserahkan kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum panggilan RUPS. l. Manajer Investasi berhak hadir dan mengeluarkan suara dalam RUPS atas saham Perseroan yang termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian yang merupakan bagian dari portofolio Efek Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dan tidak termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan ketentuan bahwa Bank Kustodian tersebut wajib menyampaikan nama Manajer LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -7- Investasi tersebut kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum panggilan RUPS. m. Perseroan wajib menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain sehubungan dengan pemilikan saham kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atas saham dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan seterusnya Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain kepada Bank Kustodian dan kepada Perusahaan Efek untuk kepentingan masing-masing pemegang rekening pada Bank Kustodian dan Perusahaan Efek tersebut. n. Perseroan wajib menyerahkan dividen, saham bonus atau hak-hak lain sehubungan dengan pemilikan saham kepada Bank Kustodian atas saham dalam Penitipan Kolektif pada Bank Kustodian yang merupakan bagian dari portofolio Efek Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif dan tidak termasuk dalam Penitipan Kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. o. Batas waktu penentuan pemegang rekening Efek yang berhak untuk memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya sehubungan dengan pemilikan saham dalam Penitipan Kolektif ditentukan oleh RUPS dengan ketentuan bahwa Bank Kustodian dan Perusahaan Efek wajib menyampaikan daftar pemegang rekening Efek beserta jumlah saham Perseroan yang dimiliki oleh masing-masing pemegang rekening Efek tersebut kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, paling lambat pada tanggal yang menjadi dasar penentuan pemegang saham yang berhak untuk memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya, untuk selanjutnya diserahkan kepada Perseroan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal yang menjadi dasar penentuan pemegang saham yang berhak untuk memperoleh dividen, saham bonus atau hak-hak lainnya tersebut. 12. Pemindahan Hak atas Saham a. Pemindahan hak atas saham harus dibuktikan dengan suatu dokumen yang ditandatangani oleh atau atas nama Pihak yang memindahkan hak dan oleh atau atas nama Pihak yang menerima pemindahan hak atas saham yang bersangkutan. Dokumen pemindahan hak atas saham harus berbentuk sebagaimana ditentukan atau disetujui oleh direksi. b. Bentuk dan tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di Pasar Modal wajib memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. c. Pemindahan hak atas saham yang termasuk dalam Penitipan Kolektif dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening Efek satu ke rekening Efek yang lain pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bank Kustodian, dan Perusahaan Efek. 13. Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris a. Persyaratan anggota direksi dan anggota dewan komisaris Perseroan wajib mengikuti ketentuan UUPT, peraturan perundang-undangan di bidang LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -8- Pasar Modal, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kegiatan usaha Perseroan. b. Dalam anggaran dasar ditentukan jangka waktu masa jabatan anggota direksi dan anggota dewan komisaris dengan ketentuan satu periode masa jabatan tidak melebihi 5 (lima) tahun atau sampai dengan penutupan RUPS tahunan pada akhir satu periode masa jabatan dimaksud. c. Orang perseorangan yang menduduki jabatan sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris setelah masa jabatannya berakhir dapat diangkat kembali sesuai dengan keputusan RUPS. d. Perseroan wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan permohonan pengunduran diri anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya surat pengunduran diri. e. Dalam hal Perseroan tidak menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 13 huruf d peraturan ini, maka dengan lampaunya kurun waktu tersebut, pengunduran diri anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris menjadi sah tanpa memerlukan persetujuan RUPS. f. Dalam hal anggota direksi dan anggota dewan komisaris mengundurkan diri sehingga mengakibatkan jumlah anggota direksi dan anggota dewan komisaris masing-masing menjadi kurang dari 2 (dua) orang, maka pengunduran diri tersebut sah apabila telah ditetapkan oleh RUPS dan telah diangkat anggota direksi dan anggota dewan komisaris yang baru sehingga memenuhi persyaratan minimal jumlah anggota direksi dan anggota dewan komisaris. g. Dalam hal terdapat anggota direksi yang diberhentikan sementara oleh dewan komisaris, maka perseroan wajib menyelenggarakan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal pemberhentian sementara. h. Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 13 huruf g peraturan ini tidak dapat mengambil keputusan atau setelah lewatnya jangka waktu dimaksud RUPS tidak diselenggarakan, maka pemberhentian sementara anggota direksi menjadi batal. 14. Rencana Kerja, Laporan Tahunan, Laporan Kuangan Tahunan, dan Penggunaan Laba. a. Direksi wajib membuat dan melaksanakan rencana kerja tahunan. b. Rencana kerja tahunan wajib disampaikan kepada dewan komisaris untuk memperoleh persetujuan. c. Persetujuan laporan tahunan, termasuk pengesahan laporan keuangan tahunan serta laporan tugas pengawasan dewan komisaris, dan keputusan penggunaan laba ditetapkan oleh RUPS. d. Perseroan wajib mengumumkan Neraca dan Laporan Laba/Rugi dalam surat kabar berbahasa Indonesia dan berperedaran nasional menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor X.K.2 tentang tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Keuangan Berkala. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -9- 15. Rapat Umum Pemegang Saham a. Tempat dan Pimpinan RUPS: 1) RUPS dapat diadakan di: a) tempat kedudukan Perseroan; b) tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya; atau c) tempat kedudukan Bursa Efek dimana saham Perseroan dicatatkan. 2) RUPS sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf a butir 1) peraturan ini wajib dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia. 3) RUPS dipimpin oleh seorang anggota komisaris yang ditunjuk oleh dewan komisaris. Dalam hal semua anggota dewan komisaris tidak hadir atau berhalangan, maka RUPS dipimpin oleh salah seorang anggota direksi yang ditunjuk oleh direksi. Dalam hal semua anggota direksi tidak hadir atau berhalangan, maka RUPS dipimpin oleh pemegang saham yang hadir dalam RUPS yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. 4) dalam hal anggota komisaris yang ditunjuk oleh komisaris mempunyai benturan kepentingan atas hal yang akan diputuskan dalam RUPS, maka RUPS dipimpin oleh anggota komisaris lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan yang ditunjuk oleh komisaris. Apabila semua anggota komisaris mempunyai benturan kepentingan, maka RUPS dipimpin oleh salah satu direktur yang ditunjuk oleh direksi. Dalam hal salah satu direktur yang ditunjuk oleh direksi mempunyai benturan kepentingan atas hal yang akan diputuskan dalam RUPS, maka RUPS dipimpin oleh anggota direksi yang tidak mempunyai benturan kepentingan. Apabila semua anggota direksi mempunyai benturan kepentingan, maka RUPS dipimpin oleh salah seorang pemegang saham independen yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya yang hadir dalam RUPS. b. Pengumuman, Pemanggilan, dan Waktu Penyelenggaraan RUPS 1) Pengumuman RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pengumuman dan tanggal pemanggilan. 2) Pemanggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. 3) Pemanggilan untuk RUPS kedua dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua dilakukan dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS dan disertai informasi bahwa RUPS pertama telah diselenggarakan tetapi tidak mencapai kuorum. 4) Dalam panggilan RUPS wajib dicantumkan tanggal, waktu, tempat, mata acara, dan pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sesuai dengan UUPT kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -10- 5) RUPS kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari dari RUPS pertama. c. Kuorum dan Keputusan RUPS 1) Kuorum kehadiran dan keputusan RUPS terhadap hal-hal yang harus diputuskan dalam RUPS termasuk pengeluaran Efek Bersifat Ekuitas dilakukan dengan mengikuti ketentuan: a) kuorum kehadiran RUPS pertama dan kedua dilakukan dengan mengikuti ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (4) UUPT; b) keputusan RUPS adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS; dan c) dalam hal kuorum kehadiran pada RUPS kedua tidak tercapai, atas permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK. 2) RUPS untuk perubahan anggaran dasar Perseroan yang memerlukan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kecuali perubahan anggaran dasar dalam rangka memperpanjang jangka waktu berdirinya Perseroan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS; b) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 2) poin a) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam RUPS kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS; dan c) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 2) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka atas permohonan Perseroan, kuorum kehadiran RUPS ketiga, jumlah suara untuk mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK. 3) RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau menjadikan jaminan utang kekayaan Perseroan yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam satu transaksi atau lebih baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya Perseroan, dan pembubaran, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -11- a) RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS; b) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 3) poin a) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam RUPS kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh lebih dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS; dan c) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 3) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka atas permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK. 4) RUPS untuk menyetujui transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a) pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan dianggap telah memberikan keputusan yang sama dengan keputusan yang disetujui oleh pemegang saham independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan; b) RUPS dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen; c) dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 4) poin b) peraturan ini tidak tercapai, maka dalam RUPS kedua, keputusan sah apabila dihadiri oleh pemegang saham independen yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang dimiliki oleh pemegang saham independen dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham independen yang hadir dalam RUPS; dan d) dalam hal kuorum kehadiran sebagaimana dimaksud dalam angka 15 huruf c butir 4) poin c) peraturan ini tidak tercapai, maka atas permohonan Perseroan, kuorum kehadiran, jumlah suara untuk mengambil keputusan, pemanggilan, dan waktu penyelenggaraan RUPS ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan LK. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 179/BL/2008 Tanggal : 14 Mei 2008 -12- 5) Pemegang saham dengan hak suara yang hadir dalam RUPS namun tidak mengeluarkan suara (abstain) dianggap mengeluarkan suara yang sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang mengeluarkan suara. 16. Ketentuan dalam UUPT yang berkaitan dengan anggaran dasar, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam peraturan ini, tetap berlaku bagi anggaran dasar Perseroan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Mei 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-179/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 14 Mei 2008 </set_date> <effective_date> 14 Mei 2008 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-13/PM/1997|KEPTA-BAPEPAM/1997' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '40/UU/2007', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 327/BL/2012 TENTANG PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan transparansi kepemilikan Efek warkat yang diadministrasikan oleh Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik yang menyelenggarakan administrasi Efek sendiri dan menciptakan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien, diperlukan adanya kewajiban pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; b. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a di atas, dipandang perlu untuk menerbitkan Peraturan tentang Pembuatan Nomor Tunggal Identitas Pemodal Pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pembuatan Nomor Tunggal Identitas Pemodal Pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri diatur dalam Peraturan Nomor VI.B.2 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib melakukan pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 3 Peraturan Nomor VI.B.2, Lampiran Keputusan ini, terhadap Pemodal yang telah diadministrasikannya sebelum berlakunya peraturan ini, paling lambat tanggal 31 Agustus 2012. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Juni 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19751028 198512 1 001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 327/BL/2012 Tanggal : 14 Juni 2012 PERATURAN NOMOR VI.B.2 : PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan Pemodal adalah pemegang Efek warkat yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik yang diadministrasikan oleh Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri. 2. Pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal (single investor identification) di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 3. Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib membuat nomor tunggal identitas Pemodal (single investor identification) pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian bagi Pemodal yang belum memiliki. 4. Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib menyampaikan nomor tunggal identitas Pemodal kepada masing-masing Pemodal yang bersangkutan. 5. Dalam rangka pembuatan nomor tunggal identitas Pemodal, Biro Administrasi Efek atau Emiten dan Perusahaan Publik Yang Menyelenggarakan Administrasi Efek Sendiri wajib menyampaikan data Pemodal kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling kurang terdiri dari: a. nama; b. tempat lahir/pendirian; c. tanggal lahir/pendirian; d. nomor identitas; e. domisili; f. kewarganegaraan bagi Pemodal orang perseorangan; g. tipe Pemodal berupa orang perseorangan atau kelembagaan; dan h. jenis usaha, bagi Pemodal kelembagaan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 327/BL/2012 Tanggal : 14 Juni 2012 - 2 - 6. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Juni 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19751028 198512 1 001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-327/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PEMBUATAN NOMOR TUNGGAL IDENTITAS PEMODAL PADA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN OLEH BIRO ADMINISTRASI EFEK ATAU EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK YANG MENYELENGGARAKAN ADMINISTRASI EFEK SENDIRI </reg_title> <set_date> 14 Juni 2012 </set_date> <effective_date> 14 Juni 2012 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-264/BL/2011 TENTANG PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum terkait dengan pengalihan kembali saham hasil penawaran tender yang diwajibkan bagi Pihak yang melakukan pengambilalihan Perusahaan Terbuka, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor IX.H.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-259/BL/2008 tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai pengambilalihan perusahaan terbuka diatur dalam Peraturan Nomor IX.H.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Pihak yang telah melakukan pengambilalihan perusahaan terbuka sebelum ditetapkannya Keputusan ini dan berkewajiban melakukan pengalihan kembali saham berdasarkan Peraturan Nomor IX.H.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep- 259/BL/2008 tanggal 30 Juni 2008, wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.H.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 3 Pernyataan Penawaran Tender dalam rangka pengambilalihan perusahaan terbuka yang telah disampaikan kepada Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Keputusan ini dan belum menjadi efektif, wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.H.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 4 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-259/BL/2008 tanggal 30 Juni 2008 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 31 Mei 2011. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 PERATURAN NOMOR IX.H.1 : PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA 1. KETENTUAN UMUM Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik. b. Kelompok yang Terorganisasi adalah pihak-pihak yang membuat rencana, kesepakatan, atau keputusan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. c. Pengendali Perusahaan Terbuka, yang selanjutnya disebut Pengendali, adalah Pihak yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh saham yang disetor penuh, atau Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijaksanaan Perusahaan Terbuka. d. Pengambilalihan adalah tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan perubahan Pengendali. e. Penawaran Tender Wajib adalah penawaran untuk membeli sisa saham Perusahaan Terbuka yang wajib dilakukan oleh Pengendali baru. 2. NEGOSIASI DALAM RANGKA PENGAMBILALIHAN a. Calon Pengendali baru yang melakukan negosiasi yang dapat mengakibatkan Pengambilalihan dapat mengumumkan negosiasi tersebut dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan pengumuman tersebut kepada Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih, Bapepam dan LK, dan Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih tercatat. b. Dalam hal calon Pengendali baru mengumumkan dan menyampaikan informasi negosiasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka setiap informasi perkembangan negosiasi, termasuk penundaan dan/atau pembatalan rencana Pengambilalihan, wajib diumumkan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta diinformasikan kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pengumuman dan penyampaian informasi tersebut dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah adanya perkembangan negosiasi tersebut. c. Informasi yang diumumkan dan disampaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib meliputi: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- 1) perkiraan jumlah saham dan nama Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih; 2) jati diri calon Pengendali baru yang meliputi nama Pihak, alamat, telepon, faksimili, jenis usaha, serta tujuan pengendalian; 3) jumlah Efek yang telah dimiliki calon Pengendali baru (jika ada); 4) rencana, kesepakatan, atau keputusan untuk bekerja sama antara pihak-pihak dalam Kelompok yang Terorganisasi dalam rangka pengendalian Perusahaan Terbuka (jika ada); 5) cara dan proses negosiasi Pengambilalihan; dan 6) materi negosiasi Pengambilalihan. d. Dalam hal calon Pengendali baru memutuskan untuk tidak mengumumkan negosiasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka calon Pengendali baru termasuk pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi wajib merahasiakan informasi hasil negosiasi tersebut. 3. PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA a. Pihak yang melakukan Pengambilalihan wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) mengumumkan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan kepada Bapepam dan LK perihal terjadinya Pengambilalihan paling lambat satu hari kerja setelah terjadinya Pengambilalihan, informasi yang meliputi: a) jumlah seluruh saham yang diambil alih dan total kepemilikan sahamnya; b) identitas diri yang meliputi nama Pihak, alamat, telepon, faksimili, jenis usaha (jika ada), serta tujuan pengendalian; dan c) pernyataan bahwa Pengendali baru adalah Kelompok yang Terorganisasi, dalam hal Pengendali baru adalah Kelompok yang Terorganisasi; dan 2) melakukan Penawaran Tender Wajib, kecuali terhadap: a) saham yang dimiliki pemegang saham yang telah melakukan transaksi Pengambilalihan dengan Pengendali baru; b) saham yang dimiliki Pihak lain yang telah mendapatkan penawaran dengan syarat dan kondisi yang sama dari Pengendali baru; c) saham yang dimiliki Pihak lain yang pada saat bersamaan juga melakukan Penawaran Tender Wajib atau Penawaran Tender Sukarela atas saham Perusahaan Terbuka yang sama; : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- d) saham yang dimiliki Pemegang Saham Utama; dan e) saham yang dimiliki oleh Pengendali lain Perusahaan Terbuka tersebut. b. Perusahaan Terbuka yang diambil alih tidak wajib memperoleh persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), kecuali apabila persetujuan tersebut dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur bidang usaha Perusahaan Terbuka yang diambil alih. c. Dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh Perusahaan Terbuka, maka Perusahaan Terbuka tersebut tidak wajib memperoleh persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS mengenai Pengambilalihan, kecuali apabila persetujuan tersebut dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur bidang usaha Perusahaan Terbuka yang melakukan Pengambilalihan. d. Dalam setiap Pengambilalihan, apabila antara Pemegang Saham Utama atau Pengendali dengan calon Pengendali baru membuat suatu kontrak atau aktivitas yang mengakibatkan adanya: 1) penggunaan sumber daya Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih dalam jumlah yang material; 2) perubahan perjanjian atau kesepakatan yang sudah dibuat oleh Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih; atau 3) perubahan terhadap standar prosedur operasional Perusahaan Terbuka yang akan diambil alih; dimana hal tersebut merupakan Transaksi Afiliasi atau transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan, wajib memenuhi ketentuan Peraturan Nomor IX.E.1. 4. PELAKSANAAN PENAWARAN TENDER WAJIB a. Dalam pelaksanaan Penawaran Tender Wajib, Pengendali baru wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) menyampaikan teks pengumuman keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender Wajib beserta dokumen pendukungnya kepada Bapepam dan LK dan Perusahaan Terbuka yang diambil alih, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1); 2) menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi atas teks pengumuman dalam rangka Penawaran Tender Wajib beserta dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud dalam butir 1) dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan Bapepam dan LK, jika Bapepam dan LK meminta Pengendali baru untuk membuat perubahan dan/atau tambahan informasi tersebut; : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- 3) mengumumkan keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender Wajib dalam satu surat kabar harian yang berperedaran nasional paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat dari Bapepam dan LK yang menyatakan bahwa Pengendali baru dapat mengumumkan keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender Wajib; 4) melaksanakan Penawaran Tender Wajib selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari yang dimulai satu hari setelah pengumuman sebagaimana dimaksud butir 3); 5) menyelesaikan transaksi Penawaran Tender Wajib, dengan cara penyerahan uang, paling lambat 12 (dua belas) hari setelah jangka waktu penawaran sebagaimana dimaksud dalam butir 4) berakhir; dan 6) menyampaikan laporan hasil Penawaran Tender Wajib kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud dalam butir 5). b. Pengumuman keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender Wajib sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 3) wajib memuat informasi sebagai berikut: 1) latar belakang Pengambilalihan; 2) keterangan tentang saham, meliputi: a) penjelasan tentang jumlah dan persentase saham yang akan dibeli; dan b) jumlah dan persentase saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih, yang dimiliki baik langsung maupun tidak langsung oleh Pengendali baru, termasuk opsi untuk membeli atau hak untuk memperoleh dividen atau manfaat lain serta kuasa untuk menggunakan hak suara dalam RUPS Perusahaan Terbuka yang diambil alih; 3) keterangan tentang Pengendali baru, meliputi: a) dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh orang perseorangan, wajib diungkapkan informasi tentang nama, alamat, kewarganegaraan, dan hubungan Afiliasinya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); dan b) dalam hal Pengambilalihan dilakukan oleh Pihak lain selain orang perseorangan, wajib diungkapkan informasi tentang pendirian, kegiatan usaha, struktur permodalan, susunan direksi dan dewan komisaris, susunan pemegang saham, pemilik manfaat (beneficial owner), dan hubungan Afiliasinya dengan Perusahaan Terbuka (jika ada); : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- 4) keterangan tentang Perusahaan Terbuka yang diambil alih, meliputi nama, alamat, serta kegiatan usaha; 5) ketentuan dan persyaratan Penawaran Tender Wajib, meliputi: a) harga pembelian serta cara perhitungannya; b) masa pelaksanaan; c) ketentuan mengenai pembayaran; d) mekanisme pembelian; dan e) penjelasan tentang persetujuan atau persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang wajib dipenuhi sehubungan dengan Penawaran Tender Wajib (jika ada); 6) daftar nama dan alamat lembaga dan/atau Profesi Penunjang Pasar Modal yang terlibat dalam Penawaran Tender Wajib; dan 7) informasi penting lainnya: a) uraian tentang gugatan hukum sehubungan dengan Pengambilalihan (jika ada); dan b) informasi tambahan yang diperlukan agar keterbukaan informasi dalam rangka Penawaran Tender Wajib tidak menyesatkan. c. Harga pembelian saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih dalam Penawaran Tender Wajib, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar: a) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir: (1) sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1); atau (2) sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, (jika mengumumkan negosiasi); atau b) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan, mana yang paling tinggi; 2) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1) atau sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar: : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- a) harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya; atau b) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan, mana yang paling tinggi; 3) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar: a) harga Pengambilalihan yang sudah dilakukan; atau b) harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai, mana yang paling tinggi; 4) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar harga rata- rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek selama 90 (sembilan puluh) hari terakhir: a) sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1); atau b) sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, (jika mengumumkan negosiasi); 5) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek, namun selama 90 (sembilan puluh) hari atau lebih sebelum pengumuman Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a butir 1) atau sebelum pengumuman negosiasi sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, tidak diperdagangkan di Bursa Efek atau dihentikan sementara perdagangannya oleh Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sebesar harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu 12 (dua belas) bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya; atau 6) dalam hal Pengambilalihan dilakukan secara tidak langsung atas saham Perusahaan Terbuka yang tidak tercatat dan tidak diperdagangkan di Bursa Efek, maka harga pembelian saham paling rendah sama dengan harga wajar yang ditetapkan oleh Penilai. d. Dalam hal Pihak yang melakukan Pengambilalihan mengumumkan negosiasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a dan dimulainya pelaksanaan Penawaran Tender Wajib melebihi batas waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak pengumuman negosiasi tersebut, maka jangka : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- waktu penentuan harga Penawaran Tender Wajib sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4) bergeser mengikuti jangka waktu pelaksanaan Penawaran Tender Wajib. e. Dalam hal harga pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam huruf d lebih rendah dibandingkan dengan harga pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4), maka harga pelaksanaan Penawaran Tender Wajib menggunakan harga pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam huruf c butir 1) dan huruf c butir 4). f. Pihak yang melakukan Penawaran Tender Wajib dilarang menetapkan pembatasan dan persyaratan yang berbeda berdasarkan penggolongan atau kedudukan Pihak yang menjadi pemegang saham, kecuali apabila terdapat pembedaan hak atau manfaat tertentu yang melekat pada saham dimaksud. 5. KEWAJIBAN PENGALIHAN KEMBALI SAHAM a. Dalam hal pelaksanaan Penawaran Tender Wajib mengakibatkan kepemilikan saham oleh Pengendali baru lebih besar dari 80% (delapan puluh perseratus) dari modal disetor Perusahaan Terbuka, maka Pengendali baru wajib mengalihkan kembali saham Perusahaan Terbuka tersebut kepada masyarakat sehingga saham yang dimiliki masyarakat paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari modal disetor Perusahaan Terbuka dan dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Penawaran Tender Wajib selesai dilaksanakan. b. Dalam hal Pengambilalihan mengakibatkan Pengendali baru memiliki saham Perusahaan Terbuka lebih besar dari 80% (delapan puluh perseratus) dari modal disetor Perusahaan Terbuka, maka Pengendali baru dimaksud wajib mengalihkan kembali saham Perusahaan Terbuka tersebut kepada masyarakat dengan jumlah paling sedikit sebesar persentase saham yang diperoleh pada saat pelaksanaan Penawaran Tender Wajib dan dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. c. Kewajiban mengalihkan saham oleh Pengendali baru sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b tidak berlaku apabila setelah terjadinya Pengambilalihan, Perusahaan Terbuka melakukan aksi korporasi yang mengakibatkan terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam huruf a atau huruf b. d. Bapepam dan LK dapat memperpanjang jangka waktu pelaksanaan kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, jika terjadi kondisi sebagai berikut: 1) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek turun melebihi 10% (sepuluh perseratus) selama 3 (tiga) hari bursa berturut-turut; : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- 2) Bursa Efek dimana saham Perusahaan Terbuka dicatat dan diperdagangkan ditutup; 3) perdagangan saham Perusahaan Terbuka di Bursa Efek dihentikan; 4) bencana alam, perang, huru-hara, kebakaran, dan/atau pemogokan, yang berpengaruh secara signifikan terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Terbuka; 5) harga saham pada masa pengalihan kembali tidak pernah sama atau lebih tinggi dari harga Penawaran Tender Wajib; dan/atau 6) Pengendali baru telah melakukan upaya untuk mengalihkan kembali saham, namun kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan/atau huruf b tidak terpenuhi. e. Penundaan kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) dan butir 6) dapat diberikan oleh Bapepam dan LK dengan tata cara sebagai berikut: 1) Pengendali baru menyampaikan surat permohonan penundaan kewajiban pengalihan kembali saham kepada Bapepam dan LK paling lambat satu hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. 2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) untuk kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) disertai dengan data dan informasi mengenai harga saham yang membuktikan bahwa harga saham pada masa pengalihan kembali tidak pernah sama atau lebih tinggi dari harga Penawaran Tender Wajib. 3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam butir 1) untuk kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 6) disertai dengan penjelasan mengenai: a) upaya yang telah dilakukan terkait dengan pelaksanaan kewajiban pengalihan kembali saham; dan b) kesulitan yang dialami dalam pelaksanaan kewajiban pengalihan kembali saham. f. Penundaan kewajiban pengalihan kembali saham atas kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) dan butir 6) diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal dikeluarkannya surat persetujuan penundaan kewajiban pengalihan kembali saham oleh Bapepam dan LK. g. Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf f, kewajiban pengalihan kembali saham tidak dapat dilaksanakan atau belum dapat diselesaikan, Pengendali baru dapat : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -9- menyampaikan kembali permohonan penundaan sebagaimana diatur dalam huruf e. h. Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam huruf g dapat dilakukan jika kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf d butir 5) dan/atau butir 6) terpenuhi. i. Bapepam dan LK dapat memberikan penundaan kembali atau memutuskan tindakan lain sesuai dengan kewenangannya atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf g. j. Pengendali baru wajib melaporkan perkembangan pemenuhan kewajiban pengalihan kembali saham kepada Bapepam dan LK secara berkala setiap 3 (tiga) bulan (Maret, Juni, September, dan Desember) paling lambat pada hari kerja ke-10 (ke sepuluh) bulan berikutnya. k. Informasi perkembangan pemenuhan kewajiban pengalihan kembali saham sebagaimana dimaksud dalam huruf j, paling sedikit memuat: 1) jumlah dan persentase seluruh saham yang telah dialihkan sampai dengan periode laporan; dan 2) jumlah pemegang saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih sampai dengan periode laporan. 6. PENGECUALIAN a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a tidak berlaku jika: 1) Pengambilalihan terjadi karena perkawinan atau pewarisan; 2) Pengambilalihan oleh Pihak yang sebelumnya tidak memiliki saham Perusahaan Terbuka yang terjadi karena pembelian atau perolehan saham Perusahaan Terbuka dalam jangka waktu setiap 12 (dua belas) bulan, dalam jumlah paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah saham yang beredar dengan hak suara yang sah; 3) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan tugas dan wewenang dari badan atau lembaga pemerintah atau negara berdasarkan undang- undang; 4) Pengambilalihan terjadi karena pembelian langsung saham yang dimiliki dan/atau dikuasai badan atau lembaga pemerintah atau negara sebagai pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam butir 3); 5) Pengambilalihan terjadi karena penetapan atau putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 6) Pengambilalihan terjadi karena penggabungan usaha, pemisahan usaha, peleburan usaha, atau pelaksanaan likuidasi pemegang saham; : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -10- 7) Pengambilalihan terjadi karena adanya hibah yang merupakan penyerahan saham tanpa perjanjian untuk memperoleh imbalan dalam bentuk apapun; 8) Pengambilalihan terjadi karena adanya jaminan utang tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian utang-piutang, serta jaminan utang dalam rangka restrukturisasi Perusahaan Terbuka yang ditetapkan oleh badan atau lembaga pemerintah atau negara berdasarkan undang- undang; 9) Pengambilalihan terjadi karena perolehan saham sebagai pelaksanaan Peraturan Nomor IX.D.1 dan Peraturan Nomor IX.D.4; 10) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan kebijakan badan atau lembaga pemerintah atau negara; 11) Penawaran Tender Wajib, yang apabila dilaksanakan akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan 12) Pengambilalihan terjadi karena pelaksanaan Penawaran Tender Sukarela berdasarkan Peraturan Nomor IX.F.1. b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a tidak berlaku terhadap Pengambilalihan yang dilakukan secara tidak langsung melalui Perusahaan Terbuka lain, dengan ketentuan kontribusi pendapatan Perusahaan Terbuka kepada Perusahaan Terbuka lain dimaksud kurang dari 50% (lima puluh perseratus) pada saat terjadinya Pengambilalihan berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Perusahaan Terbuka lain. c. Dalam hal terjadi Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka Pengendali baru wajib mengumumkan dalam paling sedikit satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, serta menyampaikan informasi tersebut kepada Perusahaan Terbuka yang diambil alih, Bapepam dan LK, serta Bursa Efek paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pengambilalihan, yang antara lain meliputi: 1) identitas Pengendali baru; 2) nama dan persentase saham Perusahaan Terbuka yang diambil alih sebelum dan sesudah Pengambilalihan; dan 3) bukti pendukung yang sah. d. Dalam hal Pengambilalihan terjadi sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 4) dan huruf a butir 8), maka selain informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Pengendali baru wajib pula melakukan keterbukaan informasi mengenai: 1) hubungan Afiliasi (jika ada); 2) alasan Pengambilalihan; dan : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -11- 3) rencana Pengendali baru terhadap Perusahaan Terbuka yang diambil alih. e. Kewajiban mengumumkan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku bagi Pihak yang menjadi Pengendali baru sebagai akibat sebagaimana dimaksud dalam huruf a butir 1), huruf a butir 2), huruf a butir 5), dan huruf a butir 6). 7. KETENTUAN PENUTUP a. Bukti iklan yang wajib diumumkan di surat kabar sebagaimana diatur dalam Peraturan ini wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah iklan tersebut dimuat di surat kabar. b. Pengambilalihan yang dilakukan oleh Perusahaan Terbuka yang nilainya memenuhi kriteria Transaksi Material sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.2, selain wajib mengikuti Peraturan ini juga wajib memenuhi Peraturan Nomor IX.E.2. c. Transaksi berkelanjutan yang telah dilakukan antara Pengendali baru dengan Perusahaan Terbuka yang diambil alih sebelum dilakukannya Pengambilalihan dan memenuhi kriteria Transaksi Afiliasi dan/atau transaksi yang mengandung Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IX.E.1, dikecualikan dari pemenuhan kewajiban Peraturan Nomor IX.E.1 sampai dengan diperbaharuinya perjanjian dalam transaksi dimaksud. d. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran, dengan ketentuan: 1) Pelanggaran atas ketentuan angka 3 huruf a butir 2), dapat dikenakan: a) pembatalan transaksi dan mewajibkan Pengendali baru untuk: (1) membayar denda; dan (2) mengembalikan saham kepada Pihak yang menjadi lawan transaksi dan mengganti kerugian yang timbul; atau 2) Pelanggaran b) denda dan kewajiban melakukan Penawaran Tender Wajib. keterlambatan atas menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b, angka 3 huruf a butir 1), angka 4 huruf a butir 1), angka 4 huruf a butir 3), angka 6 huruf c, dan angka 6 huruf d dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atas setiap hari keterlambatan. 3) Pelanggaran atas ketentuan angka 4 huruf c, angka 4 huruf d, dan angka 4 huruf e dikenakan sanksi untuk membayar ganti rugi kepada pemegang saham Perusahaan Terbuka akibat kelalaian Pihak yang melakukan Pengambilalihan. : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -12- 4) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d, dikenakan pembatalan kontrak atau penghentian aktivitas sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf d, serta dikenakan denda. 5) pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5 huruf a dan angka 5 huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa denda dengan tanpa mengurangi kewajiban melaksanakan ketentuan angka 5 huruf a dan angka 5 huruf b. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : Kep-264/BL/2011 : 31 Mei 2011 : 31 Mei 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-264/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN TERBUKA </reg_title> <set_date> 31 Mei 2011 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-259/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 309/BL/2008 TENTANG HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT DENGAN EMITEN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka menjaga agar Wali Amanat yang berkedudukan sebagai kreditur Emiten dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara independen sehingga kepentingan pemegang Efek bersifat utang dapat terlindungi secara maksimal, dipandang perlu menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Hubungan Kredit dan Penjaminan Antara Wali Amanat Dengan Emiten; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT DENGAN EMITEN. Pasal 1 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Ketentuan mengenai hubungan kredit dan penjaminan antara Wali Amanat dengan Emiten diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 1 Agustus 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep- 309/BL/2008 : 1 Agustus 2008 PERATURAN NOMOR VI.C.3 : HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT DENGAN EMITEN 1. Yang dimaksud dengan Kredit dalam peraturan ini adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank sebagai Wali Amanat dengan Emiten yang diwaliamanati sebagai peminjam, yang mewajibkan Emiten untuk melunasi pinjaman setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan termasuk transaksi rekening administratif yang sudah dibukukan secara on balance-sheet dan pembelian surat berharga termasuk Sukuk dari Emiten yang diwaliamanati yang dilengkapi dengan perjanjian pembelian (note purchase agreement). 2. Dalam melakukan kegiatan di Pasar Modal, Wali Amanat dilarang: a. mempunyai hubungan Kredit dengan Emiten dalam jumlah lebih dari 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah Efek yang bersifat utang dan/atau Sukuk yang diwaliamanati; dan/atau b. merangkap menjadi penanggung dan/atau pemberi agunan dalam penerbitan Efek bersifat utang, Sukuk, dan/atau kewajiban Emiten dan menjadi Wali Amanat dari pemegang Efek yang diterbitkan oleh Emiten dimaksud. 3. Yang tidak termasuk Kredit sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah: a. Penempatan atau penanaman dana bank kepada bank lain, pembelian surat berharga termasuk Sukuk dari Emiten yang diwaliamanati; dan b. Transaksi rekening administratif (off balance-sheet) seperti Letter of Credit (LC), Standby LC, bank garansi, fasilitas valas (foreign exchange line valuta today, tomorrow, spot termasuk transaksi derivatif seperti forward, futures, dan lain- lain). 4. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 1 Agustus 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-309/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> HUBUNGAN KREDIT DAN PENJAMINAN ANTARA WALI AMANAT DENGAN EMITEN </reg_title> <set_date> 1 Agustus 2008 </set_date> <effective_date> 1 Agustus 2008 </effective_date> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR KEP- 14/BL/2009 TENTANG DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sehat dan berdaya saing global, maka diperlukan pengelola Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi serta memenuhi persyaratan sebagaimana dipersyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan persyaratan, tata cara pencalonan dan pemilihan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN. Pasal 1 Ketentuan mengenai Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diatur dalam Peraturan Nomor III.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. KEUANGAN TENTANG DIREKTUR DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 โ€“ Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka semua ketentuan terkait dengan Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana tersebut dalam Peraturan Nomor III.C.3, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-14/PM/1996 tentang Persyaratan Calon Direktur dan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tanggal 17 Januari 1996 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat sebelum ditetapkannya peraturan ini tetap dapat menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 30 Januari 2009. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Januari 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 PERATURAN NOMOR III.C.3 : DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN 1. Ketentuan Umum a. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang direktur. b. Dewan Komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta mengajukan kepada Bapepam dan LK paling lambat 121 (seratus duapuluh satu) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. c. Dalam menelaah jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, komisaris dapat membentuk komite dengan atau tanpa melibatkan pihak lain, dengan berpedoman pada peraturan ini, Peraturan Nomor III.C.1, Peraturan Nomor III.C.6, dan struktur organisasi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang berlaku. d. Dalam menentukan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Dewan Komisaris wajib memperhatikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana diatur dalam angka 11 dan angka 12. e. Apabila dalam batas waktu pengajuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dewan komisaris belum mengajukan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka Bapepam dan LK menetapkan langsung jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. f. Bapepam dan LK menetapkan jumlah kebutuhan dan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 109 (seratus sembilan) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pemilihan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. g. Dengan memperhatikan perkembangan kegiatan dan kebutuhan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Bapepam dan LK dapat menambah direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat. 2. Persyaratan Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian a. Setiap direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) orang perseorangan warga negara Indonesia dan cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 2 - 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; 7) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan pasar modal internasional; 8) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia; dan 9) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko. b. Selain persyaratan huruf a, calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) paling sedikit 1 (satu) orang calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib mempunyai pengalaman dalam posisi manajerial pada bidang pengelolaan risiko dan/atau pengelolaan investasi pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, atau posisi manajerial yang membawahi jasa kustodian sekurang-kurangnya satu tingkat di bawah direktur pada Bank Kustodian, paling kurang 5 (lima) tahun; 2) calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya wajib berpengalaman pada: a) posisi direktur pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan paling kurang 5 (lima) tahun; b) posisi manajerial pada bidang teknologi informasi paling kurang 3 (tiga) tahun dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sistem informasi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan; c) posisi manajerial paling kurang satu tingkat di bawah direktur atau jabatan yang setara pada institusi pengawas Pasar Modal dan/atau organisasi yang diberi kewenangan oleh Undang-undang tentang Pasar Modal untuk mengatur pelaksanaan kegiatannya, paling kurang 3 (tiga) tahun; dan/atau d) mempunyai pengalaman sebagai profesional di bidang hukum, akuntansi, atau keuangan yang berpraktik secara aktif dalam bidang Pasar Modal, paling kurang 5 (lima) tahun; c. Bagi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan sebagai direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, selain wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, juga wajib mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. 3. Tata Cara Pencalonan dan Pengajuan Calon Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian a. Pencalonan dan pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dilakukan oleh pemegang saham atau para pemegang saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memiliki sekurang- kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara. LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 3 - b. Dalam pencalonan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, bertanggung jawab menyeleksi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, meneliti bahwa setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut mempunyai keahlian, pengalaman dan tanggung jawab untuk masing-masing jabatan dan kegiatan yang menjadi tugas jabatannya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11, dan angka 12, dan menegosiasikan atau merekomendasikan gaji serta manfaat lain bagi masing-masing calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.C.8 (jika ada). c. Calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diajukan kepada Bapepam dan LK oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam satu kesatuan paket calon direksi, dengan memenuhi ketentuan jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 11 dan angka 12. d. Pengajuan secara paket sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku untuk pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. e. Dalam pengajuan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada Bapepam dan LK, pemegang saham mayoritas Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melampirkan dalam rangkap 2 (dua) dokumen-dokumen sebagai berikut: 1) riwayat hidup calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 2) surat pernyataan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan angka 2 huruf a angka 3) angka 4), angka 5), angka 6) dan angka 8); 3) fotokopi Kartu Tanda Penduduk calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 4) surat pernyataan tentang ada tidaknya hubungan Afiliasi calon direktur dengan calon direktur lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan Bank Kustodian yang merupakan partisipan atau pengguna jasa Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 5) fotokopi ijazah dan sertifikat keahlian yang menunjukkan keahlian dari calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (jika ada); LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 4 - 6) surat pernyataan dari masing-masing pihak yang diajukan sebagai calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang memuat antara lain tentang kesediaan untuk dipilih menjadi direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan kesediaan untuk bekerja sama sebaik-baiknya dalam rangka pelaksanaan kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang teratur, wajar, dan efisien dengan komisaris dan direktur lain Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 7) surat pernyataan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk tidak melakukan perangkapan jabatan sebagai direktur, komisaris, atau pegawai pada perusahaan atau institusi lain, apabila yang bersangkutan terpilih sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 8) jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 peraturan ini mengenai integritas calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dengan menggunakan Formulir Nomor III.C.3-1; 9) 3 (tiga) buah pas photo berwarna terbaru ukuran 10 x 15 cm (kartu pos); 10) surat keterangan mengenai proses mencari, menyeleksi dan meneliti calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, termasuk rekomendasi mengenai gaji dan manfaat lain apabila calon direktur diangkat menjadi direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang menyatakan bahwa proses tersebut telah dilakukan secara profesional dan tidak ada kepentingan lain termasuk kepentingan karena hubungan Afiliasi, selain semata-mata untuk kepentingan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian khususnya dan Pasar Modal pada umumnya; 11) rencana strategis calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sejalan dengan visi dan misi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 12) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyatakan bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian setelah menjadi direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tidak akan menggunakan aset Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau melakukan transaksi dan memberi manfaat dalam bentuk apapun kepada Pihak terafiliasinya, direktur lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Pihak terafiliasi dari direktur lain Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan/atau Pihak terafiliasi dari komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan 13) surat pernyataan dari calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang menyatakan antara lain: LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 5 - a) kesediaan untuk tidak memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek selama menjabat sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau b) kesediaan untuk tidak mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau tidak mentransaksikan saham Emiten atau Perusahaan Publik yang dimilikinya sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. f. Pengajuan nama calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf c beserta dokumen- dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf e tersebut di atas, diterima secara lengkap oleh Bapepam dan LK paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham pengangkatan direktur. Dalam hal terdapat kekurangan maka pengajuan dianggap telah lengkap pada saat kekurangan tersebut disampaikan kepada Bapepam dan LK. 4. Penilaian Kemampuan dan Kepatutan a. Setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan wajib lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Komite yang dibentuk oleh Ketua Bapepam dan LK. b. Anggota Komite sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri dari 5 (lima) orang yang terdiri dari Ketua Bapepam dan LK sebagai Ketua merangkap anggota, dan 4 (empat) pejabat setingkat Eselon II di Bapepam dan LK sebagai anggota. c. Setiap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang anggota Komite. d. Komite melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian antara lain melalui penelitian administratif, wawancara, dan/atau permintaan presentasi. e. Dalam melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Komite dapat dibantu oleh nara sumber dengan keahlian tertentu yang berasal dari luar Bapepam dan LK. f. Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan untuk menilai bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi. g. Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf f meliputi: 1) cakap melakukan perbuatan hukum; 2) memiliki akhlak dan moral yang baik; LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 6 - 3) tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 4) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal dan keuangan; 6) tidak pernah melakukan pelanggaran yang material atas ketentuan peraturan perundangโ€“undangan di bidang Pasar Modal; dan 7) mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan Pasar Modal Indonesia. h. persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan huruf f meliputi: 1) mempunyai pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal dan pengetahuan yang luas tentang Pasar Modal termasuk perkembangan pasar modal internasional; 2) memahami prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip-prinsip pengelolaan risiko; 3) memiliki asal usul atau pengalaman yang cukup, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan angka 2 huruf b atau huruf c; dan 4) memiliki keahlian di bidang Pasar Modal dan/atau keahlian sesuai dengan bidang yang dipersyaratkan dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf b butir 1) dan butir 2) poin b). i. Berdasarkan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, Bapepam dan LK menyampaikan hasil penilaian dimaksud kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang mengajukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah permohonan diterima secara lengkap. 5. Jika dalam satu daftar paket calon Direksi yang diajukan oleh pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan huruf c terdapat calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, maka Pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dapat mengajukan kembali calon direktur lain untuk menggantikan calon direktur yang tidak lulus kepada Bapepam dan LK paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan hasil penilaian oleh Bapepam dan LK kepada pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dimaksud, dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e. LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 7 - 6. Apabila semua dokumen sudah lengkap dan semua persyaratan telah dipenuhi, Bapepam dan LK menyampaikan surat persetujuan dan daftar paket calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kepada direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham. 7. Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib menyampaikan kepada semua pemegang saham daftar calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang disetujui Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam angka 6 beserta fotokopi dokumen lengkap sebagaimana dimaksud angka 3 huruf e paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya daftar calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari Bapepam dan LK. Daftar paket calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian beserta fotokopi dokumen lengkap tersebut wajib tersedia dan dapat diakses oleh pemegang saham dan publik. 8. Rapat Umum Pemegang Saham dan Tata Cara Pemilihan Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian a. Pengumuman mengenai akan diadakannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilakukannya pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dengan memuat antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. b. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dimaksud, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal Rapat Umum Pemegang Saham, dengan memuat antara lain rencana pengangkatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. c. Pemilihan dan pengangkatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang diajukan dalam satu kesatuan paket pencalonan kepada Rapat Umum Pemegang Saham wajib dilakukan dalam satu kesatuan paket dimaksud berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Saham d. Pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian secara paket sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c tidak berlaku untuk pemilihan dan pengangkatan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. e. Rapat Umum Pemegang Saham untuk mengangkat direktur Lembaga Penyimanan dan Penyelesaian wajib dipimpin oleh komisaris utama atau salah satu komisaris dalam hal komisaris utama berhalangan. f. Seorang calon direktur terpilih sebagaimana dimaksud dalam huruf c, mempunyai hak untuk mengundurkan diri, sebelum diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham. LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 8 - g. Pada saat Rapat Umum Pemegang Saham calon direktur wajib menjelaskan rencana strategis kepada pemegang saham. Penjelasan dapat juga disampaikan dalam forum lainnya sebelum Rapat Umum Pemegang Saham yang memungkinkan pemegang saham melakukan interaksi dengan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 9. Gaji dan manfaat lain bagi calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b wajib ditentukan berdasarkan kelayakan yang berlaku pada umumnya untuk masing-masing jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan keahlian, dan pengalaman masing-masing calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan mempertimbangkan usulan Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan angka 10 huruf c Peraturan Nomor III.C.8 (jika ada). 10. Gaji dan manfaat lain bagi direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 9 yang diajukan oleh kelompok Anggota Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a wajib disetujui dan ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. 11. Salah seorang diantara calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditetapkan sebagai calon direktur utama dengan tugas utama antara lain mengambil keputusan yang bersifat final jika rapat direksi tidak dapat mengambil keputusan, melakukan koordinasi kegiatan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, kegiatan hubungan masyarakat dan kegiatan pemeriksaan internal. 12. Calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lainnya wajib ditetapkan sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang antara lain bertanggung jawab terhadap satu atau lebih kegiatan sebagai berikut: a. b. penyelesaian; jasa kustodian; c. riset dan pengembangan; d. teknologi informasi; e. hukum; dan f. keuangan dan sumber daya manusia serta administrasi umum. 13. Dalam hal direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengganggap direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian bertanggung jawab dan menjalankan tugas atas beberapa kegiatan sebagaimana ditetapkan sebagaimana pada saat yang bersangkutan diangkat tidak dapat melaksanakan sebagian tugasnya, maka atas keputusan rapat direksi, sebagian tugasnya dapat dialihkan kepada direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain yang dianggap mampu untuk menjalankan tugas setelah mendapatkan persetujuan dewan komisaris, Bapepam dan LK, dan ditetapkan Rapat Umum Pemegang Saham. 14. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mempunyai hubungan Afiliasi dengan direktur lain dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 9 - 15. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang memiliki saham atau sebagai pengendali baik langsung atau tidak langsung Perusahaan Efek dan/atau Bank Kustodian. 16. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dilarang mengendalikan baik langsung atau tidak langsung Emiten atau Perusahaan Publik. Dalam hal direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian memiliki saham Emiten atau Perusahaan Publik, maka saham tersebut tidak dapat ditransaksikan sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa jabatannya berakhir. 17. Masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan hanya dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Apabila seorang direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian diangkat untuk mengisi jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau untuk menambah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut berlaku selama sisa masa jabatan direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang sedang menjabat; dan b. Penghitungan satu kali masa jabatan bagi seorang direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah jika yang bersangkutan menjabat selama paling kurang 2/3 (dua per tiga) dari masa jabatan direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan c. Keseluruhan masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. 18. Berakhirnya masa jabatan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib diatur berbeda dengan berakhirnya masa jabatan komisaris Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 19. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib diganti dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak yang bersangkutan diketahui atau dinyatakan oleh Bapepam dan LK tidak lagi memenuhi syarat, dan pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 20. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong, maka jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut wajib diisi dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dimaksud lowong, dan pemegang saham atau kelompok pemegang saham yang memiliki paling kurang 20% (dua puluh perseratus) dari saham Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara wajib segera mengajukan calon LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 10 - direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian penggantinya kepada Bapepam dan LK dengan memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 21. Dalam hal terjadi: a. Jabatan direktur utama Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian lowong, maka salah satu direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib ditunjuk berdasarkan keputusan Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menduduki jabatan direktur utama yang lowong tersebut sampai dengan diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK. b. Jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian selain direktur utama lowong, maka tugas direktur tersebut berdasarkan keputusan rapat Direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib dialihkan kepada direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lain sampai dengan diangkatnya pengganti oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dan Bapepam dan LK. 22. Bapepam dan LK dapat menetapkan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong tidak wajib diisi sebagaimana ditentukan dalam angka 20 setelah mempertimbangkan perkembangan kegiatan dan operasional Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 23. Batas waktu penggantian dan/atau pengisian direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam angka 19 dan angka 20 dapat ditentukan lain oleh Bapepam dan LK. 24. Dalam hal terdapat jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong atau dalam hal adanya pengunduran diri direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK paling lambat 5 (lima) hari sejak diketahui atau diterimanya surat pengunduran diri oleh direksi Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 25. Dalam pengisian jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menggantikan jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang lowong dan/atau diperlukannya tambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian baru, maka: a. penggantian atau penambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 2 dan angka 3. b. calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang akan diajukan wajib bersedia bekerjasama dengan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang ada. c. penambahan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian baru wajib memperhatikan ketentuan angka 1 huruf f dan huruf g, dan pelaksanaannya wajib memenuhi ketentuan angka 2 dan angka 3. 26. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian yang tidak lagi menjabat sebagai direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian karena sebab apapun, LAMPIRAN Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan LK Nomor : Kep- 14/BL/2009 Tanggal : 30 Januari 2009 - 11 - tidak berhak menerima gaji dan manfaat lainnya dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian kecuali hak atas uang kompensasi atau jasa penghargaan sepanjang disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham yang mengangkatnya dengan ketentuan jumlah kompensasi atau jasa penghargaan dimaksud tidak lebih besar dari jumlah gaji dari sisa masa jabatan. 27. Masa jabatan direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian berakhir dengan sendirinya apabila direktur tersebut antara lain: a. kehilangan kewarganegaraan Indonesia; b. tidak cakap melakukan perbuatan hukum; c. dinyatakan pailit atau menjadi komisaris atau direktur yang dinyatakan bersalah atau turut bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; d. dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan; e. berhalangan tetap; f. meninggal dunia; dan/atau g. masa jabatan berakhir. 28. Direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Bapepam dan LK apabila direktur tersebut, antara lain: a. tidak memiliki akhlak dan moral yang baik; b. melakukan perbuatan tercela di bidang Pasar Modal pada khususnya dan di bidang keuangan pada umumnya; c. melakukan pelanggaran yang cukup material atas ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; d. tidak mempunyai komitmen terhadap pengembangan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau e. gagal atau tidak cakap menjalankan tugas. 29. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat mengenakan sanksi terhadap setiap Pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 30 Januari 2009 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan ttd Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 A. Fuad Rahmany NIP 060063058 LAMPIRAN : 1 Peraturan Nomor : III.C.3 Formulir Nomor: III.C.3-1 DAFTAR PERTANYAAN I. PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN: 1. Semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan ini adalah berkaitan dengan integritas wajib dijawab oleh setiap calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. 2. Berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œYaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda โˆš dalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œTidakโ€.โ€. 3. Untuk setiap jawaban โ€œYaโ€, calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas, antara lain memuat: a. lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. kasus dan tanggal dari tindakan yang dilakukan; c. pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; d. tindakan atau sanksi yang dikenakan. II. INTEGRITAS CALON DIREKTUR Definisi: Investasi adalah kegiatan atas Efek, perbankan, asuransi, atau usaha perumahan atau real estate termasuk kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan dengan Perusahaan Efek, Penasehat Perusahaan Lain yang bergerak di bidang keuangan. Jawablah pertanyaan di bawah ini: 1. Dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir, apakah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah dihukum atau mengaku bersalah atau tidak menggugat atas tuduhan: a. tindak pidana atau kejahatan melibatkan Investasi atau usaha yang berhubungan dengan Investasi, penipuan, pernyataan palsu atau penggelapan, penyuapan, pemalsuan, atau pemerasan? ๎€€ ya b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya 2. Apakah pengadilan: ๎€€ tidak ๎€€ tidak Investasi, Bank atau 1 a. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pailit? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam sepuluh tahun terakhir ini melarang calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam kegiatannya yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. pernah memutuskan bahwa calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terlibat dalam pelanggaran hukum yang berhubungan dengan Investasi, dan/atau terlibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian membuat pernyataan palsu atau melakukan kelalaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terlibat dalam pelanggaran hukum, keputusan- keputusan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bapepam dan LK? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menyebabkan suatu perusahaan berhubungan dengan investasi yang Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya ditolak, ditangguhkan, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk menolak, menghentikan untuk sementara atau mencabut Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran atau sanksi dengan membatasi kegiatan-kegiatan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian? ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah lembaga atau institusi lain yang berwenang di Indonesia atau di luar negeri pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian membuat pernyataan palsu, tidak memberikan pernyataan yang diminta, tidak jujur, tidak adil atau tidak etis? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian melakukan kegiatan yang menyebabkan suatu Izin Usaha, Persetujuan, 2 Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran ditolak, dihentikan untuk sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. memerintahkan untuk menegur calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sehubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan Investasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menolak, menghentikan untuk sementara, atau membatalkan Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftaran calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk bergerak dalam usaha yang berhubungan dengan Investasi, atau membatasi kegiatan dalam bidang usaha tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. mencabut atau menghentikan untuk sementara Izin Usaha calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal seperti Akuntan, Notaris, Konsultan Hukum (Advokat) atau Penilai? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah: a. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian membuat pernyataan palsu atau tidak menyatakan fakta? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menemukan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian menyebabkan suatu usaha berhubungan dengan Investasi yang Izin Usaha, Persetujuan, Pendaftaran, atau Pernyataan Pendaftarannya untuk menjalankan usahanya ditolak, dihentikan sementara, dicabut atau dibatasi? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. menertibkan calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dalam kedudukannya sebagai direktur atau komisaris Anggota Bursa Efek, Anggota Kliring, atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dengan: 1) mengeluarkan atau menghentikan sementara perusahaannya dari keanggotaan suatu Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; 3 2) menghalangi atau menghentikan sementara hubungan perusahaannya dengan Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring lainnya atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; atau 3) membatasi kegiatan perusahaannya sebagai Anggota Bursa Efek atau Anggota Kliring atau partisipan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tersebut? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah atau sedang dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan Investasi atau penipuan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 7. Apakah calon direktur Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian pernah atau sedang digugat atau dituntut oleh suatu Pihak sehubungan dengan perkara perdata atau pidana? ๎€€ ya ๎€€ tidak โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20 Calon Direktur Materai โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ (Nama Lengkap) 4
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-14/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009 </reg_id> <reg_title> DIREKTUR LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN </reg_title> <set_date> 30 Januari 2009 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2009 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-14/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor III.C.3' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 196/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melakukan penyesuaian atas Peraturan Nomor VIII.C.3 agar selaras dengan Peraturan Nomor VIII.C.5 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Aset Takberwujud di Pasar Modal serta melakukan penyempurnaan beberapa ketentuan dalam Peraturan Nomor VIII.C.3 agar selaras dengan perkembangan proses penilaian yang terjadi pada Pasar Modal di Indonesia, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Kep-340/BL/2009 tanggal 5 Oktober 2009 tentang Peraturan Nomor VIII.C.3 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Usaha di Pasar Modal, dengan menetapkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL. Pasal 1 Ketentuan mengenai pedoman penilaian dan penyajian laporan penilaian usaha di Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor VIII.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Penilai Usaha yang telah menandatangani kontrak penugasan penilaian profesional namun belum menerbitkan Laporan Penilaian Usaha wajib mengikuti Peraturan Nomor VIII.C.3 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 3 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-340/BL/2009 tanggal 5 Oktober 2009 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Usaha di Pasar Modal dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 19 April 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 PERATURAN NOMOR VIII.C.3: PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL 1. KETENTUAN UMUM a. Definisi yang digunakan dalam Peraturan ini adalah: 1) 2) 3) Penilai Usaha adalah Penilai yang melakukan kegiatan penilaian usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1. Penilai Properti adalah Penilai yang melakukan kegiatan penilaian properti sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1. Penilaian Usaha adalah kegiatan atau proses untuk menghasilkan suatu opini atau perkiraan atas Nilai Pasar Wajar Obyek Penilaian. 4) Obyek Penilaian adalah setiap obyek kegiatan penilaian usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.C.1. 5) Nilai adalah perkiraan harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli atas suatu barang atau jasa dan merupakan jumlah manfaat ekonomi berdasarkan Nilai Pasar Wajar yang akan diperoleh dari Obyek Penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 6) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) adalah tanggal pada saat Nilai, hasil penilaian, atau perhitungan manfaat ekonomi dinyatakan. 7) Dasar Penilaian adalah suatu penjelasan dan/atau pendefinisian tentang jenis nilai yang sedang diteliti berdasarkan kriteria tertentu. 8) Premis Nilai adalah asumsi Nilai yang berhubungan dengan suatu kondisi transaksi yang dapat digunakan pada Obyek Penilaian. 9) Nilai Buku adalah: a) b) hasil Kapitalisasi atas biaya perolehan aset, dikurangi akumulasi depresiasi, deplesi, atau amortisasi sebagaimana yang tercatat dalam laporan keuangan; atau selisih antara total aset setelah dikurangi depresiasi, deplesi, atau amortisasi dengan total kewajiban dari perusahaan sebagaimana tercatat dalam laporan keuangan. 10) Nilai Buku Disesuaikan adalah Nilai Buku yang dihasilkan setelah dilakukan penyesuaian (normalisasi) terhadap nilai dari satu atau lebih aset atau kewajiban. 11) Nilai Aset Bersih (Net Asset Value) adalah total nilai pasar wajar aset dikurangi total nilai pasar wajar kewajiban. 12) Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value) adalah perkiraan jumlah uang pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang dapat diperoleh dari suatu transaksi jual beli Obyek Penilaian antara pembeli yang berminat membeli (willing buyer) dan penjual yang berminat menjual (willing seller) dalam suatu transaksi yang bersifat layak dan wajar. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -2- 13) Asumsi adalah sesuatu yang dianggap akan terjadi termasuk fakta, syarat, atau keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi Obyek Penilaian atau Pendekatan Penilaian dan kewajarannya telah dianalisis oleh Penilai Usaha sebagai bagian dari proses penilaian. 14) Pendekatan Penilaian adalah suatu cara untuk memperkirakan Nilai dengan menggunakan satu atau lebih Metode Penilaian. 15) Pendekatan Aset (Asset Based Approach) adalah Pendekatan Penilaian berdasarkan laporan keuangan historis Obyek Penilaian yang telah diaudit, dengan cara menyesuaikan seluruh aset dan kewajiban menjadi Nilai Pasar Wajar sesuai dengan Premis Nilai yang digunakan dalam Penilaian Usaha. 16) Pendekatan Pasar (Market Based Approach) adalah Pendekatan Penilaian dengan cara membandingkan Obyek Penilaian dengan obyek lain yang sebanding dan sejenis serta telah memiliki harga jual. 17) Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) adalah Pendekatan Penilaian dengan cara mengkonversi manfaat ekonomis atau pendapatan yang diperkirakan akan dihasilkan oleh Obyek Penilaian dengan tingkat diskonto tertentu. 18) Metode Penilaian adalah suatu cara atau rangkaian cara tertentu dalam melakukan penilaian. 19) Metode Diskonto untuk Pendapatan Mendatang (Multi Period of Income Discounting) adalah Metode Penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai sekarang suatu pendapatan yang akan diterima di masa yang akan datang atas Obyek Penilaian yang akan diterima, dengan suatu tingkat diskonto. 20) Metode Kapitalisasi Pendapatan (Capitalization of Income Method) adalah Metode Penilaian yang mendasarkan pada suatu pendapatan yang dianggap mewakili kemampuan di masa mendatang dari suatu perusahaan atau business interest yang dinilai dibagi dengan suatu Tingkat Kapitalisasi atau dikali dengan faktor kapitalisasi sehingga menjadi suatu indikasi nilai dari perusahaan atau business interest. 21) Laporan Penilaian Usaha adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Penilai Usaha yang memuat pendapat Penilai Usaha mengenai Obyek Penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian. 22) Tanggal Laporan Penilaian Usaha adalah tanggal ditandatanganinya Laporan Penilaian Usaha oleh Penilai Usaha. 23) Tenaga Ahli adalah orang yang mempunyai keahlian dan kualifikasi pada suatu bidang tertentu di luar ruang lingkup kegiatan penilaian dan tidak bekerja pada Kantor Jasa Penilai Publik. 24) Holding Company adalah suatu perusahaan yang sebagian besar pendapatannya atau seluruhnya berasal dari penyertaan pada perusahaan-perusahaan lain. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -3- 25) Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control) adalah suatu jumlah atau persentase tertentu yang merupakan pengurang dari nilai suatu ekuitas sebagai cerminan dari tingkat pengendalian atas Obyek Penilaian. 26) Diskon Likuiditas Pasar (Discount For Lack of Marketabilities) adalah suatu jumlah atau persentase tertentu yang merupakan pengurang dari nilai suatu ekuitas sebagai cerminan dari kurangnya likuiditas Obyek Penilaian. 27) Business Interest adalah kepemilikan dalam perusahaan yang antara lain meliputi penyertaan dalam perusahaan, surat berharga, aset keuangan (financial assets) lainnya dan Aset Takberwujud (intangible assets). 28) Faktor Kapitalisasi adalah semua jenis rasio yang digunakan untuk mengkonversi pendapatan menjadi suatu nilai. 29) Kelangsungan Usaha (Going Concern) adalah: a) suatu kondisi yang mencerminkan usaha yang sedang beroperasi atau dalam konstruksi; atau b) suatu premis dalam penilaian, dimana Penilai Usaha menganggap suatu perusahaan akan terus melanjutkan operasinya secara berkelanjutan. 30) Kapitalisasi adalah: a) pengkonversian Arus Kas Bersih (AKB) atau penghasilan bersih lain, baik yang bersifat aktual maupun perkiraan, selama periode tertentu yang ekuivalen dengan nilai aset pada suatu tanggal tertentu; atau b) pengakuan atas suatu pengeluaran modal (capital expenditure). 31) Pengendalian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur manajemen perusahaan atau kebijakan usaha. 32) Premi Pengendalian (Premium for Control) adalah suatu jumlah atau persentase tertentu yang merupakan penambah dari nilai suatu ekuitas sebagai cerminan dari tingkat pengendalian atas Obyek Penilaian. 33) Kendali Mayoritas adalah tingkat kemampuan pengendalian suatu perseroan oleh pemegang saham pengendali. 34) Modal Kerja Bersih adalah selisih lebih aset lancar terhadap kewajiban lancar. 35) Modal yang Diinvestasikan (Invested Capital) adalah jumlah utang jangka panjang dan ekuitas pada suatu perusahaan. 36) Tingkat Kapitalisasi adalah jumlah pembagi yang digunakan untuk mengkonversi pendapatan menjadi Nilai. 37) Tingkat Imbal Balik (Rate of Return) adalah jumlah laba (rugi) dan/atau perubahan nilai yang direalisasikan atau diharapkan dari suatu investasi yang dinyatakan dalam persentase. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -4- 38) Tingkat Diskonto adalah suatu Tingkat Imbal Balik untuk mengkonversikan nilai di masa depan ke nilai sekarang yang mencerminkan nilai waktu dari uang (time value of money) dan ketidakpastian atas terealisasinya pendapatan ekonomi. 39) Arus Kas Bersih (AKB) adalah jumlah kas yang: a) tersedia setelah terpenuhinya kebutuhan kas untuk kegiatan operasional; b) merupakan arus kas yang tersedia bagi penyedia modal (utang dan ekuitas); dan c) telah bebas dari kewajiban untuk mempertahankan operasi saat ini (current operation) dan untuk mengantisipasi pertumbuhan perusahaan. 40) Arus Kas Kotor adalah laba bersih setelah pajak, ditambah transaksi bukan kas berupa penyusutan aset (depresiasi dan/atau amortisasi). b. Umum 1) Dalam rangka melakukan kegiatan Penilaian Usaha di bidang Pasar Modal, Penilai Usaha wajib menaati kode etik dan standar yang ditetapkan oleh asosiasi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini. 2) Penilai Usaha wajib menggunakan Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value) dalam setiap kegiatan Penilaian Usaha. 3) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada hasil penilaian properti, maka: a) hasil penilaian properti yang digunakan sebagai acuan adalah hasil penilaian properti yang diterbitkan oleh Penilai Properti; b) hasil penilaian properti yang dijadikan acuan wajib dilampirkan dalam Laporan Penilaian Usaha; dan c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada Penilaian Usaha wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada penilaian properti. 4) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada hasil Penilaian Usaha, maka: a) hasil Penilaian Usaha yang digunakan sebagai acuan adalah hasil Penilaian Usaha yang diterbitkan oleh Penilai Usaha; b) hasil Penilaian Usaha yang dijadikan acuan wajib dilampirkan dalam Laporan Penilaian Usaha; dan c) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada Penilaian Usaha yang dijadikan acuan wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada Penilaian Usaha. 5) Dalam hal penilaian yang dilakukan oleh Penilai Usaha mengacu pada laporan keuangan, maka: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -5- a) laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar penilaian adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK kecuali dalam hal Penilai Usaha melakukan penugasan pendapat kewajaran (fairness opinion), maka dapat menggunakan laporan keuangan dengan penelahaan terbatas (limited review); b) laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar penilaian adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan yang terdaftar di negara yang bersangkutan untuk penilaian atas perusahaan yang berada di luar yurisdiksi Indonesia; c) jangka waktu antara tanggal laporan keuangan dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang digunakan oleh Penilai Usaha wajib sama dengan tanggal laporan keuangan. 6) Dalam hal Penilai Usaha melakukan revisi atas Laporan Penilaian Usaha, maka Penilai Usaha wajib menerbitkan kembali Laporan Penilaian Usaha dengan tanggal dan nomor yang berbeda dengan disertai alasan dan penjelasan diterbitkannya revisi atas Laporan Penilaian Usaha dimaksud. Fakta dan perubahan yang material wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha yang telah direvisi tersebut. 7) Laporan Penilaian Usaha berlaku selama 6 (enam) bulan sejak Tanggal Penilaian (Cut Off Date), kecuali terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi kesimpulan Nilai lebih dari 5% (lima perseratus). 2. PENGGANTIAN PENILAI USAHA Dalam hal terjadi penggantian Penilai Usaha, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Penggantian Penilai Usaha hanya dapat dilakukan apabila Penilai Usaha: 1) mengundurkan diri; atau 2) diberhentikan oleh pemberi tugas dengan pemberitahuan bahwa penugasannya telah dihentikan disertai dengan alasan yang obyektif. b. Penggantian Penilai Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) wajib dibuktikan dengan surat tertulis dari pemberi tugas. c. Penggantian Penilai Usaha hanya dilakukan untuk penilaian atas obyek yang sama. d. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional, Penilai Usaha pengganti wajib terlebih dahulu: 1) meminta persetujuan tertulis dari calon pemberi tugas untuk meminta keterangan dari Penilai Usaha yang digantikan; 2) melakukan komunikasi, baik tertulis maupun lisan, dengan Penilai Usaha yang digantikan mengenai masalah-masalah yang menurut LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -6- keyakinan Penilai Usaha pengganti akan membantu dalam penerimaan atau penolakan penugasan penilaian profesional; dan 3) melakukan evaluasi atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) untuk memutuskan menerima atau menolak penugasan penilaian profesional. e. Penilai Usaha yang digantikan wajib memberikan jawaban dengan segera dan lengkap atas pertanyaan dari Penilai Usaha pengganti berdasarkan fakta yang diketahuinya. f. Penilai Usaha pengganti hanya dapat menerima suatu penugasan penilaian profesional apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah dilakukan. g. Penilai Usaha yang digantikan maupun Penilai Usaha pengganti wajib menjaga kerahasiaan informasi yang telah diperoleh kecuali atas permintaan Bapepam dan LK atau diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. h. Penilai Usaha pengganti wajib mengulang pelaksanaan penilaian sesuai dengan standar dan pedoman penilaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf b angka 1). i. Penilai Usaha pengganti tidak bertanggung jawab atas pekerjaan Penilai Usaha yang digantikan dan tidak menerbitkan suatu laporan yang mencerminkan pembagian tanggung jawab. 3. OPINI KEDUA (SECOND OPINION) TERHADAP HASIL PENILAIAN a. Dalam hal terdapat dugaan pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian, maka Bapepam dan LK dapat melakukan review khusus terhadap Laporan Penilaian Usaha yang telah diterbitkan dalam rangka memperoleh opini kedua (second opinion). b. Pelaksanaan review khusus terhadap Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan oleh Penilai Usaha lain yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK. c. Hasil review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a bertujuan memberikan opini bahwa analisis, Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan kesimpulan nilai dalam Laporan Penilaian Usaha yang direview adalah benar, layak, dan didukung dengan bukti yang cukup. d. Review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan terhadap paling kurang hal-hal sebagai berikut: 1) keakuratan atas proyeksi penilaian dan perhitungan dalam Metode Penilaian; 2) keakuratan dan kelayakan dari seluruh asumsi yang digunakan sesuai dengan data dan informasi yang relevan; 3) kecukupan dan relevansi data serta kelayakan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -7- 4) kebenaran, kelayakan, dan konsistensi atas analisis, opini, dan kesimpulan dari Laporan Penilaian Usaha yang direview; dan 5) kesesuaian hasil penilaian yang disajikan dalam Laporan Penilaian Usaha yang direview dengan standar dan pedoman sebagaimana diatur dalam Peraturan ini. e. Apabila diperlukan, review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat meminta pendapat dari Tenaga Ahli. f. Laporan hasil review khusus wajib paling kurang mengungkapkan: 1) identitas Penilai Usaha yang menerbitkan Laporan Penilaian Usaha yang direview dan tujuan penugasan; 2) identitas pemberi tugas dan pengguna laporan hasil review khusus; 3) 4) tanggal pelaksanaan review khusus; 5) uraian proses review khusus yang dilaksanakan; 6) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas dalam pelaksanaan review khusus; 7) opini dan kesimpulan; dan 8) seluruh informasi yang digunakan dalam proses review khusus. g. Review khusus atas Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilarang mendasarkan pada kejadian-kejadian setelah Tanggal Penilaian (subsequent event) dari Laporan Penilaian Usaha yang direview. h. Laporan hasil review khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib mengungkapkan alasan-alasan secara komprehensif mengenai opini dan kesimpulan yang dinyatakan. i. Perbedaan kesimpulan Nilai antara laporan hasil review khusus dengan Laporan Penilaian Usaha yang direview dianggap material jika terdapat perbedaan kesimpulan Nilai lebih dari 15% (lima belas perseratus) dari kesimpulan Nilai Laporan Penilaian Usaha yang direview. j. Hasil review khusus wajib disampaikan kepada Bapepam dan LK paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal laporan hasil review khusus. k. Biaya yang timbul sebagai akibat dari review khusus atas Laporan Penilaian Usaha menjadi beban pemberi tugas sebagaimana disebutkan dalam Laporan Penilaian Usaha yang direview atau Pihak tertentu yang ditunjuk oleh Bapepam dan LK. 4. KEWAJIBAN PENILAI USAHA DALAM PENUGASAN PENILAIAN PROFESIONAL Hal-hal yang wajib dilakukan Penilai Usaha dalam melakukan penugasan penilaian profesional adalah: hasil identifikasi atas Obyek Penilaian, Tanggal Penilaian (Cut Off Date), Tanggal Laporan Penilaian Usaha dan opini Penilai Usaha yang ada pada Laporan Penilaian Usaha yang direview; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -8- a. Penilai Usaha dan tim penugasan penilaian profesional wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan keahlian sesuai dengan spesialisasi industri yang terkait dengan Obyek Penilaian. b. Sebelum menerima penugasan penilaian profesional Penilai Usaha wajib: 1) memperoleh informasi yang memadai paling kurang atas hal-hal berikut ini: a) identitas pemberi tugas; b) kondisi entitas dan industrinya; c) Obyek Penilaian; d) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); e) ruang lingkup dari penugasan penilaian profesional, antara lain: (1) tujuan dari penugasan penilaian profesional; (2) asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan dalam penugasan penilaian profesional; dan (3) dasar Nilai dan Premis Nilai yang digunakan. f) g) h) i) j) kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja); syarat penugasan penilaian profesional yang diajukan oleh pemberi tugas; sifat dari obyek yang dinilai termasuk karakteristik pengendalian dan tingkat marketabilitasnya; prosedur yang wajib dipenuhi dalam penugasan penilaian profesional serta pembatasan prosedur tersebut oleh pemberi tugas; keadaan lain di luar kendali Penilai Usaha atau pemberi tugas (jika ada); dan k) ketentuan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Obyek Penilaian atau penugasan penilaian profesional. 2) membuat kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja) dengan pemberi tugas dalam bentuk tertulis yang mencakup paling kurang: a) dasar Nilai yang akan digunakan; b) sifat dan tujuan penugasan penilaian profesional; c) hak dan kewajiban pemberi tugas; d) hak dan kewajiban Penilai Usaha; e) asumsi-asumsi awal yang dapat digunakan dan kondisi-kondisi pembatas; f) jenis dan penggunaan laporan yang akan diterbitkan; dan g) dasar penghitungan imbalan jasa Penilai Usaha. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -9- c. Setelah menerima penugasan, Penilai Usaha wajib melakukan hal-hal berikut: 1) Pada saat permulaan penugasan profesional, Penilai Usaha wajib melakukan analisis mengenai sifat, fakta, Obyek Penilaian, dan kondisi rencana transaksi untuk: a) mengklarifikasi kebutuhan data dan melakukan diskusi dengan pemberi tugas guna memperoleh kesepahaman atas penugasan penilaian profesional; b) mengidentifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data; dan c) menentukan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang sesuai dan tepat. 2) menganalisis seluruh aspek Obyek Penilaian; 3) melakukan inspeksi terhadap Obyek Penilaian, termasuk diskusi dengan manajemen dan kunjungan lapangan; 4) membuat dan memelihara kertas kerja penilaian usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 6; 5) membuat dan memelihara dokumentasi pendukung; dan 6) Dalam hal terdapat kondisi yang mewajibkan dilakukannya revisi atas kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja) sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2), maka revisi dimaksud wajib dilakukan atas dasar kesepakatan antara Penilai Usaha dan pemberi tugas. d. Penilai Usaha wajib mempertimbangkan ruang lingkup penugasan penilaian profesional yang paling kurang meliputi: 1) Obyek Penilaian yang perlu diidentifikasi dan diinspeksi; 2) data yang perlu diteliti; dan 3) analisis data dan informasi yang perlu dilakukan untuk memperoleh opini dan hasil penilaian. e. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan opini, hasil pekerjaan, atau pernyataan Tenaga Ahli, maka Penilai Usaha wajib: 1) mengungkapkan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas termasuk tingkat tanggung jawab dan asumsi Penilai Usaha atas hasil pekerjaan Tenaga Ahli tersebut; 2) memuat opini atau hasil pekerjaan atau pernyataan Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan Penilaian Usaha; dan 3) melampirkan laporan hasil kerja Tenaga Ahli tersebut dalam Laporan Penilaian Usaha. Jangka waktu antara laporan hasil kerja Tenaga Ahli dan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterbitkannya laporan Tenaga Ahli. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -10- f. Penilai Usaha wajib menggunakan data dan informasi yang diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya dan wajib mengungkapkan sumber dimaksud dan waktu perolehannya dalam Laporan Penilaian Usaha. 5. LARANGAN PENILAI USAHA DALAM PENUGASAN PENILAIAN PROFESIONAL Hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh Penilai Usaha dalam melakukan penugasan penilaian profesional adalah: a. Melakukan penilaian yang opini atau kesimpulan dalam Laporan Penilaian Usaha telah ditentukan terlebih dahulu; b. Mengeluarkan 2 (dua) atau lebih hasil penilaian pada Obyek Penilaian yang sama dan untuk Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama; c. Menerima penugasan penilaian profesional, jika penilai usaha memiliki informasi bahwa Penilai Usaha lain telah ditunjuk oleh pemberi tugas yang sama untuk melakukan penilaian atas Obyek Penilaian dengan maksud dan tujuan dan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama, kecuali dilakukan dalam rangka sebagaimana dimaksud dalam angka 2; d. Menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang menyesatkan dan/atau membiarkan Pihak lain menyampaikan Laporan Penilaian Usaha yang menyesatkan; e. Menerima penugasan penilaian profesional dari pembeli dan penjual terhadap Obyek Penilaian yang sama pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang sama; f. Menerima penugasan penilaian profesional dimana terdapat pembatasan ruang lingkup penugasan dan/atau yang memiliki kondisi-kondisi yang membatasi ruang lingkup penugasan sedemikian rupa sehingga dapat mengakibatkan hasil penilaian tidak dapat dipertanggungjawabkan; g. Memberikan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang dapat mengakibatkan penggunaan Laporan Penilaian Usaha menjadi terbatas; h. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang menyebabkan Dasar Penilaian atau Premis Nilai menyimpang dari kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja); i. Menggunakan asumsi yang mengurangi substansi Nilai; j. Menggunakan asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang mengurangi tanggung jawab Penilai Usaha terhadap hasil penilaian; k. Menerima pembayaran atas jasa penilaian, baik berupa komisi maupun dalam bentuk lainnya, selain yang telah disepakati dalam kontrak penugasan penilaian profesional (surat perjanjian kerja); dan l. Memberikan data dan/atau informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk melakukan Penilaian Usaha dan/atau untuk tujuan lain selain untuk keperluan kegiatan Penilaian Usaha kepada siapapun, kecuali: 1) telah memperoleh persetujuan dari Pihak yang memiliki data dan/atau informasi rahasia tersebut; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -11- 2) dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam dan LK dan/atau Pihak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau 3) untuk kepentingan peradilan. 6. KERTAS KERJA PENILAIAN USAHA Dalam melakukan penugasan penilaian profesional, Penilai Usaha wajib membuat dan memelihara kertas kerja Penilaian Usaha dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib memuat catatan-catatan yang diselenggarakan oleh Penilai Usaha tentang prosedur penilaian, pengujian, seluruh data dan informasi yang digunakan termasuk data pembanding, sumber data dan informasi, analisis atas data dan informasi, dan kesimpulan yang dibuat sehubungan dengan proses penilaian yang dilakukan. b. Bentuk kertas kerja Penilaian Usaha antara lain berupa program penilaian, analisis, memorandum, surat konfirmasi, surat representasi, ikhtisar dari dokumen-dokumen pemberi tugas, dokumen data pembanding, hasil inspeksi, dan daftar atau komentar yang dibuat atau diperoleh oleh Penilai Usaha dalam rangka penugasan penilaian profesional. c. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib menunjukkan bahwa: 1) penugasan penilaian profesional telah direncanakan dan disupervisi dengan baik; 2) pemahaman yang memadai atas Obyek Penilaian telah diperoleh; dan 3) data dan informasi yang digunakan, bukti penilaian yang diperoleh, prosedur penilaian yang ditetapkan, dan pengujian yang dilaksanakan, telah memadai sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas Obyek Penilaian. d. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib didokumentasikan baik dalam bentuk fisik (hard copy) dan elektronik (soft copy) yang tidak dapat diubah. Dalam hal kertas kerja Penilaian Usaha tidak dimungkinkan untuk didokumentasikan dalam bentuk fisik (hard copy) maka kertas kerja dimaksud dapat didokumentasikan dalam bentuk elektronik (soft copy) atau sebaliknya. e. Kertas kerja Penilaian Usaha wajib disimpan dalam jangka waktu sesuai dengan Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan. 7. PENDEKATAN PENILAIAN, METODE PENILAIAN, DAN PROSEDUR PENILAIAN Penilai Usaha dalam menggunakan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan prosedur penilaian, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. wajib menggunakan paling kurang 2 (dua) Pendekatan Penilaian untuk memperoleh hasil penilaian yang akurat dan obyektif; b. dapat menggunakan paling kurang satu Pendekatan Penilaian yaitu Pendekatan Pasar (Market Based Approach) untuk melakukan penilaian terhadap penyertaan atau kepemilikan di bawah 20% (dua puluh perseratus) LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -12- dan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan tersebut dalam rangka penilaian terhadap Holding Company; c. wajib memilih dan menerapkan Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian, dan prosedur penilaian, yang sesuai dengan definisi Nilai yang dicari dan karakteristik penilaian; dan d. wajib memperhatikan persyaratan dan pengungkapan yang ditetapkan dalam Peraturan ini. 8. PENYESUAIAN-PENYESUAIAN (NORMALISASI) DALAM PENILAIAN a. Penilai Usaha wajib melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap pos-pos dalam laporan keuangan untuk menghasilkan indikasi Nilai. b. Penilai Usaha wajib bersikap hati-hati dalam membuat penyesuaian terhadap laporan keuangan historis dan didukung dengan data dan informasi yang cukup untuk menjamin validitas laporan keuangan. c. Dalam melakukan penyesuaian atas laporan keuangan, Penilai Usaha wajib melakukan analisis yang antara lain untuk: 1) memahami hubungan antara laporan laba rugi dengan neraca, termasuk kecenderungan historis, serta menilai risiko yang terkait dengan operasi usaha dan prospek kinerja usaha di masa depan; 2) membandingkan risiko dan parameter lainnya dengan usaha sejenis; dan 3) melakukan estimasi terhadap kemampuan ekonomis dan prospek usaha. d. Dalam melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Penilai Usaha wajib menganalisis, antara lain: 1) besarnya kemampuan nilai uang (money value); 2) common size statement percentage dari penjualan dalam laporan laba rugi dan dari total aset dalam neraca; dan 3) rasio-rasio keuangan. e. Sebagai dasar dalam proses penilaian, analisis dan/atau penyesuaian atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d wajib dilakukan selama paling kurang 5 (lima) tahun buku berturut-turut, atau sesuai dengan lama berdirinya perusahaan apabila perusahaan berdiri kurang dari 5 (lima) tahun. f. Dalam melakukan penyesuaian atas laporan keuangan, Penilai Usaha wajib memperhatikan antara lain: 1) pemisahan pos-pos yang bersifat tidak berulang dalam operasi normal perusahaan (non-recurring), pos-pos dalam laporan keuangan yang tidak mencerminkan peristiwa-peristiwa yang bersifat tidak berulang, atau pos-pos di dalam laporan keuangan yang tidak mencerminkan nilai yang wajar; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -13- 2) pemisahan pos-pos di luar operasi normal perusahaan yang harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum melakukan perhitungan penilaian; 3) penyesuaian pengaruh unsur kendali (controlling adjustment) dalam hal dilakukan penilaian atas saham pengendali dengan memisahkan pos- pos dalam laporan keuangan dari transaksi yang bersifat memiliki kepentingan kendali (controlling interest), seperti transaksi dengan pihak-pihak terafiliasi yang memiliki kendali, antara lain berupa kompensasi manajemen yang berlebihan, struktur permodalan yang tidak normal, biaya dan beban yang berlebihan, dan gaji pengurus yang terlalu tinggi; dan 4) penyesuaian pos-pos lainnya yang tidak wajar. g. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan perbandingan laporan keuangan perusahaan dengan laporan keuangan perusahaan lain, maka tiap pos dalam laporan keuangan wajib dievaluasi dan jika terdapat perbedaan kebijakan akuntansi, maka wajib dilakukan penyesuaian dalam kebijakan akuntansi yang digunakan oleh perusahaan yang dinilai untuk mengurangi perbedaan tersebut. h. Penilai Usaha wajib memperhatikan dampak penyesuaian terhadap pos-pos yang terkait. i. Penilai Usaha wajib mengungkapkan dan menjelaskan dalam Laporan Penilaian Usaha atas setiap penyesuaian terhadap laporan keuangan yang telah dilakukan. 9. ASUMSI-ASUMSI DAN KONDISI PEMBATAS Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas yang digunakan oleh Penilai Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang bersifat non-disclaimer opinion. b. mencerminkan bahwa Penilai Usaha telah melakukan penelaahan atas dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penilaian. c. mencerminkan bahwa data dan informasi yang diperoleh berasal dari sumber yang dapat dipercaya keakuratannya. d. menggunakan proyeksi keuangan yang telah disesuaikan yang mencerminkan kewajaran proyeksi keuangan yang dibuat oleh manajemen dengan kemampuan pencapaiannya (fiduciary duty). e. mencerminkan bahwa Penilai Usaha bertanggung jawab atas pelaksanaan penilaian dan kewajaran proyeksi keuangan. f. menghasilkan Laporan Penilaian Usaha yang terbuka untuk publik kecuali terdapat informasi yang bersifat rahasia, yang dapat mempengaruhi operasional perusahaan. g. mencerminkan bahwa Penilai Usaha bertanggung jawab atas Laporan Penilaian Usaha dan kesimpulan Nilai akhir. h. mencerminkan bahwa Penilai Usaha telah memperoleh informasi atas status hukum Obyek Penilaian dari pemberi tugas. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -14- 10. SUKU BUNGA BEBAS RISIKO (RISK FREE RATE) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan suku bunga bebas risiko (risk free rate), maka wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Suku bunga bebas risiko (risk free rate) yang digunakan disesuaikan dengan mata uang yang disajikan dalam laporan keuangan Obyek Penilaian. b. Dalam hal transaksi dilakukan dengan mata uang Rupiah, maka penentuan tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib berdasarkan Surat Utang Negara (SUN) yang masa jatuh temponya paling kurang 10 (sepuluh) tahun. c. Dalam hal transaksi dilakukan dengan mata uang selain Rupiah, maka penentuan tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib berdasarkan obligasi Negara Republik Indonesia dalam mata uang yang sesuai dengan mata uang yang disajikan dalam laporan keuangan Obyek Penilaian (Republic of Indonesian Paper) yang masa jatuh temponya paling kurang 10 (sepuluh) tahun. d. Jangka waktu acuan penentuan tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib disesuaikan dengan jangka waktu proyeksi atas Obyek Penilaian untuk paling kurang 10 (sepuluh) tahun. e. Sumber data dan tanggal jatuh tempo dari instrumen yang digunakan dalam menentukan suku bunga bebas risiko (risk free rate) serta besarnya tingkat suku bunga bebas risiko (risk free rate) wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha. 11. DISKON DAN PREMI a. Dalam menentukan kesimpulan Nilai akhir atas Obyek Penilaian, Penilai Usaha wajib menggunakan Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) dan Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control). b. Dalam menggunakan Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability), Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Dalam hal Obyek Penilaian bukan merupakan perusahaan terbuka, maka: a) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi pemegang saham mayoritas adalah antara 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 40% (empat puluh perseratus) dari indikasi Nilai. b) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi pemegang saham minoritas adalah antara 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 50% (lima puluh perseratus) dari indikasi Nilai. 2) Dalam hal Obyek Penilaian merupakan perusahaan terbuka, maka: a) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi pemegang saham mayoritas paling besar adalah 20% (dua puluh perseratus) dari indikasi Nilai. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -15- b) Diskon Likuiditas Pasar (Discount for Lack of Marketability) bagi pemegang saham minoritas adalah antara 10% (sepuluh perseratus) sampai dengan 30% (tiga puluh perseratus) dari indikasi Nilai. c. Dalam menggunakan Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control), maka Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Besarnya kerugian pemegang saham minoritas dari perusahaan tertutup apabila dibandingkan dengan pemegang saham minoritas perusahaan yang tercatat di bursa efek; 2) Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemegang saham pengendali terhadap perusahaan yang dikendalikan untuk membuat saham yang dimilikinya lebih menguntungkan. 3) Dalam hal Obyek Penilaian adalah perusahaan terbuka, Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control) yang dapat digunakan dalam penilaian adalah antara 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan 35% (tiga puluh lima perseratus) dari indikasi Nilai. 4) Dalam hal Obyek Penilaian adalah perusahaan tertutup, Premi Pengendalian (Premium for Control) atau Diskon Pengendalian (Discount For Lack of Control) yang dapat digunakan dalam penilaian adalah antara 30% (tiga puluh perseratus) sampai dengan 70% (tujuh puluh perseratus) dari indikasi Nilai. d. Penilai Usaha wajib menjelaskan alasan penentuan persentase nilai diskon atau premi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, yang digunakan dalam perhitungan penilaian pada Laporan Penilaian Usaha. 12. KESIMPULAN NILAI a. Dalam membuat kesimpulan Nilai akhir, mempertimbangkan: 1) Pendekatan Penilaian, Metode Penilaian dan prosedur penilaian yang relevan; 2) data dan informasi yang tersedia dan relevan; dan 3) diskon atau premi yang tepat. b. Kesimpulan Nilai sebagaimana dimaksud dalam huruf a, wajib diperoleh dengan cara: 1) mengukur kehandalan hasil penilaian yang didapatkan dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang berbeda; 2) menghubungkan dan merekonsiliasi hasil penilaian yang didapatkan dari penggunaan beberapa Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang berbeda; dan 3) menentukan bahwa kesimpulan Nilai akhir merupakan hasil penilaian pada lebih dari satu Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian. Penilai Usaha wajib LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -16- c. Penilai Usaha wajib mengungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian Usaha mengenai prosedur penyesuaian dan rekonsiliasi yang dilakukan untuk memperoleh kesimpulan Nilai akhir, termasuk: 1) alasan-alasan penerapan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan; 2) pertimbangan dalam melakukan penyesuaian laporan keuangan; dan 3) rekonsiliasi terhadap indikasi Nilai yang dihasilkan oleh masing-masing Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan. d. Kesimpulan Nilai akhir wajib dinyatakan dalam satu nilai tertentu (single amount) dalam mata uang yang sesuai dengan mata uang yang digunakan di dalam laporan keuangan Obyek Penilaian. e. Dalam hal penugasan penilaian profesional ditujukan untuk kepentingan pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion), maka Penilai Usaha dapat menyajikan hasil penilaian dalam kisaran Nilai dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Penilai Usaha wajib mengungkapkan penjelasan dan alasan yang cukup dalam Laporan Penilaian Usaha mengenai antara lain: a) ketidakpastian rencana pembiayaan dalam rencana transaksi; b) ketidakpastian nilai tukar mata uang; c) ketidakpastian risiko pasar; atau d) faktor-faktor lain yang berpengaruh. 2) batas atas dan batas bawah pada kisaran Nilai, tidak boleh melebihi 7,5% (tujuh koma lima perseratus) dari Nilai yang dijadikan acuan kisaran tersebut yang didapatkan berdasarkan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. 13. KEJADIAN-KEJADIAN PENTING SETELAH TANGGAL PENILAIAN (SUBSEQUENT EVENTS) a. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events), baik yang diketahui maupun yang patut diketahui sampai dengan Tanggal Laporan Penilaian Usaha, wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha; b. Kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tidak dapat digunakan untuk memutakhirkan hasil penilaian; c. Dalam hal kejadian-kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent events) tersebut mengandung informasi yang dapat mempengaruhi Nilai Obyek Penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan sifat dan dampaknya dalam Laporan Penilaian Usaha; dan d. Pengungkapan kejadian-kejadian penting sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf c wajib secara jelas mengindikasikan bahwa pengungkapan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi penentuan Nilai pada saat Tanggal Penilaian (Cut Off Date). LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -17- 14. PENILAIAN HOLDING COMPANY a. Dalam penilaian terhadap Holding Company, Penilai Usaha wajib melakukan penilaian terhadap seluruh penyertaan atau kepemilikan pada entitas lain. b. Dalam hal melakukan penilaian terhadap penyertaan atau kepemilikan di bawah 20%(dua puluh perseratus) dan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apapun pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan tersebut maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Penilai Usaha dapat menggunakan paling kurang satu Pendekatan Penilaian yaitu Pendekatan Pasar (Market Based Approach) sesuai dengan angka 7 huruf b; dan 2) Penilai Usaha dapat menggunakan laporan keuangan yang diaudit atau tidak diaudit, dengan ketentuan sebagai berikut: a) jangka waktu antara tanggal laporan keuangan dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha tidak lebih dari 6 (enam) bulan; dan b) tanggal laporan keuangan yang digunakan wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 3) Dalam hal digunakan laporan keuangan yang tidak diaudit, wajib tersedia laporan keuangan Obyek Penilaian yang telah diaudit oleh akuntan yang memiliki tanggal laporan keuangan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan dari Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 15. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN ASET (ASSET BASED APPROACH) a. Penilai Usaha yang menggunakan Pendekatan Aset (Asset Based Approach) dalam penugasan penilaian profesional wajib memiliki keahlian dalam bidang penilaian properti dan Penilaian Usaha. b. Dalam hal Penilai Usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak memiliki keahlian dalam bidang penilaian properti, maka Penilai Usaha wajib mengacu pada hasil penilaian properti. c. Pendekatan Aset (Asset Based Approach) dapat digunakan untuk memperoleh indikasi Nilai dari Nilai suatu perusahaan, Nilai dari Modal yang Diinvestasikan (Invested Capital), Nilai dari struktur permodalan (capital structure), dan/atau Nilai Aset Bersih perusahaan (ekuitas). d. Indikasi nilai ekuitas atau estimasi Nilai Aset Bersih (Net Asset Value) diperoleh dari selisih antara nilai aset termasuk Aset Takberwujud dengan nilai kewajiban, atas dasar nilai yang disesuaikan (appraised value). e. Dalam hal penilaian dilakukan atas bagian dari suatu aset (partial interest), maka pemegang hak kepemilikan atas aset tersebut wajib dapat memutuskan untuk melakukan penjualan atau mampu menyebabkan terjadinya penjualan (majority interest). f. Dalam hal penilaian dilakukan terhadap kepemilikan mayoritas atas Obyek Penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan estimasi Nilai LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -18- berdasarkan kepemilikan mayoritas dan minoritas atas Obyek Penilaian dalam Laporan Penilaian Usaha. g. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan proyeksi keuangan, maka proyeksi keuangan wajib diperoleh dari pihak manajemen dan diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha. h. Pos-pos dalam laporan keuangan wajib disesuaikan untuk mencerminkan Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value) pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date). i. Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf h untuk masing-masing pos wajib diungkapkan di dalam Laporan Penilaian Usaha. j. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Aset (Asset Based Approach) adalah sebagai berikut: 1) Metode Penyesuaian Aset Bersih (PAB) (Adjusted Net Asset Method (ANAM), Adjusted Book Value Method (ABVM), Net Asset Valuation Method (NAVM), dan Assets Accumulation Method (AAM)); dan/atau 2) Metode Kapitalisasi Kelebihan Pendapatan (KKP) (Excess Earning Method (EEM)). k. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode PAB, maka Aset Takberwujud wajib diidentifikasi dan dinilai secara individual. l. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode KKP, maka Aset Takberwujud wajib dinilai secara kolektif (big pot theory of goodwill). m. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode PAB maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Metode PAB wajib digunakan untuk menilai: a) ekuitas suatu perusahaan dimana Nilai perusahaan sangat bergantung pada Nilai aset tetap (a heavy based on fixed assets company), seperti perusahaan real estat; b) ekuitas dari Holding Company; c) perusahaan yang tidak memiliki riwayat pendapatan yang mempunyai prospek positif, perusahaan yang memiliki pendapatan yang berfluktuasi, atau perusahaan yang diragukan kemampuannya untuk melanjutkan operasi yang bersifat going concern, seperti perusahaan yang baru berdiri (start up company) atau perusahaan yang berada dalam kesulitan untuk memperoleh pendapatan (trouble companies); d) perusahaan yang memiliki dan/atau menguasai aset berwujud dalam jumlah yang signifikan; e) perusahaan yang memiliki tenaga kerja yang memberikan nilai tambah relatif kecil terhadap barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan; atau f) perusahaan yang memiliki Aset Takberwujud dalam jumlah yang tidak signifikan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -19- 2) Penyesuaian terhadap aset lancar wajib dilakukan sesuai dengan sifat aset lancar tersebut, antara lain: a) kas dan setara kas dinilai sesuai dengan nilai yang tercantum dalam neraca (face value); b) piutang dan ekuivalen piutang yang diperhitungkan dalam penilaian adalah piutang dan ekuivalen piutang yang diyakini dapat ditagih; c) surat berharga yang diperdagangkan atau penyertaan pada perusahaan lain wajib disesuaikan menjadi Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value); dan d) persediaan dinilai kembali atas dasar nilai pasar setelah dikurangi biaya-biaya yang berkaitan dengan persediaan dengan memperhatikan kebijakan masuk pertama keluar pertama (First In First Out/FIFO). 3) 4) Penilaian atas aset tetap berwujud (fixed tangible assets) wajib dilakukan sesuai dengan metode yang berlaku dalam penilaian properti sesuai dengan Premis Nilai yang ditetapkan. Penilaian atas Aset Takberwujud wajib dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) b) Penilai Usaha wajib mengidentifikasi Aset Takberwujud dari Obyek Penilaian. Penilai Usaha wajib menentukan Aset Takberwujud yang memenuhi syarat untuk dilakukan penilaian. c) komponen Aset Takberwujud yang dinilai wajib mempunyai kriteria sebagai berikut: (1) dapat diidentifikasi dan dijelaskan secara terperinci; (2) dapat memberikan manfaat ekonomi yang dapat diukur bagi pemilik Obyek Penilaian; (3) memiliki potensi untuk menghasilkan aset lainnya dan/atau mampu menciptakan nilai tambah terhadap aset lain tersebut; (4) merupakan subyek hak milik (right of private ownership) yang dapat dialihkan secara hukum (legally transferable); (5) dapat diakui dan dilindungi; dan (6) memiliki jangka waktu manfaat ekonomis. d) penilaian Aset Takberwujud wajib dilakukan dengan: (1) menggunakan metode yang mempertimbangkan manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh Aset Takberwujud tersebut; (2) mendasarkan pada harga pasar dari Aset Takberwujud; atau LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -20- (3) mendasarkan pada biaya yang wajib dikeluarkan untuk menciptakan kembali (cost of recreation) pada saat ini dengan memperhatikan sisa umur manfaat (remaining useful life) dari Aset Takberwujud. e) Penilai Usaha wajib mengungkapkan identifikasi Aset Takberwujud yang dinilai dan Metode Penilaian yang digunakan dalam menilai aset tersebut dalam Laporan Penilaian Usaha. 5) Utang atau kewajiban dinilai sesuai dengan nilai yang tercantum dalam neraca (face value), kecuali terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi. 6) Surat utang dinilai atas dasar nilai pasar. n. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan metode KKP, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Metode KKP wajib digunakan untuk menilai ekuitas perusahaan operasional (operating company) dengan tingkat pertumbuhan pendapatan dan laba yang relatif stabil. 2) Pendapatan suatu perusahaan yang digunakan merupakan hasil dari produktivitas aset berwujud maupun tidak berwujud. Setiap kelebihan pengembalian (excess return atau earning) yang diperoleh diatas pengembalian normal (normal return) atas 3) Laporan laba rugi yang digunakan adalah: a) laporan laba rugi tahunan tahun terakhir; b) laporan laba rugi 12 (dua belas) bulan terakhir; c) aset berwujud, diperhitungkan sebagai pengembalian dari Aset Takberwujud secara kolektif. rata-rata tertimbang dari paling kurang 5 (lima) tahun terakhir; atau d) proyeksi tahun berikutnya yang diyakini dapat dipertahankan dimasa depan. 4) Laporan laba rugi sebagaimana dimaksud dalam angka 3) wajib disesuaikan dengan prinsip dan prosedur penyesuaian untuk memperoleh laba operasi normal dari Obyek Penilaian. 5) 6) Penilaian kembali atas aset berwujud dan kewajiban perusahaan wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada metode PAB. Penilaian yang digunakan pada Metode KKP wajib didasarkan atas: a) c) jumlah imbal balik wajar (dalam rupiah) untuk NABB; atau d) laporan keuangan yang telah disesuaikan. nilai aset berwujud bersih (NABB)/net tangible asset value (NTAV); b) Tingkat Imbal Balik wajar (normal rate of return) dalam persentase untuk NABB; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -21- 7) Penentuan Tingkat Imbal Balik wajar (normal rate of return) untuk NABB wajib sesuai dengan risiko yang melekat pada NABB tersebut dan mencerminkan Tingkat Imbal Balik rata-rata tertimbang antara biaya ekuitas dan biaya utang sesuai dengan kapasitas NABB dalam memperoleh pinjaman (borrowing capacity). 8) Pendapatan ekonomi atau laba normal yang akan dikurangi dengan jumlah imbal balik wajar atas NABB mencerminkan pendapatan ekonomi yang diperkirakan akan dapat dipertahankan dimasa datang. Selisih antara pendapatan ekonomi normal dan jumlah imbal balik atas NABB adalah jumlah imbal balik atas aset berwujud. 9) Konversi kelebihan pendapatan menjadi nilai Aset Takberwujud secara keseluruhan (going concern value), dilakukan dengan menggunakan Tingkat Kapitalisasi sesuai dengan risiko yang melekat atas Aset Takberwujud dengan memperhatikan: a) sifat usaha; b) manajemen perusahaan; c) pangsa pasar perusahaan; d) reputasi perusahaan; e) konsistensi dari pendapatan ekonomi yang dihasilkan; dan f) konsistensi basis pelanggan perusahaan. 10) Nilai ekuitas yang diperoleh dengan menambahkan nilai Aset Takberwujud (going concern value) terhadap NABB mencerminkan nilai ekuitas (common stocks) secara keseluruhan. 11) Penetapan Tingkat Imbal Balik untuk NABB dan Tingkat Kapitalisasi untuk Aset Takberwujud wajib diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha. 16. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PASAR (MARKET BASED APPROACH) a. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pasar (Market Based Approach) adalah sebagai berikut: 1) Metode Pembanding Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method); 2) Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company Method); dan/atau 3) Metode Transaksi Sebelumnya (Prior Transactions Method). b. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Pembanding Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Perusahaan yang dapat digunakan sebagai perusahaan pembanding adalah perusahaan yang telah memiliki harga pasar yang terjadi dalam LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -22- jangka waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penilaian. 2) Penilai Usaha wajib memiliki keyakinan yang memadai untuk membuktikan dan menjelaskan bahwa data harga pasar yang digunakan dalam Pendekatan Pasar (Market Based Approach) dihasilkan dari suatu transaksi yang bersifat wajar (arms-length transaction). 3) Penilaian dengan menggunakan Metode Pembanding Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method) hanya dapat menghasilkan indikasi Nilai minoritas. 4) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib merupakan perusahaan yang tercatat di bursa efek dan sahamnya ditransaksikan selama 60 (enam puluh) hari bursa dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa terakhir sebelum Tanggal Penilaian (Cut Off Date). 5) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a) industri, kegiatan usaha, produk, dan risiko usaha adalah sejenis; b) c) karakteristik pertumbuhan (growth in sales and earnings) dan struktur permodalan (capital structure) adalah sebanding; kinerja keuangan historis selama 5 (lima) tahun terakhir adalah sebanding. d) ukuran perusahaan (total assets) adalah sebanding; dan e) pangsa pasar (market share) adalah sebanding. 6) Jumlah perusahaan pembanding yang digunakan paling sedikit 5 (lima) perusahaan atau paling sedikit 8 (delapan) perusahaan dalam hal kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka 5) hanya terpenuhi paling sedikit 3 (tiga) kriteria. 7) Penilai Usaha wajib melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan perusahaan pembanding yang paling kurang meliputi: a) penyesuaian pos-pos non-recurring, extraordinary dan window dressing beserta dampaknya terhadap perpajakan; b) penyesuaian kebijakan akuntansi perusahaan pembanding dengan Obyek Penilaian, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (1) penyesuaian metode penyusutan dan umur ekonomis aset; dan (2) penyesuaian perbedaan kebijakan akuntansi untuk persediaan, antara lain menyamakan kebijakan dari kebijakan masuk terakhir keluar pertama (LIFO/Last In First Out) ke kebijakan masuk pertama keluar pertama (FIFO/First In First Out) atau sebaliknya; dan c) penyesuaian atas pos-pos non operasi dan transaksi yang tidak wajar dengan pihak terafiliasi (unusual transaction with related parties). LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -23- c. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company Method), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Penilaian dengan menggunakan Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company Method) hanya dapat menghasilkan indikasi Nilai mayoritas. 2) Perusahaan pembanding yang digunakan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Dalam hal perusahaan pembanding yang digunakan adalah perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek, maka: (1) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib pernah melakukan transaksi merger atau akusisi dalam jangka waktu tidak lebih dari 5 (lima) tahun sebelum Tanggal Penilaian; (2) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib tercatat di bursa efek yang sama dengan perusahaan yang menjadi Obyek Penilaian; (3) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib mempunyai bidang usaha yang sama; (4) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib mempunyai kapitalisasi pasar (market capitalization) dan/atau struktur permodalan (capital structure) yang setara dengan perusahaan yang menjadi Obyek Penilaian; dan (5) transaksi merger atau akusisi yang pernah dilakukan merupakan suatu transaksi yang bersifat arms-length dan bukan transaksi antara pihak yang terafiliasi (non-related parties transaction) atau dalam satu pengendalian (under common control transaction). b) Dalam hal perusahaan pembanding yang digunakan adalah perusahaan tertutup, maka: (1) perusahaan yang digunakan sebagai pembanding wajib pernah melakukan transaksi merger atau akusisi dalam jangka waktu tidak lebih dari 3 (tiga) tahun sebelum Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan (2) Nilai yang didapat berasal dari transaksi yang bersifat wajar (arms-length transaction) dan bukan transaksi antara pihak yang terafiliasi (non-related parties transaction) atau dalam satu pengendalian (under common control transaction). 3) Jumlah perusahaan pembanding yang digunakan paling sedikit 5 (lima) perusahaan. 4) Dalam hal jumlah perusahaan pembanding yang digunakan hanya berjumlah 3 (tiga) atau 4 (empat) perusahaan, maka Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged and Acquired Company LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -24- Method) tidak boleh digunakan sebagai metode penilaian utama atau memperoleh bobot yang material dalam menghasilkan suatu kesimpulan Nilai. d. Dalam hal Penilai Usaha tidak dapat menggunakan Metode Pembanding Perusahaan Tercatat di Bursa Efek (Guideline Publicly Traded Company Method) dan Metode Pembanding Perusahaan Merger dan Akusisi (Guideline Merged And Acquired Company Method), maka Penilai Usaha dapat menggunakan Metode Transaksi Sebelumnya (Prior Transactions Method) dengan persyaratan bahwa transaksi yang digunakan sebagai pembanding wajib bersifat wajar (arms-length transaction). e. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio penilaian dalam melakukan pembandingan untuk mengkonversi variabel keuangan yang relevan dari Obyek Penilaian, maka Penilai Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Rasio penilaian yang digunakan wajib diterapkan pada Obyek Penilaian secara konsisten terhadap variabel yang sebanding atau relevan dari Obyek Penilaian. 2) Alasan pemilihan dan cara penerapan rasio penilaian yang digunakan wajib dijelaskan dalam Laporan Penilaian Usaha. 3) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio ekuitas (equity multiple), maka wajib mempergunakan rasio-rasio sebagai berikut: a) b) c) Price to earnings ratio (Rasio P/E) rasio ini dapat diterapkan jika nilai depresiasi tidak merupakan biaya yang signifikan pada unsur biaya. Price to net cash flow ratio (Rasio P/NCF) Price to book value ratio (Rasio P/BV) book value atau nilai ekuitas bersih, wajib digunakan jika nilai buku aset perusahaan pembanding telah disesuaikan ke dalam nilai pasar. 4) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio nilai pasar terhadap kapital yang diinvestasikan (market value of invested capital) (MVIC), maka untuk memperoleh indikasi nilai ekuitas dari Obyek Penilaian, nilai pasar dari kapital yang diinvestasikan wajib dikurangi terlebih dahulu dengan kapital lain yang lebih utama atau senior. 5) Dalam hal Penilai Usaha menggunakan rasio-rasio investasi maka Penilai Usaha dapat mempergunakan rasio-rasio sebagai berikut: a) MVIC to gross cash flow before depreciation and taxes (MVIC /GCF); rasio ini diterapkan jika nilai depresiasi merupakan nilai yang signifikan dan perusahaan mempunyai lebih dari satu kebijakan depresiasi. b) MVIC to sales (MVIC/sales); rasio ini diterapkan jika antara Obyek Penilaian dan perusahaan pembanding mempunyai karakteristik usaha yang sama; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -25- c) MVIC to Earning before interest, taxes, depreciation and amortization (MVIC/EBITDA); d) MVIC to Earning before interes and, taxes (MVIC/EBIT); atau e) MVIC to Book Value Invested Capital (MVIC/BVIC); 6) Periode pembanding terhadap dari rasio-rasio penilaian dalam laporan keuangan Obyek Penilaian dan perusahaan pembanding wajib sama. 7) Laporan keuangan perusahaan pembanding wajib merupakan laporan keuangan yang diaudit. 8) Rasio-rasio penilaian wajib didukung dengan data yang akurat serta dihitung berdasarkan analisis atas perbandingan fundamental variabel keuangan perusahaan yang menjadi Obyek Penilaian dengan perusahaan pembanding. f. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan proyeksi keuangan, maka proyeksi keuangan wajib diperoleh dari pihak manajemen dan diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha. 17. PEDOMAN PENILAIAN DENGAN PENDEKATAN PENDAPATAN (INCOME BASED APPROACH) a. Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) dapat digunakan untuk memperkirakan Nilai dengan mengantisipasi dan mengkuantifikasi kemampuan Obyek Penilaian dalam menghasilkan imbal balik (return) yang akan diterima dimasa datang. b. Dalam hal penilaian terhadap suatu kepentingan pemegang saham pengendali dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach), maka: 1) nilai dari aset dan kewajiban non-operasional; atau 2) kelebihan atau kekurangan dari aset operasional, dalam laporan keuangan wajib dikeluarkan dari perhitungan nilai aset operasional, dan wajib ditambahkan pada atau dihapuskan dari nilai entitas operasional. c. Metode yang digunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) adalah sebagai berikut: 1) Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method); dan 2) Metode Kapitalisasi Pendapatan (Capitalization of Income Method). d. Metode sebagaimana dimaksud dalam huruf c hanya dapat digunakan apabila manajemen Obyek Penilaian telah menyusun rencana usaha yang akan dijadikan sebagai dasar penilaian (business plan based valuation). e. Dalam hal manajemen Obyek Penilaian belum menyusun rencana usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf d, maka Penilai Usaha dapat menyusun rencana usaha dimaksud yang wajib terlebih dahulu disetujui oleh pemberi tugas dan Penilai Usaha wajib bertanggung jawab atas rencana usaha (business plan) yang disusunnya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -26- f. Penilai Usaha wajib memiliki keyakinan yang memadai bahwa asumsi yang digunakan dalam penyusunan rencana usaha (business plan) sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e adalah relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Keyakinan tersebut wajib diungkapkan di dalam Laporan Penilaian Usaha. g. Manfaat atau pendapatan ekonomi yang wajib digunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) adalah berupa Arus Kas Bersih (AKB) untuk perusahaan (net or free cash flow for the firm) atau untuk ekuitas (net or free cash flow for the equity). h. Biaya Modal yang dipergunakan dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach) wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) 2) Biaya utang jangka pendek maupun jangka panjang wajib menggunakan data tingkat bunga yang dikeluarkan oleh bank pemerintah. Biaya ekuitas saham preferen wajib menggunakan dividen yang mencerminkan tingkat dividen pasar. Dalam dividen tidak mencerminkan tingkat dividen pasar, maka nilai dividen dicari dari perusahaan terbuka yang sebanding. i. Biaya ekuitas untuk saham wajib dihitung melalui: 1) Capital Asset Pricing Model (CAPM); dan/atau 2) Discounted Cash FlowModel (DCF). j. Penilai Usaha wajib mengungkapkan hasil penghitungan dari masing-masing metode sebagaimana dimaksud dalam huruf i pada Laporan Penilaian Usaha. k. Dalam hal biaya ekuitas untuk saham dihitung menggunakan CAPM, maka Penilai Usaha wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tingkat Imbal Balik bebas risiko (Risk-free rate) wajib menggunakan bunga bebas risiko sesuai dengan ketentuan angka 10; 2) Koefisien Beta yang dipergunakan dalam menghitung CAPM wajib berasal dari data rata-rata industri pada sektor yang sama dengan Obyek Penilaian atau rata-rata beberapa perusahaan pembanding. 3) premi risiko ekuitas wajib didasarkan pada data yang dipublikasikan; dan 4) risiko spesifik yang melekat pada Obyek Penilaian. l. Dalam hal biaya ekuitas untuk saham dihitung dengan menggunakan DCF, maka Penilai Usaha wajib menggunakan perusahaan-perusahaan pembanding yang memiliki nilai pasar ekuitas. m. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method), maka Penilai Usaha melakukan penelaahan atau penyesuaian atas asumsi, keakuratan perhitungan dan kebijakan akuntansi yang digunakan dalam menyusun proyeksi laporan keuangan. n. Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method) hanya dapat digunakan untuk menilai perusahaan yang telah melakukan kegiatan operasional selama satu tahun atau lebih. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -27- o. Proyeksi Arus Kas Bersih (AKB) dapat ditetapkan dalam 2 (dua) periode proyeksi yaitu: 1) Periode waktu tetap atau khusus (fixed or specific time period) yang mengacu pada: a) umur teknis faktor produksi utama; dan b) periode waktu perencanaan usaha yang belum stabil. 2) Periode waktu kekal (perpetuity period) yang dimulai dari satu tahun setelah periode waktu tetap sampai dengan seterusnya. p. Penerapan Metode Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow Method) sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1) dapat menggunakan model ekuitas (equity model) atau model modal yang diinvestasikan (invested capital model). q. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan model ekuitas (equity model), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) arus kas yang didiskonto wajib merupakan arus kas yang tersedia untuk pemegang saham biasa (equity); dan 2) Tingkat Diskonto wajib merupakan Tingkat Imbal Balik (rate of return) atau biaya atas ekuitas (cost of equity). r. Dalam hal Penilai usaha menggunakan model modal yang diinvestasikan (invested capital model), maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) arus kas yang didiskonto wajib merupakan arus kas yang tersedia untuk semua penyedia kapital; 2) Tingkat Diskonto wajib mencerminkan biaya kapital rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital) yang digunakan untuk menghasilkan arus kas; dan 3) nilai ekuitas diestimasikan dengan mengurangi Nilai perusahaan atau nilai kapital yang diinvestasikan dengan nilai pasar dari modal senior (saham preferen dalam hal perusahaan mengeluarkan saham preferen dan interest bearing long term debt). s. Dalam hal menggunakan laporan keuangan tengah tahunan sebagai dasar penilaian, maka Penilai Usaha wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha alasan atau dasar digunakannya proyeksi tengah tahunan yang telah disesuaikan. 18. TINGKAT DISKONTO a. Penilai Usaha dalam menetapkan Tingkat Diskonto wajib: 1) menghitung biaya ekuitas dengan memperhatikan: a) b) tingkat imbal hasil atas penempatan dana pada suatu investasi yang berisiko; biaya ekuitas saham preferen yang merupakan dividen saham preferen yang dibayarkan; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -28- c) perkiraan inflasi; 2) mempertimbangkan imbal hasil dari investasi yang sebanding (comparable investments); 3) mempertimbangkan biaya utang yang digolongkan sebagai struktur modal; 4) mempertimbangkan risiko industri dan kondisi perusahaan; 5) melakukan prosedur paling kurang sebagai berikut: a) mengidentifikasi sumber pembiayaan yang digunakan; dan b) menetapkan utang yang digolongkan sebagai struktur modal yang memenuhi ketentuan antara lain: (1) utang tidak berbunga kepada pemegang saham; dan (2) utang jangka pendek berbunga yang masuk ke dalam golongan modal kerja permanen; 6) menghitung persentase struktur modal atau tingkat leverage perusahaan, dengan ketentuan: a) b) dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang merupakan kepemilikan minoritas, maka Penilai Usaha dapat menggunakan struktur modal berdasarkan nilai buku; dan dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang merupakan kepemilikan mayoritas, maka Penilai Usaha wajib menggunakan struktur modal berdasarkan nilai pasar perusahaan- perusahaan yang sebanding dalam industri yang sama; 7) menggunakan data tingkat bunga pasar dari rata-rata bank yang melaksanakan fungsi pembiayaan dalam menentukan biaya utang, baik utang jangka pendek (utang modal kerja) maupun utang jangka panjang (utang investasi); 8) melakukan penyesuaian dalam hal terdapat pembiayaan utang dengan tingkat bunga yang berbeda dengan tingkat bunga pasar untuk mencerminkan risiko yang sebanding pada Obyek Penilaian; dan 9) menghitung biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital) secara proporsional berdasarkan bobot setiap jenis struktur modal dan biaya dari setiap jenis struktur modal. b. Penilai Usaha wajib mengungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha mengenai alasan, asumsi dan proses perhitungan Tingkat Diskonto. 19. PROYEKSI PENDAPATAN EKONOMIS a. Penilai Usaha wajib menggunakan proyeksi pendapatan ekonomis dalam Pendekatan Pendapatan (Income Based Approach). b. Proyeksi pendapatan ekonomis digunakan untuk mengestimasi aliran pendapatan ekonomis Obyek Penilaian dengan menggunakan Tingkat Diskonto yang wajib disesuaikan dengan tingkat pendapatan ekonomis Obyek Penilaian. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -29- c. Tingkat Diskonto dan Tingkat Kapitalisasi yang ditetapkan oleh Penilai Usaha wajib diuraikan dan digunakan dalam analisis proyeksi pendapatan ekonomis serta mengungkapkannya dalam Laporan Penilaian Usaha. d. Dalam membuat proyeksi pendapatan ekonomis, Penilai Usaha wajib: 1) menganalisis laporan keuangan Obyek Penilaian dan perusahaan pembanding pada industri yang sama dalam kurun waktu paling kurang 3 (tiga) tahun terakhir; 2) melakukan penyesuaian atas laporan keuangan Obyek Penilaian, yang meliputi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas; 3) memperhatikan kondisi yang terjadi setelah Tanggal Penilaian (Cut Off Date) yang dapat mempengaruhi proyeksi pendapatan ekonomis; 4) mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan usaha Obyek Penilaian sesuai dengan tingkat pendapatan ekonomis yang dihasilkan oleh Obyek Penilaian dan kepentingan usaha Obyek Penilaian; 5) melakukan penyesuaian terhadap proyeksi laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas; 6) mempertimbangkan masa manfaat atau siklus usaha Obyek Penilaian; dan 7) Dalam hal pendapatan ekonomis Obyek Penilaian atau operasional Obyek Penilaian tergantung pada faktor produksi utama yang memiliki masa manfaat terbatas atau memiliki siklus tertentu maka proyeksi keuangan wajib disusun selama masa manfaat atau mencerminkan sifat siklikal dari bisnis tersebut. e. Penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 2) digunakan sebagai kertas kerja Penilai Usaha. Informasi keuangan hasil penyesuaian wajib diungkapkan dalam laporan Penilai Usaha. f. Dalam melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 2), maka Penilai Usaha wajib melakukan hal- hal sebagai berikut: 1) menganalisis dan menyajikan kembali data keuangan Obyek Penilaian secara konsisten dan menggunakan mata uang yang sama dengan mata uang yang digunakan dalam laporan keuangan; 2) menyesuaikan nilai yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi nilai yang wajar; 3) menyesuaikan pendapatan dan beban ke tingkat yang wajar dan menggambarkan hasil yang berkelanjutan; 4) melakukan pengelompokan serta penyesuaian terhadap seluruh aset, kewajiban, pendapatan, dan beban non-operasi; dan 5) melakukan penyesuaian terhadap pendapatan serta biaya yang tidak lazim dalam hal penilaian dilakukan atas Obyek Penilaian yang merupakan kepemilikan mayoritas. g. Setelah dilakukan penyesuaian laporan keuangan, maka Penilai Usaha wajib menyajikan proyeksi pendapatan ekonomis dalam Laporan Penilaian Usaha, LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -30- yang mencakup dividen berdasarkan perkiraan dividend pay out ratio, arus kas, dan Earning Before Interest, Tax, Depreciation, and Amortization (EBITDA). h. Periode proyeksi pendapatan ekonomis wajib dilakukan dalam kurun waktu paling kurang 5 (lima) tahun kedepan, atau disesuaikan dengan sisa umur dari fasilitas produksi utama Obyek Penilaian. i. Penilai Usaha dilarang mendasarkan proyeksi pendapatan ekonomis hanya dengan menggunakan tren data historis. 20. NILAI TERMINAL (TERMINAL VALUE) Untuk melakukan penilaian suatu bisnis dengan premis going concern dimana terdapat proyeksi untuk periode waktu tetap dan periode waktu kekal, Penilai Usaha perlu menghitung nilai bisnis untuk periode waktu tetap dan periode waktu kekal. Nilai bisnis tersebut adalah jumlah dari nilai periode waktu tetap dan periode waktu kekal yang disebut sebagai nilai terminal. Dalam hal Penilai Usaha menghitung nilai terminal, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Nilai terminal merupakan nilai dari jumlah arus kas untuk periode setelah periode waktu tetap, dimana arus kas yang diterapkan dapat menggunakan model ekuitas (equity model) atau modal yang diinvestasikan (invested capital model). b. Estimasi nilai terminal dilakukan dalam mengaplikasikan metode diskonto arus kas dengan 2 (dua) periode proyeksi laporan keuangan, yaitu periode waktu tetap dan periode waktu kekal. c. Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai terminal antara lain: 1) Nilai sisa (residual value) Nilai sisa dapat digunakan dalam hal Obyek Penilaian memiliki jangka waktu yang tertentu. a) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka waktu tertentu dengan menggunakan model modal yang diinvestasikan (invested capital model), maka nilai terminal diperoleh dengan mengestimasi nilai sisa dari modal yang diinvestasikan, yaitu aset tetap ditambah dengan estimasi jumlah yang dapat direalisasikan dari modal kerja bersih dikurangi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan pada akhir periode spesifik. b) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka waktu tertentu dengan menggunakan Model Ekuitas, maka nilai terminal diperoleh dengan mengurangkan jumlah kewajiban pada akhir periode tertentu terhadap estimasi dari nilai sisa modal yang diinvestasikan. c) Dalam hal menghitung nilai sisa Obyek Penilaian yang memiliki jangka waktu tertentu berupa aset tetap maka Penilai Usaha wajib mengacu pada hasil Penilaian Properti. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -31- d) Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan asumsi yang digunakan untuk mengestimasi nilai sisa dari Obyek Penilaian dalam laporan penilaian. 2) Kapitalisasi Pendapatan a) Metode kapitalisasi digunakan dalam hal Entitas yang menjadi obyek penilaian memiliki jangka waktu yang tak terhingga (kekal) atau tidak dapat ditentukan (seperti halnya untuk Aset Takberwujud tertentu) maka nilai terminal diestimasi dengan mengkapitalisasi arus kas periode kekal, yaitu arus kas satu periode setelah periode tetap, dengan tingkat kapitalisasi terminal. b) Metode kapitalisasi dapat digunakan untuk suatu Entitas atau Aset Takberwujud yang menjadi obyek penilaian yang dianggap sudah berada dalam tahap pertumbuhan yang konstan. Arus kas untuk periode kekal adalah arus kas periodik yang mewakili Entitas atau Aset Takberwujud yang menjadi obyek penilaian dalam satu siklus usaha. c) Tingkat kapitalisasi terminal diperoleh dengan mengurangi tingkat diskonto yang digunakan dalam penilaian dengan suatu tingkat pertumbuhan tertentu yang diasumsikan konstan, dimana tingkat pertumbuhan dapat positif, negatif, maupun nol. d) Tingkat pertumbuhan untuk periode kekal tidak dapat melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi atau industri jangka panjang dimana perusahaan beroperasi dan Penilai wajib memilih tingkat pertumbuhan jangka panjang yang lebih rendah. e) Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan dalam laporan penilaian Aset Takberwujud, asumsi yang digunakan untuk pertumbuhan periode kekal dengan mempertimbangkan antara lain: (1) Pembatasan operasi perusahaan; (2) Penggunaan mata uang dalam Proyeksi; dan (3) Penyusunan Proyeksi keuangan dengan asumsi nilai riil tanpa memperhitungkan inflasi atau nilai nominal. 21. PEMBERIAN PENDAPAT KEWAJARAN (FAIRNESS OPINION) Dalam hal Penilai Usaha melakukan penugasan penilaian profesional berupa pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion), maka Penilai Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pendapat kewajaran (fairness opinion) merupakan suatu pernyataan yang diberikan oleh Penilai Usaha untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang akan dilakukan adalah wajar atau tidak wajar. b. Pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam huruf a diberikan setelah Penilai Usaha melakukan analisis atas: 1) Nilai dari obyek yang ditransaksikan; 2) dampak keuangan dari transaksi yang akan dilakukan terhadap kepentingan pemegang saham; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -32- 3) pertimbangan bisnis yang digunakan oleh manajemen perusahaan terkait dengan rencana transaksi yang akan dilakukan terhadap kepentingan pemegang saham. c. Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Penilai Usaha wajib melakukan hal-hal yang paling kurang meliputi: 1) analisis transaksi; 2) analisis kualitatif dan kuantitatif atas rencana transaksi; 3) analisis atas kewajaran nilai transaksi; dan 4) analisis atas faktor-faktor lain yang relevan. d. Analisis transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1) wajib paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) identifikasi dan hubungan antara pihak-pihak yang bertransaksi; 2) 3) perjanjian dan persyaratan yang disepakati dalam transaksi; dan penilaian atas risiko dan manfaat dari transaksi yang akan dilakukan. e. Analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2) wajib paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) riwayat perusahaan dan sifat kegiatan usaha; 2) analisis industri dan lingkungan; 3) 4) analisis operasional dan prospek perusahaan; alasan dilakukannya transaksi; dan 5) keuntungan dan kerugian yang bersifat kualitatif atas transaksi yang akan dilakukan. f. Analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2) wajib paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) penilaian atas potensi pendapatan, aset, kewajiban, dan kondisi keuangan perusahaan, termasuk: a) penilaian kinerja historis; b) penilaian arus kas; c) penilaian atas proyeksi keuangan yang diperoleh dari pihak manajemen pemberi tugas; d) analisis rasio keuangan; dan e) analisis laporan keuangan sebelum transaksi dan proforma laporan keuangan setelah transaksi dilakukan. 2) melakukan analisis inkremental (incremental analysis) untuk mengukur nilai tambah dari transaksi dengan mempertimbangkan paling kurang hal-hal sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -33- a) kontribusi nilai tambah terhadap perusahaan sebagai akibat dari transaksi yang akan dilakukan, termasuk dampaknya terhadap proyeksi keuangan perusahaan; b) biaya atau pendapatan yang relevan; c) informasi non keuangan yang relevan; dan d) prosedur pengambilan keputusan oleh perusahaan dalam menentukan rencana dan nilai transaksi dengan memperhatikan alternatif lain; dan e) hal-hal material lainnya yang dapat memberikan keyakinan bagi Penilai Usaha dalam memberikan opini kewajaran transaksi. 3) melakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) untuk mengukur keuntungan dan kerugian dari transaksi yang akan dilakukan (jika diperlukan). g. Analisis atas kewajaran nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) wajib paling kurang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) perbandingan antara rencana Nilai transaksi dengan hasil penilaian atas transaksi yang akan dilakukan; dan 2) analisis untuk memastikan bahwa rencana Nilai transaksi memberikan nilai tambah dari transaksi yang akan dilakukan. Analisis atas kewajaran nilai transaksi dilakukan untuk meyakini bahwa rencana nilai transaksi berada dalam kisaran Nilai yang didapatkan dari hasil penilaian. h. Pendapat kewajaran (fairness opinion) wajib diberikan atas keseluruhan rencana transaksi dan unsur analisis rencana transaksi. 22. PENDAPAT KEWAJARAN (FAIRNESS OPINION) ATAS TRANSAKSI PINJAM MEMINJAM DANA DAN/ATAU PENJAMINAN Pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan termasuk menjaminkan aset dan/atau memberikan jaminan perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan wajib didasarkan pada hasil evaluasi atas obyek transaksi. b. Pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan merupakan suatu pernyataan yang diberikan oleh Penilai Usaha untuk menyatakan bahwa transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan adalah wajar atau tidak wajar. c. Pemberian pendapat kewajaran wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam huruf b diberikan setelah Penilai Usaha melakukan analisis atas: a) besaran dana dari obyek transaksi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -34- b) dampak keuangan dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan terhadap kepentingan perusahaan; dan c) pertimbangan bisnis yang digunakan oleh manajemen perusahaan terkait dengan transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan terhadap kepentingan pemegang saham. 2) Dalam melakukan analisis sebagaimana dimaksud dalam angka 1), Penilai Usaha wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) analisis pengaruh transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan terhadap keuangan perusahaan; b) identifikasi dan hubungan antara pihak-pihak dalam hal transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; c) analisis perjanjian dan persyaratan yang disepakati oleh pihak dalam transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; d) analisis likuiditas dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; e) analisis manfaat dan risiko dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; f) analisis kualitatif atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; g) analisis kuantitatif atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; h) analisis kelayakan rencana penggunaan dana atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan antara lain: (1) analisis kelayakan investasi; (2) analisis kelayakan pelunasan utang; dan (3) analisis atas faktor-faktor lain yang relevan. 3) Analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 2) huruf f) wajib memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a) riwayat perusahaan (riwayat transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan) dan sifat kegiatan usaha; b) analisis industri dan bisnis; c) analisis operasional dan prospek perusahaan; d) analisis alasan dan latar belakang manajemen untuk melakukan transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; e) keuntungan dan kerugian yang bersifat kualitatif atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; f) analisis dampak leverage pada keuangan perusahaan di masa yang akan datang, yang dibandingkan dengan industri yang sejenis dan sebanding; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -35- g) analisis dampak likuiditas pada keuangan perusahaan di masa yang akan datang untuk memastikan bahwa pinjaman dapat dilunasi pada saat jatuh tempo; dan h) analisis dampak keuangan perusahaan jika proyek yang dibiayai oleh dana hasil transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan tersebut mengalami kegagalan. 4) Analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 2) huruf g) wajib memperhatikan paling kurang hal-hal sebagai berikut: a) penilaian atas potensi pendapatan, aset, kewajiban, dan kondisi keuangan perusahaan, termasuk: (1) penilaian kinerja historis; (2) penilaian atas proyeksi keuangan; (3) analisis rasio keuangan; (4) analisis keuangan baik sebelum maupun setelah transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; (5) analisis atas kemampuan perusahaan atau penerima jaminan untuk melunasi transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan sampai saat jatuh tempo; dan (6) analisis cash management dan financial covenant dari transaksi pinjam meminjam dana. b) Analisis yield dari transaksi pinjam meminjam dana terhadap efek bersifat utang yang sejenis dan sebanding yang memiliki peringkat yang sama atau 1 notch di atas atau di bawah (jika dalam bentuk surat berharga); c) melakukan analisis inkremental (incremental analysis) untuk mengukur nilai tambah dari transaksi pinjam meminjam dana dengan mempertimbangkan paling kurang hal-hal sebagai berikut: (1) kontribusi nilai tambah terhadap perusahaan sebagai akibat dari transaksi pinjam meminjam dana, termasuk dampaknya terhadap proyeksi keuangan perusahaan; (2) biaya atau pendapatan yang relevan; dan (3) informasi non keuangan yang relevan. d) melakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis) untuk mengukur keuntungan dan kerugian dari transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan (jika diperlukan). 5) Analisis atas jaminan yang terkait dengan transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan. Dalam hal jaminan yang diberikan adalah saham kepemilikan di anak perusahaan, maka saham anak perusahaan tersebut wajib dilakukan penilaian, dengan ketentuan sebagai berikut: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -36- a) Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pada penilaian saham anak perusahaan wajib sama dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date) pendapat kewajaran (fairness opinion); b) Dalam hal penilaian saham anak perusahaan mengacu pada laporan keuangan interim maka dapat digunakan laporan keuangan dengan penelahaan terbatas (limited review); c) Dalam hal penilaian saham anak perusahaan mengacu pada hasil penilaian properti maka hasil penilaian properti yang digunakan sebagai acuan adalah hasil penilaian properti yang diterbitkan oleh Penilai Properti; dan d) Hasil penilaian properti yang dijadikan acuan wajib dilampirkan dalam laporan penilaian saham anak perusahaan tersebut. 6) Pendapat kewajaran (fairness opinion) wajib diberikan atas keseluruhan rencana transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan serta unsur analisis rencana transaksi. 23. STUDI KELAYAKAN USAHA (FEASIBILITY STUDY) Dalam hal Penilai Usaha melakukan penugasan penilaian profesional berupa studi kelayakan usaha (feasibility study), maka Penilai Usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Pendapat yang diberikan oleh Penilai Usaha dalam melakukan penugasan penilaian profesional berupa sudi kelayakan usaha (feasibility study) adalah untuk menyatakan kelayakan suatu usaha atau proyek. b. Dalam hal Penilai Usaha tidak memiliki keahlian dalam bidang properti maka studi kelayakan usaha yang memerlukan penilaian properti, wajib mengacu pada hasil opini Penilai Properti. c. Pendapat sebagaimana dimaksud dalam huruf a diberikan setelah Penilai Usaha melakukan analisis atas: 1) Kelayakan pasar; 2) Kelayakan teknis; 3) Kelayakan pola bisnis; 4) Kelayakan model manajemen; dan 5) Kelayakan keuangan; d. Dalam melakukan analisis atas kelayakan pasar sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 1), Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Kondisi pasar, seperti pangsa pasar, kesinambungan (sustainability), potensi pasar, sasaran, dan potensi nilai pasar; 2) Pesaing usaha; dan 3) Strategi pemasaran. e. Dalam melakukan analisis atas kelayakan teknis sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 2), Penilai Usaha wajib memperhatikan: LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -37- 1) Kapasitas; 2) Ketersediaan dan kualitas sumber daya, termasuk bahan baku mentah, pekerja dan ahli profesional; dan 3) Proses produksi. f. Dalam melakukan analisis atas kelayakan pola bisnis sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3), Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Keunggulan kompetitif karena keunikan dari pola bisnis; 2) Kemampuan pesaing untuk meniru produk; dan 3) Kemampuan untuk menciptakan nilai. g. Dalam melakukan analisis atas kelayakan model manajemen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 4), Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Ketersediaan tenaga kerja; 2) Manajemen kekayaan intelektual (intellectual Property); 3) Manajemen risiko; 4) Kapasitas dan kemampuan manajemen; dan 5) Kesesuaian struktur organisasi dan manajemen. h. Dalam melakukan analisis atas keuangan manajemen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 5), Penilai Usaha wajib memperhatikan: 1) Biaya pendirian (Start up costs); 2) Modal kerja; 3) Sumber pembiayaan; 4) Biaya operasional; 5) Biaya bahan baku mentah; 6) Proyeksi laporan keuangan; 7) Analisis Titik Impas (break even analysis); 8) 24. LAPORAN PENILAIAN USAHA a. Ketentuan Umum 1) Analisis Profitabilitas (Overall Profitability); dan 9) Tingkat Imbal Balik Investasi (Overall Return on investment). Penilai Usaha yang melakukan penugasan penilaian profesional wajib membuat Laporan Penilaian Usaha. 2) Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 1) terdiri dari: a) laporan yang menyajikan kesimpulan Nilai akhir terhadap Obyek Penilaian; b) laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) yang menyajikan kesimpulan atas kewajaran suatu transaksi; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -38- c) laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) yang menyajikan kesimpulan atas kewajaran transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; d) laporan studi kelayakan usaha (feasibility study) yang menyajikan kesimpulan kelayakan suatu usaha atau proyek; atau e) laporan penilaian usaha lainnya. 3) Laporan Penilaian Usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 2) wajib berbentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) dan laporan ringkas (short form report). 4) Penilai Usaha wajib menggunakan definisi dan istilah-istilah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a. Dalam hal Penilai Usaha menggunakan definisi dan istilah-istilah lain yang tidak ditetapkan dalam peraturan ini, maka definisi dan istilah-istilah lain tersebut wajib diungkapkan secara jelas dalam Laporan Penilaian Usaha. b. Isi Laporan Yang menyajikan Kesimpulan Nilai Akhir Laporan yang menyajikan kesimpulan Nilai akhir terhadap Obyek Penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) huruf a) dalam bentuk laporan lengkap (narrative report atau long form report) paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 1) Surat Pengantar; 2) Daftar Isi; 3) Identitas pemberi tugas antara lain nama, bidang usaha, alamat, nomor telepon, faksimili, email; 4) Maksud dan tujuan penilaian; 5) Definisi dan istilah yang digunakan dalam penilaian; 6) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); 7) Tanggal Laporan Penilaian Usaha; 8) Premis Nilai dan Dasar Nilai yang digunakan; 9) Asumsi-asumsi dan kondisi pembatas serta skenario hipotesis yang secara langsung mempengaruhi penilaian; 10) Data dan Informasi Penilai Usaha wajib mengidentifikasi dan mengungkapkan data dan informasi baik yang diketahui maupun patut diketahui, yang diperoleh dari dalam atau dari luar pihak pemberi tugas, yang paling kurang meliputi: a) b) c) hasil pelaksanaan inspeksi; hasil pemeriksaan atas dokumen hukum yang relevan dengan Obyek Penilaian; penjelasan mengenai tingkat kepemilikan dan sifat pengendalian Obyek Penilaian (controlling); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -39- d) penjelasan mengenai tingkat likuiditas pasar Obyek Penilaian (marketability); e) f) g) uraian mengenai Tenaga Ahli dan hasil pekerjaan Tenaga Ahli dalam hal Penilai Usaha mendasarkan penilaiannya pada hasil kerja Tenaga Ahli; uraian mengenai Penilai Properti dan hasil penilaian oleh Penilai Properti dalam hal Penilai Usaha mendasarkan penilaiannya pada hasil penilaian properti; penjelasan mengenai kejadian penting setelah Tanggal Penilaian (subsequent event); h) uraian mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penilaian (jika ada); i) hasil identifikasi atas aset non operasional, kewajiban non operasional, dan kelebihan atau kekurangan aset operasional (excess or deficient) yang terkait dan pengaruhnya terhadap penilaian; j) informasi mengenai identitas dan jabatan pihak-pihak yang telah diwawancarai dan hubungannya dengan Obyek Penilaian; k) informasi keuangan; l) informasi perpajakan; m) data industri, data pasar, data ekonomi, dan informasi empiris lainnya yang mendukung penilaian; n) dokumen dan sumber informasi yang disediakan oleh atau yang terkait dengan entitas; dan o) informasi non keuangan yang relevan mengenai Obyek Penilaian, paling kurang meliputi: (1) sifat, latar belakang dan riwayat perusahaan; (2) fasilitas produksi, jika ada; (3) struktur organisasi; (4) manajemen, termasuk direktur dan komisaris dan karyawan kunci; (5) jenis-jenis ekuitas dan hak yang melekat; (6) produk dan/atau jasa yang dihasilkan; (7) latar belakang ekonomi; (8) pasar geografis; (9) pasar industri, jika ada; (10) pemasok dan pelanggan kunci, jika ada; (11) persaingan; (12) risiko usaha; dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -40- (13) strategi dan rencana masa depan perusahaan (business plan). p) tambahan informasi lain yang diperlukan oleh pengguna Laporan Penilaian Usaha diluar hal-hal yang telah diuraikan. 11) Penyesuaian terhadap data laporan keuangan Penilai Usaha wajib menguraikan penyesuaian (normalisasi) data laporan keuangan serta pertimbangan yang mendasari setiap penyesuaian (normalisasi) terhadap data laporan keuangan. 12) Analisis atas Laporan Keuangan dan Informasi Keuangan Lainnya Penilai Usaha wajib mengungkapkan uraian mengenai hasil analisis atas: a) laporan keuangan historis tahunan atau interim termasuk rasio- rasio utama, dan data stastistik; b) informasi keuangan prospektif (dapat berupa anggaran, perkiraan, dan/atau proyeksi); c) perbandingan laporan keuangan yang sebanding (common size) untuk periode yang sesuai; d) perbandingan informasi keuangan industri yang sebanding (common size) untuk periode yang sesuai; e) informasi perpajakan; f) informasi kompensasi bagi pemegang saham; g) informasi mengenai asuransi yang ditanggung oleh perusahaan untuk karyawan kunci (jika ada); dan h) analisis dan pembahasan manajemen mengenai: (1) keuntungan dan kerugian atas kontrak usaha; (2) aset dan kewajiban diluar neraca (kontijensi); (3) hasil penjualan produk atau jasa oleh perusahaan pada periode sebelumnya (jika ada); (4) perbandingan kinerja saat ini dengan kinerja historis pada Obyek Penilaian; dan (5) perbandingan kinerja Obyek Penilaian dengan tren industri yang sesuai. 13) Pertimbangan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian Penilai Usaha wajib menyatakan bahwa Penilai Usaha telah mempertimbangkan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini. 14) Penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian Penilai Usaha wajib menjelaskan dan mengungkapkan pertimbangan penggunaan Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian serta uraian dalam penerapannya. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -41- 15) Perhitungan Indikasi Nilai Penilai Usaha wajib mengungkapkan proses perhitungan untuk menghasilkan indikasi Nilai. 16) Penggunaan Diskon dan Premi Penilai Usaha wajib: a) mengungkapkan diskon dan premi yang digunakan, seperti DLOC dan/atau DLOM; b) menguraikan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menetapkan jumlah atau persentase diskon dan premi yang digunakan; dan c) menguraikan nilai setelah diskon dan premi digunakan. 17) Rekonsiliasi Estimasi Nilai dan Kesimpulan Nilai a) Penilai Usaha wajib menyajikan rekonsiliasi dari berbagai estimasi Nilai yang diperoleh dari Pendekatan Penilaian dan Metode Penilaian yang digunakan serta mengungkapkan pertimbangan rekonsiliasi yang mendasari kesimpulan Nilai. b) uraian mengenai kesimpulan nilai, baik berupa nilai tunggal (single amount) maupun kisaran (range); 18) Pernyataan Penilai Usaha yang meliputi: a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha; b) pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas Laporan Penilaian Usaha; c) pernyataan bahwa penugasan penilaian profesional telah dilakukan terhadap Obyek Penilaian pada Tanggal Penilaian (Cut Off Date); d) pernyataan bahwa analisis telah dilakukan untuk tujuan sebagaimana diungkapkan dalam Laporan Penilaian Usaha; e) pernyataan bahwa penugasan penilaian profesional telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f) pernyataan bahwa perkiraan Nilai yang dihasilkan dalam penugasan penilaian profesional telah disajikan sebagai kesimpulan Nilai; g) pernyataan bahwa lingkup pekerjaan dan data yang dianalisis telah diungkapkan; h) pernyataan bahwa kesimpulan Nilai telah sesuai dengan asumsi- asumsi dan kondisi pembatas; dan i) pernyataan bahwa data ekonomi dan industri dalam Laporan Penilaian Usaha diperoleh dari berbagai sumber yang diyakini Penilai Usaha dapat dipertanggungjawabkan. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -42- 19) Kualifikasi Penilai Usaha Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan keahlian Penilai Usaha. 20) Tanda Tangan Penilai Usaha Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal pelaporan. 21) Lampiran Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian dalam Laporan Penilaian Usaha. c. Laporan Pendapat Kewajaran (Fairness Opinion) Laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) huruf b) yang berbentuk laporan lengkap paling kurang memuat: 1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha; 2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); 3) identitas pemberi tugas; 4) maksud dan tujuan pemberian pendapat kewajaran; 5) uraian mengenai ada atau tidak adanya benturan kepentingan atas transaksi yang akan dilakukan; 6) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi: a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha; b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam rangka pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion) telah dilakukan dengan benar; dan c) 7) pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas laporan pendapat kewajaran (fairness opinion); penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan; 8) penjelasan tentang ruang lingkup penilaian; 9) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; 10) informasi mengenai hubungan pihak-pihak yang akan melakukan transaksi; 11) uraian mengenai Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti serta hasil penilaian oleh Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti yang menjadi dasar dalam pemberian pendapat kewajaran; 12) uraian mengenai perjanjian dan analisis terhadap resiko dan peluang atas transaksi; 13) uraian mengenai hasil analisis kualitatif dan analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 21 huruf e dan huruf f; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -43- 14) uraian mengenai hasil analisis atas kewajaran Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam angka 21 huruf g; 15) pendapat mengenai kewajaran transaksi (fairness opinion); 16) Kualifikasi Penilai Usaha Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan keahlian Penilai Usaha. 17) Tanda Tangan Penilai Usaha Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor Surat Tanda Terdaftar (STTD), serta tanggal pelaporan. 18) Lampiran Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian dalam Laporan Penilaian Usaha. d. Laporan Pendapat Kewajaran (Fairness Opinion) Atas Transaksi Pinjam Meminjam Dana dan/atau Penjaminan Laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2) huruf c) yang berbentuk laporan lengkap paling kurang memuat: 1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha; 2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); 3) identitas pemberi tugas; 4) maksud dan tujuan pemberian pendapat kewajaran; 5) uraian mengenai ada atau tidak adanya benturan kepentingan atas transaksi yang akan dilakukan; 6) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi: a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha; b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam rangka pemberian pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan telah dilakukan dengan benar; dan c) pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab atas laporan pendapat kewajaran (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 7) penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan; 8) penjelasan tentang ruang lingkup penilaian; 9) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; 10) uraian mengenai pengaruh transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan terhadap keuangan perusahaan; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -44- 11) informasi mengenai hubungan pihak-pihak yang akan melakukan transaksi; 12) uraian mengenai Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti serta hasil penilaian oleh Penilai Usaha dan/atau Penilai Properti yang menjadi dasar dalam pemberian pendapat kewajaran atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 13) uraian mengenai perjanjian atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 14) uraian mengenai perjanjian dan analisis terhadap likuiditas atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 15) uraian mengenai risiko dan manfaat atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 16) uraian mengenai hasil analisis kelayakan rencana penggunaan dana atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 2) huruf h); 17) uraian mengenai hasil analisis kualitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 3); 18) uraian mengenai hasil analisis kuantitatif sebagaimana dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 4); 19) uraian mengenai hasil analisis atas jaminan yang terkait dengan transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 22 huruf c angka 5); 20) pendapat mengenai kewajaran transaksi (fairness opinion) atas transaksi pinjam meminjam dana dan/atau penjaminan; 21) Kualifikasi Penilai Usaha Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan keahlian Penilai Usaha. 22) Tanda Tangan Penilai Usaha Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor Surat Tanda Terdaftar (STTD), serta tanggal pelaporan. 23) Lampiran Laporan Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian. e. Laporan Studi Kelayakan Usaha (Feasibility Study) Laporan pendapat atas studi kelayakan usaha (feasibility study) sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) huruf d) yang berbentuk laporan lengkap paling kurang memuat: 1) nomor dan Tanggal Laporan Penilaian Usaha; 2) Tanggal Penilaian (Cut Off Date); LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -45- 3) identitas pemberi tugas; 4) maksud dan tujuan pemberian pendapat mengenai kelayakan usaha atau proyek; 5) penjelasan mengenai data, informasi, dan prosedur yang digunakan; 6) penjelasan tentang ruang lingkup penugasan penilaian profesional; 7) uraian mengenai, asumsi-asumsi dan kondisi pembatas; 8) keterangan dan informasi usaha atau proyek yang dinilai, paling kurang meliputi: a) profil usaha atau proyek; b) kinerja keuangan (jika ada); c) produk dan jasa; d) teknologi yang digunakan; e) pasar yang dituju (intended market environment); f) g) h) i) j) pesaing dan persaingan; informasi industri; pola bisnis; strategi pemasaran dan penjualan; kebutuhan produksi atau operasi; k) kebutuhan manajemen dan sumber daya manusia; l) hak atas kekayaan intelektual; m) peraturan perundang-undangan yang terkait (jika ada); n) aspek lingkungan; o) faktor risiko utama; dan p) persyaratan modal dan strategi finansial. 9) uraian mengenai hasil analisis atas hal-hal sebagaimana diatur dalam angka 23 huruf c; 10) uraian mengenai pendapat atas kelayakan suatu usaha atau proyek; 11) pernyataan Penilai Usaha yang meliputi: a) pernyataan mengenai independensi Penilai Usaha; b) pernyataan bahwa perhitungan dan analisis dalam studi kelayakan usaha (feasibility study) telah dilakukan dengan benar; dan c) pernyataan bahwa Penilai Usaha bertanggungjawab hasil studi kelayakan usaha (feasibility study); 12) Kualifikasi Penilai Usaha Penilai Usaha wajib mengungkapkan informasi mengenai kualifikasi dan keahlian Penilai Usaha. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-196/BL/2012 Tanggal : 19 April 2012 -46- 13) Tanda Tangan Penilai Usaha Penilai Usaha wajib menandatangani Laporan Penilaian Usaha dengan mencantumkan nama, tempat, Nomor STTD serta tanggal pelaporan. 14) Lampiran Laporan Penilai Usaha wajib memuat lampiran yang diperlukan dalam melakukan analisis dan mendukung hasil penilaian. f. Laporan ringkas (short form report) sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 3) merupakan ringkasan seluruh informasi penting dari Laporan Penilaian Usaha yang berbentuk laporan lengkap (long form report). g. Laporan ringkas (short form report) dapat disajikan secara terpisah namun merupakan satu kesatuan dari Laporan Penilaian Usaha. 25. KETENTUAN PENUTUP Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk kepada Pihak yang menyebabkan terjadi pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 19 April 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-196/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PENILAIAN DAN PENYAJIAN LAPORAN PENILAIAN USAHA DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 19 April 2012 </set_date> <effective_date> 19 April 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-340/BL/2009|KEPTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '20/M|KEPPRES/2011', '125/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 41/BL/2008 TENTANG PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta meningkatkan independensi, obyektifitas dan profesionalisme Akuntan, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-34/PM/2003 tentang Pendaftaran Akuntan Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Ketentuan mengenai pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Keputusan ini wajib berkedudukan sebagai Rekan pada Kantor Akuntan yang memiliki pedoman pengendalian mutu. Pasal 3 Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Keputusan ini wajib menyampaikan dokumen pedoman pengendalian mutu yang merupakan standar yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan ini kepada Bapepam dan LK paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini. Pasal 4 Pedoman pengendalian mutu yang merupakan standar yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik dalam melaksanakan penugasan bagi Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan ini wajib dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini. Pasal 5 Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK sebelum ditetapkannya Keputusan ini namun masih bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran dari Bapepam dan LK, serta Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, wajib tidak lagi bekerja rangkap paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini, kecuali yang diperkenankan dalam Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan ini. Pasal 6 Kantor Akuntan Publik yang melakukan kegiatan di Pasar Modal namun belum dipimpin oleh Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK, wajib segera DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- menyesuaikan dengan Peraturan Nomor VIII.A.1 Lampiran Keputusan ini, paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini. Pasal 7 Dengan berlakunya keputusan ini, maka ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor VIII.A.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep- 34/PM/2003 tentang Pendaftaran Akuntan Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal dinyatakan tidak berlaku. Pasal 8 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 14 Februari 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 PERATURAN NOMOR VIII.A.1 : PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL 1. Akuntan yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam dan LK serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini. 2. Persyaratan Akuntan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 peraturan ini adalah sebagai berikut: a. mempunyai izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan; b. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; c. memiliki akhlak dan moral yang baik; d. wajib menaati kode etik yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; e. wajib menaati standar profesi yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; f. wajib menerapkan Standar Akuntansi Keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan praktek akuntansi keuangan yang lazim berlaku di Pasar Modal; g. wajib bersikap independen, objektif, dan profesional dalam melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal; h. telah menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI); i. tidak bekerja rangkap dalam jabatan apapun pada Kantor Akuntan lain dan atau pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran dari Bapepam dan LK, serta Pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif, kecuali: 1) komisaris Bursa Efek; dan 2) dosen pada perguruan tinggi yang tidak menduduki jabatan sebagai pimpinan, pengurus atau jabatan yang setara di perguruan tinggi. j. wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal. Persyaratan keahlian tersebut dipenuhi melalui program Pendidikan Profesi yang diselenggarakan oleh Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI) dengan jumlah paling kurang 30 (tiga puluh) satuan kredit profesi dalam satu kali keikutsertaan; k. wajib secara terus menerus mengikuti pendidikan profesi lanjutan di bidang akuntansi Pasar Modal dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang diselenggarakan oleh Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI) paling kurang 5 (lima) satuan kredit profesi setiap tahun; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 2 - l. berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan Publik yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; 1) memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan dan dipimpin oleh Akuntan yang telah memiliki izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan dan telah terdaftar di Bapepam dan LK; 2) menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) dalam melakukan pemeriksaan yaitu Rekan yang bertanggung jawab untuk menandatangani laporan dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; 3) memiliki dan menaati pedoman pengendalian mutu yang merupakan standar yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan, yang antara lain memuat: a) pedoman penerimaan dan penolakan klien; b) kepastian mutu dan kebijakan etika; c) pedoman manajemen risiko; d) pengendalian mutu penugasan; e) pedoman independensi Akuntan dan Kantor Akuntan Publik (KAP); f) prosedur audit dan non audit; dan g) penelaahan mutu. 4) telah menjadi anggota Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI); 5) sanggup menjalani review yang dilakukan oleh Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pekerjaan pemeriksaan dan pengendalian mutu pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan; dan 6) bagi Kantor Akuntan Publik yang hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan yang terdaftar di Bapepam dan LK, untuk dapat melaksanakan kegiatan di Pasar Modal wajib membuat surat perjanjian kerja sama dengan Kantor Akuntan Publik lain tentang pengalihan tanggung jawab apabila Akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, dengan ketentuan bahwa Kantor Akuntan Publik lain tersebut mempunyai Rekan yang sudah terdaftar di Bapepam dan LK. 3. Permohonan pendaftaran Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal diajukan kepada Bapepam dan LK dalam rangkap 2 (dua) dengan mempergunakan Formulir Nomor: VIII.A.1-1 lampiran 1 peraturan ini. 4. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini disertai dokumen sebagai berikut: a. Dokumen yang menyangkut Akuntan: 1) daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani, serta pengalaman kerja sebagai auditor yang dilengkapi dengan penjelasan tentang penugasan yang pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun terakhir pada Kantor Akuntan Publik yang dilengkapi dengan keterangan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 3 - tentang nama perusahaan yang diaudit, tahun penugasan, dan jenis penugasan; 2) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Akuntan yang bersangkutan; 3) fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; 4) pas photo terbaru dengan ukuran 4x6 berwarna; 5) fotocopy izin Akuntan Publik dari Menteri Keuangan; 6) fotocopy ijazah pendidikan formal terakhir di bidang Akuntansi yang telah dilegalisasi; 7) fotocopy sertifikat Pendidikan Profesi di bidang Pasar Modal sebagaimana diatur dalam angka 2 huruf j peraturan ini yang diperoleh dalam 2 (dua) tahun terakhir; 8) fotocopy Surat Tanda Register Negara; 9) fotocopy bukti keanggotaan dalam Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI); 10) surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal dari Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM- IAPI); dan 11) surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa Akuntan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan. b. Dokumen yang menyangkut Kantor Akuntan Publik: 1) fotocopy akta pendirian Kantor Akuntan Publik beserta perubahannya; 2) fotocopy izin usaha dari Menteri Keuangan; 3) fotocopy izin Akuntan Publik dari Rekan yang menjadi pimpinan pada Kantor Akuntan Publik dari Menteri Keuangan; 4) fotocopy Surat Tanda Terdaftar dari Rekan yang menjadi pimpinan pada Kantor Akuntan Publik dari Bapepam dan LK; 5) fotocopy bukti keanggotaan dalam Forum Akuntan Pasar Modal-Institut Akuntan Publik Indonesia (FAPM-IAPI); 6) surat perjanjian kerja sama yang ditandatangani oleh Akuntan dengan Kantor Akuntan Publik lain, yang mempunyai Rekan yang sudah terdaftar di Bapepam dan LK, tentang pengalihan tanggung jawab apabila Akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya, bagi Kantor Akuntan Publik yang hanya mempunyai 1 (satu) orang Rekan; 7) bagan organisasi Kantor Akuntan Publik yang menunjukkan: a) susunan Rekan, pengawas menengah dan staf pelaksana beserta nama yang menduduki posisi tersebut; dan b) bahwa dalam melakukan pemeriksaan, Akuntan menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu nama Rekan yang bertanggungjawab (menandatangani laporan), dan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 4 - pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana. 8) fotocopy izin pembukaan cabang Kantor Akuntan Publik dari instansi yang berwenang bagi Kantor Akuntan Publik yang mempunyai cabang; 9) fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA), apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Asing (KAPA); Kantor Akuntan Publik 10) fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai pencantuman nama Organisasi Audit Asing (OAA), apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Organisasi Audit Asing (OAA); 11) dokumen perjanjian kerjasama dengan Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA), apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA); 12) dokumen perjanjian kerjasama dengan Organisasi Audit Asing (OAA), apabila Kantor Akuntan Publik bekerjasama dengan Organisasi Audit Asing (OAA); 13) dokumen pedoman pengendalian mutu sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf l butir 3) peraturan ini; 14) fotocopy dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama Kantor Akuntan Publik; 15) Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik bertanggungjawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan; dan 16) surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik bersedia untuk menjalani review Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pemeriksaan dan pengendalian mutu pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan. 5. Dalam rangka pendaftaran Akuntan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, Bapepam dan LK dapat meminta dokumen pendukung selain sebagaimana yang telah disebutkan dalam angka 4 huruf a dan huruf b peraturan ini. 6. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini tidak memenuhi syarat, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Bapepam dan LK memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-2 lampiran 2 peraturan ini; atau b. permohonan ditolak dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-3 lampiran 3 peraturan ini. 7. Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 5 - sebagaimana dimaksud dalam angka 6 huruf a peraturan ini, dianggap telah mengundurkan diri. 8. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 peraturan ini memenuhi syarat, maka selambat-lambatnya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap, Bapepam dan LK memberikan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal kepada pemohon dengan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-4 lampiran 4 peraturan ini. 9. Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK wajib melaporkan kepada Bapepam dan LK atas hal-hal sebagai berikut: a. keikutsertaannya dalam pendidikan profesi lanjutan secara berkala setiap tahun paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya disertai dengan bukti pendukung; Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur maka laporan disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. b. setiap perubahan yang berkenaan dengan data dan informasi dari Akuntan dan atau Kantor Akuntan Publik termasuk informasi sebagaimana diatur dalam angka 4 huruf a dan huruf b peraturan ini paling lambat 14 (empat belas) hari sejak terjadinya perubahan dengan disertai dokumen pendukung dengan ketentuan jika hari keempat belas tersebut jatuh pada hari libur, maka laporan perubahan data dan informasi dimaksud wajib disampaikan pada satu hari kerja berikutnya. c. kewajiban penyampaian perubahan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 9 huruf b termasuk pula kewajiban penyampaian data dan informasi antara lain: 1) perpindahan Akuntan ke Kantor Akuntan Publik lain; 2) perubahan nama Kantor Akuntan Publik; dan 3) perubahan alamat Kantor Akuntan Publik. 10. Dalam hal Akuntan bermaksud untuk tidak menjalankan kegiatan di Pasar Modal dalam jangka waktu paling kurang satu tahun, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bapepam dan LK untuk tidak menjalankan kegiatan profesi Akuntan di bidang Pasar Modal dengan menyebutkan jangka waktunya; b. Surat Tanda Terdaftar atas nama Akuntan bersangkutan akan dinyatakan tidak berlaku untuk sementara oleh Bapepam dan LK dengan memberikan surat pemberitahuan menggunakan Formulir Nomor VIII.A.1-5 lampiran 5 peraturan ini; c. apabila Akuntan dimaksud akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal, maka Akuntan wajib memberitahukan kepada Bapepam dan LK dan menyertakan: 1) fotocopy sertifikat pendidikan profesi lanjutan setiap tahunnya, jika dalam jangka waktu tersebut Akuntan bersangkutan masih mengikuti program pendidikan profesi lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam angka 9 huruf a Peraturan ini; LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 6 - 2) fotocopy sertifikat pendidikan profesi lanjutan sebanyak jumlah satuan kredit profesi yang diwajibkan setiap tahunnya, apabila dalam jangka waktu tidak melakukan kegiatan di Pasar Modal tersebut, Akuntan bersangkutan tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam angka 9 huruf a Peraturan ini, bagi Akuntan yang menyampaikan pemberitahuan untuk tidak melakukan kegiatan di Pasar Modal paling lama 2 (dua) tahun; atau 3) fotocopy sertifikat pendidikan profesi sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 huruf j peraturan ini yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi, apabila dalam jangka waktu tersebut Akuntan bersangkutan tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan setiap tahun sebagaimana diatur dalam angka 9 huruf a Peraturan ini; dan 4) daftar perubahan data dan informasi dari Akuntan dan atau Kantor Akuntan Publik apabila ada perubahan yang terjadi dengan disertai bukti pendukung; dan d. Bapepam dan LK akan memberlakukan kembali Surat Tanda Terdaftar setelah setelah Akuntan memenuhi ketentuan pada angka angka 10 huruf c peraturan ini dengan memberikan surat pemberitahuan kepada Akuntan yang bersangkutan menggunakan Formulir nomor VIII.A.1-6 lampiran 6 peraturan ini. 11. Ketentuan mengenai pendidikan profesi lanjutan adalah sebagai berikut: a. Akuntan yang tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan akan dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan sanksi denda yang dihitung dari tanggal kewajiban pelaporan sampai dengan tanggal dipenuhinya kewajiban pelaporan keikutsertaan pendidikan profesi lanjutan oleh yang bersangkutan kepada Bapepam dan LK; b. jika dalam 2 (dua) tahun berturut-turut Akuntan tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan atau jika dalam 5 (lima) tahun Akuntan tidak mengikuti pendidikan profesi lanjutan sebanyak 3 (tiga) kali, Akuntan dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan usaha sebagai Akuntan di bidang Pasar Modal, kecuali Akuntan sebagaimana dimaksud dalam angka 10 peraturan ini; c. Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 11 huruf b peraturan ini telah berakhir, Akuntan dapat melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan mengajukan permohonan kepada Bapepam dan LK serta melampirkan dokumen sebagai berikut: 1) fotocopy sertifikat program Pendidikan Profesi sebagaimana diatur dalam ketentuan dalam angka 2 huruf j Peraturan ini yang diperoleh paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir dan telah dilegalisasi; 2) surat rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf a butir 10) peraturan ini; dan 3) daftar perubahan data dan informasi dari Akuntan dan atau Kantor Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam angka 9 huruf b dan huruf c Peraturan ini apabila terdapat perubahan dengan disertai bukti pendukung. LAMPIRAN Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor : Kep-41/BL/2008 Tanggal : 14 Februari 2008 - 7 - d. apabila dalam 1 (satu) tahun pendidikan profesi lanjutan tidak diselenggarakan, maka Ketua Bapepam dan LK dapat menetapkan ketentuan lain. 12. Akuntan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK namun tidak lagi berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan Publik, tidak dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. 13. Dalam hal Kantor Akuntan Publik tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf l peraturan ini, maka Akuntan yang sudah terdaftar di Bapepam dan LK yang berkedudukan sebagai Rekan pada Kantor Akuntan Publik tersebut tidak dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal. 14. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 14 Februari 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 1 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-1 Nomor : Lampiran : Perihal : Pendaftaran Akuntan Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Yth. ............... , ...........................20.... KEPADA Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan di - Jakarta Dengan ini kami mengajukan permohonan Pendaftaran Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan data sebagai berikut: A. Data Pemohon 1. Nama : ................................................................... 2. Alamat tempat tinggal : ................................................................... ................................................................... (Nama jalan & nomor) ................................... (Kota & Kode Pos) 3. Nomor telepon & faksimili 4. Alamat e-mail 5. Nomor Pokok Wajib Pajak : ................................................................... : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : ๎€€.๎€€๎€€๎€€.๎€€๎€€๎€€.๎€€-๎€€๎€€๎€€ 6. Kedudukan di Kantor Akuntan Publik : ................................................................... 7. Nomor & tanggal Register Negara Akuntan Publik dari Menteri Keuangan : ................................................................... 10. Sertifikat pendidikan profesi di bidang Pasar Modal a. Judul b. Penyelenggara c. Tanggal penyelenggaraan d. Jumlah SKP 11. Ijazah pendidikan formal di bidang akuntansi a. Sarjana/Jurusan b. Universitas c. Tanggal ijazah 12. Nomor Kartu Tanda Penduduk : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................ : ................................................................ : ................................................................... 8. Nomor & tanggal Keanggotaan IAPI : ................................................................... 9. Nomor & tanggal Izin DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN B. Data Kantor Akuntan Publik (KAP) 1. Nama KAP 2. Alamat KAP : ................................................................... : ................................................................... ................................................................... (Nama jalan & nomor) ................................... (Kota & Kode Pos) 3. Nomor telepon & faksimili 4. Alamat e-mail/website 5. Nomor Pokok Wajib Pajak 7. Nomor & tanggal Izin Usaha dari Menteri Keuangan 8. Susunan Rekan dalam KAP a. Nama Pimpinan KAP b. Nama Rekan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK c. Nama Rekan yang belum terdaftar di Bapepam dan LK d. Jumlah tenaga profesi dalam KAP 1) D-3 2) S-1 3) lainnya 9. Daftar cabang KAP serta Nomor dan tanggal Izin pembukaan cabang KAP dari Menteri Keuangan 10. Kerja sama dengan KAP lain a. Nama Akuntan b. Nama KAP c. Jangka waktu 11. Kerja sama/afiliasi dengan KAPA a. Nama KAPA b. Jangka waktu 12. Kerja sama/afiliasi dengan OAA a. Nama OAA : ................................................................... : โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ.. : . ๎€€.๎€€๎€€๎€€.๎€€๎€€๎€€.๎€€-๎€€๎€€๎€€ 6. Nomor Keanggotaan KAP pada FAPM-IAPI : .............................................................. : ................................................................... : ................................................................... : 1. ............................................................... 2. ............................................................... 3. dst. : 1. ............................................................... 2. ............................................................... 3. dst. : ...............................................orang : ...............................................orang : ...............................................orang : 1. ............................................................... 2. ............................................................... 3. dst. : ................................................................ : ................................................................... : ................................................................... : ................................................................ : ................................................................... : ................................................................ DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN b. Jangka waktu : ................................................................... Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: A. Dokumen yang menyangkut Akuntan: 1. Datfar riwayat hidup. 2. Fotocopy dokumen NPWP. 3. Fotocopy KTP. 4. Pas photo terbaru dengan ukuran 4 x 6 berwarna. 5. Fotocopy izin Akuntan Publik. 6. Fotocopy ijazah pendidikan formal terakhir di bidang Akuntansi. 7. Fotocopy sertifikat pendidikan profesi di bidang Pasar Modal. 8. Fotocopy Surat Tanda Register Negara. 9. Fotocopy bukti keanggotaan dalam IAPI. 10. Surat rekomendasi untuk melakukan kegiatan di Pasar Modal dari FAPM-IAPI. 11. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang menyatakan bahwa Akuntan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan. 12. Jawaban atas pertanyaan yang terdapat pada lampiran 1 (Daftar pertanyaan) dan lampiran 2 (Daftar A) formulir ini. B. Dokumen yang menyangkut Kantor Akuntan Publik: 1. Fotocopy akta pendirian Kantor Akuntan Publik beserta akta perubahannya. 2. Fotocopy izin usaha Kantor Akuntan dari Menteri Keuangan. 3. Fotocopy izin Akuntan Publik dari Rekan yang menjadi pimpinan pada KAP. 4. Fotocopy Surat Tanda Terdaftar dari Rekan yang menjadi pimpinan pada KAP. 5. Fotocopy bukti keanggotaan dalam FAPM-IAPI. 6. Surat perjanjian kerja sama yang ditanda tangani oleh Akuntan dengan KAP lain yang mempunyai rekan yang telah terdaftar di Bapepam dan LK tentang pengalihan tanggung jawab apabila Akuntan yagn bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya. Bagi KAP yang hanya mempunyai satu orang rekan. 7. Bagan organisasi KAP. 8. Fotocopy izin pembukaan cabang KAP. 9. Fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai kerja sama dengan KAPA (jika ada). 10. Fotocopy surat persetujuan dari Menteri Keuangan mengenai kerja sama dengan OAA (jika ada). 11. Dokumen perjanjian kerja sama dengan KAPA (jika ada). 12. Dokumen perjanjian kerja sama dengan OAA (jika ada). DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 13. Dokumen pedoman pengendalian mutu dalam rangka penugasan, yang antara lain memuat: a. pedoman penerimaan dan penolakan klien; b. kepastian mutu dan kebijakan etika; c. pedoman manajemen risiko; d. pengendalian mutu penugasan; e. pedoman independensi Akuntan dan Kantor Akuntan Publik (KAP); f. prosedur audit dan non audit; dan g. penelaahan mutu. 14. Fotocopy dokumen NPWP. 15. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik bertanggungjawab atas pelaksanaan pedoman pengendalian mutu yang berlaku pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan. 16. Surat pernyataan dengan meterai cukup yang ditandatangani oleh Pimpinan Rekan Kantor Akuntan Publik yang menyatakan bahwa Kantor Akuntan Publik bersedia untuk menjalani review Bapepam dan LK terhadap pelaksanaan pemeriksaan dan pengendalian mutu pada Kantor Akuntan Publik yang bersangkutan. Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa data dan informasi yang saya sampaikan adalah benar adanya dan apabila terdapat kekeliruan di kemudian hari, saya bersedia untuk bertanggung jawab. Demikian permohonan ini saya ajukan dan atas perhatian Bapak saya ucapkan terima kasih. Pemohon, materai .............................................. (Nama Lengkap) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 1 Formulir Nomor : VIII.A.1-1 DAFTAR PERTANYAAN PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN DI BAWAH INI: 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh Pemohon. 2. Berilah tanda ๎€นdalam kotak di depan kata โ€œyaโ€, jika jawaban Saudara โ€œYaโ€, atau berilah tanda ๎€นdalam kotak di depan kata โ€œTidakโ€ jika jawaban atas pertanyaan berikut adalah โ€œtidakโ€. Untuk setiap jawaban "Ya", Pemohon wajib memberikan jawaban secara rinci dan jelas dalam lembaran terpisah yang antara lain memuat: a. Lembaga-lembaga dan orang-orang yang bersangkutan; b. Kasus dan tanggal dari tindakan yang diambil; c. Pengadilan atau lembaga yang mengambil tindakan; dan d. Tindakan dan sanksi yang diambil. Jawablah pertanyaan berikut ini: 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Pemohon pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. atau kejahatan lain? ๎€€ ya 2. Apakah pengadilan: a. pernah menyatakan Pemohon pailit? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir melarang Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ๎€€ ya ๎€€ tidak 3. Apakah Bapepam dan LK pernah: a. menyatakan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai ? ๎€€ ya ๎€€ tidak ๎€€ tidak DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memutuskan untuk menolak pendaftaran, membatalkan sementara, membatalkan pendaftaran atau memberi sanksi lain yang membatasi Pemohon dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya ? ๎€€ ya ๎€€ tidak 4. Apakah instansi selain Pengadilan, Bapepam dan LK, atau Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu, menyesatkan atau tidak jujur, tidak fair atau tidak etis? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang investasi dan peraturan perundang-undangan lainnya? ๎€€ ya ๎€€ tidak c. menyatakan pemohon telah terbukti bersalah karena terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya sehingga izin usaha perusahaan lain dibekukan, dibatasi, atau dicabut ? ๎€€ ya ๎€€ tidak d. memerintahkan untuk melarang Pemohon dalam hubungannya dengan kegiatan yang berhubungan dengan investasi atau profesinya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir? ๎€€ ya ๎€€ tidak e. menolak, membekukan atau mencabut pendaftaran atau izin usaha Pemohon ? ๎€€ ya ๎€€ tidak 5. Apakah Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Pemohon membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan? ๎€€ ya ๎€€ tidak b. mendapatkan Pemohon terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan Bursa Efek ? ๎€€ ya ๎€€ tidak 6. Apakah pengadilan negara lain pernah menyatakan bahwa Pemohon telah bersalah karena adanya tuntutan tindak pidana atau gugatan perdata dalam hubungannya dengan investasi atau profesinya ? ๎€€ ya ๎€€ tidak DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN 7. Apakah Pemohon pada saat ini termasuk pihak yang berperkara di pengadilan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 8. Apakah Pemohon mempunyai komitmen, ikatan tertentu, atau kewajiban bersyarat terhadap pihak ketiga yang perkaranya sedang diproses atau telah memperoleh keputusan dari Pengadilan? ๎€€ ya ๎€€ tidak 9. Apakah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) pernah memberi teguran, baik lisan maupun tertulis, kepada Pemohon? ๎€€ ya ๎€€ tidak 10. Apakah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) pernah mendapatkan atau membuktikan bahwa Pemohon melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik atau kode etik profesi Akuntan? ๎€€ ya ๎€€ tidak ......................, ..............................., 20.. Pemohon materai .............................................. (Nama Lengkap) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN DAFTAR A Penjelasan atas semua pertanyaan "Ya" dari lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.A.1-1 Nomor Pertanyaan Penjelasan : 2 Formulir Nomor : VIII.A.1-1 Catatan: Lampiran 2 ini harus tetap disertakan Pemohon walaupun tidak terdapat jawaban โ€Yaโ€ atas semua pertanyaan dari Lampiran 1 Formulir Nomor: VIII.A.1-1. ........................., ...............................20.. Pemohon materai .............................................. (Nama Lengkap) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 2 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-2 Nomor : S- /BL/20... Lampiran : Perihal : Pemberitahuan Kekurangan Data Pendaftaran Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. ............................. Menunjuk surat Saudara Nomor : ...................... tanggal .......................................... perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa permohonan Saudara masih terdapat kekurangan data sebagai berikut : 1. ....................................................................................................................... 2. ....................................................................................................................... 3. ....................................................................................................................... Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini kami sampaikan bahwa permohonan Saudara untuk terdaftar sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal belum dapat dipertimbangkan. Selanjutnya permohonan Saudara akan dipertimbangkan setelah Saudara memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut di atas. Demikian agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, Yth. Jakarta, ............................... 20....... KEPADA ........................................................... di - ................................................ NIP. ....................... Tembusan Yth: ................................... DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 3 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-3 Nomor : S- /BL/20... Lampiran : --- Perihal : Penolakan Permohonan Pendaftaran Akuntan Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal. Yth. Jakarta, ........................... 20 โ€ฆ.... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., setelah meneliti permohonan Saudara, dengan ini diputuskan bahwa permohonan Saudara ditolak karena tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. ...................................................................................................................... 2. ...................................................................................................................... 3. ...................................................................................................................... Demikianlah agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. .................. Tembusan Yth: ........................................... DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 4 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-4 SURAT TANDA TERDAFTAR PROFESI PENUNJANG PASAR MODAL Nomor : ......./BL/STTD-AP/20โ€ฆโ€ฆ Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal diberikan kepada: ........................................................ Reg. Negara No. .................. sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal (Akuntan) dengan segala hak dan kewajiban yang melekat kepadanya sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila terdapat kekeliruan terhadap Surat ini, maka Ketua Bapepam dan LK dapat meninjau kembali. โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ, โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ..20โ€ฆโ€ฆ.. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, .................................... NIP. ................... Tembusan Yth: 1. Sdr. Sekretaris Bapepam dan LK; 2. Sdr. Para Kepala Biro di lingkungan Bapepam dan LK; dan 3. Sdr. Ketua FAPM-IAPI. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 5 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-5 Nomor : S- /BL/20... Lampiran : --- Perihal : Pemberitahuan Pembekuan Sementara STTD. Yth. Jakarta, ........................... 20 โ€ฆ.... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., dengan ini diberitahukan bahwa bahwa Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara, Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan tidak berlaku sampai dengan Saudara memberitahukan akan aktif kembali melakukan kegiatan di Pasar Modal dengan memenuhi ketentuan pada angka 10 huruf c Peraturan Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. Demikianlah agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. .................. Tembusan Yth: ........................................ DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN : 6 Peraturan Nomor : VIII.A.1 FORMULIR NOMOR : VIII.A.1-6 Nomor : S- /BL/20... Lampiran : --- Perihal : Pemberitahuan Pemberlakuan kembali STTD. Yth. Jakarta, ............................ 20 โ€ฆ.... KEPADA ............................................................ di - ................................. Menunjuk surat Saudara Nomor: ...................... tanggal ........................ perihal ..................................., setelah meneliti surat permohonan Saudara, dengan ini diberitahukan bahwa bahwa Saudara telah memenuhi ketentuan pada angka 10 huruf c Peraturan Nomor VIII.A.1 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal dan Surat Tanda Terdaftar Profesi Penunjang Pasar Modal (STTD) atas nama Saudara, Nomor:โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ. dinyatakan berlaku kembali. Demikianlah agar Saudara maklum. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Ketua, ................................................ NIP. .................. Tembusan Yth: ......................................
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-41/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN AKUNTAN YANG MELAKUKAN KEGIATAN DI PASAR MODAL </reg_title> <set_date> 14 Februari 2008 </set_date> <effective_date> 14 Februari 2008 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-34/PM/2003|KEPTA-BAPEPAM/2003 | Lampiran Peraturan Nomor VIII.A.1' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '17/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '45/M|KEPPRES/2006', '12/PP/2004', '46/PP/1995', '8/UU/1995' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP-712/BL/2012 TENTANG PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. Bahwa pemeringkatan terhadap efek bersifat utang dan/atau sukuk merupakan informasi penting bagi para investor untuk mengetahui kondisi Perseroan saat ini dan perkiraan perkembangannya di masa yang akan datang serta kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu; b. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan bagi Emiten dalam melakukan keterbukaan informasi terkait pemeringkatan efek bersifat utang dan/atau sukuk, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Bapepam Nomor IX.C.11, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-135/BL/2006 tentang Pemeringkatan Atas Efek Bersifat Utang dengan menetapkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang baru; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3617) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3618); 4. Surat Kuasa Khusus Nomor: SKU-194/MK.01/2012; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK. Pasal 1 Ketentuan mengenai Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.11 sebagaimana dimuat dalam Lampiran Keputusan ini. Pasal 2 Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-135/BL/2006 tanggal 14 Desember 2006 tentang Pemeringkatan Atas Efek Bersifat Utang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 3 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di pada tanggal ttd. Ngalim Sawega NIP 195505301977111001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Jakarta : 26 Desember 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : Kep-712/BL/2012 : 26 Desember 2012 PERATURAN NOMOR IX.C.11 : PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK 1. KETENTUAN UMUM a. Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1) Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah opini tentang kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu oleh Emiten berkaitan dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. 2) Peringkat Tahunan adalah Peringkat Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dikeluarkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek dalam rangka kaji ulang setiap tahun. 3) Peringkat Baru adalah Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang berbeda dari peringkat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek karena adanya fakta material, kejadian penting, atau faktor lainnya. 4) Klasifikasi Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah pengklasifikasian berdasarkan waktu penerbitan dan seri Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. b. Kewajiban Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk berlaku untuk Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang jatuh temponya lebih dari 1 (satu) tahun, termasuk obligasi yang dapat atau wajib dikonversi menjadi saham, yang diterbitkan Emiten melalui Penawaran Umum, selanjutnya disebut dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. 2. PEMERINGKATAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK a. Emiten yang akan menerbitkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib: 1) memperoleh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk atas setiap Klasifikasi Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tersebut dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a) keunggulan atau kelebihan Emiten dan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk serta kaitannya dengan kemampuan Emiten untuk memenuhi kewajiban atas Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; b) kelemahan-kelemahan Emiten dan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk serta kaitannya dengan risiko yang dihadapi oleh pemegang Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; c) simbol Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang mencerminkan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf b); LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 2 - d) masa berlaku Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yaitu satu tahun setelah peringkat tersebut diterbitkan; dan e) prospek (outlook); 2) memuat Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dan tanggal penerbitan peringkat tersebut dalam Kontrak Perwaliamanatan dan Prospektus. Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diperoleh lebih dari satu Perusahaan Pemeringkat Efek, maka masing-masing peringkat tersebut wajib dimuat dalam Kontrak Perwaliamanatan dan Prospektus. b. Jangka waktu antara tanggal hasil pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dengan tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak lebih dari 6 (enam) bulan. 3. PEMERINGKATAN TAHUNAN a. Emiten wajib menyampaikan Peringkat Tahunan atas setiap Klasifikasi Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk kepada Bapepam dan LK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa berlaku peringkat terakhir sampai dengan Emiten telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diterbitkan. b. Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diperoleh lebih dari satu Perusahaan Pemeringkat Efek pada saat Penawaran Umum, maka Emiten dapat menunjuk salah satu dari Perusahaan Pemeringkat Efek tersebut untuk melakukan pemeringkatan tahunan sampai dengan selesainya seluruh kewajiban Emiten yang terkait dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diterbitkan sepanjang telah diatur dalam Kontrak Perwaliamanatan. c. Dalam hal Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diperoleh berbeda dari peringkat sebelumnya, Emiten wajib mengumumkan kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa berlaku peringkat terakhir, mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Peringkat Tahunan yang diperoleh; dan 2) penjelasan singkat mengenai penyebab perubahan peringkat. 4. PEMERINGKATAN KARENA TERDAPAT FAKTA MATERIAL/KEJADIAN PENTING a. Dalam hal Perusahaan Pemeringkat Efek menerbitkan Peringkat Baru maka Emiten wajib menyampaikan kepada Bapepam dan LK serta mengumumkan kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa : Kep-712/BL/2012 : 26 Desember 2012 LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 3 - Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling lama akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya Peringkat Baru tersebut, mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) Peringkat Baru; dan 2) penjelasan singkat mengenai faktor-faktor penyebab terbitnya Peringkat Baru. b. Masa berlaku Peringkat Baru adalah sampai dengan akhir periode Peringkat Tahunan. 5. PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK DALAM PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN a. Emiten yang menerbitkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk melalui Penawaran Umum Berkelanjutan sebagaimana diatur pada Peraturan Nomor IX.A.15 wajib memperoleh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang mencakup keseluruhan nilai Penawaran Umum Berkelanjutan yang direncanakan. b. Peringkat Tahunan dan Peringkat Baru wajib mencakup keseluruhan nilai Penawaran Umum Berkelanjutan sepanjang: 1) periode Penawaran Umum Berkelanjutan masih berlaku; dan 2) Emiten tidak dalam keadaan kondisi dilarang untuk melaksanakan penawaran Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tahap berikutnya dalam periode Penawaran Umum Berkelanjutan sebagaimana diatur pada Peraturan Nomor IX.A.15. 6. PEMERINGKATAN ULANG a. Dalam hal Emiten menerima hasil pemeringkatan ulang dari Perusahaan Pemeringkat Efek terkait dengan Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk selain karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a dan angka 4 huruf a, maka Emiten wajib menyampaikan hasil pemeringkatan ulang dimaksud kepada Bapepam dan LK paling lama akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya peringkat dimaksud. b. Dalam hal peringkat yang diterima sebagaimana dimaksud dalam huruf a berbeda dari peringkat sebelumnya, maka Emiten wajib mengumumkan kepada masyarakat paling kurang dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau laman Bursa Efek paling lama akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya peringkat dimaksud. 7. PENCABUTAN, PENARIKAN KEMBALI ATAU PEMBATALAN PERINGKAT a. Dalam hal hasil Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dicabut, ditarik kembali, atau dibatalkan oleh Perusahaan Pemeringkat Efek, maka Emiten wajib : Kep-712/BL/2012 : 26 Desember 2012 LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 4 - menyampaikan informasi kepada Bapepam dan LK, dan mengumumkan kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek paling lama 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya hal dimaksud. b. Dalam hal terjadi pencabutan, penarikan kembali, atau pembatalan Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf a yang mengakibatkan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak memiliki peringkat, maka Emiten wajib memperoleh peringkat paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan dari Perusahaan Pemeringkat Efek. c. Emiten wajib menyampaikan peringkat sebagaimana dimaksud dalam angka 7 huruf b kepada Bapepam dan LK dan mengumumkan kepada masyarakat paling sedikit dalam satu surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau laman (website) Bursa Efek, paling sedikit memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a angka 1), paling lama akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah diterimanya peringkat dimaksud. 8. KETENTUAN PENUTUP a. Dalam hal Peringkat Tahunan atau Peringkat Baru diperoleh lebih dari satu Perusahaan Pemeringkat Efek, maka penyampaian dan/atau pengumuman atas seluruh Peringkat Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tersebut wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a, angka 3 huruf c, dan angka 4 huruf a. b. Emiten wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf c, angka 4 huruf a, angka 6 huruf b, angka 7 huruf a, dan angka 7 huruf b yang diwajibkan dalam Peraturan ini kepada Bapepam dan LK paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman. c. Dalam hal batas waktu penyampaian laporan atau pengumuman yang diwajibkan dalam Peraturan ini jatuh pada hari libur, maka laporan atau pengumuman wajib disampaikan paling lama pada satu hari kerja berikutnya. d. Seluruh kewajiban dalam Peraturan ini berlaku sampai dengan Emiten telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang terkait dengan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang diterbitkan. e. Dalam hal Emiten memperoleh peringkat default, maka kewajiban pemeringkatan atas Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak berlaku sampai dengan terdapat perkembangan yang menunjukkan kemampuan Emiten untuk menyelesaikan kewajiban Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. : Kep-712/BL/2012 : 26 Desember 2012 LAMPIRAN: Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 5 - f. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Bapepam dan LK berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan Peraturan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 26 Desember 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Ngalim Sawega NIP 195505301977111001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 : Kep-712/BL/2012 : 26 Desember 2012
<reg_type> KEPTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> KEP-712/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PEMERINGKATAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK </reg_title> <set_date> 26 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 26 Desember 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-135/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006' </replaced_reg> <related_reg> '45/PP/1995', '12/PP/2004', '46/PP/1995', 'SKU-194/MK.01/2012|SKK/2012', '8/UU/1995' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 7 /PADG/2019 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa data dan keterangan yang lengkap, benar, dan tepat waktu, yang diperoleh dari hasil pelaporan kegiatan lalu lintas devisa lembaga bukan bank sangat diperlukan untuk melengkapi penyusunan statistik, terutama statistik Neraca Pembayaran Indonesia dan statistik Posisi Investasi Internasional Indonesia; b. bahwa pengaturan pelaporan kegiatan lalu lintas devisa perlu didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi penduduk dalam pelaporan kegiatan lalu lintas devisa lembaga bukan bank; c. bahwa mekanisme pelaporan kegiatan lalu lintas devisa perlu disempurnakan guna meningkatkan kualitas data dan keterangan yang disampaikan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2/PBI/2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6298); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 2. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Aset Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat AFLN adalah aktiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dalam bentuk kas valuta asing, simpanan, surat berharga, dan aset luar negeri lainnya. 4. Kewajiban Finansial Luar Negeri yang selanjutnya disingkat KFLN adalah pasiva Penduduk pada bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah, dalam bentuk utang luar negeri, ekuitas dari bukan Penduduk, dan kewajiban luar negeri lainnya. 5. Utang Luar Negeri yang selanjutnya disingkat ULN adalah utang Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3 6. Lembaga Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LBB adalah lembaga selain bank yang berstatus Penduduk. 7. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LBB. 8. Kegiatan LLD LBB yang selanjutnya disebut Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan AFLN dan/atau KFLN selain ULN antara Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan AFLN dan/atau KFLN selain ULN antar-Penduduk. 9. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan atas Kegiatan LLD. 10. Pelapor adalah LBB yang melakukan Kegiatan LLD, baik untuk kepentingan Pelapor yang bersangkutan maupun pihak lain. 11. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah periode data tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan yang dilaporkan pada bulan berikutnya. 12. Masa Pelaporan adalah tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan setelah PL. 13. Batas Waktu Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat BWPL adalah tanggal paling lambat disampaikannya Laporan. 14. Masa Keterlambatan Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat MKPL adalah periode waktu Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan. 15. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas. 16. Jam Kerja adalah jam kerja kantor Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Pelapor. BAB II PELAPOR Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi LBB sebagai berikut: 4 a. lembaga keuangan bukan bank; b. badan usaha bukan lembaga keuangan; dan c. badan lainnya. BAB III JENIS LAPORAN, PERIODE LAPORAN, KOREKSI LAPORAN, DAN FORMAT LAPORAN Pasal 3 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. Laporan transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk; b. Laporan posisi dan perubahan AFLN; c. Laporan posisi dan perubahan ekuitas dari bukan Penduduk dan kewajiban lain yang terkait; d. Laporan posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri; e. Laporan posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri; dan f. Laporan posisi surat berharga milik Nasabah kustodian. (2) Jenis Laporan yang disampaikan oleh Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor. Pasal 4 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan secara berkala setiap bulan. (2) Laporan mencakup data dan keterangan kegiatan yang dilakukan sejak tanggal 1 sampai dengan akhir bulan dan/atau posisi Laporan akhir bulan. (3) Format Laporan diatur dalam pedoman pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 5 Pasal 5 (1) Dalam hal terdapat kesalahan Laporan yang telah disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia, Pelapor harus menyampaikan koreksi atas kesalahan Laporan yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara lengkap untuk setiap jenis Laporan yang dikoreksi. (3) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terakhir diterima oleh Bank Indonesia merupakan Laporan pengganti atas Laporan yang diterima sebelumnya. BAB IV TATA CARA PELAPORAN Pasal 6 (1) Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan harus menyampaikan surat permohonan dan melengkapi data profil Pelapor. (2) Profil Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai identitas Pelapor yang terdiri atas: a. b. informasi umum Pelapor; dan informasi keuangan (3) Format surat permohonan dan data profil Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan Lampiran III, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Pelapor menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I. 6 (5) Pelapor dapat mengajukan permohonan pengelolaan Laporan ke Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Perwakilan Dalam Negeri Bank Indonesia di luar domisili alamat Pelapor. Pasal 7 (1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Bank Indonesia akan memberitahukan kepada Pelapor mengenai sandi Pelapor, username, dan password. (2) Dalam hal Pelapor telah memiliki sandi Pelapor terkait pelaporan ULN sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko, Pelapor cukup melengkapi data profil Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (3) Pelapor menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan sandi Pelapor, username, dan password sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) Pelapor melaporkan seluruh Kegiatan LLD yang dilakukan selama PL. (2) Apabila dalam suatu PL tertentu Pelapor tidak melakukan Kegiatan LLD, Pelapor tetap harus menyampaikan Laporan dengan baris (record) dikosongkan sesuai tata cara sebagaimana dimaksud dalam petunjuk teknis aplikasi pelaporan yang terdapat dalam laman (website) pelaporan di Bank Indonesia. (3) Dalam hal Pelapor tidak lagi melakukan Kegiatan LLD, Pelapor harus menyampaikan surat pernyataan tidak lagi melakukan Kegiatan LLD bermeterai cukup dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disertai bukti pendukung. 7 (4) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan Kegiatan LLD kembali, Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 9 (1) Bagi Pelapor yang memiliki 1 (satu) atau lebih kantor cabang, Laporan yang disampaikan merupakan Laporan gabungan dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang di Indonesia. (2) Bagi Pelapor yang tergabung dalam 1 (satu) grup perusahaan, Laporan disampaikan oleh Pelapor secara terpisah dari Laporan induk perusahaan. Pasal 10 (1) Dalam hal Kegiatan LLD dilakukan oleh Pelapor untuk kepentingan Nasabah atau pihak lain, Pelapor dapat meminta keterangan dan data kepada Nasabah atau pihak lain tersebut mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan. (2) Nasabah atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan keterangan dan data mengenai Kegiatan LLD yang diminta oleh Pelapor. Pasal 11 Dalam hal Pelapor pindah alamat, Pelapor harus terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I. Pasal 12 Tata cara penggunaan aplikasi pelaporan mengacu pada petunjuk teknis aplikasi pelaporan sebagaimana terdapat dalam laman (website) pelaporan Bank Indonesia. 8 BAB V MEDIA PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 13 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, disampaikan kepada Bank Indonesia secara online melalui laman (website) pelaporan di Bank Indonesia dengan alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat penyampaian Laporan dan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis perubahan alamat tersebut. (3) Dalam hal penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan secara offline, Laporan dan koreksi Laporan disampaikan dengan menggunakan media attachment e-mail, compact disc (CD), flash disk, dan/atau media elektronik lainnya pada Hari dan Jam Kerja. (4) Penyampaian Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditujukan kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I. BAB VI BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Pasal 14 (1) Laporan yang meliputi data dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib disampaikan secara online secara bulanan paling lambat tanggal 15 bulan โ€˜berikutnya. 9 (2) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, BWPL jatuh pada Hari berikutnya. (3) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan secara online, Laporan disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (4) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan kembali Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara online apabila gangguan teknis telah dapat diatasi. (5) Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan berhasil diunggah dan lolos verifikasi, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. (6) Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh Laporan telah diterima oleh petugas di Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia. (7) Dalam hal Pelapor menyampaikan Laporan secara offline menggunakan surat elektronik (e-mail), Pelapor harus melakukan konfirmasi pada Jam Kerja melalui telepon kepada petugas di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa surat elektronik (e-mail) yang berisi softcopy Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. Pasal 15 (1) Koreksi Laporan secara online harus disampaikan paling lambat tanggal 20 pada bulan penyampaian Laporan yang bersangkutan. (2) Penyampaian Koreksi Laporan setelah tanggal 20 dilakukan secara offline. 10 (3) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan jatuh pada hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, koreksi Laporan dapat disampaikan pada Hari berikutnya secara online. Pasal 16 (1) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) sehingga Pelapor tidak dapat menyampaikan koreksi Laporan secara online, koreksi Laporan disampaikan secara offline pada Hari berikutnya. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Pelapor untuk menyampaikan kembali koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara online apabila gangguan teknis telah dapat diatasi. (3) Koreksi Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh koreksi Laporan berhasil diunggah dan lolos verifikasi, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari sistem Bank Indonesia. (4) Koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan diterima oleh Bank Indonesia apabila softcopy seluruh koreksi Laporan telah diterima oleh petugas di Bank Indonesia, yang dibuktikan dengan adanya tanda terima dari petugas Bank Indonesia. (5) Dalam hal Pelapor menyampaikan koreksi Laporan secara offline menggunakan surat elektronik (e-mail), Pelapor dapat melakukan konfirmasi melalui telepon kepada petugas di Bank Indonesia untuk memastikan bahwa surat elektronik (e-mail) yang berisi softcopy koreksi Laporan telah diterima oleh Bank Indonesia. 11 Pasal 17 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan apabila Pelapor menyampaikan Laporan dalam MKPL, yaitu masa setelah berakirnya BWPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) sampai dengan akhir bulan. (2) Penyampaian Laporan setelah tanggal 20 dilakukan secara offline. Pasal 18 (1) Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila sampai dengan batas akhir MKPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Bank Indonesia belum menerima Laporan dari Pelapor. (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus menyampaikan Laporan secara offline. BAB VII PENGAWASAN Pasal 19 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Pelapor. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. meminta penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa melibatkan pihak instansi terkait; dan/atau b. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 12 (4) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling lambat 15 (lima belas) Hari sejak tanggal surat permintaan dari Bank Indonesia. (5) Dalam hal Pelapor tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka bagi Pelapor: a. yang telah menyampaikan Laporan, Laporan yang disampaikan dinyatakan tidak benar; dan b. yang belum menyampaikan Laporan, dinyatakan tidak menyampaikan Laporan. (6) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran Laporan. Pasal 20 (1) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Pelapor atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD diketahui melakukan Kegiatan LLD maka Pelapor atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD harus menyampaikan Laporan berdasarkan permintaan dari Bank Indonesia melalui surat. (2) Pelapor atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD dinyatakan tidak menyampaikan Laporan apabila Pelapor atau LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD belum menyampaikan Laporan yang diminta Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak 3 (tiga) bulan setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD. 13 BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Pertama Sanksi Atas Laporan yang Tidak Benar, Terlambat, dan Tidak Disampaikan Pasal 21 Pelapor yang: a. menyampaikan Laporan secara tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), yang tidak ditindaklanjuti dengan penyampaian koreksi; b. terlambat menyampaikan Laporan dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); dan/atau c. tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (5), dan Pasal 20 ayat (2). dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Pasal 22 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mulai diberlakukan bagi Pelapor baru setelah 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian Laporan yang pertama. (2) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, mulai diberlakukan bagi Pelapor yang belum menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia sejak 3 (tiga) bulan setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD. (3) Pelapor yang sedang dalam proses pailit atau yang sudah tidak beroperasi dapat mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana 14 berupa teguran tertulis dengan menyampaikan bukti pendukung. (4) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak dikenai kepada Pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan Laporan yang disebabkan adanya gangguan teknis di Bank Indonesia. Pasal 23 Pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang, dan/atau perusahaan induk dari Pelapor mengenai pengenaan sanksi dilakukan dalam hal Pelapor telah 3 (tiga) kali mendapatkan teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c karena tidak menyampaikan Laporan dalam 1 (satu) tahun pelaporan. BAB IX KEADAAN MEMAKSA Pasal 24 (1) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan keterangan dan data untuk penyusunan Laporan tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Pelapor yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami, yang paling kurang memuat: 15 jenis keadaan memaksa, dengan melampirkan dokumen pendukung dan/atau surat keterangan dari instansi terkait di daerah setempat; dan b. dampak terhadap pelaporan. a. (4) Pelapor dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Pelapor, kantor cabang Pelapor, atau pihak lain yang ditunjuk Pelapor. (5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa. (6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal Pelapor memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus menyampaikan Laporan setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 25 Dalam hal Pelapor sedang dalam proses pailit atau sudah tidak beroperasi, Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 26 Laporan yang memuat data dan keterangan individual Pelapor yang disampaikan kepada Bank Indonesia bersifat rahasia, kecuali secara tegas dinyatakan lain dalam Undang-Undang. 16 Pasal 27 Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaporan Kegiatan LLD yang berdampak strategis, Bank Indonesia dapat mengambil kebijakan tertentu dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XI KORESPONDENSI Pasal 28 (1) Penyampaian surat, pertanyaan, dokumen pendukung, dan/atau informasi lainnya berkaitan dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran I. (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/26/DSta tanggal 15 Oktober 2015 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 (1) Kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mulai berlaku sejak PL bulan Maret 2019 yang disampaikan pada bulan April 2019. 17 (2) Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 mulai berlaku sejak PL bulan Maret 2019 yang disampaikan pada bulan April 2019. Pasal 31 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 April 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 7 /PADG/2019 TENTANG PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu sistem pemantauan LLD yang efektif. Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia, Posisi Investasi Internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Selanjutnya, statistik tersebut dipergunakan sebagai sumber bagi perumusan dan pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Dengan disusunnya ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman pelaporan Kegiatan LLD LBB ini maka Pelapor diharapkan berperan aktif untuk menyampaikan laporan Kegiatan LLD LBB kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œsecara lengkapโ€ adalah Laporan yang memenuhi rincian cakupan Laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan โ€œsecara benarโ€ adalah Laporan yang memuat data sesuai dengan fakta sebenarnya berdasarkan laporan keuangan dan pembukuan seperti neraca dan laba rugi serta off-balance sheet Pelapor. Yang dimaksud dengan โ€œsecara tepat waktuโ€ adalah Laporan yang disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Berdasarkan kepemilikannya, lembaga keuangan bukan bank dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta. Badan usaha milik negara yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik negara. Badan usaha milik daerah yaitu badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai badan usaha milik daerah. Badan usaha milik swasta yaitu badan usaha yang tidak termasuk dalam pengertian badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang berkedudukan di Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum Indonesia maupun asing dan yang tidak berbentuk badan hukum. Huruf b Badan usaha bukan lembaga keuangan meliputi badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Badan usaha yang berbentuk badan hukum meliputi badan hukum Indonesia maupun asing. Berdasarkan kepemilikannya, badan usaha bukan lembaga keuangan dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik swasta. 3 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œbadan lainnyaโ€ adalah badan selain badan usaha. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Transaksi perdagangan barang, jasa, dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan Penduduk meliputi seluruh transaksi penjualan dan/atau pembelian barang dan/atau jasa dengan bukan Penduduk, perolehan dan/atau pemberian hibah dari atau kepada bukan Penduduk, serta transaksi lainnya dengan bukan Penduduk, sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. Huruf b Posisi dan perubahan AFLN meliputi penambahan atau pengurangan dari seluruh aktiva yang merupakan klaim terhadap bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor, yang mencakup: 1. rekening giro di bank luar negeri; 2. piutang dagang atau usaha kepada bukan Penduduk; 3. surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang tidak disimpan pada kustodian dalam negeri, termasuk surat berharga yang diterbitkan oleh bukan Penduduk yang dimiliki oleh Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian; 4. penyertaan pada bukan Penduduk, antara lain penyertaan modal, tagihan dividen, dan laba ditahan; 5. tanah dan/atau bangunan di luar negeri; 6. aset lainnya pada bukan Penduduk antara lain kas dalam valuta asing, simpanan lainnya, pinjaman yang diberikan, pembayaran di muka, dan tagihan lainnya; dan 7. tagihan derivatif pada bukan Penduduk. Termasuk di dalam pelaporan posisi dan perubahan AFLN yaitu kegiatan yang mengakibatkan nilai AFLN menjadi negatif. 4 Huruf c Posisi dan perubahan ekuitas dari bukan Penduduk dan kewajiban lain yang terkait meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan ekuitas dari bukan Penduduk dan kewajiban terkait, antara lain modal disetor dari bukan Penduduk, kewajiban dividen kepada bukan Penduduk, dan laba ditahan dari bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. Huruf d Posisi dan perubahan kewajiban derivatif luar negeri meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan kewajiban derivatif kepada bukan Penduduk sebagaimana tercatat pada laporan keuangan dan pembukuan Pelapor. Huruf e Posisi komitmen dan kontinjensi luar negeri meliputi posisi yang menjadi tagihan dan/atau kewajiban komitmen dan/atau kontinjensi kepada bukan Penduduk yang tercatat pada off-balance sheet Pelapor, antara lain posisi pembelian dan/atau penjualan derivatif yang masih berjalan, garansi yang diterima dan/atau diberikan, dan fasilitas pinjaman kepada bukan Penduduk yang belum ditarik. Huruf f Posisi surat berharga milik Nasabah kustodian meliputi posisi surat berharga Penduduk yang dimiliki bukan Penduduk dan/atau surat berharga bukan Penduduk yang dimiliki Penduduk yang tercatat pada Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai kustodian, beserta hasil investasi yang diakui pada PL seperti bunga dan dividen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. 5 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan pembiayaan telah menyampaikan Laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record), namun terdapat kesalahan pengisian sandi negara anak perusahaan (investee) pada baris ke-2 Laporan. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan kembali Laporan penyertaan pada bukan Penduduk sebanyak 4 (empat) baris (record) dengan sandi negara anak perusahaan (investee) yang telah dikoreksi pada baris ke-2 Laporan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Informasi umum Pelapor mencakup antara lain nama Pelapor, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penanggung jawab pelaporan, dan lokasi usaha Pelapor. Huruf b Informasi keuangan mencakup antara lain total ekuitas, aktiva lancar, dan kewajiban lancar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 6 Pasal 7 Ayat (1) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Sandi Pelapor, username, dan password yang telah diberikan oleh Bank Indonesia, dapat digunakan Pelapor untuk pelaporan ULN sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan kegiatan lalu lintas devisa berupa utang luar negeri dan transaksi partisipasi risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bukti pendukung dimaksud antara lain berupa laporan keuangan Pelapor Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Contoh: Perusahaan perkebunan karet PT X yang berkantor pusat di Medan memiliki 2 (dua) kantor cabang yaitu di Pekanbaru dan Bandar Lampung. PT X menyampaikan 1 (satu) Laporan yang merupakan gabungan dari kegiatan yang memengaruhi AFLN dan ekuitas dari bukan Penduduk yang dilakukan kantor pusat Medan, kantor cabang Pekanbaru, dan kantor cabang Bandar Lampung. 7 Ayat (2) Contoh: Perusahaan pertambangan PT Y merupakan induk perusahaan (holding company) yang memiliki 3 (tiga) anak perusahaan, yaitu PT A, PT B, dan PT C. Laporan disampaikan secara terpisah oleh induk perusahaan dan masing-masing anak perusahaan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Untuk penyampaian Laporan pada bulan Juni 2019, BWPL jatuh pada hari Senin 17 Juni 2019, mengingat tanggal 15 Juni 2019 jatuh pada hari Sabtu. 8 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknisโ€ adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan โ€œsecara offlineโ€ adalah menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media elektronik, antara lain compact disc (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja. Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 yang merupakan hari terakhir penyampaian Laporan. Laporan dimaksud wajib disampaikan secara online pada hari Selasa tanggal 16 Juli 2019 pada Jam Kerja. Dalam hal gangguan teknis masih berlangsung pada tanggal 16 Juli 2019, Laporan wajib disampaikan oleh Pelapor pada hari tersebut secara offline dalam Jam Kerja. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Contoh: Perusahaan sekuritas PT S melaporkan kepemilikan deposito pada bank di Singapura untuk PL Juni 2019 pada tanggal 5 Juli 2019. Berdasarkan konfirmasi Bank Indonesia, selain memiliki deposito, perusahaan juga memiliki simpanan (pooling account) pada grup perusahaan di Hongkong yang belum dilaporkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 15 Juli 2019 perusahaan menyampaikan koreksi Laporan aset lainnya pada bukan Penduduk. 9 Selanjutnya karena terdapat kesalahan pada pengisian jangka waktu simpanan (pooling account), perusahaan mengirimkan kembali koreksi Laporan tersebut pada tanggal 18 Juli 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Untuk data bulan Maret 2019, koreksi Laporan dapat disampaikan paling lambat pada hari Senin 22 April 2019, mengingat tanggal 20 April 2019 jatuh pada hari Sabtu. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknisโ€ adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. Yang dimaksud dengan โ€œsecara offlineโ€ adalah menyampaikan koreksi Laporan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media elektronik, antara lain compact disc (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail), yang disampaikan pada Jam Kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Contoh: Apabila Pelapor menyampaikan Laporan PL September 2019 pada tanggal 16 Oktober 2019 maka Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan. 10 Ayat (2) Contoh: Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia maka penyampaian Laporan PL Juni 2019 dilakukan secara offline hari Kamis tanggal 1 Agustus 2019 dalam Jam Kerja. Pasal 18 Ayat (1) Contoh: Apabila sampai dengan 30 September 2019, Pelapor belum menyampaikan Laporan bulan Agustus 2019 maka Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui penelitian atas Laporan yang disampaikan oleh Pelapor. Pengawasan tidak langsung dilakukan antara lain dalam bentuk: a. evaluasi atas Laporan yang telah disampaikan Pelapor kepada Bank Indonesia; dan/atau b. Huruf b Pemeriksaan dilakukan untuk meneliti kebenaran Laporan yang disampaikan Pelapor dan/atau untuk mengkonfirmasi atas kebenaran informasi yang diterima oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil pengawasan tidak langsung, termasuk informasi mengenai Pelapor yang belum menyampaikan Laporan. klarifikasi hasil penelitian terhadap LBB yang terindikasi memiliki Kegiatan LLD. 11 Ayat (3) Huruf a Dokumen pendukung antara lain berupa laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Yang dimaksud dengan โ€œinstansi terkaitโ€ adalah lembaga, kementerian, atau otoritas yang memiliki kewenangan mengatur Pelapor, antara lain Otoritas Jasa Keuangan bagi lembaga keuangan bukan bank dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara bagi korporasi berupa badan usaha milik negara. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan M diketahui melakukan Kegiatan LLD pada bulan Desember 2019. Selanjutnya, Bank Indonesia mengirimkan surat kepada perusahaan tersebut untuk menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia, yang mencakup data bulan Desember 2019, Januari 2020, dan Februari 2020. Dalam hal perusahaan M belum menyampaikan Laporan sampai dengan bulan Maret 2020, perusahaan M dinyatakan tidak menyampaikan Laporan. Pasal 21 Cukup jelas. 12 Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œPelapor baruโ€ adalah: a. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan sejak mulai diberlakukannya ketentuan ini. Contoh: Perusahaan A menyampaikan Laporan pertama kali kepada Bank Indonesia pada bulan Juli 2019 untuk pelaporan data bulan Juni 2019. Perusahaan A terlambat menyampaikan Laporan untuk masa pelaporan bulan Agustus 2019, September 2019, Oktober 2019, dan November 2019. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk masa pelaporan bulan November 2019 untuk PL bulan Oktober 2019. b. Pelapor yang kembali melakukan Kegiatan LLD setelah sebelumnya menginformasikan sudah tidak melakukan Kegiatan LLD dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; Contoh: Perusahaan B telah menginformasikan kepada Bank Indonesia bahwa di bulan Maret 2018 perusahaan dimaksud sudah tidak melakukan Kegiatan LLD. Perusahaan B kembali melakukan Kegiatan LLD pada bulan Juli 2019. Perusahaan B menyampaikan Laporan pertama kali pada bulan Agustus 2019. Perusahaan B tidak menyampaikan Laporan untuk masa pelaporan bulan September 2019, Oktober 2019, November 2019, dan Desember 2019. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis untuk masa pelaporan bulan Desember 2019, untuk PL bulan November 2019. c. Pelapor yang baru pertama kali menyampaikan Laporan setelah diketahui melakukan Kegiatan LLD berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia. 13 Contoh: Berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, perusahaan C diketahui melakukan Kegiatan LLD sehingga wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, perusahaan C menyampaikan Laporan pertama kali pada bulan September 2019. Perusahaan C tidak menyampaikan Laporan untuk masa pelaporan bulan Oktober 2019, November 2019, Desember 2019, dan Januari 2020. Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis kepada perusahaan C untuk masa pelaporan bulan Januari 2020 untuk PL bulan Desember 2019. Ayat (2) Contoh: Berdasarkan pengawasan Bank Indonesia, perusahaan D melakukan Kegiatan LLD yang diketahui pada bulan September 2019 dan belum menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Perusahaan D wajib menyampaikan Laporan dimaksud paling lambat bulan Desember 2019. Laporan yang disampaikan mencakup data sejak diketahuinya Kegiatan LLD oleh Bank Indonesia, yaitu bulan September 2019, Oktober 2019, dan November 2019. Dalam hal perusahaan D tidak menyampaikan Laporan sampai dengan bulan Desember 2019 maka Bank Indonesia akan mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada perusahaan D. Ayat (3) Bukti pendukung yang dimaksud antara lain surat permohonan pengajuan kepailitan ke pengadilan atau surat pencabutan izin dari kementerian terkait. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknisโ€ adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia, antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi. 14 Pasal 23 Contoh: Perusahaan F telah dikenai 3 (tiga) kali sanksi administratif teguran tertulis oleh Bank Indonesia karena tidak menyampaikan Laporan, yaitu untuk PL bulan Mei 2019, Juli 2019, dan Desember 2019. Mengingat perusahaan F dikenai sanksi sebanyak 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) tahun pelaporan, yaitu tahun 2019, maka Bank Indonesia memberitahukan pengenaan sanksi administratif teguran tertulis dimaksud secara tertulis kepada otoritas atau instansi yang berwenang, dan/atau perusahaan induk. Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksaโ€ adalah keadaan yang berada di luar kendali Pelapor serta secara nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan yang disebabkan antara lain kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja, terorisme, perang, sabotase, serangan virus komputer melalui jaringan (cyber attack), serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, sesuai dengan dokumen pendukung dan/atau dibenarkan oleh pejabat dari instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Persetujuan dari Bank Indonesia dapat diberikan melalui antara lain surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Ayat (7) Cukup jelas. 15 Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Yang dimaksud dengan โ€œUndang-Undangโ€ adalah Undang-Undang yang mewajibkan pengungkapan data dan keterangan yang bersifat rahasia. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis dapat dilakukan melalui surat, surat elektronik (e-mail), atau media lainnya. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/7/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PELAPORAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA LEMBAGA BUKAN BANK </reg_title> <set_date> 12 April 2019 </set_date> <effective_date> 12 April 2019 </effective_date> <replaced_reg> '17/26/DSta|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '21/2/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/ 22 /PADG/2018 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor; b. bahwa peraturan mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk 2 Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6230); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah toko atau rumah kantor. 8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium, apartemen, flat, dan bangunan lainnya. 10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan, perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya. 11. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak. 12. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun. 4 13. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 14. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan KP Ruko atau KP Rukan. 15. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak. 16. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun. 17. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 18. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan. 19. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 20. Akad Istishnaโ€™ adalah akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashniโ€™) dan penjual atau pembuat (shaniโ€™). 21. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik) 5 berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. 22. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 23. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 24. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini. 25. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini. 26. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian kendaraan bermotor. 27. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor. 28. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. 29. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. 30. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut LSMK adalah laporan stabilitas 6 moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. BAB II PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV Bagian Kesatu Penghitungan Kredit, Penghitungan Pembiayaan, Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan Paragraf 1 Penghitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk BUK Pasal 2 (1) BUK wajib melakukan penghitungan Kredit dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio LTV untuk KP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. 7 Paragraf 2 Penghitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk BUS dan UUS Pasal 3 (1) BUS dan UUS wajib melakukan penghitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishnaโ€™ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk pemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan 3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. 8 Paragraf 3 Tata Cara Penilaian Agunan Pasal 4 (1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. (3) Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP Pasal 5 (1) Bank yang memberikan: a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. 9 (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 6 Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas kedua dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya, ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 10 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen). Pasal 7 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelumnya. (3) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari LBU atau LSMK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. 11 (4) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 8 Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 12 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80% (delapan puluh persen); c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 60% (enam puluh persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 60% (enam puluh persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 13 2. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 3. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 80% (delapan puluh persen); dan f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 14 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan paling tinggi 70% (tujuh puluh persen). Pasal 9 (1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan memberikan: a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), untuk fasilitas pertama; b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama dan seterusnya; c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama; dan d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, untuk fasilitas pertama, harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud 15 pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 10 Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang sama maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad PP; dan b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah. Pasal 11 Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 10 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah Pasal 12 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara neto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan 16 bank dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank; dan b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara neto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank setelah dikurangi dengan cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank. (2) Penghitungan rasio KP bermasalah dan rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total KP; b. penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total PP; dan c. PP yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam huruf b yaitu PP yang menggunakan Akad Murabahah, Akad Istishnaโ€™, Akad MMQ, dan Akad IMBT. (3) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi BUK dilakukan secara terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan rasio PP bermasalah bagi UUS. 17 Bagian Keempat Sumber Data, Nilai yang Digunakan, dan Laporan Lain Pasal 13 Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a, dan rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian KP atau akad PP ditandatangani. Pasal 14 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai Kredit bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah, dan nilai total Kredit yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit yang diberikan. (2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai Pembiayaan bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah, dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan dihitung dari LSMK pada: a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah untuk Akad Murabahah; b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk Akad Qardh; d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi hasil untuk akad bagi hasil; e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa untuk akad sewa; dan 18 f. form 18 mengenai daftar rincian salam untuk akad salam; (3) Penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 menggunakan nilai KP bermasalah dan total KP yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit yang diberikan. (4) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 15 (1) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari LBU atau LSMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (2) Dalam hal LSMK belum dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bank wajib menyampaikan laporan lain berupa laporan PP kepada Bank Indonesia melalui media surat elektronik (email) sampai dengan batas waktu yang ditetapkan. (3) Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. Pasal 16 Penyampaian laporan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. periode penyampaian laporan PP yaitu: 19 1. untuk laporan bulan berjalan, Bank menyampaikan laporan PP kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya; dan 2. dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka Bank menyampaikan laporan PP pada hari kerja berikutnya; b. c. laporan PP menggunakan format yang telah disediakan dalam situs web Bank Indonesia; format laporan PP dan petunjuk pengisian laporan PP yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. laporan PP disampaikan kepada: 1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; e. Bank mengirimkan laporan PP kepada Bank Indonesia melalui surat elektronik (email) setiap bulan dengan subjek surat elektronik (email) disamakan dengan nama dokumen (file) sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; f. laporan PP kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan tembusan laporan PP kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, disampaikan melalui surat elektronik (email) sesuai dengan daftar alamat surat elektronik (email) sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 20 g. dalam hal penyampaian laporan PP melalui surat elektronik (email) sebagaimana dimaksud dalam huruf f tidak dapat dilakukan maka: 1. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan PP disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau 2. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan PP disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; h. batas waktu penyampaian laporan PP sebagaimana dimaksud dalam huruf g mengikuti ketentuan batas waktu penyampaian laporan PP sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan i. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan PP, serta alamat surat elektronik (email) pengirim laporan, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada: 1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, 21 bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. Bagian Kelima Kewajiban Administratif Pasal 17 (1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank wajib: a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang memuat keterangan mengenai: 1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan permohonan baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; 4. KP atau PP yang diambil alih (take over) dan disertai Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; dan/atau 5. keterangan terkait lainnya, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana 22 dimaksud dalam huruf b. (2) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP serta penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II. Bagian Keenam Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya dan KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) Paragraf 1 Kredit Tambahan (Top Up) atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya Pasal 18 (1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pemberian Kredit tambahan (top up) oleh BUK yang merupakan tambahan dari KP sebelumnya menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang Kredit tambahan (top up) tersebut menggunakan agunan yang sama dan KP sebelumnya memiliki kualitas lancar; b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang merupakan tambahan dari PP sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas lancar; c. dalam hal Kredit tambahan (top up) tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau KP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar 23 sebagaimana dimaksud dalam huruf a maka Kredit tambahan (top up) menggunakan Rasio LTV untuk KP sebagaimana Kredit baru; d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana Pembiayaan baru; e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan (top up) sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya, Bank memperhitungkan KP awal dan Kredit tambahan (top up) tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas; f. Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan (top up) dan Rasio FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e mengacu pada Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, atau Pasal 9; dan g. jumlah Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang diberikan oleh Bank memperhitungkan jumlah baki debet KP atau PP sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. (2) Mekanisme pemberian Kredit tambahan (top up) atau Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Paragraf 2 KP atau PP yang Diambil Alih (Take Over) Pasal 19 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan 24 KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. dalam hal Bank mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan Kredit tambahan (top up) atau disertai dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain tersebut mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (2) Mekanisme pengambilalihan (take over) KP atau PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 20 Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit tambahan (top up) atau Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan pengambilalihan (take over) KP atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketujuh KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Paragraf 1 Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 21 (1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan: 1. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara neto sebagaimana dimaksud 25 dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; 2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank dengan pengembang yang paling sedikit memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan 3. memiliki jaminan yang diberikan oleh pengembang atau pihak lain kepada Bank: a) yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian; dan b) dengan nilai jaminan paling sedikit sebesar selisih antara komitmen KP atau PP dengan pencairan KP atau PP yang telah dilakukan oleh Bank; dan b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Ketentuan mengenai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 diatur sebagai berikut: a. jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan; b. jaminan yang diberikan oleh pihak lain kepada Bank meliputi corporate guarantee, standby letter of credit, bank guarantee, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan; 26 c. dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b merupakan dana yang ditahan atas nama pengembang, yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti; dan d. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan dapat dieksekusi dalam hal pengembang tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, yang paling sedikit tertuang dalam perjanjian kerja sama antara pengembang dengan Bank. (3) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh dengan mengambil alih (take over) KP atau PP dari Bank lain. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Properti telah tersedia secara utuh yang dibuktikan dengan adanya berita acara serah terima. (6) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 27 Paragraf 2 Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 22 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 maka Bank wajib melakukan pencairan KP atau PP secara bertahap. (2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa diperlukan penilaian perkembangan pembangunan; b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; c. paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; dan d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah penandatanganan berita acara serah terima yang dilengkapi dengan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. (3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan yang berasal dari: a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern Bank; atau b. penilai independen. 28 Bagian Kedelapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP Pasal 23 (1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 22, Bank wajib mematuhi prinsip kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik pada Bank yang sama maupun pada Bank lain, untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP; c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait penyelesaian Properti yang belum tersedia secara utuh; dan d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur atau nasabah kepada rekening pengembang atau penjual yang berada di Bank. (2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk KP atau PP bermasalah. BAB III PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB Bagian Kesatu Uang Muka KKB atau PKB Pasal 24 Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: 29 a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). Pasal 25 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal 26 Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 25% (dua puluh lima persen); dan b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Pasal 27 Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 30 a. memberikan KKB atau PKB dengan uang muka paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan b. memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya. Pasal 28 Contoh penghitungan dan penetapan Uang Muka KKB dan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB Bermasalah Pasal 29 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio Pembiayaan bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank: dan b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet 31 dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. (2) Penghitungan rasio KKB bermasalah dan rasio PKB bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio KKB bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total KKB; dan b. penghitungan rasio PKB bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total PKB. Bagian Ketiga Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan Pasal 30 Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a, rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a, dan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan ditandatangani. Pasal 31 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit yang diberikan. (2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan dihitung dari LSMK pada: 32 a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah untuk Akad Murabahah; b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk Akad Qardh; d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi hasil untuk akad bagi hasil; e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa untuk akad sewa; dan f. form 18 mengenai daftar rincian salam untuk akad salam; (3) Penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai KKB bermasalah dan total KKB yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam form 11 mengenai daftar rincian kredit yang diberikan. (4) Penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 menggunakan nilai PKB bermasalah dan total PKB yang diperoleh dan dihitung dari LSMK pada: a. form 10 mengenai daftar rincian piutang murabahah untuk Akad Murabahah; b. form 11 mengenai daftar rincian piutang istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. form 12 mengenai daftar rincian piutang qardh untuk Akad Qardh; d. form 13 mengenai daftar rincian pembiayaan bagi hasil untuk akad bagi hasil; dan e. form 14 mengenai daftar rincian pembiayaan sewa untuk akad sewa. (5) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana 33 dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB IV LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UANG MUKA Pasal 32 (1) Bank dilarang memberikan: a. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka bagi KP dan PP kepada debitur atau nasabah; dan b. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka bagi KKB dan PKB kepada debitur atau nasabah. (2) Contoh larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB V EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP, FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN UANG MUKA UNTUK KKB ATAU PKB Pasal 33 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan: a. b. Uang Muka untuk KKB atau PKB, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap besaran Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, pengaturan Kredit loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP; dan 34 tambahan (top up) atau Pembiayaan baru yang menggunakan agunan yang sama dan KP atau PP yang diambil alih (take over), KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, dan/atau hal lain terkait kebijakan loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP. (3) Evaluasi terhadap kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau PKB dan jenis penggunaan KKB atau PKB dan/atau hal lain terkait kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB. (4) Hasil evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. (5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. BAB VI TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 34 (1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dikenakan sanksi administratif berupa: a. sanksi teguran tertulis; dan/atau b. sanksi kewajiban membayar. (2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia. 35 (3) Contoh penghitungan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/19/DKMP tanggal 6 September 2016 perihal Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 September 2018 ........................... ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/ 222/PADG/2018 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan kebijakan makroprudensial mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Pelonggaran kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œdepositโ€ adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS untuk pemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Pasal 4 Ayat (1) Penetapan batasan plafon sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) mengubah batasan plafon yang menjadi dasar penetapan penilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value 3 untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Ayat (2) Asosiasi yang berwenang antara lain Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor dengan luas bangunan: 1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2. dari 22m2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi). Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip kehati-hatianโ€ adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. 4 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip kehati-hatianโ€ adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara neto yaitu sebagai berikut: jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank - cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank x 100% total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank - cadangan kerugian penurunan nilai Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank Keterangan: Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar, Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet. Huruf b Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara neto yaitu sebagai berikut: 5 jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank - cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank - cadangan kerugian penurunan nilai Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank x 100% Keterangan: Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan kualitas macet. Ayat (2) Huruf a Formula penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: KP kualitas kurang lancar + KP kualitas diragukan + KP kualitas macet total KP Huruf b Formula penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: PP kualitas kurang lancar + PP kualitas diragukan + PP kualitas macet total PP Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Contoh: Dalam hal penandatanganan perjanjian KP atau akad PP dilakukan pada bulan Desember 2018 maka penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan x 100% x 100% 6 rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK untuk data bulan Oktober 2018. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œlaporan lainโ€ antara lain berupa laporan PP untuk BUS dan UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Informasi kepada Bank mengenai penghentian penyampaian laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 16 Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œhari liburโ€ adalah hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, atau hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur, termasuk dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 7 Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmenggunakan Rasio LTV KP sebagaimana Kredit baruโ€ adalah tambahan Kredit diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œmenggunakan Rasio FTV PP sebagaimana Pembiayaan baruโ€ adalah tambahan Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang berikutnya. Huruf e Cukup jelas. 8 Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œbelum tersedia secara utuhโ€ adalah belum siap diserahterimakan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œdana yang ditahan atas nama pengembangโ€ adalah dana yang digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian, termasuk apabila pengembang tidak dapat menyelesaikan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk 9 pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya. Dalam hal debitur atau nasabah telah memperoleh fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, Bank memperhitungkan fasilitas tersebut sebagai fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah penandatanganan perjanjian KP atau PP. Huruf b Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf c Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf d Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon 10 dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. Ayat (3) Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œjangka waktu paling singkat 1 (satu) tahunโ€ adalah: 1. KP atau PP yang diberikan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; dan/atau 2. KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, namun belum melewati waktu 1 (satu) tahun, dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 11 Huruf d Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu pembayaran uang muka dan pencairan bertahap. Dalam hal pembayaran uang muka dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor maka mekanisme pembayaran uang muka diserahkan kepada kebijakan Bank. Contoh: Debitur menandatangani perjanjian KP pada tanggal 6 Agustus 2018. Pembayaran uang muka dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pada tanggal 30 Juli 2018 dan pada tanggal 3 Agustus 2018. Dengan demikian, mekanisme pembayaran uang muka pada tanggal 30 Juli 2018 diserahkan kepada pihak Bank. Sementara itu, mekanisme pembayaran uang muka pada tanggal 3 Agustus 2018 wajib melalui rekening debitur atau nasabah kepada rekening pengembang atau penjual yang berada di Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œKP atau PP bermasalahโ€ adalah KP atau PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah Kredit bermasalahโ€ adalah jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank. 12 Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah Pembiayaan bermasalahโ€ adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank. Huruf b Rasio KKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah KKB bermasalahโ€ adalah jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Rasio PKB bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah PKB bermasalahโ€ adalah jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: 13 jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank x 100% total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank Keterangan: Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar, Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet. Huruf b Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank x 100% total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank Keterangan: Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan kualitas macet. Ayat (2) Huruf a Formula penghitungan rasio KKB bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: KKB kualitas kurang lancar + KKB kualitas diragukan + KKB kualitas macet total KKB x 100% Huruf b Formula penghitungan rasio PKB bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: PKB kualitas kurang lancar + PKB kualitas diragukan + PKB kualitas macet total PKB x 100% 14 Pasal 30 Contoh: Dalam hal penandatanganan perjanjian KKB atau akad PKB dilakukan pada bulan Desember 2018 maka penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK untuk data bulan Oktober 2018. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (3) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman dalam situs web Bank Indonesia untuk hasil evaluasi berupa penetapan tidak 15 terdapat perubahan kebijakan atau melakukan penyempurnaan ketentuan untuk hasil evaluasi berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan. Pasal 34 Ayat (1) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Bank, Bank Indonesia memberikan tembusan surat pengenaan sanksi kepada otoritas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/22/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title> <set_date> 18 September 2018 </set_date> <effective_date> 18 September 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/19/DKMP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '20/8/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/19/PADG/2019 TENTANG PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien, Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing; b. bahwa salah satu penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi yaitu penyedia electronic trading platform; c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka diperlukan ketentuan pelaksanaan bagi penyedia electronic trading platform; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyedia Electronic Trading Platform; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6336); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. 2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau pembelian valuta asing terhadap rupiah. 4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar Valuta Asing. 5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing. 7. Penyedia Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Penyedia ETP adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. 8. Electronic Trading Platform yang selanjutnya disingkat ETP adalah sistem elektronik yang digunakan oleh pelaku pasar sebagai sarana untuk melakukan transaksi pasar keuangan. 9. Messaging Service adalah alat telekomunikasi yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing yang dapat menampilkan data dan informasi keuangan serta dapat diintegrasikan dengan sistem di middle office dan/atau back office yang dimiliki oleh pengguna jasa. 10. Systematic Internaliser adalah bank yang menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas akun miliknya sendiri dengan Pengguna Jasa. 11. Penyelenggara Bursa adalah bursa berjangka sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, yang menyediakan sarana tertentu bagi Pengguna Jasa untuk melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. 12. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan telekomunikasi. 13. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang ditawarkan oleh Penyedia ETP. 14. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 15. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha syariah. 16. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham Penyedia ETP sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Penyedia ETP dan mempunyai hak suara atau memiliki saham Penyedia ETP kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan Penyedia ETP dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Penyedia ETP baik secara langsung maupun tidak langsung. 17. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 18. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 19. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 20. Penggabungan adalah penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 21. Peleburan adalah peleburan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 22. Pengambilalihan adalah pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 23. Pemisahan adalah pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. BAB II PERIZINAN Pasal 2 (1) Pihak yang menyediakan ETP dan/atau Messaging Services yang digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penyedia ETP. (2) Kewajiban untuk memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk: a. Bank yang menyediakan ETP untuk transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing yang telah memperoleh izin sebagai Systematic Internaliser dari Bank Indonesia; dan b. Penyelenggara Bursa yang menyediakan ETP untuk transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing, yang telah memperoleh izin sebagai Penyelenggara Bursa dari Bank Indonesia. Pasal 3 Pemberian izin kepada Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. Pasal 4 Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak yang telah berbadan hukum perseroan terbatas atau memiliki rancangan akta pendirian dan rancangan anggaran dasar bagi pihak yang belum berbadan hukum perseroan terbatas, yang menunjukkan bahwa tujuan pendirian perseroan terbatas khusus untuk menyediakan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing; b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon pengurus; c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; dan d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; dan 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik. Pasal 5 Pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP dari Bank Indonesia; b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan kepemilikan tertentu, yaitu dimiliki oleh: 1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau 2. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling tinggi sebesar 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor; c. memiliki modal disetor paling sedikit Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah), yang tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering); d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi; f. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; dan 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; g. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif; h. memiliki tata kelola yang baik; dan i. memenuhi persyaratan administratif lainnya. Pasal 6 (1) Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus memenuhi persyaratan integritas dan aspek keuangan. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut: 1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir; 2. tindak pidana kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan/atau 3. tindak pidana lainnya dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, yaitu tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika penyelundupan, atau kepabeanan, psikotropika, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, dan di bidang kelautan dan perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir, sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan d. tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang. (3) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan b. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan kegiatan usaha Penyedia ETP. Pasal 7 (1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan aspek keuangan. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut: 1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir; 2. tindak pidana kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan/atau 3. tindak pidana lainnya dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, yaitu tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika penyelundupan, atau kepabeanan, psikotropika, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, dan di bidang kelautan dan perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir, sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan d. tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang. (3) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. untuk anggota Dewan Komisaris: 1. memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan 2. memiliki pengalaman paling sedikit 2 (dua) tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor pasar keuangan. b. untuk anggota Direksi: 1. memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; 2. berpendidikan paling rendah setingkat sarjana strata 1; dan 3. memiliki pengalaman dan keahlian di bidang pasar keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di perusahaan yang bergerak di sektor pasar keuangan. (4) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet. BAB III PERSETUJUAN PRINSIP Bagian Kesatu Pengajuan Persetujuan Prinsip Pasal 8 (1) Pihak yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP diajukan paling sedikit oleh: a. satu anggota Direksi, dalam hal pihak yang mengajukan permohonan sudah berbadan hukum perseroan terbatas; atau b. satu calon pemegang saham, dalam hal pihak yang mengajukan permohonan belum berbadan hukum perseroan terbatas. (3) Contoh surat permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 9 Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta pendirian dan rancangan anggaran dasar, sebagai berikut: 1. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dalam hal pihak yang mengajukan permohonan sudah berbadan hukum perseroan terbatas; atau 2. rancangan akta pendirian dan rancangan anggaran dasar, dalam hal pihak yang mengajukan permohonan belum berbadan hukum perseroan terbatas, yang menunjukkan bahwa tujuan pendirian perseroan terbatas khusus untuk menyediakan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing; b. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan data pemegang saham sebagai berikut: 1. dalam hal pemegang saham merupakan badan hukum: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan b) daftar susunan pemegang saham; dan/atau 2. dalam hal pemegang saham merupakan perseorangan: a) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; dan b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; c. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi dengan: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; 2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; dan 3. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling rendah setingkat sarjana strata 1; d. rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; e. rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break- even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi, yang mencakup maksimal nominal transaksi dan minimal nominal transaksi; 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa, yang terdiri atas biaya berlangganan (subscription fee), biaya per transaksi, atau biaya lainnya; dan 5) calon Pengguna Jasa; dan 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan f. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan. Bagian Kedua Pemrosesan Persetujuan Prinsip Pasal 10 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, pihak yang mengajukan permohonan dianggap telah membatalkan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP. Pasal 11 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP melalui surat paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 12 (1) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai Penyedia ETP sebelum mendapatkan izin usaha sebagai Penyedia ETP dari Bank Indonesia. (2) Pihak yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP harus mengajukan permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP kepada Bank Indonesia paling lambat 270 (dua ratus tujuh puluh) hari kalender sejak tanggal surat persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP diterbitkan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP belum mengajukan permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP, persetujuan prinsip sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dinyatakan tidak berlaku. BAB IV IZIN USAHA Bagian Kesatu Pengajuan Izin Usaha Pasal 13 (1) Surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (2) Contoh surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 14 Surat permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, yang menunjukkan bahwa tujuan pendirian perseroan terbatas khusus untuk menyediakan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing; b. fotokopi bukti pemenuhan modal disetor menjadi paling sedikit Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) ke rekening Penyedia ETP; c. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana pelaksanaan transaksi; d. daftar kepemilikan saham, yang dilengkapi dengan surat pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham Pengendali yang menyatakan bahwa yang bersangkutan: 1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a; 2. berkomitmen untuk mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; 3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; 4. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyedia ETP dan/atau Penyelenggara Transaksi lainnya; 5. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering); 6. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet; dan 7. memiliki kemampuan keuangan yang dapat mendukung perkembangan kegiatan usaha Penyedia ETP, sebagaimana contoh surat pernyataan Pemegang Saham Pengendali dalam Lampiran I; e. susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, yang dilengkapi dengan surat pernyataan dari masing- masing anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan: 1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a; 2. berkomitmen untuk mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; 3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan 4. tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet, f. sebagaimana contoh surat pernyataan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi dalam Lampiran I; struktur organisasi dan sumber daya manusia ; g. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break- even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi, yang mencakup maksimal nominal transaksi dan minimal nominal transaksi; 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa, yang terdiri atas biaya berlangganan (subscription fee), biaya per transaksi, atau biaya lainnya; dan 5) calon Pengguna Jasa; 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; 3. rencana pengembangan jenis produk; 4. rencana pengembangan sistem; dan 5. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; h. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif dan tata kelola yang baik; dan i. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan. Bagian Kedua Pemrosesan Izin Usaha Pasal 15 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada pihak yang mengajukan permohonan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Pihak yang mengajukan permohonan harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan pihak yang mengajukan permohonan belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, pihak yang mengajukan permohonan dianggap telah membatalkan permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Penyedia ETP. Pasal 16 Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi pihak yang mengajukan permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional. Pasal 17 (1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagai Penyedia ETP melalui surat paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Izin sebagai Penyedia ETP memuat informasi yang meliputi: a. jenis sarana pelaksanaan transaksi; dan b. jenis instrumen dan/atau jenis transaksi yang dapat diselenggarakan oleh Penyedia ETP. (3) Bank Indonesia memublikasikan Penyedia ETP yang telah memperoleh izin usaha sebagai Penyedia ETP pada laman resmi Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Penyedia ETP harus mulai melakukan kegiatan usaha paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal izin usaha sebagai Penyedia ETP diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Penyedia ETP harus melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyedia ETP belum melakukan kegiatan usaha, Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin usaha sebagai Penyedia ETP. BAB V PENGGUNA JASA Pasal 19 (1) Penyedia ETP mempertemukan Pengguna Jasa yang melakukan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. (2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pelaku Pasar yang terdiri atas: a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau b. Pelaku Pasar Valuta Asing. (3) Pelaku Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang menggunakan jasa Penyedia ETP yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia. BAB VI SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI Pasal 20 (1) Sarana pelaksanaan transaksi yang disediakan oleh Penyedia ETP memiliki fungsi paling sedikit untuk: a. pemantauan harga, nilai tukar, dan/atau suku bunga terbaik dan terkini; dan b. memublikasikan order dan kuotasi. (2) Selain memiliki fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sarana pelaksanaan transaksi Penyedia ETP harus memiliki salah satu fungsi untuk: a. pelaksanaan negosiasi; b. pelaksanaan konfirmasi transaksi; c. pelaksanaan eksekusi transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; atau d. pelaksanaan lelang secara langsung dan/atau tidak langsung. BAB VII JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI Pasal 21 Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan oleh Penyedia ETP mencakup: a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan prinsip syariah; b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau valuta asing termasuk dengan prinsip syariah; c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap, forward, dan option valuta asing terhadap rupiah; d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB VIII PERUBAHAN JENIS SARANA PELAKSANAAN TRANSAKSI, JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI, SISTEM ELEKTRONIK, STRUKTUR KEPEMILIKAN, NAMA BADAN USAHA, SUSUNAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS, DAN SUSUNAN ANGGOTA DIREKSI Bagian Kesatu Perubahan Jenis Sarana Pelaksanaan Transaksi, Jenis Instrumen dan/atau Transaksi, dan Sistem Elektronik Pasal 22 Penyedia ETP wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas: a. b. layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi; jenis instrumen dan/atau transaksi; dan c. Sistem Elektronik secara signifikan yang menimbulkan risiko terganggunya transaksi Pengguna Jasa. Pasal 23 Penyedia ETP yang mengajukan permohonan perubahan layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk mendukung perubahan jenis sarana pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi; b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama sejak rencana perubahan jenis sarana pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; dan 2. potensi ekonomi; c. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif; d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan e. memenuhi persyaratan administrasi lainnya. Pasal 24 (1) Surat permohonan perubahan jenis sarana pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan keamanan infrastruktur untuk mendukung perubahan atas layanan berupa sarana pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi berupa: 1. keterangan mengenai perubahan jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana pelaksanaan transaksi; dan 2. b. hasil audit teknologi informasi terkini sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; rencana bisnis yang telah diperbarui untuk 2 (dua) tahun pertama sejak rencana perubahan yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break-even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi, yang mencakup maksimal nominal transaksi dan minimal nominal transaksi; 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa, yang terdiri atas biaya berlangganan (subscription fee), biaya per transaksi, atau biaya lainnya; dan 5) calon Pengguna Jasa; dan 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; c. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko teknologi informasi yang efektif; d. hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan e. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan. (2) Surat permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan jenis sarana pelaksanaan transaksi dan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 25 (1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c harus melaporkan rencana perubahan Sistem Elektronik paling lambat 1 (satu) tahun sebelum implementasi perubahan kepada Bank Indonesia. (2) Penyedia ETP wajib menyampaikan surat permohonan perubahan Sistem Elektronik kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum implementasi perubahan. (3) Surat permohonan perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik; b. c. persyaratan administratif lainnya. (4) Surat permohonan perubahan analisis mitigasi risiko perubahan Sistem Elektronik; dan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (5) Contoh surat permohonan perubahan Sistem Elektronik sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 26 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Penyedia ETP untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Penyedia ETP harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Penyedia ETP belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Penyedia ETP dianggap telah membatalkan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 27 Bank Indonesia dapat melakukan kunjungan ke lokasi Penyedia ETP (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional atas perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 28 (1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 melalui surat paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Penyedia ETP harus melaporkan realisasi atas perubahan jenis sarana pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dan perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah dilakukan implementasi perubahan. Bagian Kedua Perubahan Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha, Susunan Anggota Dewan Komisaris, dan Susunan Anggota Direksi Pasal 29 Penyedia ETP wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas: a. struktur kepemilikan badan usaha yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian Penyedia ETP; b. nama badan usaha; dan c. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi. Pasal 30 (1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan struktur kepemilikan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. rancangan kepemilikan saham; b. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai perubahan struktur kepemilikan badan usaha; dan c. dalam hal terdapat calon pemegang saham baru, dokumen pendukung dilengkapi dengan data calon pemegang saham baru sebagai berikut: 1. untuk calon pemegang saham baru yang merupakan badan hukum: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan b) daftar susunan pemegang saham; dan 2. untuk calon pemegang saham baru yang merupakan perseorangan: a) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; dan c) surat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan struktur kepemilikan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 31 (1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan nama badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa fotokopi akta perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan nama badan usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 32 (1) Penyedia ETP yang akan melakukan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; b. data calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi dengan: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; 2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; dan 3. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling rendah setingkat sarjana strata 1; dan c. surat pernyataan dari masing-masing calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 33 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Penyedia ETP untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Penyedia ETP harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Penyedia ETP belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Penyedia ETP dianggap telah membatalkan permohonan perubahan. Pasal 34 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 melalui surat paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 35 (1) Penyedia ETP harus melakukan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf c paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal surat persetujuan diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Penyedia ETP harus melaporkan pelaksanaan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf c paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan perubahan. (3) Penyedia ETP yang telah mendapatkan persetujuan untuk melakukan perubahan struktur kepemilikan badan usaha menyampaikan perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang kepada Bank Indonesia. BAB IX AKSI KORPORASI Pasal 36 Penyedia ETP yang melakukan aksi korporasi berupa: a. Penggabungan; b. Peleburan; c. Pengambilalihan; dan/atau d. Pemisahan, wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Penyedia ETP yang melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan aksi korporasi diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Surat permohonan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: a. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan aksi korporasi; b. target waktu aksi korporasi; c. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, dalam hal terdapat perubahan struktur kepemilikan saham akibat aksi korporasi; d. surat pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e, dalam hal terdapat perubahan Pemegang Saham Pengendali; dan e. rancangan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dilengkapi dengan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dan surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f, dalam hal terdapat perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi. (4) Contoh surat permohonan aksi korporasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 38 Dalam hal Penyedia ETP melakukan aksi korporasi berupa: a. Penggabungan, maka: 1. Penyedia ETP yang bukan merupakan hasil Penggabungan mengajukan surat permohonan pencabutan izin sebagai Penyedia ETP; dan 2. Penyedia ETP hasil Penggabungan (surviving company) tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha kembali; b. Peleburan, maka: 1. masing-masing Penyedia ETP yang meleburkan diri, mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai Penyedia ETP kepada Bank Indonesia; dan 2. Penyedia ETP yang merupakan hasil Peleburan mengajukan permohonan izin sebagai Penyedia ETP kepada Bank Indonesia; c. Pengambilalihan, maka Penyedia ETP yang merupakan hasil Pengambilalihan tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha kembali; atau d. Pemisahan, maka: 1. Penyedia ETP yang melakukan Pemisahan murni, mengajukan permohonan pencabutan izin sebagai Penyedia ETP kepada Bank Indonesia; 2. Penyedia ETP yang melakukan Pemisahan tidak murni tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai Penyedia ETP tanpa mengajukan izin usaha kembali; dan 3. perseroan hasil Pemisahan wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP. Pasal 39 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan aksi korporasi melalui surat paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 40 Penyedia ETP harus mulai melakukan aksi korporasi paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal persetujuan aksi korporasi diterbitkan oleh Bank Indonesia. BAB X KEWAJIBAN DAN LARANGAN Bagian Kesatu Penyampaian Informasi Pasal 41 (1) Penyedia ETP wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal: a. b. terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional; terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan oleh Pengguna Jasa; c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai Penyedia ETP; d. terjadi perselisihan antara Penyedia ETP dengan Pengguna Jasa; e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam dan/atau di luar negeri; f. terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah disepakati antara Penyedia ETP dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas yang berwenang di dalam dan/atau di luar negeri; dan/atau g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah kejadian. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian. Pasal 42 (1) Dalam hal terdapat anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang terbukti tidak dapat menjalankan fungsinya atau berhalangan tetap, Penyedia ETP wajib menyampaikan informasi tersebut kepada Bank Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan surat permohonan persetujuan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c. anggota Direksi Bagian Kedua Pemeliharaan Total Ekuitas Pasal 43 (1) Penyedia ETP wajib memelihara total ekuitas paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan total ekuitas yang tercantum dalam laporan keuangan triwulanan dan/atau laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. Pasal 44 (1) Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) harus menyampaikan rencana penambahan kekurangan total ekuitas kepada Bank Indonesia yang paling sedikit meliputi: a. mekanisme dan tahapan pemenuhan ekuitas; b. sumber dana untuk pemenuhan ekuitas; dan c. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia. (3) Rencana penambahan kekurangan total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Bagian Ketiga Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia Pasal 45 Sistem Elektronik dari Penyedia ETP wajib terkoneksi dengan sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Keempat Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko Pasal 46 Penyedia ETP wajib menerapkan prinsip kehati-hatian yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit memuat: a. pedoman etika bisnis sebagai Penyedia ETP; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan d. perlindungan konsumen. Pasal 47 (1) Penyedia ETP wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif, yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit memuat: a. perencanaan keberlangsungan bisnis; b. rencana pemulihan bencana; dan c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan. (2) Perencanaan keberlangsungan bisnis ebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rencana pemulihan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. bersifat fleksibel untuk dapat merespons berbagai skenario gangguan yang sifatnya tidak terduga dan spesifik, yaitu gambaran kondisi tertentu dan tindakan yang dibutuhkan segera; b. pengujian dan evaluasi rencana keberlangsungan bisnis secara berkala; dan c. kebijakan dan prosedur rencana keberlangsungan bisnis harus didokumentasikan secara memadai dan dikomunikasikan kepada seluruh pegawai. (3) Jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuktikan dengan adanya kebijakan, standar, dan prosedur yang paling sedikit meliputi: a. pengukuran kinerja dan perencanaan kapasitas jaringan (performance and capacity planning); b. pengamanan jaringan komunikasi (network access control); c. change management (setting, configuration, and testing); d. network management, network logging, dan network monitoring; e. penggunaan internet, intranet, surat elektronik, dan wireless termasuk mekanisme penggunaan jaringan komunikasi; f. prosedur penanganan masalah (problem handling); dan g. fasilitas rekam cadang (back up) dan pemulihan (recovery). Pasal 48 Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa, Penyedia ETP wajib memiliki buku pedoman (rule book) yang paling sedikit memuat: a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi; b. mekanisme penyelesaian sengketa; c. tata cara pendaftaran Pengguna Jasa; d. tata cara penghentian layanan kepada Pengguna Jasa; dan e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa. Bagian Kelima Larangan Pasal 49 Penyedia ETP dilarang: a. memberikan jasa di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang tidak sesuai dengan izin Bank Indonesia; b. memberikan saran dan/atau nasihat investasi; c. melakukan transaksi atas namanya sendiri dan/atau dananya sendiri; d. melakukan transaksi atas nama pemegang saham dan/atau dana pemegang saham; e. melakukan penyelesaian transaksi atau setelmen untuk Pengguna Jasa; f. memberikan informasi nama Pengguna Jasa sebelum transaksi disepakati; dan/atau g. melakukan publikasi atas informasi yang bukan didasarkan atas informasi Pengguna Jasa yang akan melakukan transaksi. Pasal 50 Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi lainnya. Bagian Keenam Tata Cata Pelaporan Pasal 51 (1) Penyedia ETP wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. b. laporan berkala; dan laporan insidental. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. laporan transaksi bulanan; b. laporan keuangan triwulanan; c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit; dan d. laporan audit sistem. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1). Pasal 52 (1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a memuat informasi volume instrumen dan/atau transaksi yang dilakukan melalui Penyedia ETP dan disampaikan setiap bulan paling lambat 14 (empat belas) Hari Kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b memuat posisi keuangan akhir triwulan dan disampaikan setiap triwulan paling lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja setelah berakhirnya periode laporan triwulanan. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf c memuat posisi keuangan tahunan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya periode laporan tahunan. (4) Laporan audit sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf d memuat laporan hasil audit sistem informasi dari auditor independen eksternal atau internal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja sejak hasil audit sistem diterbitkan. (5) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 53 (1) Penyedia ETP menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara online atau offline. (2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyedia ETP dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan secara online. (3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disampaikan secara offline. BAB XI PENGAWASAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengawasan Pasal 54 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyedia ETP meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan kerja sama dengan Penyedia ETP. (3) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Penyedia ETP, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. Pasal 55 (1) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b. (2) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan Pasal 56 Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b, petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan yang memuat tujuan pemeriksaan, objek pemeriksaan atau informasi lainnya. Bagian Kedua Pencabutan Izin Berdasarkan Hasil Evaluasi Pasal 57 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang diberikan kepada Penyedia ETP berdasarkan hasil pengawasan dan informasi dari otoritas lain. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin Penyedia ETP berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XII TATA CARA PENCABUTAN IZIN DI LUAR PENGENAAN SANKSI Pasal 58 Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Penyedia ETP dalam hal: a. Penyedia ETP dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; atau b. adanya permintaan pemegang saham Penyedia ETP. Bagian Kesatu Penyedia ETP Dinyatakan Pailit Pasal 59 Dalam hal Penyedia ETP dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, Bank Indonesia mengeluarkan surat pencabutan izin usaha Penyedia ETP. Bagian Kedua Permintaan Pemegang Saham Penyedia ETP Pasal 60 (1) Penyedia ETP yang akan mengajukan permohonan pencabutan izin usaha karena adanya permintaan pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b menyampaikan surat permohonan pencabutan izin usaha kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan pencabutan izin usaha diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota Direksi. (3) Surat permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan penutupan Penyedia ETP; b. laporan keuangan terakhir; c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada pihak lain yang meliputi penyelesaian kewajiban kepada kreditur, pembayaran gaji terutang, pembayaran biaya kantor, pajak terutang, dan biaya lain yang relevan; dan d. surat pernyataan bahwa Penyedia ETP akan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku termasuk Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas, Undang-Undang yang mengatur mengenai perpajakan, dan Undang- Undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. (4) Contoh surat permohonan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. Pasal 61 Bank Indonesia menerbitkan surat pencabutan izin usaha Penyedia ETP paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. BAB XIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Pasal 62 (1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pelaku Pasar, dan/atau Penyedia ETP melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pelaku Pasar, dan/atau Penyedia ETP yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran atas ketentuan yang sama dari Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Penyedia ETP. (3) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran dengan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Penyedia ETP. (4) Dalam hal Penyedia ETP yang terkena sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak melakukan penghentian usaha paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal surat sanksi penghentian sementara, Bank Indonesia mencabut izin usaha Penyedia ETP tersebut. Bagian Kedua Sanksi Kewajiban Pemeliharaan Total Ekuitas Pasal 63 (1) Dalam hal Penyedia ETP melakukan pelanggaran terhadap kewajiban pemeliharaan total ekuitas, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Penyedia ETP yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Penyedia ETP dengan total ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak memenuhi kekurangan total ekuitas tersebut dalam waktu 2 (dua) tahun, Bank Indonesia mencabut izin usaha Penyedia ETP. Bagian Ketiga Sanksi Pemegang Saham Pengendali Pasal 64 (1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi lainnya, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Pemegang Saham Pengendali yang melanggar kewajiban untuk mengalihkan kepemilikan sahamnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat teguran tertulis. (2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Penyedia ETP dan Penyelenggara Transaksi lainnya tersebut. (3) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia mencabut izin usaha Penyedia ETP dan Penyelenggara Transaksi lainnya tersebut. BAB XIV KORESPONDENSI Pasal 65 (1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait perizinan dan pengaturan disampaikan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat Surat elektronik: [email protected]. (2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait pelaporan disampaikan kepada: Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 66 (1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Penyedia ETP dan telah beroperasi sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap dapat melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib memenuhi persyaratan perizinan paling lambat tanggal 31 Oktober 2022. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan Bank Indonesia dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan kegiatan sebagai Penyedia ETP. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 67 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 31 Oktober 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/19/PADG/2019 TENTANG PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM I. UMUM Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Peran Penyedia ETP di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing semakin penting untuk mencapai hal tersebut. Sebagai perantara dari transaksi antar Pelaku Pasar, Penyedia ETP juga dituntut untuk bekerja secara profesional dan berhati-hati sehingga dapat mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Penyedia ETP. Huruf b Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Penyedia ETP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œinfrastruktur yang andal dan amanโ€ antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf e Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. Huruf f Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan sistem dan aspek lainnya yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Contoh: Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Angka 2 Contoh: Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 2009. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Angka 3 Contoh: Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Contoh: Tuan A calon anggota Direksi dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi anggota Direksi Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Angka 2 Contoh: Tuan A calon anggota Dewan Komisaris dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 2009. Tuan A baru dapat menjadi anggota Dewan Komisaris Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Angka 3 Contoh: Tuan A calon anggota Dewan Komisaris dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada bulan Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi anggota Dewan Komisaris Penyedia ETP pada bulan Juni 2019. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Penyedia ETP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œjenis sarana pelaksanaan transaksiโ€ adalah sarana berupa ETP dan/atau Messaging Services. Yang dimaksud dengan โ€œspesifikasi sarana pelaksanaan transaksiโ€ adalah deskripsi teknis atas perangkat yang digunakan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Penyedia ETP dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dalam valuta asing. Huruf b Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Huruf c Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow. Huruf d Instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga komersial (commercial paper) berbentuk scripless. Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. Huruf e Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas terkait. Pasal 22 Huruf a Contoh melakukan perubahan atas layanan berupa jenis sarana pelaksanaan transaksi yaitu: Penyedia ETP yang menggunakan sarana pelaksanaan transaksi berupa ETP ingin menambah sarana pelaksanaan transaksi berupa messaging services. Huruf b Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau transaksi yaitu: Penyedia ETP yang menyelenggarakan transaksi spot ingin menambah layanannya untuk transaksi swap. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œperubahan Sistem Elektronik secara signifikanโ€ adalah perubahan Sistem Elektronik yang bersifat mendasar, struktural, dan berbiaya tinggi sehingga berpotensi mengganggu kelancara transaksi Pengguna Jasa, misalnya Penyedia ETP melakukan perubahan atas operating system. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Aksi korporasi berupa Pemisahan dapat dilakukan dengan cara Pemisahan murni atau Pemisahan tidak murni. Yang dimaksud dengan โ€œPemisahan murniโ€ adalah Pemisahan yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum ke 2 (dua) atau lebih perseroan lain yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. Yang dimaksud dengan โ€œPemisahan tidak murniโ€ adalah Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum ke 1 (satu) atau lebih perseroan lain yang menerima peralihan, dan perseroan yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œmanipulasi pasarโ€ antara lain: 1. layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang berlawanan; 2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai tukar; 3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang diinginkan; 4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas di pasar; atau 5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi, dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri. Huruf b Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional antara lain: 1. Penyedia ETP melakukan pemeliharaan sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau 2. Penyedia ETP mengalami gangguan koneksi dan/atau serangan virus, sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan sanksi yaitu: Penyedia ETP yang merupakan perusahaaan global dan beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi sanksi oleh otoritas negara lain maka Penyedia ETP wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf f Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain meliputi data transaksi domestik. Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu: Penyedia ETP yang merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar domestik kepada otoritas negara lain maka Penyedia ETP wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental, dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtotal ekuitasโ€ antara lain modal disetor ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Sistem Bank Indonesia antara lain Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah (Sismontavar). Infrastruktur lain yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain central counterparty (CCP). Pasal 46 Huruf a Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau Bank for International Settlement (BIS). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œperencanaan keberlangsungan bisnisโ€ adalah kebijakan dan prosedur yang memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar kegiatan operasional Penyedia ETP dan pelayanan kepada Pengguna Jasa tetap dapat berjalan. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrencana pemulihan bencanaโ€ adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data, perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar Penyedia ETP dapat menjalankan kegiatan operasional yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud โ€œstruktur biayaโ€ adalah biaya yang dikenakan tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama kepada semua pengguna jasa. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Contoh: Laporan transaksi bulan Januari 2020 disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Februari 2020. Ayat (2) Contoh: Laporan keuangan triwulan I tahun 2020 disampaikan paling lambat pada tanggal 29 April 2020. Ayat (3) Contoh: Laporan keuangan tahun 2019 disampaikan paling lambat pada tanggal 30 April 2020. Ayat (4) Contoh: Laporan hasil audit sistem diterbitkan oleh auditor pada tanggal 31 Maret 2020. Penyedia ETP menyampaikan laporan hasil audit sistem paling lambat pada tanggal 29 April 2020. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau teknologi informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pencabutan izin dapat dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain dalam hal Penyedia ETP memberikan jasa lain selain menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan interaksi dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Jangka waktu 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal posisi keuangan menunjukkan ekuitas di bawah Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/19/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PENYEDIA ELECTRONIC TRADING PLATFORM </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2019 </set_date> <effective_date> 31 Oktober 2019 </effective_date> <related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 11 /PADG/2019 TENTANG BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA- REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penyediaan sarana penyelesaian transaksi yang semakin besar dengan biaya yang semakin efisien, perlu dilakukan penyesuaian batas maksimal nilai nominal transaksi yang dapat diproses melalui penyelenggaraan layanan transfer dana dan layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Batas Nilai Nominal Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan 2 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/8/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6355); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan 3 termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 3. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. 4. Penyelenggara adalah Bank Indonesia sebagai penyelenggara Sistem BI-RTGS dan penyelenggara SKNBI. 5. Peserta Sistem BI-RTGS adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. 6. Peserta SKNBI adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan SKNBI. 7. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 8. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 4 BAB II BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BI-RTGS Pasal 2 (1) Penyelenggara menetapkan batas minimal nilai nominal transaksi antar-Peserta Sistem BI-RTGS berupa Bank untuk kepentingan nasabah. (2) Batas minimal nilai nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk transaksi transfer dana single credit dan transaksi transfer dana multiple credit. (3) Batas minimal nilai nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per instruksi Setelmen Dana. BAB III BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SKNBI Pasal 3 (1) Penyelenggara menetapkan batas maksimal nilai nominal transaksi yang diproses melalui layanan SKNBI. (2) Batas maksimal nilai nominal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. untuk layanan transfer dana yaitu paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per DKE transfer dana; b. untuk layanan kliring warkat debit yaitu paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per DKE warkat debit; c. untuk layanan pembayaran reguler yaitu paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per rincian DKE pembayaran; dan d. untuk layanan penagihan reguler yaitu paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per rincian DKE penagihan. 5 BAB IV PENGUMUMAN Pasal 4 (1) Seluruh Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI harus mengumumkan batas nilai nominal transaksi yang diproses melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI kepada nasabah. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menempatkan informasi mengenai batas nilai nominal transaksi pada setiap kantor Peserta Sistem BI-RTGS dan Peserta SKNBI pada tempat yang mudah dilihat oleh nasabah. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 5 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/35/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Batas Nilai Nominal Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2019. 6 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 11 /PADG/2019 TENTANG BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA- REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penyelesaian transaksi keuangan yang semakin besar dengan biaya yang semakin efisien. Untuk itu, Bank Indonesia menetapkan kebijakan meningkatkan batas atas penyelesaian transaksi layanan transfer dana dan layanan pembayaran reguler dalam penyeleggaraan transfer dana dan kliring berjadwal. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. 2 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œlayanan transfer danaโ€ adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. Yang dimaksud dengan โ€œDKE transfer danaโ€ adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan transfer dana. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œlayanan kliring warkat debitโ€ adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik warkat debit. Yang dimaksud dengan โ€œDKE warkat debitโ€ adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan kliring warkat debit. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œlayanan pembayaran regulerโ€ adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. Yang dimaksud dengan โ€œDKE pembayaranโ€ adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan pembayaran reguler. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œlayanan penagihan regulerโ€ adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta SKNBI dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 3 Yang dimaksud dengan โ€œDKE penagihanโ€ adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan penagihan reguler. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/11/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> BATAS NILAI NOMINAL TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DAN SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 1 September 2019 </effective_date> <replaced_reg> '17/35/DPSP|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '17/9/PBI/2015', '19/14/PBI/2017', '21/8/PBI/2019' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran serta pelaksanaan fungsi sebagai pemegang kas Pemerintah, Bank Indonesia melaksanakan penatausahaan rekening giro; b. bahwa untuk pelaksanaan penatausahaan rekening giro yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tetap mengutamakan penerapan prinsip tata kelola yang baik, perlu diperjelas pengaturan mengenai pihak yang dapat membuka rekening giro dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemilik rekening giro; dan c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rekening Giro di Bank Indonesia; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro di Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 416, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 5832). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 3. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah. 4. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing. 5. Rekening Giro Khusus adalah Rekening Giro yang persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan, penutupan, dan/atau peruntukannya ditetapkan secara khusus oleh Bank Indonesia. 3 6. Pemilik Rekening Giro adalah pihak yang mempunyai Rekening Giro. 7. Pimpinan adalah direksi atau pejabat yang berwenang mewakili Pemilik Rekening Giro sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi Pemilik Rekening Giro. 8. Pejabat Penerima Kuasa adalah pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan. 9. Pejabat yang Mewakili adalah pejabat yang berwenang mewakili Pemilik Rekening Giro untuk melakukan penarikan dana, penandatangan surat, dan/atau kegiatan yang terkait dengan Rekening Giro, yang dapat terdiri atas Pimpinan dan/atau Pejabat Penerima Kuasa. 10. Cek Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Cek BI adalah cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 11. Bilyet Giro Bank Indonesia yang selanjutnya disebut BG BI adalah bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 12. Penyetoran ke Rekening Giro adalah kegiatan penambahan dana atau pengkreditan pada Rekening Giro. 13. Penarikan dari Rekening Giro adalah kegiatan pengurangan dana atau pendebitan pada Rekening Giro. 14. Penatausahaan Rekening Giro adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, penyelesaian transaksi melalui pendebitan dan pengkreditan, dan pelaporan hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro. 15. Rekening Koran adalah laporan yang memuat posisi dan mutasi atas transaksi yang terjadi pada Rekening Giro. 4 BAB II KEPEMILIKAN REKENING GIRO Bagian Kesatu Rekening Giro Pasal 2 (1) Pihak yang dapat memiliki Rekening Giro terdiri atas: a. pihak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk memiliki rekening di Bank Indonesia yaitu: 1. Bank; 2. Kementerian Keuangan; dan 3. lembaga atau pihak lain; b. pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro yaitu: 1. instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan; 2. lembaga keuangan internasional; 3. bank sentral negara lain; dan 4. pihak lain. (2) Penetapan pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: a. memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; b. memiliki hubungan kerja sama internasional dengan Bank Indonesia secara bilateral atau multilateral; dan/atau c. memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia. 5 Pasal 3 Rekening Giro terdiri atas: a. Rekening Giro Rupiah; b. Rekening Giro Valas; dan c. Rekening Giro Khusus. Pasal 4 (1) Setiap Bank wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah. (2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Valas. (3) Bank dapat memiliki Rekening Giro dan/atau Rekening Giro Khusus selain Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sepanjang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Anggota Gubernur ini. (4) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain memiliki kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Rupiah yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (5) Bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang melakukan kegiatan dalam valuta asing, selain memiliki kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, juga wajib memiliki 1 (satu) Rekening Giro Valas yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. 6 Pasal 5 Setiap Rekening Giro hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pihak. Bagian Kedua Rekening Giro Khusus Pasal 6 (1) Rekening Giro Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri atas: a. escrow account; b. rekening khusus; dan c. Rekening Giro Khusus lainnya. (2) Bank dan Kementerian Keuangan dapat memiliki Rekening Giro Khusus berupa escrow account dan Rekening Giro Khusus lainnya. (3) Rekening khusus hanya dapat dimiliki oleh Kementerian Keuangan. BAB III PEMBUKAAN REKENING GIRO Bagian Kesatu Pembukaan Rekening Giro Pasal 7 (1) Bank Indonesia membuka Rekening Giro berdasarkan permohonan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Permohonan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi: 1. pihak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk memiliki Rekening Giro di Bank Indonesia; dan 2. pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro berupa instansi 7 pemerintah di luar Kementerian Keuangan dan pihak lain, permohonan diajukan oleh Pejabat yang Mewakili. b. bagi pihak yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro berupa lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain, permohonan diajukan oleh Pimpinan lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain yang bersangkutan. (3) Permohonan pembukaan Rekening Giro oleh Bank dilakukan oleh kantor pusat Bank yang bersangkutan. (4) Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, permohonan pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh kantor cabang Bank tersebut di Indonesia. (5) Permohonan pembukaan Rekening Giro oleh lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain, selain dapat dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, juga dapat dilakukan oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain tersebut. Pasal 8 (1) Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Bank diajukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans dan stabilitas sistem keuangan di Bank Indonesia. (2) Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk pihak selain Bank diajukan kepada: a. satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI); atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) untuk pembukaan Rekening Giro di KPwBI. 8 (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 9 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) harus disertai dengan dokumen berupa: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi surat persetujuan izin usaha dari otoritas yang berwenang, yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; c. fotokopi surat keputusan dari otoritas yang berwenang mengenai pembukaan kantor cabang Bank asing, bagi kantor cabang Bank asing; d. fotokopi surat persetujuan pembukaan unit usaha syariah, bagi Bank konvensional yang akan membuka Rekening Giro untuk unit usaha syariah; e. fotokopi anggaran dasar Bank yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; f. surat kuasa untuk membuka Rekening Giro dari kantor pusat Bank asing kepada Pimpinan kantor cabang Bank asing, yang dibuat dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang Bank asing; g. struktur organisasi Bank; h. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa: 1. kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), atau paspor bagi warga negara Indonesia (WNI); dan/atau 9 2. paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari instansi yang berwenang, bagi warga negara asing (WNA); i. j. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama Bank; dan fotokopi surat peningkatan status Bank menjadi Bank Devisa yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang, bagi Bank yang akan membuka Rekening Giro Valas. Pasal 10 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk Kementerian Keuangan, instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan yang berkantor pusat di Jakarta, dan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa: a. fotokopi surat keputusan Presiden, surat keputusan menteri, atau surat keputusan pejabat yang berwenang mengenai pengangkatan Pimpinan, yang dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau paspor; c. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan dengan mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. surat kuasa dalam hal permohonan pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa Bendahara Umum Negara (BUN), dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik kementerian, negara, lembaga, kantor, atau satuan kerja; f. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang 10 merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan i. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan satu kesatuan dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa. Pasal 11 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa: a. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pendirian LPNK; b. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan mengenai penunjukan Pimpinan, yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; c. struktur organisasi LPNK; d. fotokopi NPWP atas nama LPNK, apabila ada; e. f. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau paspor; surat kuasa dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; 11 g. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa BUN, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik kementerian, negara, lembaga, kantor, atau satuan kerja; h. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; i. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; j. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; dan k. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa. Pasal 12 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa badan usaha milik negara (BUMN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi anggaran dasar, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; c. fotokopi bukti identitas Pimpinan, berupa: 1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau 2. paspor, KITAS, dan surat izin kerja dari instansi yang berwenang, bagi WNA; 12 d. fotokopi NPWP atas nama BUMN; e. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; f. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa BUN, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik kementerian, negara, lembaga, kantor, satuan kerja; g. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; h. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; i. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; dan j. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa. Pasal 13 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan yang berkantor pusat selain di Jakarta yaitu Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa: a. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan mengenai penunjukan Pimpinan, yang dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau paspor; c. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan dengan mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; 13 d. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD), dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUD; f. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; dan i. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa. Pasal 14 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan berupa badan usaha milik daerah (BUMD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen berupa: a. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan mengenai penunjukan Pimpinan, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa: 1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau 2. paspor, KITAS, dan surat izin kerja dari instansi berwenang, bagi WNA; c. fotokopi NPWP atas nama BUMD; d. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; 14 e. surat persetujuan pembukaan Rekening Giro dari kuasa BUD, dalam hal Rekening Giro dibuka oleh pihak selain kuasa BUD; f. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; g. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; h. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; dan i. surat kuasa substitusi dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh pihak yang menerima kuasa dari Pejabat Penerima Kuasa. Pasal 15 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen: a. fotokopi surat pengangkatan atau penunjukan sebagai Pimpinan, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa: 1. KTP, SIM, atau paspor, bagi WNI; dan/atau 2. paspor, KITAS, dan/atau surat izin kerja dari instansi yang berwenang, bagi WNA; c. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan, yang dibuat dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah; d. fotokopi perjanjian atau memorandum of understanding (MoU) antara Bank Indonesia dengan lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain, dalam hal terdapat perjanjian atau MoU antara Bank Indonesia 15 dengan lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain; dan e. surat kuasa atau surat permintaan resmi dari lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain kepada Bank Indonesia untuk dan atas nama lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain untuk melakukan pembukaan Rekening Giro atau dokumen lain, yang dapat dibuat dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah, dalam hal pembukaan Rekening Giro dilakukan oleh satuan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). Pasal 16 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk lembaga atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan diwajibkan untuk memiliki rekening di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dengan dokumen: a. fotokopi surat keputusan Presiden atau surat keputusan pejabat yang berwenang mengenai pengangkatan Pimpinan, yang dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; b. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau paspor; c. surat kuasa, dalam hal pembukaan Rekening Giro tidak dilakukan oleh Pimpinan; d. informasi mengenai nama Pemilik Rekening Giro dan informasi lain dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; e. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; dan f. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V. 16 Pasal 17 Permohonan pembukaan Rekening Giro untuk pihak lain yang menurut Bank Indonesia perlu memiliki Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) harus disertai dokumen: a. rekomendasi dari satuan kerja terkait di Bank Indonesia bahwa pihak lain tersebut perlu membuka Rekening Giro; b. fotokopi anggaran dasar pendirian institusi pihak lain tersebut, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; c. surat keputusan atau surat pengangkatan mengenai penunjukan Pimpinan, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; d. fotokopi bukti identitas Pimpinan berupa KTP, SIM, atau paspor; dan e. fotokopi NPWP atas nama pihak lain tersebut. Pasal 18 (1) Dalam hal Kementerian Keuangan dan instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan yang berkantor pusat di Jakarta telah memiliki Rekening Giro dan akan melakukan pembukaan Rekening Giro lain maka dokumen persyaratan pembukaan Rekening Giro dapat menggunakan dokumen yang masih ditatausahakan di Bank Indonesia sepanjang dokumen tersebut masih berlaku. (2) Pengajuan pembukaan Rekening Giro dapat disertai dengan permintaan penambahan persyaratan penarikan Rekening Giro berupa penandatanganan oleh lebih dari 1 (satu) Pejabat yang Mewakili. 17 Pasal 19 (1) Dalam hal diperlukan Bank Indonesia dapat meminta dokumen tambahan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 17. (2) Permintaan dokumen tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan penerapan prinsip kehati-hatian bagi Bank Indonesia. (3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipenuhi oleh pihak yang mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro. Pasal 20 Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permohonan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 21 (1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, lembaga atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 3, dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 4, diberikan dengan tahapan sebagai berikut: a. persetujuan prinsip; dan b. persetujuan akhir. (2) Bank Indonesia memberikan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila pihak yang mengajukan permohonan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 16, dan Pasal 17. (3) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima dokumen permohonan pembukaan Rekening Giro secara lengkap. 18 (4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. nomor dan nama Rekening Giro yang akan dibuka; dan b. kelengkapan dokumen yang masih harus dipenuhi untuk memperoleh persetujuan akhir. (5) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi: a. data Rekening Giro yang paling sedikit memuat nama dan alamat Pemilik Rekening Giro, nama Rekening Giro, nomor Rekening Giro dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; b. surat kuasa dalam hal Pejabat yang Mewakili merupakan Pejabat Penerima Kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI; c. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia yang ditandatangani oleh Pimpinan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; dan d. surat permintaan sarana penarikan Rekening Giro dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V. (6) Bank Indonesia memberikan persetujuan akhir secara tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) secara lengkap. (7) Persetujuan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (6) juga memuat informasi mengenai tanggal efektif pembukaan Rekening Giro. (8) Dalam hal kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka permohonan pembukaan Rekening Giro yang diajukan dinyatakan telah dibatalkan. 19 Pasal 22 (1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro terhadap Kementerian Keuangan dan instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14. (2) Bank Indonesia memberikan persetujuan pembukaan Rekening Giro secara tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima dokumen permohonan pembukaan Rekening Giro secara lengkap. persetujuan pembukaan Rekening Giro (3) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga memuat informasi mengenai tanggal efektif pembukaan Rekening Giro. Pasal 23 (1) Persetujuan pembukaan Rekening Giro terhadap lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 15. (2) Dalam hal permohonan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pimpinan lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain maka persetujuan oleh Bank Indonesia mengacu pada tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). (3) Penyampaian persetujuan prinsip pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) khusus untuk lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak Bank Indonesia menerima dokumen permohonan pembukaan Rekening Giro secara lengkap. (4) Waktu penyampaian persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang dengan pertimbangan untuk menjaga kepentingan nasional. 20 Pasal 24 Bank Indonesia menolak permohonan pembukaan Rekening Giro apabila: a. pihak yang mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro tidak memenuhi kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan; dan/atau b. Rekening Giro yang akan dibuka ditujukan untuk transaksi yang pada dasarnya dapat dilakukan dengan menggunakan Rekening Giro yang telah ada. Pasal 25 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan pembukaan Rekening Giro sebelum persyaratan dokumen dilengkapi apabila terdapat keadaan darurat. (2) Rekening Giro yang dibuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk transaksi kredit dan transaksi debit yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk pembebanan kewajiban dan/atau koreksi transaksi. (3) Dalam hal persyaratan dokumen telah dilengkapi maka Pemilik Rekening Giro dapat menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia berupa: a. layanan penyetoran, penarikan, dan administrasi terkait penatausahaan Rekening Giro; b. sarana warkat pembukuan untuk penyetoran dan penarikan Rekening Giro; c. sarana elektronik bagi Pemilik Rekening Giro tertentu; dan d. layanan data dan/atau informasi hasil penyelesaian transaksi Rekening Giro. 21 Bagian Kedua Pembukaan Rekening Giro Khusus Pasal 26 (1) Pembukaan Rekening Giro Khusus dilakukan dengan mengacu pada ketentuan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi mengenai tujuan pembukaan Rekening Giro Khusus. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan secara tertulis berdasarkan pertimbangan atas tujuan pembukaan Rekening Giro Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pengajuan pembukaan Rekening Giro Khusus dapat disertai dengan permintaan penambahan persyaratan penarikan Rekening Giro Khusus berupa persetujuan dari instansi tertentu. (5) Bentuk persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa penandatanganan oleh pejabat yang berwenang dari instansi tertentu tersebut pada sarana penarikan Rekening Giro Khusus. BAB IV KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMILIK REKENING GIRO Pasal 27 Pemilik Rekening Giro wajib untuk: a. menjaga kelancaran dan keamanan penggunaan sarana elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia; dan b. memberikan keterangan dan data kepada Bank Indonesia apabila diperlukan. 22 Pasal 28 (1) Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas: a. penatausahaan seluruh sarana penyetoran dan sarana penarikan yang diterima dari Bank Indonesia; b. kerugian yang terjadi akibat penyalahgunaan sarana penyetoran dan sarana penarikan yang diterima dari Bank Indonesia; dan c. kebenaran setiap instruksi pendebitan rekening dan seluruh informasi yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Pemilik Rekening Giro harus melakukan pengkinian terhadap dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia terkait Rekening Giro. BAB V SARANA PENYETORAN DAN SARANA PENARIKAN Pasal 29 (1) Penyetoran ke Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan: a. warkat penyetoran tunai; b. BG BI; c. sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia; dan d. sarana penyetoran lain. (2) Warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disediakan oleh Bank Indonesia meliputi: a. formulir surat setoran yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia, untuk Pemilik Rekening Giro bukan peserta sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (sistem BI-RTGS); dan b. formulir transaksi penyetoran tunai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana 23 seketika untuk Pemilik Rekening Giro peserta sistem BI-RTGS. (3) Penyetoran ke Rekening Giro dengan menggunakan warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan untuk Rekening Giro Rupiah. (4) Penyetoran ke Rekening Giro dengan menggunakan warkat penyetoran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan untuk Rekening Giro Valas. (5) Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. sistem BI-RTGS; b. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI); dan c. Sistem Bank Indonesia Government โ€“ electronic Banking (sistem BIG-eB). (6) Sarana penyetoran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu authenticated message Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Pasal 30 (1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan dengan menggunakan: a. Cek BI; b. BG BI; c. sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia; dan d. sarana penarikan lain. (2) Sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. sistem BI-RTGS; dan b. sistem BIG-eB. (3) Sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: 24 a. sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; b. sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro dan disetujui Bank Indonesia; dan c. sarana penarikan lain yang berlaku umum. (4) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi: a. warkat pembebanan rekening (WPR) untuk Pemilik Rekening Giro; dan b. sarana penarikan untuk transaksi penarikan internal Bank Indonesia. (5) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR digunakan untuk mendebit 1 (satu) Rekening Giro dan mengkredit 1 (satu) atau beberapa rekening penerima dana yang disebutkan dalam lampiran WPR. (6) Lampiran WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat: a. nomor dan nama Rekening Giro penerima dana atau nomor dan nama rekening penerima dana pada Bank; b. nominal penarikan dalam angka untuk setiap penerima dana; c. jumlah sub total maupun total nominal penarikan; dan d. tempat, tanggal, dan tanda tangan Pemilik Rekening Giro pada setiap halaman lampiran WPR. Pasal 31 Sarana penarikan Rekening Giro yang berbasis kertas berupa BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro, dan sarana penarikan yang diterbitkan oleh pemilik Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia, harus memenuhi persyaratan yang memuat paling sedikit: a. perintah pemindahan dana; b. nomor dan nama Rekening Giro yang didebit; 25 c. nomor dan nama Rekening Giro atau nomor dan nama rekening penerima dana di Bank yang dikredit; d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan e. tempat dan tanggal penarikan. BAB VI PENGGUNAAN SARANA PENYETORAN DAN SARANA PENARIKAN Bagian Kesatu Penggunaan BG BI dan Cek BI Pasal 32 (1) BG BI dan Cek BI diterbitkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk buku BG BI dan buku Cek BI. (2) Tata cara memperoleh buku BG BI dan buku Cek BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. bagi pihak yang baru pertama kali melakukan pembukaan Rekening Giro Rupiah, permintaan buku BG BI dan/atau buku Cek BI diajukan secara tertulis sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; b. bagi Pemilik Rekening Giro yang telah memperoleh buku BG BI dan/atau buku Cek BI, permintaan dilakukan dengan cara mengisi formulir yang terdapat dalam buku BG BI dan buku Cek BI; c. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; d. dalam hal formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b hilang atau rusak maka permintaan buku BG BI dan/atau buku Cek BI diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai alasannya; dan 26 e. pengambilan buku BG BI dan buku Cek BI dilakukan oleh Pejabat yang Mewakili atau pihak yang menerima kuasa dari Pejabat yang Mewakili, dengan menggunakan contoh surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 33 (1) BG BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b dan Pasal 30 ayat (1) huruf b digunakan hanya untuk pemindahan dana dalam rupiah yang dilakukan: a. antar-Rekening Giro; dan b. dari Rekening Giro ke rekening lain yang ditatausahakan di Bank Indonesia. (2) Dalam penggunaan BG BI berlaku ketentuan sebagai berikut: a. BG BI hanya akan dibayarkan apabila telah diisi secara lengkap sesuai dengan syarat formal bilyet giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai bilyet giro; b. penarikan dari Rekening Giro dengan menggunakan BG BI hanya dapat ditujukan kepada 1 (satu) Rekening Giro penerima dana atau rekening penerima dana pada Bank; c. BG BI diserahkan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia sesuai jadwal layanan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia; d. Bank Indonesia tidak memproses BG BI dalam hal: 1. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf; 2. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nominal dalam angka dan/atau huruf; dan 27 3. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nomor dan/atau nama rekening; e. kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d, Bank Indonesia memproses BG BI yang dikoreksi dengan cara: 1. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan; 2. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan 3. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; f. penulisan pada BG BI harus menggunakan alat atau bahan yang tidak dapat dihapus; g. Bank Indonesia menolak BG BI yang ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang spesimen tanda tangannya di Bank Indonesia sudah tidak berlaku; h. Pemilik Rekening Giro harus menyerahkan kepada Bank Indonesia lembar pertama buku BG BI yang telah ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia, sebelum BG BI digunakan; i. dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak menyerahkan lembar pertama buku BG BI sebagaimana dimaksud pada huruf h maka BG BI tersebut tidak dapat digunakan untuk melakukan penarikan atas Rekening Giro Rupiah; j. Bank Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Pemilik Rekening Giro karena ketidaklengkapan dalam pengisian BG BI yang kemudian dilengkapi oleh pihak lain; dan k. Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas penggunaan tiap lembar BG BI oleh pihak yang tidak berhak serta segala akibat yang ditimbulkan atas penggunaan tersebut. 28 Pasal 34 (1) Cek BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a hanya dapat digunakan untuk keperluan penarikan tunai atas beban Rekening Giro Rupiah. (2) Penggunaan Cek BI diatur sebagai berikut: a. Cek BI hanya akan dibayarkan apabila telah diisi secara lengkap sesuai dengan syarat formal cek sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang (KUHD); b. Cek BI diserahkan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang di Bank Indonesia sesuai jadwal layanan kas yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia; c. Bank Indonesia tidak memproses Cek BI dalam hal: 1. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf; 2. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nominal dalam angka dan/atau huruf; dan 3. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nomor dan/atau nama rekening; d. kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Bank Indonesia memproses Cek BI yang dikoreksi dengan cara: 1. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan; 2. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan 3. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; e. penulisan pada Cek BI harus menggunakan alat atau bahan yang tidak dapat dihapus; 29 f. Bank Indonesia menolak Cek BI yang ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang spesimen tanda tangannya di Bank Indonesia sudah tidak berlaku; g. Pemilik Rekening Giro harus menyerahkan kepada Bank Indonesia lembar pertama buku Cek BI yang telah ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia, sebelum Cek BI digunakan; h. dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak menyerahkan lembar pertama buku Cek BI sebagaimana dimaksud pada huruf g maka Cek BI tersebut tidak dapat digunakan untuk melakukan penarikan atas Rekening Giro Rupiah; i. Bank Indonesia tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Pemilik Rekening Giro karena ketidaklengkapan dalam pengisian Cek BI yang kemudian dilengkapi oleh pihak lain; dan j. Pemilik Rekening Giro bertanggung jawab atas penggunaan tiap lembar Cek BI oleh pihak yang tidak berhak serta segala akibat yang ditimbulkan atas penggunaan tersebut. Pasal 35 (1) Dalam hal BG BI atau Cek BI tidak digunakan oleh Pemilik Rekening Giro atau hilang maka Pejabat yang Mewakili harus segera memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan dan informasi mengenai nomor seri BG BI atau Cek BI. (3) Dalam hal BG BI atau Cek BI tidak digunakan oleh Pemilik Rekening Giro, BG BI atau Cek BI tersebut harus dikembalikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal BG BI atau Cek BI hilang maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 30 harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Bagian Kedua Penggunaan Sarana Penyetoran Elektronik dan Sarana Penarikan Elektronik Pasal 36 (1) Sarana penyetoran elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c dan sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c digunakan untuk pemindahan dana antar-Rekening Giro. (2) Sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c digunakan untuk pemindahan dana dari Rekening Giro ke rekening lain yang ditatausahakan di Bank Indonesia. (3) Pemindahan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk kepentingan Pemilik Rekening Giro atau penerima dana yang disebutkan dalam perintah pemindahan dana. (4) Penggunaan sarana penarikan elektronik yang disediakan oleh Bank Indonesia hanya dapat dilakukan oleh peserta sistem BI-RTGS, SKNBI, dan/atau sistem BIG-eB. (5) Tata cara penggunaan sarana penarikan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada tata cara sebagaimana dimaksud dalam: a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; b. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia; dan c. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia government โ€“ electronic banking. 31 Bagian Ketiga Penggunaan Sarana Penyetoran Lain dan Sarana Penarikan Lain Pasal 37 Penggunaan sarana penyetoran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf d mengacu pada penggunaan sarana penarikan lain yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c. Pasal 38 (1) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) huruf d harus diajukan oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (2) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk penggunaan sarana penarikan lain yang berlaku umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c. (3) Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permintaan penggunaan sarana penarikan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 39 (1) Bank Indonesia tidak memproses sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf a dalam hal: a. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf; b. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nominal dalam angka dan/atau huruf; dan c. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nomor dan nama rekening. 32 (2) Kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia memproses sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR yang dikoreksi dengan cara: a. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan; b. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan c. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret. (3) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR tidak digunakan oleh Pemilik Rekening Giro atau hilang, Pejabat yang Mewakili harus segera memberitahukan secara tertulis kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan alasan dan informasi mengenai nomor seri WPR. (5) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR tidak digunakan oleh Pemilik Rekening Giro, WPR tersebut harus dikembalikan kepada Bank Indonesia bersamaan dengan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Dalam hal sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berupa WPR hilang maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Pasal 40 (1) Sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. perintah pemindahan dana; b. nomor dan nama Rekening Giro yang didebit; 33 c. nomor dan nama Rekening Giro atau nomor dan nama rekening penerima dana di Bank yang dikredit; d. nilai nominal dalam angka dan huruf; dan e. tempat dan tanggal penarikan. (2) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia. (3) Permintaan penggunaan sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan terhadap contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara tertulis paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (6) Dalam hal contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro disetujui oleh Bank Indonesia menjadi sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro, Pemilik Rekening Giro menyampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia: a. 3 (tiga) lembar sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro apabila akan digunakan di KPBI atau KPwBI setempat; atau 34 b. 50 (lima puluh) lembar sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro apabila akan digunakan di seluruh kantor Bank Indonesia. Pasal 41 (1) Bank Indonesia tidak memproses sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b dalam hal: a. terdapat perbedaan nominal antara yang tertulis dalam angka dengan yang tertulis dalam huruf; b. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nominal dalam angka dan/atau huruf; dan c. terdapat pencoretan atau perubahan pada penulisan nomor dan nama rekening. (2) Kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia memproses sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro yang dikoreksi dengan cara: a. mencoret tulisan yang salah dengan menggunakan pena atau sejenisnya dan tidak diperkenankan menggunakan alat atau bahan pengoreksi tulisan; b. melakukan penulisan yang benar di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret; dan c. mencantumkan tanda tangan Pejabat yang Mewakili di tempat kosong terdekat dari tulisan yang dicoret. (3) Dalam hal terdapat perubahan sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro maka perubahan tersebut harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Pasal 42 Penarikan Rekening Giro melalui sarana penarikan lain yang berlaku umum berupa SWIFT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf c oleh Pemilik Rekening Giro berupa Bank untuk Rekening Giro Valas, diatur sebagai berikut: 35 a. penarikan dilakukan dengan menggunakan authenticated message SWIFT; b. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia; dan c. penarikan dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif penarikan. Pasal 43 Penggunaan sarana penyetoran dan/atau sarana penarikan diajukan kepada Bank Indonesia untuk masing-masing permohonan pembukaan Rekening Giro. BAB VII PENYETORAN KE REKENING GIRO Pasal 44 Penyetoran ke Rekening Giro dapat dilakukan oleh: a. Pemilik Rekening Giro yang bersangkutan; b. Pemilik Rekening Giro lain; atau c. bukan Pemilik Rekening Giro. Pasal 45 (1) Penyetoran ke Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan secara tunai atau nontunai. (2) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan sarana penyetoran sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf a; b. penyetoran dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang KPBI atau unit kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan kas di KPwBI; dan c. penyetoran dilakukan sesuai dengan jadwal pelayanan kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 36 (3) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara nontunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan sarana penyetoran sebagaimana Pasal 29 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d; b. khusus sarana penyetoran dengan menggunakan BG BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, penyetoran dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI atau unit kerja yang melaksanakan fungsi akunting di KPwBI; dan c. penyetoran dilakukan sesuai dengan jadwal pelayanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Tata cara penyetoran ke Rekening Giro secara nontunai melalui SWIFT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) oleh Bank diatur sebagai berikut: a. penyetoran dilakukan dengan menggunakan authenticated message SWIFT; b. penyetoran dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia; dan c. penyetoran dilakukan pada hari kerja paling lambat pukul 14.00 WIB untuk transaksi yang akan dilakukan pada hari yang sama. (5) Penyetoran ke Rekening Giro Valas hanya dapat dilakukan secara nontunai. BAB VIII PENARIKAN REKENING GIRO Bagian Kesatu Penarikan Rekening Giro Pasal 46 (1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan oleh: 37 a. Pemilik Rekening Giro atau pihak yang diberi kuasa oleh Pemilik Rekening Giro; atau b. Bank Indonesia. (2) Penarikan dari Rekening Giro yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan untuk: a. pembebanan biaya atas layanan jasa yang disediakan oleh Bank Indonesia; b. pembebanan karena pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia; c. pelaksanaan setelmen dana atas transaksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia; dan d. pembebanan karena pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada: 1. otoritas yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi perbankan; dan/atau 2. lembaga lain yang memiliki keterkaitan langsung dengan tugas Bank Indonesia. Pasal 47 (1) Penarikan dari Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilakukan secara tunai atau nontunai. (2) Penarikan dari Rekening Giro secara tunai hanya dapat dilakukan menggunakan sarana penarikan berupa Cek BI. (3) Tata cara penarikan dari Rekening Giro secara tunai diatur sebagai berikut: a. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang di KPBI atau unit kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan Kas di KPwBI; dan b. penarikan dilakukan sesuai dengan jadwal pelayanan kas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Tata cara penarikan dari Rekening Giro secara nontunai diatur sebagai berikut: 38 a. penarikan dilakukan dengan menggunakan sarana penarikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d; b. penarikan dilakukan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI atau unit melaksanakan fungsi akunting di KPwBI; dan c. penarikan dilakukan sesuai dengan jadwal pelayanan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Penarikan dari Rekening Giro Valas hanya dapat dilakukan secara nontunai. Pasal 48 (1) Penarikan dari Rekening Giro dilakukan dengan jumlah paling banyak sebesar jumlah saldo efektif setelah dikurangi biaya transaksi. (2) Sarana penarikan Rekening Giro yang berbasis kertas berupa BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro, dan sarana penarikan yang diterbitkan oleh pemilik Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia harus ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (3) Dalam hal pada saat pembukaan Rekening Giro terdapat persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro dengan menggunakan sarana penarikan Rekening Giro berupa BG BI, Cek BI, WPR untuk Pemilik Rekening Giro, dan sarana penarikan yang diterbitkan oleh pemilik Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia, harus ditandatangani oleh lebih dari 1 (satu) orang Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia maka tanda tangan dilakukan sesuai persyaratan tersebut. Pasal 49 (1) Bank Indonesia melakukan koreksi atas kesalahan pembukuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia kerja yang 39 terhadap penarikan Rekening Giro dan memberikan bukti koreksinya kepada Pemilik Rekening Giro. (2) Khusus untuk Rekening Giro yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan, koreksi pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan atas dasar surat kuasa dari Kementerian Keuangan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Penarikan Rekening Giro Khusus Pasal 50 (1) Dalam hal pada saat pembukaan Rekening Giro Khusus terdapat persyaratan bahwa penarikan Rekening Giro Khusus harus disetujui oleh instansi tertentu maka sarana penarikan Rekening Giro Khusus harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari instansi tertentu tersebut. (2) Bank Indonesia dibebaskan dari segala risiko yang timbul akibat dari pelaksanaan penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IX SPESIMEN TANDA TANGAN Bagian Kesatu Pembuatan Spesimen Tanda Tangan di Bank Indonesia Pasal 51 (1) Pejabat Yang Mewakili harus membuat spesimen tanda tangan di Bank Indonesia untuk keperluan pembukaan, penyetoran, penarikan, dan keperluan lain terkait dengan Rekening Giro. 40 (2) Pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia harus dilakukan untuk masing-masing Rekening Giro. (3) Spesimen tanda tangan di Bank Indonesia berlaku efektif mulai 5 (lima) hari kerja sejak Bank Indonesia menerima dokumen secara lengkap dan Pejabat yang Mewakili melakukan penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan. Pasal 52 (1) Pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 harus disertai dengan: a. fotokopi surat keputusan presiden, surat keputusan menteri, atau surat keputusan Pejabat yang berwenang; b. fotokopi anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; c. fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau paspor; dan/atau d. dokumen lain apabila diperlukan. (2) Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia bagi Bank, Kementerian Keuangan, dan lembaga atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a serta instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 4 diatur sebagai berikut: a. permohonan diajukan secara tertulis oleh Pejabat yang Mewakili dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; b. penandatangan pada formulir spesimen tanda tangan harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang di Bank Indonesia; 41 c. penandatanganan dilakukan pada formulir spesimen tanda tangan yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam rangkap 3 (tiga) atau lebih untuk Rekening Giro Rupiah dan rangkap 2 (dua) atau lebih untuk Rekening Giro Valas sesuai dengan kepentingan Bank Indonesia; d. penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan untuk Rekening Giro baru milik Kementerian Keuangan dan instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan, yang Pejabat yang Mewakili dan spesimen tanda tangannya sama dengan yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia, dapat tidak dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang di Bank Indonesia; e. penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; dan f. dalam hal penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan di Bank Indonesia tidak dilakukan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e maka Pejabat yang Mewakili yang belum menandatangani formulir spesimen tanda tangan harus mengajukan kembali permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (3) Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia bagi lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 diatur sebagai berikut: a. permohonan diajukan secara tertulis oleh Pejabat yang Mewakili dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; b. penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan dilakukan di hadapan pejabat yang 42 berwenang di Bank Indonesia atau disampaikan melalui surat; dan c. penandatanganan pada formulir spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dilakukan dalam rangkap 2 (dua) atau lebih untuk Rekening Giro Rupiah dan rangkap 1 (satu) atau lebih untuk Rekening Giro Valas sesuai dengan kepentingan Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Dalam hal terdapat perbedaan: a. penulisan nama Pejabat yang Mewakili antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan yang tercantum dalam dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia; dan/atau b. tanda tangan Pejabat yang Mewakili antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan yang tercantum dalam formulir spesimen tanda tangan, Pejabat yang Mewakili harus membuat pernyataan tertulis dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX dan Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dalam hal terdapat perbedaan nama dan/atau tanda tangan Pejabat yang Mewakili, surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diketahui oleh 1 (satu) atau lebih Pejabat yang Mewakili lain yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia, apabila ada. Bagian Kedua Perubahan dan Pencabutan Spesimen Tanda Tangan Pasal 54 (1) Tata cara perubahan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia mengacu pada tata cara pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53. 43 (2) Dalam hal terdapat perubahan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia yang disebabkan perubahan Pejabat yang Mewakili maka spesimen tanda tangan Pejabat yang Mewakili yang baru, dapat berlaku efektif lebih awal dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3). (3) Permohonan pemberlakuan efektif spesimen tanda tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 55 (1) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia harus dilakukan dalam hal terdapat: a. perubahan anggaran dasar atau surat keputusan yang menyebabkan perubahan Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; atau b. pencabutan kuasa kepada Pejabat Penerima Kuasa yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (2) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Tata cara pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut: a. surat pemberitahuan ditandatangani oleh: 1. Pimpinan atau Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; atau 2. Pimpinan yang baru dalam hal Pejabat yang Mewakili diganti seluruhnya; dan harus 44 b. surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan dokumen yang mendasari adanya pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (4) Pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia berlaku sejak Bank Indonesia menerima surat pemberitahuan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b secara lengkap. Pasal 56 (1) Dalam hal perubahan atau pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia tidak diberitahukan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka spesimen tanda tangan yang berlaku yaitu spesimen tanda tangan yang masih ditatausahakan di Bank Indonesia. (2) Spesimen tanda tangan pihak yang menerima kuasa secara subtitusi dari Pejabat Penerima Kuasa dianggap tidak berlaku, dalam hal surat kuasa kepada Pejabat Penerima Kuasa telah dicabut. (3) Spesimen tanda tangan pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan perubahan atau pencabutan spesimen tanda tangan sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55. BAB X PERUBAHAN REKENING GIRO Pasal 57 (1) Perubahan Rekening Giro hanya dapat dilakukan apabila terdapat perubahan: a. nomor Rekening Giro; atau b. nama Rekening Giro. (2) Perubahan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Bank dapat disebabkan oleh: 45 a. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan; b. perubahan status; c. perubahan nama; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. langkah strategis lainnya, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu bagi kegiatan operasional bank umum di Bank Indonesia. (3) Perubahan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan perubahan data Pemilik Rekening Giro. Pasal 58 (1) Perubahan nomor Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank dapat mengusulkan nomor Rekening Giro yang akan digunakan dalam hal perubahan nomor Rekening Giro disebabkan alasan penggabungan atau pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a dan langkah strategis lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e. Pasal 59 (1) Tata cara perubahan nomor Rekening Giro yang disebabkan alasan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diatur sebagai berikut: a. pemberitahuan perubahan disampaikan secara tertulis oleh Pejabat yang Mewakili Bank peserta penggabungan; b. pemberitahuan perubahan disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di Bank Indonesia dengan mengacu pada format sebagaimana tercantum pada Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak 46 terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. pemberitahuan perubahan termasuk informasi mengenai Rekening Giro yang akan menjadi Rekening Giro Bank hasil penggabungan; d. pemberitahuan perubahan disertai dengan: 1. fotokopi surat persetujuan penggabungan dari otoritas yang berwenang; dan 2. fotokopi perubahan anggaran dasar Bank yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang dan dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; e. Rekening Giro yang tidak digunakan sebagai Rekening Giro Bank hasil penggabungan harus ditutup; f. sebelum penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam huruf e, saldo pada Rekening Giro tersebut dinihilkan dan dipindahkan ke Rekening Giro Bank hasil penggabungan; g. Bank hasil penggabungan menyampaikan surat pemberitahuan penggabungan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; h. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g ditandatangani oleh Pimpinan Bank hasil penggabungan yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; i. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g disertai dengan surat pernyataan pemberitahuan Pejabat yang Mewakili Bank hasil penggabungan dengan menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak 47 terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; j. Pejabat yang Mewakili Bank hasil penggabungan harus membuat spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53, dalam hal belum memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; dan k. Bank Indonesia menutup Rekening Giro yang tidak digunakan sebagai Rekening Giro Bank hasil penggabungan. (2) Tata cara perubahan nomor Rekening Giro yang disebabkan alasan peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diatur sebagai berikut: a. Bank hasil peleburan mengajukan permohonan pembukaan Rekening Giro kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9; b. Pejabat yang Mewakili dari Bank hasil peleburan harus membuat spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan mengacu tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; c. Bank peserta peleburan menyampaikan surat pemberitahuan peleburan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII; d. pemberitahuan peleburan disertai dengan: 1. fotokopi surat persetujuan peleburan dari otoritas yang berwenang; dan 2. fotokopi perubahan anggaran dasar Bank yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 48 yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang dan dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; e. Bank peserta peleburan melakukan penihilan dan pemindahan saldo dari Rekening Giro Bank yang tidak digunakan ke Rekening Giro Bank hasil peleburan; f. Bank peserta peleburan mengajukan permohonan penutupan Rekening Giro yang tidak digunakan sebagai Rekening Giro hasil peleburan; g. Bank hasil peleburan menyampaikan surat pemberitahuan peleburan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan di Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; h. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g ditandatangani oleh Pimpinan Bank hasil peleburan yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; i. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf g disertai dengan surat pernyataan pemberitahuan Pejabat yang Mewakili Bank hasil peleburan dengan menggunakan contoh yang tercantum dalam Lampiran XV; dan j. Pejabat yang Mewakili Bank hasil peleburan harus membuat spesimen tanda tangan dengan mengacu pada tata cara pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53, dalam hal belum memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis perubahan nomor Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Pemilik Rekening Giro. (4) Bank Indonesia menerbitkan sarana penarikan dalam hal diterbitkan nomor Rekening Giro baru. 49 Pasal 60 (1) Perubahan nama Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan oleh Pemilik Rekening Giro. (2) Tata cara perubahan nama Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. pemberitahuan perubahan disampaikan secara tertulis dan ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia atau satuan kerja di Bank Indonesia yang melakukan pembukaan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. pemberitahuan perubahan disampaikan kepada: 1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI, untuk Pemilik Rekening Giro selain Bank; 2. satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans sistem keuangan, untuk Pemilik Rekening Giro berupa Bank; atau 3. KPwBI yang mewilayahi, untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di KPwBI; c. khusus bagi Pemilik Rekening Giro berupa Bank, pemberitahuan perubahan disertai dengan: 1. keputusan otoritas yang berwenang mengenai perubahan nama Bank; dan 2. anggaran dasar Bank yang baru yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; d. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis perubahan nama Rekening Giro kepada Pemilik Rekening Giro; dan e. Bank Indonesia menerbitkan sarana penarikan untuk nama Rekening Giro baru. 50 Pasal 61 Khusus bagi Pemilik Rekening Giro yang menjadi peserta sistem BI-RTGS, perubahan nomor dan nama Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 selain mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 juga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. Pasal 62 (1) Pemilik Rekening Giro memberitahukan kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perubahan data: a. direksi, komisaris, dan pemegang saham; b. Pejabat yang Mewakili; dan/atau c. alamat pemilik rekening. (2) Pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. pemberitahuan disampaikan secara tertulis dan ditandatangani oleh Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; b. pemberitahuan perubahan data disertai dengan: 1. dokumen perubahan Pejabat yang Mewakili berupa: a) fotokopi surat keputusan presiden atau surat keputusan menteri atau surat keputusan pejabat yang berwenang; dan b) fotokopi perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Pimpinan yang bersangkutan; 2. surat pencabutan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII; 51 3. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan di Bank Indonesia dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; 4. surat kuasa dalam hal Pejabat yang Mewakili merupakan Pejabat Penerima Kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI; dan 5. fotokopi bukti identitas berupa KTP, SIM, atau paspor. (3) Pemberitahuan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan secara tertulis dan ditandatangani oleh: a. Pejabat yang Mewakili yang memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; atau b. pejabat yang berwenang pada satuan kerja di Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). Pasal 63 Dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak memberitahukan perubahan data Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 maka data yang berlaku adalah data yang masih ditatausahakan oleh Bank Indonesia. BAB XI PEMBATASAN KEGIATAN TERKAIT REKENING GIRO Pasal 64 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pembatasan sebagian atau seluruh kegiatan terkait Rekening Giro berdasarkan pertimbangan: a. Pemilik Rekening Giro tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari otoritas yang berwenang melakukan pengawasan 52 terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro; dan/atau c. kondisi lain. (2) Pembatasan sebagian kegiatan terkait Rekening Giro dapat dilakukan dengan pembatasan sementara terhadap kegiatan penarikan dana sampai dengan terdapat keputusan final dari Bank Indonesia. (3) Pembatasan seluruh kegiatan terkait Rekening Giro dapat dilakukan dengan pembatasan terhadap seluruh kegiatan penarikan maupun penyetoran dana. (4) Khusus untuk Rekening Giro yang ditatausahakan pada sistem BI-RTGS, pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. (5) Khusus untuk Rekening Giro yang ditatausahakan selain pada sistem BI-RTGS, pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang terkait. BAB XII PENUTUPAN REKENING GIRO Bagian Kesatu Penutupan Rekening Giro Pasal 65 Bank Indonesia dapat menutup Rekening Giro atas: a. permohonan tertulis Pemilik Rekening Giro; b. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari otoritas yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro; atau c. pertimbangan Bank Indonesia. 53 Pasal 66 (1) Permohonan atau permintaan penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a dan huruf b diatur sebagai berikut: a. Pemilik Rekening Giro atau otoritas yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Pemilik Rekening Giro menyampaikan surat kepada: 1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI, untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di KPBI; atau 2. KPwBI, untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di KPwBI; b. untuk Rekening Giro Bank: 1. penutupan Rekening Giro yang disebabkan karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan, perubahan status, pencabutan izin usaha, dan/atau langkah strategis lainnya, surat disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi surveilans dan stabilitas sistem keuangan di Bank Indonesia; 2. penutupan Rekening Giro yang disebabkan selain sebagaimana dimaksud dalam angka 1, surat disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran di Bank Indonesia; c. untuk Rekening Giro milik lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain yang pembukaannya dilakukan oleh satuan kerja di Bank Indonesia, permintaan tertulis disampaikan oleh satuan kerja tersebut kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di Bank Indonesia. (2) Khusus bagi Bank, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan fotokopi surat keputusan pencabutan izin usaha dari otoritas yang berwenang. 54 (3) Khusus bagi peserta sistem BI-RTGS, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan permohonan penghentian kepesertaan dalam sistem BI-RTGS dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan berharga, dan setelmen dana seketika. Pasal 67 Penutupan Rekening Giro atas pertimbangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c dilakukan dengan alasan: a. dalam hal: 1. karakteristik atau peruntukan mutasi transaksi sama; 2. Pemilik Rekening Giro sama; dan 3. Rekening Giro dibuka pada lokasi yang sama, sehingga mutasi transaksi tersebut pada dasarnya dapat ditampung pada salah satu Rekening Giro; b. Rekening Giro tidak aktif selama 2 (dua) tahun; dan/atau c. Pemilik Rekening Giro dinilai tidak perlu memiliki Rekening Giro. Pasal 68 (1) Bank Indonesia menyetujui atau menolak permintaan atau permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal saldo Rekening Giro telah nihil dan seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro kepada Bank Indonesia telah diselesaikan. (3) Penihilan saldo Rekening Giro dilakukan oleh Bank Indonesia sebesar jumlah saldo efektif setelah dikurangi biaya terkait penutupan Rekening Giro. (4) Penihilan saldo Rekening Giro untuk Bank yang dicabut izin usahanya selain atas permintaan Bank sendiri, transaksi, penatausahaan surat 55 dilakukan oleh Bank Indonesia atas dasar permintaan dari otoritas yang berwenang. (5) Bukti bahwa seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro kepada Bank Indonesia telah diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan bersamaan dengan permohonan penutupan Rekening Giro. (6) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan atau penolakan penutupan Rekening Giro disertai alasannya. Pasal 69 (1) Penutupan Rekening Giro yang tidak aktif selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Rekening Giro bahwa tidak terdapat mutasi pada Rekening Giro selama 18 (delapan belas) bulan dan meminta Pemilik Rekening Giro untuk menutup Rekening Giro tersebut; b. Pemilik Rekening Giro dapat meminta Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk tidak ditutup disertai dengan alasannya; c. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. Bank Indonesia dapat mempertimbangkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; e. apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Pemilik Rekening Giro tidak mengajukan permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Bank Indonesia melakukan penutupan Rekening Giro tersebut; f. saldo atas Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam huruf e dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia; 56 g. saldo sebagaimana dimaksud dalam huruf f mulai dikenakan biaya administrasi pada awal tahun ketiga; dan h. dalam hal Rekening Giro tidak terdapat saldo, Bank Indonesia dapat langsung melakukan penutupan Rekening Giro. (2) Untuk penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilik Rekening Giro atau Pejabat Penerima Kuasa yang sah hanya dapat melakukan 1 (satu) kali penarikan Rekening Giro tanpa harus membuat spesimen tanda tangan di Bank Indonesia. Bagian Kedua Penutupan Rekening Giro Khusus Pasal 70 Penutupan Rekening Giro Khusus diatur sebagai berikut: a. untuk escrow account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Rekening Giro Khusus lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, penutupan Rekening Giro Khusus dilakukan sesuai dengan perjanjian pembukaan Rekening Giro Khusus. b. untuk rekening khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penutupan Rekening Giro Khusus dilakukan sesuai dengan ketentuan penutupan Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 BAB XIII BIAYA Pasal 71 (1) Bank Indonesia menetapkan jenis dan besar biaya Penatausahaan Rekening Giro. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Pemilik Rekening Giro. 57 (3) Bank Indonesia dapat mengecualikan pengenaan jenis dan besar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pihak dan dengan pertimbangan tertentu. Pasal 72 (1) Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) meliputi: a. biaya transaksi; b. biaya administrasi; dan c. biaya meterai. (2) Biaya administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. biaya perolehan sarana penarikan Rekening Giro; dan b. biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif. (3) Pembebanan biaya transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. biaya transaksi dikenakan untuk penarikan Rekening Giro berupa pemindahan dana dari Rekening Giro yang dilakukan melalui sistem BI- RTGS dan SWIFT; b. biaya transaksi tidak dikenakan untuk penarikan Rekening Giro berupa pemindahan dana dari Rekening Giro yang dilakukan melalui SKNBI; dan c. biaya transaksi atas penarikan Rekening Giro dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). (4) Pembebanan biaya perolehan sarana penarikan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan untuk sarana penarikan Rekening Giro berupa buku BG BI dan Cek BI. (5) Pembebanan biaya administrasi Rekening Giro tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur sebagai berikut: a. biaya administrasi dikenakan untuk saldo Rekening Giro tidak aktif yang telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf f; 58 b. biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dibebankan sampai dengan saldo 0 (nol) atau telah daluwarsa; dan c. sisa saldo Rekening Giro yang telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan telah daluwarsa diakui sebagai penerimaan Bank Indonesia. (6) Pembebanan biaya meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan untuk: a. permintaan informasi saldo; b. penyediaan Rekening Koran akhir tahun; dan c. permintaan lain. Pasal 73 (1) Besar biaya transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro yang merupakan peserta sistem BI-RTGS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; b. besar biaya transaksi untuk Pemilik Rekening Giro yang bukan merupakan peserta sistem BI-RTGS ditetapkan sebesar biaya setelmen dana tertinggi untuk peserta sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika; dan c. besar biaya transaksi untuk setiap penyetoran dan/atau penarikan Rekening Giro Valas mengacu pada biaya sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 59 (2) Besar biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) diatur sebagai berikut: a. besar biaya administrasi untuk perolehan buku BG BI dan Cek BI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya perolehan buku blanko cek dan bilyet giro Bank Indonesia; dan b. besar biaya administrasi untuk Rekening Giro tidak aktif ditetapkan sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu Rupiah) per bulan. (3) Besar biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea meterai. Pasal 74 (1) Pembayaran biaya transaksi dan biaya administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pendebitan pada Rekening Giro Rupiah atau Rekening Giro Valas yang bersangkutan. (2) Pembayaran biaya meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dilakukan dengan pendebitan pada Rekening Giro Rupiah yang bersangkutan. Pasal 75 Penarikan dari Rekening Giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) yang dilakukan melalui sistem BI-RTGS, SKNBI, dan SWIFT tidak dikenakan biaya transaksi dan biaya administrasi. BAB XIV LAPORAN Pasal 76 (1) Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran bagi Pemilik Rekening Giro. (2) Penyediaan Rekening Koran untuk Rekening Giro Rupiah diatur sebagai berikut: 60 a. Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran di sistem BI-RTGS dan sistem BIG-eB; b. Rekening Koran disediakan dalam bentuk hasil olahan komputer (HOK); dan c. Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. Rekening Koran harian; 2. Rekening Koran bulanan; dan 3. Rekening Koran akhir tahun. (3) Penyediaan Rekening Koran untuk Rekening Giro Valas diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia menyediakan Rekening Koran di sistem BI-RTGS dan sistem BIG-eB; b. Rekening Koran disediakan dalam bentuk HOK; dan c. Rekening Koran sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. Rekening Koran harian; 2. Rekening Koran mingguan; dan 3. Rekening Koran akhir tahun. (4) Rekening Koran yang disediakan dalam sistem BI-RTGS dan sistem BIG-eB dapat diakses secara langsung oleh Pemilik Rekening Giro yang merupakan peserta sistem BI-RTGS atau sistem BIG-eB. (5) Perolehan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan sistem Bank Indonesia government electronic banking. Pasal 77 (1) Rekening Koran akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c angka 3 dan ayat (3) huruf c angka 3 dicetak oleh Bank Indonesia dan dibubuhi stempel tanda tangan pejabat yang berwenang di Bank Indonesia di atas meterai yang cukup. 61 (2) Bank Indonesia mendebit Rekening Giro Rupiah Pemilik Rekening Giro untuk pembebanan biaya meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Rekening Koran akhir tahun. (4) Khusus untuk Rekening Koran akhir tahun milik: a. Kementerian Keuangan dan lembaga atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a; dan b. instansi pemerintah di luar Kementerian Keuangan, lembaga keuangan internasional, bank sentral negara lain, dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, dapat dibebaskan dari pembebanan biaya meterai atas dasar pertimbangan Bank Indonesia. Pasal 78 (1) Pengambilan Rekening Koran yang dicetak oleh Bank Indonesia dilakukan oleh Pejabat yang Mewakili atau pihak yang menerima kuasa dari Pejabat yang Mewakili. (2) Khusus untuk Rekening Giro milik lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain, pengambilan Rekening Koran dapat dilakukan oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang melakukan pembukaan rekening sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5). (3) Pengambilan Rekening Koran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di: a. unit kerja yang melaksanakan fungsi layanan jasa perbankan pada satuan kerja yang melaksanakan fungsi operasional tresuri dan pinjaman di KPBI, untuk Pemilik Rekening Giro selain Bank; b. unit kerja yang melaksanakan fungsi setelmen dana dan penatausahaan surat berharga pada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran di KPBI, untuk Pemilik Rekening Giro berupa Bank; atau 62 c. unit kerja yang melaksanakan fungsi akunting di KPwBI, untuk Rekening Giro yang ditatausahakan di KPwBI. (4) Pengambilan Rekening Koran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah 1 (satu) hari kerja sampai dengan 1 (satu) bulan setelah tanggal Rekening Koran pada setiap hari kerja pukul 08.00-15.00 waktu setempat. (5) Dalam hal pengambilan Rekening Koran dilakukan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia dapat melakukan pemusnahan Rekening Koran tersebut. (6) Pemilik Rekening Giro dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh Rekening Koran yang telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara tertulis dan disampaikan kepada unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 79 (1) Bank Indonesia dapat menyediakan dan menyampaikan Rekening Koran kepada pihak yang berwenang selain Pemilik Rekening Giro sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Untuk keperluan tertentu, Pemilik Rekening Giro dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh Rekening Koran dan/atau informasi mengenai saldo Rekening Giro kepada Bank Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh Pejabat yang Mewakili. (4) Untuk lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan melalui SWIFT atau surat elektronik. (5) Informasi mengenai saldo Rekening Giro dikenakan biaya meterai yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3). 63 Pasal 80 (1) Pemilik Rekening Giro dapat melaporkan kepada Bank Indonesia dalam hal terdapat perbedaan antara data pada Rekening Koran dengan data yang ditatausahakan oleh Pemilik Rekening Giro. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal Rekening Koran tersebut. (3) Khusus untuk Rekening Koran akhir tahun, Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal Rekening Koran tersebut. (4) Dalam hal Pemilik Rekening Giro tidak melaporkan adanya perbedaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka data yang terdapat dalam Rekening Koran dianggap sebagai data yang benar. BAB XV KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Pasal 81 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dalam Penatausahaan Rekening Giro dan/atau keadaan darurat di lokasi Bank Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan keadaan tersebut kepada Pemilik Rekening Giro berikut langkah penanganan untuk mengatasi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat. (2) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat di lokasi Pemilik Rekening Giro yang mengakibatkan Pemilik Rekening Giro tidak dapat melakukan penyetoran dan/atau penarikan Rekening Giro, Pemilik Rekening Giro menyampaikan informasi dan/atau meminta persetujuan untuk melakukan langkah penyelesaian transaksi penyetoran dan/atau penarikan kepada Bank Indonesia. 64 (3) Prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat untuk peserta sistem BI-RTGS, SKNBI, dan sistem BIG-eB mengacu pada prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika, ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia, serta ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Indonesia government โ€“ electronic banking. (4) Prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat untuk selain peserta sistem BI-RTGS, SKNBI, dan sistem BIG-eB diatur sebagai berikut: a. dalam hal keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat terjadi di lokasi Bank Indonesia maka langkah penanganan sesuai dengan yang diberitahukan oleh Bank Indonesia kepada Pemilik Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. dalam hal keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat terjadi di lokasi Pemilik Rekening Giro maka langkah penanganan sesuai dengan langkah penanganan yang disampaikan oleh Pemilik Rekening Giro dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Langkah penanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan langkah yang berlaku bagi Pemilik Rekening Giro. 65 BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 82 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/34/DASP tanggal 22 Desember 2006 perihal Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/26/DPTP tanggal 31 Desember 2014 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/34/DASP tanggal 22 Desember 2006 perihal Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 83 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/20/PADG/2017 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA I. UMUM Untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, Bank Indonesia melaksanakan penatausahaan Rekening Giro. Rekening Giro yang ditatausahakan oleh Bank Indonesia termasuk Rekening Giro yang dimiliki oleh Pemerintah dalam kaitannya dengan fungsi Bank Indonesia sebagai pemegang kas pemerintah. Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro, diperlukan penyempurnaan peraturan pelaksanaan untuk penatausahaan Rekening Giro. Penyempurnaan peraturan pelaksanaan tersebut antara lain terkait dengan klasifikasi kategori pihak yang dapat membuka Rekening Giro di Bank Indonesia, kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pendebitan Rekening Giro atas dasar permintaan dari otoritas yang berwenang dalam rangka pengenaan sanksi berupa kewajiban membayar atas pelanggaran kepatuhan terhadap ketentuan kehati-hatian, hak Pemilik Rekening Giro untuk mengklaim sisa saldo Rekening Giro tidak aktif sampai dengan batas waktu daluwarsa sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan pengenaan biaya administrasi untuk Rekening giro yang tidak aktif selama 2 (dua) tahun. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œinstansi pemerintah di luar Kementerian Keuanganโ€ adalah kementerian selain Kementerian Keuangan, lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga negara, badan usaha milik negara, pemerintah daerah, atau badan usaha milik daerah. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œlembaga keuangan internasionalโ€ adalah lembaga yang tujuan pembentukannya untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang ekonomi dan/atau keuangan yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia menjadi anggota atau lembaga keuangan tersebut memberi bantuan keuangan kepada Pemerintah Republik Indonesia atau Bank Indonesia dan lembaga tersebut mensyaratkan pembukaan rekening pada Bank Indonesia. Termasuk lembaga keuangan internasional antara lain International Monetary Funds (IMF), Asian Development Bank (ADB), International Bank for Restructuring Development (IBRD), dan International Development Agency (IDA). Angka 3 Cukup jelas. 3 Angka 4 Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ antara lain Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI), Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI), Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKKBI), Dana Pensiun Pegawai Bank Indonesia (DAPENBI), Koperasi Pegawai Bank Indonesia (KOPEBI), dan Manajemen Masjid Bank Indonesia (MMBI). Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmemiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesiaโ€ antara lain pihak tersebut memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œketentuan peraturan perundang- undanganโ€ antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai surat berharga Bank Indonesia dalam valuta asing. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 4 Pasal 5 Yang dimaksud dengan โ€œhanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pihakโ€ adalah Rekening Giro tidak dapat dibuka dan dimiliki dalam bentuk rekening gabungan. Contoh rekening gabungan adalah 1 (satu) rekening yang dimiliki oleh 2 (dua) instansi pemerintah. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œescrow accountโ€ adalah rekening yang dibuka secara khusus untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan kepada Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian tertulis. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrekening khususโ€ adalah Rekening Giro yang digunakan khusus untuk menatausahakan pinjaman dan hibah luar negeri pemerintah. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œRekening Giro Khusus lainnyaโ€ adalah Rekening Giro yang persyaratan dan tata cara pembukaan, penyetoran, penarikan dan penutupannya diatur secara khusus dalam surat atau perjanjian tertulis. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 5 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pengajuan pembukaan Rekening Giro oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang bertindak untuk dan atas nama lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain dilakukan antara lain dalam hal terdapat hubungan kerja sama internasional antara lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain dengan Bank Indonesia secara bilateral atau multilateral. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 10 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 11 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 12 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. 6 Pasal 13 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 14 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 15 Huruf a Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Huruf b Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œdokumen lainโ€ antara lain term & condition yang disepakati oleh lembaga keuangan internasional dan/atau bank sentral negara lain dengan Bank Indonesia. Pasal 16 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. 7 Pasal 17 Dalam hal diperlukan, dokumen asli diperlihatkan kepada petugas Bank Indonesia pada saat menyampaikan fotokopi dokumen dimaksud. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penambahan persyaratan penarikan termasuk dalam hal Pemilik Rekening Giro memiliki persyaratan untuk adanya countersign dari pihak lain yang ditunjuk oleh Pemilik Rekening Giro. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh penerapan prinsip kehati-hatian bagi Bank Indonesia antara lain pembatasan penggunaan Rekening Giro misalnya Rekening Giro hanya dapat digunakan sesuai dengan term & condition. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemberian nomor Rekening Giro dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Bank Indonesia. 8 Pemberian nama Rekening Giro dilaksanakan dengan mempertimbangkan data atau informasi yang disampaikan oleh calon Pemilik Rekening Giro. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œmenjaga kepentingan nasionalโ€ antara lain transaksi yang dilakukan oleh lembaga keuangan internasional dan/atau bank sentral negara lain diyakini tidak mengandung unsur yang dapat dikenai sanksi dari Office of Foreign Assets Control (OFAC). Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan daruratโ€ adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Pemilik Rekening Giro yang menyebabkan Penatausahaan Rekening Giro 9 tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tujuan pembukaan Rekening Giro Khusus dituangkan dalam surat atau perjanjian tertulis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 27 Kewajiban berlaku juga untuk Pemilik Rekening Giro berupa Rekening Giro Khusus. Pasal 28 Ayat (1) Tanggung jawab berlaku juga untuk Pemilik Rekening Giro berupa Rekening Giro Khusus. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpengkinian dokumenโ€ antara lain penyampaian dokumen pembukaan Rekening Giro yang belum dipenuhi secara lengkap oleh Pemilik Rekening Giro existing kepada Bank Indonesia dan pembaharuan surat kuasa dari Pimpinan kepada Pejabat Penerima Kuasa atau surat kuasa 10 substitusi dari Pejabat Penerima Kuasa kepada pihak yang menerima kuasa substitusi. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œketentuan Bank Indonesiaโ€ antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sentralisasi otomasi sistem akunting Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penyetoran ke Rekening Giro Valas dilakukan secara nontunai atau transfer. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsistem BI-RTGSโ€ adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œSKNBIโ€ adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œsistem BIG-eBโ€ adalah sarana elektronik dan online yang disediakan untuk pemilik rekening giro dalam rangka melakukan transaksi keuangan dan memperoleh informasi keuangan. 11 Ayat (6) Yang dimaksud dengan โ€œSWIFTโ€ adalah suatu jaringan (network) internasional untuk sistem pemindahan dana dan/atau pertukaran berita dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi antar anggota SWIFT. Yang dimaksud dengan โ€œauthenticated message SWIFTโ€ adalah dokumen SWIFT yang digunakan sebagai sarana penyetoran lain. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsistem BI-RTGSโ€ adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œsistem BIG-eBโ€ adalah sarana elektronik dan online yang disediakan untuk pemilik rekening giro guna melakukan transaksi keuangan dan memperoleh informasi keuangan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sarana penarikan lain dibuat sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada Pemilik Rekening Giro antara lain identitas, logo, dan kertas yang digunakan sebagai sarana penarikan. Contoh sarana penarikan lain yang diterbitkan oleh Pemilik Rekening Giro dan disetujui Bank Indonesia yaitu: 1. surat perintah pencairan dana (SP2D); dan 2. surat perintah debit (SPD). Huruf c Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu authenticated message SWIFT. 12 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œrekening penerima danaโ€ adalah Rekening Giro atau rekening penerima dana pada Bank. Ayat (6) Lampiran WPR merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan WPR tersebut. Nominal yang tercantum dalam WPR sama dengan total nominal penarikan pada lampiran WPR. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 13 Huruf h Lembar pertama buku BG BI merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Pemilik Rekening Giro telah menerima dari Bank Indonesia 1 (satu) buku BG BI dengan jumlah lembar dan nomor seri warkat sesuai dengan yang tercantum pada buku BG BI tersebut. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Lembar pertama buku Cek BI merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Pemilik Rekening Giro telah menerima dari Bank Indonesia 1 (satu) buku Cek BI dengan jumlah lembar dan nomor seri warkat sesuai dengan yang tercantum pada buku Cek BI tersebut. Huruf h Cukup jelas. 14 Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtidak digunakanโ€ antara lain Rekening Giro ditutup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu authenticated message SWIFT. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh sarana penarikan lain yang berlaku umum yaitu authenticated message SWIFT. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 15 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œtidak digunakanโ€ antara lain Rekening Giro telah ditutup. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œbukan Pemilik Rekening Giroโ€ adalah pihak yang tidak memiliki Rekening Giro namun memiliki kepentingan untuk melakukan penyetoran ke Rekening Giro. Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 16 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpada hari yang samaโ€ adalah tanggal efektif transaksi penyetoran yang disampaikan melalui sarana komunikasi antara lain telepon, faksimili, dan email. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Pemberikan kuasa oleh Pemilik Rekening Giro berupa kuasa tanpa atau dengan hak substitusi. Kuasa dengan hak subtitusi diberikan untuk 1 (satu) kali hak substitusi. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œbiaya atas layanan jasa yang disediakan oleh Bank Indonesiaโ€ adalah biaya transaksi, biaya administrasi, dan biaya meterai. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œketentuan Bank Indonesiaโ€ antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum Bank umum dalam rupiah dan valuta asing bagi Bank umum konvensional. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œketentuan Bank Indonesiaโ€ antara lain ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro 17 wajib minimum Bank umum dalam rupiah dan valuta asing bagi Bank umum konvensional. Huruf d Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œsaldo efektifโ€ adalah saldo yang tersedia dalam Rekening Giro untuk ditarik dan digunakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œbukti koreksiโ€ adalah Rekening Koran dan tembusan warkat pembukuan koreksi yang dibuat oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œinstansi tertentuโ€ antara lain Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeperluan lainโ€ antara lain keperluan permintaan perubahan Pejabat yang Mewakili dan informasi saldo. 18 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pada masing-masing formulir dibubuhi 3 (tiga) spesimen tanda tangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pada masing-masing formulir dibubuhi 3 (tiga) spesimen tanda tangan. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. 19 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan terkait Rekening Giroโ€ adalah kegiatan yang berkaitan dengan penarikan dan/atau penyetoran dana pada Rekening Giro. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 20 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œkondisi lainโ€ antara lain kondisi karena adanya putusan pengadilan yang menyebabkan pembatasan kegiatan terkait Rekening Giro. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œkeputusan finalโ€ antara lain keputusan yang menyebabkan kegiatan terkait Rekening Giro menjadi tidak dibatasi atau dibatasi secara keseluruhan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpembatasan seluruh kegiatan terkait Rekening Giroโ€ antara lain dalam hal terdapat perubahan status peserta sistem BI-RTGS menjadi dibekukan atau ditutup kepesertaannya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 65 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpertimbangan Bank Indonesiaโ€ antara lain terdapat putusan pengadilan yang menyebabkan penutupan Rekening Giro. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Huruf a Cukup jelas. 21 Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œRekening Giro tidak aktifโ€ adalah tidak terdapat mutasi pada Rekening Giro. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œtidak perlu memiliki Rekening Giroโ€ antara lain dalam perkembangannya alasan kepemilikan Rekening Giro tidak lagi mempunyai keterkaitan tugas dengan Bank Indonesia atau Pemilik Rekening Giro melakukan transaksi yang diduga mengandung unsur yang dapat dikenai sanksi dari Office of Foreign Assets Control (OFAC). Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œsaldo efektifโ€ adalah saldo yang tersedia dalam Rekening Giro untuk ditarik dan digunakan. Yang dimaksud dengan โ€œbiaya terkait penutupan Rekening Giroโ€ antara lain biaya transaksi dan biaya administrasi. Ayat (4) Penihilan saldo Rekening Giro yang dilakukan oleh Bank Indonesia atas dasar permintaan dari otoritas yang berwenang dengan cara dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia yang digunakan untuk menampung saldo Rekening Giro tidak aktif. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œbuktiโ€ antara lain pernyataan bahwa seluruh kewajiban Pemilik Rekening Giro kepada Bank Indonesia telah diselesaikan, yang tercantum dalam surat permohonan penutupan Rekening Giro. Ayat (6) Cukup jelas. 22 Pasal 69 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œRekening Giro tidak aktifโ€ adalah tidak terdapat mutasi pada Rekening Giro. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œrekening tertentuโ€ adalah rekening di Bank Indonesia yang digunakan untuk menampung saldo Rekening Giro tidak aktif. Saldo yang terdapat dalam rekening tertentu tetap merupakan hak Pemilik Rekening Giro sampai dengan batas waktu daluwarsa sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Penarikan Rekening Giro sebanyak 1 (satu) kali ditujukan untuk penihilan saldo Rekening Giro. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. 23 Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpihakโ€ antara lain lembaga keuangan internasional dan bank sentral negara lain. Yang dimaksud dengan โ€œpertimbangan tertentuโ€ antara lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsaldo Rekening Giro tidak aktifโ€ adalah termasuk dalam hal saldo atas Rekening Giro telah dipindahkan ke rekening tertentu di Bank Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œdaluwarsaโ€ adalah Rekening Giro telah tidak aktif selama 30 (tiga puluh) tahun. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan โ€œpermintaan lainโ€ antara lain biaya meterai untuk surat kuasa yang belum dibubuhi meterai oleh Pemilik Rekening Giro. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. 24 Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b HOK dapat diunduh secara langsung dalam bentuk softcopy atau dicetak dalam bentuk hardcopy. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran harianโ€ adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi pada hari yang bersangkutan. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran bulananโ€ adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi selama periode bulan yang bersangkutan. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran akhir tahunโ€ adalah Rekening Koran yang dicetak pada setiap akhir bulan Desember. Rekening Koran akhir tahun untuk Rekening Giro Rupiah memuat transaksi yang terjadi pada hari kerja selama bulan Desember. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 25 Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran harianโ€ adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi pada hari yang bersangkutan. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran mingguanโ€ adalah Rekening Koran yang memuat transaksi yang terjadi selama periode minggu yang bersangkutan. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œRekening Koran akhir tahunโ€ adalah Rekening Koran yang dicetak pada setiap akhir bulan Desember. Rekening Koran akhir tahun untuk Rekening Giro Rupiah memuat transaksi yang terjadi pada minggu keempat bulan Desember. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Pencetakan Rekening Koran akhir tahun dilakukan pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya apabila akhir tahun adalah hari libur. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. 26 Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œuntuk keperluan tertentuโ€ antara lain untuk keperluan audit. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan tidak normalโ€ adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi, maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran Penatausahaan Rekening Giro. Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan daruratโ€ adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Bank Indonesia dan/atau Pemilik Rekening Giro yang menyebabkan Penatausahaan Rekening Giro tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh tetapi tidak terbatas pada kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. Sarana penyetoran dan sarana penarikan yang digunakan pada saat keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat tetap mengacu pada persyaratan warkat yang diatur dalam ketentuan yang berlaku. 27 Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/20/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> REKENING GIRO DI BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 29 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2017 </effective_date> <replaced_reg> '8/34/DASP|SE-BI/2006', '16/26/DPTP|SE-BI/2014' </replaced_reg> <related_reg> '17/24/PBI/2015' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/13/PADG/2017 TENTANG PENUKARAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar maka diperlukan layanan penukaran uang rupiah kepada masyarakat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penukaran Uang Rupiah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5323); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENUKARAN UANG RUPIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang. 2. Uang Rupiah Kertas adalah Uang Rupiah dalam bentuk lembaran yang terbuat dari kertas uang. 3. Uang Rupiah Logam adalah Uang Rupiah dalam bentuk koin yang terbuat dari logam uang. 4. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. 5. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan. 6. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Uang Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau mengerut. 8. Uang Rupiah Khusus adalah Uang Rupiah yang dikeluarkan secara khusus untuk tujuan tertentu atau dalam rangka memperingati peristiwa yang bersifat nasional atau internasional dan memiliki nilai nominal yang berbeda dengan nilai jualnya. 9. Ciri Uang Rupiah adalah tanda tertentu pada setiap Uang Rupiah yang ditetapkan dengan tujuan untuk menunjukkan identitas, membedakan harga atau nilai nominal, dan mengamankan Uang Rupiah tersebut dari upaya pemalsuan. 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 11. Penukaran Uang Rupiah adalah kegiatan penerimaan Uang Rupiah dari masyarakat dan memberikan penggantian berupa Uang Rupiah. BAB II PENUKARAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Penggantian Uang Rupiah Pasal 2 (1) Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia memberikan layanan Penukaran Uang kepada masyarakat. (2) Layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penukaran: a. Uang Rupiah yang masih layak edar dalam pecahan yang sama atau pecahan lainnya; dan/atau b. Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, yang diberikan penggantian sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 3 Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang hilang atau musnah karena sebab apapun. Bagian Kedua Tempat dan Waktu Penukaran Uang Rupiah Pasal 4 (1) Pelaksanaan Penukaran Uang Rupiah dilakukan: a. b. di kantor dan/atau di luar kantor Bank Indonesia; dan/atau di kantor dan/atau di luar kantor pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (2) Penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada hari dan jam operasional Penukaran Uang Rupiah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada masyarakat. Pasal 5 (1) Penukaran Uang Rupiah di kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan untuk Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (2) Penukaran Uang Rupiah di kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk Uang Rupiah yang masih layak edar dan/atau Uang Rupiah Lusuh, pada waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada masyarakat. (3) Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan untuk Uang Rupiah yang masih layak edar, Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (4) Penukaran Uang Rupiah di kantor dan/atau di luar kantor pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan untuk Uang Rupiah yang masih layak edar, Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah Rusak, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. BAB III TATA CARA PENUKARAN UANG RUPIAH DAN PERSYARATAN PENGGANTIAN UANG RUPIAH Bagian Kesatu Tata Cara Penukaran Uang Rupiah Pasal 6 (1) Masyarakat yang akan menukarkan Uang Rupiah kepada Bank Indonesia dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, harus terlebih dahulu memilah dan mengemas Uang Rupiah yang akan ditukarkan. (2) Tata cara pemilahan dan pengemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Uang Rupiah Kertas yaitu: a. Uang Rupiah Kertas dipilah menurut jenis pecahan dan tahun emisi, disusun searah, dan dipisahkan antara Uang Rupiah yang masih layak edar dengan Uang Rupiah Tidak Layak Edar, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran; dan b. Uang Rupiah Kertas dikemas dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Uang Rupiah Kertas dalam jumlah 100 (seratus) lembar dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama diikat menjadi 1 (satu) pak; dan 2. Uang Rupiah Kertas dalam jumlah 10 (sepuluh) pak dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama diikat menjadi 1 (satu) brood. (3) Tata cara pemilahan dan pengemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Uang Rupiah Logam yaitu: a. Uang Rupiah Logam dipilah menurut jenis pecahan dan tahun emisi, serta dipisahkan antara Uang Rupiah yang masih layak edar dengan Uang Rupiah Tidak Layak Edar, dan/atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran; dan b. Uang Rupiah Logam dalam jumlah 500 (lima ratus) keping dengan jenis pecahan dan tahun emisi yang sama dikemas dalam kantong transparan. Bagian Kedua Persyaratan Penggantian Uang Rupiah Pasal 7 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah yang masih layak edar sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan dalam pecahan dan tahun emisi yang sama atau berbeda. (2) Penggantian terhadap Uang Rupiah yang masih layak edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya. Pasal 8 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Lusuh dan/atau Uang Rupiah Cacat sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan. (2) Penggantian terhadap Uang Rupiah Lusuh dan/atau Uang Rupiah Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya. Pasal 9 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Rusak sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan. (2) Penggantian terhadap Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Uang Rupiah Kertas 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan dengan persyaratan: a) Uang Rupiah Kertas masih merupakan satu kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap; atau b) Uang Rupiah Kertas tidak merupakan satu kesatuan dan kedua nomor seri pada Uang Rupiah Rusak tersebut lengkap dan sama; dan 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. b. Uang Rupiah Logam 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan; dan 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama dengan atau kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. c. Uang Rupiah Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer) 1. diberikan penggantian sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan masih utuh serta Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan; 3. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan tidak utuh, diberikan penggantian sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya dan fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dalam kondisi mengerut; dan 4. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. Pasal 10 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar, sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang menurut penelitian Bank Indonesia Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya dan memenuhi persyaratan penggantian yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat meminta masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyertakan surat keterangan dari kelurahan atau kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dengan pertimbangan tertentu. Pasal 11 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya dan masih dalam jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pencabutan dan penarikan uang rupiah. (2) Penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku setelah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pencabutan. (3) Jangka waktu penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur sebagai berikut: a. 5 (lima) tahun sejak tanggal pencabutan, penukaran dilakukan di Bank Indonesia, Bank yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia; dan b. 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu penukaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a, penukaran dilakukan di Bank Indonesia dan pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (4) Jangka waktu penggantian atas Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebelum tanggal 17 Mei 1999 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pencabutan dan penarikan uang rupiah. Pasal 12 Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, atau Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dalam kondisi rusak sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atau Pasal 10 ayat (1). Bagian Ketiga Penukaran Uang Rupiah Khusus Pasal 13 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya. (2) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus dalam kondisi lusuh atau cacat sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya. (3) Bank Indonesia memberikan penggantian kepada masyarakat yang menukarkan Uang Rupiah Khusus dalam kondisi rusak sebesar nilai nominal Uang Rupiah yang ditukarkan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1). BAB IV UANG RUPIAH RUSAK YANG KERUSAKANNYA DIDUGA DILAKUKAN SECARA SENGAJA ATAU DILAKUKAN SECARA SENGAJA Pasal 14 Bank Indonesia tidak memberikan penggantian terhadap Uang Rupiah Rusak apabila menurut Bank Indonesia kerusakan Uang Rupiah tersebut: a. diduga dilakukan secara sengaja; atau b. dilakukan secara sengaja. Pasal 15 (1) Kerusakan Uang Rupiah diduga dilakukan secara sengaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a apabila tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan. (2) Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b apabila berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang Rupiah dirusak secara sengaja. BAB V UANG RUPIAH YANG TIDAK MENDAPAT PENGGANTIAN Pasal 16 (1) Bank Indonesia mengembalikan Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian kepada penukar. (2) Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan mencantumkan frasa โ€œTIDAK DIGANTIโ€ atau tanda lainnya yang memungkinkan untuk dicantumkan pada Uang Rupiah tersebut sebelum dikembalikan kepada penukar. Pasal 17 (1) Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat diserahkan oleh penukar kepada Bank Indonesia untuk dimusnahkan. (2) Penyerahan Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pengisian dan penandatanganan formulir penyerahan Uang Rupiah. (3) Bank Indonesia memusnahkan Uang Rupiah yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dituangkan dalam berita acara. BAB VI PENELITIAN TERHADAP UANG RUPIAH Pasal 18 (1) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan untuk penggantian Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat ditindaklanjuti dengan penelitian terhadap Uang Rupiah Rusak sepanjang disetujui oleh penukar. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam formulir penelitian yang memuat: a. identitas dan alamat lengkap penukar; b. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak diserahkan kepada Bank Indonesia untuk dilakukan penelitian; c. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak setelah penelitian tidak dikembalikan oleh Bank Indonesia apabila kondisi fisik Uang Rupiah Rusak tersebut tidak memungkinkan untuk dikembalikan dan selanjutnya dimusnahkan oleh Bank Indonesia; d. nomor telepon penukar yang dapat dihubungi; e. alamat surat elektronik penukar apabila ada; f. nama dan nomor rekening Bank yang ditunjuk oleh penukar apabila penggantian dilakukan secara transfer; dan g. keterangan lainnya apabila diperlukan. (3) Bank Indonesia melakukan penelitian dan menyampaikan pemberitahuan hasil penelitian kepada penukar paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal formulir penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui surat dan/atau surat elektronik. (5) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan memberitahukan kepada penukar melalui surat dan/atau surat elektronik. Pasal 19 (1) Dalam hal hasil penelitian menyatakan Uang Rupiah Rusak mendapat penggantian maka Bank Indonesia memberikan penggantian kepada penukar secara: a. tunai; atau b. transfer ke rekening Bank yang ditunjuk oleh penukar. (2) Bank Indonesia mengembalikan Uang Rupiah Rusak yang tidak mendapatkan penggantian berdasarkan hasil penelitian kepada penukar sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), sepanjang kondisi fisik Uang Rupiah Rusak tersebut memungkinkan untuk dikembalikan. (3) Dalam memberikan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan konfirmasi kepada penukar mengenai: a. kebenaran identitas penukar; b. jumlah Uang Rupiah Rusak yang memperoleh penggantian; c. lokasi dan waktu pengambilan penggantian secara tunai di kantor Bank Indonesia; d. rekening Bank yang ditunjuk oleh penukar, apabila penukar memilih penggantian dengan cara transfer ke rekening Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan/atau e. pengambilan fisik Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kantor Bank Indonesia. (4) Dalam hal penukar tidak dapat dihubungi oleh Bank Indonesia selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal konfirmasi pertama atau penukar tidak diketahui keberadaannya maka penyelesaian terhadap penggantian Uang Rupiah dialihkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Dalam hal penukar tidak bersedia mengambil atau tidak dapat dihubungi oleh Bank Indonesia selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal konfirmasi pertama atau penukar tidak diketahui keberadaannya maka Bank Indonesia memusnahkan Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dituangkan dalam berita acara. BAB VII PENUKARAN UANG RUPIAH MELALUI POS Pasal 20 (1) Masyarakat dapat melakukan Penukaran Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak dengan cara mengirimkan formulir penukaran disertai fisik Uang Rupiah tersebut ke kantor Bank Indonesia terdekat menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang. (2) Pengiriman formulir penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke alamat kantor Bank Indonesia yang tercantum dalam laman resmi Bank Indonesia. (3) Penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Bank dan lembaga keuangan bukan Bank. (4) Masyarakat yang melakukan penukaran Uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melakukan hal sebagai berikut: a. mengisi formulir penukaran sesuai contoh yang tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. memilah dan mengemas Uang Rupiah dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3); dan c. menempatkan Uang Rupiah ke dalam amplop atau kemasan yang tertutup dan tidak mudah rusak. (5) Bank Indonesia menerima dan mencatat formulir penukaran berikut fisik Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jumlah dan kondisi fisik Uang Rupiah tersebut sebagai bukti Penukaran Uang Rupiah. (6) Segala risiko yang terjadi terhadap fisik Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak selama dalam proses pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab penukar. Pasal 21 (1) Penggantian terhadap Uang Rupiah yang ditukarkan dengan menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang diberikan berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia. (2) Tata cara penelitian dan penggantian Uang Rupiah Rusak yang disampaikan menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. BAB VIII PENUKARAN UANG RUPIAH OLEH BANK Pasal 22 (1) Bank yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat. (2) Pelaksanaan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di setiap kantor operasional Bank. Pasal 23 (1) Penggantian Uang Rupiah oleh Bank kepada penukar dilakukan secara: a. tunai; atau b. mengkredit rekening simpanan yang ditunjuk oleh penukar di Bank yang bersangkutan. (2) Dalam hal penggantian dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka Bank memberikan Uang Rupiah yang masih layak edar dengan jenis pecahan sesuai yang dibutuhkan oleh penukar. (3) Jenis pecahan sesuai yang dibutuhkan oleh penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sepanjang Bank memiliki persediaan jenis pecahan tersebut. (4) Dalam hal penggantian dilakukan dengan cara mengkredit ke rekening simpanan yang ditunjuk oleh penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b maka Bank harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari penukar. Pasal 24 Bank tidak boleh menolak permintaan Penukaran Uang Rupiah dari masyarakat sepanjang Bank memiliki persediaan Uang Rupiah yang masih layak edar. Pasal 25 (1) Masyarakat yang akan menukarkan Uang Rupiah kepada Bank harus terlebih dahulu memilah dan mengemas Uang Rupiah yang akan ditukarkan menurut jenis pecahan, disusun searah, tahun emisi, dan dipisahkan antara Uang Rupiah yang masih layak edar, Uang Rupiah yang Tidak Layak Edar, dan Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran serta dikemas dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 6 ayat (3) huruf b. (2) Bank dalam melakukan penggantian terhadap: a. Uang Rupiah yang masih layak edar berpedoman pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. Uang Rupiah Lusuh dan/atau Uang Rupiah Cacat berpedoman pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; c. Uang Rupiah Rusak berpedoman pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2); dan/atau d. Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran berpedoman pada persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Dalam hal Bank mengalami kesulitan dalam melakukan penggantian terhadap Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak yang ditukarkan oleh penukar karena memerlukan penelitian, Bank menindaklanjuti dengan menerima dan menyampaikan Uang Rupiah tersebut kepada Bank Indonesia. (4) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. mencatat identitas lengkap penukar; b. meminta penukar mengisi dan menandatangani formulir penukaran; c. menginformasikan kepada penukar bahwa Uang Rupiah dimaksud akan disampaikan kepada kantor Bank Indonesia terdekat untuk memperoleh hasil penelitian akan diganti atau tidak diganti; d. menginformasikan kepada penukar apabila Uang Rupiah tersebut tidak mendapatkan penggantian dari Bank Indonesia maka fisik Uang Rupiah akan dimusnahkan oleh Bank Indonesia; dan e. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah sampai dengan Uang Rupiah tersebut disampaikan kepada kantor Bank Indonesia terdekat. (5) Formulir penukaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat: a. identitas dan alamat lengkap penukar; b. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak diserahkan kepada Bank Indonesia untuk dilakukan penelitian; c. persetujuan bahwa Uang Rupiah Rusak setelah penelitian tidak dikembalikan oleh Bank Indonesia; d. nomor telepon penukar yang dapat dihubungi; e. nama dan nomor rekening Bank yang ditunjuk oleh penukar apabila penggantian dilakukan secara transfer; dan f. keterangan lainnya apabila diperlukan. Pasal 26 (1) Bank meneruskan Uang Rupiah yang diserahkan oleh penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) kepada kantor Bank Indonesia terdekat secara langsung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3). (2) Bank Indonesia memberikan bukti Penukaran Uang Rupiah kepada Bank untuk disampaikan kepada penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (3) Tanpa mengesampingkan atau mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf b, Bank dapat menerima Penukaran Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran. (4) Dalam hal Bank menerima Penukaran Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tata cara pelaksanaan penggantiannya mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). Pasal 27 (1) Bank harus menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari masyarakat dalam kegiatan Penukaran Uang Rupiah. (2) Bank menindaklanjuti Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah yang diragukan keasliannya. BAB VII PENYELESAIAN TERHADAP UANG RUPIAH TIDAK ASLI Pasal 28 (1) Bank Indonesia tidak memberikan penggantian terhadap Uang Rupiah tidak asli yang diterima dari masyarakat dalam kegiatan Penukaran Uang Rupiah. (2) Bank Indonesia menahan Uang Rupiah tidak asli yang diperoleh dari masyarakat dalam Penukaran Uang Rupiah untuk diselesaikan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah yang diragukan keasliannya. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 29 (1) Masyarakat dapat meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia dalam kegiatan Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia. (2) Tata cara permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai klarifikasi atas uang rupiah yang diragukan keasliannya. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/12/DPU tanggal 29 April 2011, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 31 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/ 13 /PADG/2017 TENTANG PENUKARAN UANG RUPIAH I. UMUM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang diatur bahwa Bank Indonesia, Bank yang beroperasi di di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia melakukan penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat. Penukaran Uang Rupiah oleh Bank tersebut sejalan dengan peran perbankan sebagai lembaga intermediasi. Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat merupakan salah satu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan Uang Rupiah dalam jumlah nominal yang cukup, tepat waktu, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar. Untuk memberikan kemudahan akses Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat maka Bank Indonesia membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengirimkan Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak kepada kantor Bank Indonesia terdekat menggunakan pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang. Selain itu, Penukaran Uang Rupiah oleh Bank kepada nasabahnya dapat dilakukan dengan cara mengkredit rekening simpanan yang ditunjuk penukar di Bank tersebut dalam rangka efektivitas layanan Penukaran Uang Rupiah oleh Bank. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Yang dimaksud dengan โ€œUang Rupiah yang hilang atau musnahโ€ adalah Uang Rupiah yang karena suatu sebab maka fisik dan/atau tanda keasliannya telah hilang atau musnah. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Kantor Bank Indonesia meliputi Kantor Pusat Bank Indonesia dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang memiliki fungsi pengelolaan Uang Rupiah. Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia dilaksanakan antara lain dalam bentuk kas keliling yaitu layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat dengan menggunakan moda transportasi di tempat keramaian dan/atau tempat lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Huruf b Pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia adalah badan usaha yang memiliki kerja sama Penukaran Uang Rupiah dengan Bank Indonesia. Ayat (2) Pengumuman kepada masyarakat dilakukan melalui media massa, pengumuman di kantor Bank Indonesia, dan/atau laman resmi Bank Indonesia. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. 3 Ayat (2) Waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain menjelang hari raya keagamaan, hari libur nasional, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengumuman kepada masyarakat dilakukan melalui media massa, pengumuman di kantor Bank Indonesia, dan/atau laman resmi Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pemilahan dan pengemasan Uang Rupiah oleh masyarakat bertujuan untuk kemudahan dan kelancaran proses Penukaran Uang Rupiah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpecahanโ€ adalah angka yang tercantum pada Uang Rupiah sebagai nilai nominal. Yang dimaksud dengan โ€œtahun emisiโ€ adalah tahun pengeluaran Uang Rupiah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpecahanโ€ adalah angka yang tercantum pada Uang Rupiah sebagai nilai nominal. Yang dimaksud dengan โ€œtahun emisiโ€ adalah tahun pengeluaran Uang Rupiah. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. 4 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsatu kesatuanโ€ adalah kondisi fisik Uang Rupiah Kertas yang diserahkan oleh masyarakat hanya terdiri atas 1 (satu) bagian. Yang dimaksud dengan โ€œtidak merupakan satu kesatuanโ€ adalah kondisi fisik Uang Rupiah Kertas terdiri atas 2 (dua) bagian atau lebih yang terpisah yang tidak disambungkan atau disambungkan kembali dengan perekat atau alat lainnya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pertimbangan tertentu Bank Indonesia antara lain Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar yang disebabkan oleh kebakaran rumah/properti lain. Surat keterangan dari kelurahan atau kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi antara lain keterangan terjadinya kebakaran rumah/properti lain atau kecelakaan atau kejadian lain yang menyebabkan terbakarnya Uang Rupiah, waktu kejadian, dan perkiraan nilai nominal Uang Rupiah yang terbakar. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 5 Ayat (4) Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran sebelum tanggal 17 Mei 1999 memiliki jangka waktu penukaran lebih dari 10 (sepuluh) tahun, seperti contoh Uang Rupiah pecahan 10.000 tahun emisi 1979 yang dicabut dan ditarik dari peredaran mulai tanggal 1 Mei 1992 memiliki jangka waktu penukaran sampai dengan tanggal 30 April 2025. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Uang Rupiah Khusus terdiri atas: a. Uang Rupiah Kertas yang dapat berbentuk Uang Rupiah Kertas bersambung (uncut banknotes); dan b. Uang Rupiah Logam. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Dugaan kesengajaan antara lain terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah Uang Rupiah yang ditukarkan relatif banyak dengan pola kerusakan yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. 6 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pertimbangan Bank Indonesia memberikan tanda pada Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian karena Uang Rupiah tersebut dinyatakan sudah tidak memiliki nilai nominal. Pasal 17 Ayat (1) Pertimbangan penyerahan Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian kepada Bank Indonesia untuk dimusnahkan antara lain: a. Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian sudah tidak memiliki nilai nominal; dan b. mencegah Uang Rupiah yang tidak mendapat penggantian beredar kembali di masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pemberitahuan kepada penukar bertujuan untuk memberikan kepastian bagi penukar. 7 Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penggantian secara tunai adalah penukar menerima penggantian berupa Uang Rupiah yang masih layak edar baik dalam pecahan yang sama atau pecahan lainnya. Penggantian dari Bank Indonesia dilakukan di kantor Bank Indonesia tempat penukar menukarkan Uang Rupiah. Ayat (2) Proses penelitian terhadap Uang Rupiah Rusak dapat menyebabkan kondisi fisik Uang Rupiah tersebut musnah atau tidak dapat lagi dikembalikan kepada penukar. Ayat (3) Konfirmasi kepada penukar dilakukan melalui telepon dan/atau surat elektronik. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Penukaran Uang Rupiah melalui pos tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang bertujuan untuk memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk menukarkan Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak kepada kantor Bank Indonesia terdekat. Masyarakat dapat mencantumkan tulisan โ€œPenukaran Uang Rupiahโ€ pada amplop atau kemasan lain yang tertutup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 8 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Bank sebagai lembaga intermediasi memiliki tugas memberikan layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat yang didukung dengan jaringan kantor operasional Bank yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk Bank yaitu kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Yang dimaksud dengan masyarakat merupakan masyarakat yang memiliki rekening simpanan (nasabah) dan yang tidak memiliki rekening simpanan (selain nasabah) di Bank tersebut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Penukaran Uang Rupiah di setiap kantor operasional Bank termasuk dalam hal kantor operasional Bank tersebut melakukan kegiatan di luar kantor dengan penyediaan layanan Penukaran Uang Rupiah kepada masyarakat. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penggantian secara tunai adalah penukar menerima penggantian berupa Uang Rupiah yang masih layak edar dari Bank di kantor atau luar kantor Bank tempat penukar menukarkan Uang Rupiah. Yang dimaksud dengan penggantian secara mengkredit rekening simpanan yang ditunjuk penukar di Bank tersebut adalah untuk efektivitas layanan Penukaran Uang Rupiah oleh Bank kepada nasabahnya. Ayat (2) Uang Rupiah yang masih layak edar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. 9 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Pemilahan dan pengemasan Uang Rupiah oleh masyarakat bertujuan untuk kemudahan dan kelancaran proses Penukaran Uang Rupiah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank tetap menerima dan menyampaikan Uang Rupiah Cacat, Uang Rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran, dan/atau Uang Rupiah Rusak kepada kantor Bank Indonesia terdekat dimaksudkan untuk membantu masyarakat dalam melakukan Penukaran Uang Rupiah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Bank harus meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diperoleh dari penukar kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 10 Pasal 29 Ayat (1) Kegiatan Penukaran Uang Rupiah di luar kantor Bank Indonesia seperti kegiatan kas keliling. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/13/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PENUKARAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 27 November 2017 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date> <replaced_reg> '13/12/DPU|SE-BI/2011', '10/8/DPU|SE-BI/2008' </replaced_reg> <related_reg> '14/7/PBI/2012' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/ 7/PADG/2017 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien dibutuhkan pengembangan instrumen pasar uang yang dapat ditransaksikan oleh pelaku pasar uang berupa sertifikat deposito; b. bahwa untuk menciptakan pasar yang teratur dan efisien diperlukan pengaturan sertifikat deposito yang ditransaksikan di pasar uang; c. bahwa pengaturan sertifikat deposito yang ditransaksikan di pasar uang perlu memperhatikan aspek tata kelola yang baik, mekanisme transaksi yang aman dan efisien, serta memperhatikan prinsip kehati- hatian dan didukung dengan pengawasan yang efektif; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6034); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 3. Kustodian adalah kustodian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pasar modal. 4. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 5. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan. 6. Transaksi Sertifikat Deposito adalah pemindahtanganan secara jual-beli putus (outright) Sertifikat Deposito yang dilakukan melalui Pasar Uang dengan kesepakatan harga, mekanisme penyelesaian, dan penatausahaan tertentu. 7. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau selanjutnya disingkat LPP adalah pihak yang menyelenggarakan kegiatan kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan pihak lain untuk kepentingan pencatatan dan penatausahaan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat. 8. Bukan Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun dan kegiatan utamanya tidak di Indonesia. 9. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan dan kelancaran sistem pembayaran. BAB II TENOR SERTIFIKAT DEPOSITO YANG DITRANSAKSIKAN DI PASAR UANG Pasal 2 (1) Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang memiliki tenor paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan, yaitu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 (dua puluh empat) bulan, atau 36 (tiga puluh enam) bulan. (2) Perhitungan tenor Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. tenor dihitung mulai dari tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh tempo Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang; b. perhitungan 1 (satu) bulan tenor sama dengan 30 (tiga puluh) hari kalender; c. dalam hal Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang memiliki jumlah hari bukan kelipatan 30 (tiga puluh) hari, dilakukan pembulatan dalam perhitungan tenor sesuai dengan kelebihan hari dari kelipatan 30 (tiga puluh) hari terakhir; dan d. pembulatan dilakukan ke bawah (rounded down) dalam perhitungan tenor apabila kelebihan hari kurang dari 15 (lima belas) hari. (3) Contoh perhitungan tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB III PENGAJUAN PERMOHONAN IZIN Bagian Kesatu Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Penerbit Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang Pasal 3 (1) Bank yang akan menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris perusahaan; b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terkini yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. fotokopi surat persetujuan untuk menerbitkan Sertifikat Deposito dalam bentuk tanpa warkat (scripless) dari otoritas yang berwenang; dan d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen perusahaan. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. memenuhi kriteria Sertifikat Deposito sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya setiap kali akan menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang; c. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang; dan d. mempertimbangkan risiko sistemik dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang. (4) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Perantara Pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito Pasal 4 (1) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang yang bertindak sebagai perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris perusahaan; b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terkini yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. fotokopi surat persetujuan izin usaha sebagai perantara pedagang efek dari otoritas yang berwenang; d. prosedur operasi standar dalam kegiatan perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito; dan e. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen perusahaan. (3) Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen perusahaan. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan ayat (3) meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; b. melaporkan Transaksi Sertifikat Deposito sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan c. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam Transaksi Sertifikat Deposito. (5) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Pengajuan Permohonan Izin Sebagai Kustodian Sertifikat Deposito Pasal 5 (1) Bank dan Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Kustodian Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Bank dan Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan surat permohonan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. informasi perusahaan, paling sedikit meliputi nama, alamat kantor pusat dan kontak korespondensi, serta daftar nama direksi dan dewan komisaris perusahaan; b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan anggaran dasar terkini yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. prosedur operasi standar dalam kegiatan kustodian Sertifikat Deposito; dan d. surat pernyataan yang berisi komitmen manajemen perusahaan. (3) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank menyampaikan fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha bank umum sebagai Kustodian dari otoritas yang berwenang. (4) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Efek menyampaikan fotokopi surat persetujuan izin kegiatan usaha sebagai perantara pedagang efek yang dapat mengadministrasikan rekening efek nasabah dari otoritas yang berwenang; (5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi komitmen manajemen untuk: a. memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya; dan b. menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pelaksanaan fungsi kustodian Transaksi Sertifikat Deposito. (6) Contoh surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Contoh dokumen informasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (8) Contoh surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 6 Pengajuan permohonan izin ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. BAB IV PEMROSESAN PERMOHONAN IZIN Pasal 7 (1) Bank Indonesia memberikan izin atau menolak permohonan secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung sesuai yang dipersyaratkan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia melakukan penelitian administratif terhadap kesesuaian dokumen yang diajukan sebagaimana kriteria yang ditetapkan di dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang beserta peraturan pelaksanaannya. (3) Bank Indonesia dapat melakukan klarifikasi lanjutan dalam bentuk: a. pertemuan tatap muka dengan pihak yang mengajukan izin untuk melakukan verifikasi atas kebenaran dan kesesuaian dokumen yang diajukan; dan/atau b. meminta informasi kepada otoritas yang berwenang. (4) Berdasarkan hasil penelitian administratif dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan klarifikasi lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia memutuskan untuk: a. memberikan izin; atau b. menolak permohonan. (5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diberikan dalam hal: a. hasil penelitian administratif menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan pemohon telah lengkap, benar, dan sesuai dengan kriteria yang diatur oleh Bank Indonesia; dan b. hasil klarifikasi lanjutan menunjukkan kebenaran sesuai dengan dokumen yang diajukan dan/atau tidak terdapat permasalahan berdasarkan infomasi dari otoritas yang berwenang; (6) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b ditolak dalam hal: a. hasil penelitian administratif menunjukkan bahwa dokumen yang disampaikan pemohon tidak benar dan/atau tidak sesuai terhadap kriteria yang diatur dengan yang dipersyaratkan oleh Bank Indonesia; dan b. hasil klarifikasi lanjutan tidak menunjukkan kebenaran dan kesesuaian dengan dokumen yang diajukan dan/atau berdasarkan informasi dari otoritas yang berwenang. terdapat permasalahan Pasal 8 Izin sebagai penerbit, perantara pelaksanaan transaksi, dan/atau Kustodian Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang dapat dicabut oleh Bank Indonesia dalam hal: a. izin usaha sebagai Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang dicabut oleh otoritas yang berwenang; b. c. d. terdapat putusan badan peradilan; terdapat rekomendasi dari otoritas yang berwenang; telah dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang; dan/atau e. berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia menunjukkan adanya permasalahan yang mempengaruhi kemampuan Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang, dalam melakukan kegiatan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang. BAB V KETERBUKAAN INFORMASI DAN PENDAFTARAN PADA LPP Bagian Kesatu Keterbukaan Informasi Pasal 9 Bank yang menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang harus mencantumkan pernyataan โ€œdapat ditransaksikan di Pasar Uangโ€ dalam halaman depan dokumen informasi penawaran kepada investor. Bagian Kedua Pendaftaran pada LPP Pasal 10 (1) Bank yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia untuk menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang harus menyampaikan fotokopi surat izin dimaksud kepada LPP sebagai bagian dari dokumen pendukung pendaftaran instrumen Sertifikat Deposito dalam penatausahaan LPP. (2) Penyampaian fotokopi surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sebelum Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang terdaftar secara efektif di LPP. BAB VI PENYAMPAIAN INFORMASI PENERBITAN Pasal 11 (1) Bank yang telah mendapatkan izin untuk menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang dari Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi realisasi penerbitan secara tertulis kepada Bank Indonesia setiap kali menerbitkan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang. (2) Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. security name (termasuk seri penerbitan) dan nomor International Securities Identification Number (ISIN); b. nominal penerbitan; c. diskonto; d. e. f. jangka waktu; tanggal penerbitan; tanggal jatuh tempo; dan g. penatalaksana penerbitan (arranger). (3) Informasi realisasi penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah Sertifikat Deposito diterbitkan dan dicatat secara efektif pada LPP. (4) Penyampaian informasi realisasi penerbitan ke Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. BAB VII TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG Pasal 12 (1) Penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito harus dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah transaksi (t+5). (2) Contoh penyelesaian Transaksi Sertifikat Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 13 (1) Perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito menggunakan konvensi perhitungan hari (day-count convention) yaitu Actual/360. (2) Contoh perhitungan harga Transaksi Sertifikat Deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 (1) Penentuan harga dalam Transaksi Sertifikat Deposito dapat mengacu pada suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang. (2) Suku bunga acuan yang berlaku secara umum di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) untuk mata uang rupiah; atau b. London Interbank Offered Rate (LIBOR) atau suku bunga acuan lainnya yang lazim digunakan untuk mata uang valuta asing. Pasal 15 (1) Bank dan Perusahaan Efek dilarang menjual Sertifikat Deposito yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder. (2) Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilarang memberikan jasa perantara penjualan Sertifikat Deposito yang berdenominasi rupiah dan/atau valuta asing dari nasabah penduduk kepada Bukan Penduduk di pasar sekunder. (3) Contoh larangan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VIII PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang Pasal 16 (1) Pelapor Transaksi Sertifikat Deposito terdiri atas: a. Bank; b. Perusahaan Efek; dan c. Perusahaan Pialang. (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang terdiri atas: a. laporan Transaksi Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri yang dilakukan oleh Bank dan Perusahaan Efek; dan/atau b. laporan Transaksi Sertifikat Deposito untuk kepentingan nasabah yang dilakukan oleh Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang sebagai perantara. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan pengaturan sebagai berikut: a. bagi pelapor Bank, melalui sistem laporan harian bank umum; b. bagi pelapor Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang, melalui sistem laporan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan transaksi sertifikat deposito oleh perusahaan efek dan perusahaan pialang. (4) Tata cara penyampaian laporan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum dan laporan transaksi sertifikat deposito oleh perusahaan efek dan perusahaan pialang. Bagian Kedua Pelaporan Penatausahaan Sertifikat Deposito Pasal 17 (1) LPP wajib menyampaikan laporan atas penatausahaan Sertifikat Deposito kepada Bank Indonesia secara periodik. (2) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan LPP. BAB IX PENGAWASAN Pasal 18 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP yang terkait dengan penerbitan dan transaksi Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. Pasal 19 (1) Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP wajib menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank Indonesia. (2) Bank, Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan LPP wajib bertanggung jawab atas kebenaran data, informasi, dan/atau keterangan yang disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB X PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Pengenaan Sanksi Pelaporan Pasal 20 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur tentang laporan harian bank umum. (2) Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dan Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan transaksi sertifikat deposito oleh perusahaan efek dan perusahaan pialang. Bagian Kedua Pengenaan Sanksi Teguran Tertulis Pasal 21 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau Pasal 7 ayat (2) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. Bagian Ketiga Pengenaan Sanksi Kewajiban Membayar Pasal 22 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan/atau Pasal 5 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal penerbitan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per penerbitan. (2) Bank atau Perusahaan Efek yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi. (3) Perusahaan Efek atau Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai nominal transaksi yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada Bank, Perusahaan Efek, atau Perusahaan Pialang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (5) Pengenaan sanksi kewajiban membayar diatur sebagai berikut: a. Sanksi kewajiban membayar bagi Bank dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. b. Sanksi kewajiban membayar bagi Perusahaan Efek dan Perusahaan Pialang dilakukan dengan cara melakukan setoran kepada rekening Bank Indonesia dan menyampaikan bukti setoran paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat pengenaan sanksi kewajiban membayar kepada alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (6) Contoh pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Keempat Pengenaan Sanksi Penghentian Sementara Kegiatan di Pasar Uang Pasal 23 (1) Bank yang melakukan pelanggaran atas Pasal 3 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), dan/atau Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang, berupa penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang, kegiatan sebagai Kustodian, dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah, selama 1 (satu) bulan. (2) Perusahaan Efek yang melakukan pelanggaran atas Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang, yaitu kegiatan sebagai Kustodian dan/atau Transaksi Sertifikat Deposito untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah, selama 1 (satu) bulan. (3) Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran atas Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), dan/atau Pasal 11 dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali selama 6 (enam) bulan dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang, yaitu pemberian jasa perantara pelaksanaan Transaksi Sertifikat Deposito, selama 1 (satu) bulan. (4) Bank Indonesia menyampaikan surat penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang kepada Bank, Perusahaan Efek, atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (5) Contoh pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kelima Pengenaan Sanksi Pencabutan Izin Pasal 24 (1) Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang yang telah mendapatkan sanksi penghentian sementara kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, sebanyak 3 (tiga) kali dikenakan sanksi pencabutan izin yang telah diberikan. (2) Bank Indonesia menyampaikan surat pencabutan izin kepada Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang, dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. (3) Contoh pengenaan sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Nomor 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 Kewajiban pelaporan yang disampaikan oleh: a. Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang; b. Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang; atau c. LPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018. Pasal 27 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/7/PADG/2017 TENTANG TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG I. UMUM Dalam rangka meningkatkan efektivitas kebijakan moneter, makroprudensial, stabilitas sistem keuangan, kelancaran sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, perlu dilakukan pengembangan pasar uang yang likuid, dalam, dan efisien. Salah satu elemen utama pengembangan pasar uang adalah pengembangan instrumen pasar uang yang mampu mendorong tersedianya variasi instrumen bagi pelaku pasar. Terkait hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia selaku otoritas di pasar uang mengatur, memberikan perizinan, mengembangkan dan mengawasi Sertifikat Deposito yang dapat ditransaksikan di Pasar Uang. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang. Dalam rangka implementasi ketentuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan peraturan pelaksanaan yang berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi Sertifikat Deposito di Pasar Uang, yang terdiri dari aspek perizinan, pelaporan, dan pengawasan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œtanggal penerbitanโ€ adalah tanggal dilakukannya distribusi Sertifikat Deposito secara elektronik oleh LPP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup pelaksanaan: 1. 2. perlindungan konsumen; dan transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan manajemen risiko bank. Huruf d Pertimbangan risiko sistemik bertujuan untuk meningkatkan pemahaman (awareness) penerbit mengenai dampak dari penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang terhadap stabilitas sistem keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Prosedur operasi standar mencakup paling sedikit antara lain: 1. judul prosedur operasi standar; 2. penanggung jawab prosedur operasi standar; 3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar; 4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan tahapan prosedur (input, process, output); dan 5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan manajemen risiko perusahaan efek. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Prosedur operasi standar mencakup antara lain: 1. judul prosedur operasi standar; 2. penanggung jawab prosedur operasi standar; 3. pihak yang melaksanakan prosedur operasi standar; 4. diagram alir (flowchart) dan penjelasan pelaksanaan tahapan prosedur (input, process, output); dan 5. batasan waktu dan pelaksanaan dalam setiap prosedur. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penerapan prinsip kehati-hatian mencakup: 1. penerapan etika bertransaksi dan market code of conduct yang diterima secara umum; 2. transparansi dan keterbukaan informasi kepada nasabah; 3. perlindungan konsumen; dan 4. penyelesaian sengketa. Penerapan manajemen risiko dalam penerbitan Sertifikat Deposito yang ditransaksikan di Pasar Uang mengacu pada ketentuan otoritas yang berwenang mengatur penerapan manajemen risiko bank dan perusahaan efek. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penelitian administratif dilakukan setelah surat permohonan dan dokumen pendukung sesuai yang dipersyaratkan diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Klarifikasi lanjutan dilakukan dalam hal diperlukan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œputusan badan peradilanโ€ adalah putusan yang dapat mempengaruhi kinerja/legalitas Bank, Perusahaan Efek, dan/atau Perusahaan Pialang, antara lain putusan kepailitan, pembubaran perusahaan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 9 Pencantuman pernyataan โ€œdapat ditransaksikan di Pasar Uangโ€ dalam rangka transparansi kepada investor bahwa Sertifikat Deposito yang memiliki fitur dapat ditransaksikan di Pasar Uang hanya dapat diterbitkan oleh Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia. Dokumen informasi penawaran yang digunakan antara lain dalam bentuk memorandum informasi atau dokumen sejenis yang lazim dipergunakan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œtanggal penerbitanโ€ adalah tanggal dilakukannya distribusi Sertifikat Deposito secara elektronik oleh LPP. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/7/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI SERTIFIKAT DEPOSITO DI PASAR UANG </reg_title> <set_date> 19 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date> <replaced_reg> '21/27/UPG|SE-BI/1988' </replaced_reg> <related_reg> '18/11/PBI/2016', '19/2/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/16/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan pengembangan pasar valuta asing domestik secara menyeluruh, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi; b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar valuta asing domestik diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik terkait dengan penggunaan kontrak dalam bertransaksi, variasi instrumen, underlying transaksi, dan penyelesaian transaksi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5926); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri namun tidak termasuk kantor bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Nasabah adalah: a. perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia; atau b. badan usaha selain Bank yang berbadan hukum Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 3. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi penjualan dan pembelian valuta asing terhadap rupiah. 4. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai 3 tukar valuta asing terhadap rupiah, gabungan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah dan suku bunga (valuta asing dan rupiah), atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. 5. Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari pembelian atau penjualan valuta asing terhadap rupiah. 6. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi, termasuk transaksi dengan penyerahan dana pada hari yang sama (today) atau dengan penyerahan dana 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi (tomorrow). 7. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan dalam waktu lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 8. Transaksi Swap adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan cara pembelian secara tunai atau berjangka dengan penjualan kembali secara berjangka atau penjualan secara tunai atau berjangka dengan pembelian kembali secara berjangka, yang dilakukan secara simultan dengan pihak yang sama pada tanggal transaksi. 9. Transaksi Option adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah yang didasari suatu perjanjian yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli (call option) atau menjual (put option) pada tanggal tertentu dalam periode perjanjian transaksi. 10. Transaksi Cross Currency Swap adalah transaksi 2 (dua) pihak untuk melakukan pertukaran serangkaian pembayaran bunga (interest payment) dalam mata uang berbeda yang dilakukan dengan atau tanpa pertukaran pokok (principal) dalam jangka waktu tertentu. 4 11. Call Spread Option adalah gabungan beli call option dan jual call option yang dilakukan secara simultan dalam 1 (satu) kontrak transaksi dengan strike price yang berbeda dan nominal yang sama. BAB II TRANSAKSI Bagian Kesatu Kontrak Pasal 2 Bank dapat melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah atas dasar suatu kontrak untuk kepentingan: a. sendiri; dan/atau b. Nasabah yang merupakan pihak domestik. Pasal 3 (1) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa: a. konfirmasi tertulis berupa kontrak Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan/atau b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi. (2) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit berisi: a. nomor kontrak; b. tanggal transaksi dan tanggal valuta; c. nilai nominal transaksi; d. nama counterparty; e. mata uang atau denominasi; dan f. rekening bank koresponden. 5 (3) Kontrak yang digunakan dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Bank untuk kepentingan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b paling sedikit berisi: a. nomor kontrak; b. hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, yaitu Bank dan Nasabah; c. tanggal transaksi dan tanggal valuta; d. nilai nominal transaksi; e. pagu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah; f. jenis valuta yang diperjualbelikan; g. jenis transaksi yang digunakan; h. besarnya komisi; dan i. rekening bank koresponden. (4) Kontrak yang digunakan oleh pelaku pasar dalam melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dapat berupa perjanjian induk derivatif Indonesia dengan contoh yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 4 (1) Dalam hal kontrak yang digunakan Bank dalam Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) mencantumkan penggunaan acuan kurs dalam penyelesaian transaksi pada saat jatuh waktu, Bank harus mengacu pada kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR). (2) JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Bank Indonesia menerbitkan JISDOR setiap hari kerja melalui situs web Bank Indonesia dan/atau media lainnya; dan b. penggunaan JISDOR berlaku untuk transaksi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah. 6 Bagian Kedua Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 5 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi transaksi pembelian dan penjualan dalam denominasi seluruh valuta asing terhadap rupiah. (2) Dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Nasabah, Bank wajib menggunakan kuotasi harga atau kurs valuta asing terhadap rupiah yang ditetapkan oleh Bank. Pasal 6 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah meliputi: a. Transaksi Spot; dan b. Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. transaksi derivatif yang standar (plain vanilla), dalam bentuk forward, swap, option, dan cross currency swap; dan b. transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. Pasal 7 (1) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan transaksi derivatif yang standar (plain vanilla) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a yang dilakukan Bank dengan Nasabah di atas jumlah tertentu (threshold) wajib memiliki Underlying Transaksi. (2) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b wajib memiliki Underlying Transaksi. 7 Pasal 8 Pembelian dan penjualan valuta asing terhadap rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dilakukan untuk: a. jenis valuta asing yang sama dengan yang tercantum dalam dokumen Underlying Transaksi; atau b. jenis valuta asing yang berbeda dengan dokumen Underlying Transaksi apabila disertai dengan dokumen yang dapat menjelaskan alasan perbedaan tersebut. Pasal 9 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Spot; dan b. sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per bulan per Nasabah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) melalui Transaksi Forward dan Transaksi Option. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dalam Transaksi Spot beli pada near leg untuk kepentingan Transaksi Swap jual. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku pula untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dalam Transaksi Forward beli pada far leg untuk kepentingan Transaksi Swap beli. (4) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. perhitungan 1 (satu) bulan didasarkan pada bulan kalender, yaitu sejak tanggal permulaan bulan kalender sampai dengan tanggal berakhirnya bulan kalender; 8 b. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada tanggal transaksi (transaction date); c. perhitungan nominal transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah didasarkan pada jenis transaksi; d. perhitungan nominal transaksi didasarkan pada akumulasi seluruh transaksi dalam 1 (satu) bulan kalender yang dilakukan oleh masing-masing Nasabah baik secara tunai maupun nontunai dalam bentuk simpanan valuta asing; dan e. jumlah nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah melalui rekening gabungan (joint account) yang dimiliki lebih dari 1 (satu) Nasabah dihitung per rekening gabungan (joint account). (5) Penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh Nasabah kepada Bank tanpa Underlying Transaksi hanya dapat dilakukan paling banyak: a. sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui Transaksi Forward; dan b. sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya per transaksi per Nasabah melalui Transaksi Option. Pasal 10 Transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) kepada Bank diatur sebagai berikut: a. transaksi wajib didukung oleh Underlying Transaksi berupa kegiatan usaha jual beli Uang Kertas Asing (UKA) oleh penyelenggara KUPVA Bank dan penyelenggara KUPVA bukan Bank yang memiliki izin dari Bank Indonesia yang masih berlaku untuk memenuhi kebutuhan nasabah dari penyelenggara KUPVA; 9 b. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan penyelenggara KUPVA hanya dalam bentuk UKA; c. penyerahan UKA dalam penyelesaian transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah dari Bank kepada penyelenggara KUPVA harus dilakukan secara fisik; dan d. penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah dapat dilakukan melalui pemindahbukuan rekening. Pasal 11 (1) Dalam melakukan kegiatan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Bank wajib memberikan edukasi kepada Nasabah yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai manfaat dan risiko Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah. (2) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seminar, workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan kegiatan lainnya. BAB III UNDERLYING TRANSAKSI Pasal 12 Underlying Transaksi meliputi seluruh kegiatan: a. perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; b. investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri; dan/atau c. pemberian kredit atau pembiayaan Bank berdasarkan prinsip syariah dalam valuta asing dan/atau dalam rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi. 10 Pasal 13 (1) Underlying Transaksi berupa investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b termasuk fasilitas pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik. (2) Dalam hal fasilitas pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditarik maka tidak dapat menjadi Underlying Transaksi. (3) Nominal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) baik dalam bentuk tunai maupun barang yang telah ditarik paling banyak sama dengan nominal kredit yang telah ditarik. (4) Jatuh waktu Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik, paling lama sama dengan jatuh waktu pelunasan kredit yang ditarik tersebut. (5) Jangka waktu Underlying Transaksi berupa pemberian kredit antarnasabah (intercompany loan) yang telah ditarik paling singkat 1 (satu) bulan dengan jangka waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana kredit. Pasal 14 (1) Underlying Transaksi berupa kegiatan jual beli UKA oleh penyelenggara KUPVA kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yaitu jumlah kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah. (2) Kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan selisih antara total penjualan valuta asing dengan total pembelian valuta asing atau net jual yang dilakukan penyelenggara KUPVA kepada nasabah selama 1 (satu) bulan terakhir dari bulan dilakukannya pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh penyelenggara KUPVA kepada Bank. 11 (3) Perhitungan net jual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memperhitungkan transaksi jual beli UKA oleh penyelenggara KUPVA dengan Bank dan/atau KUPVA lainnya. (4) Contoh perhitungan jumlah kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh penyelenggara KUPVA kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 15 (1) Khusus untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward oleh Nasabah kepada Bank, Underlying Transaksi juga meliputi kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri. (2) Nominal Transaksi Forward sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar saldo dan/atau jumlah kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan/atau di luar negeri. (3) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling lama sama dengan jatuh waktu penempatan dana tersebut. (4) Dalam hal dana valuta asing ditempatkan pada instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu, jatuh waktu penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward tidak dibatasi. (5) Dalam hal kepemilikan dana valuta asing berupa instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), saldo rekening valuta asing pada instrumen tersebut paling sedikit sama dengan nominal penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk sepanjang waktu Transaksi Forward. 12 Pasal 16 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Spot di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 17 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Forward dan Transaksi Option di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi. (2) Dalam hal nilai nominal Underlying Transaksi tidak dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) maka terhadap nilai nominal Underlying Transaksi dimaksud dapat dilakukan pembulatan ke atas dalam kelipatan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). 13 BAB IV PENYELESAIAN TRANSAKSI Pasal 18 (1) Penyelesaian Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). (2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a. secara riil atas nilai pokok masing-masing transaksi jual dan/atau transaksi beli yang disepakati pada awal transaksi tersebut; b. didukung oleh tersedianya sejumlah dana riil yang cukup untuk membiayai transaksi dimaksud (good fund), dan bukan didasarkan pada aspek pencatatan dalam pembukuan (akuntansi); dan c. dana pokok tersebut digunakan untuk proses penyelesaian Transaksi Spot pada tanggal valuta dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan dari urutan waktu penyelesaian transaksi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku pula untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dengan nilai nominal paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold). (4) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) sepanjang didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. 14 (5) Penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah antar-Bank yang dapat dilakukan secara netting hanya berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind). (6) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 19 (1) Penyelesaian penjualan valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank melalui Transaksi Forward dengan nominal transaksi paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). (2) Pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. dilakukan pada saat jatuh waktu Transaksi Forward jual; b. dilakukan pada saat berakhirnya kontrak perpanjangan transaksi (roll over) atau kontrak percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dalam hal sebelum berakhirnya kontrak Transaksi Forward jual awal dilakukan perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan c. paling banyak sejumlah tertentu (threshold) tidak dapat dilakukan melalui pengakhiran transaksi (unwind) karena tidak terdapat pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). 15 (3) Perpanjangan transaksi (roll over) atau percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan sepanjang didukung oleh Underlying Transaksi dari Transaksi Forward jual awal. (4) Penyelesaian transaksi secara netting atas perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) tidak dapat dilakukan untuk Transaksi Forward jual valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah kepada Bank dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa kepemilikan dana valuta asing di dalam negeri dan di luar negeri. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB V TRANSAKSI STRUCTURED PRODUCT Bagian Kesatu Transaksi Call Spread Option Pasal 20 (1) Bank dilarang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah. (2) Larangan transaksi structured product sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. (3) Bank yang melakukan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dengan Nasabah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memiliki Underlying Transaksi; b. nominal transaksi tidak melebihi nominal Underlying Transaksi; dan 16 c. jangka waktu transaksi tidak melebihi jangka waktu Underlying Transaksi; (4) Transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah merupakan satu kesatuan transaksi yang dilakukan secara simultan sehingga perhitungan nominal transaksi tidak dihitung 2 (dua) kali. (5) Transaksi Spot yang dilakukan untuk kepentingan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. (6) Contoh transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Dynamic Hedging Pasal 21 (1) Transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) wajib dilakukan secara dynamic hedging. (2) Dynamic hedging dilakukan untuk memastikan pelaku transaksi Call Spread Option tidak terekspos pada risiko nilai tukar akibat kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. (3) Dynamic hedging wajib dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. kisaran kurs tidak overlap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal; b. kisaran kurs tidak memiliki gap dengan kisaran kurs transaksi Call Spread Option awal. c. menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan belum jatuh waktu; d. nominal tidak bersifat kumulatif; 17 e. memiliki jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu 6 (enam) bulan atau lebih; f. mengikuti sisa jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal untuk transaksi Call Spread Option awal yang memiliki sisa jatuh waktu kurang dari 6 (enam) bulan; dan g. dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja apabila kurs pasar melampaui kisaran kurs Call Spread Option awal. BAB VI PENGATURAN UNDERLYING TRANSAKSI DAN TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH UNTUK KEPENTINGAN PENGAMPUNAN PAJAK Pasal 22 (1) Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Nasabah dapat dilakukan dengan Underlying Transaksi berupa investasi dan/atau transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan Pemerintah terkait perpajakan yaitu berupa pengampunan pajak. (2) Underlying Transaksi berupa pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat digunakan untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah yang mengakibatkan adanya pengalihan harta ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau repatriasi dana dan didukung oleh dokumen repatriasi dana pengampunan pajak. untuk kepentingan (3) Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai Underlying Transaksi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai 18 pengampunan pajak atau dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. (4) Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat digunakan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana masuk yaitu dari valuta asing ke rupiah dan 1 (satu) kali pada saat terjadinya konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing. (5) Dalam hal wajib pajak menggunakan dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai Underlying Transaksi pada saat dilakukan konversi dana keluar sebelum periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir maka hasil konversi tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri berakhir. (6) Wajib pajak dapat melakukan konversi dana keluar yang dilakukan secara bertahap dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak dengan tidak melampaui nominal Underlying Transaksi dana repatriasi. Pasal 23 (1) Kewajiban memiliki Underlying Transaksi berupa repatriasi dana untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak berlaku untuk perpanjangan transaksi (roll over) atau pengakhiran transaksi (unwind) untuk kepentingan penyelesaian Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah terkait lindung nilai. (2) Dalam hal dilakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak maka hasil konversi dana keluar yaitu dari rupiah ke valuta asing tersebut 19 hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang valuta asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. (3) Dalam hal dilakukan pengakhiran transaksi (unwind) terhadap Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak maka wajib pajak dapat menggunakan dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang sama paling banyak 1 (satu) kali untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Pasal 24 (1) Dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) diatur sebagai berikut: a. pada Bank gateway awal, dokumen Underlying Transaksi berupa surat keterangan pengampunan pajak (SKPP) untuk kepentingan pengalihan harta dalam menampung dana wajib pajak yang dialihkan; dan b. pada Bank gateway tujuan, dokumen Underlying Transaksi dapat berupa surat keterangan mengenai riwayat investasi. (2) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh wajib pajak atau pernyataan tertulis yang autentik dari wajib pajak yang memuat informasi mengenai: a. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi; 20 b. penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi untuk kepentingan pengampunan pajak dalam sistem perbankan di Indonesia; dan c. hanya digunakan paling banyak 1 (satu) kali di seluruh sistem perbankan di Indonesia untuk tujuan konversi dana keluar. (3) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan kebijakan pemerintah terkait pengampunan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VII DOKUMEN TRANSAKSI Bagian Kesatu Jenis Dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah Pasal 25 (1) Bank wajib memastikan Nasabah memiliki Underlying Transaksi yang dibuktikan dengan penyampaian dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dokumen pendukung untuk: a. Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah di atas jumlah tertentu (threshold); atau b. transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option. (2) Bank harus memastikan kebenaran dan kewajaran atas dokumen Underlying Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. 21 (3) Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank dapat meminta kepada Nasabah untuk menunjukkan dokumen asli dalam hal diperlukan. (4) Bank harus menerapkan prosedur dan sistem pengendalian dokumen untuk memastikan agar: a. dokumen yang telah digunakan Nasabah sebagai Underlying Transaksi dari Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah tertentu dapat digunakan untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang lain sepanjang tidak melampaui nominal Underlying Transaksi; b. dalam hal terdapat beberapa jenis dokumen Underlying Transaksi pada satu rangkaian aktivitas ekonomi maka yang digunakan sebagai dokumen untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah adalah salah satu dari dokumen Underlying Transaksi tersebut; dan c. dalam hal Nasabah telah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Nasabah tidak dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi lainnya yang berasal dari satu rangkaian kegiatan ekonomi yang sama. Pasal 26 (1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final; atau b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan. 22 (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang dan jasa dan/atau kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri dengan jumlah nominal yang tidak berubah. (3) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi merupakan bukti tagihan atas kegiatan pembelian barang dari luar negeri atau impor, Bank harus memastikan Nasabah menyampaikan dokumen yang menunjukkan bahwa barang dimaksudkan untuk masuk dan diterima di wilayah pabean Indonesia. (4) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dokumen yang menunjukkan perkiraan besarnya rencana penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan barang dan jasa atau kegiatan investasi di dalam negeri dan di luar negeri. (5) Dalam hal Nasabah menggunakan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa proyeksi arus kas, Bank harus menilai kewajaran melalui: a. dokumen tambahan; b. data historis paling singkat 1 (satu) tahun sebelumnya; dan c. track record Nasabah. (6) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 27 Dokumen tagihan dalam valuta asing dari transaksi yang dikecualikan dari kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dijadikan sebagai dokumen 23 Underlying Transaksi dengan melampirkan fotokopi persetujuan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah dari Bank Indonesia. Bagian Kedua Penyampaian Dokumen Pasal 28 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, dokumen yang disampaikan berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; b. dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP); dan 2. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang autentik dari Nasabah yang memuat informasi mengenai: a) keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; b) penggunaan dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia; dan c) jumlah kebutuhan, tujuan penggunaan, dan tanggal penggunaan valuta asing, dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa perkiraan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. 24 c. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah yang berbentuk badan usaha selain Bank, pernyataan tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank. d. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dimiliki oleh Nasabah perorangan maka yang dimaksud dengan pihak yang berwenang adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah perorangan dimaksud. (2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah di atas jumlah tertentu (threshold) dan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Contoh surat kuasa untuk pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 29 (1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi penjualan valuta asing terhadap rupiah kepada Bank melalui Transaksi Forward atau Transaksi Option di atas jumlah tertentu (threshold), dokumen yang disampaikan berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik yang bersifat final maupun berupa perkiraan; dan b. dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah atau pernyataan tertulis yang autentik dari Nasabah yang menyatakan bahwa: 25 1. keaslian dan kebenaran dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan 2. dokumen Underlying Transaksi hanya digunakan untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar nominal Underlying Transaksi dalam sistem perbankan di Indonesia. (2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa perkiraan maka di dalam pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditambahkan informasi terkait sumber, jumlah, dan waktu penerimaan valuta asing. (3) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dimiliki oleh Nasabah yang berbentuk badan usaha selain Bank maka pernyataan tertulis ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bank. (4) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dimiliki oleh Nasabah perorangan maka pihak yang berwenang adalah dirinya sendiri atau pihak yang diberi kuasa oleh Nasabah perorangan dimaksud. (5) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward atau Transaksi Option di atas jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Contoh surat kuasa untuk pemberian kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 26 Pasal 30 (1) Pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) wajib didukung oleh dokumen pendukung berupa: a. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh Nasabah yang bersangkutan untuk Nasabah perorangan; b. pernyataan tertulis bermeterai cukup yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang dari Nasabah badan usaha selain Bank; atau c. pernyataan tertulis yang autentik dari Nasabah, yang berisi informasi bahwa pembelian valuta asing terhadap rupiah tidak melebihi jumlah tertentu (threshold) per bulan per Nasabah dalam sistem perbankan di Indonesia. (2) Contoh pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 31 (1) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada tanggal valuta (value date). (3) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bertahap sehingga melebihi 27 jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang melebihi jumlah tertentu (threshold). Pasal 32 (1) Dalam hal Nasabah melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang standar (plain vanilla) dan transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung dilampirkan untuk setiap transaksi pada tanggal transaksi. (2) Dalam hal dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diterima pada tanggal transaksi maka dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung wajib diterima oleh Bank paling lambat pada 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (3) Dalam hal Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi maka penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan/atau dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh waktu. (4) Dalam hal Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah secara bertahap sehingga melebihi jumlah tertentu (threshold) dalam 1 (satu) bulan yang sama maka dokumen Underlying Transaksi disampaikan untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah yang melebihi jumlah tertentu (threshold). 28 Pasal 33 (1) Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting wajib diterima oleh Bank paling lambat pada: a. tanggal valuta (value date), dalam hal pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Spot; b. 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah; atau c. tanggal jatuh waktu, dalam hal perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan pengakhiran transaksi (unwind) dilakukan melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yang memiliki jatuh waktu kurang dari 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi. (2) Dokumen pendukung untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b. (3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk pembelian derivatif valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting dapat menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 29 (4) Dokumen pendukung untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward atau Transaksi Option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting mengacu pada dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b. (5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa pernyataan tertulis yang autentik untuk penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward atau Transaksi Option paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) yang akan diselesaikan secara netting dapat menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 34 (1) Bank dapat meminta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b dan Pasal 29 ayat (1) huruf b secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun kalender apabila: a. dokumen Underlying Transaksi bersifat final; dan b. Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik. (2) Nasabah yang melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) untuk Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan paling banyak sebesar jumlah tertentu (threshold) untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b per bulan per Nasabah, dokumen pendukung berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan kalender. 30 (3) Penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada transaksi pertama. Pasal 35 Dalam hal terdapat jenis dokumen selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII, Bank dapat: a. mengajukan terlebih dahulu jenis dokumen tersebut kepada Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) untuk dikonsultasikan kepada Bank Indonesia; atau b. mengajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia, cq. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan. BAB VIII LARANGAN KREDIT KEPADA NASABAH Pasal 36 (1) Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan dalam valuta asing dan/atau dalam rupiah kepada Nasabah khusus untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah kepada Nasabah. (2) Pemberian kredit atau pembiayaan Bank dalam valuta asing dan/atau rupiah untuk kegiatan perdagangan dan investasi, dapat menjadi Underlying Transaksi dari Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan lindung nilai. BAB IX PELAPORAN Pasal 37 (1) Bank menyampaikan laporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, termasuk transaksi structured product valuta asing terhadap rupiah berupa Call Spread Option, melalui sistem pelaporan Bank Indonesia, yaitu laporan harian bank umum (LHBU). 31 (2) Mekanisme pelaporan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum (LHBU). BAB X TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 38 (1) Bank dapat dikenakan sanksi berupa teguran tertulis maupun kewajiban membayar. (2) Dalam hal Bank dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar, Bank Indonesia mengenakan sanksi dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya kewajiban membayar yaitu 1% (satu persen) dari nilai nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran dengan jumlah sanksi paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian kredit atau pembiayaan, besarnya kewajiban membayar yaitu 1% (satu persen) dari nilai persetujuan kredit atau pembiayaan yang digunakan untuk Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan jumlah sanksi paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan c. untuk pelanggaran terhadap larangan pemberian cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan, besarnya kewajiban membayar yaitu 1% (satu persen) dari nilai cerukan dan/atau fasilitas lain yang dapat dipersamakan dengan cerukan yang diberikan oleh Bank kepada Nasabah dengan jumlah sanksi paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 32 (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. Pasal 39 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) kepada otoritas perbankan. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/34/DPPK tanggal 13 Desember 2016 perihal Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/16/PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK I. UMUM Dalam rangka melaksanakan tugas Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, diperlukan upaya mempercepat tercapainya pasar keuangan yang likuid dan efisien, yang pada akhirnya dapat mendukung kegiatan ekonomi nasional. Untuk mencapai pasar keuangan yang likuid dan efisien salah satunya diperlukan upaya pengembangan pasar valuta asing domestik yang dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Untuk mendukung pelaksanaan pengembangan pasar valuta asing domestik tersebut Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 18/18/PBI/2016 mengenai Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik. Sebagai pedoman implementasi ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi valuta asing di pasar domestik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk kepentingan sendiriโ€ adalah pada saat Bank berperan sebagai counterparty dalam bertransaksi dengan pihak domestik sehingga kedudukan Bank dan pihak domestik setara. Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan Nasabah X. Dalam hal ini, posisi Bank A sebagai counterparty dari Nasabah X. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œTransaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah untuk Nasabah yang merupakan pihak domestikโ€ adalah pada saat Bank bertransaksi atas nama pihak domestik sehingga Bank bertindak sebagai pihak yang mewakili kepentingan pihak domestik. Contoh: Nasabah A meminta kepada Bank B untuk mewakili Nasabah A tersebut untuk melakukan transaksi dengan Bank X Ltd di luar negeri. Dalam hal ini, transaksi yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yaitu transaksi antara Nasabah A dengan Bank B, dan posisi Bank B hanya merupakan perantara atas transaksi yang dilakukan Nasabah A dan Bank X Ltd. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi antara lain berupa dealing conversation atau print out dari Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Cukup jelas. 3 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penggunaan kontrak merupakan tanggung jawab masing-masing pihak yang melakukan transaksi. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œJISDORโ€ adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah dari transaksi antar- Bank di pasar domestik termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang dilaporkan Bank melalui sistem monitoring transaksi valuta asing terhadap rupiah (SISMONTAVAR). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Contoh: Bank A dapat melakukan transaksi mata uang selain USD terhadap rupiah, antara lain euro terhadap rupiah, yen terhadap rupiah, atau poundsterling terhadap rupiah. Ayat (2) Contoh: Bank A melakukan Transaksi Spot USD/IDR dengan Nasabah B. Dalam hal ini, Bank A wajib menggunakan kuotasi harga USD/IDR yang ditetapkan oleh Bank A, dan bukan berasal dari Nasabah B. Pasal 6 Cukup jelas. 4 Pasal 7 Ayat (1) Perhitungan jumlah tertentu (threshold) kewajiban Underlying Transaksi untuk Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, selain USD terhadap rupiah, misalnya yen terhadap rupiah, euro terhadap rupiah, yaitu sebagai berikut: (๐‘˜๐‘ข๐‘Ÿ๐‘  ๐‘๐‘’๐‘™๐‘– ๐‘ˆ๐‘†๐ท+๐‘˜๐‘ข๐‘Ÿ๐‘  ๐‘—๐‘ข๐‘Ž๐‘™ ๐‘ˆ๐‘†๐ท) 2 (๐‘˜๐‘ข๐‘Ÿ๐‘  ๐‘๐‘’๐‘™๐‘– ๐‘›๐‘œ๐‘› ๐‘ˆ๐‘†๐ท+๐‘˜๐‘ข๐‘Ÿ๐‘  ๐‘—๐‘ข๐‘Ž๐‘™ ๐‘›๐‘œ๐‘› ๐‘ˆ๐‘†๐ท) 2 x threshold dalam USD Keterangan: Kurs pada rumus yaitu valuta asing terhadap rupiah. Kurs merupakan kurs penutupan Bank Indonesia pada 1 (satu) hari kerja sebelumnya (H-1) yang tersedia pada sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan A melakukan Transaksi Swap jual valuta asing terhadap rupiah dengan nominal sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada near leg sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Dokumen Underlying Transaksi untuk Transaksi Swap jual dapat menggunakan Underlying Transaksi dari Transaksi Swap jual dimaksud, termasuk Underlying Transaksi berupa penjualan valuta asing terhadap rupiah. 5 Ayat (3) Contoh: Perusahaan B melakukan Transaksi Swap beli valuta asing terhadap rupiah dengan nominal sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi dimaksud, Perusahaan B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi karena terdapat pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward pada far leg sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (4) Huruf a Contoh: Pada tanggal 2 November 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 5 November 2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui Transaksi Forward sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya pada tanggal 6 November 2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD70,000.00 (tujuh puluh ribu dolar Amerika Serikat). Seluruh transaksi tersebut telah mencapai batas maksimum yang diperhitungkan sebagai transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah tanpa Underlying Transaksi pada bulan November 2018, yaitu Transaksi Spot sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Nasabah hanya dapat kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah tanpa Underlying Transaksi melalui Transaksi Spot dan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah paling banyak sebesar threshold pada bulan berikutnya. 6 Huruf b Contoh: Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot beli sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, Nasabah kembali melakukan Transaksi Spot beli valuta asing terhadap rupiah pada tanggal 30 November 2018 sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah sampai dengan tanggal 30 November 2018 adalah sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Huruf c Contoh: Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward pada tanggal 16 November 2018 sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 19 November 2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat) dan melalui Transaksi Option sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah oleh Nasabah pada akhir bulan November 2018 adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Spot dan sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah yaitu forward dan option. 7 Huruf d Contoh: Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah di Bank X melalui Transaksi Spot sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 12 November 2018. Kemudian, pada tanggal 14 November 2018 Nasabah A melakukan konversi simpanan rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam USD dengan cara pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot di Bank X sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 15 November 2018 Nasabah A melakukan lagi konversi simpanan rupiah menjadi simpanan valuta asing dalam USD dengan cara pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward di Bank X sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Perhitungan kumulatif transaksi Nasabah A pada akhir bulan November 2018 adalah sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi Spot dan sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) untuk pembelian melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah (forward). Huruf e Contoh: Nasabah A dan Nasabah B memiliki joint account. Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah A melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint account sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Atas transaksi tersebut, Nasabah A tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 23 November 2018, Nasabah B melakukan Transaksi Spot pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui joint account yang sama sebesar USD20,000.00 (dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian valuta asing tersebut, Nasabah B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada 8 tanggal 26 November 2018. Hal ini disebabkan jumlah pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan melalui joint account pada bulan November 2018 telah melebihi USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat), yaitu sebesar USD35,000.00 (tiga puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 10 Januari 2019, PT B mendapatkan komitmen kredit valuta asing sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat) dari C Ltd. di luar negeri yang merupakan perusahaan afiliasi PT B. Kredit valuta asing tersebut diberikan dalam bentuk tunai dan barang. Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan penarikan pinjaman dari C Ltd. dalam bentuk tunai sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dan dalam bentuk barang sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat). Atas penarikan kredit ini, PT B dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward untuk kepentingan lindung nilai kredit tersebut paling banyak sebesar 9 jumlah dari kredit yang ditarik dalam bentuk tunai dan barang, yaitu USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2019, PT A melakukan penarikan kredit valuta asing dari Bank X sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu pelunasan kredit pada tanggal 28 Juni 2019. PT A dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan jatuh waktu Transaksi Forward paling lama sama dengan tanggal pelunasan kredit yaitu tanggal 28 Juni 2019. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Perusahaan B melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika) untuk membayar pinjaman dari kantor pusatnya di luar negeri dengan dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit antarnasabah dan bukti penarikan dana antara lain berupa SWIFT message MT103. Dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian pemberian kredit antarnasabah tersebut harus memiliki jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan jangka waktu pengembalian dana kredit paling singkat 1 (satu) bulan sejak tanggal penarikan dana kredit, yang dibuktikan antara lain dengan SWIFT message berupa MT103. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Tanggal 12 November 2018, KUPVA XYZ melakukan pembelian valuta asing kepada Bank ABC sebesar USD300,000.00 (tiga 10 ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 2018 sebesar USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Tanggal 23 November 2018, KUPVA XYZ melakukan pembelian valuta asing lagi kepada Bank ABC sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tetap menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah bulan Oktober 2018 sebesar USD559,000.00 (lima ratus lima puluh sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan akhir bulan November 2018, KUPVA XYZ masih dapat melakukan pembelian valuta asing kepada Bank sepanjang tidak melampaui sisa plafon dokumen Underlying Transaksi berupa data net jual KUPVA XYZ kepada Nasabah pada bulan Oktober 2018, yaitu sebesar USD109,000.00 (seratus sembilan ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat 1 Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Nasabah A memiliki deposito valuta asing di Bank X sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Berdasarkan Underlying Transaksi berupa deposito valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward paling banyak sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). 11 Ayat (3) Yang dimaksud dengan instrumen yang memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa deposito dan/atau Negotiable Certificate of Deposit (NCD). Contoh: Nasabah A memiliki deposito dalam valuta asing yang akan jatuh waktu tanggal 29 Maret 2019. Atas kepemilikan deposito dalam valuta asing tersebut, Nasabah A dapat melakukan penjualan dalam valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward dengan jatuh waktu paling lama tanggal 29 Maret 2019. Ayat (4) Yang dimaksud dengan instrumen yang tidak memiliki tanggal jatuh waktu antara lain berupa tabungan atau giro. Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2019, Nasabah A memiliki rekening valuta asing dalam bentuk tabungan sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas kepemilikan dana valuta asing tersebut, pada tanggal 2 Januari 2019, Nasabah A dapat melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD12,000,000.00 (dua belas juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 4 Februari 2019 dan sebesar USD8,000,000.00 (delapan juta dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu pada tanggal 3 Juni 2019. Ayat (5) Contoh: Pada tanggal 5 Februari 2019, PT B memiliki tabungan dalam valuta asing sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal yang sama, PT B melakukan penjualan valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. PT B harus memiliki saldo tabungan valuta asing dengan jumlah paling sedikit USD6,000,000.00 (enam juta dolar Amerika Serikat) selama 1 (satu) bulan ke depan sampai dengan Transaksi Forward tersebut jatuh waktu. 12 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Perusahaan A memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD73,500.00 (tujuh puluh tiga ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan A dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD75,000.00 (tujuh puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Contoh 2: Perusahaan B memiliki kewajiban kepada vendor di luar negeri sebesar USD61,000.00 (enam puluh satu ribu dolar Amerika Serikat). Atas dasar Underlying Transaksi dimaksud, Perusahaan B dapat melakukan Transaksi Spot beli sebesar USD65,000.00 (enam puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Perusahaan B memiliki utang dalam valuta asing dengan nominal sebesar USD1,432,500.00 (satu juta empat ratus tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Perusahaan B dapat melakukan lindung nilai dengan melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD1,440,000.00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Nasabah A melakukan transaksi pembelian Spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dengan Bank B sebesar 13 USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada kurs Spot USD/IDR 13.500,00. Pada tanggal valuta, Nasabah A wajib melakukan penyerahan dana rupiah melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar Rp13.500.000.000,00 (tiga belas miliar lima ratus juta rupiah) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Bank B wajib melakukan penyerahan dana dolar Amerika Serikat melalui pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund) sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) secara riil pada saat proses penyelesaian transaksi tersebut dilakukan, dan tercatat pada sistem treasury Bank, yang dapat dibuktikan berdasarkan urutan waktu penyelesaian transaksi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Contoh: Nasabah A melakukan Transaksi Forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 15 Januari 2019 kepada Bank C dengan forward rate USD/IDR 13.500,00. Atas transaksi tersebut, Nasabah A menggunakan simpanan valuta asing pada Bank sebagai Underlying Transaksi. Setelah transaksi berjalan 2 (dua) minggu, nilai tukar rupiah melemah hingga mencapai kurs spot USD/IDR 13.800,00, Nasabah A ingin melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas 14 transaksi tersebut secara netting. Penyelesaian secara netting atas transaksi tersebut tidak dapat dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan tenor 2 (dua) tahun, maka transaksi dimaksud wajib memiliki Underlying Transaksi paling sedikit sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Huruf b Contoh: PT X melakukan transaksi Call Spread Option valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan sepanjang tidak melebihi nominal Underlying Transaksi, yaitu sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 15 Huruf c Contoh: PT C memiliki Underlying Transaksi berupa pinjaman dengan jangka waktu 2 (dua) tahun maka transaksi Call Spread Option dapat dilakukan paling lama 2 (dua) tahun. Ayat (4) Contoh: Nasabah B melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat). Meskipun transaksi Call Spread Option merupakan gabungan dari 2 (dua) transaksi Call Option (beli dan jual) maka nominal tetap dihitung sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan bukan USD400,000.00 (empat ratus ribu dolar Amerika Serikat). Ayat (5) Contoh 1: Perusahaan A melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, dengan nominal sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.800,00 sehingga perusahaan A melakukan eksekusi (exercise) transaksi Call Spread Option dan melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00. Contoh 2: PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.800,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu kurs pasar berada pada level USD/IDR 13.500,00 dan PT X tidak melakukan eksekusi 16 (exercise) transaksi Call Spread Option tersebut, dan melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot beli pada kurs pasar yaitu USD/IDR 13.500,00 dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Contoh 3: PT X melakukan transaksi Call Spread Option USD/IDR dengan tenor 1 (satu) tahun, nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat), dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.300,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.200,00, dan Underlying Transaksi berupa pinjaman sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). Pada saat transaksi Call Spread Option jatuh waktu, kurs pasar melemah dan berada pada level USD/IDR 14.500,00. PT X dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot pada kurs USD/IDR 13.600,00 (dari perhitungan Rp14.500,00- (Rp14.200,00-Rp13.300,00)) dengan nominal sebesar USD3,000,000.00 (tiga juta dolar Amerika Serikat). PT X dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan Underlying Transaksi Call Spread Option awal berupa pinjaman untuk melakukan Transaksi Spot dimaksud. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) Nasabah A menilai bahwa nilai tukar 17 rupiah akan lebih besar daripada strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sama dengan strike price 2 transaksi Call Spread Option awal sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Ayat (3) Huruf a Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dengan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.100,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 14.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (overlap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi overlap yaitu strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk kepentingan dynamic hedging lebih rendah daripada strike price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf b Contoh: PT X melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank C dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 4 (empat) tahun dengan Underlying Transaksi berupa pinjaman. Apabila pada tahun ke 2 (dua) nilai tukar rupiah ditransaksikan mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00 maka PT 18 X melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.500,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (gap). Hal tersebut bukan merupakan dynamic hedging karena terjadi gap yaitu strike price 3 transaksi Call Spread Option untuk kepentingan dynamic hedging lebih tinggi daripada strike price 2 transaksi Call Spread Option awal, sehingga transaksi tersebut dianggap sebagai kontrak Call Spread Option yang berbeda dan tidak dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf c Contoh: Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank B dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan tenor 3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tahun kedua nilai tukar rupiah mencapai USD/IDR 15.500,00 sehingga melampaui strike price 2 yaitu USD/IDR 15.000,00, maka Nasabah A melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00. Hal tersebut merupakan dynamic hedging dan menggunakan Underlying Transaksi yang sama dengan transaksi Call Spread Option awal. Huruf d Contoh: Pada tanggal 1 Februari 2019, PT A melakukan transaksi lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.200,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pada tanggal 1 Agustus 2019, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.300,00 sehingga PT A melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya 19 pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.200,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Nominal transaksi Call Spread Option tersebut dihitung bukan kumulatif namun mengacu kepada nominal transaksi Call Spread Option awal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Huruf e Contoh: Pada tanggal 1 Februari 2019, PT B melakukan transaksi lindung nilai atas utang valuta asing yang dimilikinya sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) melalui Call Spread Option dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 14.000,00 dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat), dengan jangka waktu selama 2 (dua) tahun. Pada tanggal 1 April 2019, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 14.100,00 sehingga PT B wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan pembelian Call Spread Option pada strike price 3 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 15.000,00, dengan nominal sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan jangka waktu paling singkat sampai dengan 1 Oktober 2019 atau minimal 6 (enam) bulan sejak tanggal transaksi. Huruf f Contoh: Pada tanggal 2 Januari 2019, PT C melakukan transaksi Call Spread Option sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 14.000,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan jangka waktu 1 (satu) tahun atau tanggal 31 Desember 2019. Pada tanggal 10 Oktober 2019 nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar USD/IDR 15.200,00. Atas dasar hal tersebut PT C wajib melakukan dynamic hedging dengan melakukan transaksi Call Spread Option yang kedua 20 pada strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.000,00 dengan jangka waktu paling lama sampai dengan jatuh waktu transaksi Call Spread Option awal, yaitu pada tanggal 31 Desember 2019. Huruf g Yang dimaksud dengan kurs pasar adalah kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU setelah pukul 16.00 atau acuan kurs lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Contoh: Pada tanggal 1 Januari 2019, Nasabah Y melakukan transaksi Call Spread Option dengan Bank Z dengan strike price 1 sebesar USD/IDR 13.500,00 dan strike price 2 sebesar USD/IDR 15.000,00 dengan tenor 3 (tiga) tahun dan Underlying Transaksi berupa utang luar negeri. Apabila pada tanggal 1 September 2019 kurs pasar atau kurs penutupan Bank Indonesia hari yang sama dalam LHBU melampaui strike price 2 yaitu sebesar USD/IDR 15.200,00 maka Nasabah Y wajib melakukan transaksi Call Spread Option berikutnya (dynamic hedging) dengan strike price 3 sebesar USD/IDR 15.000,00 dan strike price 4 sebesar USD/IDR 16.500,00 (dynamic hedging) paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya yaitu pada tanggal 2 September 2019. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang dapat digunakan sebagai Underlying Transaksi pada saat wajib pajak melakukan lindung nilai terhadap investasi dana repatriasi di pasar domestik, antara lain investasi saham, obligasi, dan penempatan dana pada Bank. Contoh 1: Wajib pajak A yang merupakan Nasabah domestik melakukan deklarasi dana sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar 21 Amerika Serikat) dan repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Maka wajib pajak A dapat menggunakan bukti repatriasi dana sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) sebagai Underlying Transaksi dalam melakukan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah. Contoh 2: Wajib pajak B melakukan repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut kemudian dijual untuk memperoleh rupiah atau konversi dari valuta asing ke Rupiah untuk diinvestasikan sebesar ekuivalen USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada surat berharga negara, USD40,000,000.00 (empat puluh juta dolar Amerika Serikat) pada saham, dan USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) pada deposito rupiah. Wajib pajak B kemudian melakukan lindung nilai terhadap investasi dimaksud melalui Transaksi Forward beli sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak B menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Ayat (3) Contoh: Wajib pajak C melakukan repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar ekuivalen Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Dana yang direpatriasi tersebut diinvestasikan dalam portofolio saham selama 4 (empat) tahun. Bukti dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak tersebut dapat dijadikan dokumen Underlying Transaksi, dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri yaitu selama 4 (empat) tahun. Ayat (4) Contoh 1, dokumen disampaikan 1 (satu) kali pada saat konversi: Wajib pajak D melakukan repatriasi dana valuta asing untuk kepentingan pengampunan pajak sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Dana valuta asing tersebut 22 kemudian dijual untuk memperoleh rupiah untuk diinvestasikan dalam aset rupiah ekuivalen sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Wajib pajak D hanya bisa menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentinganpengampunan pajak 1 (satu) kali, yaitu pada saat wajib pajak D melakukan konversi dana keluar sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Contoh 2, penggunaan dokumen di akhir periode kebijakan pengampunan pajak: Wajib pajak E melakukan repatriasi dana pengampunan pajak dan melakukan konversi dana masuk (valuta asing ke rupiah) sebesar USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat). Dalam masa periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana repatriasi tersebut diinvestasikan atau ditempatkan dalam aset rupiah. Dengan demikian, Wajib pajak E dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak untuk melakukan konversi dana keluar (rupiah ke valuta asing) sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) dari hasil likuidasi aset rupiah pada akhir periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (5) Contoh penggunaan dokumen dalam masa periode kebijakan pengampunan pajak: Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak F melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke rupiah sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat), dan dilakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal 1 Juni 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi dari rupiah ke valuta asing dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Selanjutnya, wajib pajak F hanya dapat melakukan investasi dalam mata uang valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 1 Juni 2017 hingga 23 berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (6) Contoh pembelian secara bertahap: Pada tanggal 1 Desember 2016, Wajib pajak G melakukan repatriasi dana dengan melakukan konversi dari valuta asing ke rupiah sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dan melakukan investasi pada aset rupiah. Pada tanggal 1 Maret 2017, sebelum berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri, dana tersebut dikonversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD20,000,000 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentinganpengampunan pajak, maka wajib pajak G hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 1 Desember 2017, wajib pajak G kembali melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang sama, namun wajib pajak G hanya bisa melakukan investasi dana tersebut dalam mata uang asing. Pada tanggal 3 Desember 2018, wajib pajak G kembali melakukan konversi sebagian dari rupiah ke valuta asing sebesar ekuivalen USD15,000,000.00 (lima belas juta dolar Amerika Serikat) maka wajib pajak G dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak yang sama, dan hanya dapat diinvestasikan dalam mata uang asing hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. 24 Pasal 23 Ayat (1) Contoh 1, perpanjangan transaksi lindung nilai (roll over): Pada tanggal 1 Desember 2016, wajib pajak H melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu tanggal 1 Desember 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada saat Transaksi Forward tersebut akan jatuh waktu, wajib pajak H melakukan perpanjangan transaksi (roll over) selama 1 (satu) tahun dan jatuh waktu pada tanggal 3 Desember 2018. Wajib pajak H melakukan Transaksi Swap beli USD/IDR (sell buy) kepada Bank yang sama sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat). Atas perpanjangan transaksi (roll over) tersebut, wajib pajak H tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Contoh 2, pengakhiran transaksi lindung nilai (unwind): Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak I melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana untuk kepentingan pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak I melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak I melakukan Transaksi Spot jual USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank yang sama. Atas pengakhiran transaksi (unwind) tersebut, wajib pajak I tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak AA melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) 25 bulan dan jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak AA melakukan percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak AA melakukan Transaksi Swap jual USD/IDR (buy sell) kepada Bank yang sama sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat). Atas percepatan penyelesaian transaksi (early termination) tersebut, wajib pajak AA tidak wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi baru. Namun demikian, dana valuta asing hasil konversi sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) tersebut hanya dapat diinvestasikan dalam instrumen valuta asing di pasar keuangan domestik sejak 3 Juli 2017 hingga berakhirnya periode kewajiban menginvestasikan dana repatriasi di dalam negeri. Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 3 Januari 2017, wajib pajak X melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD20,000,000.00 (dua puluh juta dolar Amerika Serikat) dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan jatuh waktu tanggal 3 Oktober 2017, dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa dokumen repatriasi dana dalam rangka pengampunan pajak. Pada bulan ke-6 (enam) yaitu tanggal 3 Juli 2017, wajib pajak X melakukan pengakhiran transaksi (unwind) atas Transaksi Forward dimaksud. Wajib pajak X hanya dapat kembali menggunakan Underlying Transaksi yang sama sebanyak 1 (satu) kali untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. 26 Ayat (2) Kriteria kebenaran paling sedikit berupa: a. dokumen tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain tidak bertentangan dengan kewajiban penggunaan rupiah, dan b. dokumen dikeluarkan oleh perusahaan atau instansi yang dapat dipastikan keberadaannya. Kriteria kewajaran paling sedikit berupa: a. dokumen telah sesuai dengan market practice yang berlaku secara umum, b. transaksi yang dilakukan sesuai dengan dokumen Underlying Transaksi, dan c. transaksi yang dilakukan Nasabah sesuai dengan data historis yang dimiliki oleh Bank dan/atau kebutuhan Nasabah. Ayat (3) Penelitian kebenaran dokumen oleh Bank dilakukan secara sampling. Contoh 1: Perusahaan A melakukan pembelian USD/IDR melalui Transaksi Spot kepada Bank B sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) untuk pembayaran impor dengan dokumen Underlying Transaksi berupa invoice dari eksportir di luar negeri. Atas invoice tersebut Bank B harus melakukan: a. menilai kesesuaian transaksi dengan data historis yang dimiliki oleh Bank atau dengan kebutuhan Nasabah; b. jika diperlukan mencari informasi mengenai penerbit dokumen Underlying Transaksi berupa invoice untuk memastikan keberadaan perusahaan tersebut melalui surat elektronik, internet, atau media lain yang terpercaya. Berdasarkan data historis Bank, kebutuhan Perusahaan A rata- rata sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) per transaksi. Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran kebutuhan Perusahaan A, maka Bank dapat meminta dokumen asli kepada Perusahaan A. 27 Contoh 2: Perusahaan N melakukan Transaksi Spot sebesar USD10,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank M pada bulan Januari 2019 dengan beberapa dokumen invoice. Selain itu, pada bulan Febuari 2019, Perusahaan N melakukan Transaksi Forward sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat) dengan Bank M. Untuk memastikan kebenaran dan kewajaran, Bank M meminta Perusahaan N menunjukan dokumen asli secara sampling untuk Transaksi Spot tersebut. Ayat (4) Huruf a Contoh: Pada bulan Januari 2019, Nasabah X melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank A. Atas transaksi tersebut, Nasabah X menyerahkan dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen pembayaran lisensi kepada principal di luar negeri sebesar USD7,000,000.00 (tujuh juta dolar Amerika Serikat). Transaksi dilakukan di kantor cabang Bank A di Jakarta. Pada bulan Februari 2019, Nasabah X kembali berencana untuk melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui kantor cabang Bank A di Surabaya. Nasabah X dapat melakukan Transaksi Forward beli sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) karena Transaksi Forward tersebut belum melebihi nominal Underlying Transaksi. Huruf b Contoh: Pada bulan Februari 2019, Nasabah Y yang merupakan importir makanan dan minuman memesan barang dan menerbitkan purchase order kepada eksportir di luar negeri. Atas pembelian barang tersebut, Nasabah Y memperoleh invoice yang diterbitkan eksportir di luar negeri. Nasabah Y dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah 28 dengan menggunakan salah satu dokumen Underlying Transaksi yaitu berupa purchase order atau invoice. Huruf c Contoh: Pada tanggal 4 Maret 2019, Nasabah Z yang merupakan importir pakaian jadi memesan barang dan menerbitkan purchase order kepada eksportir A di luar negeri. Pada tanggal 5 Maret 2019, Nasabah Z melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order tersebut. Pada tanggal 15 Maret 2019, Nasabah Z memperoleh invoice yang diterbitkan eksportir A. Atas invoice tersebut, Nasabah Z tidak dapat melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah karena sebelumnya telah melakukan pembelian dengan menggunakan dokumen Underlying Transaksi berupa purchase order yang berasal dari kegiatan ekonomi yang sama. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri dapat berupa fotokopi invoice, list of invoices, Letter of Credit (L/C), atau fotokopi kontrak jasa konsultan. Dalam hal dokumen Underlying Transaksi berupa list of invoices, Bank harus memastikan ketersediaan seluruh invoice yang terdapat dalam list of invoices. Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final atas kegiatan investasi berupa direct investment, portfolio investment, pinjaman, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri antara lain berupa surat perjanjian jual beli surat berharga atau surat permintaan penyetoran rekening saldo oleh otoritas yang berwenang. Ayat (3) Cukup jelas. 29 Ayat (4) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas kegiatan perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri antara lain berupa perkiraan kebutuhan biaya sekolah di luar negeri, perkiraan kebutuhan biaya berobat di luar negeri, proforma invoice yang dilengkapi dengan invoice final pada saat invoice diterbitkan, atau proyeksi arus kas untuk kegiatan ekspor impor yang paling sedikit berisi rincian sumber penerimaan dan pengeluaran valuta asing yang menunjukkan selisih bersih kekurangan atau kelebihan valuta asing secara bulanan. Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan atas kegiatan investasi di dalam dan di luar negeri antara lain berupa proyeksi arus kas yang terkait dengan proyek tertentu. Ayat (5) Huruf a Dokumen tambahan untuk dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan antara lain berupa invoice, perjanjian kerja, kontrak kerjasama, nota kesepahaman, atau dokumen lain yang sejenis. Dalam hal dokumen tambahan berupa invoice, penyampaiannya dilakukan setelah invoice diterbitkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penilaian kewajaran melalui track record adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Nasabah. Contoh 1: Perusahaan N melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada Bank M dengan Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas dengan selisih bersih sebesar USD2,000,00.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Atas dasar hal tersebut, Bank M harus memastikan kewajaran nilai pembelian USD terhadap IDR melalui 30 Transaksi Spot tersebut dengan melihat data historis selama 1 (satu) tahun kebelakang untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan data transaksi yang ada. Contoh 2: Perusahaan H melakukan pembelian USD terhadap IDR melalui Transaksi Spot sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank O pada tanggal 2 Agustus 2019 dan Transaksi Spot sebesar USD600,000.00 (enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 2 September 2019, dengan menyampaikan dokumen Underlying Transaksi berupa proyeksi arus kas. Bank O harus memastikan kewajaran transaksi tersebut dengan melihat data historis selama 1 (satu) tahun kebelakang untuk menilai kesesuaian transaksi tersebut dengan total pembelian sebesar USD1,100,000.00 (satu juta seratus ribu dolar Amerika Serikat) Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. 31 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bankโ€ adalah: 1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau 2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1. Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bankโ€ adalah: 1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau 2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada angka 1. 32 Surat kuasa ini diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpejabat yang berwenang dari badan usaha selain Bankโ€ adalah: 1. pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan anggaran dasar badan usaha dimaksud; atau 2. pihak yang diberi kewenangan melalui surat kuasa oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a. Surat kuasa diperlukan untuk menandatangani pernyataan tertulis yang terkait dengan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah dengan Bank. Huruf c Pernyataan tertulis yang autentik dapat berupa surat elektronik resmi (official email), SWIFT message, negative confirmation, atau sistem business internet banking. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 33 Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 9 November 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian pada tanggal 14 November 2018, Nasabah yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 19 November 2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut telah melampaui batas maksimal pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot tanpa Underlying Transaksi sebesar USD25,000.00 (dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot yang dilakukan pada tanggal 19 November 2018 tersebut, Bank wajib meminta Nasabah untuk menyediakan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD32,500.00 (tiga puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Perusahaan A merupakan eksportir dan akan melakukan Transaksi Forward jual USD/IDR sebesar USD30,000,000.00 (tiga puluh juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 3 Desember 2018 dengan tenor 3 (tiga) bulan. Pada saat Transaksi Forward dilakukan, Perusahaan A wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat pada tanggal 10 Desember 2018 (5 (lima) hari kerja). Penyampaian dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung 34 tersebut berlaku untuk penyelesaian transaksi baik secara netting maupun diselesaikan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Contoh 2: Individu B merupakan importir dan akan melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD80,000.00 (delapan puluh ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 8 Januari 2019 dengan tenor 2 (dua) bulan (jatuh waktu tanggal 8 Maret 2019) dan tidak wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 8 Februari 2019, individu B memutuskan untuk melakukan unwind posisi forward beli di atas dengan melakukan Transaksi Forward jual dengan tenor 1 (satu) bulan, jatuh waktu 8 Maret 2019. Untuk penyelesaian transaksi ini, individu B wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal 15 Februari 2019 atau 5 (lima) hari kerja setelah tanggal Transaksi Forward yang kedua. Dalam hal sampai dengan tanggal 15 Februari 2019 individu B tidak dapat menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung maka penyelesaian Transaksi Forward beli dan Forward jual dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh (full movement of fund). Ayat (3) Contoh: Individu C melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) pada tanggal 11 Januari 2019 dengan tenor 4 (empat) hari atau jatuh waktu tanggal 17 Januari 2019. Individu C wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung paling lambat tanggal 17 Januari 2019. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 12 November 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD40,000.00 (empat puluh ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, pada tanggal 19 November 2018, Nasabah yang sama melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui 35 transaksi Call Spread Option sebesar USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Selanjutnya, pada tanggal 21 November 2018, Nasabah kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pembelian yang dilakukan pada tanggal 21 November 2018 tersebut telah melampaui batas maksimal pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah tanpa Underlying Transaksi sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Dengan demikian untuk pembelian melalui Transaksi Forward yang dilakukan pada tanggal 21 November 2018 tersebut, Bank wajib meminta Nasabah untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebesar USD22,500.00 (dua puluh dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Bank telah mengetahui track record Nasabah dengan baik antara lain berdasarkan Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah yang dilakukan Nasabah secara reguler dari waktu ke waktu. Contoh: PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X pada tanggal 19 November 2018 sebesar USD120,000.00 (seratus dua puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas 36 Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik. Pada tanggal 14 Desember 2018, PT A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi. Pada tanggal 21 Januari 2019, PT A kembali melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada Bank X sebesar USD130,000.00 (seratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini Bank X wajib memastikan PT A menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik. Ayat (2) Contoh: Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y pada tanggal 19 November 2018 sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib meminta Nasabah B untuk menyampaikan dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik. Selanjutnya, pada tanggal 26 November 2018, Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD3,000.00 (tiga ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian ini, Nasabah B tidak wajib menyampaikan kepada Bank Y dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik karena telah disampaikan pada transaksi sebelumnya (19 November 2018). Pada tanggal 17 Desember 2018, Nasabah B melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot kepada Bank Y sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika 37 Serikat). Atas pembelian ini, Bank Y wajib memastikan Nasabah B menyampaikan kembali dokumen berupa pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yang autentik mengingat transaksi dilakukan dalam bulan yang berbeda. Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 5 Januari 2019, PT C melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR kepada Bank X sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dengan dokumen Underlying Transaksi berupa invoice. Atas pembelian tersebut, Bank X wajib memastikan PT C menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung berupa fotokopi dokumen identitas Nasabah dan fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP), serta pernyataan tertulis bermeterai cukup atau pernyataan tertulis yangautentik. Pada tanggal 20 Februari 2019, PT C melakukan Transaksi Forward beli USD/IDR kepada Bank X sebesar USD110,000.00 (seratus sepuluh ribu dolar Amerika Serikat). Atas pembelian tersebut, PT C menyampaikan dokumen Underlying Transaksi namun tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung kembali. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Contoh: Nasabah N melakukan Transaksi Forward beli kepada Bank M sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) yang jatuh waktu selama 3 (tiga) bulan. Pada saat jatuh waktu, Nasabah N tidak memiliki dana rupiah untuk memenuhi kewajibannya. Atas hal tersebut, Bank M dilarang memberikan kredit rupiah kepada Nasabah N yang akan digunakan untuk menyelesaikan Transaksi Forward tersebut. 38 Ayat (2) Contoh: Nasabah mengajukan permintaan kredit kepada Bank A sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) untuk tujuan investasi berupa pembangunan pabrik. Bank menyetujui permohonan kredit Nasabah dengan perjanjian kredit sebagai berikut: a. kredit diberikan dalam USD; b. bunga kredit berupa variable rate yaitu 6 months USD LIBOR + 300 bps dengan repricing date setiap 6 (enam) bulan sekali; dan c. jangka waktu kredit selama 5 (lima) tahun dengan mekanisme pembayaran prinsipal kredit secara balloon payment pada akhir tahun ke-5 (lima) dan pembayaran bunga secara semesteran. Untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga kredit berupa variable rate tersebut, Nasabah memiliki kebutuhan untuk menerima dana pencairan kredit dalam mata uang rupiah dan membayar bunga kredit dalam fixed rate. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Nasabah melakukan kontrak Transaksi Cross Currency Swap (CCS) valuta asing terhadap rupiah yang berjangka waktu 5 (lima) tahun dengan Bank A sesuai mekanisme sebagai berikut: a. pada awal kontrak, Nasabah memberikan prinsipal sebesar USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sedangkan Bank A memberikan sejumlah nominal tertentu dalam rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs yang berlaku saat itu kepada Nasabah; b. setiap 6 (enam) bulan sampai akhir kontrak, Nasabah (fixed payer) membayar 10% dalam mata uang rupiah kepada Bank A, sedangkan Bank A (variable payer) membayar 6 months LIBOR + 300 bps dalam mata uang USD kepada Nasabah; c. pada akhir kontrak, Nasabah memberikan nominal tertentu dalam rupiah yang ekuivalen dengan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), sesuai dengan kurs 39 yang disepakati kepada Bank A, sedangkan Bank A menyerahkan USD100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat), kepada Nasabah;dan d. dalam hal ini, kredit yang diberikan oleh Bank A kepada Nasabah bukan ditujukan untuk melakukan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, melainkan untuk pembangunan pabrik. Selanjutnya, pada saat Nasabah melakukan kontrak derivatif CCS valuta asing terhadap rupiah dengan Bank A, kredit yang didapatkan dari Bank A dijadikan Underlying Transaksi dalam kontrak derivatif dengan Bank A. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh 1: Pada tanggal 5 September 2018, Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Kemudian, pada tanggal 14 September 2018, Nasabah A melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Spot sebesar USD15,000.00 (lima belas ribu dolar Amerika Serikat). Total pembelian valuta asing terhadap rupiah Nasabah A pada bulan September 2018 adalah sebesar USD30,000.00 (tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat). Pembelian valuta asing terhadap rupiah pada tanggal 14 September 2018, tidak didukung dengan dokumen Underlying Transaksi, sehingga terdapat pelanggaran karena total Transaksi Spot melebihi threshold sebesar USD5,000.00 (lima ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. 40 Kurs JISDOR tanggal 14 September 2018 adalah USD/IDR 13.500,00. Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal USD5,000.00 x 1% x Rp13.500,00 yaitu sebesar Rp675.000,00 (enam ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Namun demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Contoh 2: Pada tanggal 12 September 2018, Nasabah melakukan pembelian valuta asing terhadap rupiah melalui Transaksi Forward 1 (satu) bulan sebesar USD160,000.00 (seratus enam puluh ribu dolar Amerika Serikat). Sampai dengan 5 (lima) hari kerja setelah tanggal transaksi, yaitu tanggal 17 September 2018, Nasabah tidak menyampaikan dokumen Underlying Transaksi dan dokumen pendukung, sehingga terdapat pelanggaran karena total Transaksi Forward melebihi jumlah tertentu (threshold) sebesar USD60,000.00 (enam puluh ribu dolar Amerika Serikat) tanpa didukung dengan dokumen Underlying Transaksi. Kurs JISDOR tanggal 17 September 2018 adalah USD/IDR 13.500,00. Atas pelanggaran tersebut, Bank dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar dari nilai nominal USD60,000.00 x 1% x Rp13.500,00 yaitu sebesar Rp8100.000,00 (delapan juta seratus ribu rupiah). Namun demikian, karena dalam PBI diatur bahwa sanksi kewajiban membayar paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka Bank dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 41 Huruf b Contoh: Pada tanggal 13 September 2018, Bank B memberikan kredit kepada Nasabah A sebesar USD10,000,000.00 (sepuluh juta dolar Amerika Serikat) yang digunakan khusus untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah, yang tidak terkait dengan kegiatan ekspor dan/atau impor. Kurs JISDOR tanggal 13 September 2018 adalah Rp13.500,00. Dalam hal ini, Bank B telah melakukan pelanggaran larangan pemberian kredit untuk membiayai kegiatan Transaksi Derivatif Valuta Asing Terhadap Rupiah dan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.350.000.000,00 (satu miliar tiga ratus lima puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (USD10,000,000.00 x 1% x Rp13.500,00), dengan pembayaran sanksi paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Huruf c Contoh: PT X tidak memiliki rekening valuta asing maupun rekening rupiah di Bank Y. Pada tanggal 14 September 2018, PT X melakukan Transaksi Forward jual USD/IDR 1 (satu) bulan dengan Bank Y sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) pada kurs USD/IDR 13.500,00. Untuk itu Bank Y melakukan penyerahan dana rupiah terlebih dahulu kepada PT X sebesar Rp27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh miliar rupiah), dengan harapan pada akhir hari tanggal valuta, PT X akan menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Namun demikian, sampai dengan akhir hari tanggal 15 Oktober 2018 waktu penyelesaian transaksi US Dollar PT X tidak dapat memenuhi janjinya menyerahkan dana sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Dengan demikian, Bank Y telah memberikan cerukan senilai USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat) kepada PT X untuk kepentingan Transaksi Valuta Asing Terhadap 42 Rupiah. Kurs JISDOR tanggal 15 Oktober 2018 adalah Rp13.500,00. Atas pelanggaran dimaksud, Bank Y dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp270.000.000,00 (dua ratus tujuh puluh juta rupiah) yang berasal dari perhitungan (USD2,000,000.00 x 1% x Rp13.500,00). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/16/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI VALUTA ASING TERHADAP RUPIAH ANTARA BANK DENGAN PIHAK DOMESTIK </reg_title> <set_date> 15 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 15 Agustus 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/34/DPPK|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '18/18/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/35/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dengan diterbitkannya Sukuk Bank Indonesia sebagai instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 16 dan angka 17 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 16A dan angka 55 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang TENTANG 3 melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di 4 pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan peserta OPT Syariah. 12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 16A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SuKBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik Bank Indonesia. 5 17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT 6 Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan 7 fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau dari Bank. 36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran dan/atau penerimaan dana dalam rangka setelmen transaksi SBBI Valas. 37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia 8 dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 43. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana melalui sarana telekomunikasi yang antara lain memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening, kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). 44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan 9 dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 47. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 48. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date). 49. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 50. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 51. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses 10 melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 52. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk penatausahaan. 53. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan. 54. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. 55. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SukBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 56. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 58 ayat (1) diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing harus mengirimkan dokumen ke Bank Indonesia sebagai berikut: a. surat pernyataan yang menyatakan bahwa: 11 1) surat berharga dalam valuta asing yang di- repo-kan merupakan aset milik Peserta OPT Konvensional; dan 2) Peserta OPT Konvensional tidak lagi memiliki SBI, SDBI, SukBI, dan SBN; b. data terkait surat berharga dalam valuta asing yang paling sedikit meliputi jadwal pembayaran kupon terakhir (last coupon date), jadwal pembayaran kupon selanjutnya (next coupon date), tingkat kupon (coupon rate), dan nominal kupon; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dengan statement of holding atas kepemilikan surat berharga dalam valuta asing di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia dan Hasil Olahan Komputer (HOK) posisi kepemilikan surat berharga dalam Rupiah Peserta OPT Konvensional pada posisi penutupan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal transaksi. (2) Contoh surat pernyataan dan data terkait surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 3. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT 12 Konvensional jatuh waktu (second leg). (2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Dalam hal surat berharga berupa SBI, SDBI, dan SukBI, Bank Indonesia melakukan Early Redemption atas SBI, SDBI, dan SukBI dan mengenakan biaya Transaksi Repo OPT Konvensional. b. Dalam hal surat berharga berupa SBN, transaksi yang bersangkutan diperlakukan sebagai transaksi penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal Bank Indonesia melakukan Early Redemption atas SBI, SDBI, dan SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank Indonesia membayar diskonto SBI dan SDBI, dan imbalan SukBI kepada Peserta OPT Konvensional sampai dengan tanggal Early Redemption atas SBI, SDBI, dan SukBI. (4) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT Konvensional tetap membayar biaya Transaksi Repo OPT Konvensional kepada Bank Indonesia. (5) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat berharga transaksi penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. (6) Dalam hal hasil Early Redemption dan transaksi penjualan secara putus (outright) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, Bank Indonesia akan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kekurangan kewajiban Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia. 13 4. Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab III disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kesatu A dan di antara Pasal 196 dan Pasal 197 disisipkan 15 (lima belas) pasal, yakni Pasal 196A sampai dengan Pasal 196O yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu A Penerbitan SukBI Paragraf 1 Pengumuman Lelang SukBI Pasal 196A (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SukBI dan perubahannya paling lambat sebelum window time, melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. nisbah bagi hasil; g. metode lelang; h. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); i. indikasi tingkat imbalan, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); j. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau k. informasi lainnya. 14 Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang SukBI Pasal 196B Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SukBI kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 196C (1) Pengajuan penawaran lelang SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196B meliputi informasi: a. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. tingkat imbalan dan nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu SukBI yang akan diterbitkan. (2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan penawaran tingkat imbalan dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang SukBI Pasal 196D (1) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta sebesar 15 OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SukBI sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang SukBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan tingkat imbalan SukBI tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat imbalan SukBI yang diajukan Peserta OPT Syariah lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran SukBI yang diajukan; atau 2. dalam hal tingkat imbalan SukBI yang diajukan Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran SukBI yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SukBI Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 196E Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang SukBI. sebesar 16 Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang SukBI Pasal 196F Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SukBI setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai transaksi SukBI yang dimenangkan, indikasi tingkat imbalan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, nisbah bagi hasil, Stop Out Rate (SOR), indikasi tingkat imbalan, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Setelmen SukBI Pasal 196G (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SukBI paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang SukBI. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil lelang SukBI. Pasal 196H (1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang SukBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah dan Setelmen Surat Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta OPT Syariah sebesar nilai nominal SukBI. (2) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga 17 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. Pasal 196I (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SukBI, BI- SSSS secara otomatis membatalkan transaksi lelang SukBI yang dimenangkan Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang SukBI yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 196J (1) Setelmen pelunasan SukBI dilakukan pada tanggal jatuh waktu. (2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI- RTGS. (3) Bank Indonesia melunasi SukBI jatuh waktu berdasarkan pencatatan kepemilikan SukBI yang tercatat di BI-SSSS pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu SukBI. (4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu SukBI ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen pelunasan SukBI dilakukan pada Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan imbalan untuk hari libur dimaksud. 18 (5) Pada tanggal jatuh waktu SukBI, Bank Indonesia melakukan pelunasan SukBI dengan cara: 1. mengkredit Rekening Giro rupiah Bank pemilik SukBI sebesar nilai nominal SukBI jatuh waktu dan imbalan; dan 2. mendebit Rekening Surat Berharga Bank pemilik SukBI sebesar nilai nominal SukBI jatuh waktu. (6) Contoh perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum pada Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 6 Pembatasan Transaksi SukBI di Pasar Sekunder Pasal 196K Bank dilarang mentransaksikan SukBI yang dimilikinya dengan pihak selain Bank. Pasal 196L Bank dapat mentransaksikan SukBI dengan Bank Indonesia. Pasal 196M Sub-Registry wajib menatausahakan SukBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K. Pasal 196N Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K oleh Bank dan Sub-Registry. Pasal 196O (1) Atas pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K, Bank Indonesia 19 melakukan Early Redemption atas SukBI yang dimiliki oleh pihak selain Bank tanpa persetujuan pemilik. (2) Perhitungan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen pemindahtanganan SukBI ke pihak selain Bank. (3) Perhitungan Early Redemption atas SukBI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 5. Ketentuan Pasal 214 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 214 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI- SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg). (2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. Transaksi Repo OPT Syariah yang menggunakan SBSN diperlakukan sebagai transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah; dan/atau b. Transaksi Repo OPT Syariah yang menggunakan SukBI, maka dilakukan Early Redemption atas SukBI milik Peserta OPT Syariah. (3) Dalam hal Bank Indonesia melakukan Early Redemption SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Bank Indonesia membayar imbalan SukBI kepada Peserta OPT Syariah sampai dengan tanggal 20 Early Redemption SukBI. (4) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT Syariah tetap membayar biaya Transaksi Repo OPT Syariah kepada Bank Indonesia. 6. Ketentuan Pasal 322 ayat (1) diubah sehingga Pasal 322 berbunyi sebagai berikut: Pasal 322 (1) Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT dalam rupiah, meliputi: a. transaksi penerbitan SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1); b. transaksi penerbitan SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196I ayat (1); c. Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1); d. Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) dan Pasal 235 ayat (1); e. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1). (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi OPT Syariah dalam rupiah yang dibatalkan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap pembatalan. (3) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) huruf a dan dalam hal harga surat berharga pada 21 saat second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-repo-kan. (4) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) dan dalam hal harga surat berharga pada saat second leg lebih tinggi dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-reverse repo-kan. 7. Ketentuan Bab V Bagian Kedua ditambah 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 4 dan di antara Pasal 330 dan Pasal 331 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 330A, Pasal 330B, dan Pasal 330C sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 4 Sanksi Pelanggaran Transaksi SukBI antara Bank dengan Pihak Selain Bank di Pasar Sekunder Pasal 330A Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K dan Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196M dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol 22 satu persen) dari nilai transaksi SukBI yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 330B Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330A dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah diketahuinya pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196K dan Pasal 196M. Pasal 330C Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330B dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry. 8. Ketentuan Bab V Bagian Kedua ditambah 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 5 sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 5 Sanksi terkait Pengaturan dan Pengawasan Moneter dan/atau Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial Pasal 331 Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam OMS juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT Syariah yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial. 9. Lampiran IV dan Lampiran XI diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran 23 XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 10. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/35/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah. Mekanisme pelaksanaan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut perlu diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 58 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 72 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 196A Cukup jelas. Pasal 196B Cukup jelas. Pasal 196C Cukup jelas. Pasal 196D Cukup jelas. Pasal 196E Cukup jelas. Pasal 196F Cukup jelas. Pasal 196G Cukup jelas. 3 Pasal 196H Cukup jelas. Pasal 196I Cukup jelas. Pasal 196J Cukup jelas. Pasal 196K Cukup jelas. Pasal 196L Cukup jelas. Pasal 196M Cukup jelas. Pasal 196N Cukup jelas. Pasal 196O Cukup jelas. Angka 5 Pasal 214 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 322 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 330A Cukup jelas. 4 Pasal 330B Cukup jelas. Pasal 330C Cukup jelas. Angka 8 Pasal 331 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/35/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 20 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/29/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 4 Pasal 196I Ayat 2', 'Pasal I Angka 6 Pasal 322', 'Pasal I Angka 7 Bab V Bagian Kedua Paragraf 4', 'Pasal I Angka 8 Bab V Bagian Kedua Paragraf 5 Pasal 331' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/13/PADG/2019 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi; b. bahwa dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai transaksi derivatif suku bunga rupiah berupa transaksi interest rate swap; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah Berupa Transaksi Interest Rate Swap; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/13/PBI/2018 tentang Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6261); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah adalah transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari suku bunga rupiah. 2. Transaksi Interest Rate Swap yang selanjutnya disebut Transaksi IRS adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu. 3. Transaksi Overnight Index Swap yang selanjutnya disebut Transaksi OIS adalah kontrak/perjanjian antara 2 (dua) pihak untuk mempertukarkan aliran suku bunga dalam rupiah secara periodik selama masa kontrak atau di akhir masa kontrak berdasarkan suatu jumlah nosional (principal) tertentu yang perhitungannya menggunakan basis bunga harian (daily compounding). 4. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, tidak termasuk kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 5. Nasabah adalah perorangan yang memiliki kewarganegaraan Indonesia atau badan hukum selain 3 Bank yang berdomisili di Indonesia dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. 6. Pihak Asing adalah: a. warga negara asing; b. badan hukum asing atau lembaga asing lainnya; c. warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia; d. kantor bank umum berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri; atau e. kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia. 7. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia. 8. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. BAB II TRANSAKSI IRS Bagian Kesatu Cakupan Transaksi Pasal 2 (1) Bank melakukan Transaksi IRS dengan mempertukarkan aliran suku bunga sebagai berikut: a. aliran suku bunga tetap (fixed rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate); atau 4 b. aliran suku bunga mengambang (floating rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate) lainnya. (2) Perhitungan aliran suku bunga Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. periodik; atau b. majemuk harian (daily compounding). (3) Suku bunga mengambang (floating rate) pada Transaksi IRS dapat mengacu pada: a. b. JIBOR; IndONIA; atau c. suku bunga lainnya yang dapat diandalkan (reliable). (4) Contoh Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Pelaku Pasal 3 (1) Bank dapat melakukan Transaksi IRS dengan: a. Nasabah yang memenuhi klasifikasi tertentu; b. Pihak Asing; dan/atau c. Bank lainnya. (2) Klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk Nasabah berbentuk badan hukum adalah sebagai berikut: a. merupakan nasabah di Bank yang bersangkutan; b. menyampaikan laporan keuangan, sekurang- kurangnya posisi tahun terakhir yang memperlihatkan kepemilikan ekuitas paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing; dan c. telah melakukan kegiatan usaha paling sedikit 12 (dua belas) bulan berturut-turut. 5 (3) Klasifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk Nasabah perorangan adalah sebagai berikut: a. merupakan nasabah di Bank yang bersangkutan; dan b. menyampaikan bukti kepemilikan portofolio aset berupa kas, giro, tabungan, dan/atau deposito di perbankan Indonesia, sekurang-kurangnya posisi bulan terakhir dengan jumlah paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau ekuivalennya dalam valuta asing. Bagian Ketiga Kontrak Pasal 4 (1) Bank yang melakukan Transaksi IRS dengan Nasabah, Pihak Asing, dan/atau Bank lainnya wajib didasarkan atas suatu kontrak yang terdiri atas: a. kontrak utama yang lazim digunakan oleh pelaku pasar dan/atau diterbitkan oleh asosiasi terkait; dan b. konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi. (2) Kontrak transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditatausahakan oleh Bank. (3) Contoh kontrak utama yang lazim digunakan oleh pelaku pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Contoh konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 6 Pasal 5 (1) Kewajiban penggunaan kontrak utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dikecualikan untuk Transaksi IRS yang dilakukan: a. antara Bank dengan kantor cabangnya; b. antarkantor cabang Bank; dan c. antara kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dengan kantor pusatnya atau kantor cabang lainnya di luar negeri. (2) Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib didasarkan atas kontrak berupa konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi. Bagian Keempat Konvensi Pasar Pasal 6 (1) Bank harus mengikuti konvensi pasar dalam melakukan Transaksi IRS. (2) Konvensi pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. jumlah desimal suku bunga; b. jumlah hari dalam setahun; dan c. mekanisme pembayaran bunga pada saat jatuh waktu. Bagian Kelima Nilai Nominal dan Tenor Pasal 7 (1) Bank melakukan Transaksi IRS dengan nilai nominal paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Tenor Transaksi IRS yang dilakukan oleh Bank berjangka waktu 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 9 (sembilan) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau tenor lainnya. 7 Bagian Keenam Analisis Kebutuhan Transaksi Pasal 8 (1) Bank wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS paling sedikit 1 (satu) kali sebelum melakukan Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah. (2) Analisis kebutuhan Transaksi IRS yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung oleh dokumen yang relevan. (3) Bank harus memiliki pedoman internal terkait penyusunan analisis kebutuhan Transaksi IRS termasuk penetapan jenis dokumen yang relevan. (4) Contoh analisis kebutuhan Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 9 (1) Kewajiban melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) dikecualikan dalam hal: a. Bank melakukan Transaksi IRS dengan tujuan untuk meneruskan (pass on) transaksi yang dilakukan dengan Nasabah, Pihak Asing, atau Bank lainnya atau untuk tujuan lindung nilai aset dan/atau kewajiban Bank; atau b. Transaksi IRS dilakukan antar-Bank. (2) Dalam hal Bank melakukan Transaksi IRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank menatausahakan dokumen yang relevan yang menunjukkan transaksi yang dilakukan dengan Nasabah, Pihak Asing, atau Bank lainnya yang diteruskan (pass on) atau aset dan/atau kewajiban Bank yang dilakukan lindung nilai. 8 Pasal 10 (1) Bank wajib melakukan evaluasi (review) terhadap analisis kebutuhan Transaksi IRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) secara periodik paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. (2) Kewajiban melakukan evaluasi (review) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Transaksi IRS dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. BAB III PENYELESAIAN TRANSAKSI IRS Pasal 11 (1) Penyelesaian Transaksi IRS dilakukan dengan: a. pemindahan dana secara penuh; atau b. pemindahan dana dengan memperhitungkan selisih kewajiban pembayaran (netting), oleh masing-masing pihak yang melakukan transaksi untuk setiap periode pembayaran sesuai dengan kontrak dan konvensi pasar. (2) Selisih kewajiban pembayaran (netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan selisih dari aliran suku bunga yang dipertukarkan. Pasal 12 (1) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian Transaksi IRS dapat dilakukan secara close-out netting dengan ketentuan: a. dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam kontrak; b. transaksi merupakan transaksi yang dilakukan dalam satu perjanjian induk; dan c. dilakukan sebelum adanya pernyataan putusan pailit oleh pengadilan. (2) Contoh penerapan close-out netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 9 BAB IV PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 13 (1) Bank yang melakukan Transaksi IRS wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa: a. etika bertransaksi (market code of conduct) atau pedoman lain yang sejenis; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. perlindungan konsumen; dan d. mekanisme penyelesaian sengketa (dispute resolution). (3) Penerapan transparansi dan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit mencakup: a. pengungkapan informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing; b. pemberian informasi mengenai potensi manfaat yang mungkin diperoleh dan risiko kerugian yang mungkin timbul bagi Nasabah dan/atau Pihak Asing dari Transaksi IRS; dan c. penyampaian informasi yang tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi risiko yang mungkin timbul dari Transaksi IRS. (4) Penerapan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur sebagai berikut: a. Transaksi IRS harus memperhatikan transparansi dan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3); b. Transaksi IRS didahului dengan penyampaian dokumen tertulis mengenai informasi terkait Transaksi IRS yang disusun menggunakan bahasa Indonesia dan dapat disandingkan dengan bahasa lain apabila diperlukan, serta memperhatikan kaidah 10 penulisan yang memberikan kemudahan dalam membaca dan memahami informasi mengenai Transaksi IRS yang ditawarkan; c. dalam hal terdapat ilustrasi perhitungan yang menggunakan asumsi tertentu, perlu adanya penegasan bahwa informasi yang bersifat perkiraan mengandung unsur ketidakpastian, yang dapat mengakibatkan hasil sebenarnya berbeda dari yang telah diperkirakan; dan d. memberikan laporan berkala atau akses informasi kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing mengenai perkembangan Transaksi IRS yang telah dilakukan dan informasi material yang berpengaruh terhadap hasil akhir Transaksi IRS. Pasal 14 (1) Bank wajib memberikan edukasi tentang Transaksi IRS kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing yang bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai manfaat dan risiko Transaksi IRS. (2) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. penyampaian informasi kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing yang paling sedikit memuat: 1. karakteristik atau fitur transaksi; 2. ilustrasi perhitungan bunga/pendapatan/ keuntungan yang dapat diperoleh atau kerugian yang dapat dialami beserta asumsi yang digunakan dan data pendukungnya, apabila ada; 3. biaya, apabila ada; 4. hak dan kewajiban; 5. faktor risiko dan hal yang mempengaruhi perhitungan penyelesaian; 6. syarat dan kondisi lainnya seperti jangka waktu, tanggal efektif, waktu atau periode penyelesaian transaksi, penyelesaian sengketa, prasyarat dan 11 mekanisme untuk perpanjangan transaksi (roll over), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau penghentian transaksi (unwind) apabila ada; dan 7. informasi lain yang diperlukan untuk menilai pengambilan keputusan sebelum melakukan Transaksi IRS; b. penerapan transparansi dan keterbukaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); c. pemberian waktu kepada Nasabah dan/atau Pihak Asing untuk mempelajari penawaran dan dokumen yang berisi penjelasan Transaksi IRS; dan d. kepastian Nasabah dan/atau Pihak Asing telah menerima dan memahami informasi maupun fitur Transaksi IRS. (3) Edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui seminar, workshop, focus group discussion, diseminasi melalui media publikasi, dan/atau kegiatan lainnya. Pasal 15 Dalam melakukan Transaksi IRS, Bank harus menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas perbankan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bank. BAB V TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 16 (1) Bank atau pihak yang melanggar ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah dikenai sanksi berupa teguran tertulis dengan tembusan kepada otoritas perbankan atau otoritas/lembaga terkait lainnya. (2) Bank yang telah mendapat 3 (tiga) kali teguran tertulis dalam kurun waktu 1 (satu) tahun atas pelanggaran 12 ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direkomendasikan kepada otoritas perbankan untuk dikenai sanksi berupa penghentian sementara dalam melakukan Transaksi IRS yang baru selama 6 (enam) bulan. (3) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VI KORESPONDENSI Pasal 17 (1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Transaksi IRS disampaikan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350 Email : [email protected]. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 13 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DODY BUDI WALUYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/13/PADG/2019 TENTANG TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP I. UMUM Untuk mendorong pasar keuangan yang likuid dan efisien diperlukan pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah secara menyeluruh dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam bertransaksi. Dalam upaya pengembangan pasar derivatif suku bunga rupiah diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai Transaksi Derivatif Suku Bunga Rupiah berupa Transaksi IRS yang mengatur mengenai cakupan transaksi, pelaku, kontrak, konvensi pasar, nilai nominal dan tenor, analisis kebutuhan transaksi, penyelesaian Transaksi IRS, prinsip kehati- hatian dan manajemen risiko, serta tata cara pengenaan sanksi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Aliran suku bunga yang dipertukarkan merupakan aliran pembayaran suku bunga atas nominal tertentu. 2 Ayat (2) Huruf a Perhitungan aliran suku bunga dengan cara periodik seperti bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Huruf b Transaksi IRS dengan perhitungan aliran suku bunga dengan cara majemuk harian (daily compounding) disebut juga dengan Transaksi OIS. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Suku bunga lainnya yang dapat diandalkan (reliable) antara lain suku bunga Transaksi OIS. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œekuitasโ€ adalah total ekuitas yang terdiri atas modal disetor, laba ditahan, tambahan modal disetor (agio saham), dan akumulasi dari penghasilan komprehensif lain. Huruf c Contoh 1 โ€“ Nasabah merupakan perusahaan baru: Perusahaan AAA melakukan kegiatan usaha sejak tanggal 1 Maret 2019. Pada tanggal 1 November 2019, Perusahaan AAA berencana akan melakukan Transaksi IRS untuk tujuan lindung nilai suku bunga atas kredit modal kerja. 3 Perusahaan AAA tidak dapat melakukan Transaksi IRS karena belum melakukan kegiatan usaha selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut. Contoh 2 โ€“ Nasabah menghentikan kegiatan usahanya: Perusahaan BBB melakukan kegiatan usaha sejak tanggal 1 Maret 2008. Pada tanggal 1 Maret 2017, Perusahaan BBB menghentikan kegiatan usahanya karena kondisi keuangan perusahaan sedang memburuk. Pada tanggal 1 Maret 2018, setelah mendapat tambahan modal, Perusahaan BBB kembali menjalankan kegiatan usahanya. Atas hal tersebut, Perusahaan BBB baru dapat melakukan Transaksi IRS setelah melakukan kegiatan usaha selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut yakni pada tanggal 1 Maret 2019 dan memiliki ekuitas paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Kontrak utama dan konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi dapat dituangkan dalam satu dokumen yang sama, seperti long-form confirmation. Huruf a Contoh kontrak utama transaksi yang lazim digunakan oleh pelaku pasar antara lain International Swaps and Derivatives Association (ISDA) Master Agreement, Perjanjian Induk Derivatif Indonesia (PIDI), dan counterparty agreement. Huruf b Konfirmasi tertulis yang menunjukkan terjadinya transaksi antara lain berupa dealing conversation atau Society of Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 4 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Analisis kebutuhan Transaksi IRS memuat analisis kebutuhan Nasabah dan/atau Pihak Asing untuk melakukan Transaksi IRS dan kemampuan Nasabah dan/atau Pihak Asing dalam mengendalikan risiko yang timbul dari pelaksanaan Transaksi IRS. Ayat (2) Yang termasuk dalam jenis dokumen yang relevan antara lain terdiri atas: a. bukti kepemilikan investasi dalam rupiah yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang; b. bukti kepemilikan dana dalam rupiah; c. dokumen kredit; d. laporan keuangan; dan/atau e. dokumen lainnya. Ayat (3) Pedoman internal terkait penyusunan analisis kebutuhan Transaksi IRS termasuk penetapan jenis dokumen yang relevan dapat dimuat dengan menyesuaikan pedoman internal Bank yang telah ada. Ayat (4) Cukup jelas. 5 Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Contoh: Bank NNN melakukan Transaksi IRS dengan Nasabah CCC yang menyebabkan adanya posisi terbuka (eksposur) bagi Bank NNN. Untuk melakukan lindung nilai, Bank NNN akan meneruskan (pass on) posisi terbuka tersebut dengan melakukan Transaksi IRS dengan perusahaan asuransi DDD di Indonesia. Atas Transaksi IRS tersebut, Bank NNN tidak wajib melakukan analisis kebutuhan Transaksi IRS dari perusahaan asuransi DDD. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Evaluasi (review) dilakukan untuk penerapan prinsip kehati- hatian dan bertujuan antara lain untuk menilai eligibilitas Transaksi IRS yang dilakukan oleh Nasabah dan/atau Pihak Asing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal Transaksi IRS mempertukarkan aliran suku bunga tetap (fixed rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate), selisih kewajiban pembayaran (netting) merupakan selisih dari aliran suku bunga tetap (fixed rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate). 6 Dalam hal Transaksi IRS mempertukarkan aliran suku bunga mengambang (floating rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate) lainnya, selisih kewajiban pembayaran (netting) merupakan selisih dari aliran suku bunga mengambang (floating rate) dengan aliran suku bunga mengambang (floating rate) lainnya. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œclose-out nettingโ€ adalah proses pengakhiran seluruh Transaksi IRS dan transaksi derivatif lainnya dalam satu perjanjian induk dan dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai/jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Etika bertransaksi (market code of conduct) dapat mengacu pada market code of conduct yang ditetapkan oleh asosiasi pelaku pasar, antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pengungkapan informasi yang lengkap, benar dan tidak menyesatkan oleh Bank dimaksudkan agar Nasabah 7 dan/atau Pihak Asing dapat melakukan penilaian dan analisis sebelum melakukan Transaksi IRS. Huruf b Dalam memberikan informasi, Bank harus menyampaikan secara utuh, tidak menyembunyikan, mengurangi, atau menutupi hal terkait risiko yang mungkin timbul dari Transaksi IRS. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/13/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI DERIVATIF SUKU BUNGA RUPIAH BERUPA TRANSAKSI INTEREST RATE SWAP </reg_title> <set_date> 31 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2019 </effective_date> <related_reg> '20/13/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/4/PADG/2017 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dilakukan perubahan kebijakan perhitungan giro wajib minimum; b. bahwa perubahan perhitungan tersebut bertujuan untuk memberikan fleksibilitas, meningkatkan efisiensi pengelolaan likuiditas bank, dan mengurangi volatilitas suku bunga; c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengaturan pemenuhan sebagian giro wajib minimum primer secara rata-rata dan penyesuaian lainnya terkait giro wajib minimum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 235, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5478) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6047); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing adalah Bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 3. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 4. Dana Pihak Ketiga Bank yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan valuta asing. 5. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 6. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah Rekening Giro dalam mata uang rupiah. 7. Rekening Giro dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut Rekening Giro Valas adalah Rekening Giro dalam valuta asing. 8. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh Bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 9. GWM Primer adalah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 10. GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, dan Surat Berharga Negara, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 11. Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap: a. dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh sumber pendanaan. 12. LFR Target adalah kisaran LFR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR. 13. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh Bank dengan LFR Target. 14. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 17. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri atas Surat Utang Negara dalam mata uang rupiah dan Surat Berharga Syariah Negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 18. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Surat Utang Negara, yang terdiri atas Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara. 19. Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 20. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah Surat Berharga Syariah Negara atau Sukuk Negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Surat Berharga Syariah Negara yang terdiri atas Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang dan Surat Berharga Syariah Negara Jangka Pendek namun terbatas dalam mata uang rupiah. 22. Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat SBSN Jangka Panjang adalah Surat Berharga Syariah Negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 23. Surat Berharga Syariah Negara Jangka Pendek yang selanjutnya disingkat SBSN Jangka Pendek adalah Surat Berharga Syariah Negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 24. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 25. Sub-Rekening Investasi pada BI-SSSS adalah sub- rekening untuk menampung pencatatan kepemilikan surat berharga yang diperoleh peserta Bank dalam rangka program pemerintah antara lain program rekapitalisasi perbankan, namun terbatas dalam mata uang rupiah. 26. Sub-Rekening Perdagangan atau Sub-Rekening Aktif pada BI-SSSS adalah sub-rekening untuk menampung pencatatan kepemilikan surat berharga yang dapat diperdagangkan baik yang berasal dari Sub-Rekening Investasi maupun hasil pembelian surat berharga di pasar perdana dan di pasar sekunder. 27. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM adalah rasio antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. 28. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR. 29. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang memiliki LFR kurang dari batas bawah LFR Target. 30. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR bagi Bank yang memiliki LFR lebih dari batas atas LFR Target. 31. Total Kredit adalah seluruh kredit yang diberikan oleh Bank kepada Bank dan bukan Bank dalam rupiah dan valuta asing. 32. Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disebut Kredit UMKM adalah kredit usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah. 33. Rasio Kredit UMKM adalah perbandingan antara jumlah Kredit UMKM terhadap Total Kredit. 34. Rasio Nonperforming Loan Total Kredit yang selanjutnya disebut Rasio NPL Total Kredit adalah rasio antara jumlah Total Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap Total Kredit. 35. Rasio Nonperforming Loan Kredit UMKM yang selanjutnya disebut Rasio NPL Kredit UMKM adalah rasio antara jumlah Kredit UMKM dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet terhadap Total Kredit UMKM. 36. Merger adalah merger sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. 37. Konsolidasi adalah konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. 38. Tanggal Efektif adalah tanggal pelaksanaan peralihan operasional dari Bank yang menggabungkan diri kepada Bank yang menerima penggabungan atau dari Bank yang meleburkan diri kepada Bank yang didirikan. 39. Laporan Berkala Bank Umum adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 40. Laporan Bulanan Bank Umum adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum. BAB II TATA CARA PERHITUNGAN GWM PRIMER Pasal 2 GWM Primer ditetapkan sebesar rata-rata 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam rupiah selama masa laporan tertentu yang dipenuhi: a. secara harian sebesar 5% (lima persen); dan b. secara rata-rata untuk masa laporan tertentu sebesar 1,5% (satu koma lima persen). Pasal 3 Pemenuhan GWM Primer secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. Pasal 4 (1) Pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dihitung dengan membandingkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. (2) Pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dipenuhi setelah Bank memenuhi GWM Primer secara harian. Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer kepada Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. (2) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi. (3) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku terhadap kewajiban pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b. (4) Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kewajiban pemenuhan GWM Sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan GWM LFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (5) Pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas permintaan Bank kepada Bank Indonesia. (6) Permintaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus disertai dengan persetujuan dari OJK mengenai pemberian insentif Merger atau Konsolidasi berupa kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer. BAB III TATA CARA PERHITUNGAN GWM SEKUNDER Pasal 6 GWM Sekunder ditetapkan sebesar 4% (empat persen) dari DPK dalam rupiah. Pasal 7 (1) Komponen yang diperhitungkan sebagai cadangan dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah: a. SBI untuk seluruh jangka waktu; b. SDBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau c. SBN yang mencakup: 1) SUN berupa ON dan/atau SPN, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable); dan/atau 2) SBSN berupa SBSN Jangka Panjang dan/atau SBSN Jangka Pendek untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). (2) SBI, SDBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan GWM Sekunder dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah SBI, SDBI, dan/atau SBN milik Bank yang tercatat pada rekening surat berharga Bank di BI-SSSS, yaitu dalam: a. Sub-Rekening Investasi; dan/atau b. Sub-Rekening Perdagangan atau Sub-Rekening Aktif, namun tidak termasuk SBI, SDBI, dan/atau SBN milik Bank yang tercatat pada rekening surat berharga sub- registry. (3) Nilai SBI, SDBI, dan/atau SBN yang digunakan dalam perhitungan GWM Sekunder adalah nilai pasar (market value) yang tercantum di BI-SSSS untuk SBI, SDBI, dan/atau SBN dimaksud. Pasal 8 Pemenuhan GWM Sekunder sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, dan/atau SBN milik Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan terhadap rata- rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. BAB IV TATA CARA PERHITUNGAN GWM LFR Bagian Kesatu Besaran dan Parameter GWM LFR Pasal 9 GWM LFR ditetapkan sebesar hasil perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih antara LFR Bank dan LFR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. Pasal 10 (1) Besaran dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah LFR Target sebesar 80% (delapan puluh persen); b. batas atas LFR Target sebesar 92% (sembilan puluh dua persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). (2) Batas atas LFR Target untuk Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebesar 94% (sembilan puluh empat persen) dalam hal Bank: a. memenuhi Rasio Kredit UMKM lebih cepat dari target waktu tahapan pencapaian Rasio Kredit UMKM sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah, sebagai berikut: 1. paling sedikit 5% (lima persen) untuk posisi tanggal 30 Juni 2015 sampai dengan tanggal 30 November 2015 untuk perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 31 Januari 2016; 2. paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk posisi tanggal 31 Desember 2015 sampai dengan tanggal 30 November 2016 untuk perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari 2016 sampai dengan tanggal 31 Januari 2017; 3. paling sedikit 15% (lima belas persen) untuk posisi tanggal 31 Desember 2016 sampai dengan tanggal 30 November 2017 untuk perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari 2017 sampai dengan tanggal 31 Januari 2018; atau 4. paling sedikit 20% (dua puluh persen) untuk posisi tanggal 31 Desember 2017 sampai dengan tanggal 30 November 2018 untuk perhitungan GWM LFR mulai tanggal 1 Februari 2018 sampai dengan tanggal 31 Januari 2019; b. memenuhi Rasio NPL Total Kredit secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan c. memenuhi Rasio NPL Kredit UMKM secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). Bagian Kedua Sumber Data dan Nilai yang Digunakan Pasal 11 (1) Perhitungan LFR menggunakan sumber data dan nilai sebagai berikut: a. kredit; b. dana pihak ketiga; dan c. surat berharga yang diterbitkan Bank. (2) Data kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperoleh dari pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan pada tanggal akhir data laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya dalam Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. (3) Dana pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan pada tanggal akhir data laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya dalam Laporan Berkala Bank Umum yang disampaikan Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. (4) Surat berharga yang diterbitkan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diperoleh dari: a. saldo total nominal dalam laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia secara bulanan; atau b. saldo total nominal dari laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank yang diperoleh dari PT Kustodian Sentral Efek Indonesia dalam hal Bank Indonesia telah mengumumkan melalui surat pemberitahuan kepada Bank mengenai penghentian kewajiban penyampaian laporan surat berharga yang diterbitkan. Pasal 12 Penggunaan Data KPMM dalam perhitungan GWM LFR diatur sebagai berikut: a. KPMM yang digunakan dalam perhitungan GWM LFR adalah KPMM triwulanan dari Bank yang bersangkutan; dan b. KPMM triwulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a merupakan KPMM Bank untuk posisi akhir triwulan, yaitu sebagai berikut: 1. KPMM pada posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus; 2. KPMM pada posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan September, Oktober, dan November; 3. KPMM pada posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Desember pada tahun yang sama serta bulan Januari dan Februari pada tahun berikutnya; dan 4. KPMM pada posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Maret, April, dan Mei pada tahun berikutnya. Pasal 13 Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit Bank, dan Rasio NPL Kredit UMKM menggunakan sumber data dan nilai yang berasal dari: a. daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya yang disampaikan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan bank umum, untuk: 1. Kredit UMKM selain yang dilakukan dengan pola executing; 2. Total Kredit; 3. non-performing loan Total Kredit; dan 4. non-performing loan Kredit UMKM selain yang dilakukan dengan pola executing, dan b. laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola executing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk: 1. Kredit UMKM yang dilakukan dengan pola executing; dan 2. non-performing loan Kredit UMKM yang dilakukan dengan pola executing, yang disampaikan Bank secara triwulanan. Pasal 14 Penggunaan data dari laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola executing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b diatur sebagai berikut: a. posisi akhir bulan Maret digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Mei, Juni, dan Juli; b. posisi akhir bulan Juni digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan Agustus, September, dan Oktober; c. posisi akhir bulan September digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian untuk bulan November dan Desember pada tahun yang sama serta Januari pada tahun berikutnya; dan d. posisi akhir bulan Desember digunakan untuk perhitungan GWM LFR harian bulan Februari, Maret, dan April pada tahun berikutnya. Bagian Ketiga Perhitungan Pemenuhan GWM LFR Pasal 15 (1) LFR Bank merupakan persentase yang dihitung antara perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank. (2) Dalam hal LFR Bank berada dalam kisaran LFR Target maka GWM LFR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. (3) Dalam hal LFR Bank lebih kecil dari batas bawah LFR Target maka GWM LFR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Bawah, selisih antara batas bawah LFR Target dan LFR Bank, dan DPK dalam rupiah. (4) Dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif maka GWM LFR merupakan hasil perkalian antara Parameter Disinsentif Atas, selisih antara LFR Bank dan batas atas LFR Target, dan DPK dalam rupiah. (5) Dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank sama atau lebih besar dari KPMM Insentif maka GWM LFR Bank adalah sebesar 0% (nol persen) dari DPK dalam rupiah. (6) DPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diperoleh dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya pada laporan DPK rupiah dan valuta asing dalam Laporan Berkala Bank Umum. Bagian Keempat Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan Rasio NPL Kredit UMKM Pasal 16 (1) Rasio Kredit UMKM dihitung dengan membandingkan jumlah Kredit UMKM terhadap Total Kredit. (2) Rasio NPL Total Kredit Bank merupakan perhitungan rasio antara jumlah Total Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap Total Kredit. (3) Rasio NPL Kredit UMKM merupakan perhitungan rasio antara jumlah Kredit UMKM dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet, terhadap jumlah Kredit UMKM. BAB V TATA CARA PERHITUNGAN GWM DALAM VALUTA ASING Pasal 17 GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam valuta asing. Pasal 18 Pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dihitung dengan membandingkan posisi saldo Rekening Giro Valas Bank di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 1 (satu) masa laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya. BAB VI PEMENUHAN GWM BAGI BANK YANG MELAKUKAN MERGER ATAU KONSOLIDASI, BANK YANG MELAKUKAN PERUBAHAN KEGIATAN USAHA MENJADI BANK UMUM SYARIAH, DAN BANK YANG BARU MENJADI BANK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA DALAM VALUTA ASING Bagian Kesatu Bank yang Melakukan Merger atau Konsolidasi Pasal 19 Pemenuhan GWM Primer bagi Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM Primer untuk masing-masing Bank dihitung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4; b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM Primer hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4; c. sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi tersedia maka pemenuhan GWM Primer dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dihitung dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4; dan d. setelah 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM Primer untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dihitung dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 20 Pemenuhan GWM Sekunder bagi Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM Sekunder untuk masing-masing Bank dihitung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM Sekunder hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; c. sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi tersedia maka pemenuhan GWM Sekunder dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, dan/atau SBN yang dimiliki oleh Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan d. setelah 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM Sekunder untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SDBI, dan/atau SBN Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 21 Pemenuhan GWM LFR bagi Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan memperhitungkan LFR Bank yang merupakan persentase antara perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank, yang dihitung untuk masing- masing Bank; dan 2. KPMM yang digunakan adalah KPMM triwulanan masing-masing Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan GWM LFR hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi; 2. data KPMM yang digunakan diperoleh dari Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan oleh Bank atas penggabungan data yang digunakan dalam perhitungan KPMM masing-masing Bank sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi; 3. Bank menyampaikan hasil perhitungan KPMM sebagaimana dimaksud dalam angka 2) kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi; dan 4. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan memperhitungkan LFR Bank yang merupakan persentase antara perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank, yang dihitung untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi; c. sejak Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi sampai dengan 4 (empat) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi tersedia, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan GWM LFR merupakan persentase antara perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank; dan 2. data KPMM yang digunakan adalah data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2. sampai dengan tersedianya data KPMM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; d. setelah 4 (empat) masa Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. pemenuhan GWM LFR diperoleh dengan memperhitungkan LFR Bank yang merupakan persentase antara perbandingan kredit dengan penjumlahan dana pihak ketiga dan surat berharga yang diterbitkan Bank; dan 2. data KPMM yang digunakan adalah data KPMM sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2 sampai dengan tersedianya data KPMM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; dan e. dalam hal terdapat perbedaan antara hasil perhitungan KPMM yang diterima oleh Bank Indonesia dari OJK dengan hasil perhitungan KPMM yang dilakukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 2, huruf c angka 2, dan huruf d angka 2 maka yang berlaku adalah KPMM yang diterima Bank Indonesia dari OJK. Pasal 22 Pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk masing-masing Bank dihitung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; b. pada 1 (satu) hari kerja sebelum Tanggal Efektif pelaksanaan Merger atau Konsolidasi, pemenuhan GWM dalam valuta asing hanya dihitung untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dengan menggunakan data gabungan Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; c. sampai dengan 2 (dua) masa Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi tersedia maka pemenuhan GWM dalam valuta asing dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Valas Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan d. setelah 2 (dua) masa Laporan Berkala Bank Umum Bank hasil Merger atau Konsolidasi maka pemenuhan GWM dalam valuta asing untuk Bank hasil Merger atau Konsolidasi dihitung dengan membandingkan saldo Rekening Giro Valas Bank hasil Merger atau Konsolidasi pada Bank Indonesia dengan tata cara perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Bagian Kedua Bank yang Melakukan Perubahan Kegiatan Usaha Menjadi Bank Umum Syariah Pasal 23 Pemenuhan GWM untuk Bank yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank umum syariah diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum Bank melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah maka pemenuhan GWM dihitung sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum konvensional; b. pemenuhan GWM oleh Bank setelah melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah dihitung dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah; c. perhitungan GWM sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan menggunakan data Bank pada saat Bank belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah, yaitu menggunakan data: 1. rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah yang terdapat pada laporan DPK rupiah dan valuta asing dalam Laporan Berkala Bank Umum dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk perhitungan GWM bagi bank umum syariah; 2. dana pihak ketiga untuk perhitungan LFR yang terdapat pada neraca mingguan posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk perhitungan rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah bagi bank umum syariah; dan 3. kredit yang terdapat pada pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan Bank dalam Formulir 2 Neraca Mingguan posisi akhir tanggal laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk perhitungan rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah bagi bank umum syariah; d. data Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c digunakan sampai dengan data Bank setelah melakukan kegiatan usaha sebagai bank umum syariah tersedia, yaitu setelah 2 (dua) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum Syariah. Bagian Ketiga Bank yang Baru Menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing Pasal 24 Pemenuhan GWM untuk Bank yang baru menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing diatur sebagai berikut: a. selain memenuhi GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, GWM Sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dan GWM LFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank yang baru menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing juga wajib memenuhi GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing bagi Bank yang baru menjadi Bank yang Melakukan Kegiatan Usaha dalam Valuta Asing berlaku setelah 2 (dua) masa laporan pada Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. BAB VII PEMENUHAN GWM BAGI BANK YANG MENERIMA PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK Pasal 25 (1) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikecualikan bagi bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek. (2) Bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM Primer secara harian sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. (3) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tetap wajib memenuhi GWM Sekunder, GWM LFR, dan GWM dalam valuta asing. (4) Pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. Pasal 26 (1) Sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek dan sejak tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek maka pemenuhan GWM Primer untuk bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek dihitung dengan tata cara pemenuhan GWM Primer secara harian sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan pemenuhan GWM Primer secara rata-rata sebagaimana diatur dalam Pasal 4. (2) Tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) adalah tanggal aktivasi dan tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. (3) Dalam hal tanggal pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur atau hari kerja yang kemudian ditetapkan pemerintah sebagai hari libur maka pemenuhan GWM Primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan pada hari kerja berikutnya. BAB VIII PELAPORAN Pasal 27 (1) Bank wajib menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan kepada Bank Indonesia setiap bulan sebagai dasar perhitungan GWM LFR dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank melalui email kepada Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban penyampaian laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan surat pemberitahuan kepada Bank. Pasal 28 (1) Surat berharga yang digunakan sebagai dasar perhitungan GWM LFR dan dilaporkan ke Bank Indonesia adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diterbitkan dalam bentuk medium term notes, floating rate notes, dan obligasi selain obligasi subordinasi; b. ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering); c. memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling kurang setara dengan peringkat investasi; d. dimiliki bukan Bank baik penduduk dan bukan penduduk; dan e. ditatausahakan di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia. (2) Lembaga pemeringkat dan peringkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah lembaga pemeringkat dan peringkat yang diakui oleh OJK sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Bank yang tidak menerbitkan surat berharga atau menerbitkan surat berharga namun tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diwajibkan menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan berupa laporan nihil. Pasal 29 (1) Laporan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan apabila Bank menyampaikan laporan setelah batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 5 (lima) hari kerja berikutnya. (3) Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan apabila Bank belum menyampaikan laporan sampai dengan berakhirnya batas waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 30 (1) Laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) disampaikan melalui email kepada: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, dengan alamat email sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan, serta alamat email pengirim laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3), termasuk apabila terdapat perubahannya, kepada: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Dalam hal penyampaian laporan melalui email sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan, Bank menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan dalam bentuk softcopy dan hardcopy kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (4) Batas waktu penyampaian laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29. BAB IX PENGENAAN SANKSI Pasal 31 Bank yang melanggar: a. kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah; b. kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing; dan/atau c. kewajiban penyampaian laporan, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar. Pasal 32 (1) Bank, termasuk bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian, GWM Sekunder, dan/atau GWM LFR dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah pada hari terjadinya pelanggaran, terhadap kekurangan GWM dalam rupiah, untuk setiap hari kerja pelanggaran. (2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Pasal 33 (1) Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM Primer secara rata-rata dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 125% (seratus dua puluh lima persen) dari suku bunga jangka waktu 1 (satu) hari overnight dari rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) masa laporan, terhadap rata-rata kekurangan GWM Primer yang wajib dipenuhi secara rata-rata selama masa laporan tertentu untuk setiap hari kerja selama 2 (dua) masa laporan. (2) Perhitungan suku bunga jangka waktu 1 hari (overnight) dari JIBOR dalam rupiah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Pasal 34 (1) Bank, termasuk bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek, yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,04% (nol koma nol empat persen) per hari kerja, yang dihitung dari selisih antara saldo harian Rekening Giro Valas Bank pada Bank Indonesia yang wajib dipenuhi dengan saldo harian Rekening Giro Valas Bank yang dicatat pada sistem akunting Bank Indonesia. (2) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dalam rupiah dengan menggunakan kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran. Pasal 35 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. (2) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dikenakan sanksi teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan surat berharga yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3). BAB X CONTOH PERHITUNGAN GWM Pasal 36 (1) Contoh perhitungan GWM dalam rupiah, jasa giro, dan sanksi kewajiban membayar tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Contoh perhitungan GWM bagi Bank yang melakukan Merger tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Contoh perhitungan pemenuhan GWM bagi bank yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB XI KORESPONDENSI TERKAIT GWM Pasal 37 Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal: 1. Bank mengajukan permohonan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam rangka Merger atau Konsolidasi; 2. OJK mengajukan permintaan kelonggaran atas pemenuhan ketentuan GWM LFR terhadap Bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha; atau 3. OJK mengajukan permintaan agar Bank dalam status pengawasan tertentu yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha berupa penyaluran Kredit UMKM tidak dikenakan pengurangan jasa giro, maka permohonan atau permintaan tersebut disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan dialamatkan kepada: 1. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau 2. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; b. dalam hal Bank menyampaikan pemberitahuan tertulis bahwa Bank tutup dan menegaskan bahwa Bank tidak melakukan kegiatan operasional terkait saldo giro Bank pada hari yang ditetapkan libur secara fakultatif maka pemberitahuan disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan libur secara fakultatif dengan alamat: 1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau 2. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. c. perhitungan KPMM Bank hasil Merger atau Konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b angka 2 disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia dengan alamat: 1. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau 2. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan 1, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat selain di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/47/DKEM tanggal 30 November 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/3/DKEM tanggal 15 Maret 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; 4. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/18/DKMP tanggal 22 Agustus 2016 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional; 5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/38/DKMP tanggal 23 Desember 2016 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 April 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/4/PADG/2017 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Bank Indonesia telah melakukan perubahan kebijakan perhitungan GWM Primer yang pemenuhan sebagian secara rata-rata dalam rangka mendukung pelonggaran kebijakan moneter yang telah dilakukan. Perubahan perhitungan GWM Primer tersebut diharapkan akan memberikan fleksibilitas dan pengelolaan likuiditas perbankan sehingga dapat memperkuat peran perbankan dalam pendalaman pasar keuangan dan semakin berperan dalam pembiayaan perekonomian guna mendorong momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, di tengah masih lemahnya perekonomian global. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara harian adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro rupiah Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara harian didasarkan pada DPK dalam rupiah Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Pasal 4 Ayat (1) Perhitungan pemenuhan persentase GWM Primer secara rata- rata dalam masa laporan tertentu adalah sebagai berikut: Jumlah rata-rata saldo Rekening Giro Rupiah Bank yang tercatat di Bank Indonesia pada akhir hari pada setiap akhir 2 (dua) masa laporan x 100% Rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah Bank dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya X 100% Perhitungan pemenuhan GWM Primer secara rata-rata dalam masa laporan tertentu didasarkan pada DPK dalam rupiah Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian sebesar 1% (satu persen) maka kewajiban pemenuhan GWM Primer secara harian oleh Bank yang semula sebesar 5% (lima persen) berubah menjadi sebesar 4% (empat persen). Jumlah hari dalam setahun 360 hari. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan jumlah SBI, SDBI, SBN yang dimiliki Bank dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga Bank di BI-SSSS sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 8 pada posisi akhir hari, yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Perhitungan pemenuhan persentase GWM Sekunder adalah sebagai berikut: SBI + SDBI + SBN setiap akhir hari dalam 2 (dua) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK Bank dalam rupiah dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya Perhitungan pemenuhan GWM Sekunder didasarkan pada DPK Bank dalam rupiah sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam rupiah dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. x 100% Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Penetapan Batas atas LFR Target sebesar 94% (sembilan puluh empat persen) sebagai berikut: Berdasarkan Laporan Bulanan Bank Umum posisi tanggal 31 Oktober 2017 dan laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola executing posisi akhir bulan September 2017, Rasio Kredit UMKM Bank A mencapai 16% (enam belas persen), Rasio NPL Total Kredit sebesar 3% (tiga persen), dan Rasio NPL Kredit UMKM sebesar 4,5% (empat koma lima persen). Dengan demikian: a. dalam hal Bank memiliki KPMM lebih dari atau sama dengan 14% (empat belas persen) maka Bank tidak terkena kewajiban tambahan pemenuhan GWM LFR pada bulan Desember 2017; dan b. dalam hal Bank memiliki KPMM kurang dari 14% (empat belas persen) maka batas atas LFR Target Bank menjadi 94% (sembilan puluh empat persen) untuk perhitungan GWM LFR pada bulan Desember 2017. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Contoh penggunaan sumber data dan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan penggunaan data KPMM untuk perhitungan GWM LFR sebagai berikut: a. GWM LFR untuk masa laporan tanggal 1 September 2017 sampai dengan tanggal 15 September 2017 didasarkan pada perhitungan: 1. nilai kredit dan dana pihak ketiga pada akhir masa laporan tanggal 8 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 15 Agustus 2017; 2. nilai surat berharga yang diterbitkan pada posisi tanggal 31 Juli 2017; dan 3. KPMM yang digunakan adalah KPMM pada posisi akhir bulan Juni 2017. b. GWM LFR untuk masa laporan tanggal 16 September sampai dengan tanggal 30 September 2017 didasarkan pada perhitungan: 1. nilai kredit dan dana pihak ketiga pada akhir masa laporan tanggal 24 Agustus 2017 sampai dengan tanggal 31 Agustus 2017; dan 2. nilai surat berharga yang diterbitkan pada posisi tanggal 31 Juli 2017. 3. KPMM yang digunakan adalah KPMM pada posisi akhir bulan Juni 2017. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Contoh penggunaan sumber data dan nilai yang digunakan untuk perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit Bank, dan Rasio NPL Kredit UMKM, yaitu: a. Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan Rasio NPL Kredit UMKM Bank untuk bulan September 2017 didasarkan pada data: 1. Daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum bulan Juli 2017; dan 2. Laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola executing bulan Juni 2017. b. Perhitungan Rasio Kredit UMKM, Rasio NPL Total Kredit, dan Rasio NPL Kredit UMKM Bank untuk bulan Desember 2017 didasarkan pada data: 1. Daftar rincian kredit yang diberikan dalam Laporan Bulanan Bank Umum bulan Oktober 2017; dan 2. Laporan realisasi pemberian kredit atau pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui kerja sama pola executing bulan September 2017. Pasal 15 Ayat (1) Rumus perhitungan LFR Bank sebagai berikut: Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Rumus perhitungan GWM LFR dalam hal LFR Bank lebih kecil dari batas bawah LFR Target adalah sebagai berikut: GWM LFR = Parameter Disinsentif Bawah x (batas bawah LFR Target โ€“ LFR Bank) x DPK dalam rupiah Ayat (4) Rumus perhitungan GWM LFR dalam hal LFR Bank lebih besar dari batas atas LFR Target dan KPMM Bank lebih kecil dari KPMM Insentif adalah sebagai berikut: GWM LFR = Parameter Disinsentif Atas x (LFR Bank โ€“ batas atas LFR Target) x DPK dalam rupiah Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Rumus perhitungan Rasio Kredit UMKM adalah sebagai berikut: Ayat (2) Rumus perhitungan Rasio NPL Total Kredit Bank adalah sebagai berikut: Ayat (3) Rumus perhitungan Rasio NPL Kredit UMKM adalah sebagai berikut: Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Perhitungan pemenuhan persentase GWM dalam valuta asing adalah sebagai berikut: Jumlah harian saldo Rekening Giro Valas Bank yang tercatat di Bank Indonesia setiap hari dalam 1 (satu) masa laporan Rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing Bank dalam 1 (satu) masa laporan pada 2 (dua) masa laporan sebelumnya x100% Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing didasarkan pada DPK dalam valuta asing Bank sebagai berikut: a. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 bulan sebelumnya; b. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya; c. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 bulan yang sama; dan d. GWM harian untuk masa laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan adalah sebesar persentase GWM dalam valuta asing yang ditetapkan dari rata-rata harian jumlah DPK dalam valuta asing dalam masa laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan yang sama. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Rumus LFR Bank: Keterangan: 1. Kredit diperoleh dari pos kredit dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 2. Dana pihak ketiga diperoleh dari pos dana pihak ketiga dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebe1umnya. 3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari saldo total nominal dalam laporan surat berharga yang diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya. Huruf b Rumus LFR Bank: Keterangan: 1. Kredit diperoleh dari penjumlahan kredit Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos kredit dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 2. Dana pihak ketiga diperoleh dari penjumlahan dana pihak ketiga Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos DPK dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. Huruf c Rumus LFR Bank: Keterangan: 1. Kredit diperoleh dari penjumlahan kredit Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos kredit dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 2. Dana pihak ketiga diperoleh dari penjumlahan dana pihak ketiga Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos dana pihak ketiga dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya untuk Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi. Huruf d Rumus LFR Bank: Keterangan: 1. Kredit diperoleh dari kredit Bank hasil Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos kredit dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 2. Dana pihak ketiga diperoleh dari dana pihak ketiga Bank hasil Merger atau Konsolidasi yang didasarkan pada pos dana pihak ketiga dalam neraca mingguan pada Laporan Berkala Bank Umum posisi 4 (empat) masa laporan sebelumnya. 3. Surat berharga yang diterbitkan diperoleh dari penjumlahan saldo pada pos total nominal dalam laporan surat berharga yang diterbitkan posisi 2 (dua) masa laporan sebelumnya dari Bank yang melakukan Merger atau Konsolidasi sampai tersedia data surat berharga yang diterbitkan Bank hasil Merger atau Konsolidasi yaitu setelah 2 (dua) masa laporan surat berharga yang diterbitkan. Huruf e Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bank Indonesia dapat menghentikan kewajiban penyampaian laporan surat berharga yang diterbitkan Bank antara lain apabila PT Kustodian Sentral Efek Indonesia dapat menyediakan data surat berharga yang diterbitkan Bank untuk perhitungan LFR. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x suku bunga JIBOR dalam rupiah x kekurangan GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian x hari kerja 360 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM Primer secara rata-rata dihitung dengan rumus sebagai berikut: 125% x rata-rata JIBOR dalam rupiah selama 2 (dua) masa laporan x kekurangan GWM Primer yang wajib dipenuhi secara rata-rata x jumlah hari kerja selama 2 (dua) masa laporan 360 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Perhitungan sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran GWM dalam valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kekurangan GWM dalam valuta asing x 0,04% x hari kerja Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Pada tanggal 1 November 2017, Pemerintah Daerah X memutuskan tanggal tersebut sebagai hari libur di wilayah tersebut. Namun, Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah tersebut tetap beroperasi. Dalam hal terdapat: 1. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut beroperasi, maka Bank tersebut tetap dikenakan kewajiban pemenuhan GWM. 2. Bank yang berkantor pusat di wilayah tersebut tutup, maka Bank tersebut tidak dikenakan kewajiban pemenuhan GWM apabila telah menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Oktober 2017, yang menegaskan bahwa Bank baik kantor pusat maupun kantor cabang Bank tidak melakukan kegiatan operasional terkait saldo giro Bank. Huruf c Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/4/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 28 April 2017 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2017 </effective_date> <replaced_reg> '17/47/DKEM|SE-BI/2015', '18/38/DKMP|SE-BI/2016', '17/17/DKMP|SE-BI/2015', '18/18/DKMP|SE-BI/2016', '18/3/DKEM|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '15/15/PBI/2013', '19/6/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/16/PADG/2019 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat dibutuhkan untuk mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; b. bahwa pemantauan penerimaan devisa hasil ekspor yang diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam perlu lebih ditingkatkan efektivitasnya guna mendukung optimalisasi pemanfaatan devisa hasil ekspor; c. bahwa pengaturan mengenai cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian laporan kegiatan lalu lintas devisa, termasuk penerimaan devisa hasil ekspor yang diperoleh dari barang ekspor kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik dan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penerimaan devisa hasil ekspor; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5897); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5534) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 374, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5814); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/3/PBI/2019 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6303); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH. 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia, yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. 2. Lalu Lintas Devisa yang selanjutnya disingkat LLD adalah lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Kegiatan LLD adalah kegiatan yang menimbulkan perpindahan aset dan kewajiban finansial antara Penduduk dan bukan Penduduk, termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar-Penduduk. 5. Aset Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut AFLN Bank adalah aktiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah. 6. Kewajiban Finansial Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut KFLN Bank adalah pasiva Bank terhadap bukan Penduduk baik dalam valuta asing maupun rupiah. 7. Nasabah adalah nasabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan 4 Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Laporan Kegiatan LLD yang selanjutnya disebut Laporan LLD adalah laporan atas seluruh Kegiatan LLD yang menimbulkan perubahan AFLN Bank dan/atau KFLN Bank yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh Bank yang bersangkutan maupun Nasabah. 9. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. 10. Eksportir adalah orang perseorangan, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berbadan hukum yang melakukan Ekspor. 11. Eksportir Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut Eksportir SDA adalah Eksportir yang melakukan Ekspor atas hasil kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 12. Pemberitahuan Pabean Ekspor yang selanjutnya disingkat PPE adalah pernyataan yang dibuat oleh orang untuk melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengatur mengenai kepabeanan. 13. Devisa Hasil Ekspor yang selanjutnya disingkat DHE adalah devisa dari hasil kegiatan Ekspor. 14. Devisa Hasil Ekspor dari Barang Ekspor Sumber Daya Alam yang selanjutnya disebut DHE SDA adalah DHE yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam yang mencakup pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. 15. Rekening Khusus DHE SDA yang selanjutnya disebut Reksus DHE SDA adalah rekening milik Nasabah di Bank yang 5 dalam valuta rupiah atau valuta asing yang digunakan khusus untuk penerimaan DHE SDA. 16. Perintah Transfer Dana adalah perintah transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai transfer dana. 17. Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) adalah transaksi LLD Nasabah berupa transfer dana keluar dalam valuta asing dengan nilai setara di atas jumlah tertentu (threshold). 18. Nilai Ekspor adalah nilai Ekspor free on board (FOB) yang tercantum pada PPE. 19. Dokumen Pendukung DHE adalah dokumen yang membuktikan kebenaran data dan/atau keterangan mengenai penerimaan DHE. 20. Dokumen Pendukung Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang selanjutnya disebut Dokumen Pendukung Outgoing Transfer adalah dokumen terkait transaksi LLD Nasabah berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing dengan nilai setara di atas jumlah tertentu (threshold). 21. Rincian Transaksi Ekspor yang selanjutnya disingkat RTE adalah rincian informasi terkait dengan kegiatan Ekspor. 22. Daftar Penyampaian Dokumen Pendukung DHE yang selanjutnya disebut DPDP adalah daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia. 23. Periode Laporan yang selanjutnya disingkat PL adalah periode data dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. 24. Masa Penyampaian Laporan yang selanjutnya disingkat MPL adalah periode penyampaian Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah berakhirnya PL. 25. Masa Penyampaian Koreksi Laporan yang selanjutnya disingkat MPKL adalah periode penyampaian koreksi Laporan LLD dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 20 setelah berakhirnya PL. 6 26. Hari adalah hari kerja Bank Indonesia. 27. Jam Kerja adalah jam kerja Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank. BAB II RUANG LINGKUP LAPORAN Pasal 2 (1) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. laporan transaksi; laporan posisi; dan laporan pendukung. (3) Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara bulanan yang meliputi data selama 1 (satu) PL. Pasal 3 Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a meliputi transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. Pasal 4 Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b meliputi posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank. Pasal 5 (1) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi: a. b. c. d. laporan RTE; laporan DPDP; laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE. 7 (2) Laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi data dan keterangan tambahan atas laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang terkait dengan kegiatan Ekspor. (3) Laporan DPDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi daftar rekapitulasi Dokumen Pendukung DHE. (4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi transaksi Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank. (5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi posisi awal dan posisi akhir dari Reksus DHE SDA dan/atau deposito DHE yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank. Pasal 6 (1) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dengan nilai lebih besar dari USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara individual per transaksi dan terperinci, kecuali ditentukan secara khusus. (2) Transaksi Bank dan/atau Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan transaksi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dengan nilai sampai dengan USD10,000.00 (sepuluh ribu dolar Amerika Serikat) atau yang nilainya setara dengan itu dilaporkan secara gabungan dan dikelompokkan menurut informasi tertentu, kecuali ditentukan secara khusus. (3) Dalam hal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan data dan keterangan transaksi secara individual per transaksi dan terperinci, Bank harus melaporkan transaksi dimaksud secara individual per 8 transaksi dan terperinci. (4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a. pengiriman dana antar-Bank di dalam negeri; b. transaksi yang memengaruhi lebih dari satu rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; dan c. transaksi tertentu, dilaporkan secara individual atau gabungan berdasarkan kaidah khusus. (5) Perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta selain USD menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya. (6) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi menggunakan kurs Reuters akhir bulan pada PL sebelumnya. Pasal 7 (1) Dalam hal terdapat transaksi terkait Ekspor Nasabah pada laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau laporan transaksi Reksus DHE SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Bank wajib menyampaikan laporan RTE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berdasarkan informasi dari Nasabah. (2) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE yang disebutkan dalam DPDP dalam hal sebagai berikut: a. di dalam PPE tidak terdapat penerimaan DHE; b. terdapat selisih kurang antara nilai DHE dan nilai Ekspor; c. terdapat penerimaan DHE yang melebihi atau sama dengan 3 (tiga) bulan setelah bulan pendaftaran PPE untuk cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, 9 pembayaran kemudian, dan/atau collection; atau d. terdapat penerimaan DHE secara tunai di dalam negeri. (3) Penyampaian laporan RTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan laporan RTE yang dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dalam MPL setelah Bank memperoleh informasi dari Nasabah. (4) Dalam hal laporan RTE tidak dilengkapi dengan laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE sebagaimana dimaksud pada ayat (2), laporan RTE dimaksud dianggap tidak benar. (5) Bank yang menerima pembayaran di muka untuk transaksi Ekspor wajib menyampaikan laporan RTE kepada Bank Indonesia dengan rincian informasi atas penerimaan pembayaran di muka. (6) Dalam hal Bank telah mendapatkan informasi PPE untuk transaksi Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank wajib menyampaikan kembali laporan RTE pada MPL berikutnya dengan informasi yang sama dengan laporan RTE yang telah disampaikan sebelumnya dan dilengkapi dengan informasi PPE setelah Bank memperoleh informasi PPE dari Nasabah. Pasal 8 (1) Dalam hal tidak terdapat transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan laporan transaksi nihil kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Bank dan/atau Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan laporan posisi nihil kepada Bank Indonesia. (3) Dalam hal tidak terdapat informasi transaksi terkait Ekspor Nasabah pada suatu PL tertentu, Bank wajib 10 menyampaikan laporan RTE dan laporan DPDP nihil kepada Bank Indonesia. (4) Dalam hal tidak terdapat transaksi Nasabah yang memengaruhi Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan laporan transaksi Reksus DHE SDA nihil kepada Bank Indonesia. (5) Dalam hal tidak terdapat posisi dan mutasi dari setiap Reksus DHE SDA dan/atau deposito yang dananya bersumber dari Reksus DHE SDA milik Nasabah di Bank pada suatu PL tertentu, Bank wajib menyampaikan laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE nihil kepada Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Laporan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan Kegiatan LLD sesuai dengan: a. informasi dari Nasabah; b. Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer); dan/atau c. dokumen lainnya. (2) Laporan posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan sesuai sistem pelaporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Laporan pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan benar apabila memuat data dan keterangan sesuai dengan: a. informasi dari Nasabah; b. Dokumen Pendukung DHE; c. Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer); dan/atau d. dokumen lainnya. 11 BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Pasal 10 (1) Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 disampaikan oleh kantor pusat bagi Bank yang berkantor pusat di Indonesia dan oleh kantor cabang yang bertindak sebagai koordinator bagi bank yang berkedudukan di luar negeri kepada Bank Indonesia. (2) Bank wajib menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setiap bulan secara online selama MPL. (3) Batas akhir MPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu tanggal 15 bulan MPL pukul 23:59 WIB. (4) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, batas akhir MPL tidak berubah kecuali ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat gangguan teknis selama MPL yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara online, Laporan LLD harus disampaikan secara offline selama Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis ditandatangani oleh pejabat setingkat direktur Bank. yang (2) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online terjadi gangguan teknis di Bank yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara online, penyampaian Laporan LLD diatur sebagai berikut: a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan LLD secara online pada hari tersebut dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan 12 teknis yang ditandatangani oleh direktur Bank; dan b. untuk gangguan teknis yang belum dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan LLD secara offline pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh direktur Bank; dan (3) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian Laporan LLD secara online terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan Laporan LLD secara online, penyampaian Laporan LLD diatur sebagai berikut: a. untuk gangguan teknis yang baru dapat diatasi pada hari berikutnya, Bank harus menyampaikan Laporan LLD secara online pada hari tersebut; dan b. untuk gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada huruf a yang belum dapat diatasi sampai dengan berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan laporan secara offline pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja. Pasal 12 (1) Penyampaian Laporan LLD bagi Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 1 (satu) Hari sebelum tanggal operasional pelaksanaan penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan LLD tetap dilakukan secara terpisah oleh masing-masing Bank; dan b. sejak tanggal operasional Bank hasil penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan LLD dilakukan oleh Bank hasil penggabungan atau peleburan. (2) Dalam hal izin terkait pelaporan belum dicabut oleh otoritas terkait, Bank wajib menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. 13 Pasal 13 (1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia tidak benar dan/atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Bank harus menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia secara online selama MPKL. (2) Batas akhir MPKL yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23:59 WIB. (3) Dalam hal hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD secara online jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, batas akhir MPKL tidak berubah, kecuali ditetapkan lain melalui pemberitahuan resmi Bank Indonesia. (4) Dalam hal pada hari terakhir penyampaian koreksi Laporan LLD secara online terjadi gangguan teknis yang menyebabkan Bank tidak dapat menyampaikan koreksi Laporan LLD secara online, penyampaian koreksi Laporan LLD diatur sebagai berikut: a. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank, Bank harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara offline pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh direktur Bank; dan b. untuk gangguan teknis yang terjadi di Bank Indonesia yang belum dapat diatasi sampai dengan berakhirnya Jam Kerja, Bank harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara offline pada Hari berikutnya dalam Jam Kerja. Pasal 14 Bank harus menyampaikan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang melampaui MPKL secara offline dalam Jam Kerja. 14 Pasal 15 (1) Dalam hal terdapat koreksi terhadap Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Bank harus menyampaikan koreksi tersebut secara lengkap untuk setiap jenis laporan terkait yang dikoreksi. (2) Khusus untuk koreksi laporan pendukung berupa laporan RTE, Bank harus melampirkan Dokumen Pendukung DHE dalam hal koreksi memerlukan Dokumen Pendukung DHE. Pasal 16 (1) Dalam hal Laporan LLD yang telah disampaikan Bank kepada Bank Indonesia diindikasikan tidak wajar atau Bank Indonesia memerlukan penjelasan lebih lanjut atas Laporan LLD, Bank Indonesia dapat meminta klarifikasi kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya. (2) Bank harus menyampaikan tanggapan atas permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi. (3) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan dengan koreksi apabila terdapat kesalahan dalam Laporan LLD. (4) Koreksi Laporan LLD atas dasar permintaan klarifikasi Bank Indonesia dapat dilakukan secara offline dalam Jam Kerja. Pasal 17 (1) Laporan LLD disusun berdasarkan spesifikasi format laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Laporan LLD terdiri atas beberapa baris (record) dan setiap baris (record) terdiri atas beberapa rincian baris (field) yang dinyatakan dalam bentuk sandi-sandi dengan format American Standard Code for Information Interchange (ASCII). (3) Data atau keterangan dalam Laporan LLD yang belum dapat diperoleh dari Nasabah dapat diisi dengan sandi 15 sementara dan harus diganti dengan sandi yang sesuai data dan/atau keterangan yang sebenarnya sebelum MPL berakhir. (4) Dokumen Pendukung DHE yang diperlukan dalam Laporan LLD disampaikan dalam bentuk softcopy dengan format yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia harus melalui tahapan uji pelaporan, yaitu memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas sebagaimana hasil verifikasi sistem pelaporan Bank Indonesia. (2) Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD dinyatakan telah diterima Bank Indonesia apabila: a. telah memenuhi kedua tahapan uji pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan b. terdapat keterangan โ€œUJI KUALITAS OKโ€ pada sistem pelaporan Bank Indonesia. (3) Tanggal penerimaan Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD yaitu tanggal penerimaan file laporan tersebut yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Apabila Bank dalam MPL melakukan koreksi atas Laporan LLD, status penyampaian laporan yang berlaku sesuai dengan status koreksi laporan yang terakhir disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia. (5) Apabila Bank menyampaikan koreksi atas Laporan LLD pada tanggal 16 sampai dengan tanggal 20 dan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank Indonesia yaitu laporan terakhir yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. 16 Pasal 19 (1) Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) sampai dengan akhir bulan MPL dalam Jam Kerja. (2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD apabila Laporan LLD disampaikan setelah berakhirnya MPL sampai dengan Hari berikutnya setelah akhir bulan MPL dalam Jam Kerja. (3) Batas akhir penyampaian Laporan LLD secara online bagi Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD yaitu tanggal 20 bulan MPL pukul 23.59 WIB. Pasal 20 (1) Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada akhir bulan MPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD. (2) Dalam hal akhir bulan MPL jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD apabila sampai dengan Jam Kerja berakhir pada Hari berikutnya, Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD. (3) Dalam hal Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank tetap wajib menyampaikan Laporan LLD yang belum disampaikan kepada Bank Indonesia secara offline dalam Jam Kerja. Pasal 21 Cakupan laporan, format laporan, dan tata cara penyampaian laporan, mengacu pada Petunjuk Teknis Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari 17 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB IV PENGAKSEPAN PERINTAH TRANSFER DANA KELUAR (OUTGOING TRANSFER) NASABAH DAN PENATAUSAHAAN DOKUMEN PENDUKUNG OUTGOING TRANSFER Pasal 22 (1) Dalam hal Nasabah melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing dengan nilai setara di atas USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat), Nasabah harus menyampaikan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Eksportir SDA yang melakukan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Reksus DHE SDA. (3) Bank hanya dapat melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sepanjang dilengkapi dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. (4) Keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk: a. transaksi yang dilakukan oleh Bank untuk kepentingan Bank itu sendiri; dan b. transaksi yang bertujuan untuk pemindahan simpanan oleh Nasabah yang sama di dalam negeri. (5) Dalam hal bank bertindak selaku Nasabah dari Bank, transaksi bank dimaksud dikategorikan sebagai transaksi Nasabah. Pasal 23 (1) Nilai Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang dilakukan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) paling banyak sebesar nilai 18 nominal dari Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dengan toleransi lebih sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. (2) Perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam mata uang selain USD menggunakan kurs tengah akhir bulan yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya. (3) Untuk valuta yang tidak terdapat dalam daftar kurs yang diumumkan Bank Indonesia pada PL sebelumnya, perhitungan nilai ekuivalen USD menggunakan kurs akhir bulan Reuters pada PL sebelumnya. Pasal 24 (1) Jenis Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) mengacu pada daftar Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. (2) Dalam hal Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang disampaikan tidak tercantum dalam daftar Dokumen Pendukung pada Lampiran I, Nasabah harus melengkapi dengan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Nasabah yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa bagi Nasabah perorangan; atau b. pihak yang berwenang dari Nasabah bagi Nasabah yang berbentuk badan usaha selain Bank. (4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterima oleh Bank harus diparaf oleh petugas Bank. (5) Bagi Nasabah yang telah menyampaikan bukti atau dokumen kepada Bank guna pemenuhan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik dan transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank 19 dengan pihak asing, Bank dapat menggunakan bukti atau dokumen tersebut sebagai Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sepanjang bukti atau dokumen tersebut sama dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. (6) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diterima sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi. (7) Nasabah bertanggung jawab atas kebenaran Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 25 (1) Bank harus menatausahakan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy. (2) Bank harus melaporkan kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) yang mengakibatkan berkurangnya giro Bank di luar negeri. (3) Tata cara pelaporan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I. BAB V PROSEDUR PEROLEHAN DAN VERIFIKASI TERHADAP INFORMASI DARI NASABAH Pasal 26 (1) Untuk penyampaian Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank harus meminta data, keterangan, 20 Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Nasabah yang melakukan Kegiatan LLD melalui Bank, baik untuk kepentingan administrasi pelaporan Bank maupun untuk memenuhi permintaan Bank Indonesia. (2) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan data, keterangan, Dokumen Pendukung DHE, dan/atau Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Bank dengan benar sesuai dengan permintaan Bank. Pasal 27 (1) Dalam hal Kegiatan LLD melibatkan lebih dari 1 (satu) Bank di dalam negeri, untuk mendukung kelancaran pelaporan, Bank dapat melakukan tukar-menukar informasi yang diperlukan untuk pelaporan Kegiatan LLD dengan Bank lain dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku mengenai kerahasiaan data dan/atau informasi. (2) Tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan batas waktu MPL. (3) Untuk keperluan komunikasi dalam rangka tukar- menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Bank harus menunjuk petugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran komunikasi tersebut, dilengkapi dengan alamat surat elektronik (e-mail), nomor telepon, dan/atau nomor faksimili. Pasal 28 (1) Bank harus melakukan verifikasi terhadap data dan keterangan yang diperoleh dari Nasabah untuk memastikan akurasi Laporan LLD. (2) Untuk transaksi Ekspor, Bank harus melakukan verifikasi terhadap Dokumen Pendukung DHE untuk memastikan data dan keterangan yang disampaikan Nasabah sesuai dengan Dokumen Pendukung DHE. (3) Bank harus melaporkan dan menyampaikan Dokumen Pendukung DHE yang diterima dari Nasabah kepada Bank 21 Indonesia. (4) Bank harus melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang disampaikan Nasabah, yang mencakup nama penerima dan nilai pembayaran. (5) Bank harus memberikan penjelasan kepada Nasabah bahwa kebenaran dan/atau kesesuaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) merupakan tanggung jawab Nasabah. Pasal 29 (1) Bank harus memiliki sistem dan prosedur dalam perolehan data dan keterangan serta dalam penyusunan Laporan LLD yang dituangkan dalam suatu pedoman tertulis, sehingga Bank dapat menyampaikan Laporan LLD secara lengkap, benar, dan tepat waktu. (2) Bank harus menunjuk petugas dan/atau penanggung jawab untuk menyusun, memverifikasi, dan menyampaikan Laporan LLD kepada Bank Indonesia. (3) Nama petugas dan/atau penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk perubahannya harus disampaikan kepada Bank Indonesia. BAB VI PENELITIAN KEBENARAN LAPORAN Pasal 30 (1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan penelitian terhadap kebenaran Laporan LLD dengan cara sebagai berikut: a. kegiatan evaluasi; dan/atau b. pemeriksaan langsung (on-site) terhadap Bank. (2) Penelitian kebenaran laporan dalam bentuk kegiatan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a 22 dilakukan oleh Bank Indonesia sewaktu-waktu dalam rangka meningkatkan kualitas Laporan LLD. (3) Penelitian kebenaran laporan dalam bentuk pemeriksaan langsung (on-site) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap Laporan LLD yang masih diragukan kebenarannya. (4) Dalam rangka penelitian kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk memberikan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dengan Laporan LLD. (5) Bank harus memberikan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dengan Laporan LLD dalam rangka penelitian kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (6) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Berdasarkan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar apabila: a. laporan tidak diisi sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya; dan/atau b. Bank tidak dapat menunjukkan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dengan Laporan LLD. Pasal 31 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian terhadap kebenaran Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) ditemukan ketidakwajaran dalam Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Bank Indonesia berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut: 23 a. meminta penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait kepada Nasabah; b. melakukan pemeriksaan langsung terhadap Nasabah; c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian kebenaran Dokumen Pendukung Outgoing Transfer terhadap Nasabah; dan/atau d. melakukan penelitian lain. (2) Nasabah harus memberikan penjelasan, bukti transaksi, pembukuan, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal Nasabah tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dengan Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang disampaikan Nasabah kepada Bank dinyatakan tidak benar. BAB VII SANKSI Pasal 32 (1) Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dengan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda. (2) Dalam hal Bank menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar karena: a. belum memuat data dan keterangan sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya sampai dengan berakhirnya MPL; b. tidak memuat data dan keterangan sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya, karena: 1. baris (record) yang sama disampaikan kepada Bank Indonesia lebih dari 1 (satu) kali; 24 2. Bank tidak melaporkan seluruh Kegiatan LLD dalam Laporan LLD; dan/atau 3. alasan lainnya. yang ditemukan pada kegiatan penelitian terhadap kebenaran Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31; dan/atau c. Bank tidak dapat memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung pada saat kegiatan penelitian, Bank dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 33 Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan. Pasal 34 Bank yang tidak menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 35 Bank yang melakukan pengaksepan Perintah Transfer Dana untuk Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) tanpa dilengkapi Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. Pasal 36 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa denda bagi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 dilakukan melalui surat penetapan sanksi 25 administratif berupa denda dari Bank Indonesia kepada Bank. (2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 tidak menggugurkan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank. (3) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35 dilakukan dengan cara mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan data, keterangan, dan/atau Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dengan benar kepada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Perintah Transfer Dana. (2) Bagi Nasabah yang dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sanksi administratif berupa denda dikenakan dalam mata uang rupiah dan dihitung dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) Hari sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda. Pasal 38 (1) Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda bagi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan dengan mengeluarkan surat penetapan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda dari Bank Indonesia kepada Nasabah. (2) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke 26 rekening Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Bank yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 35, dan Nasabah yang telah dikenai sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), dapat mengajukan pembebasan sanksi administratif berupa denda. (2) Bank Indonesia dapat memberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal: a. Bank atau Nasabah menyampaikan surat permohonan pembebasan pengenaan sanksi administratif berupa denda dengan mengacu pada contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang disertai dengan bukti pendukung; dan b. berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank atau Nasabah tidak melakukan pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer oleh Nasabah kepada Bank. (3) Permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat penetapan sanksi administratif berupa denda. (4) Bank Indonesia melakukan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yang disampaikan oleh Bank atau Nasabah. (5) Dalam hal Bank atau Nasabah terbukti tidak melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia menginformasikan secara tertulis kepada Bank atau 27 Nasabah mengenai pembebasan sanksi administratif berupa denda. (6) Dalam hal Bank atau Nasabah terbukti melakukan pelanggaran kewajiban penyampaian Laporan LLD oleh Bank atau penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer oleh Nasabah kepada Bank, Bank Indonesia menyampaikan surat penolakan terhadap permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank atau Nasabah. (7) Dalam hal berdasarkan penelitian atas bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat koreksi atas nominal sanksi administratif berupa denda yang telah disampaikan sebelumnya, Bank Indonesia menyampaikan koreksi tersebut di dalam surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Bank Indonesia menyampaikan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah tanggal diterimanya surat permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda beserta bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a. Pasal 40 (1) Pembayaran sanksi dengan mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dan pembayaran sanksi dengan melakukan penyetoran ke rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dilakukan setelah batas waktu pengajuan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) berakhir. (2) Dalam hal Bank atau Nasabah mengajukan permohonan pembebasan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 maka pembayaran sanksi dengan mendebet rekening giro Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dan pembayaran sanksi dengan melakukan penyetoran ke 28 rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) dilakukan setelah terdapat surat penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (6). Pasal 41 Bank Indonesia dapat memberitahukan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) kepada: a. Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa bank atau lembaga keuangan bukan bank; b. Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi Badan Usaha Milik Negara; dan/atau c. Bursa Efek Indonesia, dalam hal sanksi dikenakan kepada Nasabah berupa korporasi publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. BAB VIII PENYAMPAIAN HASIL PENGAWASAN DHE SDA Pasal 42 (1) Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Nasabah berupa Eksportir SDA terkait kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC); dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. (2) Penyampaian informasi hasil pengawasan dan pelanggaran kepada kementerian dan/atau lembaga teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan sepanjang kementerian dan/atau lembaga teknis terkait dimaksud memiliki ketentuan pelaksanaan 29 atas Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. BAB IX KEADAAN MEMAKSA Pasal 43 (1) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan data, keterangan, dan/atau dokumen pendukung dalam penyusunan Laporan LLD tidak tersedia dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bank yang mengalami keadaan memaksa sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan LLD dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 13. (3) Bank yang mengalami keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia, dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan memaksa yang dialami, yang paling sedikit memuat: a. jenis keadaan memaksa; b. dampak terhadap pelaporan; dan c. perkiraan lamanya keadaan memaksa. (4) Bank dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui kantor pusat Bank, kantor cabang Bank, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank. (5) Pemberitahuan secara tertulis mengenai keadaan memaksa yang terjadi selama 1 (satu) PL atau lebih harus disampaikan untuk setiap PL sampai dengan berakhirnya keadaan memaksa. (6) Pengecualian kewajiban menyampaikan Laporan LLD untuk PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 30 (2) berlaku dalam hal Bank memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk tidak menyampaikan laporan. (7) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan LLD setelah Bank kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB X PENYAMPAIAN LAPORAN LLD SECARA OFFLINE DAN KORESPONDENSI Pasal 44 (1) Bagi Bank yang berkedudukan di dalam wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline serta korespondensi ditujukan kepada: Bank Indonesia Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Grup Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD & DHE Divisi Pengelolaan dan Pengawasan Laporan LLD Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 16 Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (2) Bagi Bank yang berkedudukan di luar wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Karawang, penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline serta korespondensi lainnya ditujukan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sebagaimana terdapat dalam daftar alamat penyampaian Laporan LLD Bank berdasarkan kedudukan Bank pada Lampiran I. (3) Help desk untuk komunikasi melalui media elektronik yaitu sebagai berikut: a. telepon : (021) 29817410 dan (021) 29818388; b. faksimili : (021) 3800134; dan/atau c. surat elektronik (e-mail) : [email protected]. (4) Komunikasi terkait sistem informasi dan jaringan ditujukan kepada Departemen Pengelolaan Sistem Informasi Bank Indonesia dengan nomor telepon (021) 31 29818000. (5) Dalam hal terdapat perubahan: a. alamat penyampaian Laporan LLD dan/atau koreksi Laporan LLD secara offline dan korespondensi lainnya; serta b. media untuk komunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank melalui surat dan/atau media lainnya. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 45 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/23/DSta tanggal 26 Oktober 2016 perihal Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 46 (1) Penyampaian laporan pendukung berupa: a. Laporan transaksi Reksus DHE SDA; dan b. Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan huruf d mulai berlaku untuk data PL bulan Juli 2019 yang disampaikan bulan Agustus 2019. (2) Penyampaian hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 mulai berlaku untuk untuk data PL bulan Juli 2019 yang disampaikan bulan Agustus 2019. Pasal 47 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 32 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/16/PADG/2019 TENTANG PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH I. UMUM Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta data dan keterangan mengenai Kegiatan LLD yang dilakukan oleh Penduduk, melalui suatu sistem pemantauan LLD yang efektif. Data dan keterangan yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan kebijakan Bank Indonesia, baik di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, maupun sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Di samping itu, data dan keterangan tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya. Pemanfaatan data dalam sistem pemantauan ini juga digunakan untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil Ekspor. Sejalan dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai devisa hasil ekspor yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam dan untuk meningkatkan kualitas informasi yang diperoleh guna pemantauan DHE yang lebih efektif, perlu diatur kembali mengenai penyampaian keterangan, data, dan dokumen pendukung terkait Kegiatan LLD oleh Bank. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œlengkapโ€ adalah laporan memuat data dan keterangan seluruh Kegiatan LLD, serta telah memenuhi rincian cakupan laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan โ€œbenarโ€ adalah Laporan LLD memuat data dan keterangan Kegiatan LLD sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya. Yang dimaksud dengan โ€œtepat waktuโ€ adalah Laporan LLD disampaikan dalam MPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah diterima oleh Bank Indonesia, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Laporan transaksi memuat informasi yang meliputi antara lain: a. tanggal transaksi; b. nomor identifikasi transaksi; c. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; d. status pelaku transaksi; e. kategori pelaku transaksi; f. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; g. jenis valuta; h. nilai transaksi; dan i. tujuan transaksi. Jenis AFLN Bank antara lain dalam bentuk kas dalam valuta asing, simpanan, dan surat berharga. Jenis KFLN Bank antara lain dalam bentuk simpanan milik bukan Penduduk, utang luar negeri, dan ekuitas dari bukan Penduduk. 3 Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang memengaruhi AFLN Bank dan/atau KFLN Bank, meliputi antara lain: a. penerimaan dari dan pembayaran ke luar negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; b. penerimaan dari dan pembayaran kepada bukan Penduduk di dalam negeri baik dalam rupiah maupun valuta asing; dan c. penerimaan dan pembayaran di dalam negeri antar Penduduk dalam valuta asing. Pasal 4 Laporan posisi memuat informasi yang meliputi antara lain: a. jenis AFLN Bank dan/atau KFLN Bank; b. negara debitur atau kreditur; c. jenis valuta; d. posisi awal; e. mutasi debet; f. mutasi kredit; g. mutasi lainnya; dan h. posisi akhir. Posisi dan penambahan atau pengurangan dari setiap rekening AFLN Bank dan/atau KFLN Bank dipengaruhi oleh transaksi yang dilakukan baik oleh Bank maupun Nasabah. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan RTE memuat informasi yang meliputi antara lain: a. nomor identifikasi transaksi; b. identitas penerima DHE; c. sandi kantor pabean; d. nomor pendaftaran PPE; e. tanggal pendaftaran PPE; f. jenis valuta DHE; dan g. nilai DHE. 4 Ayat (3) Laporan DPDP memuat informasi yang meliputi antara lain: a. sandi kantor pabean; b. nomor pendaftaran PPE; c. tanggal pendaftaran PPE; dan d. nama berkas (file) dokumen pendukung. Ayat (4) Laporan transaksi Reksus DHE SDA memuat informasi yang meliputi antara lain: a. tanggal transaksi; b. nomor identifikasi transaksi; c. jenis Reksus DHE SDA; d. nomor Reksus DHE SDA; e. status pelaku transaksi; f. kategori pelaku transaksi; g. hubungan keuangan antarpelaku transaksi; h. jenis valuta; i. j. Ayat (5) Laporan posisi Reksus DHE SDA dan deposito DHE memuat informasi yang meliputi antara lain: a. jenis rekening; b. nomor rekening; c. identitas pemilik rekening; d. jenis valuta; e. f. posisi awal; dan posisi akhir. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. nilai transaksi; dan tujuan transaksi. 5 Ayat (4) Transaksi Bank dan/atau Nasabah yang ditentukan secara khusus berupa transaksi tertentu antara lain mencakup transaksi antar bukan Penduduk, transaksi pembayaran kartu kredit, transaksi jual beli mata uang asing, dan transaksi jual beli cek perjalanan. Ayat (5) Contoh: Untuk data PL Februari 2019 yang dilaporkan pada Maret 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta SGD (Singapore Dollar) menggunakan kurs tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir Januari 2019. Ayat (6) Contoh: Untuk data PL Februari 2019 yang dilaporkan pada Maret 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta INR (Indian Rupee) menggunakan kurs Reuters pada akhir Januari 2019. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dokumen Pendukung DHE antara lain dapat berupa dokumen PPE, usance L/C, faktur penjualan, perjanjian jual beli antara eksportir dan importir, dan surat keterangan tentang penangguhan pembayaran dari importir. Ayat (3) Contoh: Nasabah Bank A yaitu PT X mengirimkan barang ke luar negeri dengan cara pembayaran menggunakan usance L/C dengan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari. Selanjutnya, berdasarkan dokumen PPE diperoleh informasi antara lain tanggal PPE yaitu 14 Maret 2019. PT X menyampaikan informasi PPE beserta dokumen pendukung yaitu perjanjian penjualan dan usance L/C kepada Bank A tanggal 27 Maret 2019. 6 Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan informasi PPE PT X dalam laporan RTE bulan Maret 2019 beserta laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE pada MPL bulan April 2019. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Nasabah Bank C yaitu PT W menerima pembayaran di muka pada tanggal 18 Oktober 2019 dan Bank C telah menyampaikan laporan RTE terkait informasi atas penerimaan pembayaran di muka Nasabah tersebut untuk PL bulan Oktober 2019 yang disampaikan bulan November 2019, yang berisi nomor identifikasi tertentu, identitas penerima DHE, dan nilai penerimaan pembayaran di muka. Ayat (6) Informasi PPE dari Nasabah meliputi antara lain: a. sandi kantor pabean; b. nomor pendaftaran PPE; c. tanggal PPE; d. nilai PPE; dan e. jenis valuta PPE. Contoh: Berdasarkan dokumen PPE yang diterbitkan tanggal 20 Januari 2020 yaitu pada saat barang dikirim, PT W memperoleh informasi PPE dimaksud yang kemudian disampaikan kepada Bank C pada tanggal 30 Januari 2020 berikut Dokumen Pendukung DHE berupa perjanjian penjualan. Dalam hal ini, Bank C menyampaikan informasi PPE PT W dalam laporan RTE bulan Januari 2020 beserta laporan DPDP dan Dokumen Pendukung DHE-nya pada MPL bulan Februari 2020 dengan nomor identifikasi yang sama dengan yang dicantumkan pada laporan RTE bulan Oktober 2019. Pasal 8 Cukup jelas. 7 Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal Nasabah tidak menyampaikan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang terdapat dalam daftar Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Nasabah harus menyampaikan surat pernyatan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer). Huruf c Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan SWIFT message. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam hal Nasabah tidak menyampaikan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang terdapat dalam daftar Dokumen Pendukung Outgoing Transfer sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Nasabah harus menyampaikan surat pernyatan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer). Huruf d Dokumen lainnya antara lain berupa bukti transfer dan SWIFT message. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Bank S berkedudukan di Singapura memiliki kantor cabang di Jakarta, Bali, dan Palembang. Kantor cabang koordinator bank S 8 di Indonesia yaitu kantor cabang di Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, Laporan LLD disampaikan oleh kantor cabang bank S di Jakarta kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Penyampaian secara online dilakukan melalui media ekstranet Bank Indonesia dengan menggunakan akses ke jaringan ekstranet yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. Ayat (3) Contoh: Untuk Kegiatan LLD PL bulan Juni 2019, batas akhir MPL yaitu pada hari Senin tanggal 15 Juli 2019 pukul 23.59 WIB. Ayat (4) Contoh: Untuk Kegiatan LLD PL bulan Mei 2019, batas akhir MPL yaitu pada hari Sabtu tanggal 15 Juni 2019 pukul 23.59 WIB. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknisโ€ adalah gangguan yang terjadi di Bank Indonesia dan/atau Bank yang meliputi antara lain gangguan jaringan dan/atau komunikasi, namun tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan LLD di Bank. Contoh: Gangguan teknis di Bank terjadi pada hari Kamis tanggal 5 Februari 2019 pukul 10.10 WIB. Bank dapat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Januari 2019 secara offline pada tanggal 5 Februari 2019 dalam Jam Kerja dan Bank A tidak perlu menyampaikan kembali laporan secara online meskipun gangguan teknis di Bank telah dapat diatasi sebelum MPL. Ayat (2) Huruf a Contoh: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 15 Maret 2019 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 16 Maret 2019 pukul 10.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A harus menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan 9 Februari 2019 secara online pada hari berikutnya pada saat gangguan teknis berakhir, yaitu hari Sabtu tanggal 16 Maret 2019 dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD. Huruf b Contoh: Gangguan teknis di Bank B terjadi pada hari Kamis tanggal 15 Agustus 2019 dan belum dapat diatasi sampai dengan hari Jumat tanggal 16 Agustus 2019. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juli 2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu tanggal 16 Agustus 2019 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Dengan demikian, Bank B tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD. Ayat (3) Huruf a Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Jumat tanggal 15 Maret 2019 dan baru dapat diatasi pada hari Sabtu tanggal 16 Maret 2019 pukul 09.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Februari 2019 secara online pada hari berikutnya, yaitu tanggal 16 Maret 2019. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD. Huruf b Contoh: Apabila gangguan teknis pada contoh 1 di atas tidak dapat diatasi pada tanggal 16 Maret 2019 maka Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Februari 2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu Senin tanggal 18 Maret 2019 dalam Jam Kerja. Dengan demikian, Bank A tidak dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD. 10 Pasal 12 Ayat (1) Contoh: Bank X melakukan penggabungan dengan Bank Y menjadi Bank X yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2019. Dalam hal ini, kewajiban pelaporan bulanan diatur sebagai berikut: a. Bank X dan Bank Y menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2019 pada bulan Juli 2019; dan b. Bank X menyampaikan Laporan LLD pada bulan Agustus 2019 sebagai berikut: 1. data bulan Juli 2019 dari Bank X sebelum penggabungan dan dari Bank X hasil penggabungan; dan 2. data Bank Y dari tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Koreksi atas Laporan LLD secara online dapat disampaikan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, dan/atau cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Contoh: Untuk Kegiatan LLD PL bulan April 2019, batas akhir MPKL yaitu pada hari Senin tanggal 20 Mei 2019 pukul 23.59 WIB. Ayat (3) Contoh: Untuk Kegiatan LLD PL bulan Maret 2019, batas akhir MPKL yaitu pada hari Sabtu tanggal 20 April 2019 pukul 23.59 WIB. Ayat (4) Huruf a Contoh: Gangguan teknis di Bank A terjadi pada hari Jumat tanggal 20 September 2019 pukul 11.00 WIB. Dalam hal ini, Bank A menyampaikan koreksi Laporan LLD untuk PL bulan Agustus 2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu 11 Senin tanggal 23 September 2019 dalam Jam Kerja dengan memberikan bukti pendukung terjadinya gangguan teknis. Huruf b Contoh: Gangguan teknis di Bank Indonesia terjadi pada hari Kamis tanggal 20 Juni 2019 pukul 15.00 WIB. Dalam hal ini, Bank B menyampaikan koreksi Laporan LLD untuk PL bulan Mei 2019 secara offline pada Hari berikutnya, yaitu hari Jumat tanggal 21 Juni 2019 dalam Jam Kerja. Pasal 14 Penyampaian secara offline dilakukan melalui media elektronik, antara lain compact disk (CD), flash disk, atau surat elektronik (e-mail) melalui Kantor Pusat Bank Indonesia atau Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat sesuai dengan kedudukan Bank. Contoh 1: Batas akhir penyampaian Laporan LLD untuk PL bulan Januari 2019 secara offline yaitu hari Kamis tanggal 28 Februari 2019 dalam Jam Kerja. Contoh 2: Bank M telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2019 pada tanggal 15 Juli 2019. Pada tanggal 22 Juli 2019, Bank M bermaksud melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada salah satu baris (record) di laporan transaksi. Dalam hal ini, Bank M harus menyampaikan koreksi Laporan LLD secara offline kepada Bank Indonesia karena telah melampaui MPKL. Pasal 15 Ayat (1) Contoh 1: Bank P telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan November 2019, namun masih terdapat kesalahan pada laporan RTE, yaitu field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90. Dalam hal ini, Bank P melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field Nilai PPE pada baris ke-7 dan baris ke-90 dalam laporan RTE bulan November 2019 dan menyampaikan kembali secara lengkap seluruh file Laporan LLD kepada Bank Indonesia. 12 Contoh 2: Bank D telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April 2019, namun masih terdapat kesalahan pada laporan transaksi, yaitu field nilai transaksi untuk tujuan transaksi pembayaran pinjaman pada baris ke-76. Dalam hal ini, Bank D harus melakukan koreksi terhadap kesalahan pengisian field nilai transaksi pada baris ke-76 dalam laporan transaksi bulan April 2019 dan menyampaikan kembali secara lengkap file laporan transaksi dan laporan posisi kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Contoh: Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank A apabila dalam laporan transaksi terdapat field status penerima yang diisi dengan Indonesia untuk tujuan transaksi impor barang. Ayat (2) Contoh: Bank N telah menyampaikan transaksi PT B dengan nomor pokok wajb pajak (NPWP) tertentu melalui laporan transaksi bulan Agustus 2019. Namun berdasarkan database yang dimiliki Bank Indonesia, NPWP tersebut bukan atas nama PT B. Bank Indonesia meminta klarifikasi kepada Bank N pada tanggal 1 Oktober 2019. Bank N harus menyampaikan tanggapan atas permintaan klarifikasi dari Bank Indonesia paling lama 12 (dua belas) Hari setelah tanggal permintaan klarifikasi, yaitu pada tanggal 17 Oktober 2019. Ayat (3) Dalam hal laporan yang diindikasikan tidak wajar tersebut telah sesuai dengan data dan keterangan yang dimiliki, Bank cukup memberikan tanggapan tanpa melakukan koreksi. Ayat (4) Cukup jelas. 13 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dokumen Pendukung DHE disampaikan dalam bentuk softcopy dengan format PDF, JPG, TIFF, BMP, PNG, GIF, atau file dengan format tersebut yang telah dikompresi. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Bank Y telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Juni 2019 pada tanggal 5 Juli 2019 yang telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 10 Juli 2019, Bank Y menyampaikan koreksi atas Laporan LLD tersebut dan juga telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Selanjutnya, apabila pada tanggal 15 Juli 2019 (akhir MPL) Bank Y kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, status laporan yang berlaku yaitu status laporan yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 2019. Dalam hal ini, Bank Y dinyatakan belum menyampaikan laporan. Selanjutnya apabila Bank Y menyampaikan kembali koreksi atas Laporan LLD tersebut pada tanggal 16 Juli 2019 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas, 14 dalam hal ini Bank Y dinyatakan terlambat menyampaikan laporan. Ayat (5) Contoh: Bank F telah menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Agustus 2019 pada tanggal 13 September 2019 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Pada tanggal 18 September 2019, Bank F menyampaikan koreksi atas Laporan LLD yang disampaikan pada tanggal 13 September 2019 dan telah memenuhi persyaratan kuantitas dan persyaratan kualitas. Selanjutnya, apabila pada tanggal 20 September 2019 (akhir MPKL) Bank F kembali melakukan koreksi dan sampai dengan pukul 23.59 WIB masih belum memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas maka Laporan LLD yang dinyatakan diterima Bank Indonesia yaitu laporan yang disampaikan pada tanggal 18 September 2019. Pasal 19 Ayat (1) Contoh: Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 diterima Bank Indonesia secara online pada hari Selasa tanggal 16 April 2019. Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2019. Ayat (2) Contoh: Bank A menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Oktober 2019 pada hari Senin tanggal 2 Desember 2019 dalam Jam Kerja. Dengan demikian Bank A dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Oktober 2019. Ayat (3) Contoh: Batas akhir penyampaian Laporan LLD untuk PL bulan Januari 2019 secara online adalah hari Rabu tanggal 20 Februari 2019 sampai dengan pukul 23.59 WIB. 15 Pasal 20 Ayat (1) Contoh: Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 tidak diterima Bank Indonesia sampai dengan hari Selasa tanggal 30 April 2019 dalam Jam Kerja sehingga Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Maret 2019. Ayat (2) Contoh: Apabila pada hari Senin tanggal 2 Desember 2019 sampai dengan berakhirnya Jam Kerja, Bank Indonesia belum menerima Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Oktober 2019, Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Oktober 2019. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Dokumen pendukung dapat berupa dokumen yang mendasari adanya kegiatan transaksi (underlying transaction) Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dalam valuta asing, antara lain: a. tagihan dari penjual barang dan jasa di luar negeri; b. kontrak pinjaman atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban pembayaran bunga dan/atau pokok pinjaman; c. kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan adanya kewajiban membayar royalti dan kewajiban hak intelektual lainnya; d. dokumen rapat umum pemegang saham yang menunjukkan kewajiban pembagian dividen kepada pemegang saham di luar negeri; 16 e. perjanjian kerja atau dokumen kepegawaian lainnya yang menunjukkan kewajiban membayar gaji dan penghasilan lainnya; f. dokumen likuidasi aset di dalam negeri yang merupakan hak pihak di luar negeri; dan/atau g. dokumen pengecualian atau penangguhan kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi valuta asing di dalam negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Contoh: Pada tanggal 20 Agustus 2019, Bank A melakukan transfer kepada perusahaan Z di Singapura sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) atas pembelian perangkat komputer untuk kepentingan Bank A. Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan Bank A tidak memerlukan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. Huruf b Contoh: Pada tanggal 18 Oktober 2019, PT Q memerintahkan Bank P di Jakarta untuk mentransfer dana sebesar USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dari rekening valuta asing milik PT Q untuk untung rekening valuta asing milik PT Q di Bank S di Surabaya. Dalam hal ini, transaksi yang dilakukan PT Q tidak memerlukan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. Ayat (5) Cukup jelas. 17 Pasal 23 Ayat (1) Contoh: PT U memerintahkan Bank K di Jakarta untuk membayar kepada rekening perusahaan induknya (perusahaan V) di Singapura sebesar USD101,000.00 (seratus satu ribu dolar Amerika Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dari PT U, diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan V. Untuk transaksi ini, PT U menyampaikan fotokopi invoice sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank K. Selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dengan nilai yang tercantum di fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di fotokopi invoice. Dalam hal ini, perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) masih dianggap sesuai dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dari sisi nilai transaksi. Ayat (2) Contoh: Untuk transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) selama bulan Februari 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta MYR (Malaysian Ringgit) menggunakan kurs tengah yang diumumkan Bank Indonesia pada akhir Januari 2019. Ayat (3) Contoh: Untuk transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) selama Februari 2019, perhitungan nilai ekuivalen USD untuk transaksi dalam valuta UAD (United Arab Emirates Dirham) menggunakan kurs Reuters pada akhir Januari 2019. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. 18 Ayat (2) Contoh: PT S melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Bank T di Jakarta sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dalam rangka pembayaran dividen ke perusahaan T di Jepang. PT S memiliki Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang tidak tercantum dalam daftar Dokumen Pendukung pada Lampiran I. PT S harus melengkapi Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dimaksud dengan surat pernyataan dan menyampaikan kedua dokumen dimaksud kepada Bank. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenang dari Nasabahโ€ adalah: a. pejabat yang mewakili badan usaha berdasarkan anggaran dasar; b. pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan surat kuasa; atau c. pejabat yang memiliki kewenangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Pada tanggal 17 dan 18 Juni 2019, PT R membeli valuta asing masing-masing sebesar USD300,000.00 (tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) dan USD125,000.00 (seratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) di Bank C untuk menambah rekening USD-nya dengan mendebet rekening rupiah milik perusahaan tersebut di Bank yang sama. Untuk transaksi ini, PT R telah memberikan dokumen berupa fotokopi invoice dari perusahaan T di Hongkong untuk pembelian barang dari luar negeri sebesar USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank C. Selanjutnya, pada tanggal 19 Juni 2019 PT R memerintahkan Bank C untuk melakukan transfer sebesar 19 USD425,000.00 (empat ratus dua puluh lima ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan T. Untuk transaksi tersebut, Bank C dapat menggunakan dokumen yang telah disampaikan Nasabah sebelumnya dalam pemenuhan ketentuan ini. Ayat (6) Contoh: PT J melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Bank D di Jakarta sebesar USD200,000.00 (dua ratus ribu dolar Amerika Serikat) dalam rangka pembayaran pinjaman luar negeri. Jika tanggal valuta untuk transfer dimaksud yaitu tanggal 19 Desember 2019, Dokumen Pendukung Outgoing Transfer untuk transaksi dimaksud harus diterima Bank D sebelum pelaksanaan penyelesaian transaksi pada tanggal valuta. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) yang diberikan Nasabah kepada Bank, baik dalam bentuk hardcopy dan/atau softcop, tidak perlu disampaikan kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Contoh: PT M melakukan transaksi LLD berupa Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) melalui Bank D di Jakarta sebesar USD250,000.00 (dua ratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dalam rangka pembayaran impor ke perusahaan N yang memiliki rekening di bank F di Singapura. Transaksi tersebut mengakibatkan rekening giro Bank D di Singapura berkurang, sehingga Nasabah harus melengkapi transaksi dimaksud dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan Bank harus melaporkan informasi penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer kepada Bank Indonesia dalam Laporan LLD. 20 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Data dan keterangan yang diberikan Nasabah meliputi antara lain nilai dan jenis transaksi, tujuan transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku transaksi. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PT W memerintahkan Bank L di Jakarta untuk membayar kepada rekening perusahaan G di Amerika Serikat sebesar USD202,500.00 (dua ratus dua ribu lima ratus dolar Amerika Serikat). Berdasarkan perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dari PT W, diperoleh informasi bahwa pembayaran tersebut merupakan pembayaran atas pembelian barang dari perusahaan G. Untuk transaksi ini, PT W menyampaikan fotokopi invoice sebesar USD200,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) kepada Bank L. Dalam hal ini, Bank L melakukan verifikasi antara nama penerima dan nilai pembayaran yang tercantum dalam perintah transfer dengan nama penjual dan nilai kewajiban membayar yang tercantum dalam invoice. Mengingat selisih lebih antara nilai perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dengan nilai yang tercantum di 21 fotokopi invoice tidak melebihi 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai yang tercantum di fotokopi invoice maka perintah Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dianggap sesuai dengan Dokumen Pendukung Outgoing Transfer. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œdokumen lainnya yang terkait dengan Laporan LLDโ€ antara lain laporan keuangan dan daftar mutasi rekening koran (bank statement). Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. 22 Ayat (2) Huruf a Laporan LLD belum memuat keterangan dan data sesuai dengan informasi dari Nasabah dan/atau dokumen pendukungnya apabila masih diisi dengan sandi sementara dan tidak diperbaiki sampai dengan berakhirnya MPL. Contoh: Bank A dalam laporan RTE untuk PL bulan Juli 2019 terdapat 1 (satu) record yang masih menggunakan sandi sementara, yaitu untuk field Sandi Kantor Pabean (diisi โ€˜YYYYYYโ€™), nomor pendaftaran PPE (diisi โ€˜YYYYYYYYโ€™), dan tanggal PPE (diisi โ€˜YYYYYYYYโ€™). Berdasarkan hal tersebut, apabila sampai dengan tanggal 15 Agustus 2019 sandi sementara tersebut belum diperbaiki, Bank A dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp150.000,00 (3 field x Rp50.000,00). Huruf b Contoh: Berdasarkan kegiatan evaluasi terhadap Bank A atas laporan RTE untuk PL bulan Juli 2019 sampai dengan Desember 2019 terdapat 50 (lima puluh) isian field yang tidak benar, yang terdiri dari 20 (dua puluh) field sandi kantor pabean, 20 (dua puluh) field tanggal PPE, dan 10 (sepuluh) field Nilai PPE. Berdasarkan hal tersebut, Bank dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp2.500.000,00 (50 field x Rp50.000,00). Huruf c Cukup jelas. Pasal 33 Contoh: Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 diterima Bank Indonesia pada tanggal 18 April 2019 sehingga Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan selama 3 (tiga) hari keterlambatan dan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp3.000.000,00 (3 x Rp1.000.000,00). 23 Pasal 34 Contoh: Laporan LLD Bank A untuk PL bulan Maret 2019 belum diterima Bank Indonesia sampai dengan tanggal 30 April 2019 sehingga Bank A dinyatakan tidak menyampaikan Laporan LLD dan dikenai sanksi denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 35 Contoh: PT A di Jakarta melakukan transaksi sebanyak 3 (tiga) kali pada tanggal 21 Mei 2019 melalui Bank X tanpa Dokumen Pendukung Outgoing Transfer dan surat pernyataan atas Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) (dalam hal diperlukan), dengan rincian sebagai berikut: a. USD150,000.00 (seratus lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan B dengan rekening di bank C yang berlokasi di Singapura; b. USD230,000.00 (dua ratus tiga puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada PT D dengan rekening di bank E yang berlokasi di Surabaya; dan c. USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) kepada perusahaan F dengan rekening di bank G yang berlokasi di Malaysia. Bank X mengaksep ketiga Perintah Transfer Dana ini pada tanggal yang sama dengan mendebet rekening PT A. Dalam hal ini, Bank X akan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), yaitu atas pelanggaran ketentuan untuk transfer ke perusahaan B dan PT D. Untuk transfer ke perusahaan F di Malaysia tidak ada keharusan penyampaian Dokumen Pendukung Outgoing Transfer atau surat pernyataan sehingga tidak dikenai sanksi. Pasal 36 Cukup jelas. 24 Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Nasabah H melakukan transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) pada bulan September 2019 dengan nilai transaksi sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah), perhitungan denda Nasabah H sebesar (0,25% x USD1,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp35.000.000,00. Contoh 2: Nasabah J melakukan transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) pada bulan Oktober 2019 dengan nilai transaksi sebesar USD2,000,000.00 (dua juta dolar Amerika Serikat). Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Apabila kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp14.000,00 (empat belas ribu rupiah), perhitungan denda Nasabah J sebesar (0,25% x USD2,000,000.00 x Rp14.000,00) = Rp70.000.000,00. Mengingat perhitungan denda tersebut melebihi nilai denda maksimal maka Nasabah J dikenai denda maksimal sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 38 Cukup jelas. 25 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1: Bank Indonesia pada tanggal 10 Juli 2019 menerbitkan surat penetapan sanksi administratif berupa denda terhadap Bank J atas pelanggaran kewajiban pelaporan Kegiatan LLD PL bulan Mei 2019. Dalam hal ini, Bank J dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Agustus 2019. Contoh 2: Bank J sebagaimana dimaksud pada contoh 1 dapat menyampaikan permohonan untuk pembebasan sanksi administratif berupa denda kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Agustus 2019. Apabila Bank J menyampaikan permohonan pada tanggal 3 September 2019, Bank Indonesia tidak akan memproses permohonan tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. 26 Pasal 42 Ayat (1) Contoh: Nasabah PT S yang merupakan Eksportir SDA melakukan transaksi Transfer Dana Keluar (Outgoing Transfer) dari Reksus DHE SDA miliknya pada bulan November 2019 dengan nilai transaksi sebesar USD500,000.00 (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dengan tujuan transaksi untuk pembayaran impor barang. Setelah Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran terhadap Dokumen Pendukung Outgoing Transfer, Dokumen Pendukung Outgoing Transfer yang diberikan Nasabah untuk transaksi tersebut dinilai tidak memadai. Bank Indonesia menyampaikan informasi hasil pengawasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Nasabah PT S kepada: a. Kementerian Keuangan c.q. DJBC; dan b. kementerian dan/atau lembaga teknis terkait, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing- masing. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksaโ€ adalah keadaan yang berada di luar kendali Bank dan secara nyata dialami Bank yang disebabkan antara lain karena kebakaran, kerusuhan massa, pemogokan pekerja, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat, termasuk Bank Indonesia. Contoh: Pada akhir bulan April 2019, tempat kedudukan Bank Y mengalami gempa bumi yang mengakibatkan Bank Y tidak dapat menyusun Laporan LLD untuk bulan tersebut karena hilangnya data. Dalam hal ini, Bank Y dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan April 2019. 27 Ayat (2) Contoh: Pada tanggal 10 Maret 2019 sampai dengan 21 Maret 2019 terjadi pemogokan seluruh karyawan Bank D yang mengakibatkan Bank D terhambat menyampaikan Laporan LLD untuk PL bulan Februari 2019. Dalam hal ini, Bank D dapat menyampaikan Laporan LLD dimaksud melewati batas waktu penyampaian laporan dan Bank D tidak dikenai sanksi administratif. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/16/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PEMANTAUAN KEGIATAN LALU LINTAS DEVISA BANK DAN NASABAH </reg_title> <set_date> 19 Juli 2019 </set_date> <effective_date> 19 Juli 2019 </effective_date> <replaced_reg> '18/23/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '16/10/PBI/2014', '21/3/PBI/2019', '17/23/PBI/2015', '18/10/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/25/PADG/2019 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan mengenai mekanisme pelaksanaan dan hal teknis terkait rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6230) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6423); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 3 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan. 6. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 7. Properti adalah rumah tapak, rumah susun, dan rumah toko atau rumah kantor. 8. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 9. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, yang berupa griya tawang, kondominium, apartemen, flat, dan bangunan lainnya. 10. Rumah Toko atau Rumah Kantor adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial yang berupa pertokoan, perkantoran, gudang, dan bangunan lainnya. 11. Properti Berwawasan Lingkungan adalah Properti yang memenuhi kriteria bangunan hijau sesuai dengan standar atau sertifikasi yang diakui secara nasional dan/atau internasional. 12. Kredit Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak. 13. Kredit Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut KP Rusun adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan 4 Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun. 14. Kredit Properti Rumah Toko atau Kredit Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 15. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah Kredit konsumsi berupa KP Rumah Tapak, KP Rusun, dan KP Ruko atau KP Rukan. 16. Pembiayaan Properti Rumah Tapak yang selanjutnya disebut PP Rumah Tapak adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak. 17. Pembiayaan Properti Rumah Susun yang selanjutnya disebut PP Rusun adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun. 18. Pembiayaan Properti Rumah Toko atau Pembiayaan Properti Rumah Kantor yang selanjutnya disebut PP Ruko atau PP Rukan adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pemilikan Rumah Toko atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko atau Rumah Kantor. 19. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disingkat PP adalah Pembiayaan konsumsi berupa PP Rumah Tapak, PP Rusun, dan PP Ruko atau PP Rukan. 20. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 21. Akad Istishnaโ€™ adalah akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashniโ€™) dan penjual atau pembuat (shaniโ€™). 5 22. Akad Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disebut Akad MMQ adalah akad Pembiayaan musyarakah yang kepemilikan aset atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya. 23. Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang selanjutnya disebut Akad IMBT adalah akad penyediaan dana untuk memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 24. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 25. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh BUK terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan hasil penilaian terkini. 26. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh BUS atau UUS terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan hasil penilaian terkini. 27. Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan adalah kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan. 28. Kredit Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat KKB adalah Kredit yang diberikan BUK untuk pembelian kendaraan bermotor. 29. Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pembiayaan yang diberikan BUS atau UUS untuk pembelian kendaraan bermotor. 30. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari nilai pembelian Properti atau 6 harga kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. 31. Laporan Bulanan Bank Umum yang selanjutnya disebut LBU adalah laporan bulanan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan bulanan bank umum. 32. Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut LSMK BUS UUS adalah laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai laporan stabilitas moneter dan sistem keuangan bulanan bank umum syariah dan unit usaha syariah. BAB II PENGATURAN RASIO LTV DAN RASIO FTV Bagian Kesatu Penghitungan Kredit, Penghitungan Pembiayaan, Nilai Agunan, dan Penilaian Agunan Paragraf 1 Penghitungan Kredit dan Nilai Agunan untuk BUK Pasal 2 (1) BUK wajib melakukan penghitungan Kredit dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio LTV untuk KP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUK atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang 7 berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Paragraf 2 Penghitungan Pembiayaan dan Nilai Agunan untuk BUS dan UUS Pasal 3 (1) BUS dan UUS wajib melakukan penghitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam penghitungan Rasio FTV untuk PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah atau Akad Istishnaโ€™ ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan Akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan BUS atau UUS untuk kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan 3. Pembiayaan berdasarkan Akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan, termasuk pemberian Pembiayaan dengan akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah untuk pemilikan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern BUS atau UUS, atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. 8 (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Paragraf 3 Tata Cara Penilaian Agunan Pasal 4 (1) Tata cara penilaian agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 3 ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. untuk KP atau PP yang diberikan dengan plafon di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. (2) Penetapan nilai taksiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada metode dan prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. (3) Contoh penetapan penilai agunan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 9 Bagian Kedua Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP Pasal 5 (1) Bank yang memberikan: a. KP atau PP untuk fasilitas pertama; dan b. KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya bagi Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 6 Bank yang memberikan KP atau PP untuk fasilitas kedua dan seterusnya wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas kedua dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai 10 dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan b. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua dan seterusnya, ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 95% (sembilan puluh lima persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 90% (sembilan puluh persen). Pasal 7 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 11 a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal 8 Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagai berikut: a. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 2. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 95% (sembilan puluh lima persen); b. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 12 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); c. Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 2. KP Rumah Tapak dan PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 3. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 65% (enam puluh lima persen); 4. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 13 5. KP Rusun dan PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); dan 6. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); d. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas pertama ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); 2. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 90% (sembilan puluh persen); dan 3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 95% (sembilan puluh lima persen); e. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas kedua ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 80% (delapan puluh persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan 14 6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 85% (delapan puluh lima persen); dan f. Rasio FTV untuk PP berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT untuk fasilitas ketiga dan seterusnya ditetapkan sebagai berikut: 1. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 2. PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 3. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 70% (tujuh puluh persen); 4. PP Rusun dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); 5. PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen); dan 6. PP Ruko atau PP Rukan, paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen). Pasal 9 (1) Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan memberikan: a. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi), untuk fasilitas pertama; b. KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama dan seterusnya; 15 c. KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi), untuk fasilitas pertama; dan d. KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan, untuk fasilitas pertama, harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank. (2) Penetapan kebijakan Bank mengenai ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 10 Dalam menentukan urutan fasilitas KP atau PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank wajib memperhitungkan seluruh KP dan PP yang telah diterima debitur atau nasabah yang masih berjalan di Bank yang sama maupun Bank lainnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. berdasarkan urutan tanggal perjanjian KP atau akad PP; dan b. dalam hal terdapat tanggal perjanjian KP atau akad PP yang sama maka penentuan urutan fasilitas diawali dari KP atau PP dengan nilai agunan paling rendah. Bagian Ketiga Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP bagi Properti Berwawasan Lingkungan Pasal 11 (1) Bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan berlaku ketentuan sebagai berikut: 16 a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP paling tinggi ditambah 5% (lima persen) atas Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a serta huruf b angka 1 dan angka 3 sampai dengan angka 6; dan b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank untuk: 1. fasilitas pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a; 2. fasilitas kedua dan seterusnya bagi KP atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b; dan 3. fasilitas kedua dan seterusnya bagi PP Rumah Tapak dengan Akad MMQ dan Akad IMBT dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b angka 2, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. (2) Ketentuan mengenai Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan rasio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal 12 Dalam hal Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 17 a. Bank wajib memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP paling tinggi ditambah 5% (lima persen) atas Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a angka 1 dan angka 2, huruf b, huruf c, huruf d angka 1 dan angka 2, huruf e, dan huruf f; dan b. Bank harus memenuhi ketentuan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan Bank untuk: 1. fasilitas pertama bagi KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a; 2. fasilitas pertama dan seterusnya bagi KP Rumah Tapak atau PP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b; 3. fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c; 4. fasilitas pertama bagi KP Rusun atau PP Rusun berdasarkan Akad Murabahah dan Akad Istishnaโ€™ dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a angka 3; 5. fasilitas pertama bagi PP Rusun berdasarkan Akad MMQ dan Akad IMBT dengan luas bangunan lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf d angka 3; dan (tujuh puluh meter persegi) 18 6. fasilitas pertama bagi KP Ruko atau KP Rukan dan PP Ruko atau PP Rukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 13 Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia terkait pemberian KP atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Pasal 14 Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Keempat Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan Bermasalah, Rasio KP Bermasalah, dan Rasio PP Bermasalah Pasal 15 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank; dan b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan 19 kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. (2) Penghitungan rasio KP bermasalah dan rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan KP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total KP; b. penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total PP; dan c. PP yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam huruf b yaitu PP yang menggunakan Akad Murabahah, Akad Istishnaโ€™, Akad MMQ, dan Akad IMBT. (3) Bagi BUK yang memiliki UUS, penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio KP bermasalah bagi BUK dilakukan secara terpisah dengan penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah dan rasio PP bermasalah bagi UUS. Bagian Kelima Sumber Data, Nilai yang Digunakan, dan Laporan Lain Pasal 16 (1) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan LBU periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian KP ditandatangani. (2) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b 20 dilakukan berdasarkan LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal akad PP ditandatangani. Pasal 17 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) menggunakan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang Diberikan. (2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan dihitung dari LSMK BUS UUS pada: a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah untuk Akad Murabahah; b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad Qardh; d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil untuk akad bagi hasil; dan e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk akad sewa. (3) Penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) menggunakan nilai KP bermasalah dan total KP yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang Diberikan. (4) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penghitungan rasio KP bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 21 Pasal 18 (1) Dalam hal terdapat kebutuhan data yang belum dapat dipenuhi dari LBU atau LSMK BUS UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 maka Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan laporan lain. (2) Bank wajib menyampaikan laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui media surat elektronik sampai dengan batas waktu yang ditetapkan. (3) Laporan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa laporan PP. (4) Penyampaian Laporan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sampai dengan LSMK BUS UUS dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (5) Penetapan batas waktu penghentian penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. Bagian Keenam Kewajiban Administratif Pasal 19 (1) Dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, dan Pasal 9, Bank wajib: a. memperlakukan debitur dan suami atau istri debitur menjadi 1 (satu) debitur, atau nasabah dan suami atau istri nasabah menjadi 1 (satu) nasabah, kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau calon nasabah yang memuat keterangan mengenai: 1. KP dan/atau PP yang masih dimiliki baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 22 2. KP atau PP yang sedang dalam proses pengajuan permohonan baik untuk pemilikan Properti yang telah tersedia maupun Properti yang belum tersedia secara utuh; 3. KP atau PP yang merupakan Kredit tambahan atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; 4. KP atau PP yang diambil alih dan disertai Kredit tambahan atau Pembiayaan baru yang berasal dari Kredit atau Pembiayaan yang tidak lancar; dan/atau 5. keterangan terkait lainnya, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau PP yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. (2) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP serta penetapan urutan fasilitas KP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II. Bagian Ketujuh Kredit Tambahan atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya dan KP atau PP yang Diambil Alih Paragraf 1 Kredit Tambahan atau Pembiayaan Baru Berdasarkan Properti yang Masih Menjadi Agunan dari KP atau PP Sebelumnya Pasal 20 (1) Dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan atau Pembiayaan baru berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau PP sebelumnya, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: 23 a. pemberian Kredit tambahan oleh BUK yang merupakan tambahan dari KP sebelumnya menggunakan Rasio LTV KP sebelumnya sepanjang Kredit tambahan tersebut menggunakan agunan yang sama dan KP sebelumnya memiliki kualitas lancar; b. pemberian Pembiayaan baru oleh BUS atau UUS yang merupakan tambahan dari PP sebelumnya menggunakan Rasio FTV PP sebelumnya sepanjang kedua Pembiayaan tersebut menggunakan agunan yang sama dan PP sebelumnya memiliki kualitas lancar; c. dalam hal Kredit tambahan tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau KP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud dalam huruf a maka Kredit tambahan menggunakan Rasio LTV untuk KP sebagaimana Kredit baru; d. dalam hal Pembiayaan baru tidak menggunakan agunan yang sama dan/atau PP sebelumnya tidak memiliki kualitas lancar sebagaimana dimaksud dalam huruf b maka Pembiayaan baru tersebut menggunakan Rasio FTV untuk PP sebagaimana Pembiayaan baru; e. dalam hal Bank memberikan Kredit tambahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c maka dalam menetapkan Rasio LTV untuk KP selanjutnya, Bank memperhitungkan KP awal dan Kredit tambahan tersebut sebagai 2 (dua) fasilitas; f. Rasio LTV untuk KP bagi Kredit tambahan dan Rasio FTV untuk PP bagi Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e mengacu pada Rasio LTV untuk KP atau Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, atau Pasal 9; dan g. jumlah Kredit tambahan atau Pembiayaan baru yang diberikan oleh Bank memperhitungkan jumlah baki 24 debet KP atau PP sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. (2) Mekanisme pemberian Kredit tambahan atau Pembiayaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Paragraf 2 KP atau PP yang Diambil Alih Pasal 21 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP dengan mengambil alih KP atau PP dari Bank lain, Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. KP atau PP yang hanya ditujukan untuk pelunasan KP atau PP sebelumnya di Bank lain, tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. dalam hal Bank mengambil alih KP atau PP dari Bank lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan Kredit tambahan atau disertai dengan Pembiayaan baru maka perlakuan KP atau PP dengan mengambil alih KP atau PP dari Bank lain tersebut mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20. (2) Mekanisme pengambilalihan KP atau PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 22 Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV untuk Kredit tambahan dan Rasio FTV untuk Pembiayaan baru dan pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 25 Bagian Kedelapan KP atau PP untuk Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Paragraf 1 Persyaratan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 23 (1) Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan: 1. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b; 2. memiliki perjanjian kerja sama antara Bank dengan pengembang yang paling sedikit memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan 3. memiliki jaminan yang diberikan oleh pengembang atau pihak lain kepada Bank: a) yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian; dan b) dengan nilai jaminan paling sedikit selisih antara komitmen KP atau PP dengan pencairan KP atau PP yang telah dilakukan oleh Bank; dan b. tidak melanggar jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 26 (2) Ketentuan mengenai jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 diatur sebagai berikut: a. jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank meliputi aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan; b. jaminan yang diberikan oleh pihak lain kepada Bank meliputi corporate guarantee, standby letter of credit, bank guarantee, dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan; c. dana yang dititipkan dan/atau yang disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b merupakan dana yang ditahan atas nama pengembang, yang digunakan untuk menyelesaikan pembangunan Properti; dan d. Bank harus dapat memastikan bahwa jaminan dapat dieksekusi dalam hal pengembang tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, yang paling sedikit tertuang dalam perjanjian kerja sama antara pengembang dengan Bank. (3) Jumlah fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan paling banyak 5 (lima) fasilitas KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Bank yang memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh dengan mengambil alih KP atau PP dari Bank lain. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Properti telah tersedia secara utuh yang dibuktikan dengan adanya berita acara serah terima. 27 (6) Contoh penghitungan dan penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Tahapan Pencairan KP atau PP untuk Pemilikan Properti yang Belum Tersedia Secara Utuh Pasal 24 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 maka Bank wajib melakukan pencairan KP atau PP secara bertahap. (2) Pencairan KP atau PP secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari plafon setelah tanda tangan perjanjian KP atau PP, tanpa diperlukan penilaian perkembangan pembangunan; b. paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan penyelesaian fondasi, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; c. paling tinggi 90% (sembilan puluh persen) dari plafon setelah pencairan sebagaimana dimaksud dalam huruf b sampai dengan penyelesaian tutup atap, berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan; dan d. sebesar 100% (seratus persen) dari plafon setelah penandatanganan berita acara serah terima yang dilengkapi dengan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. (3) Pencairan bertahap dan penilaian perkembangan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf 28 b dan huruf c wajib didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan yang berasal dari: a. pengembang dengan verifikasi dari penilai intern Bank; atau b. penilai independen. Bagian Kesembilan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian KP atau PP Pasal 25 (1) Dalam implementasi pengaturan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24, Bank wajib mematuhi prinsip kehati-hatian dalam pemberian KP atau PP dengan ketentuan sebagai berikut: a. memastikan bahwa tidak terjadi pengalihan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh kepada debitur atau nasabah lain baik pada Bank yang sama maupun pada Bank lain, untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun; b. memperhatikan kemampuan debitur atau nasabah untuk menyelesaikan kewajiban KP atau PP; c. memperhatikan kelayakan usaha pengembang terkait penyelesaian properti yang belum tersedia secara utuh; dan d. memastikan bahwa transaksi dalam pemberian KP atau PP harus dilakukan melalui rekening debitur atau nasabah kepada rekening pengembang atau penjual yang berada di Bank. (2) Bank dapat mengalihkan KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk KP atau PP bermasalah. 29 BAB III PENGATURAN UANG MUKA KKB ATAU PKB Bagian Kesatu Uang Muka KKB atau PKB Pasal 26 Bank yang memberikan KKB atau PKB wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 15% (lima belas persen); dan b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 15% (lima belas persen). Pasal 27 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah secara neto kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b didasarkan pada LBU atau LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal 28 Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan 30 b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 25% (dua puluh lima persen). Pasal 29 (1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memberikan KKB atau PKB dengan Uang Muka paling sedikit 10% (sepuluh persen); dan b. memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya. (2) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). (3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka Bank yang memberikan KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi ketentuan Uang Muka paling sedikit 15% (lima belas persen). Pasal 30 (1) Bank yang memberikan KKB atau PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua, paling sedikit 10% (sepuluh persen); 31 b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif, paling sedikit 10% (sepuluh persen); dan c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif, paling sedikit 5% (lima persen). (2) Ketentuan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). (3) Dalam hal Bank tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) maka Bank wajib memenuhi ketentuan Uang Muka sebagai berikut: a. untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua paling sedikit 15% (lima belas persen); b. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan c. untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang diperuntukkan bagi kegiatan produktif paling sedikit 10% (sepuluh persen). (4) Bank wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia terkait pemberian KKB atau PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3). Pasal 31 Contoh penghitungan dan penetapan Uang Muka KKB dan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 30 tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 32 Bagian Kedua Penghitungan Rasio Kredit Bermasalah, Rasio Pembiayaan Bermasalah, Rasio KKB Bermasalah, dan Rasio PKB Bermasalah Pasal 32 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah dan rasio Pembiayaan bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Kredit kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank; dan b. penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto merupakan persentase dari hasil penjumlahan Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. (2) Penghitungan rasio KKB bermasalah dan rasio PKB bermasalah diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. penghitungan rasio KKB bermasalah secara neto merupakan persentase dari hasil penjumlahan KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah; dan b. penghitungan rasio PKB bermasalah secara neto merupakan persentase dari hasil penjumlahan PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah. 33 Bagian Ketiga Sumber Data, Laporan Lain, dan Nilai yang Digunakan Pasal 33 (1) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a dan rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan LBU periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal perjanjian Kredit ditandatangani. (2) Penetapan masing-masing komponen dalam penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b dan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan LSMK BUS UUS periode 2 (dua) bulan sebelum tanggal akad Pembiayaan ditandatangani. Pasal 34 (1) Penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai Kredit bermasalah dan nilai total Kredit yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang Diberikan. (2) Penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai Pembiayaan bermasalah dan nilai total Pembiayaan yang diperoleh dan dihitung dari LSMK BUS UUS pada: a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah untuk Akad Murabahah; b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad Qardh; d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil untuk akad bagi hasil; dan e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk akad sewa. 34 (3) Penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai KKB bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah, dan total KKB yang diperoleh dan dihitung dari LBU dalam Formulir 11 Daftar Rincian Kredit yang Diberikan. (4) Penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 menggunakan nilai PKB bermasalah, nilai cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah, dan total PKB yang diperoleh dan dihitung dari LSMK BUS UUS pada: a. Formulir 10 Daftar Rincian Piutang Murabahah untuk Akad Murabahah; b. Formulir 11 Daftar Rincian Piutang Istishnaโ€™ untuk Akad Istishnaโ€™; c. Formulir 12 Daftar Rincian Piutang Qardh untuk Akad Qardh; d. Formulir 13 Daftar Rincian Pembiayaan Bagi Hasil untuk akad bagi hasil; dan e. Formulir 14 Daftar Rincian Pembiayaan Sewa untuk akad sewa. (5) Rincian sumber data untuk penghitungan rasio Kredit bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan rasio KKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan penghitungan rasio PKB bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 35 BAB IV LARANGAN PEMBERIAN KREDIT ATAU PEMBIAYAAN UANG MUKA Pasal 35 (1) Bank dilarang memberikan: a. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka bagi KP dan PP kepada debitur atau nasabah; dan b. Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka bagi KKB dan PKB kepada debitur atau nasabah. (2) Contoh larangan pemberian Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB V PELAPORAN Pasal 36 (1) Penyampaian laporan pemberian KP atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, laporan PP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), dan laporan pemberian KKB atau PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4), diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. periode penyampaian laporan yaitu: 1. untuk laporan bulan berjalan, Bank menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya; dan 2. dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur maka Bank menyampaikan laporan pada hari kerja berikutnya; 36 b. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. disampaikan kepada: 1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; d. Bank mengirimkan laporan kepada Bank Indonesia melalui surat elektronik setiap bulan dengan subjek surat elektronik disamakan dengan nama dokumen; e. laporan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan tembusan laporan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, disampaikan melalui surat elektronik sesuai dengan daftar alamat surat elektronik sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; f. dalam hal penyampaian laporan melalui surat elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak dapat dilakukan maka: 1. bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350; atau 37 2. bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, laporan disampaikan dalam bentuk salinan lunak (soft copy) dan salinan keras (hard copy) kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan c.q. Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat; g. batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf f mengikuti ketentuan batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a; h. Bank harus menyampaikan secara tertulis mengenai nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan, serta alamat surat elektronik pengirim laporan, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada: 1. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau 2. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan - Divisi Pengelolaan dan Pengawasan LBU dan GWM, dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; dan i. Bank harus menyampaikan nama petugas dan penanggung jawab yang ditunjuk untuk menyusun dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf h kepada Bank Indonesia sebelum pelaksanaan penyampaian laporan pertama kali. (2) Dalam hal Bank tidak memberikan KP atau PP untuk pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan, tidak 38 memberikan PP, dan/atau tidak memberikan KKB atau PKB untuk pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan isian nihil. BAB VI EVALUASI KEBIJAKAN LOAN TO VALUE UNTUK KP, FINANCING TO VALUE UNTUK PP, DAN UANG MUKA UNTUK KKB ATAU PKB Pasal 37 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap kebijakan: a. b. Uang Muka untuk KKB atau PKB, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. (2) Evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap besaran Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP, pengaturan Kredit tambahan atau Pembiayaan baru yang menggunakan agunan yang sama dan KP atau PP yang diambil alih, KP atau PP untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, dan/atau hal lain terkait kebijakan loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP. (3) Evaluasi terhadap kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap besaran Uang Muka untuk KKB atau PKB dan jenis penggunaan KKB atau PKB dan/atau hal lain terkait kebijakan Uang Muka untuk KKB atau PKB. (4) Hasil evaluasi terhadap kebijakan loan to value untuk KP, financing to value untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan: a. tidak terdapat perubahan kebijakan; atau b. terdapat perubahan kebijakan. loan to value untuk KP dan financing to value untuk PP; dan 39 (5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diinformasikan oleh Bank Indonesia kepada Bank. BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 38 (1) Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor dikenai sanksi administratif berupa: a. sanksi teguran tertulis; dan/atau b. sanksi kewajiban membayar. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan mendebit rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia. (3) Contoh penghitungan sanksi kewajiban membayar tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/22/PADG/2018 tanggal 18 September 2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 40 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/25/PADG/2019 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan yang seimbang dan berkualitas dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan kebijakan makroprudensial mengenai Rasio LTV untuk KP, Rasio FTV untuk PP, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/13/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Pelonggaran kebijakan termasuk penetapan Rasio LTV untuk KP dan Rasio FTV untuk PP bagi pemilikan Properti Berwawasan Lingkungan, dan Uang Muka untuk KKB atau PKB bagi pembelian Kendaraan Bermotor Berwawasan Lingkungan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. 2 Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio loan to value untuk kredit properti, rasio financing to value untuk pembiayaan properti, dan uang muka untuk kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œasosiasi yang berwenangโ€ antara lain Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œdepositโ€ adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada BUS atau UUS untuk kepemilikan Properti yang dilakukan dengan Akad IMBT. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 3 Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a KP atau PP untuk fasilitas pertama diberikan bagi Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Toko atau Rumah Kantor dengan luas bangunan: 1. di atas 70m2 (tujuh puluh meter persegi); 2. lebih dari 21m2 (dua puluh satu meter persegi) sampai dengan 70m2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3. sampai dengan 21m2 (dua puluh satu meter persegi). Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip kehati-hatianโ€ adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip kehati-hatianโ€ adalah prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan 4 perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai permodalan bank, kualitas aset, dan kebijakan perkreditan atau pembiayaan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank x 100% Keterangan: Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar, Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet. Huruf b Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank x 100% Keterangan: Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang 5 lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan kualitas macet. Ayat (2) Huruf a Formula penghitungan rasio KP bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah KP kualitas kurang lancar + KP kualitas diragukan + KP kualitas macet Total KP Huruf b Formula penghitungan rasio PP bermasalah secara bruto adalah sebagai berikut: jumlah PP kualitas kurang lancar + PP kualitas diragukan + PP kualitas macet Total PP Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Contoh: Dalam hal penandatanganan perjanjian KP atau akad PP dilakukan pada bulan Desember 2020 maka penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan rasio KP bermasalah atau rasio PP bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK BUS UUS untuk data bulan Oktober 2020. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œlaporan lainโ€ antara lain berupa laporan PP untuk BUS dan UUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. x 100% x 100% 6 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Informasi kepada Bank mengenai penghentian penyampaian laporan dilakukan melalui surat dan/atau penyempurnaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Perjanjian pemisahan harta dibuktikan dengan fotokopi perjanjian yang disahkan atau dilegalisir oleh notaris. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmenggunakan Rasio LTV KP sebagaimana Kredit baruโ€ adalah tambahan Kredit diperhitungkan sebagai fasilitas KP yang berikutnya. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œmenggunakan Rasio FTV PP sebagaimana Pembiayaan baruโ€ adalah tambahan Pembiayaan diperhitungkan sebagai fasilitas PP yang berikutnya. Huruf e Cukup jelas. 7 Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œbelum tersedia secara utuhโ€ adalah belum siap diserahterimakan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œdana yang ditahan atas nama pengembangโ€ adalah dana yang digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai dengan perjanjian, termasuk apabila pengembang tidak dapat menyelesaikan akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Dalam menghitung jumlah fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh, Bank memperhitungkan fasilitas KP atau PP yang diberikan untuk 8 pemilikan Properti yang belum tersedia secara utuh yang telah diberikan oleh Bank yang sama maupun Bank lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pencairan setelah penandatanganan perjanjian KP atau PP. Huruf b Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf c Bank dapat melakukan pencairan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan penilaian perkembangan pembangunan untuk masing-masing pencairan. Huruf d Dalam hal akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan belum tersedia maka untuk pencairan plafon dapat dilaksanakan setelah Bank menerima berita acara serah terima dan cover note dari notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Cover note dari notaris atau PPAT antara lain memuat informasi mengenai penyelesaian akta jual beli dan akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan tersebut dan kesanggupan dari notaris atau PPAT untuk menyerahkan akta jual beli dan 9 akta pembebanan hak tanggungan atau surat kuasa membebankan hak tanggungan. Ayat (3) Besaran persentase pencairan bertahap diserahkan kepada Bank sesuai dengan kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut. Contoh: KP atau PP yang telah diberikan sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/8/PBI/2018 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, namun belum melewati waktu 1 (satu) tahun, dihitung sejak tanggal perjanjian KP atau PP tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam transaksi pemberian KP atau PP yaitu pembayaran uang muka dan pencairan bertahap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œKP atau PP bermasalahโ€ adalah KP atau PP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, atau macet. Pasal 26 Cukup jelas. 10 Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Rasio Kredit bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Kredit bermasalah dibandingkan dengan total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah Kredit bermasalahโ€ adalah jumlah dari Kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank. Rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto diperoleh dari jumlah Pembiayaan bermasalah dibandingkan dengan total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah Pembiayaan bermasalahโ€ adalah jumlah dari Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet kepada pihak ketiga bukan bank. Huruf b Rasio KKB bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah KKB bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah dibandingkan dengan total KKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah KKB bermasalahโ€ adalah jumlah dari KKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Rasio PKB bermasalah secara neto diperoleh dari jumlah PKB bermasalah setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah dibandingkan dengan total PKB setelah dikurangi cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah. Yang dimaksud dengan โ€œjumlah PKB bermasalahโ€ adalah jumlah dari PKB dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet. Yang dimaksud dengan โ€œcadangan kerugian penurunan nilaiโ€ adalah cadangan kerugian penurunan nilai sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan 11 perudang-undangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Formula penghitungan rasio Kredit bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Kredit kepada pihak ketiga bukan bank x 100% Keterangan: Jumlah Kredit bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Kredit kualitas kurang lancar, Kredit kualitas diragukan, dan Kredit kualitas macet. Huruf b Formula penghitungan rasio Pembiayaan bermasalah secara bruto yaitu sebagai berikut: jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank total Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank x 100% Keterangan: Jumlah Pembiayaan bermasalah kepada pihak ketiga bukan bank merupakan penjumlahan Pembiayaan kualitas kurang lancar, Pembiayaan kualitas diragukan, dan Pembiayaan kualitas macet. 12 Ayat (2) Huruf a Formula penghitungan rasio KKB bermasalah secara neto yaitu sebagai berikut: jumlah KKB kualitas kurang lancar + KKB kualitas diragukan + KKB kualitas macet โˆ’ cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah Total KKB โˆ’ cadangan kerugian penurunan nilai KKB bermasalah Huruf b x 100% Formula penghitungan rasio PKB bermasalah secara neto yaitu sebagai berikut: jumlah PKB kualitas kurang lancar + PKB kualitas diragukan + PKB kualitas macet โˆ’ cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah Total PKB โˆ’ cadangan kerugian penurunan nilai PKB bermasalah Pasal 33 Contoh: Dalam hal penandatanganan perjanjian KKB atau akad PKB dilakukan pada bulan Desember 2020 maka penghitungan rasio Kredit bermasalah atau rasio Pembiayaan bermasalah dan penghitungan rasio KKB bermasalah atau rasio PKB bermasalah dilakukan berdasarkan LBU atau LSMK BUS UUS untuk data bulan Oktober 2020. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Termasuk pengertian debitur atau nasabah antara lain debitur atau nasabah yang merupakan karyawan Bank yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. x 100% 13 Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œhari liburโ€ adalah hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, atau hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur, termasuk dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas. Huruf b Format laporan disediakan dalam situs web Bank Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Penyampaian nama petugas dan penanggung jawab dilakukan sebelum penyampaian laporan posisi bulan Desember 2019. Contoh: Bank A akan menyampaikan laporan posisi bulan Desember 2019 kepada Bank Indonesia pada tanggal 20 Januari 2020. Dengan demikian, Bank A harus menyampaikan nama petugas dan penanggung jawab sebelum tanggal 20 Januari 2020. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. 14 Ayat (2) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (3) Evaluasi dilakukan sesuai dengan arah kebijakan Bank Indonesia yang memperhatikan antara lain kondisi makroekonomi, moneter, sistem keuangan Indonesia, dan/atau kondisi perekonomian global. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman dalam situs web Bank Indonesia untuk hasil evaluasi berupa penetapan tidak terdapat perubahan kebijakan atau melakukan penyempurnaan ketentuan untuk hasil evaluasi berupa penetapan terdapat perubahan kebijakan. Pasal 38 Ayat (1) Dalam mengenakan sanksi kepada Bank, Bank Indonesia memberikan tembusan surat pengenaan sanksi kepada otoritas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/25/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> RASIO LOAN TO VALUE UNTUK KREDIT PROPERTI, RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK PEMBIAYAAN PROPERTI, DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR </reg_title> <set_date> 17 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2019 </effective_date> <replaced_reg> '20/22/PADG/2018' </replaced_reg> <related_reg> '21/13/PBI/2019', '20/8/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/ 18 /PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa kestabilan rupiah perlu didukung dengan upaya memperkuat cadangan devisa; c. bahwa untuk memperkuat cadangan devisa, Bank Indonesia mengembangkan aktivitas lindung nilai yang terkait dengan kegiatan ekonomi melalui pengembangan transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank Indonesia; d. bahwa diperlukan penyempurnaan peraturan pelaksanaan untuk mendukung pengembangan transaksi swap dalam rangka lindung nilai kepada Bank Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 237, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5480) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/13/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5920); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor bank berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui penjualan tunai (spot) dengan pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan Bank Indonesia dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 3. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah transaksi swap beli Bank dalam valuta asing 3 terhadap rupiah, dalam rangka lindung nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia. 4. Underlying Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Underlying Transaksi adalah kegiatan yang mendasari Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 5. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. 6. Pinjaman Luar Negeri adalah kewajiban Penduduk kepada bukan Penduduk dalam valuta asing. 7. Investasi Langsung di Indonesia yang selanjutnya disebut Investasi Langsung adalah investasi jangka panjang secara langsung, yang tidak melalui pasar modal, dilakukan oleh investor asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia. 8. Kontrak Lindung Nilai adalah informasi dari Bank yang disampaikan kepada Bank Indonesia berisi rencana jangka waktu dan jumlah Underlying Transaksi yang digunakan sebagai dasar Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 9. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. BAB II TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Pasal 2 (1) Bank dapat melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 4 (2) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam valuta asing terhadap rupiah. (3) Bank yang melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan peringkat komposit paling rendah 3 (tiga). (4) Persyaratan peringkat komposit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku juga untuk Bank yang melakukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. (5) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan berdasarkan Underlying Transaksi yang dimiliki oleh Bank atau nasabah; b. jangka waktu Underlying Transaksi sama dengan atau lebih panjang daripada jangka waktu Kontrak Lindung Nilai Bank; dan c. nilai nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi. (6) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi: a. Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang; dan/atau b. dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha). (7) Dalam hal Underlying Transaksi dimiliki oleh nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, ruang lingkup Underlying Transaksi meliputi transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah yang terkait Lindung Nilai atas: a. Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit dan/atau penerbitan surat utang; Investasi Langsung; b. c. devisa hasil ekspor; 5 d. investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan/atau produksi; e. f. investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau investasi pada kegiatan ekonomi lainnya. BAB III DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Pasal 3 Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik Bank dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) berupa: a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a maka dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian kredit (loan agreement) antara Bank dengan kreditur Bank; b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a maka dokumen Underlying Transaksi berupa laporan penjualan surat utang, termasuk yang dikeluarkan oleh global custody; dan c. dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf b maka dokumen Underlying Transaksi berupa: 1) surat dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) dari kantor pusat Bank atau dari Bank kepada otoritas yang berwenang untuk dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang tidak mengalami perubahan; atau 2) surat persetujuan otoritas yang berwenang atas perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared 6 dana usaha) yang disampaikan kantor pusat Bank atau Bank untuk dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang mengalami perubahan. Pasal 4 Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik nasabah dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) berupa dokumen transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dalam bentuk deal ticket atau kontrak. Pasal 5 Dokumen yang digunakan untuk Underlying Transaksi milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) sebagai berikut: a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf a maka dokumen Underlying Transaksi berupa perjanjian kredit (loan agreement) antara nasabah dengan kreditur nasabah; b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf a maka dokumen Underlying Transaksi berupa laporan penjualan surat utang, termasuk yang dikeluarkan oleh global custody; c. dalam hal Underlying Transaksi berupa Investasi Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf b maka dokumen Underlying Transaksi berupa dokumen terkait dengan realisasi investasi; d. dalam hal Underlying Transaksi berupa devisa hasil ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf c maka dokumen Underlying Transaksi berupa: 1) authenticated Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) message MT910 yang berisi informasi penerimaan devisa hasil ekspor; 2) bank guarantee; atau 7 3) dokumen yang berkaitan dengan kegiatan ekspor yang meliputi: a) kontrak antara eksportir dengan importir; dan b) surat pernyataan dari eksportir didukung dengan bukti kepemilikan valuta asing dalam bentuk fotokopi tabungan atau fotokopi bilyet deposito atau dokumen lain yang menyatakan bahwa valuta asing yang telah dimiliki oleh eksportir adalah sebagai sumber dana untuk membiayai kegiatan ekspor; e. dalam hal Underlying Transaksi berupa investasi pada infrastruktur pembangunan sarana umum dan/atau produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf d maka dokumen Underlying Transaksi: 1) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah pemerintah maka dokumen berupa persetujuan proyek dari instansi yang berwenang; 2) dalam hal pemilik proyek infrastruktur adalah lembaga nonpemerintah maka dokumen berupa persetujuan proyek dari lembaga pemilik proyek; f. dalam hal Underlying Transaksi berupa investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) huruf e maka dokumen Underlying Transaksi berupa rencana investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah, dan/atau bukti realisasi investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah. Pasal 6 Bank Indonesia dapat menetapkan penambahan dokumen Underlying Transaksi yang terkait dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 5. Pasal 7 (1) Dalam hal suatu Underlying Transaksi hanya memiliki 1 (satu) satu jenis valuta asing, Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari: 8 a. 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan b. 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal suatu Underlying Transaksi memiliki lebih dari 1 (satu) jenis valuta asing, Bank dapat menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk: a. lebih dari 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai; dan b. lebih dari 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing. (3) Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk lebih dari 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dan 1 (satu) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama. Pasal 8 (1) Bank wajib bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen: a. b. c. asli dokumen Underlying Transaksi milik Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; asli dokumen Underlying Transaksi milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan fotokopi dokumen Underlying Transaksi milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Bank bertanggung jawab untuk menatausahakan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterima oleh Bank dari nasabah paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 9 BAB IV TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Bagian Kesatu Pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Pasal 9 Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan melalui Transaksi Swap Beli Bank kepada Bank Indonesia dalam valuta asing terhadap rupiah untuk lindung nilai yang dilakukan antara Bank dengan Bank Indonesia. Pasal 10 Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan pada setiap hari kerja. Pasal 11 (1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat memiliki jangka waktu 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, atau 12 (dua belas) bulan, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal valuta atau tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu. (2) Tanggal valuta atau tanggal setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 12 (1) Jenis valuta asing dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sesuai dengan jenis valuta asing yang diumumkan oleh Bank Indonesia paling lambat sebelum window time transaksi dibuka. (2) Nilai nominal minimum penawaran yang diajukan dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dan kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia melalui 10 Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dengan nilai nominal penawaran paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi. Pasal 13 Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam dolar Amerika Serikat terhadap rupiah menggunakan kurs spot yaitu kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada tanggal transaksi. Pasal 14 (1) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain dolar Amerika Serikat terhadap rupiah menggunakan kurs spot yaitu kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap rupiah pada tanggal transaksi. (2) Perhitungan kurs tengah transaksi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan rumus sebagai berikut: Kurs Tengah Transaksi Bank Indonesia = Kurs Jual Transaksi Bank Indonesia + Kurs Beli Transaksi Bank Indonesia 2 Bagian Kedua Pengumuman Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Pasal 15 Bank Indonesia mengumumkan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lambat sebelum window time transaksi dibuka melalui Sistem LHBU dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11 Pasal 16 Window time Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 15 dimulai pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Pasal 17 Pengumuman Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 meliputi: a. jangka waktu transaksi swap; b. premi swap; c. tanggal transaksi; d. window time transaksi; e. tanggal valuta atau tanggal setelmen; f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; g. jenis valuta asing; h. jumlah minimum penawaran dan kelipatan penawaran; i. sarana pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan sarana pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia; dan/atau informasi lainnya. j. Bagian Ketiga Pengajuan Kontrak Lindung Nilai Pasal 18 Pengajuan Kontrak Lindung Nilai dilakukan oleh Bank bersamaan dengan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 19 Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku efektif pada tanggal valuta atau tanggal setelmen. 12 Pasal 20 (1) Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi informasi: a. nama Bank; b. jangka waktu Kontrak Lindung Nilai; c. Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 5; d. jenis valuta asing; dan e. nilai nominal Underlying Transaksi dicantumkan dalam Kontrak Lindung Nilai. yang (2) Contoh nilai nominal dan Underlying Transaksi yang dinyatakan dalam Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 21 Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Kontrak Lindung Nilai yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Bagian Keempat Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Pasal 22 Bank mengajukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia secara langsung tanpa melalui lembaga perantara. Pasal 23 Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 24 Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia memuat informasi sebagai berikut: a. nama Bank; 13 b. jenis valuta asing; c. jenis dokumen Underlying Transaksi; d. jangka waktu dan nominal Underlying Transaksi yang tercantum pada Kontrak Lindung Nilai; e. tanggal transaksi; f. tanggal valuta atau tanggal setelmen; g. jangka waktu transaksi; h. tanggal jatuh waktu; i. nilai nominal; j. nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden; k. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan l. informasi lainnya dalam hal diperlukan. Pasal 25 (1) Setiap pengajuan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 disertai dengan informasi yang berisi pernyataan Bank bahwa seluruh persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah dipenuhi. (2) Dalam hal Bank melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) tanpa informasi jangka waktu atas dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) maka pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan informasi terkait jangka waktu dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha). (3) Contoh pernyataan Bank mengenai pemenuhan persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 26 Setelah Bank Indonesia menerima pengajuan Kontrak Lindung Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan pengajuan 14 Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Bank Indonesia memberikan nomor referensi kepada Bank untuk setiap Kontrak Lindung Nilai. Pasal 27 (1) Dalam hal terjadi koreksi atas pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Bank hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang diajukan dalam window time sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. (2) Dalam hal dilakukan koreksi atas nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai nominal dimaksud harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). Pasal 28 Bank bertanggung jawab atas kebenaran data Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang disampaikan kepada Bank Indonesia. Pasal 29 Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia tidak dapat dibatalkan oleh Bank. Pasal 30 Kontrak Lindung Nilai berakhir apabila Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia telah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan oleh Bank. Pasal 31 Bank Indonesia dapat menolak pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 15 Bagian Kelima Konfirmasi atas Pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Pasal 32 Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi atas pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia yang dilakukan oleh Bank melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang meliputi: a. jenis valuta asing; b. nilai nominal; c. jangka waktu transaksi; d. tanggal valuta; e. tanggal jatuh waktu; f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; g. kurs forward; h. premi swap; i. nomor rekening valuta asing Bank di bank koresponden; j. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan k. informasi lainnya dalam hal diperlukan. Bagian Keenam Setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia Paragraf Satu Kewajiban Setelmen Pasal 33 Bank bertanggung jawab atas setelmen Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. 16 Paragraf Dua Setelmen First Leg Pasal 34 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lama 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan mengkredit rekening giro rupiah Bank sebesar nilai setelmen first leg. (2) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebesar nilai nominal valuta asing yang diajukan dikalikan dengan: (a) kurs spot JISDOR dalam hal valuta asing yang digunakan adalah dolar Amerika Serikat; atau (b) kurs tengah transaksi Bank Indonesia dalam hal valuta asing yang digunakan adalah selain dolar Amerika Serikat. Pasal 35 (1) Bank wajib menyelesaikan transfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden pada tanggal valuta atau tanggal setelmen first leg. (2) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Bank tidak menyelesaikan transfer dana valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai transaksi yang diajukan maka Bank wajib menyelesaikan transfer dana valuta asing sebesar nilai transaksi yang diajukan pada hari kerja berikutnya. Paragraf Tiga Setelmen Second Leg Pasal 36 (1) Pada tanggal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia jatuh waktu atau second leg, Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank di bank koresponden sebesar nilai nominal valuta asing pada setelmen first leg. 17 (2) Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank sebesar nilai nominal valuta asing pada setelmen first leg dikalikan kurs setelmen second leg. (3) Kurs setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kurs spot saat tanggal transaksi ditambah premi swap yang dibayarkan Bank kepada Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Bank wajib menyediakan dana rupiah pada tanggal valuta atau tanggal setelmen second leg di rekening giro rupiah Bank pada Bank Indonesia. (2) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg, Bank tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. (3) Pembayaran nominal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendebetan rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia. Pasal 38 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, tanggal setelmen first leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan/atau tanggal setelmen second leg sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan pengurangan dan/atau penambahan premi untuk hari libur dimaksud. 18 BAB V PERPANJANGAN KONTRAK LINDUNG NILAI DAN PERPANJANGAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Bagian Kesatu Pelaksanaan Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Pasal 39 (1) Bank dapat mengajukan: a. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai; dan/atau b. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia. (2) Jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi, dengan perpanjangan kontrak paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Bank dapat mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia sepanjang masih terdapat sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai. (4) Jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai, dengan jangka waktu perpanjangan transaksi paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. Pasal 40 (1) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan Underlying Transaksi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai awal; b. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dimiliki oleh Bank maka 19 nilai nominal perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank; dan c. jangka waktu perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling lama sama dengan sisa jangka waktu Underlying Transaksi, dengan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menggunakan Kontrak Lindung Nilai yang masih berlaku; b. menggunakan jenis Underlying Transaksi yang sama sesuai dengan nomor referensi yang tercantum dalam Kontrak Lindung Nilai; c. dalam hal jenis Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dimiliki oleh Bank maka nilai nominal perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia paling banyak sebesar nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank; dan d. jangka waktu perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, atau sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai, dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia wajib mencantumkan pada deal conversation nomor referensi Kontrak Lindung Nilai yang sesuai. 20 Pasal 41 (1) Bank mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai kepada Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum Kontrak Lindung Nilai jatuh waktu. (2) Bank mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja sebelum Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia jatuh waktu. Pasal 42 (1) Window time pengajuan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan/atau Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB. (2) Dalam hal Bank mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jangka waktu yang sesuai dengan sisa jangka waktu Kontrak Lindung Nilai selain 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan dengan perpanjangan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, pengajuan perpanjangan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit setelah window time transaksi dibuka. Pasal 43 (1) Terhadap pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia yang diajukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Bank Indonesia akan menginformasikan langsung kepada Bank premi swap sesuai jangka waktu yang diajukan Bank, melalui sarana yang ditetapkan Bank Indonesia selama window time transaksi. (2) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai melakukan prosedur yang sama dengan pengajuan pada awal Kontrak Lindung Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20. 21 (3) Bank yang mengajukan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melakukan prosedur yang sama dengan pengajuan pada awal Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 serta Pasal 27 sampai dengan Pasal 30. (4) Bank yang mengajukan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan/atau perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia harus menginformasikan nomor referensi Kontrak Lindung Nilai yang telah diberikan Bank Indonesia kepada Bank pada saat diterimanya pengajuan Kontrak Lindung Nilai awal. Pasal 44 Bank Indonesia dapat menolak pengajuan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (2). Pasal 45 (1) Pengajuan terkait Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dilakukan dalam bentuk deal conversation melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan cakupan sebagai berikut: a. pengajuan Kontrak Lindung Nilai; b. pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia; c. perpanjangan Kontrak Lindung Nilai; dan d. perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Contoh format deal conversation sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 22 Bagian Kedua Konfirmasi Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Pasal 46 Bank Indonesia meminta Bank untuk melakukan konfirmasi atas pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia melalui sarana transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang meliputi: a. jenis valuta asing; b. nominal transaksi; c. jangka waktu transaksi; d. tanggal valuta; e. tanggal jatuh waktu; f. kurs JISDOR atau kurs tengah transaksi Bank Indonesia; g. kurs forward; h. premi swap; i. nilai nominal netting baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah dalam hal penyelesaian dilakukan secara netting; j. nomor rekening Bank di bank koresponden; k. nomor rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia; dan l. informasi lainnya. Bagian Ketiga Setelmen Perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Pasal 47 (1) Setelmen perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dapat dilakukan secara netting, termasuk pada saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai. (2) Dalam hal Bank melakukan penyelesaian perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia 23 secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus menginformasikan cara penyelesaian dimaksud pada saat pengajuan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 48 Setelmen secara netting untuk perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia termasuk pada saat perpanjangan Kontrak Lindung Nilai meliputi: a. netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan; b. netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan; atau c. netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan. Pasal 49 (1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang sama pada setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. nilai setelmen netting untuk nominal rupiah dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Nilai Setelmen Netting = Nominal Valuta Asing x [ Kurs Setelmen 2nd Leg Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Awal - Perpanjangan] Kurs Setelmen 1st Leg Saat b. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menghasilkan selisih negatif, Bank Indonesia mengkredit rekening giro rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau c. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a menghasilkan selisih positif, Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. 24 (2) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang sama sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 50 (1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. nilai setelmen netting untuk valuta asing dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Setelmen Netting = Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Awal Nilai Nominal Valuta Asing Saat Transaksi - Nilai Nominal Valuta Asing Saat Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia b. Bank Indonesia melakukan transfer dana valuta asing ke rekening Bank di bank koresponden sebesar nilai setelmen netting sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. nilai setelmen netting untuk rupiah dihitung sebagai berikut: Nilai Setelmen Netting = [ Nilai Nominal Valuta Asing Saat Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Awal x Kurs Setelmen 2๐‘›๐‘‘Leg Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Awal ] โˆ’ [ Nilai Nominal Valuta Asing Saat Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia x Kurs 1๐‘ ๐‘กLeg Saat Perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia Awal ] d. dalam hal perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c menghasilkan selisih positif maka Bank Indonesia mendebet rekening giro rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c; atau e. dalam hal perhitungan sebagimana dimaksud dalam huruf c menghasilkan selisih negatif maka Bank Indonesia mengkredit rekening giro rupiah Bank sebesar hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada setiap perpanjangan sebagaimana 25 tercantum dalam Lampiran VI dan Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 51 (1) Setelmen netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau nilai dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk perjanjian kredit maka nilai perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia disesuaikan dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank yang telah berubah sesuai dengan jadwal pembayaran cicilan Pinjaman Luar Negeri Bank kepada kreditur; b. dalam hal Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri Bank dalam bentuk penerbitan surat utang maka nilai perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia disesuaikan dengan nilai outstanding surat utang yang diterbitkan Bank; atau c. dalam hal Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) maka nilai perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia disesuaikan dengan nilai dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha). (2) Mekanisme perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau nilai dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan mengacu pada mekanisme perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang lebih kecil pada 26 setiap perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50. (3) Contoh perhitungan setelmen netting untuk nilai nominal yang sesuai dengan nilai outstanding Pinjaman Luar Negeri Bank atau dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) Bank pada setiap periode perpanjangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VI PENIADAAN TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA Pasal 52 (1) Bank Indonesia dapat meniadakan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Peniadaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk transaksi yang dilakukan dalam rangka perpanjangan Kontrak Lindung Nilai dan/atau perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Bank Indonesia mengumumkan peniadaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal peniadaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 27 BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 54 (1) Bank yang melanggar kewajiban terkait persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (3), Pasal 40 ayat (1), dan/atau Pasal 40 ayat (2) dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari nilai Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam denominasi rupiah dengan menggunakan: 1) kurs JISDOR untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam dolar Amerika Serikat terhadap rupiah; dan/atau 2) kurs tengah transaksi Bank Indonesia untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain dolar Amerika Serikat terhadap rupiah, pada tanggal transaksi. (2) Kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. (3) Bank yang melanggar ketentuan terkait kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan/atau Pasal 40 ayat (3) dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (4) Bank yang melanggar ketentuan terkait setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan/atau Pasal 37 ayat (1) dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1) rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi 28 ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar Amerika Serikat; 2) rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah; atau 3) rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non-dolar Amerika Serikat. Pasal 55 (1) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b dilakukan melalui pendebetan rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (2) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b angka 1) atau angka 2) dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing atau rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia. (3) Penyelesaian sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b angka 3) dilakukan melalui pendebetan rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada Bank Indonesia dengan konversi nilai ke rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal penyelesaian transaksi. 29 (4) Bank Indonesia dapat mengubah besaran margin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (4) huruf b. Pasal 56 Bank Indonesia dapat menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 57 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/19/DPM tanggal 28 November 2018 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia; dan c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/13/DPM tanggal 24 Mei 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 28 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 58 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 30 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/ 18 /PADG/2018 TENTANG TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Sistem keuangan internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi telah membentuk suatu perekonomian global yang memudahkan pergerakan arus modal yang berpengaruh terhadap kondisi likuiditas dan pergerakan nilai tukar rupiah. Sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko nilai tukar perlu dilakukan pendalaman pasar valuta asing domestik antara lain melalui pengembangan aktivitas transaksi swap dalam rangka lindung nilai. Bank Indonesia menyediakan instrumen swap lindung nilai bagi pelaku pasar domestik yang merupakan bagian dari pendalaman pasar keuangan yang diharapkan dapat meningkatkan kegiatan investasi ekonomi di Indonesia khususnya ekspor yang pada gilirannya dapat memperkuat cadangan devisa. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 3 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Peringkat komposit mengacu pada ketentuan mengenai sistem penilaian tingkat kesehatan yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas Huruf b Istilah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) merupakan istilah yang digunakan dalam ketentuan yang mengatur mengenai dana usaha yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau ketentuan Bank Indonesia mengenai pinjaman luar negeri bank. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. 4 Pasal 7 Ayat (1) Contoh: Pada bulan September 2019 Bank A menandatangani 1 (satu) perjanjian pinjaman dari luar negeri dalam valuta asing. Jumlah Pinjaman Luar Negeri yang diterima oleh Bank A sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat) dan JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang). Atas Pinjaman Luar Negeri tersebut Bank A menyampaikan 2 (dua) Kontrak Lindung Nilai, yaitu 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam dolar Amerika Serikat dan 1 (satu) Kontrak Lindung Nilai dalam yen Jepang. Selanjutnya Bank A dapat mengajukan 2 (dua) Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yaitu: a. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam dolar Amerika Serikat dengan nilai nominal sebesar USD500,000,000.00 (lima ratus juta dolar Amerika Serikat) dan tenor 12 (dua belas) bulan; dan b. Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam yen Jepang. Bank A melakukan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan nilai nominal JPY150,000,000.00 (seratus lima puluh juta yen Jepang) dan tenor 12 (dua belas) bulan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. 5 Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Contoh Kontrak Lindung Nilai untuk transaksi swap atas underlying milik Bank adalah sebagai berikut: Nama Bank Jangka Waktu Underlying : Bank A : 2 tahun : Kontrak Pinjaman Luar Negeri Bank Jenis Valuta Asing : dolar Amerika Serikat Nilai Nominal : USD500 juta 6 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. 7 Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. 8 Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. 9 Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/18/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI SWAP LINDUNG NILAI KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 21 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 21 Agustus 2018 </effective_date> <replaced_reg> '16/2/DPM|SE-BI/2014', '16/19/DPM|SE-BI/2018', '18/13/DPM|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '18/13/PBI/2016', '15/17/PBI/2013' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/20/PADG/2018 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan tahunan yang tersedia secara tepat waktu, benar, dan lengkap; b. bahwa untuk menyediakan informasi secara tepat waktu, benar, dan lengkap diperlukan pengembangan sistem pelaporan kantor pusat bank umum; c. bahwa untuk meningkatkan ketersediaan informasi secara lebih lengkap, diperlukan penyempurnaan laporan serta pedoman bagi bank dalam menyusun dan menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan kantor pusat bank umum; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; 2ii Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/12/PBI/2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5349); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6203); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha 3ii syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Bank Pelapor adalah Bank yang mempunyai kewajiban menyampaikan laporan kantor pusat bank umum kepada Bank Indonesia. 3. Sistem Laporan Kantor Pusat Bank Umum, yang selanjutnya disebut Sistem LKPBU adalah sistem penerimaan laporan (capturing) yang berbasis web melalui jaringan ekstranet. 4. Laporan Kantor Pusat Bank Umum yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara mingguan, bulanan, triwulanan, dan/atau tahunan kepada Bank Indonesia melalui Sistem LKPBU. 5. Online adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia. 6. Offline adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 7. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor, tidak termasuk pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan operasional terbatas. BAB II BANK PELAPOR DAN CAKUPAN LAPORAN Bagian Kesatu Bank Pelapor LKPBU Pasal 2 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. (2) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 4ii a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah; c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan d. unit usaha syariah. Bagian Kedua Cakupan Laporan LKPBU Pasal 3 Laporan yang disampaikan Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Laporan yang disusun secara mingguan yaitu laporan proyeksi arus kas; b. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas laporan: 1) kegiatan kustodian; 2) surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN); 3) penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK) dan uang elektronik; 4) remittance tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia; 5) mutasi rekening pemerintah; 6) aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non-Bank berupa produk keuangan luar negeri; 7) transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking; 8) structured products berupa data: a) outstanding transaksi structured products; b) transaksi structured products yang bermasalah; 9) pejabat eksekutif; 10) jaringan kantor; dan 11) laporan keuangan publikasi bulanan; c. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas laporan: 1) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik; 5ii 2) aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non- Bank berupa data: a) bancassurance; dan b) reksadana; 3) laporan keuangan publikasi triwulanan; dan 4) penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; dan d. Laporan yang disusun secara tahunan yaitu laporan tenaga kerja perbankan. BAB III FORMAT LAPORAN Bagian Kesatu Format Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia Pasal 4 Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mengacu pada pedoman penyusunan dan petunjuk teknis Laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dengan menggunakan format sebagai berikut: a. Laporan yang disusun secara mingguan berupa laporan proyeksi arus kas menggunakan form 707; b. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas: 1) kegiatan kustodian menggunakan form 101; 2) SKBDN: a) transaksi SKBDN menggunakan form 201; b) pembelian wesel SKBDN menggunakan form 202; dan c) penjualan wesel SKBDN menggunakan form 203; 3) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik bulanan: a) penerbit kartu kredit menggunakan form 301; b) penerbit selain kartu kredit menggunakan form 302; 6ii c) acquirer menggunakan form 303; d) infrastruktur menggunakan form 304; e) fraud APMK dan uang elektronik mengunakan form 306; f) perkembangan layanan keuangan digital (LKD) menggunakan form 314; g) transaksi LKD menggunakan form 315; h) agen LKD menggunakan form 316; i) permasalahan LKD menggunakan form 317; j) kartu kredit per regional menggunakan form 318; k) kartu kredit per sektor usaha menggunakan form 319; l) kartu kredit per kelompok usia menggunakan form 320; m) kartu kredit per kelompok penghasilan pemegang kartu kredit menggunakan form 321; n) kartu kredit per limit kartu kredit menggunakan form 322; o) kartu kredit berdasarkan jenis transaksi menggunakan form 323; dan p) informasi nominal revolving rate menggunakan form 324; 4) remittance: a) remittance dari TKI di luar negeri menggunakan form 401; dan b) remittance dari TKA di Indonesia menggunakan form 402; 5) mutasi rekening pemerintah menggunakan form 501; 6) aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri menggunakan form 703; 7) transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking menggunakan form 704; 8) structured products berupa data: a) outstanding transaksi structured products menggunakan form 705; dan b) transaksi structured products yang bermasalah menggunakan form 706; 7ii 9) pejabat eksekutif: a) pengangkatan, pergantian, dan pemberhentian pejabat eksekutif menggunakan form 801; dan b) riwayat pekerjaan individual pejabat eksekutif menggunakan form 802; 10) jaringan kantor menggunakan form 807; dan 11) laporan keuangan publikasi bulanan menggunakan form 901; c. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas: 1) penyelenggaraan kegiatan APMK dan uang elektronik triwulanan berupa penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) menggunakan form 305; 2) aktivitas Bank sebagai agen penjual produk non- Bank berupa data: a) bancassurance menggunakan form 701; dan b) reksadana menggunakan form 702; 3) laporan keuangan publikasi triwulanan menggunakan form 902; 4) penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah: a) jenis produk dan permasalahan yang diadukan menggunakan form 601; b) pengaduan yang diselesaikan dalam masa laporan menggunakan form 602; c) penyebab pengaduan menggunakan form 603; d) publikasi negatif menggunakan form 604; dan e) penyelesaian sengketa menggunakan form 605; dan d. Laporan yang disusun secara tahunan berupa data tenaga kerja perbankan terdiri atas: 1) struktur tenaga kerja menurut jenjang informasi pendidikan, status tenaga kerja, jenis kelamin, usia, pendidikan, dan jabatan menggunakan form 803; 2) perkembangan jumlah tenaga kerja pensiun, pensiun dini, dan tenaga kerja yang diberhentikan menggunakan form 804; 8ii 3) prediksi jumlah kebutuhan pegawai berdasarkan jenis pekerjaan dan kualifikasi menggunakan form 805; dan 4) jumlah dan pelatihan karyawan menggunakan form 806. Bagian Kedua Format Laporan yang Disampaikan oleh Bank Pelapor Pasal 5 (1) Kantor pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: a. form 101; b. form 201; c. form 202; d. form 203; e. form 301; f. form 302; g. form 303; h. form 304; i. j. form 305; form 306; k. form 314; l. form 315; m. form 316; n. form 317; o. form 318; p. form 319; q. form 320; r. form 321; s. form 322; t. form 323; u. form 324; v. form 401; w. form 402; x. form 501; 9ii y. form 601; z. form 602; aa. form 603; bb. form 604; cc. form 605; dd. form 701; ee. form 702; ff. form 703; gg. form 704; hh. form 705; ii. form 706; jj. form 707; kk. form 801; ll. form 802; mm. form 803; nn. form 804; oo. form 805; pp. form 806; qq. form 807; rr. form 901; dan ss. form 902. (2) Kantor pusat Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: a. form 101; b. form 201; c. form 202; d. form 203; e. form 301; f. form 302; g. form 303; h. form 304; i. j. form 305; form 306; k. form 314; l. form 315; m. form 316; 10ii n. form 317; o. form 318; p. form 319; q. form 320; r. form 321; s. form 322; t. form 323; u. form 324; v. form 401; w. form 402; x. form 501; y. form 601; z. form 602; aa. form 603; bb. form 604; cc. form 605; dd. form 701; ee. form 702; ff. form 704; gg. form 707; hh. form 801; ii. form 802; jj. form 803; kk. form 804; ll. form 805; mm. form 806; nn. form 807; oo. form 901; dan pp. form 902. (3) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: a. form 101; b. form 201; c. form 202; d. form 203; e. form 301; 11ii f. form 302; g. form 303; h. form 304; i. j. form 305; form 306; k. form 314; l. form 315; m. form 316; n. form 317; o. form 318; p. form 319; q. form 320; r. form 321; s. form 322; t. form 323; u. form 324; v. form 401; w. form 402; x. form 501; y. form 601; z. form 602; aa. form 603; bb. form 604; cc. form 605; dd. form 701; ee. form 702; ff. form 703; gg. form 704; hh. form 705; ii. form 706; jj. form 707; kk. form 801; ll. form 802; mm. form 803; nn. form 804; oo. form 805; pp. form 806; 12ii qq. form 807; rr. form 901; dan ss. form 902. (4) Unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan dengan format sebagai berikut: a. form 301; b. form 302; c. form 303; d. form 304; e. form 305; f. form 306; g. form 314; h. form 315; i. j. form 316; form 317; k. form 318; l. form 319; m. form 320; n. form 321; o. form 322; p. form 323; q. form 324; dan r. form 902. (5) Kewajiban penyampaian form 301, form 302, form 303, form 304, form 305, form 306, form 314, form 315, form 316, form 317, form 318, form 319, form 320, form 321, form 322, form 323, dan form 324 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur sebagai berikut: a. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penerbit kartu kredit wajib menyampaikan form 301, form 306, form 318, form 319, form 320, form 321, form 322, form 323, dan form 324; b. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penerbit kartu automated teller machine (ATM) atau kartu debet wajib menyampaikan form 302 dan form 306; 13ii c. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penerbit uang menyampaikan form 302, form 304, dan form 306; d. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai acquirer kartu kredit wajib menyampaikan form 303, form 304, form 306, form 318, form 319, form 320, form 321, form 322, dan form 323; e. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai acquirer kartu ATM atau kartu debet dan/atau acquirer uang elektronik wajib menyampaikan form 303, form 304, dan form 306; f. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan sebagai penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir (settlement) wajib menyampaikan form 305; dan g. Bank Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan LKD wajib menyampaikan form 314, form 315, form 316, dan form 317. Bagian Ketiga Format Laporan atas Kegiatan atau Aktivitas Tertentu Pasal 6 (1) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan kustodian tidak menyampaikan form 101. (2) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan APMK dan uang elektronik tidak menyampaikan form 301, form 302, form 303, form 304, form 305, form 306, form 314, form 315, form 316, form 317, form 318, form 319, form 320, form 321, form 322, form 323, dan form 324. (3) Bank Pelapor yang belum memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan LKD, tidak menyampaikan form 314, form 315, form 316, dan form 317. (4) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas bancassurance tidak menyampaikan form 701. elektronik wajib 14ii (5) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas sebagai agen penjual reksadana tidak menyampaikan form 702. (6) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri tidak menyampaikan form 703. (7) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan transaksi perbankan melalui delivery channel e-banking tidak menyampaikan form 704. (8) Bank Pelapor yang tidak menyelenggarakan kegiatan structured products tidak menyampaikan form 705 dan form 706. BAB IV PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Bagian Kesatu Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Online Pasal 7 (1) Sebelum menyampaikan Laporan, Bank Pelapor melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi sebagaimana ditetapkan dalam pedoman penyusunan dan petunjuk teknis Laporan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan form sesuai dengan jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (3) Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang wajib disampaikan selama periode Laporan, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan Laporan dengan cara menyampaikan form header. (4) Kewajiban menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Bank Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. 15ii Pasal 8 (1) Tata Cara Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bagi Bank Pelapor yang melakukan penggabungan atau peleburan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sampai dengan 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal operasional pelaksanaan penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tetap dilakukan secara terpisah untuk masing-masing Bank Pelapor; b. sejak tanggal operasional Bank Pelapor hasil penggabungan atau peleburan, penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan oleh Bank Pelapor hasil penggabungan atau peleburan. (2) Dalam hal izin penyelenggaraan terkait Pelaporan belum dicabut oleh otoritas terkait, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Bagian Kedua Batas Waktu Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Online Pasal 9 (1) Batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara mingguan diatur sebagai berikut: a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a pada setiap hari Jumat. b. Dalam hal hari Jumat bukan merupakan Hari Kerja maka Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia pada Hari Kerja sebelumnya: 16ii (2) Batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara bulanan diatur sebagai berikut: a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, angka 4, angka 5, angka 7, angka 8, angka 9, dan angka 10 paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Laporan berikutnya. b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 11 paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal 2 (dua) bulan Laporan berikutnya. c. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 3 dan angka 6 paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. (3) Batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang disusun secara triwulanan diatur sebagai berikut: a. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 4 paling lambat: 1) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan April untuk triwulan I; 2) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Juli untuk triwulan II; 3) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Oktober untuk triwulan III; dan 4) 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Januari untuk triwulan IV. b. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana 17ii dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 1 dan angka 2 paling lambat: 1) tanggal 15 bulan April untuk triwulan I; 2) tanggal 15 bulan Juli untuk triwulan II; 3) tanggal 15 bulan Oktober untuk triwulan III;dan 4) tanggal 15 bulan Januari untuk triwulan IV. c. Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c angka 3 paling lambat: 1) tanggal 15 bulan Mei untuk triwulan I; 2) tanggal 15 bulan Agustus untuk triwulan II; 3) tanggal 15 bulan November untuk triwulan III; dan 4) tanggal 15 bulan April untuk triwulan IV. (4) Untuk Laporan yang disusun secara tahunan, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d paling lambat tanggal 15 Februari tahun berikutnya. (5) Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, ayat (3) huruf b dan huruf c, serta ayat (4) bukan Hari Kerja, penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya. Bagian Ketiga Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Online Pasal 10 (1) Sistem LKPBU secara Online digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan akhir bulan periode penyampaian Laporan. 18ii (2) Khusus untuk laporan proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan sampai dengan 2 (dua) Hari Kerja setelah hari Jumat. (3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LKPBU. Bagian Keempat Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Offline Pasal 11 (1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan secara Offline. (2) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis pada batas waktu penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline kepada Bank Indonesia. (3) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis yang dialami yang ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang pada hari terjadinya gangguan teknis kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 19ii (4) Bank Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia paling lambat pukul 10.00 waktu setempat pada Hari Kerja berikutnya. (5) Dalam hal terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia, Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis dan/atau menggunakan sarana lainnya kepada Bank Pelapor. (6) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan pada Hari Kerja berikutnya secara Offline. (7) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan karena keadaan memaksa (force majeure) wajib segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang kepada Bank Indonesia dengan alamat: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat, 20ii bagi Bank Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB VI TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 12 (1) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. (2) Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan atau form header setelah batas waktu penyampaian Laporan atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap form. Pasal 13 Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan setelah batas waktu penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 namun masih dalam periode Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. Pasal 14 Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan melebihi periode Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 21ii dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. Pasal 15 Selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan/atau Pasal 14, Bank Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal Bank Pelapor belum menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 sampai periode penyampaian Laporan berikutnya. Pasal 16 Bank Pelapor yang tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7) dikenakan sanksi teguran tertulis. Pasal 17 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebet rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. BAB VII PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI Pasal 18 Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan mengenai Laporan, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA 22ii Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-131 atau melalui surat elektronik dengan alamat [email protected]. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/1/DSta tanggal 26 Januari 2015 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum; dan c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/26/DSta tanggal 22 November 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/31/DPNP tanggal 31 Oktober 2012 perihal Laporan Kantor Pusat Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2018. 23ii Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD MIRZA ADITYASWARA i PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/20/PADG/2018 TENTANG LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM I. UMUM Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Sistem LKPBU untuk menghasilkan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan kandungan informasi yang dilaporkan serta penyempurnaan sistem dan tata cara penyampaian Laporan. Terkait dengan perluasan cakupan kandungan informasi tersebut perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis Laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. 2ii Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Contoh 1: Bank Pelapor X melakukan penggabungan dengan Bank Pelapor Y menjadi Bank Pelapor X yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2019. Dalam hal ini, kewajiban pelaporan bulanan dilakukan sebagai berikut: a. Bank Pelapor X dan Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan pada bulan Juli 2019 yang berisi data bulan Juni 2019; b. Bank Pelapor X menyampaikan Laporan pada bulan Agustus 2019 yang berisi data bulan Juli 2019 dari Bank Pelapor X sebelum penggabungan dan dari Bank Pelapor X hasil penggabungan. c. Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan pada bulan Agustus 2019 yang berisi data tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2019. Contoh 2: Bank Pelapor X melakukan penggabungan dengan Bank Pelapor Y menjadi Bank Pelapor X yang mulai operasional pada tanggal 22 Juli 2019. Dalam hal ini kewajiban pelaporan triwulanan dilakukan sebagai berikut: a. Bank Pelapor X dan Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan pada bulan Juli 2019 yang berisi data triwulan II 2019 (akumulasi data bulan April, Mei, Juni 2019); b. Bank Pelapor X menyampaikan Laporan triwulan III 2019 pada bulan Oktober 2019 yang berisi data bulan Juli 2019 3ii dari Bank Pelapor X sebelum penggabungan dan dari Bank Pelapor X hasil penggabungan yang diakumulasikan dengan data bulan Agustus dan September 2019. c. Bank Pelapor Y menyampaikan Laporan triwulan III 2019 pada bulan Oktober 2019 yang berisi data tanggal 1 sampai dengan 21 Juli 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Contoh: Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 6 sampai dengan tanggal 10 Agustus 2018 disampaikan pada hari Jumat tanggal 3 Agustus 2018. Huruf b Contoh: Laporan proyeksi arus kas periode tanggal 20 sampai dengan tanggal 24 Agustus 2018 yang seharusnya disampaikan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 2018 menjadi disampaikan pada hari Kamis tanggal 16 Agustus 2018, karena tanggal 17 Agustus 2018 merupakan hari libur. Ayat (2) Huruf a Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kegiatan kustodian bulan Agustus 2018 disampaikan paling lambat pada hari Jumat tanggal 7 September 2018. Huruf b Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan publikasi bank bulan Agustus 2018 disampaikan paling lambat pada hari Jumat tanggal 5 Oktober 2018. 4ii Huruf c Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penerbit kartu kredit bulan Desember 2018 disampaikan paling lambat pada hari Selasa tanggal 15 Januari 2019. Ayat (3) Huruf a Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penanganan dan pengaduan nasabah untuk triwulan III tahun 2018 disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2018. Data yang dilaporkan merupakan akumulasi data dari tanggal 1 Juli 2018 sampai dengan tanggal 30 September 2018. Huruf b Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) untuk triwulan III tahun 2018 disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2018. Huruf c Contoh: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan publikasi Bank untuk triwulan III posisi akhir bulan September 2018 disampaikan paling lambat tanggal 15 November 2018. Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan keuangan publikasi Bank untuk triwulan IV posisi akhir bulan Desember 2018 disampaikan paling lambat tanggal 15 April 2019. Ayat (4) Contoh: Laporan, form header dan/atau koreksi Laporan tenaga kerja perbankan untuk tahun 2018 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 15 Februari 2019. 5ii Ayat (5) Contoh 1: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penerbit kartu kredit bulan Agustus 2018 disampaikan paling lambat hari Senin tanggal 17 September 2018, karena tanggal 15 September 2018 merupakan hari libur. Contoh 2: Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan penyelenggara kliring dan/atau penyelesaian akhir (settlement) untuk triwulan II tahun 2018 disampaikan paling lambat hari Senin tanggal 16 Juli 2018, karena tanggal 15 Juli 2018 merupakan hari libur. Pasal 10 Ayat (1) Contoh 1: Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kegiatan kustodian bulan September 2018 secara Online paling lambat 5 (lima) Hari Kerja pada awal bulan Oktober 2018. Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kegiatan kustodian sampai dengan akhir Oktober 2018. Contoh 2: Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bancassurance untuk triwulan III tahun 2018 secara Online paling lambat tanggal 15 Oktober 2018. Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan bancassurance sampai dengan akhir Oktober 2018. Contoh 3: Bank Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tenaga kerja perbankan untuk tahun 2018 secara Online paling lambat tanggal 15 Februari 2019. Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tenaga kerja perbankan sampai dengan akhir Februari 2019. 6ii Ayat (2) Contoh: Bank Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan proyeksi arus kas untuk periode tanggal 8 sampai dengan 12 Oktober 2018 secara Online pada hari Jumat pada tanggal 5 Oktober 2018. Sistem LKPBU secara Online hanya dapat digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan proyeksi arus kas sampai dengan tanggal 9 Oktober 2018. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Pelapor adalah gangguan yang menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia, antara lain karena gangguan pada sistem di internal Bank Pelapor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 5 Oktober 2018 Bank Pelapor X mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online. Bank Pelapor X wajib menyampaikan Laporan, form/header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline paling lambat tanggal 8 Oktober 2018 pukul 10.00 waktu setempat. Ayat (5) Yang dimaksud dengan gangguan teknis di Bank Indonesia adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online dari Bank Pelapor, antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. 7ii Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/20/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> LAPORAN KANTOR PUSAT BANK UMUM </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 1 September 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/26/DSta|SE-BI/2016', '14/31/DPNP|SE-BI/2012', '17/1/DSta|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '20/6/PBI/2018', '14/2/PBI/2012', '14/12/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/ 2 /PADG/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penerbitan Surat Berharga Negara oleh Pemerintah yang terdiri atas Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara, Bank Indonesia melaksanakan kegiatan sebagai agen lelang Surat Berharga Negara di pasar perdana; b. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan kedalaman pasar Surat Berharga Negara dan likuiditas pasar uang maka Peserta Lelang dapat melakukan Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non- competitive Bidding) atas Surat Berharga Syariah Negara; dan c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/1/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana. 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan 17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763); dan 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762). MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/1/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bank Indonesia Nomor 3 Pasal 7 (1) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama diri sendiri dan/atau melalui Peserta Lelang lain maka penawaran dapat dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). (2) Dalam hal Peserta Lelang mengajukan penawaran lelang SBSN dalam Rupiah untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan/atau LPS maka penawaran dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: a. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka Pendek dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding); b. pengajuan penawaran pada lelang SBSN Jangka Panjang dilakukan dengan cara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding). 2. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBN dalam Rupiah yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri kepada Peserta Transaksi dan publik melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan oleh Bank Indonesia pada akhir hari pelaksanaan Lelang SBN dalam Rupiah. 4 (2) Bank Indonesia menyampaikan pengumuman hasil Lelang SBN dalam Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman kepada seluruh Peserta Transaksi dan publik memuat: 1. jenis dan seri SBN; 2. mata uang; 3. kuantitas lelang secara keseluruhan; 4. tingkat bunga atau tingkat imbalan untuk Obligasi Negara atau SBSN Jangka Panjang dengan kupon; 5. rata-rata tertimbang tingkat imbalan dan/atau diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price); 6. tanggal jatuh tempo; dan/atau 7. tanggal Setelmen/penerbitan. b. Pengumuman kepada setiap pemenang Lelang SBN dalam Rupiah melalui Sistem BI-ETP paling sedikit memuat: 1. nama pemenang; 2. nilai nominal yang dimenangkan; dan 3. tingkat diskonto, tingkat Imbal Hasil (Yield), atau harga (price). (3) Dalam hal Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko untuk dan atas nama Menteri menetapkan tidak ada pemenang lelang, Bank Indonesia mengumumkan penetapan tersebut melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang digunakan Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 5 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/2/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/1/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN LELANG SURAT BERHARGA NEGARA DI PASAR PERDANA </reg_title> <set_date> 16 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 16 Maret 2017 </effective_date> <changed_reg> '19/1/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '10/13/PBI/2008', '17/19/PBI/2015' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/14/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penguatan kerangka operasional kebijakan moneter guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, perlu dilakukan penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum; b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah; c. bahwa guna menambah ketersediaan likuiditas perbankan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum dalam rupiah bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/30/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; 3 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal 30 November 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 6% (enam persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 3% (tiga persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). 4 2. Ketentuan ayat (4) Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap hari terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 6% (enam persen). (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. (6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku terhadap BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. 3. Ketentuan ayat (2) Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek. 5 (2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 6% (enam persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian sebesar 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta asing. (4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. 4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 4,5% (empat koma lima persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 1,5% (satu koma lima persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). 5. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. 6 (2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. 6. Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. ini dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/14/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Guna penguatan kerangka operasional kebijakan moneter untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM. Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tersebut, kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah. Kebijakan pengaturan GWM tersebut dilakukan dengan menurunkan besaran GWM dalam rupiah BUK yang semula sebesar 6,5% (enam koma lima persen) menjadi 6% (enam persen). Sementara penurunan besaran GWM dalam rupiah untuk BUS dan UUS yang semula 5% (lima persen) menjadi 4,5% (empat koma lima persen). Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œhariโ€ adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 3 Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari. Ayat (4) Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 6% (enam persen) dan memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah, BUK tidak diberikan jasa giro untuk hari tersebut. BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah paling sedikit 5% (lima persen) dari DPK dalam rupiah yang terdiri atas 2% (dua persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dan 3% (tiga persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata untuk masa laporan tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œBUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendekโ€ adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana 4 dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 16 Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. 5 Angka 5 Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œBUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariahโ€ adalah BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œdana pihak ketiga BUSโ€ adalah kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/14/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 26 Juni 2019 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/30/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/3/PBI/2018', '20/30/PADG/2018', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/17/PADG/2019 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing; b. bahwa salah satu dari penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi tersebut yaitu perusahaan pialang pasar uang dan pasar valuta asing; c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi perusahaan pialang pasar uang dan pasar valuta asing dan pelaku pasar di pasar keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6336); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. 2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau pembelian valuta asing terhadap rupiah. 4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar Valuta Asing. 5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing. 7. Perusahaan Pialang Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Perusahaan Pialang adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk menyediakan sarana tertentu bagi kepentingan transaksi pengguna jasa dan memperoleh imbalan atas jasanya. 8. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang ditawarkan oleh Perusahaan Pialang. 9. Instrumen Pasar Uang adalah instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha syariah. 11. Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan, dan/atau kelompok usaha yang memiliki saham Perusahaan Pialang sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Perusahaan Pialang dan mempunyai hak suara atau memiliki saham Perusahan Pialang kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan Perusahaan Pialang dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Perusahaan Pialang baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 13. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 14. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 15. Penggabungan adalah penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 16. Peleburan adalah peleburan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 17. Pengambilalihan adalah pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. 18. Pemisahan adalah pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. BAB II PENGGUNA JASA Pasal 2 (1) Perusahaan Pialang mempertemukan Pengguna Jasa yang melakukan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. (2) Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pelaku Pasar Uang; dan/atau b. Pelaku Pasar Valuta Asing. (3) Salah satu Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa Bank. BAB III PERIZINAN Pasal 3 (1) Pihak yang menyelenggarakan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. (2) Pemberian izin kepada Perusahaan Pialang dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. izin usaha. Pasal 4 Calon Perusahaan Pialang yang mengajukan permohonan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta pendirian dan anggaran dasar bagi pihak yang belum berbadan hukum perseroan terbatas; b. memiliki rancangan kepemilikan saham dan calon pengurus; c. memiliki rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; dan d. memiliki rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik. Pasal 5 Calon Perusahaan Pialang yang mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang dari Bank Indonesia; b. berbadan hukum perseroan terbatas dengan persyaratan kepemilikan tertentu yaitu dimiliki oleh: 1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau 2. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing, dengan batasan kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing paling tinggi sebesar 49% (empat puluh sembilan persen) dari modal disetor; c. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah), yang tidak berasal dari dan/atau tujuan pencucian uang (money laundering); d. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; e. memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi; memiliki sumber daya manusia yang kompeten; f. g. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; h. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif; dan i. memiliki tata kelola yang baik. Pasal 6 (1) Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus memenuhi persyaratan integritas dan aspek keuangan. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut: 1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir; 2. tindak pidana kejahatan yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan/atau 3. tindak pidana lainnya dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi, pencucian uang, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, dan perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir, sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Perusahaan Pialang; c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; d. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Pialang dan/atau Penyelenggara Transaksi lainnya; dan e. tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang saham, pemegang saham pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang. (3) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tidak memiliki kredit macet dan/atau pembiayaan macet sesuai data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 7 (1) Anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e harus memenuhi persyaratan integritas, kompetensi, dan aspek keuangan. (2) Persyaratan integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik, paling sedikit ditunjukkan dengan sikap mematuhi ketentuan yang berlaku, termasuk tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana sebagai berikut: 1. tindak pidana di sektor jasa keuangan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir; 2. tindak pidana kejahatan yaitu tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau yang sejenis KUHP di luar negeri dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan/atau 3. tindak pidana lainnya dengan ancaman hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih, antara lain korupsi, pencucian uang, narkotika/psikotropika, penyelundupan, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, pemalsuan uang, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan, dan perikanan, dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terakhir, sebelum dicalonkan; b. memiliki komitmen terhadap pengembangan Perusahaan Pialang; c. memiliki komitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; dan d. tidak tercantum dalam daftar tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagai pemegang saham, Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, dan/atau pejabat eksekutif, yang ditatausahakan otoritas berwenang. (3) Persyaratan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. untuk anggota Dewan Komisaris: 1) memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; dan 2) memiliki pengalaman paling sedikit 2 (dua) tahun pada perusahaan yang bergerak di sektor pasar keuangan. b. untuk anggota Direksi: 1) memiliki pengetahuan di bidang pasar keuangan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; 2) berpendidikan paling rendah setingkat sarjana strata 1; dan 3) memiliki pengalaman dan keahlian di bidang pasar keuangan paling sedikit 2 (dua) tahun pada jabatan manajerial di perusahaan yang bergerak di sektor pasar keuangan. (4) Persyaratan aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tidak memiliki kredit dan/atau pembiayaan macet sesuai data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang. BAB IV PERSETUJUAN PRINSIP Bagian Kesatu Pengajuan Persetujuan Prinsip Pasal 8 (1) Calon Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang diajukan paling sedikit oleh: a. satu anggota Direksi, dalam hal calon Perusahaan Pialang sudah berbadan hukum perseroan terbatas; atau b. satu calon pemegang saham, dalam hal calon Perusahaan Pialang belum berbadan hukum perseroan terbatas. (3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 9 Surat permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. akta pendirian dan anggaran dasar atau rancangan akta pendirian dan anggaran dasar, sebagai berikut: 1. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dalam hal calon Perusahaan Pialang sudah berbadan hukum perseroan terbatas, atau 2. rancangan akta pendirian dan anggaran dasar, dalam hal calon Perusahaan Pialang belum berbadan hukum perseroan terbatas; b. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan data pemegang saham sebagai berikut: 1. dalam hal pemegang saham merupakan badan hukum: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan b) daftar susunan pemegang saham; 2. dalam hal pemegang saham merupakan perseorangan: a) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; dan c) informasi daftar kredit macet dari otoritas yang berwenang; c. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi, yang masing-masing dilengkapi dengan: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; 2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; 3. informasi daftar kredit macet dari otoritas yang berwenang; dan 4. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling rendah setingkat sarjana strata 1. d. rancangan struktur organisasi dan sumber daya manusia; e. rancangan rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break- even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan minimal transaksi); 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa (subscription fee atau brokerage fee); dan 5) calon Pengguna Jasa; 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik yang mencakup tahapan pengembangan instrumen dan/atau transaksi, serta perluasan layanan dan Pengguna Jasa; f. surat pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham Pengendali atau calon Pemegang Saham Pengendali, yang menyatakan bahwa: 1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a; 2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan Pialang; 3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; 4. tidak menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Perusahaan Pialang dan/atau Penyelenggara Transaksi lainnya; dan 5. modal disetor tidak berasal dari dan/atau untuk tujuan pencucian uang (money laundering), sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan g. surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi atau calon anggota Direksi yang menyatakan bahwa: 1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a; 2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan Pialang; dan 3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik, sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Pemrosesan Persetujuan Prinsip Pasal 10 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada calon Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Calon Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan calon Perusahaan Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon Perusahaan Pialang dianggap telah membatalkan permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang. Pasal 11 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang melalui surat paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 12 (1) Calon Perusahaan Pialang yang telah memperoleh persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pialang sebelum mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang dari Bank Indonesia. (2) Calon Perusahaan Pialang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang paling lama 180 (seratus delapan puluh) Hari Kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon Perusahaan Pialang yang telah mendapat persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang belum mengajukan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang, persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dinyatakan tidak berlaku. BAB V IZIN USAHA Bagian Kesatu Pengajuan Izin Usaha Pasal 13 (1) Calon Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang diajukan paling sedikit oleh satu anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 Surat permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat persetujuan prinsip sebagai Perusahaan Pialang dari Bank Indonesia; b. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; c. fotokopi bukti pemenuhan modal disetor menjadi paling sedikit sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) ke rekening Perusahaan Pialang; d. daftar kepemilikan saham; e. susunan anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi; f. struktur organisasi dan sumber daya manusia, yang paling sedikit memuat nama dealer dan status kepemilikan sertifikasi tresuri; g. jenis, spesifikasi, jumlah unit dan kapasitas sarana pelaksanaan transaksi; h. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break- even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan minimal transaksi); 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa (subscription fee atau brokerage fee); dan 5) calon Pengguna Jasa; 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik yang mencakup tahapan pengembangan instrumen dan/atau transaksi, serta perluasan layanan dan Pengguna Jasa; dan i. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko yang efektif. Bagian Kedua Pemrosesan Izin Usaha Pasal 15 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada calon Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Calon Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan calon Perusahaan Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, calon Perusahaan Pialang dianggap telah membatalkan permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang. Pasal 16 Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi calon Perusahaan Pialang (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional. Pasal 17 (1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Pialang melalui surat paling lama 90 (sembilan puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Bank Indonesia memublikasikan Perusahaan Pialang yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Pialang pada laman resmi Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Perusahaan Pialang harus mulai melakukan kegiatan usaha paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal izin usaha sebagai Perusahaan Pialang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Perusahaan Pialang harus melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha selambat-lambatnya 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Pialang belum melakukan kegiatan usaha, Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin usaha sebagai Perusahaan Pialang. BAB VI PERUBAHAN SARANA, INSTRUMEN, TRANSAKSI, STRUKTUR KEPEMILIKAN, NAMA BADAN USAHA, SUSUNAN DEWAN KOMISARIS, DAN SUSUNAN DIREKSI Bagian Kesatu Perubahan Sarana Pasal 19 Perusahaan Pialang yang akan mengubah layanan dengan mengganti atau menambah sarana pelaksanaan transaksi dengan electronic trading platform (ETP) harus mengikuti proses pemberian izin sebagai penyedia ETP sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai penyedia ETP. Bagian Kedua Perubahan Jenis Instrumen dan Transaksi Pasal 20 (1) Perusahaan Pialang yang akan melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau transaksi menyampaikan surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi diajukan paling sedikit oleh satu anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi tercantum pada Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 21 Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. b. jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana pelaksanaan transaksi; rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama sejak perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) proyeksi laporan keuangan dan analisis break- even point; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi (maksimal transaksi dan minimal transaksi); 4) skema penetapan biaya bagi calon Pengguna Jasa (subscription fee atau brokerage fee); dan 5) calon Pengguna Jasa; dan 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; c. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko yang efektif; dan d. hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem. Pasal 22 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Perusahaan Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Perusahaan Pialang dianggap telah membatalkan permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi. Pasal 23 Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi Perusahaan Pialang (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional. Pasal 24 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi melalui surat paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Bagian Ketiga Perubahan Struktur Kepemilikan, Nama Badan Usaha, serta Susunan Anggota Dewan Komisaris dan Susunan Anggota Direksi Pasal 25 (1) Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan kepada Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan atas: a. struktur kepemilikan badan usaha yang tidak mengakibatkan perubahan pengendalian Perusahaan Pialang; b. nama badan usaha; dan/atau c. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh satu anggota Direksi. (3) Contoh surat permohonan perubahan struktur kepemilikan, nama badan usaha, serta susunan anggota Dewan Komisaris, dan susunan anggota Direksi tercantum pada Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 26 Surat permohonan perubahan struktur kepemilikan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: a. rancangan kepemilikan saham; dan b. dalam hal terdapat calon pemegang saham baru, dilengkapi dengan data calon pemegang saham baru sebagai berikut: 1. dalam hal calon pemegang saham baru merupakan badan hukum: a) fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, berikut perubahan terakhirnya yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang atau telah diterbitkan surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; dan b) daftar susunan pemegang saham; dan 2. dalam hal calon pemegang saham baru merupakan perseorangan: a) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; b) daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; dan c) informasi daftar kredit macet dari otoritas yang berwenang. Pasal 27 Surat permohonan perubahan nama badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan perubahan nama perusahaan. Pasal 28 Surat permohonan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: a. rancangan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi; b. data anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi baru, yang masing-masing dilengkapi dengan: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk atau paspor; 2. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; 3. informasi daftar kredit macet dari otoritas yang berwenang; dan 4. khusus untuk anggota Direksi, fotokopi ijazah paling rendah setingkat sarjana strata 1; dan c. surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi baru yang menyatakan bahwa: 1. tidak pernah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a; 2. berkomitmen untuk mengembangkan Perusahaan Pialang; dan 3. berkomitmen untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik, sebagaimana contoh dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 29 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Perusahaan Pialang untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Perusahaan Pialang melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Perusahaan Pialang belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Perusahaan Pialang dianggap telah membatalkan permohonan perubahan. Pasal 30 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) melalui surat paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 31 Perusahaan Pialang harus melakukan perubahan sebagaimana dimaksud Pasal 25 ayat (1) paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal surat persetujuan diterbitkan oleh Bank Indonesia. BAB VII AKSI KORPORASI Pasal 32 (1) Perusahaan Pialang dapat melakukan aksi korporasi sebagai berikut: a. Penggabungan; b. Peleburan; c. Pengambilalihan; dan/atau d. Pemisahan. (2) Aksi korporasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan hanya dapat dilakukan apabila perusahaan hasil Penggabungan (surviving company), perusahaan hasil Peleburan, dan perusahaan hasil Pengambilalihan merupakan Perusahaan Pialang. (3) Aksi korporasi Pemisahan hanya dapat dilakukan apabila salah satu perusahaan hasil Pemisahan merupakan Perusahaan Pialang. (4) Aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan persyaratan kepemilikan tertentu bagi perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b. Pasal 33 (1) Perusahaan Pialang menyampaikan surat permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia dalam hal akan melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1). (2) Surat permohonan persetujuan aksi korporasi diajukan paling sedikit oleh satu anggota Direksi. (3) Surat permohonan persetujuan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: a. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan aksi korporasi; b. target waktu aksi korporasi; c. rancangan kepemilikan saham yang dilengkapi dengan data pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, dalam hal terdapat perubahan struktur kepemilikan saham akibat aksi korporasi; d. surat pernyataan dari masing-masing Pemegang Saham Pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dalam hal terdapat perubahan Pemegang Saham Pengendali; dan e. susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang dilengkapi dengan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c dan surat pernyataan dari masing-masing anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, dalam hal terdapat perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan anggota Direksi. (4) Contoh surat permohonan persetujuan aksi korporasi tercantum pada Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 34 (1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan aksi korporasi: a. berupa Penggabungan dan Pengambilalihan, Perusahaan Pialang hasil Penggabungan (surviving company) dan Perusahaan Pialang hasil Pengambilalihan tetap dapat menjalankan kegiatan Perusahaan Pialang tanpa mengajukan izin usaha kembali; b. berupa Peleburan, Perusahaan Pialang hasil Peleburan wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk dapat melanjutkan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang; dan c. berupa Pemisahan, sebagai berikut: 1. perusahaan yang melakukan Pemisahan tidak murni tetap dapat menjalankan kegiatan Perusahaan Pialang tanpa mengajukan izin usaha kembali; 2. perusahaan hasil Pemisahan tidak murni wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang; dan 3. perusahaan hasil Pemisahan murni wajib mendapat izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Perusahaan Pialang. Pasal 35 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan persetujuan aksi korporasi melalui surat paling lama 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. Pasal 36 Perusahaan Pialang harus mulai melakukan aksi korporasi paling lambat 60 (enam puluh) Hari Kerja sejak tanggal persetujuan aksi korporasi diterbitkan oleh Bank Indonesia. BAB VIII TATA CARA PENCABUTAN IZIN DI LUAR PENGENAAN SANKSI Pasal 37 Bank Indonesia melakukan pencabutan izin Perusahaan Pialang dalam hal: a. Perusahaan Pialang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; atau b. adanya permintaan pemegang saham Perusahaan Pialang. Bagian Pertama Perusahaan Pialang Dinyatakan Pailit Pasal 38 Dalam hal Perusahaan Pialang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, Bank Indonesia mengeluarkan surat pencabutan izin usaha Perusahaan Pialang. Bagian Kedua Permintaan Pemegang Saham Perusahaan Pialang Pasal 39 (1) Perusahaan Pialang yang akan melakukan pencabutan izin karena adanya permintaan pemegang saham Perusahaan Pialang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b menyampaikan surat permohonan pencabutan izin usaha kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan pencabutan izin usaha diajukan paling sedikit oleh satu anggota direksi. (3) Surat permohonan pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi risalah rapat umum pemegang saham mengenai keputusan penutupan Perusahaan Pialang; b. laporan keuangan terakhir; c. rencana penyelesaian seluruh kewajiban kepada pihak lain antara lain penyelesaian kewajiban kepada kreditur, pembayaran gaji terutang, pembayaran biaya kantor, pajak terutang, dan biaya-biaya lain yang relevan; dan d. surat pernyataan bahwa akan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku termasuk Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas, Undang-Undang yang mengatur mengenai perpajakan dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. (4) Contoh surat permohonan pencabutan izin usaha atas permintaan pemegang saham tercantum pada Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 40 Bank Indonesia menerbitkan surat pencabutan izin usaha Perusahaan Pialang paling lama 60 (enam puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. BAB IX JENIS INSTRUMEN DAN TRANSAKSI Pasal 41 Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan oleh Perusahaan Pialang mencakup: a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan prinsip syariah; b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau valuta asing termasuk dengan prinsip syariah; c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap, forward, dan option valuta asing terhadap rupiah; d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB X KEWAJIBAN Bagian Kesatu Kewajiban Perusahaan Pialang Pasal 42 (1) Perusahaan Pialang wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal: a. terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan oleh Pengguna Jasa; b. terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional; c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai Perusahaan Pialang; d. terjadi perselisihan antara Perusahaan Pialang dengan Pengguna Jasa; e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam dan/atau luar negeri; f. terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah disepakati antara Perusahaan Pialang dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas yang berwenang di dalam dan/atau luar negeri; dan/atau g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah kejadian. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian. Pasal 43 (1) Dalam hal terdapat anggota Dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi yang terbukti tidak dapat menjalankan fungsinya atau berhalangan tetap, Perusahaan Pialang menyampaikan informasi Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan bersamaan dengan surat permohonan persetujuan perubahan susunan anggota Dewan Komisaris dan/atau susunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c. Bagian Kedua Pemeliharan Total Ekuitas Pasal 44 (1) Perusahaan Pialang wajib memelihara total ekuitas paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan total ekuitas yang tercantum dalam laporan keuangan triwulanan dan/atau laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. Pasal 45 (1) Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib memenuhi kekurangan ekuitas tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak bulan total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) wajib menyampaikan rencana penambahan kekurangan total ekuitas kepada Bank Indonesia yang paling sedikit meliputi: a. mekanisme dan tahapan pemenuhan ekuitas; b. sumber dana untuk pemenuhan ekuitas; dan tersebut kepada Bank anggota Direksi c. hal lain yang perlu diinformasikan kepada Bank Indonesia. (3) Rencana penambahan kekurangan total ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sejak total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Bagian Ketiga Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko Pasal 46 Perusahaan Pialang wajib menerapkan prinsip kehati-hatian yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit memuat: a. pedoman etika bisnis sebagai Perusahaan Pialang; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan d. perlindungan konsumen. Pasal 47 (1) Perusahaan Pialang wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif, yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit memuat: a. perencanaan keberlangsungan bisnis; b. rencana pemulihan bencana; dan c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan. (2) Perencanaan keberlangsungan bisnis dan rencana pemulihan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b paling sedikit memenuhi hal-hal sebagai berikut: a. bersifat fleksibel untuk dapat merespons berbagai skenario gangguan yang sifatnya tidak terduga dan spesifk, yaitu gambaran kondisi-kondisi tertentu dan tindakan yang dibutuhkan segera; b. pengujian dan evaluasi rencana keberlangsungan bisnis secara berkala; dan c. kebijakan dan prosedur rencana keberlangsungan bisnis harus didokumentasikan secara memadai dan dikomunikasikan kepada seluruh pegawai. (3) Jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibuktikan dengan adanya kebijakan, standar, prosedur yang paling sedikit meliputi: a. pengukuran kinerja dan perencanaan kapasitas jaringan (performance and capacity planning); b. pengamanan jaringan komunikasi (network access control); c. change management (setting, configuration and testing); d. network management, network logging, network monitoring; e. penggunaan internet, intranet, surat elektronik dan wireless termasuk mekanisme penggunaan jaringan komunikasi; f. prosedur penanganan masalah (problem handling); dan g. fasilitas rekam cadang (back up) dan recovery. Pasal 48 Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa, Perusahaan Pialang wajib memiliki buku pedoman yang paling sedikit memuat: a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi; b. mekanisme penyelesaian sengketa; c. tata cara pendaftaran Pengguna Jasa; d. penghentian layanan kepada Pengguna Jasa; dan e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa. Bagian Keempat Tata Cara Pelaporan Pasal 49 (1) Perusahaan Pialang wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. laporan berkala; dan b. laporan insidental. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. b. c. laporan transaksi bulanan; laporan keuangan triwulanan; dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal 50 (1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a memuat informasi mengenai nilai dan volume transaksi yang dilakukan melalui Perusahaan Pialang dan disampaikan setiap bulan paling lambat 14 (empat belas) Hari Kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b memuat posisi keuangan akhir triwulan dan disampaikan setiap triwulan paling lambat 20 (dua) puluh Hari Kerja setelah berakhirnya triwulan laporan. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf c memuat posisi keuangan tahunan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik dan disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun laporan. (4) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 51 (1) Perusahaan Pialang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara online atau offline. (2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Perusahaan Pialang dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan secara online. (3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) disampaikan secara offline. BAB XI PENGAWASAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengawasan Pasal 52 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Perusahaan Pialang, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib: a. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan; dan b. menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia. Pasal 53 Dalam pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap kepatuhan atas pelaksanaan ketentuan yang berlaku termasuk penyampaian pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. Pasal 54 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b yang meliputi pemeriksaan umum dan/atau pemeriksaan khusus (insidentil) dalam hal diperlukan. (2) Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan yang memuat antara lain tujuan dan objek pemeriksaan. (3) Objek pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. penelitian atas kebenaran dan keakuratan laporan yang disampaikan ke Bank Indonesia; b. kesesuaian implementasi rencana bisnis; c. manajemen (termasuk aspek organisasi, keuangan, dan pengawasan intern) serta sistem dan prosedur kegiatan operasional; dan d. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Pencabutan Izin Berdasarkan Hasil Evaluasi Pasal 55 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin yang diberikan kepada Perusahaan Pialang berdasarkan hasil pengawasan dan informasi dari otoritas lain. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin Perusahaan Pialang berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XII KORESPONDENSI Pasal 56 (1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait perizinan dan pengaturan disampaikan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat Surat elektronik: [email protected] (2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait pelaporan disampaikan kepada: Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia Jl. MH. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat BAB XIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Umum Pasal 57 (1) Dalam hal pihak, Pelaku Pasar, dan/atau Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dengan sanksi administratif berupa teguran tertulis, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada pihak, Pelaku Pasar, dan/atau Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran atas ketentuan yang sama dari Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Perusahaan Pialang. (3) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran dengan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Perusahaan Pialang. (4) Dalam hal Perusahaan Pialang yang terkena sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak melakukan penghentian usaha paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal surat sanksi penghentian sementara, Bank Indonesia mencabut izin usaha Perusahaan Pialang tersebut. Bagian Kedua Sanksi Kewajiban Pemeliharaan Total Ekuitas Pasal 58 (1) Dalam hal Perusahaan Pialang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pemeliharaan total ekuitas, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Perusahaan Pialang yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Perusahaan Pialang dengan total ekuitas di bawah Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak memenuhi ketentuan mengenai pemeliharaan total ekuitas dalam waktu 2 (dua) tahun, Bank Indonesia mencabut izin usaha Perusahaan Pialang tersebut. Bagian Ketiga Sanksi Pemegang Saham Pengendali Pasal 59 (1) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang menjadi Pemegang Saham Pengendali pada Penyelenggara Transaksi lainnya, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Pemegang Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang yang terkena sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal surat teguran tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Perusahaan Pialang dan Penyelenggara Transaksi lainnya tersebut. (3) Dalam hal Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang tidak mengalihkan sahamnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia mencabut izin usaha Perusahaan Pialang dan Penyelenggara Transaksi lainnya tersebut. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/29/DPD tanggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/20/DPM tanggal 2 Agustus 2010 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/29/DPD tanggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 61 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 31 Juli 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/17 /PADG/2019 TENTANG PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING I. UMUM Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Peran Perusahaan Pialang di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing semakin penting untuk mencapai hal tersebut. Sebagai perantara dari transaksi antar Pelaku Pasar, Perusahaan Pialang juga dituntut untuk bekerja secara profesional dan berhati-hati sehingga dapat mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh transaksi Pengguna Jasa dengan Bank: PT. AAA menempatkan order spot beli USD/IDR melalui Perusahaan Pialang PT. XYZ. Selanjutnya, Perusahaan Pialang PT. XYZ memublikasikan order tersebut kepada Pengguna Jasa lainnya. Perusahaan Pialang harus memastikan bahwa lawan transaksi dari PT. AAA adalah berupa Bank. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Perusahaan Pialang. Huruf b Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Perusahaan Pialang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œinfrastruktur yang andal dan amanโ€ antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf e Pemenuhan persyaratan integritas, kompetensi, dan/atau aspek keuangan bagi Pemegang Saham Pengendali, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Direksi dilakukan antara lain melalui penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia, serta mempertimbangkan hasil penilaian otoritas lain dan rekam jejak. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œsumber daya manusia yang kompetenโ€ antara lain telah memiliki sertifikasi tresuri untuk sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri. Huruf g Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan sistem dan aspek lainnya yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Angka 2 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 2009. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Angka 3 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ayat (3) Data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang misalnya data yang dihasilkan oleh sistem layanan informasi keuangan. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Angka 2 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan penipuan pada bulan Mei 2007 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 2009. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Angka 3 Tuan A calon Pemegang Saham Pengendali dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang pada bulan Mei 1997 dan selesai menjalani masa hukuman pada Mei 1999. Tuan A baru dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali Perusahaan Pialang sejak bulan Juni 2019. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Data yang ditatausahakan oleh otoritas yang berwenang misalnya data yang dihasilkan oleh sistem layanan informasi keuangan. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan prinsipโ€ adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian sebagai calon Perusahaan Pialang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas Huruf h Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia. Huruf i Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Contoh melakukan perubahan layanan dengan mengganti atau menambah sarana pelaksanaan transaksi: Perusahaan Pialang yang menyediakan sarana pelaksanaan transaksi berupa Telephone Trading Information System (TTIS) menambah sarana pelaksanaan transaksi berupa ETP untuk transaksi spot. Kombinasi sarana pelaksanaan transaksi berupa TTIS dan ETP tersebut merupakan model bisnis hybrid. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rancangan rencana bisnis menjabarkan mengenai rencana bisnis sebagai Perusahaan Pialang dalam 2 (dua) tahun pertama setelah perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Dalam hal Perusahaan Pialang akan melakukan aksi korporasi dengan Perusahaan Pialang lainnya maka masing-masing Perusahaan Pialang harus mengirimkan surat permohonan aksi korporasi kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œputusan pengadilanโ€ adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Huruf b Cukup jelas. Pasal 38 Yang dimaksud dengan โ€œputusan pengadilanโ€ adalah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Huruf a Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dalam valuta asing. Huruf b Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Huruf c Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow. Huruf d Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga komersial (commercial paper) berbentuk scripless. Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. Huruf e Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas terkait. Pasal 42 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œmanipulasi pasarโ€ antara lain: 1. layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang berlawanan; 2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai tukar; 3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang diinginkan; 4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas di pasar; atau 5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi, dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri. Huruf b Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional antara lain: 1. Perusahaan Pialang melakukan pemeliharaan sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau 2. Perusahaan Pialang mengalami gangguan koneksi dan/atau serangan virus, sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Contoh menyampaikan informasi dalam hal dikenakan sanksi yaitu: Perusahaan Pialang yang merupakan perusahaaan global dan beroperasi di berbagai negara pada suatu waktu diberi sanksi oleh otoritas negara lain maka Perusahaan Pialang wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf f Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain meliputi data transaksi domestik. Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu: Perusahaan Pialang yang merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar domestik kepada otoritas negara lain maka Perusahaan Pialang wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Contoh tidak dapat menjalankan fungsi atau berhalangan tetap antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, cacat mental, dan/atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtotal ekuitasโ€ antara lain modal disetor ditambah dengan saldo laba (rugi) beserta komponen total ekuitas lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Huruf a Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau Bank for International Settlement (BIS). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œperencanaan keberlangsungan bisnisโ€ adalah kebijakan dan prosedur yang memuat rangkaian kegiatan yang terencana dan terkoordinasi mengenai langkah pengurangan risiko, penanganan dampak gangguan atau bencana, dan proses pemulihan agar kegiatan operasional Perusahaan Pialang dan pelayanan kepada Pengguna Jasa tetap dapat berjalan. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrencana pemulihan bencanaโ€ adalah dokumen yang berisikan rencana dan langkah untuk menggantikan dan/atau memulihkan kembali akses data, perangkat keras, dan perangkat lunak yang diperlukan, agar Perusahaan Pialang dapat menjalankan kegiatan operasional yang kritikal setelah adanya gangguan dan/atau bencana. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud โ€œstruktur biayaโ€ adalah biaya-biaya yang dikenakan tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama kepada semua pengguna jasa. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau teknologi informasi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Contoh pengenaan sanksi terkait Pemegang Saham Pengendali yang melakukan pelanggaran yaitu: PT โ€œABCโ€ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โ€œPPUโ€ (Penyelenggara Transaksi berupa Perusahaan Pialang). Kemudian, PT โ€œABCโ€ membeli saham PT โ€œETPโ€ (Penyelenggara Transaksi berupa Penyedia ETP) dan sekaligus menjadi Pemegang Saham Pengendali PT โ€œETPโ€. Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Ayat (2) Contoh pengenaan sanksi terkait tidak melaksanakan pengalihan saham yaitu: PT โ€œABCโ€ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โ€œPPUโ€ dan PT โ€œETPโ€ dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mendapatkan teguran tertulis maka Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara kegiatan PT โ€œPPUโ€ dan PT โ€œETPโ€ selama 6 (enam) bulan. Ayat (3) Contoh pencabutan izin usaha terkait tidak melakukan pengalihan saham yaitu: PT โ€œABCโ€ menjadi Pemegang Saham Pengendali pada PT โ€œPPUโ€ dan PT โ€œETPโ€ dan tidak melakukan pengalihan saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi penghentian sementara maka Bank mencabut izin PT โ€œPPUโ€ dan PT โ€œETPโ€ sebagai Penyelenggara Transaksi. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/17/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUSAHAAN PIALANG PASAR UANG DAN PASAR VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 31 Juli 2019 </set_date> <effective_date> 31 Juli 2019 </effective_date> <replaced_reg> '5/29/DPD|SE-BI/2003', '12/20/DPM|SE-BI/2010' </replaced_reg> <related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/19/PADG/2018 TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan dibutuhkan efisiensi transaksi di pasar uang; b. bahwa efisiensi transaksi di pasar uang perlu ditunjang oleh pasar uang yang likuid dan dalam; c. bahwa pasar uang yang likuid dan dalam membutuhkan suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan; d. bahwa salah satu upaya pembentukan suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan yaitu dengan mengacu pada data transaksi; e. bahwa untuk pembentukan suku bunga pasar uang sebagai acuan yang kredibel untuk digunakan dalam berbagai transaksi keuangan diperlukan peraturan pelaksanaan terkait pembentukan suku bunga; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Indonesia 2 Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6227); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Indonesia Overnight Index Average yang selanjutnya disebut IndONIA adalah indeks suku bunga atas transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antarbank untuk jangka waktu overnight di Indonesia. 2. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah rata-rata dari suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 3. Offer Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang ditawarkan dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjamkan rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 3 4. Bid Rate adalah suku bunga indikasi pinjaman tanpa agunan yang diminta dan dimaksudkan untuk ditransaksikan oleh bank kontributor kepada bank kontributor lain untuk meminjam rupiah untuk jangka waktu tertentu di Indonesia. 5. Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 6. Bank Kontributor adalah Bank yang menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan JIBOR. 7. Asking Bank adalah Bank Kontributor yang meminta quoting bank untuk melakukan transaksi pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan. 8. Quoting Bank adalah Bank Kontributor yang menerima permintaan dari Asking Bank untuk melakukan transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan. 9. Hari Kerja adalah hari Senin sampai dengan hari Jumat dan Kantor Pusat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia โ€“ Real Time Gross Settlement. BAB II INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE Pasal 2 (1) Bank Indonesia menetapkan IndONIA pada setiap Hari Kerja. (2) IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan data transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antar-Bank untuk jangka waktu overnight di Indonesia, yang dilaporkan oleh Bank melalui laporan harian bank umum. (3) Data transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu data transaksi sepanjang Hari Kerja yang dilaporkan 4 sesuai dengan batas waktu pelaporan transaksi pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (4) Penetapan IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menghitung rata-rata tertimbang berdasarkan nilai nominal transaksi (volume-weighted average) atas seluruh data sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Hasil perhitungan IndONIA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibulatkan dalam 5 (lima) digit di belakang koma. Pasal 3 (1) IndONIA dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia setiap Hari Kerja pada pukul 19.30 WIB. (2) Dalam hal terjadi perpanjangan batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), IndONIA dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia 30 (tiga puluh) menit setelah batas waktu pelaporan dimaksud berakhir. BAB III JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE Bagian Kesatu Penetapan Bank Kontributor Pasal 4 (1) Bank Indonesia menetapkan Bank yang menjadi Bank Kontributor. (2) Penetapan Bank sebagai Bank Kontributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. keaktifan Bank dalam melakukan transaksi pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan di pasar uang antar-Bank; b. credit rating; dan 5 c. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Penetapan Bank Kontributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui surat. (4) Bank Indonesia memublikasikan Bank Kontributor yang telah ditetapkan sebagaimana ayat (3) dalam daftar Bank Kontributor pada situs web Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Bank Indonesia melakukan review atas Bank Kontributor yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun. (2) Berdasarkan review sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat melakukan penambahan dan/atau penghentian Bank Kontributor. (3) Penambahan dan/atau Penghentian Bank Kontributor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui surat. Bagian Kedua Kewajiban bagi Bank Kontributor terkait Penyampaian Suku Bunga Indikasi Pasal 6 (1) Bank Kontributor wajib menyampaikan kuotasi suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia, berupa: a. Offer Rate, dan b. Bid Rate, masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan, dengan day count convention aktual/360 (tiga ratus enam puluh) hari. (2) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap Hari Kerja dengan batas waktu penyampaian sebagai berikut: a. mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30 WIB; dan b. waktu koreksi sampai dengan pukul 10.45 WIB. 6 (3) Tata cara penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. (4) Suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan spread antara Offer Rate dan Bid Rate paling lebar: a. 10 (sepuluh) basis points untuk jangka waktu 1 (satu) minggu; dan b. 20 (dua puluh) basis points untuk jangka waktu 1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, dan 12 (dua belas) bulan. Pasal 7 (1) Bank Kontributor menetapkan kuotasi suku bunga indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) menggunakan data input dengan jenjang sebagai berikut: a. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan oleh Bank Kontributor pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); b. data kuotasi suku bunga transaksi pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dapat dieksekusi pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); c. data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah di pasar uang lain yang dilakukan oleh Bank Kontributor dan/atau data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah di pasar uang lain yang dapat dieksekusi, pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); dan d. penilaian profesional (expert judgement). 7 (2) Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian atas data input sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data suku bunga transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: 1. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian data input dengan mempertimbangkan counterparty guna memperhitungkan risiko kredit sehingga data suku bunga transaksi yang digunakan lebih sesuai dengan definisi JIBOR; dan/atau 2. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian sehingga data suku bunga transaksi yang digunakan lebih mencerminkan kondisi terkini dalam hal terjadi volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. b. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian sehingga data kuotasi suku bunga transaksi yang digunakan lebih mencerminkan kondisi terkini dalam hal terjadi volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. c. dalam hal Bank Kontributor menggunakan data suku bunga transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c: 1. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian data input dengan mempertimbangkan counterparty dan suku bunga akibat perbedaan risiko kredit dengan suku bunga pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan sehingga data suku bunga yang digunakan lebih sesuai dengan definisi JIBOR; dan/atau 2. Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian sehingga data suku bunga transaksi yang digunakan lebih mencerminkan kondisi terkini 8 dalam hal terjadi volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. (3) Penggunaan jenjang data input sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; b. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; c. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan d. dalam hal tidak terdapat data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c maka penggunaan jenjang data input harus menggunakan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. (4) Nilai yang didapat dari penerapan jenjang data input sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) menjadi nilai dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi oleh Bank Kontributor dengan ketentuan: a. menjadi batas atas Bid Rate; dan b. menjadi batas bawah Offer Rate. Bagian Ketiga Penetapan Jakarta Interbank Offered Rate Pasal 8 (1) Bank Indonesia menetapkan JIBOR berdasarkan data kuotasi suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Bank Kontributor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Penetapan JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menghitung rata-rata sederhana (simple average), setelah mengeluarkan 15% (lima belas persen) 9 data Offer Rate tertinggi dan 15% (lima belas persen) data Offer Rate terendah atas seluruh data sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Hasil perhitungan JIBOR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibulatkan dalam 5 (lima) digit di belakang koma. Pasal 9 (1) JIBOR dipublikasikan pada situs web Bank Indonesia setiap Hari Kerja pada pukul 11.00 WIB. (2) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mencakup kuotasi suku bunga indikasi individual Bank Kontributor yakni Offer Rate dan Bid Rate. Bagian Keempat Kewajiban Pemenuhan Permintaan Transaksi Pasal 10 (1) Asking Bank dapat meminta Quoting Bank untuk: a. meminjam rupiah dari Asking Bank; atau b. meminjamkan rupiah kepada Asking Bank, pada tingkat suku bunga sesuai dengan suku bunga indikasi yang disampaikan oleh Quoting Bank. (2) Quoting Bank wajib memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang memenuhi batasan, yaitu: a. permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dalam batas waktu dari pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 11.20 WIB; b. jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama 6 (enam) bulan; c. permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak Rp21.000.000.000,00 (dua puluh satu miliar rupiah), dengan ketentuan bahwa untuk permintaan transaksi dengan jangka waktu 6 (enam) bulan, paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); d. total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank 10 yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp21.000.000.000,00 (dua puluh satu miliar rupiah) per hari, dengan ketentuan bahwa untuk permintaan transaksi dengan jangka waktu 6 (enam) bulan, tidak melebihi Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per hari; dan e. ketersediaan dana dan batasan credit limit dari Quoting Bank kepada Asking Bank. (3) Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Asking Bank menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia yang ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Gedung C Lantai 5 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal penolakan. Bagian Kelima Kewajiban terkait Penatausahaan, Pedoman Internal, dan Administrasi Lainnya Pasal 11 (1) Bank Kontributor wajib menatausahakan data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (2) Data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. data transaksi pasar uang; dan b. kertas kerja, dalam hal digunakan oleh Bank Kontributor, 11 yang digunakan dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (3) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk: a. softcopy; dan/atau b. hardcopy. (4) Data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditatausahakan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 12 (1) Bank Kontributor wajib memiliki pedoman internal mengenai penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (2) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kebijakan dan prosedur yang digunakan oleh Bank Kontributor dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (3) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. prosedur penetapan kuotasi suku bunga indikasi yang mengacu pada jenjang data input dan penyampaian kuotasi suku bunga indikasi; b. informasi terkait unit kerja dan/atau jabatan yang bertugas dan bertanggung jawab serta peran dan tanggung jawabnya dalam penetapan dan penyampaian kuotasi suku bunga indikasi, termasuk didalamnya terkait fungsi validasi dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi; dan c. penatausahaan data, informasi, dan hal yang berkaitan dengan proses penetapan kuotasi suku bunga indikasi. (4) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui dan ditandatangani oleh pejabat paling rendah setingkat direktur. (5) Pedoman internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus di-review secara berkala. 12 Pasal 13 (1) Bank Kontributor wajib menyampaikan surat pernyataan bahwa Bank Kontributor akan menaati ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Indonesia overnight index average dan Jakarta interbank offered rate kepada Bank Indonesia. (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat paling rendah setingkat direktur. (3) Format surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 (1) Pedoman internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus disampaikan kepada Bank Indonesia dengan ditujukan kepada: Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia Gedung D Lantai 8 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Pedoman internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada tanggal 31 Maret di tahun mulai berlaku efektifnya status Bank sebagai Bank Kontributor. BAB IV TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 15 (1) Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank sebagaimana dimaksud 13 dalam Pasal 10 ayat (2), Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: a. berdasarkan informasi mengenai penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Bank Indonesia meminta Quoting Bank untuk memberikan alasan penolakan transaksi disertai dengan bukti pendukung. b. Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap informasi mengenai penolakan yang diterima dari Asking Bank dan alasan penolakan transaksi serta bukti pendukung dari Quoting Bank. c. Dalam melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melibatkan asosiasi di pasar uang dan/atau perbankan. d. Dalam hal menurut penelitian Bank Indonesia Quoting Bank tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak permintaan transaksi (deal) dari Asking Bank, Bank Indonesia memberikan sanksi berupa teguran tertulis kepada Quoting Bank. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 16 Bank yang telah menjadi Bank Kontributor sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap tunduk pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/14/DPPK tanggal 25 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank, sampai dengan tanggal 1 Januari 2019. 14 BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/14/DPPK tanggal 25 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 2 Januari 2019, kecuali ketentuan terkait penetapan Bank Kontributor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 24 Juli 2018. Pasal 18 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DODY BUDI WALUYO 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/19/PADG/2018 TENTANG INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE I. UMUM Benchmark rate pasar uang berperan penting dalam mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan yaitu dengan meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang. Adanya benchmark rate pasar uang yang digunakan bersama dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan dengan mendorong standardisasi penggunaan suku bunga acuan pada surat utang dan/atau pinjaman dengan suku bunga mengambang, derivatif suku bunga rupiah, dan untuk valuasi instrumen keuangan. Di Indonesia, benchmark rate pasar uang dituangkan dalam bentuk IndONIA dan JIBOR. Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia. IndONIA ditetapkan berdasarkan data transaksi di pasar uang antarbank sehingga memiliki kredibilitas yang tinggi. Guna memperkuat kredibilitas JIBOR yang berbasis kuotasi, penguatan lebih lanjut dilakukan melalui penerapan jenjang data input dalam penetapan kuotasi JIBOR, yang diharapkan dapat menciptakan pembentukan JIBOR yang lebih transparan dan sejalan dengan pergerakan suku bunga di pasar uang. 2 Pengaturan IndONIA dan JIBOR bertujuan untuk mendukung agar proses penetapan IndONIA dan JIBOR dilakukan secara terpercaya dan akurat guna menjaga integritas dan kredibilitas dari benchmark rate pasar uang. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate. Implementasi ketentuan tersebut dituangkan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi Bank Kontributor dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi sekaligus menyediakan informasi yang transparan bagi publik pada umumnya dan pelaku pasar pada khususnya terkait pembentukan IndONIA dan JIBOR sebagai benchmark rate pasar uang. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh penyebab perpanjangan batas waktu pelaporan laporan harian bank umum yaitu gangguan teknis atau gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Review Bank Indonesia dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu. 3 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Data input menggunakan data suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan jangka waktu yang sama dengan jangka waktu JIBOR. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€˜kuotasi suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dapat dieksekusiโ€™ adalah kuotasi yang diberikan oleh suatu Bank, baik secara langsung maupun melalui pialang pasar uang, yang menjadi tingkat suku bunga transaksi pinjam- meminjamkan rupiah jika terdapat permintaan transaksi dari Bank lain. Kuotasi dimaksud dapat berupa kuotasi yang didapat oleh Bank Kontributor dari Bank lain, baik secara langsung maupun melalui pialang pasar uang, dan/atau kuotasi yang diberikan oleh Bank Kontributor kepada Bank lain, baik secara langsung maupun melalui pialang pasar uang. Data input menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan jangka waktu yang sama dengan jangka waktu JIBOR. Bank Kontributor dapat menetapkan aturan penggunaan data kuotasi pada pedoman internal. Contoh: Bank Kontributor menetapkan bahwa data kuotasi suku bunga transaksi pinjam-meminjamkan rupiah yang dapat dieksekusi digunakan apabila terdapat data kuotasi dari lebih dari 1 (satu) pialang pasar uang dan/atau Bank lain. 4 Huruf c Yang termasuk dalam transaksi pinjam-meminjamkan rupiah di pasar uang lain antara lain: 1) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan agunan (secured) seperti transaksi repurchase agreement (repo); 2) transaksi perdagangan instrumen pasar uang yaitu di pasar primer dan/atau pasar sekunder; dan 3) transaksi foreign exchange swap (FX swap). Yang dimaksud dengan โ€˜instrumen pasar uangโ€™ adalah instrumen pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang, tidak termasuk instrumen pasar uang yang berdasarkan prinsip syariah. Data input menggunakan data suku bunga transaksi dan/atau kuotasi suku bunga transaksi pinjam- meminjamkan rupiah di pasar uang lain dengan jangka waktu yang sama dengan jangka waktu JIBOR. Bank Kontributor dapat menetapkan aturan penggunaan data pasar uang lain pada pedoman internal. Contoh: Bank Kontributor menetapkan bahwa data di pasar uang lain yang digunakan hanya terbatas pada data transaksi repurchase agreement (repo) dan transaksi instrumen operasi moneter. Huruf d Penilaian profesional dapat dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) data suku bunga transaksi atau kuotasi suku bunga transaksi dengan jangka waktu yang berbeda dengan jangka waktu JIBOR; 2) data suku bunga transaksi historis; 3) ekspektasi suku bunga ke depan; dan/atau 4) pertimbangan lainnya. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor 5 melakukan transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan sebagai berikut: a) 3 (tiga) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dilakukan dengan Bank Kontributor lain; dan b) 2 (dua) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dilakukan dengan Bank selain Bank Kontributor, jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terdapat perbedaan risiko kredit yang signifikan antara transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan yang dilakukan dengan Bank Kontributor lain dan yang dilakukan dengan Bank selain Bank Kontributor maka Bank Kontributor dapat hanya menggunakan 3 (tiga) data transaksi pinjam-meminjamkan rupiah dengan Bank Kontributor lain. Angka 2 Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data transaksi yang dilakukan dengan waktu terdekat dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor melakukan transaksi pinjam-meminjamkan rupiah sebagai berikut: a) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dengan suku bunga 5% pada pukul 08.30 WIB; b) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dengan suku bunga 6% pada pukul 09.30 WIB; dan c) transaksi pinjam-meminjamkan rupiah tanpa agunan dengan suku bunga 7% pada pukul 10.00 WIB, 6 jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi maka Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data transaksi yang dilakukan pada pukul 10.00 WIB sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar mencerminkan kondisi terkini. Bank Kontributor juga dapat memutuskan untuk tidak menggunakan seluruh data transaksi tersebut dan menggunakan data input pada jenjang berikutnya. Huruf b Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi yang dilakukan dengan waktu terdekat dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor mendapat kuotasi suku bunga transaksi pinjam- meminjamkan rupiah sebagai berikut: a) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 5% pada pukul 08.30 WIB; b) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 6% pada pukul 09.30 WIB; dan c) kuotasi suku bunga transaksi dengan suku bunga 7% pada pukul 10.00 WIB, jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi maka Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data kuotasi suku bunga transaksi yang didapat pada pukul 10.00 WIB sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar mencerminkan kondisi terkini. Bank Kontributor juga dapat memutuskan untuk tidak menggunakan seluruh data kuotasi suku bunga transaksi tersebut dan menggunakan data input pada jenjang berikutnya. 7 Huruf c Angka 1 Contoh: a) pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor melakukan transaksi sertifikat deposito sebagai berikut: 1) 3 (tiga) transaksi sertifikat deposito yang diterbitkan oleh Bank dengan credit rating AAA; dan 2) 2 (dua) transaksi sertifikat deposito yang diterbitkan oleh Bank dengan credit rating A, jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terdapat perbedaan risiko kredit yang signifikan antara sertifikat deposito yang diterbitkan oleh Bank dengan credit rating AAA dan yang diterbitkan oleh Bank dengan credit rating A maka Bank Kontributor dapat hanya menggunakan 3 (tiga) data transaksi sertifikat deposito yang diterbitkan oleh Bank dengan credit rating AAA. b) jika Bank Kontributor menggunakan data suku bunga transaksi repurchase agreement (repo) sebagai data input, Bank Kontributor dapat melakukan penyesuaian dengan menambahkan credit spread sehingga tingkat suku bunga akan mencerminkan risiko kredit transaksi pinjam- meminjamkan rupiah tanpa agunan sebagaimana definisi JIBOR. Credit spread ditetapkan Bank Kontributor mempertimbangkan kondisi pasar yang terjadi pada saat itu. Angka 2 Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data transaksi yang dilakukan dengan waktu terdekat dengan batas waktu penyampaian kuotasi suku bunga indikasi sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi jika dinilai terjadi kondisi pasar 8 uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi. Contoh: pada hari penyampaian suku bunga indikasi sebelum batas waktu penyampaian, Bank Kontributor melakukan transaksi repurchase agreement (repo) sebagai berikut: a) transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku bunga 5% pada pukul 08.30 WIB; b) transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku bunga 6% pada pukul 09.30 WIB; dan c) transaksi repurchase agreement (repo) dengan suku bunga 7% pada pukul 10.00 WIB, jika Bank Kontributor menilai bahwa pada saat itu terjadi kondisi pasar uang dengan volatilitas suku bunga intrahari yang tinggi maka Bank Kontributor dapat hanya menggunakan data transaksi yang dilakukan pada pukul 10.00 WIB sebagai data input dalam penetapan kuotasi suku bunga indikasi agar mencerminkan kondisi terkini. Bank Kontributor juga dapat memutuskan untuk tidak menggunakan seluruh data transaksi tersebut dan menggunakan data input pada jenjang berikutnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Bank Kontributor menetapkan kuotasi suku bunga indikasi untuk jangka waktu 1 (satu) bulan dengan menggunakan jenjang data input dan didapat angka 5,00% (lima persen). Dengan demikian, kuotasi suku bunga indikasi untuk jangka waktu 1 (satu) bulan yang disampaikan oleh Bank Kontributor adalah: a. Bid Rate paling tinggi sebesar 5,00% (lima persen); dan b. Offer Rate paling rendah sebesar 5,00% (lima persen). Sesuai dengan Pasal 6 ayat (4), batasan spread antara Offer Rate dan Bid Rate untuk tenor 1 (satu) bulan yaitu sebesar 20 (dua puluh) basis points. 9 Dalam hal Bank Kontributor berada dalam posisi kekurangan (short) likuiditas, Bank Kontributor akan cenderung untuk meningkatkan Offer Rate untuk mengurangi kemungkinan permintaan untuk meminjamkan rupiah dari Bank Kontributor lain. Kuotasi suku bunga indikasi paling tinggi yang dapat disampaikan oleh Bank Kontributor adalah Bid Rate sebesar 5,00% (lima persen) sesuai dengan Bid Rate tertinggi yang diperkenankan dan Offer Rate paling tinggi sebesar 5,20% (lima koma dua puluh persen) sesuai dengan batasan spread. Dalam hal Bank Kontributor berada dalam posisi kelebihan (long) likuiditas, Bank Kontributor akan cenderung untuk menurunkan Bid Rate untuk mengurangi kemungkinan permintaan untuk meminjam rupiah dari Bank Kontributor lain. Kuotasi suku bunga indikasi paling rendah yang dapat disampaikan oleh Bank Kontributor adalah Offer Rate sebesar 5,00% (lima persen) sesuai dengan Offer Rate terendah yang diperkenankan dan Bid Rate paling rendah sebesar 4,80% (empat koma delapan puluh persen) sesuai dengan batasan spread. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 10 Ayat (3) Huruf a Penatausahaan dalam bentuk softcopy termasuk data yang tersimpan dalam sistem tresuri atau sistem lainnya yang dimiliki dan/atau digunakan oleh Bank Kontributor. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Mulai berlaku efektifnya status Bank sebagai Bank Kontributor tercantum dalam surat Bank Indonesia mengenai penetapan Bank sebagai Bank Kontributor. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/19/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> INDONESIA OVERNIGHT INDEX AVERAGE DAN JAKARTA INTERBANK OFFERED RATE </reg_title> <set_date> 27 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 27 Agustus 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/14/DPPK|SE-BI/2016', '17/6/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '20/7/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 24 /PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, perlu didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing untuk transaksi domestic non-deliverable forward; b. bahwa dengan adanya penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur tata cara pelaksanaan lelang operasi pasar terbuka valuta asing; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6341); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 Tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/6/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 Tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur: a. Nomor 20/29/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; b. Nomor 20/35/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 3 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; c. Nomor 21/6/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 128 diubah sehingga Pasal 128 berbunyi sebagai berikut: Pasal 128 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. tingkat bunga; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar 4 USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu persen). 2. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 154 diubah sehingga Pasal 154 berbunyi sebagai berikut: Pasal 154 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. premi swap sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. premi swap; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar 5 USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan paling banyak sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran premi swap paling sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah). 3. Ketentuan huruf d Pasal 184H dihapus dan huruf g Pasal 184H diubah sehingga Pasal 184H berbunyi sebagai berikut: Pasal 184H Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. dihapus e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; f. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi DNDF; dan/atau g. informasi lainnya apabila diperlukan. 4. Ketentuan Pasal 184I diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 184I (1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang 6 dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. kurs DNDF sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF. (2) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; b. kurs DNDF; dan c. nama Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF. 5. Ketentuan Pasal 184J diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 184J (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184I, kecuali: a. bagi Peserta OPT Konvensional tidak dapat melakukan koreksi terhadap jangka waktu; dan b. bagi Lembaga Perantara tidak dapat melakukan koreksi terhadap nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (2) dan ayat (3). 7 6. Ketentuan Pasal 184N dihapus. 7. Ketentuan Pasal 184P diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 184P Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi DNDF secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. jangka waktu; 2. nominal lelang Transaksi DNDF yang dimenangkan; 3. kurs DNDF yang dimenangkan; 4. tanggal setelmen (tanggal valuta); 5. tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam kontrak (fixing date); dan/atau 6. informasi lainnya apabila diperlukan; b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa: 1. nilai nominal Transaksi DNDF yang dimenangkan; 2. Kurs DNDF per jangka waktu, apabila Transaksi DNDF dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang (weighted average) kurs DNDF per jangka waktu, apabila Transaksi DNDF dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan 4. informasi lainnya apabila diperlukan. 8 8. Ketentuan Pasal 184S diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 184S (1) Berdasarkan hasil penetapan pemenang Transaksi DNDF secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184M dan Transaksi DNDF secara nonlelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184Q: a. Bank Indonesia menyampaikan informasi Transaksi DNDF kepada pemenang Transaksi DNDF melalui SWIFT Message Type (MT) 300 dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. pemenang Transaksi DNDF menyampaikan informasi Transaksi DNDF melalui SWIFT Message Type (MT) 300 dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Jasa Perbankan, Perizinan dan Operasional Tresuri. (2) Pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184R ayat (2): a. Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada pemenang Transaksi DNDF melalui SWIFT Message Type (MT) 300 dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. pemenang Transaksi DNDF menyampaikan informasi melalui SWIFT Message Type (MT) 300 dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Jasa Perbankan, Perizinan dan Operasional Tresuri. 9 9. Ketentuan ayat (1) Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 255 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal; dan b. nama Peserta OPT Syariah, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Syariah, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. ini dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/24/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan operasi moneter perlu didukung oleh sistem lelang operasi moneter valuta asing yang lebih efisien melalui penyempurnaan sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing untuk Transaksi DNDF. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 128 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 154 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 184H Cukup jelas. Angka 4 Pasal 184I Cukup jelas. Angka 5 Pasal 184J Cukup jelas. Angka 6 Pasal 184N Dihapus. Angka 7 Pasal 184P Cukup jelas. Angka 8 Pasal 184S Ayat (1) Huruf a Informasi Transaksi DNDF antara lain memuat nominal, kurs DNDF, fixing date, dan tanggal setelmen/tanggal valuta. Huruf b Informasi Transaksi DNDF antara lain memuat nominal, kurs DNDF, fixing date, dan tanggal setelmen/tanggal valuta. 3 Ayat (2) Huruf a Informasi yang disampaikan oleh Bank Indonesia antara lain memuat nominal, kurs JISDOR, dan tanggal setelmen/tanggal valuta. Huruf b Informasi yang disampaikan oleh pemenang Transaksi DNDF antara lain memuat nominal, kurs JISDOR, dan tanggal setelmen/tanggal valuta. Angka 9 Pasal 255 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/24/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 17 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/29/PADG/2018', '20/35/PADG/2018', '21/6/PADG/2019' </extension_of> <related_reg> '21/6/PADG/2019', '20/5/PBI/2018', '21/6/PBI/2019', '20/6/PADG/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperlukan pengembangan sistem pelaporan harian bank guna memenuhi kebutuhan informasi untuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; c. bahwa untuk menyediakan informasi yang lengkap, komprehensif, dan berkualitas diperlukan pedoman bagi bank dalam menyusun dan menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan harian bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Harian Bank Umum; 2ii Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4307) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/5/PBI/2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5700); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4467) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/7/PBI/2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5523); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/4/PBI/2015 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5693); 5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/2/PBI/2016 tentang Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5850); 6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5926); 3ii 7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5927); 8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6127); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Pelapor adalah kantor Bank yang meliputi kantor pusat Bank yang berbadan hukum Indonesia, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan unit usaha syariah. 3. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia. 4ii 4. Pelanggan LHBU adalah pihak selain Bank Pelapor, yang dapat memperoleh hasil olahan LHBU sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 5. Perjanjian Penggunaan LHBU adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan Pelanggan LHBU mengenai penggunaan LHBU dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 6. Penyampaian Laporan Secara Online yang selanjutnya disebut Online adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan mengirim rekaman data secara langsung melalui jaringan komunikasi data kepada Bank Indonesia. 7. Penyampaian Laporan Secara Offline, yang selanjutnya disebut Offline adalah penyampaian laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 8. Pasar Uang Antarbank yang selanjutnya disebut PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dalam rupiah dan/atau valuta asing antarbank konvensional dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun. 9. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 10. Hari Kerja adalah hari kerja kantor pusat Bank Indonesia menyelenggarakan kegiatan kliring dan sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement. 5ii BAB II BANK PELAPOR DAN RUANG LINGKUP DATA LHBU Bagian Kesatu Bank Pelapor LHBU Pasal 2 Bank Pelapor LHBU terdiri atas: a. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional; b. kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah; c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan d. unit usaha syariah. Bagian Kedua Ruang Lingkup Data LHBU Pasal 3 (1) Bank Pelapor wajib menyusun LHBU. (2) LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi data transaksional dan data nontransaksional. (3) Data transaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data: a. PUAB; b. PUAS; c. perdagangan surat berharga di pasar sekunder; dan d. transaksi valuta asing. (4) Data PUAB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi data: a. PUAB rupiah yang terdiri dari: 1. PUAB pagi rupiah; dan 2. PUAB sore rupiah, b. PUAB valuta asing; c. PUAB luar negeri; dan d. deposit on call. 6ii (5) Data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d meliputi data: a. transaksi tod, tom, dan spot; b. transaksi derivatif berupa forward, swap, dan option; c. transaksi derivatif berupa cross currency swap dan interest rate swap; dan d. transaksi derivatif lainnya. (6) Data nontransaksional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; b. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; h. suku bunga kredit; i. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan; j. suku bunga penawaran; k. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan l. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing. (7) Data posisi devisa neto sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d meliputi data: a. posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor- kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan b. posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor- kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri. (8) Data pos-pos tertentu neraca sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e meliputi data: a. posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor- kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan 7ii b. posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor- kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri. (9) Data proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf f meliputi data: a. proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining maturity; dan b. proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral dan rencana pendanaan-penggunaan. Pasal 4 (1) Data PUAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a disusun dalam form 101. (2) Data PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b disusun dalam form 102. (3) Data perdagangan surat berharga di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c disusun dalam form 301. (4) Data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d disusun dalam: a. form 201 untuk data transaksi tod, tom, dan spot; b. form 202 untuk data transaksi forward, swap, dan option; c. form 207 untuk data transaksi cross currency swap dan interest rate swap; dan d. form 203 untuk data transaksi derivatif lainnya. Pasal 5 (1) Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a disusun dalam form 204. (2) Data posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf b disusun dalam form 205. 8ii (3) Data posisi rekapitulasi transaksi derivatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf c disusun dalam form 206. (4) Data posisi devisa neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf d disusun dalam: a. form 401 untuk data posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan b. form 402 untuk data posisi devisa neto gabungan yang mencakup kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri. (5) Data pos-pos tertentu neraca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf e disusun dalam: a. form 403 untuk data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor Bank Pelapor di dalam negeri; dan b. form 404 untuk data posisi pos-pos tertentu dari neraca gabungan kantor Bank Pelapor di dalam negeri dan di luar negeri; (6) Data proyeksi arus kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf f disusun dalam: a. form 405 untuk data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining maturity; dan b. form 406 untuk data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral dan rencana pendanaan- penggunaan. (7) Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g disusun dalam form 604. (8) Data suku bunga kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf h disusun dalam form 602. (9) Data suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf i disusun dalam form 603. (10) Data suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j disusun dalam form 501. 9ii (11) Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf k disusun dalam form 407. (12) Data posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf l disusun dalam form 408. BAB III TATA CARA PENYAMPAIAN LHBU Bagian Kesatu Prosedur Teknis Penyampaian LHBU Pasal 6 (1) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU kepada Bank Indonesia secara lengkap, akurat, benar, dan tepat waktu. (2) Bank Pelapor wajib menyampaikan koreksi LHBU apabila terdapat kesalahan data pada LHBU yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Bank Pelapor wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU kepada Bank Indonesia secara Online. (4) Sebelum menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan pedoman penyusunan dan petunjuk teknis LHBU yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Setelah menyampaikan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor harus memastikan bahwa status data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) telah matching dengan data Bank Pelapor lain sebagai lawan transaksi, melalui laporan absensi LHBU. 10ii Pasal 7 (1) Kewajiban penyampaian LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tidak berlaku dalam hal Bank Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (2) Dalam hal Bank Pelapor melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Pelapor lain, masing-masing Bank Pelapor wajib menyampaikan data LHBU sampai dengan Hari Kerja terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional masing- masing Bank Pelapor. Bagian Kedua Periode Penyampaian LHBU Pasal 8 (1) Penyampaian data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) berikut form header dilakukan segera setelah terjadinya transaksi secara real time setiap Hari Kerja pada tanggal laporan. (2) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. b. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, dan posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a dan huruf b berikut form header dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan posisi akhir pada tanggal laporan. (3) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. posisi rekapitulasi transaksi derivatif, b. posisi devisa neto, c. pos-pos tertentu neraca, d. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank, dan 11ii e. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf c, huruf d, huruf e, huruf k, dan huruf l berikut form header dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan posisi 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal laporan. (4) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah, b. suku bunga kredit, c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, dan d. suku bunga penawaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j berikut form header dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan data riil pada tanggal laporan. (5) Penyampaian data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining maturity sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (9) huruf a berikut form header dilakukan setiap Hari Kerja berdasarkan data: a. posisi pos-pos pada tanggal laporan, kecuali untuk posisi pos kas, dana pihak ketiga, dan kredit yang dilaporkan adalah posisi pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal laporan; b. proyeksi arus kas harian pos-pos setelah tanggal laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender. (6) Penyampaian data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral dan rencana pendanaan- penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (9) huruf b berikut form header setiap Hari Kerja berdasarkan data: a. proyeksi arus kas harian pos-pos setelah tanggal laporan sampai dengan 14 (empat belas) hari kalender; b. proyeksi arus kas harian pos-pos kumulatif terhitung sejak hari kalender ke-15 (lima belas) sampai dengan hari kalender ke-21 (dua puluh satu); dan 12ii c. proyeksi arus kas harian pos-pos kumulatif terhitung sejak hari kalender ke-22 (dua puluh dua) sampai dengan hari kalender ke-28 (dua puluh delapan). Pasal 9 (1) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang berstatus devisa wajib menyampaikan: a. form 101; b. form 102; c. form 201; d. form 202; e. form 203; f. form 204; g. form 205; h. form 206; i. j. form 207; form 301; k. form 401; l. form 402; m. form 403; n. form 404; o. form 405; p. form 406; q. form 407; r. form 602; dan s. form 603. (2) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang berstatus nondevisa wajib menyampaikan: a. form 101; b. form 102; c. form 301; d. form 403; e. form 405; 13ii f. form 406; g. form 407; h. form 602; dan i. form 603. (3) Dalam hal kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang berstatus devisa namun tidak memiliki kantor cabang di luar negeri menyampaikan form 402 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan form 404 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dalam bentuk form header. Pasal 10 (1) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, yang berstatus devisa wajib menyampaikan: a. form 102; b. form 201; c. form 202; d. form 301; e. form 401; f. form 402; g. form 403; h. form 404; i. j. form 405; form 406; k. form 407; dan l. form 604. (2) Kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, yang berstatus nondevisa wajib menyampaikan: a. form 102; b. form 301; c. form 403; d. form 405; e. form 406; f. form 407; dan 14ii g. form 604. (3) Dalam hal kantor pusat dari Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, yang berstatus devisa namun tidak memiliki kantor cabang di luar negeri menyampaikan form 402 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan form 404 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dalam bentuk form header. Pasal 11 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib menyampaikan: a. form 101; b. form 102; c. form 201; d. form 202; e. form 203; f. form 204; g. form 205; h. form 206; i. j. form 207; form 301; k. form 401; l. form 402; m. form 403; n. form 404; o. form 405; p. form 406; q. form 407; r. form 408; s. form 602; dan t. form 603 (2) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib menyampaikan form 402 sebagaimana dimaksud pada 15ii ayat (1) huruf l dan form 404 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dalam bentuk form header: Pasal 12 (1) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, yang berstatus devisa wajib menyampaikan: a. form 102; b. form 201; c. form 202; d. form 301; dan e. form 604. (2) Unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, yang berstatus nondevisa wajib menyampaikan: a. form 102; b. form 301; dan c. form 604. Pasal 13 Bank Pelapor yang ditunjuk oleh Bank Indonesia sebagai Bank kontributor JIBOR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank, wajib menyampaikan form 501 serta form lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 11. Pasal 14 Dalam hal Bank Pelapor tidak memiliki data transaksional dan/atau data nontransaksional, Bank Pelapor wajib menyampaikan form header. Bagian Ketiga Batas Waktu Penyampaian dan Koreksi LHBU Pasal 15 (1) Penyampaian data PUAB pagi rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1 dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. 16ii (2) Penyampaian data PUAB sore rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 2 dimulai dari pukul 12.01 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. (3) Penyampaian data PUAB valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b dan deposit on call sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf d dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. (4) Penyampaian data PUAB luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c dimulai pukul dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. (5) Penyampaian data PUAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan data perdagangan surat berharga di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. (6) Penyampaian data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d dimulai pukul dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. Pasal 16 (1) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. b. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif, d. posisi devisa neto, e. pos-pos tertentu neraca, f. proyeksi arus kas, g. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank, dan h. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. 17ii (2) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; b. suku bunga kredit; dan c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. (3) Penyampaian data suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB. Pasal 17 (1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. PUAB pagi rupiah, b. PUAB sore rupiah, c. PUAB valuta asing, dan d. deposit on call, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1, Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 2, Pasal 3 ayat (4) huruf b, dan Pasal 3 ayat (4) huruf d dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). (2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk PUAB luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. (3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. PUAS, dan b. perdagangan surat berharga di pasar sekunder, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c dilakukan segera setelah diketahui adanya 18ii kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5). (4) Penyampaikan koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. Pasal 18 (1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. posisi devisa neto, b. pos-pos tertentu neraca, dan c. proyeksi arus kas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf d, huruf e, dan huruf f dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah, b. suku bunga kredit, dan c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; b. c. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; posisi rekapitulasi transaksi derivatif; 19ii d. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan e. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a, huruf b, huruf c, huruf k, dan huruf l dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. (4) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j dilakukan paling lambat pukul 09.45 WIB pada Hari Kerja yang sama. Pasal 19 (1) Dalam hal terjadi kesalahan atas jenis dokumen yang disampaikan untuk data transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d, Bank Pelapor wajib meyampaikan koreksi terhadap jenis dokumen dimaksud dengan batas waktu sebagai berikut: a. transaksi tom, spot, forward, swap, option, cross currency swap, interest rate swap, dan derivatif lainnya paling lambat pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi valuta asing tersebut; dan b. transaksi tod paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. (2) Koreksi jenis dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui daftar pesan aplikasi LHBU. 20ii Bagian Keempat Gangguan Teknis Pasal 20 (1) Dalam hal Bank Pelapor mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Online, Bank Pelapor memberitahukan secara lisan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan segera setelah mengalami gangguan sebelum batas waktu laporan dan wajib ditegaskan secara tertulis pada Hari Kerja yang sama. (2) Penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang dan disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (3) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Online karena gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau karena gangguan lainnya pada sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Pelapor maupun di Bank Indonesia wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. 21ii Pasal 21 (1) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk: a. PUAB pagi rupiah, PUAB sore rupiah, PUAB valuta asing, dan deposit on call sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1, huruf a angka 2, huruf b, dan huruf d; b. PUAS dan perdagangan surat berharga di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c; dan c. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah, suku bunga kredit, suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, serta suku bunga tabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i, dilakukan paling lambat 2 (dua) jam setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 16 ayat (2) pada Hari Kerja yang sama. (2) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk: a. PUAB luar negeri; b. transaksi valuta asing; c. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; d. e. f. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; posisi rekapitulasi transaksi derivatif; posisi devisa neto; g. pos-pos tertentu neraca; h. proyeksi arus kas; i. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan j. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c, Pasal 3 ayat (3) huruf d, Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai 22ii dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dilakukan paling lambat pukul 10.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. (3) Penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) untuk suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j, dilakukan paling lambat pukul 09.45 WIB pada Hari Kerja yang sama. Pasal 22 Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan penegasan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU baik secara Online maupun secara Offline. Pasal 23 (1) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Online apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh sistem Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 19. (2) Bank Pelapor dianggap tidak menyampaikan LHBU atau koreksi LHBU secara Offline apabila LHBU dan/atau koreksi LHBU tidak diterima oleh Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pasal 24 (1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Online. (2) Penyampaian secara Online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. PUAB pagi rupiah; b. PUAB sore rupiah; c. PUAB valuta asing; d. deposit on call; dan e. PUAS, 23ii sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a angka 1, huruf a angka 2, huruf b, dan huruf d serta Pasal 3 ayat (3) huruf b dilakukan paling lambat 1 (satu) jam setelah batas waktu penyampaian koreksi secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3) huruf a. (3) Penyampaian secara Online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. PUAB luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf c; b. transaksi valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d; dan c. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing, posisi rekapitulasi transaksi derivatif, posisi devisa neto, pos-pos tertentu neraca, proyeksi arus kas, posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank, dan posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf f serta huruf k dan huruf l, dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 5 (lima) Hari Kerja setelah batas waktu penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan ayat (4) serta Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3). (4) Dalam hal Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Online dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) karena gangguan teknis atau gangguan lainnya, Bank Pelapor tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU dimaksud secara Offline sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). Pasal 25 Bank Pelapor yang tidak menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) 24ii tetap wajib menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU secara Offline. Bagian Kelima Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pasal 26 (1) Bank Pelapor yang tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU karena terjadi keadaan memaksa (force majeure) harus segera memberitahukan secara tertulis disertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat beserta upaya yang dilakukan. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat Bank Pelapor yang berwenang dan disampaikan kepada: a. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, bagi Bank Pelapor yang berada di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia atau yang memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang mewilayahi, bagi Bank Pelapor yang berada di luar wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia. (3) Bank Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU sampai dengan keadaan memaksa (force majeure) dapat teratasi. 25ii BAB IV HASIL OLAHAN DAN PELANGGAN LHBU Pasal 27 (1) Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan/atau Pelanggan LHBU. (2) Hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. informasi yang disediakan oleh LHBU dalam bentuk agregat; dan b. data individual Bank Pelapor. Pasal 28 (1) Bank Pelapor dapat memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dalam bentuk agregat, data individual Bank Pelapor yang bersangkutan, dan data individual tertentu Bank Pelapor lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Guna memperoleh hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Pelapor mendapatkan hak akses terhadap sistem LHBU di Bank Indonesia tanpa dikenakan biaya paling banyak 2 (dua) fasilitas user id untuk Bank devisa dan 1 (satu) fasilitas user id untuk Bank nondevisa. (3) Dalam hal Bank Pelapor bermaksud menambah user id sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Pelapor dapat mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Statistik, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. (4) Bank Indonesia mengenakan biaya kepada Bank Pelapor atas setiap tambahan hak akses terhadap sistem LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 29 (1) Pelanggan LHBU dapat memperoleh hasil olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dalam 26ii bentuk agregat dan data individual tertentu Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal calon Pelanggan LHBU bermaksud menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), calon Pelanggan LHBU dimaksud wajib mengajukan permohonan menjadi Pelanggan LHBU secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan menyampaikan Surat Permohonan sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Permohonan menjadi Pelanggan LHBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Statistik, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta, 10350. Pasal 30 (1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon Pelanggan LHBU mengenai disetujui atau tidak disetujuinya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon Pelanggan LHBU harus menandatangani Perjanjian Penggunaan LHBU dengan Bank Indonesia sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 31 Guna memperoleh informasi hasil olahan LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pelanggan LHBU dikenakan biaya LHBU sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai biaya LHBU. 27ii BAB V PENGAWASAN Pasal 32 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan atas pelaporan LHBU oleh Bank Pelapor. (2) Guna pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia dapat: a. meminta keterangan dan/atau data yang terkait kepada Bank Pelapor; dan/atau b. melakukan pemeriksaan (on site supervision) terhadap Bank Pelapor. BAB VI TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 33 (1) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c secara Online dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (5) atau tidak menyampaikan secara Offline dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 21 ayat (2) huruf a, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (2) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data transaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d secara Online dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) atau tidak menyampaikan secara Offline dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 28ii Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data transaksional yang tidak disampaikan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per hari untuk keseluruhan data transaksional. (3) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan data nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) secara Online dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 atau secara Offline dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c, ayat (2) huruf c sampai dengan huruf j, serta ayat (3), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap data nontransaksional yang tidak disampaikan. (4) Bank Pelapor yang tidak menyampaikan form header secara Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 atau secara Offline dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form header. (5) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c dan Pasal 3 ayat (6) huruf d sampai dengan huruf l, Pasal 21 ayat (1), ayat (2) huruf a dan huruf c sampai dengan huruf j, serta ayat (3) dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap form per hari. (6) Bank Pelapor yang menyampaikan data transaksional dan nontransaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d dan Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 21 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e 29ii dalam batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 secara tidak benar, dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap butir (item) kesalahan dengan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per hari. (7) Dalam hal Bank Pelapor tidak menyampaikan form header dan terdapat transaksi yang wajib disampaikan kepada Bank Indonesia maka Bank Pelapor dikenakan sanksi tidak menyampaikan form header sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan sanksi tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3). Pasal 34 Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Bank Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. Pasal 35 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara mendebit rekening giro rupiah Bank Pelapor pada Bank Indonesia. Pasal 36 Bank Pelapor yang melakukan pelanggaran atas kewajiban penyampaian LHBU dan/atau koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 37 Tata cara pengenaan sanksi terhadap Pelanggan LHBU sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penggunaan LHBU yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 30ii BAB VII PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI Pasal 38 Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan LHBU, Bank Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021- 131 atau melalui surat elektronik: [email protected]. Pasal 39 Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29 ayat (3) dan/atau Pasal 38, Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat atau media lainnya. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 Dengan berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini maka a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/39/DPM tanggal 28 Desember 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/48/DSta tanggal 2 Desember 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/52/DSta tanggal 30 Desember 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; 31ii e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/17/DSta tanggal 22 Oktober 2014 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/5/DSta tanggal 30 Maret 2015 perihal Perubahan Kelima atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum; g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/17/DSta tanggal 27 Juli 2016 perihal Perubahan Keenam atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/3/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Laporan Harian Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 41 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO i PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM I. UMUM Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem Laporan Harian Bank Umum untuk menghasilkan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Terkait dengan perluasan cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. 2i Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œdata transaksionalโ€ adalah data yang dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai counterpart. Yang dimaksud dengan โ€œdata nontransaksionalโ€ adalah data yang bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain, dan/atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. 3ii Huruf l Yang dimaksud dengan โ€œkantor cabang bank asingโ€ adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal ini Bank Indonesia memperoleh informasi Hari Kerja terakhir sebelum tanggal dilakukannya merger atau konsolidasi secara operasional berdasarkan informasi dari bank terkait. Contoh: Apabila pada tanggal 7 Februari 2018, Bank X melakukan merger atau konsolidasi dengan Bank Y maka Bank X dan Bank Y masing-masing wajib menyampaikan LHBU sampai dengan data tanggal 6 Februari 2018. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. 4ii Ayat (2) Data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing yang disampaikan pada tanggal 9 Februari 2018 adalah data posisi akhir tanggal tersebut, yaitu 9 Februari 2018. Ayat (3) Contoh: Data posisi devisa neto yang disampaikan pada tanggal 12 April 2018 adalah data posisi tanggal 10 April 2018. Ayat (4) Contoh: Data suku bunga penawaran yang disampaikan pada tanggal 20 Maret 2018 adalah data riil pada tanggal tersebut, yaitu 20 Maret 2018. Ayat (5) Contoh: Data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan remaining maturity yang disampaikan pada tanggal 1 Maret 2018, terdiri atas: a. posisi pos-pos pada tanggal 1 Maret 2018, kecuali untuk pos kas, dana pihak ketiga, dan kredit yang dilaporkan adalah posisi pada tanggal 28 Februari 2018; dan b. proyeksi arus kas harian pos-pos sejak tanggal 2 Maret 2018 sampai dengan 31 Maret 2018. Ayat (6) Contoh: Data proyeksi arus kas berdasarkan pendekatan behavioral dan rencana pendanaan-penggunaan yang disampaikan pada tanggal 1 Maret 2018, terdiri atas: a. proyeksi tanggal 2 Maret 2018 sampai dengan 15 Maret 2018; b. proyeksi tanggal 16 Maret 2018 sampai dengan 22 Maret 2018 secara kumulatif untuk minggu ketiga; dan c. proyeksi tanggal 23 Maret 2018 sampai dengan 29 Maret 2018 secara kumulatif untuk minggu keempat. 5ii Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 JIBOR (Jakarta InterBank Offered Rate) merupakan suku bunga indikasi penawaran dalam transaksi PUAB di Indonesia yang berasal dari kontributor JIBOR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. Penyampaian โ€œform lainโ€ dilakukan sesuai dengan kelompok Bank Pelapor. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Contoh: Data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. Ayat (2) Contoh: Data PUAB sore rupiah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal 10 April 2018 mulai pukul 12.01 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. 6ii Ayat (3) Contoh: Data PUAB valuta asing pada tanggal 11 April 2018 disampaikan pada tanggal 11 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Ayat (4) Contoh: Data PUAB luar negeri pada tanggal 12 April 2018 disampaikan pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. Ayat (5) Contoh: Data PUAS pada tanggal 16 April 2018 disampaikan pada tanggal 16 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Ayat (6) Contoh: Data transaksi valuta asing pada tanggal 17 April 2018 disampaikan pada tanggal 17 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. Pasal 16 Ayat (1) Contoh: Data posisi devisa neto pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. Ayat (2) Contoh: Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 10 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. 7ii Ayat (3) Contoh: Data suku bunga penawaran pada tanggal 11 April 2018 disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 11 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB. Pasal 17 Ayat (1) Contoh: Koreksi data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. Ayat (2) Contoh: Koreksi data PUAB luar negeri pada tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2018 pukul 16.00 WIB. Ayat (3) Contoh: Koreksi data PUAS pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Ayat (4) Contoh: Koreksi data transaksi valuta asing pada tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2018 pukul 16.00 WIB. Pasal 18 Ayat (1) Contoh: Koreksi data posisi devisa neto tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 11 April 2018 paling lambat pukul 23.59 WIB. 8ii Ayat (2) Contoh: Koreksi data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul 18.00 WIB. Ayat (3) Contoh : Koreksi data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing posisi devisa neto pada tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat pada tanggal 10 April 2018 pukul 16.00 WIB. Koreksi data posisi rekapitulasi transaksi derivatif pada tanggal 10 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 13 April 2018 pukul 16.00 WIB. Ayat (4) Contoh: Koreksi data suku bunga penawaran tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 9 April 2018 pukul 09.45 WIB. Pasal 19 Ayat (1) Contoh: Koreksi jenis dokumen untuk data transaksi valuta asing pada tanggal 9 April 2018 dengan tanggal valuta 11 April 2018, disampaikan paling lambat pada tanggal valuta yaitu 11 April 2018 pukul 16.00 WIB. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. 9ii Pasal 21 Ayat (1) Contoh : Penyampaian Offline data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul 14.00 WIB. Ayat (2) Contoh : Penyampaian Offline posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 13 April 2018 pukul 10.00 WIB Ayat (3) Contoh : Penyampaian Offline data suku bunga penawaran tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 9 April 2018 pukul 09.45 WIB. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh : Data PUAB pagi rupiah pada tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul 13.00 WIB. Ayat (3) Contoh : Data posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 19 April 2018 pukul 16.00 WIB. Ayat (4) Cukup jelas. 10ii Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksa (force majeure)โ€ adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank Pelapor tidak dapat menyampaikan LHBU dan/atau koreksi LHBU, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh penguasa atau pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œdata individual tertentu Bank Pelapor lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesiaโ€ antara lain Data JIBOR, suku bunga deposito, suku bunga tabungan, dan tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œdata individual tertentu Bank Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesiaโ€ antara lain Data JIBOR, 11ii suku bunga deposito, suku bunga tabungan, dan tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Contoh : Pada tanggal 7 Februari 2018, Bank A dan Bank B melakukan: 1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; 2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; 3. PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; dan 4. perdagangan surat berharga di pasar sekunder (form 301) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing- masing data transaksional tersebut, Bank B tidak menyampaikan 28 (dua puluh delapan) transaksi. Atas kesalahan tidak menyampaikan 28 (dua puluh delapan) transaksi tersebut, Bank B dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 28 (dua puluh delapan) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah). 12ii Ayat (2) Contoh: Tanggal 8 Februari 2018, Bank A melakukan: 1. 2. 3. transaksi tod, tom, dan spot (form 201) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; transaksi forward, swap, dan option (form 202) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; dan transaksi derivatif Lainnya (form 203) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi. Sampai dengan batas waktu penyampaian laporan untuk masing- masing data transaksional tersebut, Bank A tidak menyampaikan 24 (dua puluh empat) transaksi. Atas kesalahan tidak menyampaikan 24 (dua puluh empat) transaksi tersebut, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan bukan sebesar 24 (dua puluh empat) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 9 Februari 2018, Bank A tidak menyampaikan 6 (enam) data suku bunga kredit sampai dengan batas waktu pelaporan. Berdasarkan penelitian Bank Indonesia, Bank A pada tanggal tersebut memiliki 6 (enam) data suku bunga kredit. Bank A memiliki data suku bunga kredit secara lengkap namun tidak disampaikan kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 6 (enam) x Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Ayat (4) Contoh : Pada tanggal 6 Februari 2018, Bank A tidak mempunyai data transaksi perdagangan surat berharga di pasar sekunder (form 301), namun Bank A tidak menyampaikan form header dimaksud sampai batas waktu penyampaian form, maka Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 13ii Ayat (5) Contoh : Tanggal 5 Februari 2018, Bank A melakukan 30 (tiga puluh) transaksi PUAB sebagai berikut: 1. PUAB pagi rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; 2. PUAB sore rupiah (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi; dan 3. PUAB valuta asing (form 101) sebanyak 10 (sepuluh) kali transaksi. Berdasarkan hasil penelitian Bank Indonesia, terdapat 42 (empat puluh dua) item data tidak benar untuk form 101 yang disampaikan oleh Bank A. Atas kesalahan data tersebut Bank A dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan sebesar 42 (empat puluh dua) x Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) atau sebesar Rp2.100.000,00 (dua juta seratus ribu rupiah). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. 14ii Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/18/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 28 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date> <replaced_reg> '15/52/DSta|SE-BI/2013', '15/48/DSta|SE-BI/2013', '17/5/DSta|SE-BI/2015', '13/3/DPM|SE-BI/2011', '16/17/DSta|SE-BI/2014', '14/39/DPM|SE-BI/2012', '18/17/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '18/18/PBI/2016', '16/7/PBI/2014', '19/11/PBI/2017', '7/1/PBI/2005', '18/19/PBI/2016', '18/2/PBI/2016', '17/5/PBI/2015', '13/8/PBI/2011', '17/4/PBI/2015', '5/13/PBI/2003' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 18 /PADG/2019 TENTANG IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE UNTUK PEMBAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional, digitalisasi dalam layanan sistem pembayaran perlu dikembangkan dengan tetap menjaga keseimbangan antara inovasi dengan stabilitas dan praktik bisnis yang sehat, serta menjamin kepentingan nasional; b. bahwa peran sistem pembayaran ritel domestik dalam ekonomi dan keuangan digital telah meningkat pesat seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan model bisnis, yang didukung dengan adopsi masyarakat terhadap layanan pembayaran ritel digital melalui pemanfaatan berbagai teknologi seperti quick response code; c. bahwa untuk mengoptimalkan potensi quick response code dalam ekosistem ekonomi dan keuangan digital, Bank Indonesia perlu menetapkan standar nasional quick response code untuk pembayaran guna memastikan efisiensi dan meminimalkan fragmentasi; 2 d. bahwa penetapan standar nasional quick response code untuk pembayaran telah sejalan dengan tatanan kebijakan gerbang pembayaran nasional yang ditujukan untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, dengan mengutamakan perluasan akses dan memperhatikan perlindungan konsumen, serta mampu memproses seluruh transaksi pembayaran ritel domestik secara interkoneksi dan interoperabilitas; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code untuk Pembayaran; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5945); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/8/PBI/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6081); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6203); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE UNTUK PEMBAYARAN. 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) yang selanjutnya disingkat GPN (NPG) adalah sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. 2. Standar adalah spesifikasi teknis dan operasional yang dibakukan. 3. Lembaga Standar adalah lembaga yang menyusun dan mengelola Standar dalam GPN (NPG). 4. Quick Response Code untuk Pembayaran yang selanjutnya disebut QR Code Pembayaran adalah kode dua dimensi yang terdiri atas penanda tiga pola persegi pada sudut kiri bawah, sudut kiri atas, dan sudut kanan atas, memiliki modul hitam berupa persegi titik atau piksel, dan memiliki kemampuan menyimpan data alfanumerik, karakter, dan simbol, yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi pembayaran nirsentuh melalui pemindaian. 5. Standar Nasional QR Code Pembayaran (Quick Response Code Indonesian Standard) yang selanjutnya disebut QRIS adalah Standar QR Code Pembayaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk digunakan dalam memfasilitasi transaksi pembayaran di Indonesia. 6. Transaksi QRIS adalah transaksi pembayaran yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran berdasarkan QRIS. 7. Lembaga Switching adalah lembaga yang menyelenggarakan switching dalam GPN (NPG). 4 8. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah bank atau lembaga selain bank yang menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran. 9. Penerbit adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 10. Acquirer adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. 11. Merchant Aggregator adalah pihak selain Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melakukan akuisisi pedagang (merchant) dan meneruskan dana hasil Transaksi QRIS kepada pedagang (merchant) melalui kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 12. National Merchant Repository yang selanjutnya disingkat NMR adalah sistem yang memiliki kemampuan menatausahakan data pedagang (merchant). 13. Pedagang (Merchant) QRIS adalah penyedia barang dan/atau jasa yang tercatat dalam NMR untuk menerima Transaksi QRIS. 14. Pengguna QRIS adalah pihak yang melakukan pembayaran dalam Transaksi QRIS. BAB II RUANG LINGKUP PENGGUNAAN QR CODE PEMBAYARAN Pasal 2 (1) QR Code Pembayaran memiliki fungsi utama untuk menampilkan identitas salah satu pihak dalam pemrosesan transaksi pembayaran. (2) Dalam pemrosesan transaksi pembayaran, QR Code Pembayaran ditampilkan oleh salah satu pihak yang bertransaksi untuk kemudian dipindai oleh pihak lainnya. 5 Pasal 3 (1) QR Code Pembayaran terdiri atas QR Code Pembayaran statis dan QR Code Pembayaran dinamis. (2) Model penggunaan QR Code Pembayaran terdiri atas merchant presented mode dan customer presented mode. BAB III STANDAR NASIONAL QR CODE PEMBAYARAN (QUICK RESPONSE CODE INDONESIAN STANDARD) Pasal 4 (1) QRIS sebagai standar nasional QR Code Pembayaran ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai GPN (NPG). (2) Pengelolaan QRIS dilakukan oleh Lembaga Standar yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Lembaga Standar dalam GPN (NPG) untuk teknologi quick response code. (3) QRIS terdiri atas spesifikasi teknis dan operasional yang dituangkan dalam dokumen QRIS. (4) Spesifikasi teknis dan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas spesifikasi: a. quick response code untuk pembayaran; b. interkoneksi; dan c. teknis dan operasional lainnya. Pasal 5 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan pihak lain yang bermaksud memperoleh salinan dokumen QRIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) harus mengajukan permohonan tertulis kepada Lembaga Standar. (2) Lembaga Standar harus menyusun dan menerapkan tata cara dan prosedur pemberian salinan dokumen QRIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Tata cara dan prosedur pemberian salinan dokumen QRIS yang disusun oleh Lembaga Standar sebagaimana 6 dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan. Pasal 6 (1) QRIS wajib digunakan dalam setiap transaksi pembayaran di Indonesia yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran. (2) Penerapan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap model penggunaan QR Code Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berdasarkan penetapan QRIS oleh Bank Indonesia. Pasal 7 (1) Transaksi QRIS menggunakan sumber dana berupa simpanan dan/atau instrumen pembayaran berupa kartu debet, kartu kredit, dan/atau uang elektronik yang menggunakan media penyimpanan server based. (2) Penggunaan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan dari Lembaga Standar. (3) Usulan dari Lembaga Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan. Pasal 8 (1) Nominal Transaksi QRIS dibatasi paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) per transaksi. (2) Penerbit dapat menetapkan batas nominal kumulatif harian dan/atau bulanan atas Transaksi QRIS yang dilakukan oleh masing-masing Pengguna QRIS. (3) Batas nominal kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan manajemen risiko Penerbit. Pasal 9 (1) Skema dan biaya pemrosesan Transaksi QRIS ditetapkan oleh Bank Indonesia. 7 (2) Dalam menetapkan skema dan biaya pemrosesan Transaksi QRIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat mempertimbangkan rekomendasi dari Lembaga Standar. BAB IV PEMROSESAN TRANSAKSI QRIS Bagian Kesatu Para Pihak dalam Pemrosesan Transaksi QRIS Pasal 10 (1) Para pihak dalam pemrosesan Transaksi QRIS terdiri atas: a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran; b. Lembaga Switching; c. Merchant Aggregator; dan d. pengelola NMR. (2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang termasuk dalam kelompok Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end. Bagian Kedua Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Pasal 11 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) yang melaksanakan kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan aspek: a. kesiapan operasional; b. keamanan dan keandalan sistem; c. penerapan manajemen risiko; dan 8 d. perlindungan konsumen. (3) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan penyampaian dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, dengan disertai surat pernyataan komitmen untuk menerapkan QRIS dan surat rekomendasi dari Lembaga Standar. (4) Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah mengikuti uji coba pemrosesan Transaksi QRIS, pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan penyampaian: a. hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS; dan b. action plan penerapan QRIS, dengan disertai surat pernyataan komitmen untuk menerapkan QRIS dan surat rekomendasi dari Lembaga Standar. (5) Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang belum mengikuti uji coba pemrosesan Transaksi QRIS namun telah memperoleh persetujuan untuk memproses transaksi yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran, pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan penyampaian action plan penerapan QRIS dengan disertai surat pernyataan komitmen untuk menerapkan QRIS, surat rekomendasi dari Lembaga Standar, dan analisis mitigasi risiko. Pasal 12 Tata cara pengajuan dan pemrosesan permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 13 (1) Pihak yang bermaksud untuk memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana 9 dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan akan melaksanakan kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS wajib: a. mengajukan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran terlebih dahulu sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: 1. penyelenggaraan pemrosesan pembayaran; transaksi 2. alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan/atau 3. uang elektronik; dan b. mengajukan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3). (2) Pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat disampaikan kepada Bank Indonesia secara bersamaan dengan pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Bagian Ketiga Lembaga Switching Pasal 14 (1) Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang melaksanakan kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Permohonan untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan penyampaian: a. hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS; dan b. surat pernyataan komitmen untuk melakukan kegiatan penerusan data dan/atau informasi transaksi pembayaran antar-Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk Transaksi QRIS, dengan disertai surat rekomendasi dari Lembaga Standar. 10 Bagian Keempat Merchant Aggregator Pasal 15 (1) Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat melakukan kerja sama dengan Merchant Aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c. (2) Kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Merchant Aggregator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (3) Permohonan untuk memperoleh persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (4) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib memastikan pelaksanaan penerapan QRIS oleh Merchant Aggregator. Bagian Kelima National Merchant Repository Pasal 16 (1) Fungsi sebagai pengelola NMR dilakukan oleh Bank Indonesia. (2) Dalam hal diperlukan, terhadap pelaksanaan fungsi sebagai pengelola NMR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan sebagian atau seluruh tugas pengelolaan NMR. 11 Bagian Keenam Kewajiban dalam Pemrosesan Transaksi QRIS Pasal 17 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib memastikan: a. seluruh pemrosesan Transaksi QRIS dilakukan sesuai dengan spesifikasi teknis dan operasional QRIS; dan b. pemenuhan skema dan biaya pemrosesan Transaksi QRIS yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Ketujuh Penggunaan QRIS untuk Transaksi Pembayaran Menggunakan Sumber Dana yang Ditatausahakan dan/atau Instrumen Pembayaran yang Diterbitkan di Luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 18 Kewajiban penggunaan QRIS dalam setiap transaksi pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi transaksi pembayaran di Indonesia yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran dengan menggunakan sumber dana yang ditatausahakan dan/atau instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 19 (1) Transaksi QRIS yang menggunakan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 hanya dapat dilakukan melalui kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran berupa Penerbit dan/atau Acquirer dengan pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran tersebut. 12 (2) Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bank yang termasuk dalam kategori bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4. Pasal 20 (1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penerbit dan/atau Acquirer harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan memenuhi persyaratan aspek: a. legalitas dan profil pihak yang akan diajak bekerja sama, mencakup profil perusahaan; b. kompetensi pihak yang akan diajak bekerja sama, mencakup pengalaman dalam menyelenggarakan kegiatan jasa sistem pembayaran; c. kinerja pihak yang akan diajak bekerja sama, mencakup informasi dan/atau asesmen mengenai kondisi keuangan dan rekam jejak pihak yang akan diajak bekerja sama; d. keamanan dan keandalan sistem dan infrastruktur, mencakup informasi dan/atau asesmen terkait keamanan sistem dan infrastruktur yang digunakan; dan e. hukum, mencakup perjanjian kerja sama yang meliputi ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban masing-masing pihak, rencana pelaksanaan, dan jangka waktu kerja sama. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dianggap telah dipenuhi dengan penyampaian izin dan/atau persetujuan otoritas setempat terhadap pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 13 (4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan pihak yang melakukan kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran wajib memastikan bahwa penyelesaian kewajiban pembayaran dilakukan di Indonesia dengan menggunakan rupiah. (5) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e juga harus memuat: a. komitmen pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memenuhi QRIS sebagai standar nasional yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. mekanisme akuisisi dan penerusan pembayaran kepada Pedagang (Merchant) QRIS; c. mekanisme yang menjamin pemenuhan kewajiban pembayaran dari pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Pedagang (Merchant) QRIS; dan d. penyelesaian kewajiban pembayaran dilakukan di Indonesia dengan menggunakan rupiah. BAB V LAPORAN DAN PENGAWASAN Pasal 21 (1) Bank Indonesia berwenang untuk meminta laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b. (2) Bank Indonesia juga berwenang untuk meminta laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS kepada pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 14 (3) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Pasal 22 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b. (2) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terkait pemrosesan Transaksi QRIS terhadap pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan tidak langsung dan pengawasan langsung. (4) Dalam pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat meminta: a. laporan; dan/atau b. dokumen, data, informasi, keterangan, dan/atau penjelasan terkait pemrosesan Transaksi QRIS. (5) Dalam pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan (on site visit) baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. BAB VI KORESPONDENSI Pasal 23 (1) Pengajuan permohonan berupa: a. permohonan untuk mendapatkan persetujuan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); 15 b. permohonan untuk mendapatkan persetujuan oleh Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); c. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja sama oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2); d. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja sama oleh Penerbit dan/atau Acquirer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2); dan e. permohonan untuk mendapatkan persetujuan kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan pihak yang melakukan fungsi merchant aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi kebijakan sistem pembayaran dengan ditujukan ke alamat: Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Gedung D Lantai 5 Jalan M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (2) Penyampaian laporan berupa: a. laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dan Lembaga Switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan b. laporan terkait pemrosesan Transaksi QRIS oleh pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan sistem pembayaran dengan ditujukan ke alamat: 16 Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia Gedung D Lantai 9 Jalan M. H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350. (3) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia memberitahukan perubahan tersebut melalui surat dan/atau sarana elektronik. BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 24 Tata cara pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: a. GPN (NPG); b. penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran; dan c. uang elektronik. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Permohonan persetujuan yang telah diajukan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, diproses dengan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 17 Pasal 26 Pihak yang telah menggunakan QR Code Pembayaran dengan model penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku wajib menyesuaikan QR Code Pembayaran yang digunakannya sesuai dengan QRIS paling lambat tanggal 31 Desember 2019. Pasal 27 (1) Kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) dengan pihak yang melakukan fungsi merchant aggregator sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, dimaknai sebagai kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan Merchant Aggregator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (2) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus mengajukan permohonan persetujuan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 31 Desember 2019. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen berupa: a. profil pihak yang melakukan fungsi merchant aggregator; b. kinerja pihak yang melakukan fungsi merchant aggregator; dan c. perjanjian kerja sama antara Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dengan pihak yang melakukan fungsi merchant aggregator. (4) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diproses dengan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 18 BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 18 /PADG/2019 TENTANG IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE UNTUK PEMBAYARAN I. UMUM Dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan digital, sistem pembayaran nasional ke depan harus mampu mengakomodir perkembangan inovasi teknologi dengan tetap memperhatikan efektivitas kebijakan dan stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta kelancaran sistem pembayaran. Untuk itu, kebijakan Bank Indonesia terkait sistem pembayaran diarahkan untuk: 1. mendukung integrasi ekonomi dan keuangan digital nasional sehingga menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan moneter, dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung inklusi keuangan; 2. mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi dan keuangan digital melalui open banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan; 3. menjamin interlink antara teknologi finansial dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi digital, kerja sama bisnis, maupun kepemilikan perusahaan; 2 4. menjamin keseimbangan antara inovasi dengan perlindungan konsumen, integritas, dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat melalui penerapan Know Your Customer (KYC), anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, kewajiban keterbukaan untuk data dan informasi, penerapan regulatory technology dan supervisory technology dalam kewajiban pelaporan, regulasi, dan pengawasan; dan 5. menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi dan keuangan digital antarnegara melalui kewajiban pemrosesan semua transaksi domestik di dalam negeri dan kerja sama penyelenggara asing dengan domestik, dengan memperhatikan prinsip resiprokal. Perkembangan inovasi teknologi informasi membawa peranan besar dalam penyelenggaraan jasa sistem pembayaran. Pesatnya perkembangan industri dan meningkatnya adopsi masyarakat terhadap smartphone di Indonesia mendorong perusahaan teknologi dan keuangan memanfaatkan teknologi sebagai media pembayaran. Hal ini membuat layanan mobile payment di dalam smartphone menjadi media pembayaran baru bagi masyarakat. Salah satu penggunaan teknologi dalam mobile payment yang berkembang pesat saat ini adalah penggunaan quick response code atau yang dikenal dengan QR code. Pembayaran dengan QR code memiliki beberapa keunggulan, antara lain kemampuan QR code menampung informasi pembayaran yang banyak meski dalam ukuran yang kecil dan memiliki kemampuan koreksi kesalahan, pembayaran menjadi lebih efisien karena tetap dapat menggunakan infrastruktur dan media pembayaran yang sudah ada, memperluas akses keuangan dan pembayaran, serta memberikan alternatif media pembayaran kepada masyarakat. Namun demikian, dengan semakin banyaknya Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran di Indonesia, terdapat tendensi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tersebut mempersiapkan standar dan infrastuktur masing-masing. Hal ini dapat menyebabkan inefisiensi dan fragmentasi dalam sistem pembayaran secara keseluruhan. Untuk itu, Bank Indonesia telah menetapkan standar nasional QR Code untuk pembayaran (QRIS) yang wajib digunakan dalam setiap transaksi pembayaran yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran. Mengingat pelaksanaan pemrosesan transaksi pembayaran menggunakan QR Code Pembayaran melibatkan berbagai pihak, diperlukan pengaturan lebih lanjut terkait implementasi QRIS yang telah ditetapkan oleh Bank 3 Indonesia. Hal ini untuk memastikan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran di Indonesia dapat berjalan efektif dan efisien, serta memastikan kejelasan peran dan tanggung jawab para pihak dalam pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan QR Code Pembayaran. Adanya aturan yang tegas juga diperlukan untuk memastikan terciptanya level of playing field antar- Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang sejalan dengan upaya menjaga persaingan usaha yang sehat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk pihak dalam pemrosesan transaksi pembayaran yaitu pengguna dan pedagang (merchant). Ayat (2) QR Code Pembayaran dapat ditampilkan antara lain dalam bentuk kertas, stiker, atau virtual melalui layar gawai. QR Code Pembayaran dapat dipindai antara lain melalui aplikasi mobile (mobile application) yang terdapat pada gawai atau perangkat point of sales. Pasal 3 Ayat (1) QR Code Pembayaran statis dan QR Code Pembayaran dinamis dibedakan berdasarkan mekanisme penerbitannya. Yang dimaksud dengan โ€œQR Code Pembayaran statisโ€ adalah QR Code Pembayaran yang diterbitkan sebelum terdapat transaksi yang akan diinisiasi dan dapat dipindai berulang kali untuk memfasilitasi berbagai transaksi pembayaran yang berbeda. QR Code Pembayaran statis umumnya hanya memuat data informasi identitas pedagang (merchant). Yang dimaksud dengan โ€œQR Code Pembayaran dinamisโ€ adalah QR Code Pembayaran yang diterbitkan pada saat telah terdapat 4 transaksi yang akan diinisiasi dan dipindai untuk memfasilitasi satu transaksi tertentu saja. QR Code Pembayaran dinamis umumnya memuat data informasi mengenai identitas pedagang (merchant) atau pengguna dan informasi mengenai transaksi yang dilakukan seperti nominal transaksi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œmerchant presented modeโ€ adalah metode penggunaan QR Code Pembayaran dengan cara pedagang (merchant) menampilkan QR Code Pembayaran untuk kemudian dipindai oleh pengguna. Yang dimaksud dengan โ€œcustomer presented modeโ€ adalah metode penggunaan QR Code Pembayaran dengan cara pengguna menampilkan QR Code Pembayaran untuk kemudian dipindai oleh pedagang (merchant). Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Termasuk pihak lain yaitu pihak yang sedang mengajukan permohonan izin sebagai Penerbit dan/atau Acquirer. Ayat (2) Pemberian salinan dokumen QRIS dilakukan dalam rangka pengajuan perizinan sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang akan melaksanakan kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS atau pengajuan persetujuan bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang akan melaksanakan kegiatan pemrosesan Transaksi QRIS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Kewajiban penggunaan QRIS merupakan bagian dari kewajiban mematuhi dan melaksanakan Standar sebagaimana dimaksud 5 dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai GPN (NPG). Termasuk transaksi pembayaran yaitu transaksi yang salah satu pihaknya merupakan pedagang (merchant). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Penggunaan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi dan/atau layanan elektronik yang memungkinkan penyimpanan data sumber dana dan/atau instrumen pembayaran seperti proprietary channel dan dompet elektronik. Ayat (2) Usulan dari Lembaga Standar dapat berupa usulan penggunaan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran secara bertahap. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan batas nominal kumulatif tetap memperhatikan batasan yang berlaku bagi sumber dana dan/atau instrumen pembayaran, seperti batas paling banyak nilai transaksi uang elektronik dalam 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Pasal 9 Ayat (1) Contoh skema biaya yaitu merchant discount rate. 6 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran antara lain memiliki tugas: 1. menerima perintah inisiasi Transaksi QRIS dari Pengguna QRIS atau Pedagang (Merchant) QRIS; 2. memastikan kecukupan dana Pengguna QRIS dan menyampaikan notifikasi kepada Pengguna QRIS; dan/atau 3. menyampaikan notifikasi dan dana hasil pembayaran Transaksi QRIS kepada Pedagang (Merchant) QRIS. Huruf b Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Lembaga Switching memiliki tugas melakukan kegiatan penerusan data dan/atau informasi Transaksi QRIS antar-Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Dalam meneruskan data dan/atau informasi Transaksi QRIS antar-Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Lembaga Switching dapat memanfaatkan interkoneksi dengan Lembaga Switching lainnya. Huruf c Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, Merchant Aggregator memiliki tugas meneruskan dana hasil pembayaran Transaksi QRIS dari Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran kepada Pedagang (Merchant) QRIS. Selain itu, Merchant Aggregator juga dapat melakukan kegiatan akuisisi Pedagang (Merchant) QRIS. Cakupan tugas dan kegiatan tersebut berbeda dengan fungsi merchant aggregator yang diselenggarakan oleh penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, yang meliputi penerusan data transaksi pembayaran dan penyelesaian pembayaran. 7 Huruf d Dalam pemrosesan Transaksi QRIS, pengelola NMR memiliki tugas: 1. menatausahakan data identitas Pedagang (Merchant) QRIS di seluruh Indonesia; 2. menghasilkan (generate) QRIS yang bersifat statis yang digunakan di Pedagang (Merchant) QRIS; dan 3. menjaga kompetisi yang sehat antar-Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran termasuk mencegah terjadinya eksklusivitas Pedagang (Merchant) QRIS. Ayat (2) Pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end mengacu pada pengelompokan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Contoh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dalam kelompok Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran front end yaitu Penerbit dan Acquirer. Pasal 11 Ayat (1) Persetujuan yang diajukan merupakan persetujuan untuk pengembangan produk dan aktivitas jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat pernyataan komitmen untuk menerapkan QRIS paling sedikit memuat pernyataan dan komitmen untuk menerapkan QRIS dan mematuhi ketentuan Bank Indonesia terkait penerapan QRIS. Surat rekomendasi dari Lembaga Standar paling sedikit berisi rekomendasi bahwa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran telah terbukti memiliki kemampuan untuk memproses Transaksi QRIS sesuai dengan spesifikasi teknis dan operasional yang ditetapkan 8 dalam QRIS dan cakupan sumber dana dan/atau instrumen pembayaran yang dapat digunakan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œuji coba pemrosesan Transaksi QRISโ€ adalah uji coba kelaikan QRIS yang diselenggarakan oleh Lembaga Standar dalam rangka penyusunan QRIS. Huruf a Hasil uji coba pemrosesan Transaksi QRIS paling sedikit memuat: 1. ringkasan hasil uji coba; 2. deskripsi uji coba; dan 3. risiko dan mitigasi. Huruf b Action plan penerapan QRIS paling sedikit memuat target waktu penyelesaian untuk: 1. migrasi dari QR Code Pembayaran proprietary ke QRIS (jika ada); 2. penyusunan prosedur operasional standar terkait implementasi QRIS; 3. penyesuaian aplikasi dan sistem; dan 4. sosialisasi kepada pengguna. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan untuk memproses transaksi yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaranโ€ adalah persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia sebelum QRIS ditetapkan. Action plan penerapan QRIS paling sedikit memuat target waktu penyelesaian untuk: a. migrasi dari QR Code Pembayaran proprietary ke QRIS; b. penyusunan prosedur operasional standar terkait implementasi QRIS; c. penyesuaian aplikasi dan sistem; dan d. sosialisasi kepada pengguna. Analisis mitigasi risiko paling sedikit memuat identifikasi risiko yang mungkin timbul dan upaya mitigasi risiko dimaksud. 9 Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œuji coba pemrosesan Transaksi QRISโ€ adalah uji coba kelaikan QRIS yang diselenggarakan oleh Lembaga Standar dalam rangka penyusunan QRIS. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan yang diajukan merupakan persetujuan untuk melakukan kerja sama dengan penyelenggara penunjang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pelaksanaan penerapan QRIS antara lain penerusan dana kepada Pedagang (Merchant) QRIS. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk tugas pengelolaan NMR yaitu menatausahakan data identitas Pedagang (Merchant) QRIS di seluruh Indonesia. Pasal 17 Cukup jelas. 10 Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œizin dan/atau persetujuan otoritas setempatโ€ antara lain izin kegiatan usaha terkait jasa sistem pembayaran yang diselenggarakan atau persetujuan/rekomendasi otoritas setempat atas rencana kerja sama yang akan dilaksanakan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Mekanisme yang menjamin pemenuhan kewajiban pembayaran dari pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran yang diterbitkan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Pedagang (Merchant) QRIS, antara lain penempatan sejumlah prefund pada bank umum di Indonesia. Huruf d Cukup jelas. 11 Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaranโ€ antara lain Merchant Aggregator dan pihak yang menatausahakan sumber dana dan/atau menerbitkan instrumen pembayaran di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Pemrosesan dengan tata cara tertentu dilakukan antara lain dengan penelitian dokumen. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang melakukan fungsi merchant aggregatorโ€ adalah pihak selain Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang melakukan akuisisi pedagang (merchant) dan meneruskan dana hasil transaksi yang difasilitasi dengan QR Code Pembayaran kepada pedagang (merchant) melalui kerja sama dengan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. 12 Pasal 28 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/18/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> IMPLEMENTASI STANDAR NASIONAL QUICK RESPONSE CODE UNTUK PEMBAYARAN </reg_title> <set_date> 16 Agustus 2019 </set_date> <effective_date> 16 Agustus 2019 </effective_date> <related_reg> '20/6/PBI/2018', '18/40/PBI/2016', '19/8/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/14/PADG/2017 TENTANG RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan inovasi pada kegiatan yang menggunakan teknologi finansial perlu diberikan ruang uji coba terbatas bagi penyelenggara teknologi finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya; b. bahwa ruang uji coba terbatas sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5945); 2 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6142); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI FINANSIAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. 2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial. 3. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 4. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. 5. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infrastruktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial. 3 BAB II RUANG LINGKUP PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI FINANSIAL Pasal 2 Penyelenggaraan Teknologi Finansial dikategorikan ke dalam: a. sistem pembayaran; b. pendukung pasar; c. manajemen investasi dan manajemen risiko; d. pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal; dan e. jasa finansial lainnya. BAB III TATA CARA PENETAPAN UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX Pasal 3 (1) Bank Indonesia menetapkan Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pertimbangan: a. Penyelenggara Teknologi Finansial telah terdaftar di Bank Indonesia; b. Teknologi Finansial yang diselenggarakan mengandung unsur yang dapat dikategorikan ke dalam sistem pembayaran; c. Teknologi Finansial mengandung unsur Inovasi; d. Teknologi Finansial bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian; e. Teknologi Finansial bersifat noneksklusif; f. Teknologi Finansial dapat digunakan secara massal; g. Teknologi Finansial identifikasi dan mitigasi risiko; dan h. hal lain yang dianggap penting oleh Bank Indonesia. telah dilengkapi dengan 4 Pasal 4 (1) Untuk memperoleh informasi serta penjelasan yang lebih lengkap dalam penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus: a. melakukan presentasi kepada Bank Indonesia paling sedikit mengenai model bisnis dan manajemen risiko; dan b. menyampaikan dokumen secara lengkap kepada Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia menginformasikan mengenai pelaksanaan presentasi melalui surat elektronik dan penyampaian dokumen melalui surat kepada Penyelenggara Teknologi Finansial. (3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara daring (online) melalui laman Bank Indonesia. (4) Dalam hal sarana daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat digunakan, penyampaian kelengkapan dokumen dilakukan melalui surat kepada Bank Indonesia. Pasal 5 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b paling sedikit mengenai: a. data dan informasi tentang profil Penyelenggara Teknologi Finansial dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini; b. data dan informasi tentang produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba, paling sedikit memuat: 1. unsur Inovasi dalam produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diuji coba; 2. manfaat bagi konsumen dan/atau perekonomian; 3. kerangka dan mekanisme kerja untuk penerapan perlindungan konsumen; 5 4. penjelasan bahwa kegiatan usaha bersifat noneksklusif; 5. hasil identifikasi potensi risiko dan upaya mitigasi risiko yang telah atau akan dilakukan; 6. hal spesifik yang dimintakan uji coba (jika ada); dan 7. rencana yang akan dilakukan setelah uji coba dalam Regulatory Sandbox; dan c. informasi pihak yang ditunjuk untuk mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial beserta alamat surat elektronik yang akan digunakan untuk berkorespondensi dengan Bank Indonesia. (2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dibuktikan dengan dokumen sesuai dengan jenis dan materi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Penyelenggara Teknologi Finansial untuk menyampaikan dokumen tambahan selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kesesuaian, dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat dokumen yang tidak lengkap, tidak sesuai, dan/atau tidak benar, Bank Indonesia meminta Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal permintaan dari Bank Indonesia. (3) Permintaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui surat elektronik. 6 Pasal 7 (1) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial telah melakukan presentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dinyatakan lengkap, sesuai, dan benar, Bank Indonesia memberi penetapan Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya untuk diuji coba dalam Regulatory Sandbox. (2) Penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui surat. BAB IV PROSES UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX Pasal 8 (1) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox menerapkan prinsip: a. criteria-based process; b. transparansi; c. proporsionalitas; d. keadilan (fairness); e. f. kesetaraan (equal treatment); dan forward looking. (2) Proses uji coba dalam Regulatory Sandbox bukan merupakan proses perizinan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus menyampaikan usulan skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal penetapan. (2) Usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: 7 a. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diuji coba; b. jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan uji coba; c. target yang akan dicapai; d. batasan wilayah, batasan jumlah konsumen, dan batasan lainnya; dan e. mekanisme pelaporan pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox, yang memuat paling sedikit laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Penyelenggara Teknologi Finansial harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan dalam menyusun usulan skenario sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 (1) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). (2) Dalam hal Bank Indonesia menilai usulan skenario yang disampaikan masih memerlukan perbaikan, Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyampaikan usulan skenario yang telah diperbaiki dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal permintaan perbaikan dari Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia melakukan review atas usulan skenario yang telah diperbaiki dan disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Apabila Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan perbaikan usulan skenario sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang akan diujicobakan dalam Regulatory Sandbox. tidak 8 (5) Dalam hal Bank Indonesia menyetujui usulan skenario yang diajukan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyatakan kesanggupan menjalankan skenario uji coba yang telah disetujui dengan menandatangani surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Bank Indonesia menetapkan skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dan menyampaikan kepada Penyelenggara Teknologi Finasial melalui surat setelah Penyelenggara Teknologi Finansial menyatakan kesanggupan menjalankan skenario uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 11 (1) Jangka waktu uji coba dalam Regulatory Sandbox ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan Bank Indonesia atas skenario uji coba produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6). (2) Dalam hal diperlukan, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan. (3) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Teknologi Finansial kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyelenggara Teknologi Finansial menginformasikan alasan dan jangka waktu perpanjangan yang dibutuhkan. (5) Bank Indonesia menyampaikan jawaban kepada Penyelenggara Teknologi Finansial atas pengajuan perpanjangan yang disampaikan sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 9 Pasal 12 Penyelenggara Teknologi Finansial hanya dapat menyelenggarakan uji coba dalam Regulatory Sandbox sesuai skenario sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6). Pasal 13 Selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox, Penyelenggara Teknologi Finansial memiliki kewajiban sebagai berikut: a. memastikan diterapkannya prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian yang memadai; b. menyampaikan laporan pelaksanaan uji coba, baik secara reguler maupun insidentil sesuai dengan permintaan Bank Indonesia; dan c. tetap menaati ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Penyelenggara Teknologi Finansial bertanggung jawab atas hal sebagai berikut: a. kebenaran dan keakuratan data, informasi, dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia untuk uji coba dalam Regulatory Sandbox; b. keamanan dan keandalan sistem yang digunakan untuk menjalankan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba dalam Regulatory Sandbox; c. perlindungan data dan informasi serta dana konsumen dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan d. penyelesaian seluruh hak dan kewajiban Penyelenggara Teknologi Finansial kepada konsumen dan/atau pihak lain yang terkait, baik selama maupun setelah proses uji coba dalam Regulatory Sandbox. Pasal 15 Bank Indonesia melakukan pendampingan dan review selama pelaksanaan uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagai dasar 10 untuk menetapkan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial. BAB V HASIL UJI COBA DALAM REGULATORY SANDBOX Pasal 16 (1) Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox berdasarkan hasil penilaian atas seluruh rangkaian kegiatan selama pelaksanaan uji coba. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: a. kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial; b. penerapan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian; dan c. pemenuhan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox yaitu: a. berhasil; b. tidak berhasil; atau c. status lain yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan status hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox kepada Penyelenggara Teknologi Finansial. (2) Dalam hal uji coba dinyatakan berhasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan sebelum terlebih dahulu mengajukan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai dengan 11 ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan mengenai penetapan status hasil uji coba berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan ketentuan mengenai penyampaian surat penetapan status hasil uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Teknologi Finansial dapat menyampaikan permohonan izin dan/atau persetujuan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran kepada Bank Indonesia sebelum Bank Indonesia menetapkan status hasil uji coba dalam Regulatory Sandbox sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3). (4) Dalam hal permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima oleh Bank Indonesia, Penyelenggara Teknologi Finansial dapat memasarkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya sesuai dengan skenario uji coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, sampai dengan Bank Indonesia memberikan keputusan atas permohonan izin dan/atau persetujuan yang telah disampaikan. (5) Dalam hal uji coba dinyatakan tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b dan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial kategori sistem pembayaran maka Penyelenggara Teknologi Finansial dilarang memasarkan produk dan/atau layanan serta menggunakan teknologi dan/atau model bisnis yang diujicobakan. (6) Dalam hal produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya termasuk Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran, Bank Indonesia dapat menyampaikan status hasil uji coba Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) kepada otoritas yang berwenang. 12 BAB VI KEWAJIBAN IZIN SEBAGAI PENYELENGGARA JASA SISTEM PEMBAYARAN Pasal 18 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang termasuk kategori sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran harus memperoleh izin dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (2) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut harus: a. berbentuk perseroan terbatas; dan b. memenuhi aspek kelayakan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Tata cara memperoleh izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Bank Indonesia berwenang menetapkan kebijakan tertentu untuk penetapan: a. Penyelenggara Teknologi Finansial; b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; dan/atau c. skenario uji coba, yang akan diujicobakan dalam Regulatory Sandbox. 13 (2) Penetapan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan: a. perkembangan inovasi tertentu terkait dengan penyelenggaraan Teknologi Finansial; dan b. perkembangan ekosistem Teknologi Finansial untuk mendukung perekonomian nasional. Pasal 20 (1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai 4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 14 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/14/PADG/2017 TENTANG RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI FINANSIAL I. UMUM Bahwa perkembangan dan inovasi pada industri teknologi keuangan perlu dimitigasi secara tepat dan memadai agar memberikan manfaat bagi masyarakat dan perekonomian. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu menciptakan rezim pengaturan yang tepat agar mampu mendorong laju inovasi yang dilakukan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial dengan tetap menerapkan prinsip perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia yaitu dengan menerbitkan ketentuan mengenai ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya dalam suatu Peraturan Anggota Dewan Gubernur. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Huruf a Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian akhir, dan pelaksanaan pembayaran. Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori sistem pembayaran antara lain penggunaan QR code, teknologi blockchain, atau distributed ledger untuk penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile payments. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpendukung pasarโ€ adalah Teknologi Finansial yang menggunakan teknologi informasi dan/atau teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian informasi yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan data perbandingan informasi produk atau layanan jasa keuangan. Huruf c Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori manajemen investasi dan manajemen risiko antara lain penyediaan produk investasi online dan asuransi online. Huruf d Contoh penyelenggaraan Teknologi Finansial pada kategori pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding), dan penyediaan modal (capital raising) antara lain layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-funding). Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œjasa finansial lainnyaโ€ adalah Teknologi Finansial selain kategori sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan manajemen risiko, serta pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal. 3 Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi konsumen antara lain lebih murah, lebih mudah, dan/atau lebih cepat, sedangkan bermanfaat atau dapat memberi manfaat bagi perekonomian misalnya membuka lapangan kerja baru, memperlancar transaksi ekonomi, dan/atau membawa efisiensi dalam transaksi ekonomi. Huruf e Bersifat noneksklusif dimaksudkan agar Penyelenggara Teknologi Finansial terbuka terhadap kebijakan Bank Indonesia terkait interkoneksi dan interoperabilitas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Hal lain yang dianggap penting antara lain rekam jejak Penyelenggara Teknologi Finansial dalam proses uji coba Regulatory Sandbox yang pernah diikuti, kepentingan nasional, standar dan praktik internasional, kondisi ekosistem teknologi finansial, dan optimalisasi interoperabilitas. 4 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technology Office yaitu [email protected]. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œcriteria-based processโ€ adalah prinsip yang diterapkan dalam proses uji coba dengan memperhatikan pemenuhan kriteria yang ditetapkan Bank Indonesia. Huruf b Prinsip transparansi antara lain dilakukan melalui publikasi hasil Regulatory Sandbox secara berkala. 5 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œproporsionalitasโ€ adalah Regulatory Sandbox dilakukan dengan mempertimbangkan jenis, skala, dan risiko dari produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diuji coba. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œforward lookingโ€ adalah Regulatory Sandbox selalu mempertimbangkan potensi pengembangan ke depan agar lebih memberikan manfaat kepada masyarakat dan perekonomian. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Target yang akan dicapai mencakup target akhir dan/atau target antara selama jangka waktu uji coba. Huruf d Contoh batasan lainnya yaitu batasan penggunaan fitur tertentu pada produk atau layanan selama dalam proses uji coba. Huruf e Cukup jelas. 6 Ayat (3) Ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas, perlindungan konsumen, dan kewajiban penggunaan rupiah. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permintaan perbaikan dapat disampaikan melalui surat elektronik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Penerapan prinsip perlindungan konsumen dituangkan antara lain dalam perjanjian antara Penyelenggara Teknologi Finansial dengan konsumen. Huruf b Informasi pelaksanaan uji coba antara lain berupa perkembangan dan rencana tindak lanjut uji coba. 7 Huruf c Khusus untuk ketentuan peraturan perundang-undangan Bank Indonesia, kewajiban untuk menaatinya dapat disesuaikan dengan kebijakan Bank Indonesia. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan โ€œpendampingan dan reviewโ€ adalah Bank Indonesia melakukan interaksi yang bersifat asistensi dan advisory serta monitoring secara intensif dan reguler dengan Penyelenggara Teknologi Finansial terkait produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis yang diujicobakan agar sejalan dengan skenario uji coba yang disepakati serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bank Indonesia juga melakukan review atas kesiapan dan keandalan sistem dari Penyelenggara Teknologi Finansial, penerapan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko dan kehati-hatian, dan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan pendampingan dan review, Bank Indonesia melakukan monitoring dan assessment terhadap laporan pelaksanaan uji coba yang disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 8 Ayat (4) Keputusan Bank Indonesia terhadap permohonan izin dan/atau persetujuan dapat berupa persetujuan atau penolakan atas permohonan izin dan/atau persetujuan sebagaimana diatur antara lain dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis di luar skenario uji coba baru dapat dilakukan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial setelah Bank Indonesia memberikan keputusan berupa persetujuan atas permohonan izin dan/atau persetujuan yang diajukan. Apabila Bank Indonesia memberikan keputusan berupa penolakan maka Penyelenggara Teknologi Finansial menghentikan kegiatan pemasaran produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œmengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaranโ€ adalah penerapan tata cara untuk memperoleh izin dilakukan dengan memperhatikan tingkat kesesuaian produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis Penyelenggara Teknologi Finansial dengan jenis dan karakteristik jasa sistem pembayaran. Pasal 19 Cukup jelas. 9 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/14/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> RUANG UJI COBA TERBATAS (REGULATORY SANDBOX) TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title> <set_date> 30 November 2017 </set_date> <effective_date> 30 November 2017 </effective_date> <related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/12/PBI/2017' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/29/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menerbitkan transaksi domestic non-deliverable forward sebagai salah satu instrumen operasi moneter; b. bahwa dengan diterbitkannya transaksi domestic non- deliverable forward sebagai instrumen operasi moneter, diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan transaksi domestic non-deliverable forward tersebut; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259) MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan dalam Pasal 1 ditambahkan 4 (empat) angka di antara angka 46 dan angka 47, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 4 11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan peserta OPT Syariah. 12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh 5 Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 6 25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 7 32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau dari Bank. 36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran dan/atau penerimaan dana dalam rangka setelmen transaksi SBBI Valas. 37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 8 40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 43. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana melalui sarana telekomunikasi yang antara lain memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening, kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). 44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 9 46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 47. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 48. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date). 49. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 50. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 51. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 10 52. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat Berharga untuk penatausahaan. 53. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan. 54. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. 55. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 56. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Bab II ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedua Belas, yang terdiri dari 23 (dua puluh tiga) Pasal, yakni Pasal 184A sampai dengan Pasal 184W sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Belas Transaksi DNDF Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi DNDF Pasal 184A (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi DNDF secara lelang dan perubahannya paling lambat sebelum window time, melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 11 (2) Pengumuman rencana Transaksi DNDF secara lelang meliputi: a. jenis Transaksi DNDF; b. sarana transaksi; c. tanggal lelang; d. nama lelang (auction name), apabila lelang Transaksi DNDF dilakukan melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing; e. tanggal spot; f. tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam kontrak (fixing date); g. waktu penyerahan dana (tenor); h. window time; i. metode lelang; j. tanggal setelmen (tanggal valuta); k. kurs DNDF, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); l. kurs acuan yang digunakan pada saat fixing date adalah kurs JISDOR; m. target indikatif lelang, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); n. jenis valuta; dan/atau o. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang Pasal 184B Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran Transaksi DNDF secara lelang kepada Bank Indonesia melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing dan/atau sarana transaksi lain dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 12 Pasal 184C (1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang meliputi informasi: a. nama Peserta OPT Konvensional; b. tanggal transaksi; c. waktu penyerahan dana (tenor); d. tanggal spot; e. tanggal tertentu yang ditetapkan di dalam kontrak (fixing date); f. g. tanggal setelmen (tanggal valuta); jenis valuta; h. nilai nominal, apabila lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. nilai nominal dan kurs DNDF, apabila lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender); j. Standard Settlement Instruction; dan/atau k. informasi lainnya. (2) Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (3) Dalam hal lelang Transaksi DNDF dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran kurs DNDF dari Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit dengan kelipatan Rp1,00 (satu rupiah). Pasal 184D (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi DNDF secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi DNDF secara lelang yang diajukan untuk 13 kepentingan Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C dan tidak melakukan koreksi pengajuan penawaran dalam window time Transaksi DNDF secara lelang, penawaran tersebut dinyatakan batal. Paragraf 3 Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti Transaksi DNDF Secara Lelang Melalui Sistem Otomasi Lelang Operasi Moneter Valuta Asing Pasal 184E Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum mengikuti Transaksi DNDF secara lelang. Pasal 184F (1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) dalam hal Peserta OPT Konvensional telah memiliki Terminal Controller Identifier (TCID); d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dealer yang berwenang melakukan Transaksi DNDF; dan e. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang melakukan Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam huruf d. 14 (2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Lembaga Perantara; b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga Perantara; c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan broker yang berwenang melakukan Transaksi DNDF; dan d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan broker yang berwenang melakukan Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia pada saat pertama kali akan melakukan Transaksi DNDF. (5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan ke alamat sebagai berikut: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lain. 15 Pasal 184G (1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184F ayat (1) dan ayat (2), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan format sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran XV. (2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184F ayat (6). Pasal 184H Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi DNDF secara lelang kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; f. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi DNDF; dan/atau g. informasi lainnya. 16 Paragraf 4 Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang Melalui Sistem Otomasi Lelang Operasi Moneter Valuta Asing Pasal 184I (1) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; dan c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF. (2) Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. kurs DNDF; dan d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi DNDF. Pasal 184J (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi DNDF. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran, selain informasi nama lelang (auction name); dan/atau 17 b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran lelang Transaksi DNDF untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan nama lelang (auction name). (3) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184I. Paragraf 5 Pengajuan Penawaran Transaksi DNDF Secara Lelang Melalui Sarana Transaksi Lain Yang Ditetapkan Oleh Bank Indonesia Pasal 184K Pengajuan penawaran Transaksi DNDF secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (1) melalui sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dilakukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing tenor yang ditawarkan. Pasal 184L (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi DNDF secara lelang. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (1) kecuali informasi nama Peserta OPT Konvensional dan tenor Transaksi DNDF secara lelang. (3) Dalam hal dilakukan koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas jumlah penawaran (nilai nominal), jumlah penawaran (nilai nominal) tersebut harus 18 memenuhi persyaratan penawaran nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184C ayat (2). Paragraf 6 Penetapan Pemenang Transaksi DNDF Secara Lelang Pasal 184M (1) Dalam hal Transaksi DNDF secara lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. (2) Dalam hal Transaksi DNDF secara lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan batas kurs DNDF yang diterima; b. untuk Transaksi DNDF Jual, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal kurs DNDF yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari batas penawaran kurs DNDF yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal kurs DNDF yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran kurs DNDF yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang 19 diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia; dan c. untuk Transaksi DNDF Beli, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal kurs DNDF yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari batas penawaran kurs DNDF yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal kurs DNDF yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran kurs DNDF yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. (3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi DNDF secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran XV. (4) Pembulatan nilai nominal yang dimenangkan oleh pemenang Transaksi DNDF secara lelang dengan perhitungan secara proporsional dilakukan dengan pembulatan ke seratusribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 20 Pasal 184N Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi hasil penetapan pemenang Transaksi DNDF melalui SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 184O Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang Transaksi DNDF secara lelang. Paragraf 7 Pengumuman Hasil Transaksi DNDF Secara Lelang Pasal 184P Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi DNDF secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing, Sistem LHBU dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa nilai nominal Transaksi DNDF yang dimenangkan, rata-rata tertimbang (weighted average) kurs DNDF per tenor, dan/atau informasi lainnya; b. melakukan konfirmasi kepada pemenang lelang secara individual melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing, dan/atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia berupa: 1. nominal lelang Transaksi DNDF yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional; 2. kurs DNDF yang dimenangkan; 3. jangka waktu transaksi; 21 4. tanggal valuta; 5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; 6. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional; dan/atau 7. informasi lainnya; dan c. dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing dan/atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau 2. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing dan/atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. Paragraf 8 Transaksi DNDF Secara Nonlelang Pasal 184Q Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional dengan cara langsung atau melalui Lembaga Perantara. 22 Paragraf 9 Setelmen Transaksi DNDF Pasal 184R (1) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan Mekanisme Fixing. (2) Mekanisme Fixing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan kurs acuan berupa kurs JISDOR untuk mata uang dolar Amerika Serikat terhadap rupiah pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date). (3) Penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata uang rupiah. (4) Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan (roll over), pengakhiran transaksi (unwind) dan percepatan penyelesaian transaksi (early termination). Pasal 184S (1) Pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184R ayat (2), Bank Indonesia melakukan perhitungan selisih antara kurs transaksi DNDF dengan kurs JISDOR. (2) Bank Indonesia menginformasikan selisih antara kurs Transaksi DNDF dengan kurs JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Peserta OPT Konvensional melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing, sarana transaksi lain dan/atau sarana informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi atas perhitungan selisih antara kurs Transaksi DNDF dengan kurs JISDOR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui SWIFT message format MT300 atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. 23 Pasal 184T (1) Untuk Transaksi DNDF Jual, dalam hal: a. Kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR, Bank Indonesia menerima selisih antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount); atau b. Kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR, Bank Indonesia membayar selisih antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount); (2) Pada tanggal setelmen Transaksi DNDF, Bank Indonesia: a. mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date); atau b. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih antara kurs DNDF dengan kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date). Pasal 184U (1) Untuk Transaksi DNDF Beli, dalam hal: a. kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date), Bank Indonesia membayar selisih 24 antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount); atau b. kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date), Bank Indonesia menerima selisih antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount). (2) Pada tanggal setelmen Transaksi DNDF, Bank Indonesia: a. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih tinggi dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date); atau b. mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia sebesar selisih antara kurs DNDF dengan JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dikalikan dengan nilai nominal (notional amount) dalam hal kurs DNDF lebih rendah dari kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date). Pasal 184V (1) Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi DNDF dengan Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada 25 Hari Kerja berikutnya. (2) Pembayaran kewajiban setelmen Transaksi DNDF dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. Pasal 184W (1) Dalam hal tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah maka kurs JISDOR pada tanggal tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) dilakukan menggunakan kurs JISDOR pada Hari Kerja sebelumnya. (2) Dalam hal tanggal setelmen ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah maka tanggal pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya. 3. Ketentuan Pasal 306 ditambahkan ayat (1) huruf d dan ayat 3 (tiga) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 306 (1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen Transaksi OPT Konvensional dalam valuta asing, meliputi: a. Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf c dan Pasal 146 huruf c; b. Transaksi Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162, Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (1), dan Pasal 168; c. Transaksi Forward sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1) dan Pasal 183; dan d. Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184V ayat (1). (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada 26 Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar Amerika Serikat; 2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing nondolar Amerika Serikat; atau 3. rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah. (3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa: a. kewajiban membayar dalam rupiah yang dihitung atas dasar rata-rata Bank Indonesia 7- Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan kewajiban setelmen dan dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per transaksi; dan 27 b. penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter sampai dengan akhir hari saat Peserta OPT Konvensional memenuhi kewajibannya. 4. Pasal 308 ditambahkan 3 (tiga) ayat sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah atau Rekening Giro valuta asing Peserta OPT yang ada di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal kewajiban setelmen. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (3) huruf a dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional yang ada di Bank Indonesia paling lama 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal kewajiban setelmen. (3) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (3) huruf b diberlakukan mulai 1 (satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi tidak dipenuhinya kewajiban setelmen Transaksi DNDF. (4) Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sampai dengan akhir hari saat Peserta OPT Konvensional memenuhi kewajiban setelmen Transaksi DNDF. 5. Pasal 312 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 312 Atas batalnya transaksi OMK, yang terdiri atas transaksi OPT Konvensional dan/atau transaksi Standing Facilities 28 Konvensional, yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dan Pasal 309, Peserta OPT juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMK selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut. 6. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 November 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/29/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui penerbitan Transaksi DNDF sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/6/PADG/2018 tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka yang mengatur mengenai mekanisme Transaksi DNDF tersebut. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 184A Cukup jelas. Pasal 184B Cukup jelas. Pasal 184C Cukup jelas. Pasal 184D Cukup jelas. Pasal 184E Cukup jelas. Pasal 184F Cukup jelas. Pasal 184G Cukup jelas. Pasal 184H Cukup jelas. Pasal 184I Cukup jelas. Pasal 184J Cukup jelas. 3 Pasal 184K Cukup jelas. Pasal 184L Cukup jelas. Pasal 184M Cukup jelas. Pasal 184N Cukup jelas. Pasal 184O Cukup jelas. Pasal 184P Cukup jelas. Pasal 184Q Cukup jelas. Pasal 184R Cukup jelas. Pasal 184S Cukup jelas. Pasal 184T Cukup jelas. Pasal 184U Cukup jelas. Pasal 184V Cukup jelas. 4 Pasal 184W Cukup jelas. Angka 3 Pasal 306 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 308 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 312 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/29/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 7 November 2018 </set_date> <effective_date> 7 November 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/6/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf b', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf c', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 1 Huruf d', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 2 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 2 Huruf b', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 4', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 3', 'Pasal I Angka 56 Pasal 312', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 1', 'Pasal I Angka 4 Pasal 308 Ayat 2', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 3 Huruf a', 'Pasal I Angka 3 Pasal 306 Ayat 3 Huruf b' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/33/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter; b. bahwa dengan penerbitan Sukuk Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia perlu menambahkan cakupan surat berharga yang dapat dipergunakan dalam pemenuhan penyangga likuiditas makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial syariah berupa Sukuk Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/31/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan angka 23 Pasal 1 diubah dan di antara angka 23 dan angka 24 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 23A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: 3 Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Bank adalah BUK, BUS, dan UUS. 5. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 6. Dana Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat DPK adalah kewajiban Bank kepada penduduk dan bukan penduduk dalam rupiah dan/atau valuta asing. 7. Rekening Giro dalam Rupiah yang selanjutnya disebut Rekening Giro Rupiah adalah rekening giro dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 8. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4 9. Rasio Intermediasi Makroprudensial yang selanjutnya disingkat RIM adalah rasio hasil perbandingan antara: a. kredit yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUK, terhadap: a. DPK BUK dalam bentuk giro, tabungan, dan simpanan berjangka/deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUK untuk memperoleh sumber pendanaan. 10. Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut RIM Syariah adalah rasio hasil perbandingan antara: a. Pembiayaan yang diberikan dalam rupiah dan valuta asing; dan b. surat berharga syariah korporasi dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang dimiliki BUS atau UUS, terhadap: a. DPK BUS atau DPK UUS dalam bentuk dana simpanan wadiah dan dana investasi tidak terikat dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga syariah dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu, yang diterbitkan oleh BUS atau UUS untuk memperoleh sumber pendanaan. 11. Giro atas pemenuhan RIM yang selanjutnya disebut Giro RIM adalah saldo giro dalam Rekening Giro 5 Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUK untuk pemenuhan RIM. 12. Giro atas pemenuhan RIM Syariah yang selanjutnya disebut Giro RIM Syariah adalah saldo giro dalam Rekening Giro Rupiah di Bank Indonesia yang wajib dipelihara oleh BUS atau UUS untuk pemenuhan RIM Syariah. 13. Target RIM adalah kisaran RIM yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM. 14. Target RIM Syariah adalah kisaran RIM Syariah yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan Giro RIM Syariah. 15. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disebut KPMM adalah rasio hasil perbandingan antara modal terhadap aset tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum konvensional dan bank umum syariah. 16. KPMM Insentif adalah KPMM yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk perhitungan RIM atau RIM Syariah. 17. Parameter Disinsentif Bawah adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM kurang dari batas bawah Target RIM; atau b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah kurang dari batas bawah Target RIM Syariah. 18. Parameter Disinsentif Atas adalah parameter pengali yang digunakan dalam pemenuhan: a. Giro RIM bagi BUK yang memiliki RIM lebih dari batas atas Target RIM; atau 6 b. Giro RIM Syariah bagi BUS dan UUS yang memiliki RIM Syariah lebih dari batas atas Target RIM Syariah. 19. Penyangga Likuiditas Makroprudensial yang selanjutnya disingkat PLM adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUK dalam bentuk surat berharga yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUK dalam rupiah. 20. Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah yang selanjutnya disebut PLM Syariah adalah cadangan likuiditas minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh BUS dalam bentuk surat berharga syariah yang memenuhi persyaratan tertentu, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK BUS dalam rupiah. 21. Jakarta Interbank Offered Rate yang selanjutnya disebut JIBOR adalah Jakarta Interbank Offered Rate sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai suku bunga penawaran antarbank. 22. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 23. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 23A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah Sukuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter, dalam mata uang rupiah. 7 24. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 25. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat berharga yang terdiri atas surat utang negara dalam mata uang rupiah dan surat berharga syariah negara dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 26. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara, dalam mata uang rupiah. 27. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara atau sukuk negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara, dalam mata uang rupiah. 28. Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut PUAS adalah pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. 29. Sertifikat Investasi Mudarabah Antarbank yang selanjutnya disingkat SIMA adalah sertifikat investasi mudarabah antarbank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikat investasi mudarabah antarbank. 30. Tingkat Indikasi Imbalan SIMA adalah rata-rata tertimbang tingkat indikasi imbalan SIMA dalam rupiah yang terjadi di PUAS pada pasar perdana. 31. Laporan Berkala Bank Umum yang selanjutnya disingkat LBBU adalah laporan berkala bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank 8 Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 32. Laporan Berkala Bank Umum bagi BUS dan UUS yang selanjutnya disebut LBBUS adalah laporan berkala bank umum bagi BUS dan UUS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan berkala bank umum. 33. Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disingkat LHBU adalah laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. 34. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 2. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Jenis surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) yaitu: a. SBI untuk seluruh jangka waktu; b. SBIS untuk seluruh jangka waktu; c. SDBI untuk seluruh jangka waktu; d. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau e. SBN yang terdiri atas: 1. SUN berupa obligasi negara dan/atau surat perbendaharaan negara, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SUN yang tidak dapat diperdagangkan (non- tradable); dan/atau 9 2. SBSN berupa SBSN jangka panjang dan/atau SBSN jangka pendek untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). (2) SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS, dalam: a. depository account (Rekening DEPO) dengan subrekening available for sale (AVAI), not available for sale (NAVL), dan available waiting for reselling (AWAS); b. intraday liquidity facility account (Rekening ILF) dengan subrekening AVAI; dan c. failure to settle account (Rekening FtS) dengan subrekening AVAI, namun tidak termasuk SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. (3) Penetapan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. (4) Nilai SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang digunakan dalam perhitungan PLM menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. (5) Bagi BUK yang memiliki UUS, SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI-SSSS, namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki UUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. 10 3. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. (2) Bagi BUK yang memiliki UUS, pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memperhitungkan: a. SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik UUS yang tercatat pada rekening surat berharga UUS di BI- SSSS; dan b. rata-rata harian jumlah DPK UUS dalam rupiah. 4. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Jenis surat berharga syariah yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) yaitu: a. SBIS untuk seluruh jangka waktu; b. SukBI untuk seluruh jangka waktu; dan/atau c. SBSN yang terdiri atas: 1. SBSN jangka panjang; dan/atau 2. SBSN jangka pendek, untuk seluruh jenis dan jangka waktu, tidak termasuk SBSN yang tidak dapat diperdagangkan (non-tradable). 11 (2) SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dapat diperhitungkan dalam pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI- SSSS yaitu dalam: a. Rekening DEPO dengan subrekening AVAI, NAVL, dan AWAS; b. Rekening ILF dengan subrekening AVAI; dan c. Rekening FtS dengan subrekening AVAI, namun tidak termasuk SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga sub-registry. (3) Penetapan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS dilakukan berdasarkan data yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI- SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada posisi akhir hari yaitu pada saat cut off time BI-SSSS. (4) Nilai SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang digunakan dalam perhitungan PLM Syariah menggunakan harga yang tercantum di BI-SSSS. 5. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata- rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya. 12 6. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 Pemenuhan PLM bagi BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM dihitung untuk masing- masing BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM hanya dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan menggunakan data gabungan BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 terdiri atas: a) bagi BUK, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SDBI, SukBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan b) bagi BUK yang memiliki UUS, meliputi data: 1) saldo rekening SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN BUK hasil penggabungan atau peleburan; 13 2) penggabungan data DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan 3) saldo Rekening Giro Rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan; dan 3. pemenuhan PLM sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN milik BUK hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUK di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah dari BUK yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUK hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM dihitung untuk BUK hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. 7. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Pemenuhan PLM Syariah bagi BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan diatur sebagai berikut: a. sampai dengan 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk masing-masing BUS dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; b. sejak 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan atau peleburan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia, pemenuhan PLM Syariah diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan PLM Syariah hanya dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan 14 menggunakan data gabungan BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan sampai dengan data BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia; 2. data gabungan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 meliputi data: a) saldo rekening SBIS, SukBI, dan/atau SBSN BUS hasil penggabungan atau peleburan; b) penggabungan data DPK BUS dalam rupiah dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c) saldo Rekening Giro Rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan; dan 3. pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dihitung dengan membandingkan jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik BUS hasil penggabungan atau peleburan yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS terhadap rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah dari BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan; dan c. pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil penggabungan atau peleburan tersedia maka pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil penggabungan atau peleburan dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. 8. Ketentuan Pasal 41 ayat (5) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS harus memenuhi Giro RIM dan PLM sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. 15 (2) BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK harus memenuhi Giro RIM Syariah dan PLM Syariah sejak tanggal efektif pelaksanaan kegiatan usaha BUS. (3) Pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menggunakan data saat bank belum melaksanakan kegiatan usaha sebagai BUS sampai dengan 1 (satu) hari sebelum data DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia. (4) Pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. perhitungan RIM Syariah menggunakan: 1. data Pembiayaan yang diperoleh dari data kredit BUK dalam pos kredit yang diberikan kepada pihak ketiga bukan bank dalam rupiah dan valuta asing dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; 2. data DPK yang diperoleh dari data DPK BUK dalam rupiah dan valuta asing dalam pos giro, pos tabungan, dan pos simpanan berjangka dalam Formulir 2 Neraca Mingguan Pada Tanggal Akhir Periode Data Laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; 3. data surat berharga syariah korporasi yang dimiliki yang diperoleh dari data surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dalam saldo total harga perolehan surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode 16 laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; dan 4. data surat berharga yang diterbitkan yang diperoleh dari data surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam rupiah dan valuta asing yang diperoleh dari saldo total nilai nominal surat berharga yang diterbitkan oleh BUK dalam laporan surat berharga sebagaimana tercantum dalam Lampiran I posisi 2 (dua) periode laporan sebelumnya yang disampaikan BUK kepada Bank Indonesia secara bulanan; dan b. pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan: 1. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; dan 2. data KPMM yang diperoleh dari data KPMM triwulanan BUK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (5) Pemenuhan PLM Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. data rata-rata harian jumlah DPK yang diperoleh dari data rata-rata DPK BUK dalam rupiah dalam Formulir 1 Laporan Dana Pihak Ketiga Rupiah dan Valuta Asing dalam 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya dalam LBBU; dan b. data SBIS, SukBI, dan/atau SBSN milik BUS yang tercatat pada rekening surat berharga BUS di BI-SSSS setiap akhir hari dalam 2 (dua) periode laporan. 17 (6) Pada saat data DPK dalam rupiah BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK tersedia, pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah bagi BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK berlaku ketentuan sebagai berikut: a. pemenuhan Giro RIM Syariah diatur sebagai berikut: 1. pemenuhan Giro RIM Syariah dihitung untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; 2. khusus data: a) surat berharga syariah korporasi yang dimiliki; dan b) surat berharga syariah yang diterbitkan, yang digunakan dalam perhitungan RIM Syariah untuk pemenuhan Giro RIM Syariah menggunakan data BUK sampai dengan tersedianya data BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK; dan 3. data KPMM yang digunakan yaitu data KPMM triwulanan BUK sampai dengan tersedianya data KPMM triwulanan BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK; dan b. pemenuhan PLM Syariah dihitung untuk BUS hasil perubahan kegiatan usaha dari BUK dengan cara pemenuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 18 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/33/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk memperkuat kerangka operasi moneter dan sejalan dengan kebutuhan likuiditas perbankan syariah, Bank Indonesia menerbitkan SukBI sebagai salah satu instrumen operasi moneter. SukBI merupakan instrumen yang likuid dan dapat diperdagangkan (tradable) sehingga menjadi alternatif manajemen likuiditas bagi perbankan dan sebagai salah satu surat berharga yang diperhitungkan dalam pemenuhan PLM dan PLM Syariah. Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 3 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œobligasi negaraโ€ adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. Yang dimaksud dengan โ€œsurat perbendaharaan negaraโ€ adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œSBSN jangka panjangโ€ adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Yang dimaksud dengan โ€œSBSN jangka pendekโ€ 4 adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œDepository Account (Rekening DEPO)โ€ adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening available for sale (AVAI)โ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening not available for sale (NAVL)โ€ adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening available waiting for reselling (AWAS)โ€ adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œintraday liquidity facility account (Rekening ILF)โ€ adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening available for sale (AVAI)โ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. 5 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œfailure to settle account (Rekening FtS)โ€ adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening available for sale (AVAI)โ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PLM BUK X pada tanggal 1 Agustus 2019 yang dihitung pada tanggal 2 Agustus 2019 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SBI, SDBI, dan SukBI pada tanggal 1 Agustus 2019, nilai nominal SBIS, serta harga SBN pada tanggal 31 Juli 2019. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 29 Ayat (1) Rumus pemenuhan PLM sebagai berikut: PLM = Jumlah SBI, SBIS, SDBI, SukBI, dan/atau SBN yang dimiliki BUK setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya x 100% Perhitungan pemenuhan PLM didasarkan pada DPK BUK dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: 6 a. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata- rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œSBSN jangka panjangโ€ adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œSBSN jangka pendekโ€ adalah surat berharga syariah negara yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua 7 belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œRekening DEPOโ€ adalah rekening untuk mencatat kepemilikan surat berharga dan/atau instrumen keuangan lainnya atas hasil setelmen transaksi. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening AVAIโ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening NAVLโ€ adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga dengan tujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh waktu (hold to maturity). Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening AWASโ€ adalah subrekening yang digunakan untuk mencatat surat berharga yang dimiliki dengan tujuan untuk dijual kembali dalam waktu dekat. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œRekening ILFโ€ adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang akan digunakan peserta sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement untuk memperoleh fasilitas likuiditas intrahari dalam sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening AVAIโ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œRekening FtSโ€ adalah rekening untuk mencatat surat berharga yang digunakan peserta BI-SSSS untuk prefund sistem kliring nasional Bank Indonesia. 8 Yang dimaksud dengan โ€œsubrekening AVAIโ€ adalah subrekening yang digunakan untuk setelmen seluruh transaksi surat berharga dan instrumen lainnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: PLM Syariah BUS Y pada tanggal 1 November 2019 yang dihitung pada tanggal 4 November 2019 menggunakan data dan nilai surat berharga di BI-SSSS yaitu harga SukBI pada tanggal 1 November 2019, serta nilai nominal SBIS dan harga SBSN pada tanggal 31 Oktober 2019. Angka 5 Pasal 34 Rumus pemenuhan PLM Syariah sebagai berikut: PLM Syariah = Jumlah SBIS, SukBI, dan/atau SBSN yang dimiliki BUS setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan Rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya x 100% Perhitungan pemenuhan PLM Syariah didasarkan pada DPK BUS dalam rupiah dengan periode laporan sebagai berikut: a. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 menggunakan rata- rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 7 dan periode laporan sejak tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 bulan sebelumnya; dan b. PLM Syariah untuk periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan 9 menggunakan rata-rata harian jumlah DPK BUS dalam rupiah selama periode laporan sejak tanggal 16 sampai dengan tanggal 23 dan periode laporan sejak tanggal 24 sampai dengan tanggal akhir bulan sebelumnya. Angka 6 Pasal 38 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œtanggal efektifโ€ adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Huruf b) Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM. Angka 3 Bagi BUK yang memiliki UUS maka jumlah DPK BUK dalam rupiah termasuk DPK UUS dalam rupiah. 10 Huruf c Cukup jelas. Angka 7 Pasal 40 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œtanggal efektifโ€ adalah tanggal pelaksanaan operasional BUS hasil penggabungan atau peleburan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Saldo Rekening Giro Rupiah digunakan dalam hal terjadi pelanggaran pemenuhan PLM Syariah. Angka 3 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka 8 Pasal 41 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtanggal efektifโ€ adalah tanggal pelaksanaan operasional BUK melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 11 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/33/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 17 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 17 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/31/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penguatan kredibilitas pasar keuangan perlu dilakukan peningkatan kompetensi dan integritas pelaku pasar dengan penerapan kewajiban sertifikasi tresuri dan kode etik pasar; b. bahwa penyelenggaraan sertifikasi tresuri dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang diakui Bank Indonesia; c. bahwa penerapan kode etik pasar oleh pelaku pasar dilakukan berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh asosiasi profesi, dan/atau asosiasi/komite industri jasa keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6046); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia 2 Tahun 2017 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Uang adalah bagian dari sistem keuangan yang bersangkutan dengan kegiatan perdagangan, pinjam- meminjam, atau pendanaan berjangka pendek sampai dengan 1 (satu) tahun dalam mata uang rupiah dan valuta asing, yang berperan dalam transmisi kebijakan moneter, pencapaian stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran. 2. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan pembelian valuta asing terhadap rupiah atau valuta asing terhadap valuta asing lainnya. 3. Pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Pelaku Pasar adalah pihak yang bertransaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya. 4. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan, dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan unit usaha syariah. 5. Perusahaan Pialang adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia 3 yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. 6. Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pasar modal. 7. Aktivitas Tresuri adalah kegiatan transaksi keuangan secara langsung yaitu terkait penjualan produk dan/atau pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya. 8. Tresuri adalah unit kerja pada struktur organisasi Pelaku Pasar yang melaksanakan Aktivitas Tresuri, baik di kantor pusat maupun kantor cabang. 9. Direksi adalah: a. direksi sebagaimana dimaksud dalam undang- undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas bagi Pelaku Pasar yang berbentuk hukum perseroan terbatas; dan b. pimpinan kantor cabang bagi Pelaku Pasar yang berbentuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang membawahkan Tresuri. 10. Pegawai adalah pejabat dan staf Pelaku Pasar yang melakukan Aktivitas Tresuri di Tresuri. 11. Kode Etik Pasar adalah norma moral profesional tentang perbuatan yang harus dilakukan dan yang harus dihindari yang menjadi pedoman berperilaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya. 12. Sertifikat Tresuri adalah sertifikat yang menunjukkan kompetensi di bidang Tresuri. 13. Sertifikasi Tresuri adalah proses pemberian Sertifikat Tresuri yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus. 14. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri adalah sertifikat yang menunjukkan kompetensi di bidang Tresuri terkait pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja di pasar 4 keuangan, ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya, dan Kode Etik Pasar. 15. Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar adalah sertifikat yang menunjukkan kompetensi terkait ketentuan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya dan Kode Etik Pasar. 16. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari institusi yang berwenang untuk melakukan kegiatan Sertifikasi Tresuri. 17. Skema Sertifikasi adalah paket kompetensi dan persyaratan lain yang berkaitan dengan kategori jabatan atau keterampilan tertentu dari seseorang. 18. Pemeliharaan Kompetensi adalah proses pengkinian pengetahuan dan kompetensi pemilik Sertifikat Tresuri. BAB II KODE ETIK PASAR Pasal 2 (1) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip konvensional mengacu pada kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi/komite industri jasa keuangan konvensional. (2) Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip syariah mengacu pada kode etik yang diterbitkan oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi/komite industri jasa keuangan syariah. Pasal 3 (1) Kode Etik Pasar harus dipahami dan diterapkan oleh Direksi dan Pegawai. 5 (2) Pelaku Pasar wajib memiliki prosedur internal untuk memastikan Direksi dan Pegawai memahami dan menerapkan Kode Etik Pasar. Pasal 4 Prosedur internal Pelaku Pasar mengenai penerapan Kode Etik Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling sedikit memuat hal sebagai berikut: a. kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar; b. penerapan Kode Etik Pasar; c. pengendalian penerapan Kode Etik Pasar; dan d. tata cara penyelesaian permasalahan penerapan Kode Etik Pasar. Pasal 5 Penyelesaian permasalahan dalam penerapan Kode Etik Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dilakukan secara internal dan/atau eksternal. BAB III KEANGGOTAAN ASOSIASI Pasal 6 (1) Pelaku Pasar berbentuk Bank berdasarkan prinsip konvensional dan Perusahaan Pialang harus memastikan Direksi dan Pegawai menjadi anggota asosiasi profesi Tresuri konvensional. (2) Pelaku Pasar berbentuk Bank berdasarkan prinsip syariah harus memastikan Direksi dan Pegawai menjadi anggota asosiasi profesi Tresuri syariah. (3) Pelaku Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memiliki prosedur internal untuk memastikan Direksi dan Pegawai menjadi anggota asosiasi profesi Tresuri. 6 BAB IV SERTIFIKAT TRESURI DAN PEMELIHARAAN KOMPETENSI Bagian Kesatu Sertifikat Tresuri Pasal 7 Sertifikat Tresuri berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang setiap 3 (tiga) tahun. Pasal 8 (1) Sertifikat Tresuri dapat diperpanjang dengan syarat pemilik Sertifikat Tresuri telah mengikuti Pemeliharaan Kompetensi. (2) Pemeliharaan Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum jangka waktu Sertifikat Tresuri berakhir. Pasal 9 Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar berbentuk Bank diatur sebagai berikut: a. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri tingkat lanjut untuk: 1. direktur yang membawahkan Tresuri; dan 2. Pegawai 1 (satu) tingkat di bawah jabatan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan membawahkan lebih dari 1 (satu) jenjang jabatan; b. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah tingkat menengah untuk Pegawai yang membawahkan paling sedikit 1 (satu) jenjang jabatan; dan c. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah tingkat dasar untuk Pegawai yang tidak membawahkan jabatan lainnya. 7 Pasal 10 Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar berbentuk Perusahaan Pialang yaitu Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah tingkat dasar. Pasal 11 Sertifikat Tresuri untuk Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar berbentuk Perusahaan Efek beserta perusahaan induknya dan lembaga lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia diatur sebagai berikut: a. Sertifikat Kompetensi Profesi Tresuri paling rendah tingkat dasar; atau b. sertifikat lain yang diakui oleh otoritas pasar modal dan dilengkapi dengan Sertifikat Kompetensi Peraturan dan Kode Etik Pasar. Bagian Kedua Pemeliharaan Kompetensi Pasal 12 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi menetapkan dan mempublikasikan persyaratan untuk menjadi penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi dan kriteria masing-masing bentuk kegiatan yang diakui sebagai Pemeliharaan Kompetensi. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi mempublikasikan nama penyelenggara dan bentuk kegiatan yang telah diakui sebagai Pemeliharaan Kompetensi. (3) Publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui situs Lembaga Sertifikasi Profesi dan/atau media publikasi lain. 8 BAB V LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI Bagian Kesatu Perangkat Organisasi Pasal 13 Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki perangkat organisasi paling sedikit terdiri atas: a. struktur organisasi; b. forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi; dan c. pedoman kerja internal. Pasal 14 Struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a paling sedikit terdiri atas: a. dewan atau komite pengarah; b. dewan atau komite kode etik; c. dewan atau komite sertifikasi; dan d. pengurus harian. Pasal 15 Dewan atau komite pengarah paling sedikit memiliki 1 (satu) orang anggota yang mewakili unsur pimpinan asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri jasa keuangan. Pasal 16 Anggota dewan atau komite pengarah, anggota dewan atau komite kode etik, dan anggota dewan atau komite sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 paling sedikit harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kompetensi yang baik; b. memiliki pengalaman di industri jasa keuangan paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; c. tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dan keuangan; 9 d. e. tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun; dan tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pasal 17 (1) Pengurus harian Lembaga Sertifikasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d paling sedikit memiliki bidang tugas: a. sertifikasi; b. standardisasi; c. teknologi informasi; dan d. pengembangan dan pengkajian. (2) Keanggotaan pengurus harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kompetensi yang baik; b. berpengalaman dan/atau memiliki keahlian yang memadai di bidang tugas terkait; c. berpengalaman di industri jasa keuangan paling sedikit 5 (lima) tahun; d. tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun; dan e. tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; f. g. tidak memiliki jabatan rangkap di Pelaku Pasar; dan tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi lain maupun penyelenggara pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Tresuri. 10 Pasal 18 Forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b merupakan perangkat organisasi yang menetapkan kelulusan akhir peserta Sertifikasi Tresuri. Pasal 19 Pedoman kerja internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c paling sedikit memuat: a. peraturan bahwa anggota yang mengambil keputusan mengenai Sertifikasi Tresuri dan asesor kompetensi, tidak berperan serta dalam pelatihan calon peserta; tata cara penyusunan materi uji; dan b. c. tata cara pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, atau pencabutan Sertifikasi Tresuri, termasuk penatausahaannya. Bagian Kedua Skema Sertifikasi Pasal 20 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki Skema Sertifikasi yang paling sedikit memuat: a. program Sertifikasi Tresuri; b. program Pemeliharaan Kompetensi; dan c. perpanjangan Sertifikasi Tresuri. (2) Program Sertifikasi Tresuri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. paket kompetensi yang akan diuji dalam bahasa Indonesia; b. persyaratan peserta sertifikasi, termasuk persyaratan khusus dalam hal peserta sertifikasi tidak perlu mengikuti sertifikasi secara bertingkat; c. kriteria tenaga penguji atau asesor; d. besaran biaya sertifikasi; dan e. proses sertifikasi. 11 Bagian Ketiga Tata Cara Pengajuan Lembaga Sertifikasi Profesi yang Diakui Bank Indonesia Pasal 21 Lembaga Sertifikasi Profesi mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk menjadi Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia dengan menyertakan dokumen persyaratan sebagai berikut: a. b. fotokopi akta pendirian beserta perubahannya; fotokopi lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang telah dilegalisir; c. surat rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri jasa keuangan; d. bagan struktur organisasi; e. dokumen pendukung dari masing-masing sumber daya manusia dalam struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf d, terdiri atas: 1) riwayat hidup yang paling sedikit memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan; dan 2) surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa: a) yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dan keuangan; b) tidak sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka dengan ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun; c) tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan d) khusus untuk pengurus harian, tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan 12 Kompetensi lain maupun penyelenggara pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Tresuri; f. pedoman yang mengatur bahwa anggota forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi dan asesor tidak berperan serta dalam pelatihan calon peserta; g. pedoman tata cara pengakuan penyelenggaraan Pemeliharaan Kompetensi; dan h. Skema Sertifikasi. Pasal 22 (1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Profesi mengenai keputusan Bank Indonesia atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak dokumen persyaratan diterima dan dinyatakan lengkap oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia mencantumkan Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah diakui dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia. (3) Daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipublikasikan pada situs Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya. Bagian Keempat Penatausahaan Pasal 23 Lembaga Sertifikasi Profesi menatausahakan Sertifikat Tresuri dan Pemeliharaan Kompetensi yang paling sedikit memuat: a. nomor Sertifikat; b. c. identitas pemilik Sertifikat Tresuri; tanggal penerbitan dan masa berlaku Sertifikat Tresuri; d. Pemeliharaan Kompetensi pemilik Sertifikat Tresuri; dan e. tingkatan Sertifikat Tresuri. 13 BAB VI PENYAMPAIAN LAPORAN Bagian Kesatu Penyampaian Laporan oleh Pelaku Pasar Pasal 24 (1) Pelaku Pasar menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang terdiri atas: a. daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun; b. laporan tindak lanjut terhadap Direksi dan Pegawai yang belum memenuhi ketentuan kewajiban Sertifikasi Tresuri; dan c. laporan daftar Direksi dan Pegawai yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran Kode Etik Pasar. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak Direksi atau Pegawai yang bersangkutan diberhentikan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 14 Bagian Kedua Penyampaian Laporan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Pasal 25 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang terdiri atas: a. b. laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun beserta tingkatan Sertifikat Tresuri; laporan daftar pemilik Sertifikat Tresuri dalam proses, yang meliputi penundaan penerbitan, pembekuan dan/atau pencabutan Sertifikat Tresuri, beserta alasannya; c. d. laporan rencana perubahan Skema Sertifikasi; dan laporan hasil perubahan Skema Sertifikasi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan ke Bank Indonesia setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling lambat pada bulan berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum dilakukan perubahan. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah dilakukan perubahan. Pasal 26 Dalam hal terdapat perubahan atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Lembaga Sertifikasi Profesi harus memberitahukan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia, disertai dengan dokumen pendukung. 15 BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Tata Cara Pengenaan Sanksi bagi Pelaku Pasar Pasal 27 Dalam hal Pelaku Pasar dikenakan sanksi berupa teguran tertulis atas pelanggaran Peraturan Bank Indonesia mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang. Pasal 28 Dalam hal Pelaku Pasar dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar atas pelanggaran Peraturan Bank Indonesia mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar, dilakukan langkah sebagai berikut: a. Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan pengenaan sanksi kepada Pelaku Pasar dengan tembusan kepada otoritas yang berwenang; b. untuk Pelaku Pasar berbentuk Bank, Bank Indonesia melakukan pendebetan rekening giro Bank di Bank Indonesia. c. untuk Pelaku Pasar berbentuk selain Bank, Pelaku Pasar melakukan kewajiban membayar kepada Bank Indonesia melalui nomor rekening sebagaimana dicantumkan dalam surat pemberitahuan pengenaan sanksi. Bagian Kedua Tata Cara Pengenaan Sanksi bagi Lembaga Sertifikasi Profesi Pasal 29 Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi dikenakan sanksi berupa teguran tertulis atas pelanggaran Peraturan Bank Indonesia mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode 16 etik pasar, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Profesi. Pasal 30 Dalam hal terdapat rekomendasi dari otoritas terkait dan/atau rekomendasi asosiasi profesi Tresuri sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Profesi. Pasal 31 Dalam hal Lembaga Sertifikasi Profesi menerima sanksi teguran tertulis dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 sebanyak 3 (tiga) kali dalam waktu 6 (enam) bulan, Lembaga Sertifikasi Profesi dikenakan sanksi dikeluarkan dari daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia. BAB VIII KORESPONDENSI Pasal 32 (1) Korespondensi terkait permohonan, pelaporan, dan korespondensi lainnya kepada Bank Indonesia ditujukan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat dan/atau media lainnya. 17 BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Ketentuan mengenai penyampaian laporan daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, untuk pertama kali disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 34 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 April 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR I. UMUM Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Dalam hal ini Pelaku Pasar bertanggung jawab atas kompetensi dan integritas Direksi dan Pegawai yang melakukan Aktivitas Tresuri. Upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar tersebut perlu didukung dengan adanya Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya. Lembaga Sertifikasi Profesi yang terpercaya harus dikelola dengan baik, yaitu sesuai standar profesi yang berlaku di Indonesia, dikelola oleh sumber daya manusia berkualitas, berpengalaman dan kredibel, serta memiliki perangkat organisasi yang memadai. Dalam rangka mewujudkan kredibilitas pasar keuangan dimaksud, terdapat kewajiban Pelaku Pasar untuk memastikan Direksi dan Pegawainya memiliki Sertifikat Tresuri yang sesuai dengan bentuk Pelaku Pasar dan jenjang jabatan serta memastikan penerapan Kode Etik Pasar. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Ayat (1) Asosiasi/komite industri jasa keuangan antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC). Kode Etik Pasar yang diterbitkan oleh IFEMC pada saat ini adalah Market Code of Conduct. Ayat (2) Asosiasi profesi syariah antara lain Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA). Kode Etik Pasar yang diterbitkan oleh IIGMA pada saat ini adalah Islamic Financial Market Code of Conduct (iCoC). Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar antara lain dengan mengikuti pelatihan dan membuat surat pernyataan telah memahami dan mengerti Kode Etik Pasar. Huruf b Penerapan Kode Etik Pasar dilakukan dalam pelaksanaan Aktivitas Tresuri oleh Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar. Huruf c Pengendalian penerapan Kode Etik Pasar dilakukan oleh atasan Pegawai dan unit kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal dan/atau unit kerja yang melaksanakan fungsi audit internal sesuai dengan ketentuan internal Pelaku Pasar. Huruf d Cukup jelas. Pasal 5 Penyelesaian permasalahan dalam penerapan Kode Etik Pasar secara eksternal dapat dilakukan antara lain melalui Association Cambiste Internationale โ€“ The Financial Markets Association Indonesia (ACI FMA Indonesia), IIGMA, atau IFEMC. 3 Pasal 6 Ayat (1) Asosiasi profesi Tresuri konvensional antara lain ACI FMA Indonesia. Ayat (2) Asosiasi profesi Tresuri syariah antara lain IIGMA. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Angka 1 Direktur mencakup pula wakil direktur. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Sertifikat lain yang diakui oleh otoritas pasar modal antara lain sertifikat Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE), sertifikat Wakil Manajer Investasi (WMI), sertifikat Wakil Penjamin Emisi Efek (WPEE), dan sertifikat Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana 4 (WAPERD) sebagaimana tercantum dalam peraturan otoritas terkait. Pasal 12 Ayat (1) Persyaratan penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi dan kriteria masing-masing bentuk kegiatan yang diakui sebagai Pemeliharaan Kompetensi merupakan pedoman bagi penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi untuk melaksanakan kegiatan yang dapat diakui sebagai Pemeliharaan Kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Bentuk kegiatan yang diakui Lembaga Sertifikasi Profesi sebagai Pemeliharaan Kompetensi antara lain berupa ujian tertulis atau lisan, in-house training, seminar, workshop, lokakarya, dan/atau e-learning. Ayat (2) Publikasi Lembaga Sertifikasi Profesi mengenai nama penyelenggara dan bentuk kegiatan yang telah diakui Lembaga Sertifikasi Profesi sebagai Pemeliharaan Kompetensi merupakan pedoman bagi pemilik Sertifikat Tresuri untuk mengikuti Pemeliharaan Kompetensi. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Yang dimaksud dengan โ€œunsur pimpinanโ€ adalah ketua dan wakil ketua asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri jasa keuangan. Pasal 16 Huruf a Cukup jelas. 5 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œtindakan tercelaโ€ antara lain melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window dressing di bidang perbankan dan keuangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Pengurus harian dapat menangani lebih dari satu bidang tugas sepanjang memiliki pengalaman dan/atau keahlian yang memadai. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Paket kompetensi terdiri atas unit kompetensi dan parameter. Yang dimaksud dengan โ€œunit kompetensiโ€ adalah silabus materi yang akan diujikan. Yang dimaksud dengan โ€œparameterโ€ adalah alat ukur untuk menilai kompetensi antara lain berupa pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung kompetensi, keterampilan 6 dan sikap kerja, pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, prosedur, dan Kode Etik Pasar. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Huruf a) Yang dimaksud dengan โ€œtindakan tercelaโ€ antara lain melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window dressing di bidang perbankan dan keuangan. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Cukup jelas. 7 Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Sertifikasi Profesi dalam hal terdapat dokumen persyaratan yang tidak lengkap. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pemeliharaan Kompetensi yang ditatausahakan adalah Pemeliharaan Kompetensi yang diakui oleh Lembaga Sertifikasi Profesi, baik yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi itu sendiri maupun oleh lembaga lain. Huruf e Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 8 Huruf b Laporan dibuat untuk menyampaikan rencana kegiatan sampai dengan batas waktu pemenuhan kepemilikan sertifikat. Huruf c Laporan hanya disampaikan apabila terdapat pemberhentian Direksi dan/atau Pegawai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan hanya disampaikan dalam hal terdapat pemilik Sertifikat Tresuri yang ditunda penerbitannya, dibekukan, dan/atau dicabut sertifikasinya. Huruf c Laporan hanya disampaikan apabila terdapat rencana perubahan Skema Sertifikasi. Huruf d Laporan hanya disampaikan apabila terdapat perubahan Skema Sertifikasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 9 Pasal 26 Yang dimaksud dengan โ€œperubahan atas dokumenโ€ adalah perubahan yang terjadi setelah Lembaga Sertifikasi Profesi dicantumkan dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang diakui Bank Indonesia. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. 10 LAMPIRAN I PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TANGGAL 28 APRIL 2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR LAPORAN DAFTAR DIREKSI DAN PEGAWAI SERTA KEPEMILIKAN SERTIFIKAT TRESURI Pelaku Pasar Periode Laporan No. Nama : ... : Tahun โ€ฆ Nomor Induk Kependudukan (NIK) Tanggal Lahir Unit Kerja Jabatan Tanggal Menjabat No. Sertifikat Tingkatan Sertifikat Tanggal Penerbitan Sertifikat Tanggal Kadaluarsa Sertifikat Penerbit Sertifikat No. Anggota Asosiasi Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *) *) Coret yang tidak perlu [Kota], [Tanggal, bulan, tahun] [Tanda tangan dan stempel] [Nama Pejabat yang berwenang] [Jabatan] ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO 11 LAMPIRAN II PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TANGGAL 28 APRIL 2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR LAPORAN TINDAK LANJUT TERHADAP DIREKSI DAN PEGAWAI YANG BELUM MEMENUHI KEWAJIBAN SERTIFIKASI TRESURI Pelaku Pasar Periode Laporan No. Nama : ... : Tahun โ€ฆ Nomor Induk Kependudukan (NIK) Tanggal Lahir Jabatan Tingkatan Sertifikat yang Dimiliki Rencana Kegiatan Jadwal Pelaksanaan Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *) *) Coret yang tidak perlu [Kota], [Tanggal, bulan, tahun] [Tanda tangan dan stempel] [Nama Pejabat yang berwenang] [Jabatan] ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO 12 LAMPIRAN III PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TANGGAL 28 APRIL 2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR LAPORAN DAFTAR DIREKSI DAN PEGAWAI YANG DIBERHENTIKAN KARENA PELANGGARAN KODE ETIK PASAR Pelaku Pasar No. Nama : ... Nomor Induk Kependudukan (NIK) Bank/Pialang Pasar Uang/Perusahaan Efek/Lainnya *) Tanggal Tanggal Lahir Jabatan Pemberhentian Penjelasan Pelanggaran Kode Etik *) Coret yang tidak perlu [Kota], [Tanggal, bulan, tahun] [Tanda tangan dan stempel] [Nama Pejabat yang berwenang] [Jabatan] ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO 13 LAMPIRAN IV PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TANGGAL 28 APRIL 2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR LAPORAN DAFTAR PEMILIK SERTIFIKAT TRESURI Lembaga Sertifikasi Profesi Periode Laporan No. Nama Pemilik Sertifikat : ... : Tahun โ€ฆ Tanggal Lahir No. Induk Kependudukan (NIK) Nomor Sertifikat Tanggal Terbit Berlaku s.d. Tanggal Tingkatan [Kota], [Tanggal, bulan, tahun] [Tanda tangan dan stempel] [Nama Pejabat yang berwenang] [Jabatan] ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO 14 LAMPIRAN V PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TANGGAL 28 APRIL 2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR LAPORAN DAFTAR PEMILIK SERTIFIKAT TRESURI DALAM PROSES Lembaga Sertifikasi Profesi Periode Laporan No. Nama Pemilik Sertifikat : : ... ... Tanggal Lahir No. Induk Kependudukan (NIK) Tingkatan Sertifikat Proses *) Tanggal Proses Keterangan Alasan Proses *) Penundaan/Pembekuan/Pencabutan (pilih salah satu) [Kota], [Tanggal, bulan, tahun] [Tanda tangan dan stempel] [Nama Pejabat yang berwenang] [Jabatan] ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/5/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR </reg_title> <set_date> 28 April 2017 </set_date> <effective_date> 28 April 2017 </effective_date> <related_reg> '19/5/PBI/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/31/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas perbankan; b. bahwa untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas perbankan tersebut, perlu ditingkatkan besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo dengan Bank Indonesia pada instrumen penyangga likuiditas makroprudensial dan penyangga likuiditas makroprudensial syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 2 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 30 ayat (4) diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka. 3 (2) Bank Indonesia memperhitungkan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut: a. hanya terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM berlaku; dan b. bagi BUK yang memiliki UUS, jumlah surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo termasuk surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo oleh UUS dalam operasi pasar terbuka syariah. (3) Perhitungan surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga BUK dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). 2. Ketentuan Pasal 35 ayat (4) diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 (1) Dalam kondisi tertentu, surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka syariah. (2) Bank Indonesia hanya memperhitungkan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap transaksi repo yang dilakukan setelah kewajiban pemenuhan PLM Syariah berlaku. 4 (3) Perhitungan surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia melalui sistem aplikasi di Bank Indonesia. (4) Penggunaan surat berharga syariah dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUS dalam rupiah. (5) Bank Indonesia dapat mengubah besaran persentase penggunaan surat berharga syariah yang dapat digunakan dalam transaksi repo sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2018............ ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/31/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia memandang perlu untuk memberikan peningkatan fleksibilitas dan distribusi likuiditas dalam mendukung pengelolaan likuiditas perbankan, meskipun secara umum kondisi likuiditas perbankan saat ini masih memadai. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia meningkatkan besaran persentase penggunaan surat berharga yang dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka pada instrumen Penyangga Likuiditas Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial Syariah dari sebesar 2% (dua persen) menjadi 4% (empat persen). Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 30 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi repo kepada Bank Indonesiaโ€ adalah transaksi repurchase agreement (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Yang dimaksud dengan โ€œoperasi pasar terbukaโ€ adalah operasi pasar terbuka sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Ayat (2) Huruf a Surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM yaitu surat berharga yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 16 Juli 2018. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 2 Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi repo kepada Bank Indonesiaโ€ adalah transaksi repurchase agreement 3 (repo) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Yang dimaksud dengan โ€œoperasi pasar terbuka syariahโ€ adalah operasi pasar terbuka syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Ayat (2) Surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo yang diperhitungkan Bank Indonesia dalam pemenuhan PLM Syariah yaitu surat berharga syariah yang digunakan dalam transaksi repo pada operasi moneter syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka syariah yang dilaksanakan Bank Indonesia sejak tanggal 1 Oktober 2018. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/31/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 30 November 2018 </set_date> <effective_date> 30 November 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '20/4/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/21/PADG/2018 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi yang terkait dengan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik secara bulanan dan triwulanan yang tersedia secara tepat waktu, aman, akurat, handal, obyektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa untuk menyediakan informasi yang lebih lengkap, diperlukan penyempurnaan laporan serta pedoman bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dalam menyusun dan menyampaikan laporan melalui sistem Laporan Selain Bank Umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic 2ii Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4811); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5275); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6203); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK. 3ii BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat, yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik (electronic money). 2. Lembaga Selain Bank, yang selanjutnya disingkat LSB adalah badan usaha bukan bank yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan/atau uang elektronik (electronic money). 3. Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, yang selanjutnya disebut APMK adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu automated teller machine (ATM), dan/atau kartu debet. 4. Kartu Kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran. 5. Kartu automated teller machine (ATM) yang selanjutnya disebut Kartu ATM adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada BPR atau LSB yang berwenang 4ii untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 6. Kartu Debet adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada BPR atau LSB yang berwenang untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 7. Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: a. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; b. c. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 8. Pelapor adalah BPR dan LSB yang mempunyai kewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan kegiatan APMK dan Uang Elektronik kepada Bank Indonesia. 9. Penerbit adalah BPR atau LSB yang menerbitkan APMK dan/atau Uang Elektronik. 10. Acquirer adalah BPR dan LSB yang: a. melakukan kerja sama dengan penyedia barang dan/atau jasa sehingga penyedia barang dan/atau jasa mampu memproses transaksi dari APMK dan/atau Uang Elektronik yang diterbitkan oleh pihak selain Acquirer yang bersangkutan; dan b. bertanggung jawab atas penyelesaian pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa. 11. Penyelenggara Kliring adalah BPR atau LSB yang melakukan perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK dan/atau Uang Elektronik. 5ii 12. Penyelenggara Penyelesaian Akhir adalah BPR atau LSB yang melakukan dan bertanggung jawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing Penerbit dan/atau Acquirer dalam rangka transaksi APMK dan/atau Uang Elektronik berdasarkan hasil perhitungan dari Penyelenggara Kliring. 13. Laporan Penyelenggaraan Kegiatan APMK dan Uang Elektronik yang selanjutnya disebut Laporan adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor secara bulanan dan/atau triwulanan kepada Bank Indonesia melalui sistem laporan selain bank umum. 14. Sistem Laporan Selain Bank Umum, yang selanjutnya disebut Sistem LSBU adalah sistem penerimaan Laporan berbasis web yang disampaikan Pelapor melalui jaringan ekstranet. 15. Periode Pelaporan adalah masa penyampaian Laporan yang dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 setelah akhir bulan Laporan untuk Laporan bulanan dan dimulai sejak tanggal 1 sampai dengan tanggal 15 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari untuk Laporan triwulanan. 16. Online adalah penyampaian Laporan yang dilakukan secara langsung dengan mengirim dan/atau mengisi data dalam bentuk tampilan form melalui jaringan komunikasi data ke Bank Indonesia. 17. Offline adalah penyampaian Laporan yang dilakukan dengan menyampaikan rekaman data dalam bentuk media perekaman data elektronik kepada Bank Indonesia. 18. Layanan Keuangan Digital yang selanjutnya disingkat LKD adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile maupun berbasis web dalam rangka keuangan inklusif 19. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor, tidak termasuk pada saat Bank 6ii Indonesia menyelenggarakan kegiatan operasional terbatas. BAB II PELAPOR DAN RUANG LINGKUP LAPORAN Bagian Kesatu Pelapor Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. kantor pusat dari BPR; dan b. kantor pusat dari LSB, yang melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang Elektronik. Bagian Kedua Ruang Lingkup Laporan Pasal 3 Laporan yang disampaikan oleh kantor pusat dari BPR yang melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri atas: a. Laporan Penerbit Kartu ATM, meliputi: 1. Laporan penerbitan; 2. Laporan fraud; dan 3. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; dan/atau b. Laporan Penyelenggaraan Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (settlement). Pasal 4 Laporan yang disampaikan oleh kantor pusat dari LSB yang melakukan kegiatan APMK dan/atau Uang Elektronik 7ii sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Laporan Penerbit Kartu Kredit meliputi: 1. Laporan penerbitan; 2. Laporan fraud; 3. Laporan kolektibilitas; dan 4. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; b. Laporan Penerbit Uang Elektronik meliputi: 1. Laporan penerbitan; 2. Laporan fraud; dan 3. Laporan penanganan dan penyelesaian pengaduan nasabah; c. Laporan Acquirer Kartu Kredit, Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Uang Elektronik meliputi: 1. Laporan kegiatan; 2. Laporan infrastruktur; dan 3. Laporan fraud; d. Laporan Penyelenggaraan Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement); dan/atau e. Laporan Penyelenggara Kegiatan LKD meliputi: 1. Laporan perkembangan LKD; 2. Laporan transaksi LKD; 3. Laporan agen LKD; dan 4. Laporan permasalahan LKD. Pasal 5 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara lengkap, benar, dan akurat. (2) Pelapor harus menunjuk dan memberitahukan person in-charge (PIC) Laporan kepada Bank Indonesia. (3) Penunjukkan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab direksi BPR atau pimpinan LSB. 8ii (4) Dalam hal terjadi perubahan PIC sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor harus menginikan dan melaporkan perubahan tersebut kepada Bank Indonesia. BAB III FORMAT DAN JENIS LAPORAN Bagian Kesatu Laporan yang Disampaikan ke Bank Indonesia Pasal 6 (1) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mengacu kepada Pedoman Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan menggunakan format sebagai berikut: a. Laporan yang disusun secara bulanan terdiri atas: 1) form 301 โ€“ Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit; 2) form 302 โ€“ Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit; 3) form 303 โ€“ Laporan Bulanan Acquirer; 4) form 304 โ€“ Laporan Bulanan Infrastruktur; 5) form 306 โ€“ Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik; 6) form 307 โ€“ Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit; 7) form 314 โ€“ Laporan Bulanan Perkembangan Layanan Keuangan Digital; 8) form 315 โ€“ Laporan Bulanan Transaksi Layanan Keuangan Digital; 9) form 316 โ€“ Laporan Bulanan Agen Layanan Keuangan Digital; 10) form 317 โ€“ Laporan Bulanan Permasalahan Layanan Keuangan Digital; 9ii 11) form 318 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit per Regional; 12) form 319 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit per Sektor Usaha; 13) form 320 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Usia; 14) form 321 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit per Kelompok Penghasilan Pemegang Kartu Kredit; 15) form 322 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit per Limit Kartu Kredit; 16) form 323 โ€“ Laporan Bulanan Kartu Kredit Berdasarkan Jenis Transaksi; dan 17) form 324 โ€“ Laporan Bulanan Nominal Revolving Rate. b. Laporan yang disusun secara triwulanan terdiri atas: 1) form 305 โ€“ Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Akhir (Settlement); 2) form 309 โ€“ Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan); 3) form 310 โ€“ Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan yang Diselesaikan dalam Masa Laporan); 4) form 311 โ€“ Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan); 5) form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan 6) form 313 โ€“ Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa). 10ii Bagian Kedua Format Laporan yang Disampaikan oleh Pelapor Pasal 7 Pelapor BPR yang telah memperoleh izin sebagai Penerbit Kartu ATM dari Bank Indonesia wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri atas: a. form 302; b. form 306; c. form 309; d. form 310; e. form 311; f. form 312; dan g. form 313. Pasal 8 (1) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri atas: a. form 301; b. form 306; c. form 307; d. form 309; e. form 310; f. form 311; g. form 312; h. form 313; i. j. form 318; form 319; k. form 320; l. form 321; m. form 322; n. form 323; dan o. form 324. (2) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penerbit Uang Elektronik wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri atas: a. form 302; 11ii b. form 304; c. form 306; d. form 309; e. form 310; f. form 311; g. form 312; dan h. form 313. (3) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Acquirer Kartu Kredit wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari: a. form 303; b. form 304; c. form 306; d. form 318; e. form 319; f. form 320; g. form 321; h. form 322; dan i. form 323. (4) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Acquirer Kartu ATM, Kartu Debet, dan/atau Uang Elektronik wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari: a. form 303; b. form 304; dan c. form 306. (5) Pelapor LSB yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia terhadap rencana penyelenggaraan kegiatan LKD wajib menyampaikan jenis Laporan yang terdiri dari: a. form 314; b. form 315; c. form 316; dan d. form 317. (6) Pelapor LSB yang bertindak sebagai Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk APMK dan/atau Uang Elektronik wajib menyampaikan jenis Laporan form 305. 12ii Pasal 9 (1) Dalam hal Pelapor tidak memiliki data yang wajib disampaikan selama periode Laporan, kewajiban penyampaian Laporan tetap berlaku dengan mengirimkan form header. (2) Pelapor dapat menyampaikan koreksi atas Laporan yang telah disampaikan sebelumnya. BAB IV PENYAMPAIAN LAPORAN DAN KOREKSI LAPORAN Bagian Kesatu Tata Cara Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Online Pasal 10 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a setiap bulan, paling lambat tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. (2) Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b setiap triwulan, paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah triwulan Laporan. (3) Dalam hal hari terakhir penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada bukan Hari Kerja maka Laporan, koreksi Laporan, dan/atau form header disampaikan pada Hari Kerja berikutnya. 13ii Bagian Kedua Batas Waktu Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Online Pasal 11 (1) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan melalui Sistem LSBU secara Online. (2) Sistem LSBU secara Online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan 1 (satu) bulan setelah bulan Laporan untuk Laporan bulanan atau 1 (satu) bulan setelah triwulan Laporan untuk Laporan triwulanan. (3) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia yang dibuktikan dengan tanda terima dari Sistem LSBU. (4) Dalam hal penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan dilakukan secara Offline. Pasal 12 (1) Pelapor harus melakukan validasi teknis sesuai dengan spesifikasi penyusunan Laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran . (2) Pelapor wajib menyampaikan seluruh form sesuai dengan jenis Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8. (3) Dalam hal Pelapor melakukan penggabungan atau peleburan dengan Pelapor lain, masing-masing Pelapor peserta peleburan atau penggabungan tetap wajib menyampaikan Laporan yang disusun secara bulanan untuk bulan Laporan sebelum dilakukan peleburan atau penggabungan secara operasional masing-masing Pelapor. 14ii (4) Dalam hal Pelapor melakukan peleburan atau penggabungan dengan Pelapor lain sebelum berakhirnya masa Laporan yang disusun secara triwulanan, penyampaian Laporan untuk masa Laporan tersebut dilakukan oleh penggabungan. Pasal 13 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) apabila Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan setelah tanggal 15 pada bulan Laporan berikutnya. (2) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) apabila Pelapor menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan setelah tanggal 15 pada bulan berikutnya setelah triwulan Laporan. (3) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan yang belum disampaikan. Bagian Ketiga Penyampaian Laporan, Form Header, dan/atau Koreksi Laporan Secara Offline Pasal 14 (1) Dalam hal Pelapor mengalami gangguan teknis pada akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya pukul 10.00 waktu setempat secara Offline. Pelapor hasil peleburan atau 15ii (2) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis yang dialami kepada Bank Indonesia segera pada hari yang sama setelah terjadinya gangguan teknis yang ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang berwenang. (3) Dalam hal Bank Indonesia mengalami gangguan teknis maka Bank Indonesia memberitahukan kepada Pelapor terjadinya gangguan tersebut secara tertulis dan/atau dengan menggunakan sarana lain. (4) Dalam hal gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terjadi pada batas akhir Periode Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan paling lambat pada Hari Kerja berikutnya pukul 10.00 waktu setempat secara Offline. (5) Dalam hal Pelapor tidak menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (4) maka Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan. (6) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4), dan pemberitahuan secara tertulis mengenai gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan kepada: a. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Pelapor yang berkedudukan di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat, bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. 16ii Pasal 15 (1) Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan tidak berlaku bagi Pelapor yang mengalami keadaan memaksa (force majeure). (2) Pelapor yang tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera memberitahukan secara tertulisdisertai penjelasan mengenai penyebab terjadinya keadaan memaksa (force majeure) yang ditandatangani oleh pejabat Pelapor yang berwenang. (3) Pelapor harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah keadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia terdekat bagi Pelapor yang berkedudukan di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB V HAK AKSES LAPORAN Pasal 16 (1) Bank Indonesia menyediakan hak akses berupa user id atas Sistem LSBU sebanyak 1 (satu) fasilitas user id kepada setiap Pelapor tanpa dikenakan biaya. (2) Pelapor bertanggung jawab atas hak akses terhadap Sistem LSBU yang disediakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 17ii BAB VI SANKSI Pasal 17 (1) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau form header sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 14 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap form. (2) Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 14 ayat (5) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form per Hari Kerja keterlambatan dan paling banyak sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap form. (3) Pelapor yang menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 secara tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak akurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap item data dan paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap form. (4) Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dalam batas waktu periode penyampaian Online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pelapor hanya dikenakan sanksi terlambat menyampaikan koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tidak dikenakan sanksi terhadap penyampaian Laporan yang tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pelapor yang telah dikenakan sanksi menyampaikan Laporan secara tidak lengkap, tidak benar, dan/atau tidak akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan 18ii kesalahan Laporan ditemukan setelah melampaui periode penyampaian secara Online, Pelapor tidak dikenakan sanksi keterlambatan penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Pelapor dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dalam hal: a. Pelapor belum menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan sampai periode penyampaian Laporan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); dan/atau b. Pelapor tidak menyampaikan pemberitahuan tertulis perihal gangguan teknis dan/atau perihal keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan/atau Pasal 15 ayat (2). Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Pelapor mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Pelapor dan besarnya sanksi kewajiban membayar yang dikenakan. (2) Pembayaran sanksi kewajiban membayar dilakukan dengan cara transfer melalui bank umum untuk untung rekening Bank Indonesia yang diberitahukan oleh Bank Indonesia pada saat Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar BAB VI PENYAMPAIAN PERTANYAAN DAN/ATAU KORESPONDENSI Pasal 19 Dalam hal terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan sistem, materi, dan/atau ketentuan Laporan, Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021- 131 dan/atau melalui surat elektronik dengan alamat [email protected]. 19ii Pasal 20 Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat dan/atau alamat korespondensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6), Pasal 15 ayat (4), dan/atau Pasal 18, Bank Indonesia memberitahukan kepada Pelapor melalui surat dan/atau media lain. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/27/DSta tanggal 22 November 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 22 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2018. 20ii Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD MIRZA ADITYASWARA i PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/21/PADG/2018 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK I. UMUM Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia berwenang antara lain memberikan izin dan persetujuan atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran serta mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan penyelenggaraan kegiatan dimaksud kepada Bank Indonesia. Kewajiban penyampaian laporan kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran tersebut dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran agar tetap memenuhi prinsip penyelenggaraan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal. Selain itu, informasi yang diperoleh dari penyelenggara jasa sistem pembayaran juga diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter serta makroprudensial. Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut, Bank Indonesia memerlukan ketersediaan data dan informasi yang berkualitas dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Lembaga Selain Bank (LSB) sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran. Data dan informasi dimaksud berupa penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan 2i Kartu (APMK) dan Uang Elektronik, yang disampaikan melalui Sistem LSBU. Seiring dengan perkembangan kebutuhan data dan informasi terkait sistem pembayaran guna mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, perlu dilakukan perluasan cakupan data dan informasi yang dilaporkan oleh BPR dan LSB dalam Sistem LSBU. Sehubungan dengan perluasan cakupan data dan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pengaturan tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik (Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan PIC Laporan adalah petugas yang ditunjuk oleh Pelapor untuk melakukan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait dengan Laporan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab adalah bahwa tanggung jawab Laporan tetap melekat kepada direksi BPR atau pimpinan LSB. 3i Ayat (4) Pelapor dapat menginikan informasi PIC dengan cara menyesuaikan informasi dimaksud melalui form Informasi Pokok Pelapor di dalam Sistem LSBU. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtidak memiliki dataโ€ adalah kondisi dimana Pelapor yang berdasarkan statusnya memungkinkan melakukan kegiatan yang wajib dilaporkan melalui Sistem LSBU, namun sampai dengan akhir bulan Laporan tidak ada data yang dapat dilaporkan. Ayat (2) Koreksi Laporan dapat diakibatkan oleh data tidak lengkap, tidak benar, tidak akurat, dan/atau tidak terkini, baik yang diketahui oleh Pelapor maupun Bank Indonesia. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk data bulan Januari 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 Februari 2019. Ayat (2) Contoh: Laporan Triwulanan Penanganan dan Pengaduan Nasabah (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan) (form 309) untuk data 4i triwulan I tahun 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 April 2019. Ayat (3) Contoh: Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk data bulan Mei 2019 wajib disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 Juni 2019. Mengingat tanggal 15 Juni 2019 jatuh pada hari Sabtu maka Laporan tersebut paling lambat disampaikan pada hari Senin tanggal 17 Juni 2019. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Januari 2019 dilakukan secara Online sampai dengan akhir bulan Februari 2019. Contoh 2: Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan untuk data triwulan I tahun 2019 dilakukan secara Online sampai dengan akhir bulan April 2019. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œtanda terima dari Sistem LSBUโ€ adalah tampilan atau hasil cetakan komputer sebagai bukti bahwa Laporan yang disampaikan Pelapor telah diterima oleh Bank Indonesia. Ayat (4) Contoh 1: Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan untuk data bulan Januari 2019 dilakukan secara Offline setelah akhir bulan Februari 2019. Contoh 2: Penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan untuk data triwulan I tahun 2019 dilakukan secara Offline setelah akhir bulan April 2019. 5i Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Pada tanggal 1 Juli 2019, Pelapor A secara operasional telah melakukan peleburan atau penggabungan dengan Pelapor B. Masing-masing Pelapor wajib menyampaikan Laporan untuk data bulan Juni 2019. Sementara itu, Laporan untuk data bulan Juli 2019 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Pelapor hasil peleburan atau penggabungan. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 1 Mei 2019, Pelapor C secara operasional telah melakukan peleburan atau penggabungan dengan Pelapor D. Laporan untuk data bulan triwulan II tahun 2019 merupakan Laporan konsolidasi atau gabungan yang dilaporkan oleh Pelapor hasil peleburan atau penggabungan. Pasal 13 Ayat (1) Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) apabila Laporan dimaksud untuk data bulan Maret 2019 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 April 2019. Ayat (2) Contoh: Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan Triwulanan Penanganan dan Pengaduan Nasabah (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan) (form 309) apabila Laporan dimaksud untuk data triwulan II tahun 2019 diterima oleh Bank Indonesia setelah tanggal 15 Oktober 2019. 6i Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknis di Pelaporโ€ adalah gangguan yang menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia, antara lain karena gangguan pada sistem di internal Pelapor. Contoh: Pada tanggal 15 Agustus 2019, Pelapor E mengalami gangguan teknis sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia. Pelapor X harus menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline paling lambat tanggal 16 Agustus 2019 pukul 10:00 waktu setempat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknis di Bank Indonesiaโ€ adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima penyampaian Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online dari Pelapor, antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Yang dimaksud dengan โ€œsarana lainโ€ antara lain e-mail, telepon, atau faksimili. Ayat (4) Contoh: Pada tanggal 15 Mei 2019, terjadi gangguan teknis di Bank Indonesia sehingga Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Online kepada Bank Indonesia. Pelapor wajib menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan secara Offline paling lambat tanggal 16 Mei 2019 pukul 10:00 waktu setempat. 7i Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksa (force majeure)โ€ adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Pelapor tidak dapat menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksa (force majeure) dapat diatasi" adalah keadaan pada saat Pelapor secara normal telah dapat melaksanakan kegiatan operasional sehingga dapat menyusun dan menyampaikan Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud โ€œhak aksesโ€ adalah hak yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Pelapor untuk dapat mengirim Laporan, form header, dan/atau koreksi Laporan melalui log-in ke dalam Sistem LSBU di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. 8i Pasal 16 Ayat (1) Contoh 1: Pelapor F menyampaikan Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk data bulan Maret 2019 dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2019. Atas keterlambatan penyampaian Laporan tersebut, Pelapor F dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja = Rp1.000.000,00. Contoh 2: Pelapor G menyampaikan Laporan sebagai berikut: 1. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan Permasalahan yang Diadukan) (form 309); 2. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan yang Diselesaikan dalam Masa Laporan) (form 310); 3. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan) (form 311); 4. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif) (form 312); dan 5. Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa) (form 313); untuk data triwulan III tahun 2019 dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2019. Atas keterlambatan penyampaian Laporan tersebut, Pelapor G dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 5 form x 1 Hari Kerja = Rp2.500.000,00. Contoh 3: Pelapor H menyampaikan Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit (form 301) untuk data bulan Juni 2019 dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2019. Atas keterlambatan penyampaian Laporan tersebut, Pelapor H seharusnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 x 1 form x 18 Hari Kerja = Rp9.000.000,00. Namun, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar maksimal sebesar Rp7.500.000,00. 9i Ayat (2) Contoh 1: Pelapor I menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) untuk data bulan Maret 2019 dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 19 April 2019. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan tersebut, Pelapor I dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 4 Hari Kerja = Rp200.000,00. Contoh 2: Pelapor J menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit (form 301) untuk data bulan Juni 2019 dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2019. Atas keterlambatan penyampaian penyampaian koreksi Laporan tersebut, Pelapor J seharusnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 18 Hari Kerja = Rp900.000,00. Namun, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar maksimal sebesar Rp750.000,00. Ayat (3) Yang dimaksud dengan item adalah field pada setiap record dalam setiap form. Contoh 1: Pada Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) yang disampaikan oleh Pelapor K ditemukan kesalahan pada 10 (sepuluh) item. Atas kesalahan tersebut, Pelapor K dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 10 item = Rp500.000,00. Contoh 2: Pada Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit (form 301) yang disampaikan oleh Pelapor L ditemukan kesalahan pada 100 (seratus) item. Atas kesalahan tersebut, Pelapor L seharusnya dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 100 item = Rp5.000.000,00. Namun, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar maksimal sebesar Rp1.000.000,00. Ayat (4) Contoh: Pelapor M menyampaikan koreksi atas Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit (form 302) terhadap 20 (dua puluh) item untuk 10i Data bulan Maret 2019, dan diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 17 April 2019. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan tersebut, Pelapor dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 2 Hari Kerja = Rp100.000,00. Atas kesalahan penyampaian Laporan sebanyak 20 (dua puluh) item, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (5) Contoh: Pada tanggal 1 Juni 2019, Bank Indonesia menemukan kesalahan pada 10 (sepuluh) item di Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit (form 301) untuk data bulan April 2019 yang disampaikan oleh Pelapor N. Atas kesalahan tersebut, Pelapor N dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 x 1 form x 10 item = Rp500.000,00. Atas keterlambatan penyampaian koreksi Laporan, Pelapor tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan โ€œmedia lainโ€ antara lain e-mail, faksimili, atau pengumuman di Sistem LSBU. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/21/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> LAPORAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ALAT PEMBAYARAN DENGAN MENGGUNAKAN KARTU DAN UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY) OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN LEMBAGA SELAIN BANK </reg_title> <set_date> 30 Agustus 2018 </set_date> <effective_date> 1 September 2018 </effective_date> <replaced_reg> '15/13/DASP|SE-BI/2013', '18/27/DSta|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '20/6/PBI/2018', '10/4/PBI/2007', '14/2/PBI/2012', '11/11/PBI/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/16/PADG/2017 TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu kewenangan Bank Indonesia adalah menentukan keaslian uang rupiah yang diragukan keasliannya; b. bahwa masyarakat dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia atas uang rupiah yang diragukan keasliannya; c. bahwa Bank Indonesia perlu meningkatkan layanan kepada masyarakat yang meminta klarifikasi atas uang rupiah yang diragukan keasliannya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5323); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah rupiah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai mata uang. 2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Aplikasi Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center, yang selanjutnya disebut Aplikasi BI-CAC adalah sistem informasi yang digunakan untuk melakukan pencatatan, pengklasifikasian, dan analisis Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari hasil permintaan klarifikasi oleh masyarakat. 4. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. Pasal 2 Masyarakat dapat meminta klarifikasi kepada Bank Indonesia tentang Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Pasal 3 (1) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi: a. Bank; b. PJPUR; dan c. pihak selain Bank dan PJPUR. (2) Pihak selain Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. perseorangan; b. badan hukum; dan c. lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan. BAB II CARA MEMPERLAKUKAN UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA Pasal 4 Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dari nasabah dalam kegiatan layanan kas (front office) harus: a. menahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; b. mencatat identitas lengkap nasabah yang menyerahkan, menyetorkan, dan/atau menukarkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; c. memberikan tanda terima atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada nasabah; d. menginformasikan kepada nasabah bahwa: 1. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak dikembalikan untuk keperluan permintaan klarifikasi kepada Bank Indonesia; 2. apabila Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dinyatakan asli oleh Bank Indonesia maka nasabah akan memperoleh penggantian sebesar nilai nominal; dan/atau 3. apabila Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dinyatakan tidak asli oleh Bank Indonesia maka Uang Rupiah tersebut tidak dikembalikan oleh Bank Indonesia; e. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; f. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali; dan g. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat. Pasal 5 Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang menerima atau menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dari kegiatan pengolahan Uang Rupiah atau dari PJPUR (back office) harus: a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali; c. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak disetorkan kepada Bank Indonesia; dan d. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat. Pasal 6 PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yang menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus: a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak disetorkan kepada Bank Indonesia; c. melaporkan kepada Bank atau pihak lain pemberi pekerjaan mengenai penemuan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, dalam hal Uang Rupiah tersebut milik Bank atau pihak lain; dan d. dalam hal pemilik Uang Rupiah tersebut adalah Bank atau pihak lain maka PJPUR harus menyerahkan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau pihak lain, atau meminta klarifikasi kepada kantor Bank Indonesia terdekat atas persetujuan Bank atau pihak lain. Pasal 7 Pihak selain Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c yang menemukan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya harus: a. menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya; b. menjaga agar Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tidak diedarkan kembali; dan c. meminta klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada kantor Bank Indonesia terdekat. BAB III PERMINTAAN KLARIFIKASI OLEH BANK ATAU PJPUR Bagian Kesatu Aplikasi BI-CAC Pasal 8 (1) Bank Indonesia menyediakan Aplikasi BI-CAC kepada Bank dan PJPUR untuk permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. (2) Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. seluruh jaringan kantor Bank, kecuali: 1. kantor kas; dan 2. jaringan kantor Bank yang tidak melakukan fungsi operasional; dan b. kantor pusat PJPUR dan kantor cabang PJPUR yang melakukan kegiatan pengolahan Uang Rupiah. (3) Bank dan/atau PJPUR menggunakan Aplikasi BI-CAC dengan tata cara pengoperasian mengacu pada Pedoman Permintaan Klarifikasi sebagaimana tercantum pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Permintaan Klarifikasi melalui Aplikasi BI-CAC Pasal 9 (1) Bank atau PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi kepada Bank Indonesia dengan cara mengisi data Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasi melalui Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi nasabah atau pengguna jasa, macam Uang Rupiah, pecahan Uang Rupiah, tahun emisi, jumlah lembar atau keping, nomor seri, dan jumlah nominal. (3) Bank atau PJPUR mencetak surat dan formulir permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 (1) Bank atau PJPUR harus menyerahkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya secara langsung ke kantor Bank Indonesia terdekat paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). (2) Penyerahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat dan formulir permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (3) Bank atau PJPUR harus menyusun Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diserahkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan rincian dalam formulir permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC. Pasal 11 (1) Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau PJPUR, sebagaimana contoh tanda terima yang tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan rincian dalam bukti permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC maka Bank Indonesia dapat melakukan penyesuaian rincian tersebut sesuai dengan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang diterima dari Bank atau PJPUR. (3) Dalam hal terdapat penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai rincian yang disesuaikan kepada Bank dan/atau PJPUR. Pasal 12 (1) Dalam hal Bank atau PJPUR menyerahkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) maka dilakukan tata cara sebagai berikut: a. Bank Indonesia tetap menerima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dimaksud dan memberikan salinan tanda terima sementara kepada Bank atau PJPUR, sebagaimana contoh tanda terima sementara pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. Bank atau PJPUR harus mengajukan kembali permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melalui Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) sesuai rincian sebagaimana tercantum dalam lampiran tanda terima sementara pada Lampiran III. (2) Pengajuan kembali permintaan klarifikasi melalui Aplikasi BI-CAC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal tanda terima sementara. (3) Tanda terima sementara dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki kedudukan yang sama dengan tanda terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sepanjang tanda terima tersebut belum diterbitkan. (4) Dalam hal Bank atau PJPUR akan mengajukan permintaan klarifikasi lain selama jangka waktu pengajuan kembali permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka pengajuan permintaan klarifikasi tersebut dilakukan dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) BAB IV PERMINTAAN KLARIFIKASI OLEH PIHAK SELAIN BANK DAN PJPUR Pasal 13 (1) Pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi secara langsung atau tidak langsung kepada Bank Indonesia. (2) Dalam hal pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pihak selain Bank dan PJPUR mengisi dan menandatangani formulir permintaan klarifikasi sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. pihak selain Bank dan PJPUR menyerahkan formulir permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a beserta dengan fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada pihak selain Bank dan PJPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Dalam hal terdapat perbedaan antara Uang Rupiah yang diragukan keasliannya dengan rincian dalam formulir permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka Bank Indonesia dapat melakukan penyesuaian rincian tersebut sesuai dengan yang diterima dari pihak selain Bank dan PJPUR. (5) Dalam hal terdapat penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Bank Indonesia memberikan salinan tanda terima Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai rincian yang telah disesuaikan kepada pihak selain Bank dan PJPUR. Pasal 14 (1) Dalam hal pihak selain Bank dan PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) maka dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pihak selain Bank dan PJPUR mengisi dan menandatangani formulir permintaan klarifikasi sesuai rincian Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a; b. pihak selain Bank dan PJPUR mengirimkan formulir permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a beserta fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia dengan menggunakan jasa pengiriman secara tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang; c. pihak selain Bank dan PJPUR menyusun fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai rincian dalam formulir permintaan klarifikasi dan memasukkannya ke dalam kemasan tertutup; d. pengiriman fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya beserta formulir permintaan klarifikasi ditujukan ke alamat kantor Bank Indonesia terdekat. (2) Bank Indonesia menerima formulir permintaan klarifikasi dari pihak selain Bank dan PJPUR serta mencatat jumlah fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sesuai dengan jumlah yang diterima dari pihak selain Bank dan PJPUR tersebut. (3) Segala risiko yang terjadi terhadap fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya selama dalam proses pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi tanggung jawab pihak selain Bank dan PJPUR. (4) Bank Indonesia menyampaikan salinan tanda terima permintaan klarifikasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II kepada pihak selain Bank dan PJPUR bersamaan dengan penyampaian klarifikasi. BAB V PENELITIAN ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA Bagian Kesatu Penelitian dan Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya Pasal 15 (1) Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya yang dimintakan klarifikasi oleh masyarakat. (2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan klarifikasi dengan menyatakan: a. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai Uang Rupiah asli; atau b. Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sebagai Uang Rupiah tidak asli. Pasal 16 (1) Bank Indonesia menyampaikan klarifikasi kepada masyarakat yang mengajukan permintaan klarifikasi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak: a. tanggal tanda terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); b. tanggal Bank atau PJPUR mengajukan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); c. tanggal tanda terima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); atau d. tanggal diterimanya formulir permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). (2) Bank Indonesia dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberitahukan kepada masyarakat yang mengajukan permintaan klarifikasi. (3) Penyampaian klarifikasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui: a. Aplikasi BI-CAC kepada Bank atau PJPUR; atau b. surat dan/atau surat elektronik kepada pihak selain Bank dan PJPUR. Pasal 17 (1) Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya merupakan milik nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Bank harus memberitahukan klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada nasabah tersebut. (2) Dalam hal Uang Rupiah yang diragukan keasliannya merupakan milik Bank atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, PJPUR harus memberitahukan klarifikasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kepada Bank atau pihak lain tersebut. Bagian Kedua Uang Rupiah yang Dinyatakan Asli Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a sebesar nilai nominal Uang Rupiah tersebut. (2) Dalam hal Uang Rupiah yang dinyatakan asli dalam kondisi lusuh, cacat, atau rusak maka penggantian mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penukaran uang rupiah. (3) Bank Indonesia melakukan penggantian Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan cara: a. mengkredit ke rekening giro Bank yang berada di Bank Indonesia, dalam hal pihak yang meminta klarifikasi adalah Bank. b. tunai atau mengkredit ke rekening Bank yang ditunjuk, dalam hal pihak yang meminta klarifikasi merupakan: 1. PJPUR; atau 2. pihak selain Bank dan PJPUR. Pasal 19 (1) Bank menyampaikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) kepada nasabah dengan cara: a. tunai; atau b. mengkredit rekening simpanan nasabah pada Bank tersebut dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari nasabah. (2) Dalam hal penggantian dilakukan dengan cara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a maka Bank memberikan Uang Rupiah yang masih layak edar kepada nasabah. (3) PJPUR menyampaikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) kepada Bank atau pihak lain dengan cara: a. tunai; b. transfer ke rekening Bank, dalam hal pengguna jasa PJPUR berupa Bank; atau c. transfer ke rekening Bank yang ditunjuk oleh pihak lain, dalam hal pengguna jasa PJPUR berupa pihak lain. Pasal 20 Dalam hal PJPUR atau pihak selain Bank dan PJPUR tidak dapat dihubungi oleh Bank Indonesia selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal konfirmasi pertama atau PJPUR atau pihak selain Bank dan PJPUR tidak diketahui keberadaannya maka Bank Indonesia mengalihkan penyelesaian Uang Rupiah penggantian tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Uang Rupiah yang Dinyatakan Tidak Asli Pasal 21 Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b. Pasal 22 Terhadap Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 maka Bank Indonesia melakukan langkah sebagai berikut: a. tidak mengembalikan Uang Rupiah tidak asli kepada pihak yang mengajukan permintaan klarifikasi; b. menatausahakan Uang Rupiah tidak asli; c. melakukan klasifikasi terhadap Uang Rupiah tidak asli; d. memberikan tanda terhadap Uang Rupiah tidak asli; dan e. menyerahkan Uang Rupiah tidak asli yang telah diberikan tanda sebagaimana dimaksud dalam huruf d kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 23 (1) Penyerahan Uang Rupiah tidak asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e dilakukan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 15 (lima belas) jatuh pada hari libur maka penyerahan Uang Rupiah tidak asli dilakukan pada hari kerja berikutnya. (3) Penyerahan Uang Rupiah tidak asli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berita acara serah terima yang ditandatangani oleh pegawai Bank Indonesia dan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 24 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a dan huruf d serta Pasal 23 tidak berlaku apabila permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya diajukan oleh lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan. BAB VI KETENTUAN LAIN - LAIN Pasal 25 Ketentuan mengenai tata cara klarifikasi terhadap Uang Rupiah yang diragukan keasliannya, untuk pembawaan Uang Rupiah masuk ke dalam wilayah pabean Republik Indonesia tunduk pada Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 26 Ketentuan mengenai klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri tunduk pada Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 27 Dalam hal terjadi gangguan Aplikasi BI-CAC yang menyebabkan Aplikasi BI-CAC tidak dapat digunakan maka: a. permintaan klarifikasi yang disampaikan oleh Bank atau PJPUR dilakukan secara langsung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2); dan/atau b. Bank Indonesia menyampaikan klarifikasi kepada Bank atau PJPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui surat dan/atau surat elektronik. Pasal 28 (1) Pihak selain Bank dan PJPUR dapat mengajukan permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya pada kegiatan kas keliling Bank Indonesia. (2) Permintaan klarifikasi oleh pihak selain Bank dan PJPUR dilakukan dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Bank atau PJPUR mengajukan permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melalui Aplikasi BI-CAC mulai tanggal 15 Januari 2018. (2) Bank atau PJPUR masih dapat mengajukan permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tanpa melalui Aplikasi BI-CAC sampai dengan tanggal 13 April 2018. (3) Permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara langsung dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Bab III angka 3 sampai dengan angka 6 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/22/DLN tanggal 10 Mei 2004 perihal Persyaratan dan Tata Cara Membawa Uang Rupiah Keluar atau Masuk Wilayah Pabean Republik Indonesia; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/28/DPU tanggal 24 November 2016 perihal Tata Cara Klarifikasi atas Uang Rupiah yang Diragukan Keasliannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 31 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/16/PADG/2017 TENTANG KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA I. UMUM Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengamanatkan kepada Bank Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menentukan keaslian Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Sehubungan dengan kewenangan tersebut maka masyarakat yang terdiri atas Bank, PJPUR, dan pihak selain Bank dan PJPUR dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Guna meningkatkan layanan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank atau PJPUR maka Bank Indonesia telah menyediakan Aplikasi BI-CAC. Dengan demikian, tata cara klarifikasi mulai dari permintaan, penerimaan, pemrosesan, penelitian, sampai dengan pemberitahuan klarifikasi dilakukan dengan Aplikasi BI-CAC. Penggunaan Aplikasi BI-CAC merupakan upaya Bank Indonesia dalam penguatan aspek governance, transparansi, kecepatan layanan, dan keakuratan data terkait Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Bank Indonesia juga meningkatkan layanan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada masyarakat yang merupakan pihak selain Bank dan PJPUR dengan cara mengajukan permintaan klarifikasi secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, permintaan klarifikasi secara tidak langsung dilakukan dengan mengirimkan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya melalui jasa pengiriman kepada Bank Indonesia. Selain itu, masyarakat juga dapat mengajukan permintaan klarifikasi secara langsung pada kegiatan kas keliling Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk pengertian badan hukum yaitu: a. lembaga yang memiliki fungsi dan tugas di bidang bea dan cukai yang menyampaikan permintaan klarifikasi atas Uang Rupiah yang diragukan keasliannya sehubungan dengan pembawaan Uang Rupiah masuk ke dalam wilayah pabean Republik Indonesia; b. bank perkreditan rakyat dan bank pembiayaan rakyat syariah. Huruf c Lembaga yang melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan antara lain Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan mencoret-coret. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan mencoret-coret. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Huruf a Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan mencoret-coret. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ adalah pengguna jasa PJPUR selain Bank. Huruf d Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Menjaga kondisi fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya antara lain tidak merusak fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya tersebut seperti tidak merobek, memotong, dan mencoret-coret. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Jaringan kantor Bank yang tidak melakukan fungsi operasional adalah kantor Bank yang tidak menerima Uang Rupiah dari nasabah dan/atau melakukan pengolahan Uang Rupiah. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Permintaan klarifikasi kepada Bank Indonesia dalam Aplikasi BI-CAC termasuk mengisi data kantor Bank Indonesia terdekat yang dituju. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bukti permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC digunakan sebagai dokumen penyerahan Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Pasal 10 Ayat (1) Contoh: Kantor Bank atau PJPUR yang berdomisili di Karawang, Jawa Barat mengajukan permintaan klarifikasi kepada Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta meskipun secara geografis berada di wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat yang berkedudukan di Bandung. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œmenyusun Uang Rupiah yang diragukan keasliannyaโ€ antara lain menyusun sesuai dengan urutan pecahan dari pecahan besar ke pecahan kecil dan nomor urut data dalam bukti permintaan klarifikasi dari Aplikasi BI-CAC. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œsecara langsungโ€ adalah pihak selain Bank dan PJPUR datang langsung ke kantor Bank Indonesia untuk mengajukan permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Termasuk dalam pihak selain Bank dan PJPUR yaitu kuasa atau wakil dari pihak selain Bank dan PJPUR. Yang dimaksud dengan โ€œsecara tidak langsungโ€ adalah pihak selain Bank dan PJPUR menggunakan jasa pengiriman secara tercatat atau penyedia jasa pengiriman barang dalam mengajukan permintaan klarifikasi Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œkemasan tertutupโ€ antara lain amplop dan boks. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œalamat kantor Bank Indonesiaโ€ adalah alamat sebagaimana tercantum dalam laman resmi Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpenelitianโ€ adalah pemeriksaan secara teliti terhadap fisik Uang Rupiah yang diragukan keasliannya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œUang Rupiah yang masih layak edarโ€ adalah Uang Rupiah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ adalah pihak yang memiliki fungsi dan tugas mengurus harta peninggalan. Pasal 21 Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah yang dinyatakan tidak asli dengan pertimbangan bahwa benda tersebut bukan merupakan Uang Rupiah. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyampaian klarifikasi kepada Bank atau PJPUR melalui surat dan/atau surat elektronik sepanjang Aplikasi BI-CAC masih mengalami gangguan. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/16/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> KLARIFIKASI ATAS UANG RUPIAH YANG DIRAGUKAN KEASLIANNYA </reg_title> <set_date> 30 November 2017 </set_date> <effective_date> 15 Desember 2017 </effective_date> <replaced_reg> '6/22/DLN|SE-BI/2004 | Bab III angka 3 sampai dengan angka 6', '18/28/DPU|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '14/7/PBI/2012' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 27 /PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat, perlu dilakukan penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum dalam rupiah bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah; b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam meningkatkan pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah; 2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/14/PADG/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; 3 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur: a. Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal 30 November 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; b. Nomor 21/14/PADG/2019 tanggal 26 Juni 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 5,5% (lima koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: 4 a. secara harian sebesar 2,5% (dua koma lima persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). 2. Ketentuan ayat (4) Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat memberikan jasa giro setiap hari terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam rupiah. (3) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan tingkat bunga sebesar 0% (nol persen) per tahun. (4) Jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk setiap hari bagi BUK yang memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 5,5% (lima koma lima persen). (5) Bank Indonesia dapat mengubah kebijakan pemberian jasa giro dan/atau persentase jasa giro dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia. (6) Pemberian jasa giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku terhadap BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan satu hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. 5 3. Ketentuan ayat (2) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek. (2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 5,5% (lima koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian sebesar 8% (delapan persen) dari DPK BUK dalam valuta asing. (4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. 4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar rata-rata 4% (empat persen) dari DPK BUS dan UUS dalam rupiah selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 1% (satu persen); dan b. secara rata-rata sebesar 3% (tiga persen). 5. Ketentuan ayat (2) Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Pemenuhan GWM dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tidak berlaku bagi BUS 6 yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. (2) BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 4% (empat persen) dari dana pihak ketiga BUS dalam rupiah. (3) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. 6. Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran III, Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VIII, Lampiran X, Lampiran XI, dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2020. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. ini dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 27 /PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM. Kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh perbankan konvensional dan perbankan syariah. Kebijakan pengaturan GWM tersebut dilakukan dengan menurunkan besaran GWM dalam rupiah BUK yang semula sebesar 6% (enam persen) menjadi 5,5% (lima koma lima persen). Sementara penurunan besaran GWM dalam rupiah untuk BUS dan UUS yang semula 4,5% (empat koma lima persen) menjadi 4% (empat persen). Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Periode laporan tertentu DPK BUK dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œhariโ€ adalah hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Perhitungan jasa giro harian dalam 2 (dua) masa laporan dilakukan dengan mengalikan persentase jasa giro terhadap bagian tertentu dari rata-rata harian 3 jumlah DPK dalam 2 (dua) masa laporan pada 4 (empat) masa laporan sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Tingkat bunga merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate) yang ditentukan berdasarkan periode compounding harian selama 360 (tiga ratus enam puluh) hari. Ayat (4) Dalam hal BUK tidak memenuhi rasio GWM dalam rupiah lebih dari atau sama dengan 5,5% (lima koma lima persen) dan memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah, BUK tidak diberikan jasa giro untuk hari tersebut. BUK yang mendapat insentif kelonggaran pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah dianggap telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah apabila BUK telah memenuhi kewajiban GWM dalam rupiah paling sedikit 4,5% (empat koma lima persen) dari DPK dalam rupiah yang terdiri atas 1,5% (satu koma lima persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian dan 3% (tiga persen) GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata untuk masa laporan tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œBUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendekโ€ adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana 4 dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 16 Periode laporan tertentu DPK BUS dan UUS dalam rupiah dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Rupiah BUS dan UUS di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam rupiah secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Angka 5 Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œBUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariahโ€ adalah 5 BUS yang menerima pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œdana pihak ketiga BUSโ€ adalah kewajiban BUS kepada penduduk dan bukan penduduk yang diperoleh dari laporan dana pihak ketiga BUS pada LBBUS. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/27/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 26 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2020 </effective_date> <changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/30/PADG/2018', '21/14/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/3/PBI/2018', '21/14/PADG/2019', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIAโ€“REAL TIME GROSS SETTLEMENT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana, termasuk kebijakan mengenai mekanisme antrean dan pengaturan fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa untuk mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam pelayanan perizinan terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan dalam penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; c. bahwa untuk memperkuat tata kelola dan harmonisasi dengan ketentuan penyelenggaraan sistem lain di Bank Indonesia, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 3 2. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 3. Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari peserta pengirim yang bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada peserta penerima yang disebutkan dalam perintah transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima. 4. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana. 5. Penyelenggara Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan sebagai pihak yang menyelenggarakan Sistem BI-RTGS. 6. Peserta Sistem BI-RTGS yang selanjutnya disebut sebagai Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. 7. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana. 8. Rekening Giro adalah rekening giro sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. 9. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank Peserta baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 4 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 11. Pimpinan adalah pejabat yang berwenang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama Bank atau lembaga/instansi. 12. RTGS Central Node yang selanjutnya disingkat RCN adalah Sistem BI-RTGS di Penyelenggara yang menyediakan fungsi penatausahaan Rekening Setelmen Dana, Setelmen Dana, dan fungsi pendukung lain dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. 13. RTGS Participant Platform yang selanjutnya disingkat RPP adalah Sistem BI-RTGS di Peserta yang terhubung dengan RCN dan digunakan oleh Peserta untuk melakukan kegiatan pengiriman instruksi Setelmen Dana, akses informasi, dan/atau pengelolaan data Peserta. 14. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik, dan periode validitas sertifikat yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia. 15. United States Dollar Clearing House Automated Transfer System yang selanjutnya disingkat USD CHATS adalah suatu sistem transfer dana real time gross settlement dalam mata uang dolar Amerika Serikat di Hong Kong. 16. Payment Versus Payment yang selanjutnya disingkat PvP adalah mekanisme Setelmen Dana dalam mata uang rupiah pada Sistem BI-RTGS atas transaksi jual beli mata uang dalam valuta asing terhadap mata uang rupiah antar-Peserta. 17. Layanan United States Dollar/Indonesian Rupiah Payment versus Payment Link yang selanjutnya disebut Layanan USD/IDR PvP Link adalah layanan setelmen untuk transaksi jual beli mata uang dolar Amerika Serikat 5 terhadap mata uang rupiah antar-Peserta, dimana proses setelmen kedua mata uang dilakukan secara bersamaan (simultaneous settlements) pada Sistem BI-RTGS untuk mata uang rupiah dan USD CHATS di Hong Kong untuk mata uang dolar Amerika Serikat. 18. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung Sistem BI-RTGS yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. 19. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 20. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas Sistem BI-RTGS di lokasi Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri yang disediakan oleh Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan Sistem BI-RTGS di lokasi Peserta. BAB II PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS Pasal 2 (1) Ruang lingkup penyelenggaraan Sistem BI-RTGS meliputi: a. kepesertaan; b. operasional; dan c. kepatuhan Peserta. (2) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 6 a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan data kepesertaan Sistem BI-RTGS, sebagai dampak dari adanya langkah strategis dan mendasar, serta penyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; d. permohonan perubahan data kepesertaan Sistem BI- RTGS selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; dan e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup dan perubahan data kepesertaan Sistem BI- RTGS yang diajukan oleh pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. 7 (3) Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. BAB III PENYELENGGARA Pasal 3 Dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, Penyelenggara memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Sistem BI-RTGS; b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem BI-RTGS; c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Sistem BI- RTGS; e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh Penyelenggara; f. menetapkan batas nilai nominal transaksi yang dapat dilakukan melalui Sistem BI-RTGS; g. menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS, termasuk batas biaya paling banyak yang dikenakan Peserta kepada nasabahnya; dan h. mengenakan sanksi administratif. Pasal 4 Sarana dan prasarana penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit mencakup: a. perangkat keras di Penyelenggara dan aplikasi RCN; 8 b. satu jaringan komunikasi data yang menghubungkan RPP utama di Peserta dengan RCN di Penyelenggara; c. d. aplikasi RPP dan perubahannya serta pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS; Fasilitas Guest Bank; dan e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk untuk pelaksanaan mekanisme Setelmen Dana Layanan USD/IDR PvP Link pada Sistem BI-RTGS. Pasal 5 (1) Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dengan kegiatan paling sedikit: a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian RCN; b. menyediakan layanan help desk; c. memberikan layanan yang berkaitan dengan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS; d. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan Sistem BI-RTGS; e. menerapkan standar layanan minimum dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS; f. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; g. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan h. menetapkan status kepesertaan. (2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditujukan untuk menangani permasalahan yang dihadapi Peserta terkait dengan: a. operasional Sistem BI-RTGS; dan/atau b. jaringan komunikasi data Sistem BI-RTGS. 9 BAB IV KEPESERTAAN Bagian Kesatu Prinsip Umum Kepesertaan Pasal 6 (1) Pihak yang akan menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS harus memperoleh persetujuan dari Penyelenggara. (2) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu: a. Bank Indonesia; b. Bank; c. penyelenggara kliring dan/atau setelmen yang telah mendapat persetujuan Bank Indonesia; dan lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. d. (3) Lembaga lain yang dapat disetujui sebagai Peserta oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan lembaga yang mendukung: a. penyelesaian transaksi pembayaran, transaksi surat berharga, dan transaksi pasar keuangan; dan/atau b. efektivitas kebijakan moneter oleh Bank Indonesia. (4) Setiap Peserta harus memiliki Rekening Setelmen Dana. Bagian Kedua Persyaratan Menjadi Peserta Pasal 7 (1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki surat izin usaha yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. Pimpinan calon Peserta telah memperoleh: 1. penunjukan dari lembaga terkait; atau 2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; 10 d. memiliki laporan hasil security audit atas sistem internal calon Peserta dalam 1 (satu) tahun terakhir, dalam hal calon Peserta akan menghubungkan sistem internal calon Peserta ke Sistem BI-RTGS; e. bagi penyelenggara kliring dan/atau setelmen serta lembaga lain yang merupakan badan hukum Indonesia, harus memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut: 1. memiliki rekomendasi dari lembaga pengawas yang berwenang; 2. Pimpinan calon Peserta tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan daftar hitam nasional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang; dan 3. Pimpinan calon Peserta tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan f. menggunakan infrastruktur Sistem BI-RTGS sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Infrastruktur Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat dikelola sendiri atau dikelola oleh pihak lain. Pasal 8 (1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola infrastruktur Sistem BI-RTGS; dan 11 b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang bersangkutan. (2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. hak dan kewajiban antara calon Peserta dengan pihak lain; b. tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau penyalahgunaan data dan informasi; c. mekanisme pelaksanaan transaksi baik dalam keadaan normal maupun pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di calon Peserta atau pihak lain; d. penyelesaian perselisihan antara calon Peserta dengan pihak lain; e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan kepada calon Peserta; f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap: 1. sarana fisik yang terkait dengan calon Peserta; 2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait Sistem BI-RTGS dalam hal memiliki aplikasi pendukung; dan 3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait dengan calon Peserta; dan g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia. (3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah dan menggunakan infrastruktur milik Bank pemilik unit usaha syariah yang menjadi Peserta maka substansi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur tertulis internal Bank pemilik unit usaha syariah. 12 Pasal 9 Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bagian Ketiga Prosedur Menjadi Peserta Pasal 10 Penyelenggara memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada calon Peserta dengan 2 (dua) tahapan, yaitu: a. persetujuan prinsip; dan b. persetujuan operasional. Pasal 11 (1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk menjadi Peserta kepada Penyelenggara. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. ditandatangani oleh Pimpinan calon Peserta; c. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan oleh Penyelenggara. 13 (3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah maka dalam permohonan tertulis untuk menjadi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijelaskan bahwa permohonan tersebut diajukan oleh Bank pemilik unit usaha syariah untuk unit usaha syariah dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A. Pasal 12 (1) Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan usaha yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai aslinya oleh Pimpinan calon Peserta; c. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai nama dan struktur pengurus dari calon Peserta; d. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam proses likuidasi atau dalam kondisi pailit sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; e. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang mengenai: 1. keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan Pimpinan calon Peserta, untuk calon Peserta berupa Bank; atau 2. susunan Pimpinan calon Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang, untuk calon Peserta selain Bank; 14 f. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta mengenai kesiapan infrastruktur dan informasi spesifikasi infrastruktur dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; g. surat permohonan dari Pimpinan calon Peserta untuk mendapatkan administrator user, connected user, dan Digital Certificate dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan h. laporan hasil security audit atas sistem internal calon Peserta yang dilakukan oleh auditor internal atau auditor independen, dalam hal sistem internal calon Peserta akan terhubung dengan Sistem BI-RTGS. (2) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyelenggara. Pasal 13 (1) Dokumen yang harus dilengkapi calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada dalam kewenangan pihak lain: a. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d; dan c. dokumen tambahan lainnya. (2) Dokumen tambahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa: a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 15 b. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa calon Peserta telah memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur Sistem BI-RTGS yang dikelola oleh pihak lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 Calon Peserta yang merupakan penyelenggara kliring dan/atau setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c, selain melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), juga harus melengkapi dokumen sebagai berikut: a. fotokopi dokumen yang membuktikan bahwa calon Peserta tidak masuk dalam daftar kredit macet yang diterbitkan oleh lembaga pengawas yang berwenang; b. surat pernyataan dari Pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa Pimpinan calon Peserta: 1. tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan daftar hitam nasional yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang; dan 2. tidak pernah dihukum atas tindak pidana di bidang perbankan, keuangan, dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan c. surat rekomendasi dari lembaga pengawas yang berwenang. Pasal 15 (1) Penyelenggara melakukan penelitian administratif mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan/atau Pasal 14. 16 (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan dari Penyelenggara. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-RTGS dari calon Peserta. Pasal 16 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. Pasal 17 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat paling sedikit hal sebagai berikut: a. persetujuan menjadi Peserta; b. nama dan kode Peserta (participant code); c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta paling sedikit berupa: 1. pembukaan Rekening Giro di Bank Indonesia; 2. pelatihan; 3. instalasi; dan 4. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI- RTGS; dan 17 d. kelengkapan dokumen administrasi yang harus dipenuhi oleh calon Peserta untuk pelaksanaan kegiatan operasional. Pasal 18 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), calon Peserta menyampaikan kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d kepada Penyelenggara. (2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat pemberitahuan mengenai nama dan nomor Rekening Giro; b. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan Pimpinan yang akan melakukan penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. surat kuasa dari Pimpinan dalam hal penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh pejabat selain Pimpinan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. surat pemberitahuan kewenangan Pimpinan terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-RTGS, dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II.J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; e. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-RTGS; dan 18 f. surat permohonan dari Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan untuk membuat spesimen tanda tangan bagi: 1. Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan untuk melakukan kegiatan terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI- RTGS; dan/atau 2. petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dengan hak substitusi untuk melakukan pengambilan fisik uang, khusus bagi calon Peserta yang berada di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 19 Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf e diatur sebagai berikut: a. Pimpinan dapat memberi kuasa kepada pejabat penerima kuasa tanpa hak substitusi atau dengan 1 (satu) kali hak substitusi dengan menggunakan format surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank Indonesia; c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. penandatanganan surat menyurat, laporan, dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan Rekening Setelmen Dana di Bank Indonesia serta kepesertaan dan operasional dalam Sistem BI-RTGS; 19 2. pengelolaan administrator user, connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token; 3. penarikan dana secara tunai melalui cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia untuk pemindahan dana; 4. pengambilan fisik uang, yang instruksi Setelmen Dananya dilakukan langsung oleh Peserta melalui Sistem BI-RTGS maupun dengan menggunakan cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan menandatangani surat menyurat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan pengambilan fisik uang; 5. penyerahan dan/atau pengambilan administrator user, connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token; 6. penyerahan dan/atau pengambilan buku cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan/atau 7. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan, dan dokumen lain; d. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan kebutuhan calon Peserta; e. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri yang masih berlaku dari penerima kuasa; f. jumlah pejabat yang menerima kuasa untuk melakukan kegiatan penarikan dana dan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c diatur sebagai berikut: 1. di kantor pusat Bank Indonesia paling banyak 10 (sepuluh) orang; atau 2. g. di masing-masing kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, paling banyak 5 (lima) orang; dan jumlah petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dengan hak substitusi untuk melakukan pengambilan fisik uang sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 4 diatur sebagai berikut: 20 1. di kantor pusat Bank Indonesia, sesuai ketentuan mengenai sistem antrean penarikan uang tunai di satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang; atau 2. di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, paling banyak 10 (sepuluh) orang. Pasal 20 (1) Pengambilan fisik uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 4 dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Pengambilan dan penyerahan cek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan bilyet giro yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 6 dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 7 dapat dituangkan dalam 1 (satu) satu atau lebih surat kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Petugas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling banyak berjumlah 10 (sepuluh) orang untuk setiap kantor Bank Indonesia. (4) Petugas penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak perlu membuat spesimen tanda tangan. Pasal 21 (1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Penyelenggara menyampaikan surat yang menginformasikan mengenai: a. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-RTGS; 21 b. pembuatan spesimen tanda tangan Pimpinan dan pejabat atau petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan; c. pengambilan administrator user dan Digital Certificate; d. waktu pelatihan penggunaan Sistem BI-RTGS; dan e. waktu pemasangan jaringan komunikasi data. (2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus melakukan hal sebagai berikut: a. menandatangani perjanjian penggunaan Sistem BI- RTGS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. mengambil dokumen administrator user, connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token; c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani teknis operasional RPP calon Peserta dalam pelatihan teknis dan operasional penggunaan Sistem BI-RTGS; dan d. melakukan uji koneksi dengan Penyelenggara atas RPP yang telah diinstalasi oleh Penyelenggara. Pasal 22 (1) Calon Peserta dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip dari Penyelenggara harus melakukan: a. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c; b. penyampaian dokumen administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1); dan c. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2). (2) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: 22 a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan oleh Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon Peserta dinyatakan telah membatalkan permohonan; dan b. calon Peserta wajib mengembalikan aplikasi RPP, buku pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS, administrator user, connected user, dan Digital Certificate kepada Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak persetujuan tidak berlaku. Pasal 23 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1). (2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Bagian Keempat Prosedur dan Persyaratan Menjadi Pengguna Layanan USD/IDR PvP Link Pasal 24 (1) Penyelenggara menyediakan Layanan USD/IDR PvP Link yang dapat digunakan oleh Peserta Sistem BI-RTGS. (2) Peserta yang dapat menggunakan Layanan USD/IDR PvP Link harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki izin untuk melakukan kegiatan devisa dari lembaga pengawas yang berwenang, bagi Peserta berupa Bank; b. memperoleh persetujuan dari lembaga pengawas kegiatan Peserta untuk menggunakan Layanan USD/IDR PvP Link, bagi lembaga selain Bank; dan 23 c. merupakan peserta USD CHATS, baik sebagai direct participant maupun indirect CHATS user, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai USD CHATS. Pasal 25 (1) Peserta yang akan menggunakan Layanan USD/IDR PvP Link mengajukan permohonan secara tertulis melalui surat dengan ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Bank Indonesia; dan b. disampaikan ke Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. (2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi izin untuk melakukan kegiatan devisa dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan Peserta; b. fotokopi surat persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan Peserta; c. surat dan/atau dokumen pendukung yang membuktikan bahwa Peserta merupakan peserta USD CHATS, baik sebagai direct participant maupun indirect CHATS user; dan d. surat yang memuat informasi mengenai: 1. Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) dari Peserta; dan 24 2. Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) dari: a) settlement institution untuk Peserta yang merupakan direct participant; atau b) bank koresponden untuk Peserta yang merupakan indirect CHATS user. Pasal 26 (1) Berdasarkan permohonan tertulis dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Penyelenggara menyampaikan penolakan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disetujui, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan untuk menggunakan Layanan USD/IDR PvP Link disertai dengan pemberitahuan mengenai tanggal efektif Peserta sebagai pengguna Layanan USD/IDR PvP Link kepada Peserta. (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Bagian Kelima Perubahan Data Kepesertaan Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 27 (1) Peserta harus menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Penyelenggara mengenai perubahan data kepesertaan, yang meliputi perubahan: a. participant code; b. nama Peserta; persetujuan atau 25 c. kegiatan usaha; d. lokasi RPP dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data; e. spesimen tanda tangan Pimpinan; f. kuasa; dan/atau g. penggunaan infrastruktur. (2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada Penyelenggara mengenai perubahan data kepesertaan yang meliputi perubahan: a. data Pimpinan; dan/atau b. alamat kantor. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Paragraf 2 Perubahan Participant Code Pasal 28 Perubahan participant code dilakukan oleh Penyelenggara karena alasan sebagai berikut: a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) berubah menjadi anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT); atau b. adanya perubahan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) Peserta. 26 Pasal 29 (1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan participant code, yang dilengkapi dengan dokumen berupa: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. dokumen pendukung yang menunjukkan Peserta sebagai anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) atau adanya perubahan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) Bank Identifier Code (BIC) Peserta; dan b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan participant code melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. Pasal 30 (1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) memuat paling sedikit: a. nama Peserta; b. nomor Rekening Setelmen Dana; c. participant code yang baru; dan d. permintaan agar Peserta mengajukan surat permohonan connected user dan Digital Certificate untuk participant code yang baru. 27 (2) Peserta menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dengan memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta; b. participant code yang baru; dan c. certificate signing request (CSR) yang dihasilkan dan disimpan di media compact disc (CD) yang bersifat read-only, dalam hal Peserta menggunakan aplikasi BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG). (3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan: a. tanggal efektif perubahan participant code, nama connected user, dan Digital Certificate baru kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan participant code kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. (4) Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token yang digunakan pada participant code lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 3 Perubahan Nama Peserta Pasal 31 (1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama Peserta yang dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh lembaga yang berwenang; 28 2. fotokopi dokumen yang terdiri atas: a) akta perubahan anggaran dasar untuk badan hukum Indonesia; b) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan c) surat keputusan dari lembaga yang berwenang tentang perubahan nama, dalam hal Peserta berupa Bank, yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. dalam hal Peserta merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dokumen pendukung yang disampaikan meliputi data kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1 dan surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 huruf c); dan c. pengajuan permohonan perubahan nama Peserta dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan nama melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan nama Peserta, Penyelenggara memberitahukan: a. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. 29 Paragraf 4 Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 32 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c meliputi perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum syariah. (2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus melakukan perubahan data Peserta, berupa: a. kegiatan usaha Peserta; dan b. nama Peserta. Pasal 33 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta yang dilengkapi dengan fotokopi dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. akta perubahan anggaran dasar; 2. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan 3. surat keputusan dari lembaga yang berwenang mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; dan c. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 30 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan (2) Penyelenggara 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta, Penyelenggara memberitahukan: a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. Paragraf 5 Perubahan Lokasi RPP dan Jaringan Komunikasi Data Pasal 34 (1) Perubahan lokasi RPP dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan kepada Penyelenggara mengenai perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data yang dilengkapi dengan formulir data kepesertaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 31 (2) Penyelenggara b. penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat hal sebagai berikut: a. perubahan lokasi RPP utama dan/atau RPP cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara; pelaksanaan pemindahan b. waktu komunikasi data; dan c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait dengan perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan, dan/atau jaringan komunikasi data. Paragraf 6 Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan Pasal 35 (1) Perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. terdapat perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan yang berdampak pada spesimen tanda tangan Pimpinan; b. Peserta menyampaikan permohonan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; jaringan 32 c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); 3. dalam hal seluruh Pimpinan dan pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara mengalami perubahan dan/atau penggantian maka permohonan tertulis mengenai perubahan spesimen tanda tangan diajukan oleh Pimpinan yang baru; d. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan Pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan, berupa: a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas berwenang, bagi warga negara asing (WNA), yang masih berlaku; dan e. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh penggantian dan/atau penambahan Pimpinan baru, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: 33 a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai: 1. susunan Pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang; atau 2. persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari pimpinan kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada Pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan c. fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Penyelenggara atau pejabat kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. (4) Dalam hal Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memiliki spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), Peserta dapat meminta penambahan kewenangan Pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI- ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dengan kewenangan dalam operasional Sistem BI- RTGS dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.J. (5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka: a. Peserta tidak perlu melakukan pembuatan spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan 34 b. Peserta menyampaikan surat pernyataan tetap memberlakukan spesimen tanda tangan Pimpinan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 36 (1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Pemberitahuan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi sebagai berikut: a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi Pimpinan baru; dan b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan dalam hal terdapat perubahan kewenangan Pimpinan. (3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku efektif: a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan; atau b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara. (4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan kepada Penyelenggara, spesimen tanda tangan Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. 35 (5) Dalam hal pencabutan kewenangan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum berlaku efektif, spesimen tanda tangan Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 7 Perubahan Kuasa Pasal 37 (1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf f dilakukan untuk penambahan, pergantian, dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa. (2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19. (3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa secara tertulis dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); dan 2. kuasa pengambilan fisik uang di wilayah kantor pusat Bank Indonesia disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang; b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa, maka: 36 a) permohonan diajukan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b) penambahan kuasa berlaku efektif paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan spesimen tanda tangan telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; 2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau sebagian kuasa kepada pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa maka: a) permohonan juga dilampiri dengan surat pernyataan pencabutan kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b) pencabutan seluruh atau sebagian kuasa tersebut berlaku efektif terhitung sejak tanggal surat pernyataan pencabutan kuasa diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan c) spesimen tanda tangan pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa yang dicabut sebagaimana huruf b) dinyatakan tidak berlaku; dan 3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan dalam surat kuasa yang diberikan kepada pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa, Peserta harus menyampaikan surat permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa yang baru dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L. 37 (4) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan kuasa melalui surat, kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan dokumen diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa. (6) Dalam hal terdapat perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa yang tidak disampaikan kepada Penyelenggara maka data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 8 Perubahan Penggunaan Infrastruktur Pasal 38 Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf g meliputi: a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak lain; b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri; atau c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain yang berbeda. Pasal 39 (1) Permohonan perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 38 a. Peserta mengajukan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur yang dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; 2. surat pernyataan dari Pimpinan yang menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat informasi spesifikasi infrastruktur yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f; dan 3. persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dalam hal Peserta menggunakan infrastruktur yang dikelola pihak lain; dan b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan Peserta. (3) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan penggunaan infrastruktur melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan infrastruktur Peserta. Paragraf 9 Perubahan Data Pimpinan Pasal 40 Perubahan data Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 39 a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara mengenai perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan Pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3); c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan Pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang mengenai: a) keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan Pimpinan Peserta, bagi Peserta berupa Bank; atau b) susunan Pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang, bagi Peserta selain Bank; dan 3. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan, berupa: a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas berwenang, bagi warga negara asing (WNA), yang masih berlaku; 40 4. untuk Peserta berupa kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan angka 3, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: a) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada Pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah; dan b) fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku; dan d. dalam hal perubahan data Pimpinan mengakibatkan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan, dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan pada saat pengajuan permohonan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. Pasal 41 (1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan data Pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Pemberitahuan perubahan data Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi sebagai berikut: a. pembuatan spesimen tanda tangan bagi Pimpinan baru; dan/atau b. tanggal efektif pencabutan kewenangan Pimpinan dalam hal terdapat perubahan kewenangan Pimpinan. (3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku efektif: a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan; atau 41 b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan dalam hal tidak terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara. (4) Dalam hal Peserta tidak menyampaikan informasi perubahan data Pimpinan kepada Penyelenggara, data Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. (5) Dalam hal pencabutan kewenangan Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum berlaku efektif, data Pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh Pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 10 Perubahan Alamat Kantor Peserta Pasal 42 (1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan alamat kantor dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan 42 b. penyampaian informasi tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta. Paragraf 11 Perubahan Nomor Rekening Setelmen Dana Pasal 43 (1) Dalam hal terdapat perubahan nomor Rekening Setelmen Dana Peserta yang disebabkan adanya: a. kebijakan dari Bank Indonesia; b. perubahan data Peserta yang dapat menyebabkan perubahan nomor Rekening Setelmen Dana Peserta di Penyelenggara; atau c. perubahan nomor Rekening Giro, Penyelenggara menginformasikan perubahan nomor Rekening Setelmen Dana dan tanggal efektif perubahan nomor Rekening Setelmen Dana. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. seluruh Peserta mengenai perubahan nomor Rekening Setelmen Dana Peserta melalui administrative message atau sarana lain. 43 Paragraf 12 Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan Pasal 44 Dalam hal Peserta merupakan peserta pada sistem yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai penyelenggara sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI- RTGS maka dokumen untuk perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 42 yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. Paragraf 13 Perbedaan Tanda Tangan Pasal 45 Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada spesimen tanda tangan pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Keenam Status Kepesertaan dan Perubahannya Paragraf 1 Status Kepesertaan Pasal 46 Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dibedakan menjadi: a. aktif; b. ditangguhkan; c. dibekukan; atau d. ditutup. 44 Paragraf 2 Perubahan Status Kepesertaan Pasal 47 (1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari: a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya; b. status aktif menjadi dibekukan; c. status aktif menjadi ditutup; d. status ditangguhkan menjadi dibekukan; atau e. status dibekukan menjadi ditutup. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara; b. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah status dari status aktif menjadi ditutup. (3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self-liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan, pengunduran diri, atau alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta, Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile; b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan/atau c. lembaga pengawas yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile. 45 Pasal 48 (1) Perubahan status kepesertaan menjadi ditutup diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta harus menyelesaikan seluruh transaksi yang dilakukan melalui BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia Electronic Trading Platform (BI-ETP), Sistem BI-RTGS, dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), yang pelaksanaan Setelmen Dana atas transaksi tersebut dilakukan melalui Sistem BI-RTGS; b. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban terhadap Bank Indonesia; c. Peserta melakukan pemindahan saldo Rekening Setelmen Dana ke rekening yang ditetapkan oleh Peserta untuk penihilan saldo; d. Penyelenggara dapat memindahkan saldo Rekening Setelmen Dana atas nama Peserta ke rekening yang ditetapkan oleh Penyelenggara apabila Peserta tidak melakukan pemindahan saldo sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi ditutup setelah Rekening Setelmen Dana bersaldo nihil; dan f. Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal efektif perubahan status kepesertaan menjadi ditutup. (2) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disebabkan oleh penggabungan, peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan. 46 (3) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan berdasarkan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban. Pasal 49 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b, dilakukan oleh lembaga pengawas yang berwenang dengan mengajukan permohonan perubahan status kepesertaan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan tembusan kepada Penyelenggara. (2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan yang diminta; b. nama dan nomor Rekening Setelmen Dana; c. alasan perubahan status kepesertaan; dan d. tanggal efektif perubahan status kepesertaan. (3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari alasan perubahan status kepesertaan; dan/atau b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan usaha dari lembaga yang berwenang, putusan kepailitan, dan/atau likuidasi. 47 (4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula batasan penangguhan yang mencakup penangguhan terhadap kegiatan tertentu di Sistem BI- RTGS. (5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), dalam hal status kepesertaan berubah menjadi ditutup. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). Pasal 50 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c, dilakukan oleh Peserta dengan mengajukan permohonan penutupan kepesertaan kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal Peserta melakukan self-liquidation; atau b. dokumen terkait lainnya untuk alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 48 a. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. (4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). (5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). Paragraf 3 Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan Pasal 51 (1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dan penutupan Rekening Setelmen Dana secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang yang menyetujui penggabungan yang telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan. (3) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan pemberitahuan penggabungan secara tertulis yang paling sedikit memuat: a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang berwenang; 49 b. informasi mengenai Peserta yang menerima penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dari Peserta yang menggabungkan diri kepada Peserta yang menerima penggabungan; 2. pemindahan saldo Rekening Setelmen Dana Peserta yang menggabungkan diri ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang menerima penggabungan; 3. penutupan Rekening Setelmen Dana Peserta yang menggabungkan diri; dan 4. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dari Peserta yang menggabungkan diri; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan secara hukum; dan e. informasi pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan berupa: 50 1. akta penggabungan; 2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang menerima penggabungan; 3. izin penggabungan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang penggabungan untuk Peserta berupa Bank; dan 4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau dokumen pendaftaran akta penggabungan dan akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan; dan 5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus: a. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 52 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hal sebagai berikut: a. waktu pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Saldo Rekening Setelmen Dana dari Peserta yang menggabungkan diri dipindahkan seluruhnya melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang menerima penggabungan. 51 (4) Pelaksanaan pemindahan saldo Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Peserta sesuai dengan kewenangan dan jadwal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara. (5) Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dari Peserta yang menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS dan setelah Rekening Setelmen Dana Peserta yang menggabungkan diri bersaldo nihil. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). Paragraf 4 Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan Pasal 53 (1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus mengajukan permohonan menjadi Peserta Sistem BI- RTGS dengan memenuhi persyaratan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dalam hal calon Peserta akan menjadi Peserta Sistem BI-RTGS. (2) Calon Peserta hasil peleburan menyampaikan pemberitahuan peleburan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V. (3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan calon Peserta, berupa: 52 1. akta peleburan; 2. akta pendirian calon Peserta yang merupakan hasil peleburan; 3. izin peleburan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang peleburan untuk calon Peserta berupa Bank; dan 4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas akta pendirian calon Peserta yang merupakan hasil peleburan. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh Pimpinan calon Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 54 (1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh Pimpinan Peserta, sebagai berikut: a. b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang meleburkan diri. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang menyetujui peleburan; dan 53 a. ditandatangani oleh Pimpinan Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 55 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta hasil peleburan setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 54 ayat (2) diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Saldo Rekening Setelmen Dana dari Peserta yang meleburkan diri dipindahkan seluruhnya melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang merupakan hasil peleburan. (4) Pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Peserta sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara. (5) Status kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dari Peserta yang meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS dan setelah Rekening Setelmen Dana Peserta bersaldo nihil. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). 54 Paragraf 5 Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan Pasal 56 Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional sebagai Bank pemilik unit usaha syariah yang dilakukan dengan cara: a. mendirikan bank umum syariah baru; atau b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah. Pasal 57 (1) Dalam hal bank umum syariah baru hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a akan menjadi Peserta maka bank umum syariah baru harus terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk menjadi Peserta dari Penyelenggara. (2) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri melakukan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI- RTGS dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS secara tertulis kepada Penyelenggara dengan menggunakan tercantum dalam Lampiran II.U; b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan format sebagaimana 55 2. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan c. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 1. fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas yang berwenang; dan 2. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari pemisahan; dan d. Peserta berupa unit usaha syariah harus menyelesaikan seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). (4) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan melakukan pemisahan memindahkan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana Peserta berupa bank umum syariah yang akan menerima pemisahan. (5) Pemindahan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Peserta sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara. (6) Penyelenggara mengubah status kepesertaan Peserta yang memisahkan diri menjadi ditutup setelah Rekening Setelmen Dana Peserta bersaldo nihil. (7) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). 56 Pasal 58 (1) Pemisahan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban Peserta berupa unit usaha syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilakukan melalui penutupan kepesertaan Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri. (2) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-RTGS secara tertulis kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U; b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. ditandatangani oleh Pimpinan yang telah memiliki spesimen Penyelenggara; dan 2. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; c. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 1. fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas yang berwenang; dan 2. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari pemisahan; dan d. Peserta berupa unit usaha syariah harus menyelesaikan seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). tanda tangan di 57 (3) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan melakukan pemisahan memindahkan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana melalui RPP ke Rekening Setelmen Dana Peserta berupa bank umum syariah yang akan menerima pemisahan. (4) Pemindahan seluruh saldo Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Peserta sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-RTGS yang disetujui oleh Penyelenggara. (5) Penyelenggara mengubah status kepesertaan Peserta unit usaha syariah yang memisahkan diri menjadi ditutup setelah Rekening Setelmen Dana Peserta bersaldo nihil. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (4). Paragraf 6 Penyampaian Dokumen Bagi Peserta Sistem Yang Diselenggarakan oleh Bank Indonesia Pasal 59 Dalam hal Peserta merupakan peserta sistem yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai penyelenggara sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI- RTGS maka dokumen pendukung untuk perubahan status kepesertaan karena penggabungan, peleburan, atau pemisahan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, dan Pasal 58 termasuk apabila terjadi pengalihan aset dan kewajiban berdasarkan persetujuan dari lembaga yang berwenang, yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. 58 Bagian Ketujuh Kewajiban Peserta Paragraf 1 Kewajiban Umum Peserta Pasal 60 Dalam penggunaan Sistem BI-RTGS, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-RTGS; b. bertanggung jawab atas kebenaran instruksi Setelmen Dana dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS; c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS sesuai dengan perjanjian penggunaan sistem antara Penyelenggara dan Peserta serta ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, serta ketentuan terkait lainnya; d. menginformasikan biaya Transfer Dana melalui Sistem BI- RTGS secara transparan; e. memberikan data, dokumen, dan/atau informasi kepada Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat, dan/atau data elektronik terkait dengan pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS; dan f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait Sistem BI-RTGS. Paragraf 2 Kewajiban Menjaga Kelancaran dan Keamanan dalam Penggunaan Sistem BI-RTGS Pasal 61 Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut: 59 a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional Sistem BI-RTGS; b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional Sistem BI-RTGS; c. melakukan security audit; d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan Sistem BI-RTGS yang di-review dan di-update secara reguler; e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity plan (BCP); f. menggunakan aplikasi RPP sesuai dengan buku pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS; g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan; h. melakukan pemeliharaan data; i. menjamin RPP utama dan RPP cadangan berfungsi dengan baik untuk melakukan berbagai aktivitas Sistem BI-RTGS sepanjang jam operasional Sistem BI-RTGS; dan j. mengikuti uji coba sistem yang diselenggarakan oleh Penyelenggara apabila diminta oleh Penyelenggara. Pasal 62 Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif kepesertaan di Sistem BI-RTGS; b. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia; c. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dengan mengacu pada ketentuan terkait dengan Sistem BI-RTGS yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait Sistem BI-RTGS; d. kebijakan dan prosedur tertulis wajib memuat materi paling sedikit sebagai berikut: 1. pendahuluan; 60 2. organisasi pengoperasian Sistem BI-RTGS; 3. ketentuan dan prosedur operasional Sistem BI-RTGS; 4. pengawasan operasional Sistem BI-RTGS; 5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan 6. perlindungan konsumen; e. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran, yang berdampak pada substansi kebijakan dan prosedur tertulis, Peserta harus melakukan pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud; dan g. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya perubahan materi dan ketentuan tersebut. Pasal 63 Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b dilakukan oleh satuan kerja pengawas internal Peserta dengan ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara. Pasal 64 (1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan keandalan teknologi informasi internal Peserta, keterhubungan (interface) antara RPP dengan sistem internal Peserta, serta kondisi lingkungan tempat Peserta melakukan kegiatan operasional. 61 (2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal terjadi perubahan sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait dengan Sistem BI-RTGS, security audit dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadi perubahan; b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau auditor eksternal; dan c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 65 Pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity plan (BCP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity plan (BCP) memuat prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat untuk memastikan bahwa operasional Sistem BI-RTGS di Peserta tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem cadangan tidak dapat digunakan; b. pedoman disaster recovery plan (DRP) sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan untuk menjamin kegiatan operasional Sistem BI- RTGS tetap berjalan; 4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 62 5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara; dan c. pedoman business continuity plan (BCP) sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin kegiatan operasional Sistem BI-RTGS tetap berjalan; 4. mekanisme pengujian prosedur business continuity plan (BCP); 5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara. Pasal 66 Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk hasil olahan komputer Sistem BI-RTGS; b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga kerahasiaannya; c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam media elektronik yang terpisah dengan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak rusak; dan e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai ketentuan mengatur mengenai dokumen perusahaan. peraturan perundang-undangan yang 63 Pasal 67 Untuk menjamin RPP utama dan RPP cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf i, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. memastikan petugas yang menangani Sistem BI-RTGS memahami sistem dan prosedur operasional Sistem BI- RTGS yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta; b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user yang melakukan operasional Sistem BI-RTGS; c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk Sistem BI-RTGS di Peserta; d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik; e. menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data yang digunakan untuk menghubungkan RPP utama dan/atau RPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional Sistem BI-RTGS; f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang terkait Sistem BI-RTGS kepada Penyelenggara paling lama 1 (satu) bulan setelah implementasi; g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar perangkat keras berfungsi dengan baik dan perangkat lunak yang digunakan dalam Sistem BI-RTGS dan/atau yang terkait dengan Sistem BI-RTGS bebas dari segala jenis virus; h. menjamin integritas database Sistem BI-RTGS yang ada pada RPP utama dan RPP cadangan, serta integritas data cadangan (backup); i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi RPP utama dan/atau RPP cadangan sesuai dengan buku pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS; j. menyimpan dengan baik aplikasi RPP, termasuk setiap perubahan aplikasi RPP yang telah diberikan oleh Penyelenggara; dan k. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara. 64 Pasal 68 Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan manusia (human error) dan penyelewengan (fraud); b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangan petugas; c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan perannya masing-masing; d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab digital certificate hard token dan digital certificate soft token, termasuk serial number token; e. memastikan keamanan penggunaan digital certificate hard token oleh user yang telah ditetapkan; dan f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan connected user, digital certificate hard token, dan digital certificate soft token. Pasal 69 Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk Sistem BI- RTGS di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyediakan server cadangan dan jaringan komunikasi data cadangan dari lokasi RPP cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban Peserta; dan c. pemilihan jenis dan lokasi RPP cadangan serta jaringan komunikasi data cadangan Peserta diserahkan kepada setiap Peserta. 65 Pasal 70 Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf d, Peserta: a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai dengan pemberitahuan dari Penyelenggara; b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala; dan c. mengoperasikan sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal secara berkala. Pasal 71 (1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. uji coba koneksi dilakukan terhadap RPP cadangan, jaringan komunikasi data cadangan, dan data cadangan (back-up), paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; b. uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dilakukan dengan menggunakan: 1. environment testing Penyelenggara selama jam operasional Sistem BI-RTGS; atau 2. environment production Penyelenggara yang dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat minggu pertama atau minggu ketiga setelah proses akhir hari Sistem BI-RTGS di Penyelenggara berakhir; dan c. penggunaan environment production Penyelenggara dilakukan paling lama 1 (satu) jam. (2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi sistem cadangan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan; 66 b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan. Pasal 72 (1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup pengoperasian RPP cadangan dan/atau jaringan komunikasi data cadangan. (2) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan penggunaan RPP cadangan dan/atau jaringan komunikasi data cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pengoperasian sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan selesai dilakukan. 67 Pasal 73 (1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf e dilakukan terhadap jaringan komunikasi data yang menghubungkan RPP utama dan RPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional Sistem BI-RTGS. (2) Dalam hal Peserta menghubungkan RPP utama dan/atau RPP cadangan dengan sistem internal Peserta, kegiatan menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data dilakukan pula terhadap jaringan komunikasi data yang menghubungkan RPP utama dan/atau RPP cadangan dengan sistem internal Peserta. Paragraf 3 Tanggung Jawab atas Kebenaran Instruksi Setelmen Dana dan Seluruh Informasi yang Dikirim Peserta Kepada Penyelenggara melalui Sistem BI-RTGS Pasal 74 Tanggung jawab Peserta atas kebenaran instruksi Setelmen Dana dan seluruh informasi yang dikirim kepada Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. membuat instruksi Setelmen Dana sesuai dengan buku pedoman pengoperasian standardisasi pengisian message Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. mengirimkan instruksi Setelmen Dana sesuai jadwal yang ditetapkan Penyelenggara; dan c. menggunakan kode transaksi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Sistem BI-RTGS dan 68 BAB V OPERASIONAL PENYELENGGARAAN SISTEM BI-RTGS Bagian Kesatu Waktu Operasional Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS Pasal 75 (1) Penyelenggara menetapkan operasional penyelenggaraan Sistem BI-RTGS yang mencakup hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan. (2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara. (3) Perubahan hari operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan: a. kebijakan pemerintah; dan/atau b. kebijakan Bank Indonesia. (4) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan: a. kebijakan Penyelenggara; dan/atau b. permintaan Peserta Penyelenggara. yang disetujui oleh (5) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam operasional, dan/atau periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara memberitahukan hal tersebut kepada seluruh Peserta melalui administrative messages dan/atau sarana lainnya. Pasal 76 (1) Hari operasional Sistem BI-RTGS dilaksanakan setiap hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional Sistem BI- RTGS sesuai dengan hari kerja yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 69 (3) Dalam kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat, Peserta dapat tidak melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS pada hari operasional berdasarkan persetujuan Penyelenggara. Pasal 77 (1) Jam operasional penyelenggaraan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS mulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 19.00 waktu Indonesia barat (WIB). (2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk melakukan kegiatan Setelmen Dana atas transaksi melalui Sistem BI-RTGS dalam jangka waktu jam operasional. (3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam operasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 78 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan untuk tidak melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) yang disebabkan hal sebagai berikut: a. kantor pusat Peserta berada pada kantor Bank Indonesia di wilayah tertentu dan/atau daerah tertentu ditetapkan libur fakultatif; atau b. kondisi tertentu lainnya yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Prosedur untuk tidak melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS dalam kondisi tertentu diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan tidak melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS dalam kondisi tertentu kepada Penyelenggara yang penyampaiannya dapat didahului dengan: 1. administrative message; 2. faksimile; dan/atau 3. sarana lain; 70 b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan atas permohonan Peserta sebagaimana dimaksud dalam huruf a melalui surat, administrative message, dan/atau sarana lainnya; d. dalam hal permohonan disetujui, Penyelenggara mengumumkan kepada seluruh Peserta melalui administrative message untuk menginformasikan Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional Sistem BI-RTGS; dan e. Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional wajib menyelesaikan hasil Setelmen Dana untuk kepentingan nasabah dengan mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Pasal 79 (1) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) huruf a dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. adanya Keadaan Tidak Normal pada Sistem BI-RTGS dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS; b. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk pelaksanaan kebijakan moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan/atau kepentingan penyelesaian transaksi pemerintah; dan/atau c. adanya permintaan perpanjangan periode waktu kegiatan dari Peserta yang berdampak pada perubahan periode waktu kegiatan dan/atau jam operasional. 71 (2) Dalam hal terjadi perpanjangan jam operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) maka tidak harus diikuti dengan perubahan periode waktu kegiatan untuk transaksi penarikan tunai, pelimpahan pajak, dan Layanan USD/IDR PvP Link. (3) Dalam hal terdapat perubahan waktu operasional penyelenggaraan Setelmen Dana berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. (4) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional pada tahun berjalan maka terhadap transaksi yang telah dikirim oleh Peserta kepada Penyelenggara pada hari kerja sebelumnya dengan menggunakan tanggal valuta hari operasional yang ditetapkan libur, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. seluruh transaksi yang telah dikirim dengan menggunakan tanggal valuta hari operasional yang ditetapkan libur menjadi batal; dan b. dalam hal Peserta akan menyelesaikan transaksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a melalui Sistem BI-RTGS pada hari kerja berikutnya, Peserta harus mengirimkan instruksi Setelmen Dana baru. Pasal 80 Perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan permintaan Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan dalam hal Peserta mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan perpanjangan periode waktu kegiatan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS; b. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan disetujui oleh Penyelenggara maka: 72 1. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan sesuai dengan permintaan Peserta; dan 2. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan melebihi pukul 17.00 waktu Indonesia barat (WIB), perpanjangan periode waktu kegiatan berlaku juga untuk periode waktu kegiatan berikutnya sesuai perpanjangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam angka 1; c. perpanjangan periode waktu kegiatan yang dapat diberikan yaitu selama 30 (tiga puluh) menit atau paling lama 60 (enam puluh) menit, kecuali dalam kondisi tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara; d. perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b menyebabkan perubahan periode waktu kegiatan berikutnya dan/atau jam operasional; e. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan yang telah disetujui oleh Penyelenggara bersifat final dan tidak dapat dibatalkan oleh Peserta; f. perpanjangan periode waktu kegiatan atas permintaan Peserta dikenakan biaya; dan g. perpanjangan periode waktu kegiatan tidak dapat diajukan oleh Peserta untuk transaksi penarikan tunai, pelimpahan pajak, dan Layanan USD/IDR PvP Link. Pasal 81 Prosedur pengajuan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a ditetapkan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan secara tertulis yang disertai alasan kepada Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain; b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; 73 c. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan harus diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya periode waktu kegiatan yang dimintakan perpanjangan; d. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan kepada Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya; e. dalam hal telah terdapat Peserta yang mengajukan perpanjangan periode waktu kegiatan selama 60 (enam puluh) menit dan telah disetujui oleh Penyelenggara maka Peserta yang lain tidak dapat mengajukan perpanjangan periode waktu kegiatan, kecuali dalam kondisi tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara; dan f. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan disetujui, Penyelenggara menyampaikan informasi perpanjangan periode waktu kegiatan kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. Bagian Kedua Pengelolaan Pengguna (User) Pasal 82 (1) Pengguna (user) RPP terdiri atas: a. connected user; dan b. unconnected user. (2) Connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG); dan b. connected user untuk Sistem BI-RTGS straight- through processing gateway (RSTPG). (3) Unconnected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. administrator user; dan b. operational user. 74 (4) Penyelenggara memberikan 1 (satu) administrator user sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a yang dilengkapi password kepada setiap Peserta. Pasal 83 (1) Penyelenggara melakukan pengelolaan connected user paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian, reset password, penghentian, pengaktifan kembali, dan penetapan security level. (2) Peserta melakukan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), yang meliputi: a. akses connected user; b. pendaftaran dan akses unconnected user; dan c. pengelolaan database dan konfigurasi parameter. (3) Pengelolaan user oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan administrator user. (4) Pengelolaan dan penggunaan connected user yang telah diserahkan oleh Penyelenggara kepada Peserta dilakukan berdasarkan ketentuan internal Peserta dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Peserta yang bersangkutan. Bagian Ketiga Connected User dan Digital Certificate Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 84 (1) Penyelenggara memberikan connected user kepada Peserta yang dilengkapi dengan: a. password dan digital certificate hard token untuk setiap Peserta yang menggunakan Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG); dan b. password dan digital certificate soft token untuk setiap Peserta yang menggunakan Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG). 75 (2) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling banyak 10 (sepuluh) connected user. (3) Penyelenggara menyediakan 1 (satu) connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Masa aktif digital certificate hard token dan digital certificate soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate dilakukan oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. Paragraf 2 Penambahan Connected User serta Penggantian dan/atau Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate Pasal 85 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan connected user yang dilengkapi dengan password dan digital certificate hard token sepanjang tidak melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2). (2) Penambahan connected user melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) dapat diberikan kepada Peserta berdasarkan persetujuan Penyelenggara. (3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian digital certificate hard token dan/atau digital certificate soft token yang hilang, rusak, atau tidak dapat digunakan karena sebab apapun. (4) Penambahan connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penggantian digital certificate hard token sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan biaya. (5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana dalam rupiah Peserta yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 76 (6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif Digital Certificate sebelum masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (4) berakhir. Pasal 86 Permohonan penambahan connected user, serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan penambahan connected user serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate secara tertulis kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memuat informasi paling sedikit: 1. untuk penambahan connected user yang dilengkapi dengan password dan digital certificate hard token: a) nama dan participant code Peserta; b) jumlah penambahan connected user; dan c) alasan permintaan tambahan connected user, dalam hal permintaan melebihi jumlah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 84 ayat (2); 2. untuk penggantian digital certificate hard token: a) nama dan participant code Peserta; b) nama connected user untuk digital certificate hard token yang akan diganti; c) nomor seri digital certificate hard token; dan d) alasan permintaan penggantian digital certificate hard token; 77 3. untuk penggantian digital certificate soft token: a) nama dan participant code Peserta; b) nama connected user dari server yang digital certificate soft token-nya akan diganti; dan c) alasan permintaan penggantian digital certificate soft token; 4. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate hard token: a) nama dan participant code Peserta; b) nama connected user untuk digital certificate hard token-nya akan diperpanjang masa aktifnya; dan c) nomor seri digital certificate hard token; atau 5. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate soft token: a) nama dan participant code Peserta; dan b) nama connected user dari server yang digital certificate soft token-nya akan diperpanjang masa aktifnya; d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dokumen pendukung sebagai berikut: 1. file certificate signing request (CSR) dalam media compact disc (CD) dari server yang digital certificate soft token-nya akan diganti atau diperpanjang masa aktifnya, dalam hal Peserta mengajukan penggantian atau perpanjangan masa aktif digital certificate soft token; 2. digital certificate hard token, dalam hal Peserta mengajukan perpanjangan masa aktif atau penggantian digital certificate hard token; dan/atau 3. surat keterangan kehilangan digital certificate hard token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta mengajukan penggantian digital certificate hard token yang hilang; dan 78 e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan 2. disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum masa aktif Digital Certificate berakhir bagi Peserta yang mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif. Pasal 87 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lain untuk pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Peserta melakukan pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara; b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan c. pengambilan dokumen dilakukan oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. 79 (4) Dalam hal terdapat perpanjangan masa aktif digital certificate soft token, Peserta harus menginformasikan tanggal efektif penggunaan digital certificate soft token yang baru kepada Penyelenggara melalui administrative message atau surat yang dapat didahului dengan faksimile. (5) Dalam hal Peserta tidak menginformasikan tanggal efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka segala risiko dan akibat yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. (6) Dalam hal penambahan connected user yang dilengkapi dengan password dan digital certificate hard token melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2), Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap oleh Penyelenggara. Paragraf 3 Penghapusan Connected User RPG dan/atau RSTPG Pasal 88 (1) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) dapat dilakukan atas dasar inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta. (2) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) atas dasar inisiatif Penyelenggara dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS atau berdasarkan pertimbangan lain. (3) Penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) atas dasar permintaan Peserta dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 80 a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) secara tertulis kepada Penyelenggara yang dapat didahului dengan faksimile, sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) disertai dengan digital certificate hard token dari connected user yang dimohonkan untuk dihapus; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta mengenai penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG). Paragraf 4 Reset Password Connected User untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG), Unlock Connected User untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG), dan/atau Reset Password Digital Certificate Hard Token Pasal 89 Peserta dapat mengajukan permohonan reset password connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG), unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG), dan/atau reset password digital certificate hard token kepada Penyelenggara. Pasal 90 Permohonan reset password connected user untuk Sistem BI- RTGS payment gateway (RPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 81 a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. nama connected user untuk password yang dimohonkan untuk dilakukan reset; dan 3. nama dan nomor telepon pihak di Peserta yang dapat dihubungi; c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan password connected user kepada Peserta melalui surat; dan d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. Pasal 91 Permohonan unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan secara tertulis mengenai unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) kepada Penyelenggara dapat disampaikan melalui administrative message atau surat yang ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang dapat didahului dengan faksimile; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. nama connected user yang dimohonkan untuk di- unlock; dan 82 3. nama dan nomor telepon pihak di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian proses unlock connected user untuk Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) kepada Peserta yang bersangkutan melalui administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 92 Permohonan reset password digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. nama connected user yang digital certificate hard token-nya dimohonkan untuk di-reset; 3. nomor seri digital certificate hard token; dan 4. nama dan nomor telepon pihak di Peserta yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 untuk melakukan tahapan proses reset password digital certificate hard token di RPP. 83 Bagian Keempat Layanan Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 93 (1) Jenis layanan Transfer Dana yang dapat dilakukan melalui Sistem BI-RTGS terdiri atas: a. Peserta kepada Peserta lainnya, yang meliputi: 1. Transfer Dana dari Bank atau pihak selain Bank kepada Bank atau pihak selain Bank dan sebaliknya; 2. Transfer Dana dari Peserta atau pihak selain Bank kepada Bank Indonesia dan sebaliknya; 3. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain untuk setelmen Layanan USD/IDR PvP Link; dan 4. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain untuk Setelmen Dana surat berharga negara (SBN) dalam valuta asing (transaksi multicurrency); b. Peserta kepada nasabah Peserta lainnya atau sebaliknya, yang meliputi: 1. Transfer Dana dari Bank kepada Bank Indonesia atau sebaliknya untuk kepentingan instansi pemerintah, lembaga keuangan internasional, lembaga lain, atau internal Bank Indonesia; dan 2. Transfer Dana dari Bank kepada Bank lain untuk kepentingan nasabah Peserta, dengan nilai nominal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI); dan c. nasabah Peserta kepada nasabah Peserta lain. (2) Jenis layanan Transfer Dana yang harus dilakukan melalui Sistem BI-RTGS paling sedikit berupa Transfer Dana dari Peserta kepada Peserta lainnya untuk kepentingan: 84 a. Peserta; dan b. nasabah Peserta, dengan nilai nominal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas nilai nominal transfer dana melalui Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). (3) Jenis layanan Transfer Dana yang dapat dilakukan oleh Peserta diatur sesuai dengan perjanjian antara Penyelenggara dengan Peserta. (4) Pembatasan nilai nominal Transfer Dana yang dapat dilakukan melalui Sistem BI-RTGS diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai batas nilai nominal transfer dana antar-Bank untuk kepentingan nasabah melalui Sistem BI-RTGS. Paragraf 2 Transaksi Penarikan Tunai Melalui Sistem BI-RTGS Pasal 94 Transaksi penarikan tunai yang dilakukan melalui Sistem BI- RTGS diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. transaksi penarikan tunai dilakukan untuk pengambilan fisik uang oleh Peserta di kantor Bank Indonesia; b. Peserta mengirimkan instruksi Setelmen Dana kepada Bank Indonesia dengan mencantumkan nomor dan nama rekening yang ditentukan oleh Bank Indonesia; c. instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf b menggunakan kode transaksi dan dikirim sesuai dengan periode waktu kegiatan transaksi penyetoran dan penarikan tunai sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. Penyelenggara memberitahukan kepada Peserta melalui sarana administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara, dalam hal terdapat penambahan dan/atau perubahan nomor dan/atau nama rekening sebagaimana dimaksud dalam huruf b; 85 e. pengambilan fisik uang oleh Peserta sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan menyerahkan surat penunjukan pengambilan fisik uang yang ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara atau oleh petugas penerima kuasa yang telah memiliki kewenangan untuk melakukan pengambilan fisik uang, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. untuk pengambilan fisik uang di wilayah kantor pusat Bank Indonesia dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a) pengambilan fisik uang dilakukan oleh Pimpinan, pejabat yang menerima kuasa dan petugas yang memiliki surat kuasa untuk melakukan pengambilan fisik uang di kantor pusat Bank Indonesia; b) petugas sebagaimana dimaksud dalam huruf a) sudah terdaftar pada tata usaha di kantor pusat Bank Indonesia; dan c) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penyetoran dan penarikan tunai; dan 2. untuk pengambilan fisik uang di wilayah kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri dilakukan oleh Pimpinan, pejabat yang menerima kuasa, atau petugas penerima kuasa yang telah memiliki surat kuasa untuk melakukan pengambilan fisik uang di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penyetoran dan penarikan tunai; f. pengambilan fisik uang oleh Peserta sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memperhatikan jam layanan loket kas masing-masing kantor Bank Indonesia; g. dalam hal sampai dengan jam layanan loket kas berakhir Peserta belum melakukan pengambilan fisik uang maka Bank Indonesia mengembalikan dana tersebut ke Rekening Setelmen Dana Peserta yang bersangkutan; dan 86 h. dalam kondisi tertentu, transaksi penarikan tunai dapat dilakukan di luar batas waktu kegiatan transaksi penyetoran dan penarikan tunai berdasarkan persetujuan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan kepentingan umum. Pasal 95 Transaksi penarikan tunai yang dilakukan di luar batas waktu kegiatan transaksi penyetoran dan penarikan tunai melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf h dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan penarikan tunai secara tertulis yang disertai dengan alasan penarikan; b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan 2. disampaikan ke Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Uang atau kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi; c. sarana yang digunakan untuk melakukan penarikan yaitu cek yang diterbitkan Bank Indonesia yang tata cara pengisian dan penggunaannya sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia, serta dibubuhi stempel contingency plan pada lembar cek yang diterbitkan Bank Indonesia; d. penarikan tunai dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta Peserta telah memperoleh persetujuan dari: 1. satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang, untuk penarikan tunai di kantor pusat Bank Indonesia; atau 2. kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, untuk penarikan tunai di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. 87 Paragraf 3 Transaksi untuk Pelaksanaan Treasury Single Account (TSA) Pasal 96 Transaksi untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta yang menjadi pelaksana treasury single account (TSA) yaitu Peserta yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia; b. dalam pelaksanaan transaksi treasury single account (TSA), Penyelenggara menetapkan: 1. jenis transaksi untuk pelaksanaan treasury single account (TSA); 2. kode transaksi treasury single account (TSA); dan 3. tata cara pengisian transaksi treasury single account (TSA), sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. Peserta pelaksana treasury single account (TSA) sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengirimkan instruksi Setelmen Dana untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) dengan menggunakan kode transaksi yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan mengisi informasi sesuai tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX; d. Peserta yang melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) dikenakan biaya transaksi single credit antar-Peserta bagi nasabah untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 88 e. dalam hal Peserta melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) menggunakan kode transaksi selain sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX maka Peserta tersebut dikenakan biaya transaksi single credit antar-Peserta untuk nasabah; f. dalam hal Peserta mengirimkan instruksi Setelmen Dana atas transaksi untuk treasury single account (TSA) namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Peserta dikenakan biaya transaksi single credit antar-Peserta untuk nasabah dan sanksi administratif berupa kewajiban membayar atas penggunaan kode transaksi yang tidak benar; dan g. batas waktu Setelmen Dana atas transaksi untuk pelaksanaan treasury single account (TSA) mengacu pada periode waktu kegiatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII. Paragraf 4 Transaksi Multicurrency Pasal 97 (1) Transaksi multicurrency dalam Sistem BI-RTGS digunakan untuk Setelmen Dana atas transaksi antarrekening Peserta di Bank Indonesia dalam valuta asing yang sama. (2) Peserta yang dapat melakukan transaksi multicurrency sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Peserta yang telah memiliki Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing di Bank Indonesia. (3) Dalam hal terdapat penambahan Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing di Bank Indonesia, Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. (4) Transaksi multicurrency sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat dilakukan dalam Sistem BI-RTGS terdiri atas: 89 a. transaksi untuk setelmen SBN dalam valuta asing; dan b. transaksi dalam valuta asing lainnya, yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Paragraf 5 Transaksi PvP Pasal 98 (1) Transaksi PvP dalam Sistem BI-RTGS digunakan untuk penyelesaian transaksi jual beli mata uang dolar Amerika Serikat terhadap mata uang rupiah antar-Peserta. (2) Transaksi PvP hanya dapat dilakukan oleh Peserta yang telah terdaftar sebagai pengguna Layanan USD/IDR PvP Link. (3) Transaksi PvP hanya dapat dilakukan oleh Peserta sepanjang Sistem BI-RTGS dan USD CHATS beroperasi. (4) Peserta pengguna Layanan USD/IDR PvP Link yang bertindak sebagai pembeli mata uang dolar Amerika Serikat, mengirimkan instruksi Setelmen Dana dalam mata uang rupiah melalui Sistem BI-RTGS dengan menggunakan kode transaksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan tata cara pengisian instruksi Setelmen Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI. (5) Peserta pengguna Layanan USD/IDR PvP Link yang bertindak sebagai penjual mata uang dolar Amerika Serikat mengirimkan instruksi setelmen dana dalam mata uang dolar Amerika Serikat melalui USD CHATS. Pasal 99 Pelaksanaan Setelmen Dana atas transaksi PvP, dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Sistem BI-RTGS dan USD CHATS melakukan proses matching antara instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (4) dan instruksi setelmen dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (5); 90 b. dalam hal instruksi Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS sama dengan instruksi setelmen dana dalam USD CHATS, maka: 1. saldo pada Rekening Setelmen Dana Peserta yang melakukan pembelian akan di-hold sebesar nominal transaksi PvP; dan 2. dilakukan kegiatan sebagai berikut: a) setelmen dana atas transaksi PvP, dalam hal holding fund untuk mata uang Dolar Amerika USD CHATS berhasil; atau b) pembatalan transaksi PvP, dalam hal saldo pada Rekening Setelmen Dana tidak mencukupi. c. dalam hal tidak ditemukan data yang sama antara instruksi Setelmen Dana dalam Sistem BI-RTGS dengan instruksi setelmen dana dalam USD CHATS, status transaksi PvP menjadi pending; dan d. instruksi Setelmen Dana atas transaksi PvP yang berstatus pending sebagaimana dimaksud dalam huruf c akan dibatalkan secara otomatis oleh sistem pada saat periode waktu setelmen transaksi PvP berakhir. Bagian Kelima Setelmen Dana Paragraf 1 Rekening Setelmen Dana Pasal 100 (1) Rekening Setelmen Dana terdiri atas: a. Rekening Giro; dan/atau b. rekening lainnya, dalam rupiah dan valuta asing. (2) Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki subrekening yang merupakan bagian dari Rekening Setelmen Dana yang jenis dan tujuan penggunaannya ditetapkan oleh Penyelenggara. 91 (3) Penyelenggara dapat menetapkan penggunaan subrekening untuk keperluan Setelmen Dana atau keperluan lainnya. (4) Dalam hal terdapat penambahan dan/atau perubahan jenis dan tujuan penggunaan subrekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan penambahan dan/atau perubahan tersebut kepada Peserta melalui sarana administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Paragraf 2 Prinsip Setelmen Dana Pasal 101 (1) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS dilakukan pada tanggal valuta Setelmen Dana. (2) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. (3) Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS menggunakan dana pada Rekening Setelmen Dana. (4) Setelmen Dana dilakukan dengan mempertimbangkan faktor sebagai berikut: a. kecukupan saldo di Rekening Setelmen Dana Peserta; b. ketersediaan dan kecukupan FLI, dalam hal saldo pada Rekening Setelmen Dana milik Peserta tidak mencukupi; c. urutan transaksi yang dikirimkan; d. transaksi lawan yang dapat di-offsetting-kan; e. bilateral limit dan multilateral limit; f. setting waktu eksekusi transaksi; dan/atau g. status Peserta pengirim dan Peserta penerima. (5) Saldo rekening yang digunakan oleh Peserta untuk Setelmen Dana yaitu total saldo pada Rekening Setelmen Dana setelah dikurangi saldo subrekening. 92 Paragraf 3 Pembuatan dan Pengiriman Instruksi Setelmen Dana Pasal 102 (1) Instruksi Setelmen Dana yang dapat dilakukan melalui Sistem BI-RTGS terdiri atas: a. single credit; b. multiple credit; dan c. single debit. (2) Peserta selain Bank Indonesia hanya dapat mengirimkan instruksi Setelmen Dana berupa single credit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan multiple credit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (3) Pembuatan instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI- RTGS dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. instruksi Setelmen Dana harus berdasarkan dokumen, warkat, atau data elektronik sesuai dengan format yang ditetapkan oleh masing-masing Peserta; b. instruksi Setelmen Dana harus memenuhi tata cara pengisian instruksi Setelmen Dana sesuai dengan standardisasi pengisian message instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VI; dan c. instruksi Setelmen Dana wajib menggunakan kode transaksi dengan benar sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Lampiran VIII. Pasal 103 Waktu pengiriman instruksi Setelmen Dana dan waktu pelaksanaan Setelmen Dana diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dapat melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana dengan tanggal valuta Setelmen Dana yang sama dengan tanggal pengiriman instruksi Setelmen Dana sesuai dengan periode waktu kode kegiatan Setelmen Dana; 93 b. Peserta dapat melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana titipan (future date) paling lama untuk tanggal valuta Setelmen Dana selama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pengiriman instruksi Setelmen Dana ke RCN; dan c. pelaksanaan Setelmen Dana atas instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan pada tanggal valuta Setelmen Dana sesuai dengan periode waktu kegiatan Setelmen Dana atas jenis transaksi future date. Pasal 104 Untuk pelaksanaan Setelmen Dana, Peserta harus menyediakan dana yang cukup di Rekening Setelmen Dana pada saat pengiriman instruksi Setelmen Dana. Paragraf 4 Mekanisme Setelmen Dana Pasal 105 (1) Setelmen Dana atas instruksi Setelmen Dana pada Sistem BI-RTGS dilakukan seketika per transaksi secara individual. (2) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. Setelmen Dana dilakukan berdasarkan kecukupan dana di Rekening Setelmen Dana yang telah memperhitungkan pula FLI yang dimiliki oleh Peserta; dan b. dalam hal Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak mencukupi maka instruksi Setelmen Dana akan dibatalkan atau masuk dalam mekanisme antrean. (3) Instruksi Setelmen Dana yang masuk dalam mekanisme antrean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu transaksi yang dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia. 94 (4) Jenis instruksi Setelmen Dana yang akan dibatalkan atau masuk dalam mekanisme antrean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran VIII. Paragraf 5 Grup Prioritas Pasal 106 Penyelenggara menetapkan grup prioritas transaksi dalam Sistem BI-RTGS untuk mengelompokkan angka prioritas transaksi yang terdiri atas: a. grup high priority; b. grup priority; c. grup normal; dan d. grup settle or reject. Pasal 107 (1) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup high priority sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a dan grup priority sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b akan masuk dalam mekanisme antrean apabila dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta dan FLI tidak mencukupi. (2) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c akan langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui mekanisme antrean apabila dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta dan FLI tidak mencukupi. (3) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan grup settle or reject sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d akan langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui mekanisme antrean apabila dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta tidak mencukupi. Pasal 108 Instruksi Setelmen Dana dikelompokkan ke dalam grup prioritas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 tercantum dalam Lampiran VIII. 95 Paragraf 6 Mekanisme Antrean Pasal 109 Penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang masuk dalam mekanisme antrean dilakukan berdasarkan urutan angka prioritas transaksi. Pasal 110 Penyelenggara menetapkan instruksi Setelmen Dana yang masuk dalam mekanisme antrean dengan ketentuan sebagai berikut: a. penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang masuk ke dalam mekanisme antrean diatur sebagai berikut: 1. penyelesaian instruksi Setelmen Dana dalam antrean grup high priority dan priority dilakukan dengan prinsip first in first out (FIFO) untuk masing-masing grup; dan 2. instruksi Setelmen Dana yang berada dalam mekanisme antrean akan dibatalkan secara otomatis oleh sistem pada saat periode waktu kegiatan berdasarkan kode transaksi berakhir dan/atau pada saat cut-off warning Sistem BI-RTGS; b. penyelesaian instruksi Setelmen Dana yang berada dalam mekanisme antrean dilakukan dengan memperhitungkan kecukupan dana di Rekening Setelmen Dana dan FLI Peserta serta memperhitungkan instruksi Setelmen Dana Peserta dan lawannya yang masih dalam mekanisme antrean secara offsetting; dan c. penyelesaian instruksi Setelmen Dana secara offsetting sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan dalam hal memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. memiliki lawan transaksi dalam mekanisme antrean; dan 2. dana pada Rekening Setelmen Dana dan/atau FLI mencukupi untuk Setelmen Dana hasil offsetting. 96 Pasal 111 (1) Penyelenggara berwenang melakukan pengelolaan terhadap instruksi Setelmen Dana yang berada dalam mekanisme antrean dengan melakukan hal sebagai berikut: a. pengurutan ulang (reordering); dan b. pembatalan (cancellation). (2) Pengurutan ulang (reordering) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengubah angka prioritas transaksi dalam grup high priority dan grup priority. (3) Pembatalan (cancellation) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pembatalan (cancellation) dilakukan dengan membatalkan transaksi dalam antrean; dan b. pembatalan (cancellation) dapat dilakukan untuk transaksi dengan grup high priority dan grup priority. Paragraf 7 Kewajiban Penerusan Perintah Transfer Dana dan Hasil Setelmen Dana Pasal 112 Peserta pengirim wajib melaksanakan perintah Transfer Dana atas permintaan nasabah pengirim dan Peserta penerima wajib meneruskan dana hasil Setelmen Dana kepada nasabah penerima sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Paragraf 8 Mekanisme Pengembalian Dana (Retur) Pasal 113 (1) Pengembalian dana atas transaksi antar-Peserta untuk kepentingan nasabah yang telah dilakukan Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS dapat dilakukan berdasarkan: 97 a. inisiatif Peserta penerima; atau b. permintaan Peserta pengirim. (2) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Peserta pengirim melakukan: a. kesalahan penulisan jumlah dana dan/atau penerima dana; dan/atau b. duplikasi, dalam pengiriman instruksi Setelmen Dana. Pasal 114 (1) Pengembalian dana atas inisiatif Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima harus segera mengembalikan dana atas Setelmen Dana kepada Peserta pengirim apabila data penerima dana yang tercantum pada konfirmasi Setelmen Dana tidak cocok dengan data yang tercantum dalam tata usaha rekening atau administrasi di Peserta atau identitas penerima dana; b. pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan mekanisme pengembalian dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan c. Peserta yang melakukan transaksi penarikan tunai namun tidak mengambil fisik uang sampai dengan batas waktu yang ditetapkan maka pengembalian dana Peserta dilakukan oleh Bank Indonesia ke Rekening Setelmen Dana Peserta tanpa menunggu permintaan dari Peserta pengirim. (2) Pelaksanaan pengembalian dana atas inisiatif Peserta penerima sebagaimana dimaksud ayat (1) juga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS. 98 Pasal 115 Pengembalian dana atas permintaan Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim dapat mengajukan permintaan pengembalian dana atas instruksi Setelmen Dana yang telah dilakukan Setelmen Dana dengan menyertakan pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity); b. pengajuan permintaan pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan mekanisme pengembalian dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI; c. pengembalian dana atas permintaan Peserta pengirim juga mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS; dan d. dalam hal Peserta pengirim melakukan kesalahan penulisan jumlah dana, penerima dana, dan/atau duplikasi transaksi dalam pengiriman instruksi Setelmen Dana ke rekening pemerintah di Bank Indonesia terkait dengan transaksi pelimpahan penerimaan negara atau transaksi treasury single account (TSA) lainnya maka untuk penyelesaian transaksi tersebut dilakukan secara bilateral antara Peserta pengirim dengan pemilik rekening Sub Rekening Kas Umum Negara Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (RKUN KPPN) atau pemilik rekening instansi pemerintah lainnya. Paragraf 9 Mekanisme Koreksi Instruksi Setelmen Dana Pasal 116 (1) Peserta pengirim dapat mengajukan koreksi atas instruksi Setelmen Dana untuk nasabah Peserta yang telah dilakukan Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai berikut: 99 a. data instruksi Setelmen Dana yang dapat dikoreksi hanya terbatas pada data identitas nasabah penerima dana meliputi: 1. nama; 2. alamat; dan/atau 3. keterangan transaksi; b. Peserta pengirim dapat mengajukan permintaan koreksi instruksi Setelmen Dana dengan menyertakan pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI; dan c. permintaan koreksi instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf b disampaikan oleh Peserta pengirim melalui sarana administrative message. (2) Peserta penerima yang menerima permintaan koreksi transaksi harus segera memberikan tanggapan persetujuan atau penolakan melalui administrative message dan/atau sarana tertulis lainnya. Paragraf 10 Bukti dan Laporan Setelmen Dana Pasal 117 (1) Peserta menatausahakan bukti dan laporan Setelmen Dana yang terdiri atas: a. bukti Setelmen Dana, berupa: 1. dokumen, warkat, atau data elektronik yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan Setelmen Dana; dan 2. dokumen elektronik atau hasil olahan komputer dari Sistem BI-RTGS; dan b. laporan rekening koran yang memuat informasi saldo dan mutasi Setelmen Dana. (2) Peserta menatausahakan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan jadwal retensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 100 Bagian Keenam Pengelolaan Risiko Paragraf 1 FLI Pasal 118 (1) Penyelenggara menyediakan FLI untuk Peserta yang dapat digunakan dalam hal Rekening Setelmen Dana tidak mencukupi untuk melakukan Setelmen Dana. (2) Dalam hal Peserta menggunakan FLI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara melakukan pengkreditan ke Rekening Setelmen Dana Peserta atas pencairan dana untuk penggunaan FLI sebesar kebutuhan dana Peserta. (3) Prosedur dan ketentuan mengenai penggunaan dan pelunasan FLI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai tata cara penggunaan FLI. Paragraf 2 Throughput Guideline Pasal 119 Peserta dapat mengirimkan instruksi Setelmen Dana dengan mengacu pada throughput guideline sebagai berikut: a. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing payments) diselesaikan sebelum pukul 10.00 waktu Indonesia barat (WIB); b. paling sedikit 30% (tiga puluh persen) berikutnya dari total nilai instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing payments) diselesaikan pukul 10.00 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan sebelum pukul 14.00 waktu Indonesia barat (WIB); dan c. sejumlah 40% (empat puluh persen) dari total nilai instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan (outgoing payments) diselesaikan pukul 14.00 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan sebelum pukul 18.00 waktu Indonesia barat (WIB). 101 Paragraf 3 Fasilitas Pengelolaan Likuiditas Pasal 120 Sistem BI-RTGS menyediakan fasilitas pengelolaan likuiditas (liquidity management) yang dapat digunakan oleh Peserta untuk meningkatkan efisiensi penggunaan likuiditas, yang terdiri atas: a. batas nilai transaksi untuk lawan transaksi (counterparty limit); b. pencadangan dana pada subrekening tertentu untuk kepentingan setelmen transaksi PvP (sub-account); dan c. pengaturan waktu Setelmen Dana (settlement execution time). Pasal 121 (1) Batas nilai transaksi untuk lawan transaksi (counterparty limit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a terdiri atas: a. bilateral limit; dan b. multilateral limit. (2) Instruksi Setelmen Dana yang pelaksanaan Setelmen Dananya dapat dibatasi dengan fasilitas counterparty limit hanya berlaku untuk transaksi dengan grup normal. (3) Counterparty limit tidak berlaku bagi Bank Indonesia. Pasal 122 Sub-account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf b merupakan fasilitas pengelolaan likuiditas (liquidity management) yang digunakan untuk pencadangan dana bagi Peserta yang mengirimkan instruksi Setelmen Dana atas transaksi PvP. Pasal 123 (1) Peserta dapat mengatur waktu Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf c atas instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan. 102 (2) Pengaturan waktu Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut terdiri atas: a. batas waktu paling awal (earliest time); b. batas waktu paling akhir (latest time); dan/atau c. batas waktu pembatalan (reject time). (3) Peserta dapat mengubah pengaturan waktu Setelmen Dana sepanjang instruksi Setelmen Dana belum dilakukan setelmen atau sebelum pengaturan waktu Setelmen Dana yang ditetapkan terlewati. Paragraf 4 Gridlock Resolution Pasal 124 (1) Penyelenggara menetapkan kondisi gridlock berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. jumlah instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme antrean; b. nilai instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme antrean; dan/atau c. jumlah instruksi Setelmen Dana dalam mekanisme antrean sejak Setelmen Dana terakhir. (2) Gridlock resolution dilakukan oleh Penyelenggara dengan metode first available first out (FAFO) apabila salah satu kriteria yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi. BAB VI BIAYA Bagian Kesatu Biaya dalam Penyelenggaraan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS Pasal 125 (1) Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam penyelenggaraan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS. 103 (2) Peserta dapat mengenakan biaya atas instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS kepada nasabah. (3) Penyelenggara dapat menetapkan batas maksimal biaya yang dikenakan Peserta kepada nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 126 Jenis biaya dalam penyelenggaraan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1) terdiri atas: a. biaya instruksi Setelmen Dana; b. biaya pengiriman administrative message; c. biaya instruksi Setelmen Dana dengan menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia; d. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank; e. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional; f. g. biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 127 (1) Penetapan biaya instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dikenakan untuk setiap pengiriman instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS yang terdiri atas: a. single credit termasuk single credit antar-Peserta untuk nasabah atas transaksi treasury single account (TSA); dan b. multiple credit. (2) Penetapan biaya pengiriman administrative message sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf b dikenakan untuk setiap pengiriman administrative message. (3) Penetapan biaya instruksi Setelmen Dana dengan menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c dikenakan untuk setiap instruksi Setelmen Dana. biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token; dan 104 (4) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu) jam; b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh Fasilitas Guest Bank Sistem Bank Indonesia- Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS; dan c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta. (5) Penetapan besaran biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf e dikenakan berdasarkan durasi perpanjangan periode waktu kegiatan setiap 30 (tiga puluh) menit. (6) Biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf f dikenakan untuk setiap digital certificate hard token yang diganti atau ditambahkan. (7) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam penggunaan Sistem BI-RTGS tercantum dalam Lampiran X. (8) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Bagian Kedua Pembebasan Biaya Pasal 128 (1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). 105 Bagian Ketiga Perhitungan dan Pembebanan Biaya Pasal 129 Penyelenggara melakukan perhitungan biaya dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dengan ketentuan sebagai berikut: a. biaya, untuk: 1. pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi single credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a berikut pajak pertambahan nilai (PPN); dan 2. administrative message sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) berikut pajak pertambahan nilai (PPN), dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal pengiriman instruksi Setelmen Dana dan/atau pengiriman administrative message; b. biaya Setelmen Dana berikut pajak pertambahan nilai (PPN) atas instruksi Setelmen Dana single credit sebagaimana dimaksud pada Pasal 127 ayat (1) huruf a yang menggunakan kode transaksi treasury single account (TSA) namun tidak sesuai dengan yang ditetapkan Penyelenggara, dihitung setiap akhir bulan yang sama dengan bulan pengiriman instruksi Setelmen Dana; c. biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi multiple credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) huruf b berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir bulan untuk masing-masing Peserta; d. biaya penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (3) berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia; 106 e. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (4) berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal penggunaan Fasilitas Guest Bank; f. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (5) berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal perpanjangan waktu periode kegiatan yang diajukan oleh Peserta; dan g. biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (6) berikut pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung setiap akhir hari yang sama dengan tanggal penggantian atau penambahan digital certificate hard token. Pasal 130 Pembebanan biaya dilakukan oleh Penyelenggara dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta dengan ketentuan sebagai berikut: a. biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi single credit dan administrative message sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf a dibebankan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal perhitungan; b. biaya atas instruksi Setelmen Dana yang menggunakan kode transaksi treasury single account (TSA) tidak sesuai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf b dan biaya pengiriman instruksi instruksi Setelmen Dana atas transaksi multiple credit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf c dibebankan paling lama pada awal bulan berikutnya; c. biaya penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf d dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal pelaksanaan Setelmen Dana menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia; 107 d. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf e dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal penggunaan Fasilitas Guest Bank; e. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf f dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal pelaksanaan perpanjangan waktu kegiatan Setelmen Dana; dan f. biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 huruf g, dibebankan paling lama 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah tanggal pelaksanaan penyerahan atas penggantian dan/atau penambahan digital certificate hard token kepada Peserta. Bagian Keempat Biaya Transfer Dana Melalui Sistem BI-RTGS yang Dikenakan Peserta Kepada Nasabah Peserta Pasal 131 (1) Peserta dapat menetapkan dan mengenakan biaya Transfer Dana kepada nasabah paling banyak Rp35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah). (2) Peserta wajib mengumumkan: a. besarnya biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS yang ditetapkan Penyelenggara kepada Peserta; dan b. besarnya biaya Transfer Dana melalui Sistem BI- RTGS yang ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta kepada nasabah. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan nasabah dalam pelaksanaan transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. 108 BAB VII PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Bagian Kesatu Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Penyelenggara Paragraf 1 Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara Pasal 132 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Setelmen Dana seketika melalui Sistem BI-RTGS atau mengakibatkan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan maka berlaku prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal. (2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal dan tahapan yang perlu dilakukan melalui administrative message dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan, Peserta harus menghentikan sementara kegiatan pengiriman instruksi Setelmen Dana dan kegiatan lain melalui Sistem BI-RTGS; dan c. dalam hal Sistem BI-RTGS dapat beroperasi kembali, Peserta melakukan hal sebagai berikut: 1. melakukan koneksi ulang ke Sistem BI-RTGS; 2. melakukan rekonsiliasi antara data transaksi di sistem Peserta dengan data transaksi Sistem BI- RTGS di Penyelenggara dan mengecek posisi saldo Rekening Setelmen Dana melalui RPP; dan 109 3. menginformasikan kepada help desk Sistem BI- RTGS apabila dari hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada angka 2 terdapat perbedaan data Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Setelmen Dana. (3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. (4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang mengakibatkan Sistem BI-RTGS tidak dapat beroperasi sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan kebijakan penanganan Keadaan Tidak Normal dan memberitahukannya kepada Peserta. (5) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal Sistem BI-RTGS yang mengakibatkan Setelmen Dana Layanan USD/IDR PvP Link tidak dapat dilaksanakan maka Penyelenggara menginformasikan kepada Peserta melalui sarana administrative message untuk menyelesaikan transaksi PvP menggunakan sistem selain yang disediakan oleh Penyelenggara. Paragraf 2 Keadaan Darurat di Penyelenggara Pasal 133 Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-RTGS atau mengakibatkan operasional Sistem BI-RTGS tidak dapat diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka berlaku prosedur sebagai berikut: a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur penanggulangan Keadaan Darurat; dan 110 b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Bagian Kedua Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta Pasal 134 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan terganggunya kelancaran penyelesaian Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS maka Peserta harus memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk Sistem BI-RTGS melalui sarana telepon paling lama 30 (tiga puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang ditindaklanjuti dengan penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Penyelenggara mengenai hal tersebut dan penyebabnya; dan/atau b. pemberitahuan disampaikan kepada Penyelenggara melalui surat yang didahului dengan administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain dalam hal Peserta memerlukan tindak lanjut perpanjangan periode waktu kegiatan sesuai dengan prosedur perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80. Pasal 135 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat melakukan kegiatan operasional Sistem BI- RTGS dengan menggunakan RPP utama maka Peserta menggunakan RPP cadangan. 111 (2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan RPP cadangan atau tidak dapat melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana dari lokasi kantor Peserta, Peserta dapat menggunakan: a. Fasilitas Guest Bank; atau b. cek yang diterbitkan Bank Indonesia untuk penarikan tunai dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana dalam hal penggunaan Fasilitas Guest Bank tidak dimungkinkan. (3) Dalam hal Peserta memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan operasional maka Peserta harus segera memberitahukan kepada Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 136 Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS. Bagian Ketiga Penggunaan Fasilitas Guest Bank Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 137 (1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama jam operasional penyelenggaraan Setelmen Dana untuk melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku. (2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia. 112 (3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Dana melalui Fasilitas Guest Bank. (4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) metode yaitu: a. shared Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG); b. standalone Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG); c. standalone processing gateway (RSTPG); atau d. own RPP. (5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode shared Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG). Paragraf 2 Prosedur Penggunaan Fasilitas Guest Bank Pasal 138 (1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Sistem BI-RTGS straight-through 113 (3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang menyediakan Fasilitas Guest Bank. (4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank untuk Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS, permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest Bank cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara, sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang memiliki kewenangan dalam operasional Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), BI- SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. (5) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank kepada peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Pasal 139 Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi Penyelenggara atau kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan, Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan Fasilitas Guest Bank. 114 Bagian Keempat Penggunaan Cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau Bilyet Giro yang diterbitkan Bank Indonesia Dalam Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 140 (1) Peserta dapat menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat dan penggunaan Fasilitas Guest Bank tidak dimungkinkan. (2) Cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia dapat digunakan oleh Peserta selama jam operasional Sistem BI-RTGS untuk melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi penarikan tunai dengan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau pemindahan dana dengan bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sesuai dengan periode waktu Setelmen Dana untuk transaksi yang masih berlaku. (3) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbatas pada transaksi single credit antar- Peserta yang tidak untuk kepentingan nasabah. (4) Instruksi Setelmen Dana yang menggunakan bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan atas transaksi single credit yang ditujukan untuk kepentingan nasabah yang memiliki rekening di Bank Indonesia. 115 Paragraf 2 Prosedur Penggunaan Cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau Bilyet Giro yang diterbitkan Bank Indonesia Pasal 141 (1) Prosedur penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan secara tertulis untuk melakukan pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi penarikan tunai dengan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau pemindahan dana dengan bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia, yang paling sedikit memuat: 1. alasan menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia; dan 2. lokasi penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia; b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA; dan c. permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile kepada Penyelenggara. (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lain yang ditetapkan Penyelenggara. 116 (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Peserta menyampaikan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk pelaksanaan di kantor pusat Bank Indonesia: 1. cek yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengelolaan uang; dan/atau 2. bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan kepada Penyelenggara; b. untuk pelaksanaan di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi kantor Peserta; c. cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia diisi dan ditandatangani sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia, serta dibubuhi stempel contingency plan pada masing-masing lembar cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d. cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia disampaikan paling lambat sampai dengan periode waktu pengiriman instruksi Setelmen Dana berdasarkan kode transaksi yang bersangkutan berakhir. (4) Penyelenggara melakukan proses pengiriman instruksi Setelmen Dana, dalam hal cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia yang disampaikan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 117 (5) Bukti Setelmen Dana atas pengiriman instruksi Setelmen Dana dengan menggunakan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia akan terkirim ke RPP Peserta apabila Sistem BI- RTGS di Peserta telah berjalan normal. BAB VIII PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA Pasal 142 (1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga akibat: a. terlambat atau tidak terlaksananya Setelmen Dana; dan/atau b. sebab lain. (2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan oleh: a. pengiriman instruksi Setelmen Dana yang dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; b. kesalahan data dan/atau instruksi Setelmen Dana yang dikirimkan oleh Peserta; c. gangguan jaringan komunikasi data dan/atau sistem pada Peserta yang mengakibatkan keterlambatan Setelmen Dana; d. ketidakmampuan atau keterlambatan Peserta menyediakan dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta; e. tidak diteruskannya instruksi Setelmen Dana berdasarkan keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan lembaga arbitrase, dan/atau keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap; f. kelalaian Peserta; dan/atau g. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta. 118 BAB IX PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA Bagian Kesatu Umum Pasal 143 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pelaksanaan tata kelola; pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. b. operasional; c. infrastruktur; d. business continuity plan (BCP); dan e. perlindungan konsumen. (3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau langsung. Bagian Kedua Pemantauan Tidak Langsung Pasal 144 (1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) dilakukan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap: a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara; dan b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara. (2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Penyelenggara. 119 (3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam hal diminta oleh Penyelenggara. (4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu- waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 1 Laporan Berkala Pasal 145 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) huruf a berupa laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK). (2) Penyampaian laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sebagai berikut: a. laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) merupakan laporan tahunan yang memuat hasil penilaian pemeriksaan internal Peserta untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; c. laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) disampaikan dengan batas waktu paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya; d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK) jatuh pada hari kerja berikutnya; 120 e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK), Peserta tetap wajib menyampaikan laporan berkala paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf c; dan f. Peserta dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e. Paragraf 2 Laporan Sewaktu-waktu Pasal 146 Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (2) terdiri atas: a. laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara; dan/atau b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta. Bagian Ketiga Pemantauan Langsung Pasal 147 (1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan langsung. (2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 121 (4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara. Pasal 148 (1) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (4) Peserta wajib memberikan: a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara; dan/atau b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait operasional Sistem BI-RTGS di Peserta. (2) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta. (3) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta. (4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB X TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 149 (1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis, dan/atau penurunan status kepesertaan. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan: a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a; 122 b. kewajiban menginformasikan biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS kepada nasabah secara transparan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d; c. kewajiban pengisian kode transaksi dalam instruksi Setelmen Dana sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf c dan Pasal 102 ayat (3) huruf c; d. kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2) huruf c; e. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a; f. kewajiban pemberian akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b; dan g. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (4). (3) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak menginformasikan biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS kepada nasabah secara transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e sampai dengan huruf g, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta yang tidak menindaklanjuti sanksi administratif berupa teguran tertulis atas tidak terpenuhinya: a. kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran tertulis diterima; berkala 123 b. kewajiban penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak teguran tertulis diterima; dan c. kewajiban pemberian akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f paling lama 7 (tujuh) hari sejak teguran tertulis diterima, dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan. (5) Peserta yang: a. melakukan pengisian kode transaksi dalam instruksi Setelmen Dana tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c; dan b. terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar. Pasal 150 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (5) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dikenakan kepada Peserta pengirim yang tidak melakukan pengisian kode transaksi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 huruf c dan Pasal 102 ayat (3) huruf c; dan b. Peserta pengirim yang tidak melakukan pengisian kode transaksi sesuai dengan yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per instruksi Setelmen Dana, dengan batas nominal paling banyak sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). 124 (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (5) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2) huruf c; dan b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan batas nominal paling banyak sebesar Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah). (3) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar dilakukan oleh Penyelenggara dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta. (4) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar melalui surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi. BAB XI KORESPONDENSI Pasal 151 (1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan operasional penyelenggaraan Sistem BI-RTGS yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Penyelenggaraan Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. 125 (2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor: Telepon : 021-29818888 Faksimile : 021-2311476. (5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta perubahan nomor telepon dan/atau faksimile sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut melalui surat dan/atau sarana lain. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 152 Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan yang berbeda mengenai penyelenggaraan Setelmen Dana seketika melalui Sistem BI-RTGS bagi Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu. 126 BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 153 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/8/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP Tanggal 13 November 2015 Perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/37/DPSP tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. Pasal 154 Ketentuan mengenai: a. Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4), Pasal 102 ayat (3) huruf c, Pasal 104, dan Pasal 105; b. grup prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dan Pasal 108; 127 c. mekanisme antrean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111; dan d. fasilitas pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. Pasal 155 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15 /PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan Setelmen Dana seketika yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS. Penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup tersebut termasuk di dalamnya ketentuan mengenai mekanisme antrean dan penggunaan fasilitas likuiditas intrahari. Selain itu, sebagai upaya mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum maka pengaturan mengenai kepesertaan dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS juga turut dilakukan perubahan. Ketentuan tersebut antara lain mengenai tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS dilakukan secara tersentralisasi. Terakhir, ketentuan mengenai penyelenggaraan Sistem BI-RTGS secara keseluruhan juga dilakukan penyempurnaan untuk memperkuat tata kelola penyelenggaraan serta harmonisasi dengan ketentuan penyelenggaraan sistem lain di Bank Indonesia seperti BI-SSSS, Sistem BI- Electronic Trading Platform (Sistem BI-ETP), dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaanโ€ adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta. Yang dimaksud dengan โ€œpenyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ€ adalah perubahan data Pimpinan dan alamat kantor Peserta. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaan Sistem BI-RTGS selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasarโ€ antara lain perubahan participant code dan perubahan spesimen tanda tangan. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kegiatan operasional Sistem BI-RTGS oleh Penyelenggara antara lain: 3 1. melakukan kegiatan Setelmen Dana seketika atas Transfer Dana; dan 2. menyediakan data/informasi hasil Setelmen Dana seketika atas Transfer Dana. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pedoman pengoperasian Sistem BI-RTGS berupa buku atau bentuk lainnya yang disampaikan oleh Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. 4 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyelenggara kliring dan/atau setelmen antara lain penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. 5 Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 6 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-RTGS calon Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan kesiapan infrastruktur. Pasal 16 Ayat (1) Penolakan permohonan akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Tata cara dan persyaratan pembukaan Rekening Giro di Bank Indonesia mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai rekening giro di Bank Indonesia. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 7 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Petugas yang menerima kuasa dari Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dengan hak substitusi untuk melakukan pengambilan fisik uang termasuk petugas dari pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan pengambilan fisik uang. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. 8 Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Dokumen lain dapat berupa dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan Rekening Giro, kepesertaan, dan operasional dalam penyelenggaraan Sistem BI-RTGS. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œidentitas diriโ€ adalah: 1. Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor bagi warga negara Indonesia (WNI); atau 2. Paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara asing (WNA). Huruf f Cukup jelas. Huruf g Petugas yang melakukan pengambilan fisik uang termasuk petugas dari pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan pengambilan fisik uang. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 9 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud โ€œuji koneksi dengan Penyelenggaraโ€ adalah uji coba antara RPP yang berada di lokasi calon Peserta dengan RCN. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Penolakan permohonan disampaikan melalui surat yang disertai dengan alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 10 Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan participant code disertai dengan alasan penolakan. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan nama disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. 11 Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan lokasi RPP utama, RPP cadangan, dan/atau pemindahan jaringan komunikasi data (JKD) Peserta disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Penolakan permohonan perubahan spesimen tanda tangan Pimpinan disertai dengan alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penolakan permohonan perubahan kuasa disertai dengan alasan penolakan. Ayat (5) Cukup jelas. 12 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penolakan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur disertai dengan alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Yang dimaksud dengan โ€œsistem yang diselenggarakan oleh Bank Indonesiaโ€ adalah BI-SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI-ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). 13 Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Huruf a Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi pada RPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses Peserta yang bersangkutan. Huruf b Peserta dengan status ditangguhkan: 1. dapat melakukan fungsi mengakses data dan/atau informasi pada RCN melalui aplikasi RPP; 2. tidak dapat melakukan kegiatan tertentu di Sistem BI-RTGS sesuai dengan pembatasan yang ditentukan oleh Penyelenggara; dan 3. dapat mengirim atau menerima instruksi Setelmen Dana namun instruksi tersebut ditangguhkan proses Setelmen Dananya sesuai dengan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan akan diproses kembali oleh Sistem BI- RTGS sesuai dengan prosedur setelah status Peserta kembali aktif. Huruf c Peserta dengan status dibekukan: 1. dapat melakukan fungsi mengakses data dan/atau informasi pada RCN melalui aplikasi RPP; dan 2. tidak dapat mengirim dan menerima instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS. Huruf d Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang telah dihentikan kepesertaannya dalam Sistem BI-RTGS dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. 14 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kewajiban terhadap Bank Indonesia antara lain biaya penggunaan Sistem BI-RTGS, kewajiban atas penggunaan FLI, dan biaya lainnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 15 Ayat (3) Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. 16 Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Transparansi biaya Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS dilakukan oleh Peserta dengan cara mengumumkan secara tertulis biaya transaksi Transfer Dana melalui Sistem BI-RTGS pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Untuk mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait Sistem BI-RTGS, Pimpinan dan/atau pejabat yang berwenang melaksanakan tugas operasional dan pemantauan kepatuhan ketentuan dan prosedur di Peserta melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan asosiasi sistem pembayaran dan ketentuan lainnya yang terkait dengan Sistem BI-RTGS. Pasal 61 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œkebijakan dan prosedur tertulisโ€ adalah ketentuan yang berlaku sebagai pedoman operasional Sistem BI- RTGS di Peserta yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta. Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis mencakup juga prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-RTGS di lingkungan internal Peserta. 17 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam bahasa asing, kebijakan dan prosedur tertulis harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 18 Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka dilengkapi dengan surat pernyataan Pimpinan Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Huruf c Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Huruf a Data yang dipelihara antara lain: 1. data transaksi; 2. data dalam aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan 3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara. Huruf b Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses pihak yang tidak berwenang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan memastikan data dalam media elektronik tidak rusak antara lain dengan cara melakukan pemeliharaan secara berkala. Huruf e Cukup jelas. 19 Pasal 67 Huruf a Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional Sistem BI-RTGS dilakukan antara lain melalui pelatihan secara berkala. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œaplikasi internalโ€ adalah aplikasi internal yang terhubung langsung dengan RPP. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Data cadangan (backup) tersimpan dalam bentuk compact disc (CD), tape, cartridge, flash disk, dan/atau media penyimpanan elektronik lainnya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi RPP. Huruf k Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Huruf a Cukup jelas. 20 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemilihan jenis dan lokasi RPP cadangan serta jaringan komunikasi data cadangan Peserta dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain: 1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi Sistem BI- RTGS bagi Peserta; dan 2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di Peserta. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Laporan tertulis antara lain berupa surat, e-mail, faksimile, dan/atau sarana tertulis lainnya. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 21 Huruf c Laporan tertulis antara lain berupa surat, e-mail, faksimile, dan/atau sarana tertulis lainnya. Pasal 73 Ayat (1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan jaringan komunikasi data dilakukan agar Sistem BI-RTGS bebas dari segala sumber yang dapat merusak Sistem BI-RTGS termasuk kemungkinan penyalahgunaan (fraud), pembobolan data elektronis (hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri sistem dengan data dan/atau instruksi Setelmen Dananya serta data lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œhari operasionalโ€ adalah hari yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai hari diselenggarakannya operasional Sistem BI-RTGS. Yang dimaksud dengan โ€œjam operasionalโ€ adalah jam yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagai waktu diselenggarakannya operasional Sistem BI-RTGS pada setiap hari operasional. Yang dimaksud dengan โ€œperiode waktu kegiatanโ€ adalah jangka waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan kode transaksi untuk melakukan kegiatan Setelmen Dana atas Transfer Dana yang dilakukan melalui Sistem BI-RTGS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 22 Ayat (4) Huruf a Contoh perubahan jam operasional berdasarkan kebijakan Penyelenggara antara lain dalam hal terdapat perubahan jam operasional Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) maka jam operasional Sistem BI-RTGS mengikuti perubahan jam operasional Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Contoh perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan kebijakan Penyelenggara antara lain dalam hal terdapat perubahan periode waktu kegiatan cut-off warning serta periode waktu kegiatan pre cut-off pada BI-SSSS maka periode waktu kegiatan cut-off warning dan periode waktu kegiatan pre cut-off pada Sistem BI-RTGS mengikuti periode waktu kegiatan cut-off warning serta pre cut-off pada BI- SSSS. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 23 Huruf b Kepentingan Bank Indonesia terkait pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau kelancaran sistem pembayaran antara lain perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS yang disebabkan adanya perubahan jam operasional pada BI- SSSS, Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform (BI- ETP), dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œconnected userโ€ adalah user yang ditatausahakan dan diberikan oleh Penyelenggara kepada Peserta untuk melakukan akses ke RCN melalui RPP serta memiliki Digital Certificate untuk mekanisme pengamanan pengiriman dan penerimaan message dari dan ke RCN. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œunconnected userโ€ adalah user yang didaftarkan oleh Peserta pada RPP dan dapat membuat instruksi serta melakukan kegiatan yang bersifat lokal, namun tidak dapat mengirimkan instruksi ke RCN. 24 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Administrator user merupakan user yang melakukan pendaftaran operational user dan melakukan pengelolaan user melalui RPP. Huruf b Operational user merupakan user lokal yang melakukan kegiatan operasional dalam pembuatan instruksi Setelmen Dana di RPP dan melakukan kegiatan operasional lainnya yang bersifat lokal, namun tidak dapat mengirimkan instruksi ke RCN. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Penggelolaan akses connected user antara lain: 1. penetapan hak akses bagi connected user terhadap menu di RPP; dan 2. penetapan role dan limit bagi connected user. Huruf b Pengelolaan pendaftaran dan akses unconnected user antara lain: 1. pendaftaran dan penyesuaian unconnected user; 2. penetapan security level bagi unconnected user; 3. penetapan hak akses bagi unconnected user terhadap menu di RPP; dan 4. penetapan role dan limit bagi unconnected user. Huruf c Cukup jelas. 25 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 84 Ayat (1) Huruf a Digital certificate hard token disimpan di dalam media flash drive. Huruf b Digital certificate soft token disimpan di dalam media compact disc (CD) atau media lain yang akan diinstalasi pada server RPP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup jelas. 26 Ayat (2) Contoh pertimbangan lain penghapusan connected user Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) dan/atau Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) yaitu penghapusan yang dikarenakan connected user mengalami kerusakan atau terdapat potensi penyalahgunaan (fraud). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Huruf a Yang dimaksud dengan penetapan pelaksana treasury single account (TSA) adalah penetapan Bank sebagai bank operasional untuk pengeluaran dan/atau bank persepsi untuk penerimaan, sebagai mitra Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk pelaksanaan treasury single account (TSA). 27 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh informasi yang diisi antara lain pada field 70 (Remittance Information) dan field 72 (Sender to Receiver Information). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Transaksi untuk setelmen SBN dalam valuta asing antara lain: 1. transaksi antara Peserta dengan Bank Indonesia untuk kepentingan pemerintah atas hasil lelang, pembayaran bunga/kupon atau imbalan, dan/atau pelunasan pokok atau nilai nominal SBN dalam valuta asing; dan 2. Huruf b Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. transaksi SBN antar-Peserta di pasar sekunder dalam valuta asing melalui BI-SSSS. 28 Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penggunaan subrekening untuk keperluan lainnya antara lain pencadangan dana untuk Setelmen Dana. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 101 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œoffsettingโ€ adalah bilateral offsetting dan multilateral offsetting. Bilateral offsetting digunakan untuk melakukan Setelmen Dana melalui mekanisme offsetting secara bilateral dengan transaksi lawan yang berada dalam mekanisme antrean. Adapun jenis transaksi yang Setelmen Dananya dapat dilakukan dengan mekanisme bilateral offsetting yaitu transaksi dengan grup normal. 29 Multilateral offsetting digunakan untuk melakukan Setelmen Dana atas transaksi yang berada dalam mekanisme antrean melalui mekanisme offsetting secara multilateral. Jenis transaksi yang Setelmen Dananya dapat dilakukan dengan mekanisme multilateral offsetting adalah transaksi dengan grup high priority, grup priority, dan grup normal. Transaksi dalam mekanisme antrean yang sedang diproses dengan mekanisme multilateral offsetting tidak dapat dilakukan perubahan prioritas (reprioritization), perubahan urutan (reordering), dan pembatalan (cancellation) oleh Peserta. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (5) Contoh perhitungan total saldo pada Rekening Setelmen Dana: a. saldo Rekening Giro dalam rupiah Peserta adalah sebesar Rp100.000,00. b. saldo dana pada subrekening untuk transaksi PvP sebesar Rp20.000,00. Total saldo yang tertulis adalah Rp100.000,00, namun saldo yang efektif dapat digunakan untuk transaksi adalah Rp100.000,00 - Rp20.000,00 = Rp80.000,00. Pasal 102 Ayat (1) Huruf a Instruksi Setelmen Dana single credit adalah Transfer Dana yang hanya berisi 1 (satu) instruksi Setelmen Dana untuk diteruskan ke Rekening Setelmen Dana Peserta penerima, baik untuk kepentingan Peserta penerima maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam instruksi Setelmen Dana. 30 Huruf b Instruksi Setelmen Dana multiple credit adalah Transfer Dana yang berisi lebih dari 1 (satu) dan paling banyak 10 (sepuluh) instruksi Setelmen Dana untuk diteruskan ke beberapa rekening nasabah penerima pada 1 (satu) Peserta penerima. Huruf c Instruksi Setelmen Dana single debit adalah Transfer Dana yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang berisi 1 (satu) instruksi Setelmen Dana untuk mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta baik untuk kepentingan Bank Indonesia maupun untuk kepentingan penerima dana yang disebutkan dalam instruksi Setelmen Dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Yang dimaksud dengan โ€œdana yang cukupโ€ termasuk memperhitungkan kecukupan FLI. Pasal 105 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Transaksi yang dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia antara lain transaksi untuk operasi moneter, operasi moneter syariah, pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP), dan transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah. 31 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 106 Huruf a Transaksi yang termasuk dalam grup high priority antara lain transaksi dari Peserta kepada instansi pemerintah atau sebaliknya, transaksi dari Bank Indonesia kepada Peserta, dan transaksi penyelesaian akhir hasil Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Grup high priority terdiri atas angka prioritas 1-10. Peserta menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka angka prioritas standar (default) adalah 5. Huruf b Transaksi yang termasuk dalam grup priority antara lain transaksi untuk penyelesaian akhir Setelmen Dana atas transaksi surat berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS. Grup priority terdiri dari angka prioritas 11-50. Peserta menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka angka prioritas standar (default) adalah 30. Huruf c Transaksi yang termasuk dalam grup normal antara lain transaksi antarnasabah Peserta dan transaksi antar-Peserta. Grup normal terdiri dari angka prioritas 51-98. Peserta menentukan sendiri angka prioritas untuk masing-masing transaksi dan dalam hal tidak ditentukan oleh Peserta maka angka prioritas standar (default) adalah 70. Huruf d Transaksi yang termasuk dalam grup settle or reject akan langsung ditolak oleh sistem tanpa melalui mekanisme antrean apabila dana pada Rekening Setelmen Dana Peserta tidak mencukupi. Grup settle or reject menggunakan angka prioritas 99. 32 Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. 33 Angka 2 Dokumen elektronik atau hasil olahan komputer dari Sistem BI-RTGS antara lain berupa: a) instruksi Setelmen Dana yang terdiri atas dokumen asli message type (MT) 102, message type (MT)103, dan message type (MT) 202 untuk Peserta pengirim dan salinan message type (MT) 102, message type (MT) 103, dan message type (MT) 202 untuk Peserta penerima; dan/atau b) konfirmasi Setelmen Dana yang terdiri atas debit confirmation message type (MT) 900 untuk Peserta yang rekeningnya didebit dan credit confirmation message type (MT) 910 untuk Peserta yang rekeningnya dikredit. Huruf b Laporan rekening koran yang memuat informasi saldo dan mutasi Setelmen Dana yaitu berupa message type (MT) 940 dan message type (MT) 950. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Yang dimaksud dengan โ€œthroughput guidelineโ€ adalah pedoman mengenai target penyelesaian bertahap yang berupa persentase tahapan dari total nominal atas transaksi Setelmen Dana dalam 1 (satu) hari operasional. Pasal 120 Cukup jelas. 34 Pasal 121 Ayat (1) Huruf a Bilateral limit merupakan batas likuiditas yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana atas transaksi dengan 1 (satu) Peserta tertentu. Huruf b Multilateral limit merupakan batas likuiditas yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana atas transaksi dengan beberapa Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Batas waktu paling awal (earliest time) digunakan dalam hal Peserta akan menetapkan batas waktu awal transaksi akan mulai dilakukan proses Setelmen Dana. Huruf b Batas waktu paling akhir (latest time) digunakan dalam hal Peserta akan menetapkan batas waktu notifikasi atas transaksi dalam mekanisme antrean. Huruf c Batas waktu pembatalan (reject time) digunakan dalam hal Peserta akan menetapkan batas waktu pembatalan transaksi dalam mekanisme antrean oleh sistem. Ayat (3) Cukup jelas. 35 Pasal 124 Yang dimaksud dengan โ€œgridlockโ€ adalah suatu kondisi dimana terjadi kemacetan Setelmen Dana secara menyeluruh (systemic) karena transaksi Peserta yang berada dalam mekanisme antrean tidak dapat diselesaikan sampai dengan kondisi tertentu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Penyelenggara. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Huruf a Angka 1 Biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi single credit mencakup instruksi yang lolos validasi atau berhasil dilakukan setelmen maupun yang tidak lolos validasi. Angka 2 Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Biaya pengiriman instruksi Setelmen Dana atas transaksi multiple credit mencakup instruksi yang lolos validasi atau berhasil dilakukan setelmen maupun yang tidak lolos validasi. Huruf d Cukup jelas. 36 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penggunaan Fasilitas Guest Bank tidak dimungkinkan antara lain karena waktu untuk menyiapkan Fasilitas Guest Bank tidak mencukupi. Ayat (3) Cukup jelas. 37 Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œshared Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG)โ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara kepada Peserta dengan menggunakan 1 (satu) aplikasi Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur dan dikonfigurasi untuk dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari 1 (satu) Peserta. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œstandalone Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG)โ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi Sistem BI-RTGS payment gateway (RPG) yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œstandalone Sistem BI-RTGS straight- through processing gateway (RSTPG)โ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi Sistem BI-RTGS straight-through processing gateway (RSTPG) yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œown RPPโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan menggunakan aplikasi RPP yang di-install pada infrastruktur milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank. 38 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Termasuk keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen Dana antara lain disebabkan oleh: 1. penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta; atau 2. penggunaan cek yang diterbitkan Bank Indonesia dan/atau bilyet giro yang diterbitkan Bank Indonesia oleh Peserta. 39 Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara dapat diperoleh dari: a. Peserta yang bersangkutan; b. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara; dan/atau c. pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta antara lain laporan gangguan Sistem BI-RTGS yang dialami Peserta. Pasal 147 Ayat (1) Cukup jelas. 40 Ayat (2) Pemeriksaan langsung secara sewaktu-waktu antara lain dilakukan berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi yang dilakukan dalam pemantauan tidak langsung. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 148 Ayat (1) Huruf a Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan antara lain: 1) dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat; 2) data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan Sistem BI-RTGS; dan/atau 3) penjelasan atau keterangan yang terkait dengan pelaksanaan Sistem BI-RTGS. Huruf b Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung termasuk permintaan pengujian terhadap infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional Sistem BI-RTGS. Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan operasional Sistem BI-RTGS di Peserta antara lain RPP serta interface dari dan ke sistem internal Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 41 Pasal 149 Ayat (1) Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan Sistem BI- RTGS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/15/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIAโ€“REAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title> <set_date> 30 Juli 2018 </set_date> <effective_date> 30 Juli 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/8/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '17/30/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018', '18/37/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X', 'BAB V Bagian Keempat Paragraf 3 Pasal 96 Huruf f' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas yang dapat dialami oleh perbankan, Bank Indonesia menyediakan pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank, termasuk pembiayaan dengan prinsip syariah; b. bahwa dalam rangka penyediaan pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank berdasarkan prinsip syariah perlu diatur mekanisme dan hal-hal teknis pelaksanaan penyediaan pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah. Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2 2017 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6045); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum syariah. 5. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 3 3 6. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah yang selanjutnya disingkat PLJPS adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 7. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. 8. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 9. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 10. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJPS, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 11. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI- RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS. 12. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 4 4 BAB II PERSYARATAN PLJPS Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh PLJPS apabila memenuhi persyaratan: a. tergolong sebagai Bank solven yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bulan terkini yang memadai, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. paling rendah sama dengan rasio KPMM berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK sebagaimana diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum; dan 2. dalam hal terdapat peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM Bank maka KPMM bulan terkini merupakan KPMM bulanan terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan informasi kondisi terakhir Bank berupa subsequent events dimaksud; b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 2 (dua) sesuai penilaian OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah; c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJPS yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJPS. 5 5 Pasal 3 (1) Bank mengajukan plafon PLJPS berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM. (2) Perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS. BAB III AGUNAN PLJPS Bagian Kesatu Persyaratan Agunan Pasal 4 (1) PLJPS harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi berupa: a. SBIS; b. SBSN; c. Sukuk Korporasi; dan/atau d. Aset Pembiayaan. (2) Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBIS dan/atau SBSN; atau b. Bank memiliki SBIS dan/atau SBSN namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. (3) Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat dijadikan agunan PLJPS dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi; atau b. Bank memiliki SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi, namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJPS. 6 6 (4) Agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada dalam kondisi: a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; dan b. tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia. (5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai agunan PLJPS. Pasal 5 Agunan PLJPS berupa SBIS dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS; dan b. khusus untuk agunan berupa SBSN dipersyaratkan dapat diperdagangkan. Pasal 6 (1) Agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat; b. aktif diperdagangkan yaitu pernah diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS. 7 7 (2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 7 Agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa; b. c. d. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; bukan merupakan pembiayaan konsumsi kecuali pembiayaan pemilikan rumah; dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon pembiayaan; e. f. g. bukan merupakan pembiayaan kepada pihak terkait Bank; tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJPS; h. saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon pembiayaan; i. j. memiliki akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; k. dalam akad pembiayaan antara Bank dan nasabah tercantum klausul bahwa pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan 8 8 l. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. Pasal 8 (1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencukupi. (2) Agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. saham Bank yang menerima PLJPS milik pemegang saham pengendali; b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali; c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS; dan/atau d. agunan lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 9 Pengikatan agunan PLJPS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. pengikatan agunan berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dilakukan dengan akta gadai; dan b. pengikatan agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dilakukan dengan akta fidusia. Bagian Kedua Perhitungan Nilai Agunan PLJPS Pasal 10 (1) Nilai agunan PLJPS berupa SBIS dan SBSN ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; 9 9 b. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJPS yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN. (2) Nilai agunan PLJPS berupa Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai berikut: a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau dijamin selain oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi; dan d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Sukuk Korporasi. (3) Nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon PLJPS yang dijamin dengan Aset Pembiayaan dan dihitung berdasarkan saldo pokok Aset Pembiayaan. 10 10 Pasal 11 (1) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJPS; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS; c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penambahan plafon PLJPS; d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penurunan plafon PLJPS; e. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS; dan f. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai surat berharga syariah yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (2) Nilai surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data sebagai berikut: 11 11 a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS menggunakan data nilai nominal yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah; b. untuk surat berharga syariah berupa SBSN menggunakan data nilai pasar yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah; dan c. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi menggunakan nilai pasar yang tercantum dalam harga publikasi terakhir yang tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui oleh OJK. (3) Cara perhitungan nilai agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJPS; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS; c. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, nilai saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS; dan d. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS, nilai saldo pokok Aset 12 12 Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (4) Nilai saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan data yang tercantum dalam catatan pembukuan Bank. Pasal 12 Contoh untuk perhitungan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Pelaporan Berkala Daftar Aset Pembiayaan Pasal 13 (1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS dan dialokasikan untuk menjadi agunan PLJPS. (2) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan PLJPS dengan agunan berupa Aset Pembiayaan. (3) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat mengajukan PLJPS dengan agunan Aset 13 13 Pembiayaan sampai dengan periode pelaporan berikutnya. (6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi akhir bulan September pada tahun yang bersangkutan dan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 Oktober; dan b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya dan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 April. Pasal 14 (1) Penyampaian laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dilakukan melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank harus memastikan keamanan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Bank tidak berhasil melakukan pengiriman laporan daftar Aset Pembiayaan melalui sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus menyampaikan laporan tersebut melalui surat dengan melampirkan soft copy daftar Aset Pembiayaan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 paling lambat pukul 16.00 waktu Indonesia barat (WIB), dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 14 14 16.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (5) Laporan daftar Aset Pembiayaan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Tata cara penyampaian laporan daftar Aset Pembiayaan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 15 (1) Bank harus mendaftarkan petugas Bank yang diberikan kewenangan untuk menyusun dan menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan untuk mendapatkan akses pelaporan, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada Bank Indonesia. (2) Pendaftaran petugas Bank termasuk perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. Pasal 16 Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan dokumen pendukung dari Aset Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). 15 15 BAB IV PERMOHONAN PLJPS Bagian Kesatu Permohonan PLJPS Pasal 17 (1) Permohonan PLJPS diajukan oleh Bank melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (3) Permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (4) Permohonan PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (5) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (6) Bank dapat mengajukan permohonan PLJPS pada setiap hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia sampai dengan pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan memproses PLJPS pada hari yang bersangkutan; dan b. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia setelah pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan memproses PLJPS pada hari kerja berikutnya, setelah dokumen permohonan PLJPS diterima secara lengkap. 16 16 Pasal 18 Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas: a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut: 1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan: a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; 2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS: a) berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan PLJPS sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau dijaminkan kembali kepada pihak lain selama masih dalam status sebagai agunan PLJPS; 3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk membayar kewajiban PLJPS; dan 4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia, dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran 17 17 VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan; e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengenai permohonan PLJPS dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJPS; f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank termasuk perubahannya; g. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 19 (1) Bank Indonesia memberikan PLJPS untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap periode pemberian PLJPS. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS oleh Bank Indonesia. 18 18 (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu PLJPS keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Bagian Kedua Koordinasi dengan OJK Pasal 20 (1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 melalui: a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi Bank yang mengajukan PLJPS, yang meliputi pemenuhan persyaratan: 1. solvabilitas; dan 2. tingkat kesehatan Bank; dan b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJPS. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti permohonan Bank terkait perpanjangan jangka waktu PLJPS, penambahan plafon PLJPS, dan/atau penurunan plafon PLJPS. Bagian Ketiga Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan PLJPS Pasal 21 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJPS melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: 19 19 a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. kelengkapan dokumen permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; dan c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan PLJPS disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perjanjian pemberian PLJPS melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta pengikatan agunan PLJPS melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI untuk agunan berupa surat berharga syariah dan Lampiran XII untuk agunan berupa Aset Pembiayaan, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam hal diperlukan. (4) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa surat berharga syariah meliputi: a. daftar surat berharga syariah yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c angka 1; dan b. hasil pemeringkatan Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh paling sedikit 1 (satu) lembaga 20 20 pemeringkat yang diakui oleh OJK apabila terdapat agunan berupa Sukuk Korporasi dan hasil pemeringkatan tersebut belum melebihi 1 (satu) tahun sampai dengan tanggal permohonan PLJPS. (5) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa Aset Pembiayaan meliputi: a. daftar Aset Pembiayaan yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c angka 2; b. dokumen asli akad pembiayaan antara Bank dan nasabah beserta seluruh perubahannya; c. dokumen asli pengikatan agunan atas akad pembiayaan yang mempunyai kekuatan hukum antara Bank dan nasabah beserta seluruh perubahannya; d. dokumen asli bukti kepemilikan agunan yang menjadi jaminan pembiayaan Bank; e. dokumen asli hasil penilaian agunan Aset Pembiayaan oleh penilai independen; f. dokumen asli polis asuransi agunan Aset Pembiayaan yang dijamin dengan tanah dan bangunan; dan g. dokumen lain yang terkait dengan agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan yang diminta oleh Bank Indonesia. (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor 21 21 Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dokumen yang terkait dengan agunan lain dalam hal diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi: a. bukti kepemilikan saham dari pemegang saham pengendali yang akan diikat dengan akta gadai dalam hal agunan lain berupa saham Bank milik pemegang saham pengendali dari Bank yang menerima PLJPS; b. rancangan akta notariil personal guarantee dan/atau corporate guarantee yang disertai daftar aset milik pemegang saham pengendali dalam hal agunan lain berupa personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali dari Bank yang menerima PLJPS; dan c. dokumen asli bukti kepemilikan aset tetap dalam hal agunan lain berupa aset tetap milik Bank yang menerima PLJPS yang akan diikat dengan hak tanggungan. (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS. (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS. 22 Pasal 22 Mekanisme pengagunan agunan PLJPS berupa surat berharga syariah dilakukan sebagai berikut: a. untuk surat berharga syariah berupa SBIS dan/atau SBSN: 1. Bank sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan melakukan pengagunan surat berharga syariah pada BI-SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah surat persetujuan PLJPS diterima oleh Bank dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 2. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender; 3. pengagunan surat berharga syariah sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan sampai dengan tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS; 4. pengagunan surat berharga syariah setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender; 5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJPS atau perpanjangan jangka waktu PLJPS, jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi dengan jumlah hari kalender PLJPS berjalan; dan 6. jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang apabila diperlukan; b. untuk surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi, Bank melakukan pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke 22 23 rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah Bank menyampaikan daftar surat berharga syariah sesuai dengan tata cara yang ditetapkan KSEI; dan c. dalam hal terjadi pelunasan PLJPS maka agunan PLJPS berupa: 1. SBIS dan SBSN pada BI-SSSS dilepas (release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS dilunasi; dan 2. Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank Indonesia di KSEI dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJPS dilunasi. Pasal 23 (1) Penilaian terhadap agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan: a. verifikasi dokumen yang terkait agunan PLJPS; dan/atau b. penilaian pemenuhan persyaratan agunan PLJPS. (2) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan. (3) Dalam hal Bank Indonesia akan menggunakan jasa pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank menunjuk pihak ketiga. (4) Biaya yang timbul dari penggunaan jasa pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menjadi beban Bank. (5) Untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan terkait agunan PLJPS yang harus dipenuhi oleh Bank. 23 24 Pasal 24 Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian melalui penelitian terhadap: a. dokumen rancangan akta perjanjian pemberian PLJPS; b. dokumen rancangan akta pengikatan agunan PLJPS; dan c. dokumen yang terkait dengan agunan lain. Pasal 25 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) terdapat agunan yang tidak memenuhi persyaratan dan/atau dokumen yang terkait agunan diketahui tidak lengkap maka agunan dimaksud tidak diperhitungkan sebagai agunan PLJPS. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) nilai agunan PLJPS tidak mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui maka Bank Indonesia menyampaikan surat permintaan penambahan agunan kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (3) Bank harus menyampaikan penambahan agunan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJPS kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penambahan agunan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima Bank. (4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, penambahan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penambahan 24 25 agunan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima Bank. (5) Dalam hal Bank tidak dapat menyampaikan tambahan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau menyampaikan tambahan agunan namun nilainya tidak mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia, Bank Indonesia menyampaikan surat permintaan penyediaan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bank harus menyediakan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) di rekening giro Bank di Bank Indonesia paling lambat sampai dengan awal periode pre- cut off Sistem BI-RTGS pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penyediaan sumber dana lain dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima Bank. (7) Penyediaan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disertai dengan dokumen dan/atau data pendukung yang disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah dana tersedia di rekening giro Bank di Bank Indonesia. (8) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercatat di pembukuan Bank paling singkat sampai dengan Bank Indonesia melaksanakan aktivasi pemberian PLJPS. (9) Dalam hal Bank dapat menyediakan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia menurunkan plafon PLJPS sesuai dengan nilai agunan yang tersedia. Pasal 26 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diketahui bahwa: 25 26 a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS, maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS. (2) Penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS. (3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 maka pengikatan agunan lain dapat dilakukan selama periode pemberian PLJPS. (4) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 27 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), diketahui dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak lagi memperhitungkan Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJPS. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia 26 27 akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS atau selama periode PLJPS. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Pembiayaan tersebut akan diperhitungkan kembali sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. Pasal 28 Persetujuan atas permohonan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB V PENCAIRAN PLJPS Bagian Kesatu Mekanisme Pencairan Pasal 29 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan aktivasi pemberian PLJPS kepada Bank paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat tanggal aktivasi pemberian PLJPS dan jumlah PLJPS yang dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait dengan pencairan PLJPS. 27 28 (2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJPS sejak tanggal aktivasi pemberian PLJPS. (3) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJPS sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (4) Bank Indonesia dapat melakukan pencairan PLJPS 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (5) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait pada setiap hari kerja paling lambat pukul 12.00 WIB selama periode PLJPS untuk pencairan pada hari kerja berikutnya. (6) Khusus pada tanggal aktivasi pemberian PLJPS, PLJPS dapat dicairkan pada hari kerja yang sama, sepanjang Bank mengajukan permohonan pencairan PLJPS paling lambat pukul 10.00 WIB pada hari kerja yang sama. (7) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dokumen sebagai berikut: a. surat sanggup bayar (promissory note) sebesar pengajuan pencairan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. proyeksi arus kas berupa rincian perkiraan kebutuhan likuiditas Bank yang mencerminkan kebutuhan pencairan di hari yang bersangkutan sampai dengan Bank memenuhi GWM, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 28 29 Pasal 30 (1) Atas permohonan pencairan PLJPS oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJPS pada pagi hari setelah Sistem BI-RTGS dibuka sepanjang Bank memenuhi persyaratan pencairan. (2) Khusus permohonan pencairan pada tanggal aktivasi pemberian PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJPS paling lambat sebelum periode transaksi untuk nasabah pada sistem BI-RTGS berakhir sepanjang Bank memenuhi persyaratan pencairan. (3) Persyaratan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a. ketersediaan plafon atau sisa plafon PLJPS; b. terdapat kecukupan agunan; c. Bank masih memenuhi persyaratan sebagai Bank solven dan persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan d. terdapat surat permohonan pencairan dan surat sanggup bayar (promissory note) yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (7) huruf a. (4) Pencairan PLJPS oleh Bank Indonesia dilakukan dengan cara mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia. Bagian Kedua Bagi Hasil PLJPS Pasal 31 (1) Bank Indonesia memperoleh bagi hasil secara harian dari Bank atas saldo pokok PLJPS. (2) Dalam perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank 29 30 Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen). (3) Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikalikan dengan tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. (4) Rumus perhitungan bagi hasil PLJPS yaitu sebagai berikut: X = P x R x k x t/360 Keterangan: X : besarnya bagi hasil yang diterima Bank Indonesia P : saldo pokok PLJPS R : tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia t : jumlah hari kalender perhitungan bagi hasil. (5) Contoh perhitungan bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk 1 (satu) periode PLJPS adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VI PEMANTAUAN PLJPS Bagian Kesatu Pemantauan Agunan Pasal 32 (1) Selama periode PLJPS, Bank harus memantau aset yang menjadi agunan PLJPS untuk mengidentifikasi agunan PLJPS yang mengalami kondisi sebagai berikut: a. agunan PLJPS tidak memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5); 30 31 b. Sukuk Korporasi tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a; c. terdapat pelunasan atas Aset Pembiayaan oleh nasabah Bank; dan/atau d. Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b. (2) Pemantauan aset yang menjadi agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan pemenuhan persyaratan agunan PLJPS dan nilai agunan mencukupi plafon selama periode PLJPS. Bagian Kedua Penggantian Agunan PLJPS Pasal 33 (1) Bank harus mengganti agunan PLJPS dalam periode PLJPS apabila terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) sehingga nilai agunan PLJPS mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJPS. (2) Penggantian agunan PLJPS diprioritaskan dengan menggunakan agunan berupa surat berharga syariah yang dimiliki oleh Bank yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS. (3) Dalam hal surat berharga syariah yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penggantian agunan dapat dilakukan dengan menggunakan surat berharga syariah yang dimiliki oleh Bank ditambah dengan agunan berupa Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS. (4) Dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga syariah maka penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan agunan berupa 31 32 Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJPS. Pasal 34 (1) Dalam hal Bank melakukan penggantian agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Bank menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan/atau ayat (5) yang terkait dengan agunan pengganti kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. Pasal 35 Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pada periode pemberian PLJPS, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJPS sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJPS yang mencukupi. Pasal 36 (1) Dalam hal penggantian agunan disetujui oleh Bank Indonesia, Bank meminta notaris untuk mempersiapkan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (2) Penandatanganan terhadap akta perubahan pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. 32 33 Bagian Ketiga Pembatasan Pencairan dan Penghentian Pencairan PLJPS Sebelum Jatuh Waktu Pasal 37 (1) Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJPS dalam hal: a. nilai agunan PLJPS mengalami penurunan akibat kondisi agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 32 sehingga secara keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJPS; dan b. Bank tidak melakukan penggantian agunan atau melakukan penggantian agunan namun nilai agunan pengganti tidak mencukupi plafon PLJPS. (2) Bank dapat mengajukan penggantian agunan setelah Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 36. Pasal 38 (1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan PLJPS sebelum jatuh waktu dalam hal Bank: a. 33 tidak memenuhi persyaratan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan penghentian pencairan PLJPS sebelum jatuh waktu PLJPS maka Bank Indonesia tidak melakukan pencairan PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS meskipun terdapat ketersediaan plafon atau sisa plafon serta agunan PLJPS mencukupi. 34 (3) Pelunasan pokok dan bagi hasil PLJPS bagi Bank yang dikenakan penghentian pencairan PLJPS sebelum jatuh waktu PLJPS dilakukan pada tanggal jatuh waktu PLJPS. BAB VII PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJPS Bagian Kesatu Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu PLJPS Pasal 39 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS pada setiap hari kerja sampai 34 35 35 dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan apabila tidak terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan atau terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan hanya berupa surat berharga syariah; b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS setelah dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS diterima secara lengkap. (9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan 36 bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan maka harus dilengkapi dengan daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit; d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 40 (1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJPS pada periode PLJPS sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJPS. (2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu PLJPS, Bank harus memastikan agunan PLJPS mencukupi plafon PLJPS dengan memperhatikan persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 11. (3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan. (4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJPS dalam hal diketahui bahwa: 36 37 a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi agunan PLJPS dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi mencukupi plafon PLJPS. (5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJPS dan terdapat agunan PLJPS berupa SBIS dan/atau SBSN yang diagunkan kembali, maka jangka waktu pengagunan surat berharga syariah pada BI-SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan. Pasal 41 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; c. kelengkapan dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (9); dan d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS; 37 38 b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. melunasi bagi hasil atas PLJPS pada saat jatuh waktu PLJPS; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam hal diperlukan. (4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat berharga syariah, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4). (5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5). (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, Bank 38 39 menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (8). (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS. (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS. Pasal 42 Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga syariah yang baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 43 (1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (2) Penilaian terhadap agunan PLJPS yang digunakan kembali sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai agunan. Pasal 44 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diketahui: a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber pengagunan menggunakan mekanisme 39 40 dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS, maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (2) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 maka pengikatan agunan lain dapat dilakukan selama periode pemberian PLJPS. (4) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 45 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), diketahui dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJPS. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia akan melakukan pembatasan pencairan sejak periode perpanjangan jangka waktu PLJPS dimulai atau selama periode PLJPS. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali 40 41 sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. Pasal 46 (1) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJPS dan/atau Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS dibatalkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank harus melunasi PLJPS pada saat jatuh waktu. BAB VIII PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJPS Bagian Kesatu Permohonan Penambahan Plafon PLJPS Pasal 47 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan penambahan plafon PLJPS hanya dapat disampaikan bersamaan dengan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7). (3) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat 41 42 dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Surat permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (5) Permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (6) Permohonan penambahan plafon PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan penambahan plafon PLJPS setelah dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS diterima secara lengkap. (9) Dalam rangka penambahan plafon PLJPS: a. Bank dapat menggunakan kelebihan nilai agunan PLJPS yang telah dijaminkan bagi PLJPS berjalan untuk menjamin penambahan plafon PLJPS dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11; b. Bank dapat menambah agunan PLJPS dengan aset yang memenuhi persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7, Pasal 10, dan Pasal 11; dan c. persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dan Pasal 6 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka 42 43 waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan penandatanganan perubahan akta perjanjian PLJPS. Pasal 48 Dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (5) meliputi: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJPS berupa: 1. SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh 43 kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan; d. daftar seluruh surat berharga syariah yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. 44 Pasal 49 Dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS yang disertai dengan penambahan plafon PLJPS, pengaturan terkait agunan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40. Bagian Kedua Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan Penambahan Plafon PLJPS Pasal 50 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan plafon PLJPS melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJPS secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; c. kelengkapan dokumen permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan penambahan plafon PLJPS disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJPS; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta 44 45 perubahan pengikatan agunan PLJPS melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dalam hal diperlukan. (4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat berharga syariah, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4). (5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5). (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Bank menyampaikan dokumen terkait agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (8). (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS. 45 46 (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS. Pasal 51 Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga syariah yang baru, pengagunan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. Pasal 52 (1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan untuk penambahan plafon PLJPS mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. (2) Penilaian terhadap agunan PLJPS yang digunakan kembali sebagai agunan untuk penambahan plafon PLJPS diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai agunan. Pasal 53 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diketahui: a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon PLJPS yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS, maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. 46 47 (2) Dalam hal Bank Indonesia masih dalam proses melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS maka penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS hanya dilakukan untuk perpanjangan jangka waktu PLJPS. (3) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS untuk penambahan plafon PLJPS dapat dilakukan setelah Bank Indonesia selesai melakukan proses penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. (4) Tambahan plafon PLJPS yang disetujui akan diakumulasikan dengan plafon PLJPS sebelumnya. (5) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia bersama Bank yang diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS. (6) Pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 54 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS dan akta perubahan pengikatan agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), diketahui dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJPS. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak 47 48 mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal aktivasi penambahan plafon PLJPS atau selama periode PLJPS. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali sebagai agunan PLJPS dan pencairan PLJPS dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. Pasal 55 Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai tambahan agunan tidak mencukupi penambahan plafon PLJPS dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJPS; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 56 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan aktivasi penambahan plafon PLJPS kepada Bank paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat tanggal aktivasi penambahan plafon PLJPS dan jumlah PLJPS yang dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait dengan pencairan PLJPS. (2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan tambahan plafon PLJPS sejak tanggal aktivasi penambahan plafon PLJPS. 48 49 (3) Pencairan tambahan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 57 Dalam hal permohonan Bank untuk penambahan plafon PLJPS telah disetujui namun belum dilakukan aktivasi, Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS untuk periode berikutnya dengan plafon PLJPS sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Ketiga Permohonan Penurunan Plafon PLJPS Pasal 58 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon PLJPS kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan penurunan plafon PLJPS hanya dapat disampaikan bersamaan dengan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (7). (3) Permohonan penurunan plafon PLJPS didasarkan pada kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum, yang didukung dengan proyeksi arus kas. (4) Permohonan penurunan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Surat permohonan penurunan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh 49 50 direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (6) Permohonan penurunan plafon PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (7) Permohonan penurunan plafon PLJPS diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (8) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (9) Bank Indonesia akan memproses permohonan penurunan plafon PLJPS setelah dokumen permohonan penurunan plafon PLJPS diterima secara lengkap. Pasal 59 (1) Proses penurunan plafon PLJPS dilakukan sesuai dengan proses perpanjangan jangka waktu PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 46. (2) Dalam proses penurunan plafon PLJPS Bank dapat melakukan penarikan agunan sepanjang memenuhi ketentuan mengenai agunan dan kecukupan nilai agunan. 50 51 BAB IX PELUNASAN PLJPS Bagian Kesatu Pelunasan Sebagian atau Keseluruhan Saldo Pokok PLJPS Selama Periode PLJPS Pasal 60 (1) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia apabila saldo rekening giro Bank tersebut pada periode PLJPS jumlahnya melebihi kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM sebagai pelunasan sebagian atau keseluruhan saldo pokok PLJPS. (2) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling tinggi sebesar nilai terendah antara saldo pokok PLJPS dan kelebihan saldo rekening giro Bank dalam rupiah dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM. (3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada hari berikutnya. Bagian Kedua Pelunasan Sebelum PLJPS Jatuh Waktu Pasal 61 (1) Bank dapat mengajukan permohonan pelunasan PLJPS sebelum PLJPS jatuh waktu. (2) Pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia sebesar kewajiban PLJPS. (3) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu diajukan oleh Bank paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum rencana pelunasan. 51 52 (4) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan pelunasan sebelum PLJPS jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank Indonesia menginformasikan kepada Bank jumlah kewajiban PLJPS yang meliputi saldo pokok (outstanding), bagi hasil PLJPS, dan biaya terkait dengan pemberian PLJPS paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pelunasan. (8) Bank Indonesia akan mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada tanggal pelunasan yang ditetapkan dengan urutan pendebitan bagi hasil, kemudian saldo pokok (outstanding) PLJPS, dan terakhir biaya terkait dengan pemberian PLJPS. (9) Dalam hal pada tanggal pelunasan yang direncanakan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pembayaran kewajiban PLJPS maka pelunasan PLJPS dilakukan pada saat jatuh waktu. 52 53 Bagian Ketiga Pelunasan PLJPS Pada Saat Jatuh Waktu Pasal 62 (1) Bank wajib melunasi seluruh kewajiban PLJPS pada tanggal jatuh waktu PLJPS. (2) Bank Indonesia akan menginformasikan kepada Bank pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJPS mengenai jumlah kewajiban PLJPS yang meliputi pokok dan bagi hasil termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJPS yang harus dibayar Bank. (3) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia untuk pembayaran kewajiban PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tanggal jatuh waktu PLJPS. (4) Bank Indonesia dapat mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dalam hal terdapat biaya lain terkait dengan pemberian PLJPS yang timbul atau ditagihkan oleh pihak lain setelah Bank melunasi PLJPS. (5) Dalam hal jatuh waktu PLJPS bertepatan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dilakukan pada hari kerja berikutnya memperhitungkan bagi hasil PLJPS pada hari tersebut. (6) Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia mengoperasikan Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) maka hari tersebut termasuk sebagai hari kerja. (7) Bank Indonesia melakukan pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada saat buka Sistem BI-RTGS. Pasal 63 Dalam hal pelunasan kewajiban PLJPS pada tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 telah 53 tanpa 54 54 dilakukan, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Bank yang menginformasikan bahwa kewajiban PLJPS telah dilunasi Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. Pasal 64 (1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJPS kepada Bank setelah kewajiban PLJPS dilunasi. (2) Mekanisme pengembalian agunan PLJPS kepada Bank diatur sebagai berikut: a. untuk agunan berupa SBIS dan SBSN dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 1; b. untuk agunan berupa Sukuk Korporasi dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c angka 2; dan c. untuk agunan berupa Aset Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. Bagian Keempat Kewajiban Membayar (Gharamah Maliyah) Setelah Tanggal Jatuh Waktu Pasal 65 (1) Dalam hal Bank belum melunasi saldo pokok PLJPS pada saat jatuh waktu, Bank dikenakan kewajiban membayar (gharamah maliyah). (2) Pengenaan kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan Bank melunasi saldo pokok PLJPS yang belum dilunasi. 55 55 (3) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) dihitung secara harian dari saldo pokok PLJPS yang belum dilunasi. (4) Dalam perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah) ditetapkan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebesar 80% (delapan puluh persen). (5) Kewajiban membayar (gharamah maliyah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikalikan dengan tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS. (6) Rumus perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah) PLJPS yaitu sebagai berikut: G = P x R x k x t/360 Keterangan: G : besarnya kewajiban membayar (gharamah maliyah) yang diterima Bank Indonesia P : saldo pokok PLJPS R : tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPS k : nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia t : jumlah hari kalender perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah). (7) Contoh perhitungan kewajiban membayar (gharamah maliyah) tercantum dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 66 (1) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bagi hasil PLJPS pada saat jatuh waktu, Bank Indonesia melakukan tindakan sebagai berikut: 56 a. pada tanggal jatuh waktu: 1. pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia yang dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJPS yang belum lunas termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJPS; 2. pembatasan transaksi outgoing rekening giro Bank dalam valuta asing sejak Sistem BI-RTGS dibuka pada tanggal jatuh waktu PLJPS; dan 3. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia baik rupiah maupun valuta asing yang dilakukan pada periode pre cut-off Sistem BI-RTGS; b. setelah tanggal jatuh waktu: 1. pendebitan rekening giro rupiah dan valuta asing Bank di Bank Indonesia yang dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJPS yang belum lunas termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJPS; dan 2. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia baik rupiah maupun valuta asing dari Bank yang dilakukan pada periode pre cut-off Sistem BI- RTGS. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan Bank Indonesia sampai dengan kewajiban PLJPS dapat dilunasi Bank. (3) Kurs yang digunakan dalam pendebitan rekening giro Bank dalam valuta asing adalah kurs beli dari kurs transaksi Bank Indonesia. (4) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJPS pada saat jatuh waktu tidak dapat menggunakan surat berharga syariah sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan kewajiban PLJPS lunas. 56 57 Bagian Kelima Pelaksanaan Eksekusi Agunan PLJPS Pasal 67 (1) Dalam hal kewajiban PLJPS tidak dapat dilunasi setelah dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia akan melakukan eksekusi agunan PLJPS dalam rangka pelunasan kewajiban PLJPS Bank. (2) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait yang menginformasikan: a. Bank tidak dapat melunasi kewajiban PLJPS pada saat jatuh waktu; b. jumlah kewajiban PLJPS yang belum dilunasi; dan c. Bank Indonesia akan melakukan tindak lanjut berupa eksekusi agunan, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu PLJPS. Pasal 68 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa surat berharga syariah mulai hari kerja ke-1 setelah tanggal jatuh waktu PLJPS. (2) Eksekusi agunan berupa SBIS dilakukan dengan cara mencairkan SBIS sebelum jatuh waktu (early redemption) menggunakan nilai surat berharga syariah pada posisi tanggal jatuh waktu PLJPS. (3) Eksekusi agunan berupa SBSN dan Sukuk Korporasi dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang, dengan pengaturan sebagai berikut: a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank dan/atau pihak lain; 57 58 b. window time penjualan SBSN dan Sukuk Korporasi dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB; c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan rencana penjualan SBSN dan/atau Sukuk Korporasi kepada pialang; d. transaksi dilakukan melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana lainnya; e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan pemenang kepada pialang dan melakukan konfirmasi kepada pialang yang penawarannya dimenangkan; yang penawarannya f. pialang dimenangkan menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal-hal sebagai berikut: 1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen SBSN; 2. lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen Sukuk Korporasi; dan 3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen dana; g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia; h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman dengan mendebit rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank; i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga syariah setelah pendebitan saldo rekening giro bank 58 59 atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank sebagaimana dimaksud pada huruf h berhasil dilaksanakan; j. dalam hal surat berharga syariah berupa Sukuk Korporasi, Bank Indonesia melakukan pemindahbukuan surat berharga syariah tersebut ke rekening Efek yang ditunjuk oleh pembeli surat berharga syariah di KSEI; k. dalam hal agunan berupa SBSN tidak terjual dan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJPS sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengikatan agunan SBSN, Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu pengikatan pengagunan SBSN sampai dengan Bank dapat melunasi pokok PLJPS ditambah bagi hasil PLJPS, kewajiban membayar (gharamah maliyah) dan biaya terkait dengan pemberian PLJPS; dan l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Sukuk Korporasi, Bank Indonesia meneruskan pembayaran tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank Indonesia. Pasal 69 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan mulai hari kerja ke-15 setelah tanggal jatuh waktu PLJPS. (2) Bank dapat meminta kepada Bank Indonesia agar proses eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan dipercepat sebelum hari kerja ke-15 sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Bank melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait pada hari kerja dengan contoh sebagaimana 59 60 tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Bank Indonesia akan menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau peringatan sebelum proses eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 70 (1) Eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dilakukan dengan cara: a. menjual hak tagih atas dasar Sertifikat Jaminan Fidusia melalui fiat eksekusi pengadilan; b. menjual hak tagih atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum; atau c. menjual di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. (2) Dalam rangka eksekusi agunan PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan penilaian dan/atau penjualan terhadap agunan berupa Aset Pembiayaan. (3) Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan mengenai pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan kepada Bank, dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (4) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan berupa Aset Pembiayaan Bank harus menginformasikan pengalihan pembiayaan kepada masing-masing nasabah. (5) Dalam hal eksekusi agunan PLJPS berupa Aset Pembiayaan dilakukan melalui penjualan di bawah tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh Bank, maka Bank harus menyampaikan 60 61 61 rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS berupa hak tagih atas Aset Pembiayaan tersebut serta melaporkan realisasi eksekusi agunan dimaksud melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (6) Rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapat persetujuan Bank Indonesia. (7) Hasil eksekusi agunan PLJPS disetorkan ke rekening yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 71 (1) Hasil eksekusi agunan diperhitungkan sebagai pelunasan terhadap kewajiban PLJPS yang meliputi saldo pokok PLJPS ditambah dengan akumulasi bagi hasil PLJPS, akumulasi kewajiban membayar (gharamah maliyah), biaya eksekusi agunan, dan biaya lain yang timbul dalam pemberian PLJPS. (2) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih besar dari kewajiban PLJPS maka Bank Indonesia mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia sebesar kelebihan hasil eksekusi agunan dari kewajiban PLJPS. (3) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih kecil daripada kewajiban PLJPS maka Bank wajib menyetor tambahan dana untuk membayar kekurangan pelunasan kewajiban PLJPS kepada Bank Indonesia termasuk dari agunan lain apabila tersedia. Pasal 72 Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan OJK maupun pihak lainnya untuk pelaksanaan dan/atau pemantauan eksekusi agunan. 62 Bagian Keenam Biaya PLJPS Pasal 73 Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian PLJPS menjadi beban Bank yang menerima PLJPS yang meliputi: a. biaya penggunaan kantor akuntan publik dalam kegiatan verifikasi dan/atau penilaian Aset Pembiayaan; b. biaya notaris untuk pembuatan akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, termasuk perubahannya; c. biaya dalam rangka eksekusi agunan; d. biaya transaksi, biaya kustodian, dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Sukuk Korporasi; e. biaya penyimpanan dokumen Aset Pembiayaan dengan menggunakan pihak ketiga; dan/atau f. biaya lain terkait PLJPS. BAB X PELAPORAN Pasal 74 Selama periode PLJPS Bank wajib menyampaikan laporan sebagai berikut: a. laporan harian yang terdiri atas: 1. laporan penggunaan PLJPS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. laporan kondisi likuiditas Bank dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. laporan terkait agunan yang disampaikan dalam hal terdapat: 1. Sukuk Korporasi yang tidak memenuhi persyaratan peringkat yang ditetapkan Bank Indonesia 62 63 63 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a; 2. pelunasan pembiayaan yang menjadi agunan PLJPS oleh nasabah Bank; dan/atau 3. Aset Pembiayaan yang tidak memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, c. d. yang memuat daftar agunan yang memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan/atau angka 3 dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; laporan perhitungan rasio KPMM; laporan rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan e. laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 75 (1) Laporan harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a disampaikan setiap hari kerja paling lambat pukul 12.00 WIB untuk posisi 1 (satu) hari kerja sebelumnya. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c disampaikan dalam hal terdapat peristiwa yang mengakibatkan penurunan rasio KPMM Bank. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf d disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan PLJPS yang pertama kali. (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Perbankan Syariah, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. 64 BAB XI PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN Pasal 76 (1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJPS dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan memastikan penggunaan dana PLJPS sesuai dengan peruntukannya dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJPS sesuai dengan perjanjian pemberian PLJPS. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimaksudkan untuk memantau dan memastikan pemenuhan persyaratan PLJPS selama periode PLJPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 77 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang menerima PLJPS. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK. BAB XII LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK YANG MENERIMA PLJPS Pasal 78 (1) Selama periode pemberian PLJPS atau selama Bank belum melunasi kewajiban PLJPS, Bank dilarang: a. melakukan penempatan dana; b. menyalurkan pembiayaan baru kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya; c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank; dan d. melakukan pembagian dividen. 64 65 (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh OJK. Pasal 79 Selama periode pemberian PLJPS Bank hanya dapat mengikuti operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi. BAB XIII PENATAUSAHAAN DOKUMEN PLJPS Pasal 80 (1) Bank Indonesia menatausahakan dokumen terkait PLJPS berupa akta perjanjian pemberian PLJPS dan akta pengikatan agunan PLJPS, termasuk perubahannya serta dokumen yang terkait dengan agunan. (2) Dalam rangka penatausahaan dokumen yang terkait dengan PLJPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan penyimpanan dokumen. (3) Dalam hal dokumen disimpan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia maka pihak lain tersebut harus memelihara kelengkapan dan keamanan dokumen. BAB XIV SANKSI Pasal 81 (1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai kebenaran data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia, larangan kegiatan selama periode PLJPS, dan/atau kewajiban penyampaian laporan selama periode PLJPS dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. PLJPS tidak dapat diperpanjang; dan/atau 65 66 c. tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu. (2) Bank yang tidak dapat melakukan pelunasan PLJPS pada tanggal jatuh waktu PLJPS dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu; dan c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah. (3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJPS setelah eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dalam jangka waktu tertentu; c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah; d. penurunan status kepesertaan SKNBI; e. penurunan status kepesertaan Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS); dan/atau f. penurunan status kepesertaan BI-SSSS. Pasal 82 Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS tanggal 22 Oktober 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 66 67 Pasal 84 (1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf l, mulai berlaku untuk permohonan PLJPS yang diajukan setelah tanggal 15 Juli 2017. (2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf j, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018. Pasal 85 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 67 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH I. UMUM Untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dapat dialami oleh perbankan syariah, Bank Indonesia menyediakan PLJPS kepada Bank. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/4/PBI/2017 tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah pada tanggal 13 April 2017. Sehubungan dengan hal di atas, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis pelaksanaan penyediaan PLJPS. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Contoh dari pemenuhan persyaratan Bank tergolong sebagai Bank solven: Bank mengajukan permohonan PLJPS pada tanggal 6 Juni 2017. Dalam hal rasio KPMM bulan terkini yang memadai yang tersedia sesuai penilaian OJK yaitu posisi April 2017 maka rasio KPMM menggunakan posisi April 2017. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM Bank yaitu subsequent events yang didukung dengan bukti objektif, contoh: a. hasil pemeriksaan kantor akuntan publik atau otoritas yang menyesuaikan pengakuan biaya atau pendapatan tertentu; dan b. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk membayar sejumlah tertentu oleh Bank kepada pihak lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œmampu untuk mengembalikan PLJPSโ€ adalah Bank memiliki sumber dana untuk mengembalikan PLJPS yang tercermin antara lain dari: 1. proyeksi arus kas Bank mencerminkan adanya dana masuk yang mencukupi untuk digunakan sebagai pelunasan PLJPS; dan 2. dokumen pendukung lainnya yang mencerminkan adanya sumber dana untuk melunasi PLJPS. 3 Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œ1 (satu) tahun terakhirโ€ adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJPS. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œ30 (tiga puluh) hari kalender terakhirโ€ adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJPS. Contoh: Dalam hal Bank mengajukan PLJPS pada tanggal 25 Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017. Yang dimaksud dengan โ€œdiperdagangkanโ€ adalah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa (over the counter). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi persyaratan Aset Pembiayaan yang disampaikan oleh Bank dengan 4 informasi yang dimiliki Bank Indonesia, maka yang digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œakad mudharabahโ€ adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (โ€˜amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan โ€œakad musyarakahโ€ adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Yang dimaksud dengan โ€œakad ijarah nonjasaโ€ adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œkolektibilitas tergolong lancarโ€ adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJPS. 5 Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œrestrukturisasiโ€ adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah. Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJPS. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Batas maksimum penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan โ€œkantor akuntan publikโ€ adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. 6 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian tembusan laporan daftar Aset Pembiayaan kepada OJK dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan Bank Indonesia dan OJK. Ayat (4) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya. Koreksi laporan dilakukan dengan menyampaikan laporan daftar Aset Pembiayaan yang telah dikoreksi secara keseluruhan. 7 Ayat (5) Contoh: Bank tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset Pembiayaan posisi Juni 2017 sampai melewati batas waktu pelaporan tanggal 15 Juli 2017. Dalam hal ini, Bank tidak dapat mengajukan permohonan PLJPS dengan agunan berupa Aset Pembiayaan sampai dengan tanggal 15 Januari 2018. Namun demikian, Bank tetap dapat mengajukan PLJPS dengan agunan berupa surat berharga syariah yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Ayat (6) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya. Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset Pembiayaan maka tidak dapat melakukan pembaruan laporan untuk posisi laporan yang tidak disampaikan dimaksud. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk keamanan penyampaian laporan, Bank memastikan antara lain bahwa laporan dilakukan oleh petugas Bank yang berwenang dan data yang disampaikan bebas dari virus. Ayat (3) Lampiran dalam bentuk soft copy dapat disampaikan melalui media perekam data elektronik antara lain compact disk atau flash disk. Surat yang disampaikan Bank antara lain memuat penjelasan mengenai alasan Bank tidak berhasil melakukan pengiriman laporan daftar Aset Pembiayaan melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. 8 Ayat (5) Format laporan daftar Aset Pembiayaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III diunduh dari situs web Bank Indonesia. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ antara lain akad pembiayaan antara Bank dengan nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan pembiayaan Bank, laporan keuangan nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 9 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Daftar rekapitulasi Aset Pembiayaan paling kurang memuat: 1. nama debitur; 2. Nomor Induk Kependudukan (NIK); 3. tempat lahir; 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 5. Nomor Debitur Identification Number (DIN); 6. alamat dan nomor telepon; 7. nomor akad pembiayaan; 8. nomor rekening; 9. skim/akad; 10. jenis pembiayaan; 11. nomor asuransi pembiayaan dan nilai tertanggung (apabila ada); 12. jangka waktu (yyyy/mm/dd); 13. plafon pembiayaan (Rpjuta); dan 14. saldo pokok pembiayaan. Huruf e Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Huruf h Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. 10 Ayat (2) Tanggal aktivasi pemberian PLJPS akan disampaikan oleh Bank Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJPS. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam melaksanakan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan, Bank Indonesia dan OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank antara lain terhadap sistem informasi terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dokumen yang terkait dengan agunan PLJPS yang disampaikan Bank hanya untuk agunan PLJPS sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 11 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Pengagunan surat berharga syariah milik Bank yang sedang ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 12 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpihak ketigaโ€ antara lain kantor akuntan publik yang tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Perjanjian atau kontrak penunjukan pihak ketiga yang ditandatangani oleh Bank dan pihak ketiga memuat klausul bahwa pekerjaan pihak ketiga dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia dan hasil pekerjaan diserahkan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian tambahan agunan memperhatikan prioritas agunan PLJPS berupa surat berharga syariah yang memenuhi syarat untuk diagunkan terlebih dahulu sebelum Aset Pembiayaan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dokumen pendukung lainnya dapat berupa perjanjian pinjam meminjam jika dana berstatus dana pembiayaan. 13 Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan dengan pengikatan agunan PLJPS maka Bank menyampaikan surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJPS. 14 Pasal 29 Ayat (1) Tanggal aktivasi pemberian PLJPS menunjukkan tanggal dimulainya periode PLJPS. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsurat sanggup bayar (promissory note)โ€ adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas pencairan dana PLJPS. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat diperdagangkan di pasar uang. Huruf b Informasi dalam dokumen proyeksi arus kas termasuk rencana penggunaan PLJPS. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œtingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPSโ€ adalah tingkat realisasi imbalan sebelum 15 distribusi atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank yang menerima PLJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia. Tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi didasarkan pada data yang tercantum dalam laporan harian bank umum syariah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Penggantian agunan PLJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan PLJPS secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJPS dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Contoh permohonan pencairan pada saat Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJPS: Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Pada periode PLJPS terdapat sejumlah agunan berupa Aset Pembiayaan yang mengalami penurunan kolektibilitas sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJPS yang mengakibatkan 16 nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Mengingat nilai agunan tidak lagi mencukupi plafon, Bank mengajukan penggantian agunan kepada Bank Indonesia agar agunan dapat kembali mencukupi plafon. Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Dengan saldo pokok tersebut maka masih terdapat sisa plafon sebesar Rp450.000.000.000,00 โ€“ Rp250.000.000.000,00 = Rp200.000.000.000,00. Oleh karena itu, selama Bank Indonesia memproses permintaan penggantian agunan, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJPS paling banyak sampai dengan saldo pokok PLJPS mencapai Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpembatasan pencairanโ€ adalah Bank hanya dapat mencairkan PLJPS paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang didukung dengan kecukupan agunan. Contoh pembatasan pencairan: Contoh 1: Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). 17 Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Dengan saldo pokok tersebut maka masih terdapat kelonggaran tarik sebesar Rp450.000.000.000,00 โ€“ Rp250.000.000.000,00 = Rp200.000.000.000,00. Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan masih mencukupi saldo pokok PLJPS dan masih memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJPS paling banyak sampai dengan Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Contoh 2: Plafon awal PLJPS sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJPS sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Posisi saldo pokok PLJPS saat ini sebesar Rp475.000.000.000,00 (empat ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan saat ini sudah tidak lagi mencukupi saldo pokok PLJPS sehingga Bank tidak lagi memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia tidak dapat lagi melakukan pencairan PLJPS. Ayat (2) Penggantian agunan PLJPS dimaksudkan agar nilai aset agunan PLJPS secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJPS dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 18 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari kalender. 19 Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan terdapat agunan PLJPS periode sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga syariah berupa SBIS, SBSN, dan Sukuk Korporasi dengan rincian sebagai berikut: Jenis No Agunan 1 SBIS 2 SBSN 3 Sukuk Korporasi Sisa Jangka Waktu (hari kalender) 120 hari 100 hari 150 hari Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) Status 110-22 = 88 hari Diterima 110-22 = 88 hari Diterima 180-22 = 158 hari Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. 20 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pelunasan bagi hasil dilakukan mulai awal pembukaan Sistem BI-RTGS sampai dengan awal periode pre-cut off Sistem BI-RTGS. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. 21 Ayat (2) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan dengan pengikatan agunan PLJPS maka Bank menyampaikan surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJPS. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 22 Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJPS pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJPS 14 (empat belas) hari kalender. Aktivasi PLJPS dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Kemudian Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJPS selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017 bersamaan dengan penambahan plafon PLJPS. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJPS ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan dengan adanya penambahan plafon PLJPS yang mengakibatkan adanya kebutuhan penambahan agunan, maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga syariah berupa SBIS, SBSN, dan Sukuk Korporasi dengan rincian sebagai berikut: 23 Jenis No Agunan 1 SBIS 2 SBSN 3 Sukuk Korporasi Sisa Jangka Waktu (hari kalender) 120 hari 100 hari 150 hari Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) Status 110-22 = 88 hari Diterima 110-22 = 88 hari Diterima 180-22 = 158 hari Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJPS sampai dengan jatuh waktu PLJPS berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Pasal 48 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga syariah pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C- BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. 24 Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJPS. Pasal 56 Cukup jelas. 25 Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 26 Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.100.000.000,00. Posisi saldo pokok PLJPS: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.200.000.000,00 โ€“ Rp1.100.000.000,00 = Rp100.000.000,00. Mengingat jumlah kelebihan saldo giro nilainya lebih rendah dari posisi saldo pokok PLJPS maka Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank paling tinggi sebesar posisi kelebihan saldo rekening giro Bank yaitu Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan pendebitan rekening giro tersebut maka posisi saldo pokok PLJPS terkini: Rp500.000.000,00 โ€“ Rp100.000.000,00 = Rp400.000.000,00. Contoh 2: Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.100.000.000,00. Posisi saldo pokok PLJPS: Rp500.000.000,00 Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.800.000.000,00 โ€“ Rp1.100.000.000,00 = Rp700.000.000,00. Mengingat posisi saldo pokok PLJPS nilainya lebih rendah dari jumlah kelebihan saldo giro, maka Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank paling tinggi sebesar saldo pokok PLJPS yaitu Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dengan pendebitan rekening giro Bank tersebut maka posisi saldo pokok PLJPS terkini: Rp500.000.000,00 Rp500.000.000,00 = Rp0,00. Ayat (3) Cukup jelas. โ€“ 27 Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Termasuk dalam biaya lain yaitu perkiraan atas biaya yang belum timbul atau belum ditagihkan oleh pihak lain kepada Bank Indonesia. Contoh: biaya terkait dengan penatausahaan Sukuk Korporasi di KSEI sebagai agunan PLJPS. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dilakukan dengan mendahulukan pelunasan bagi hasil PLJPS, kemudian pembayaran pokok PLJPS, dan selanjutnya biaya yang harus dibayar Bank apabila ada. Biaya yang harus dibayar Bank yaitu biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJPS yang belum dibayar atau dilunasi oleh Bank. 28 Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œtingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang menerima PLJPSโ€ adalah tingkat realisasi imbalan sebelum distribusi atas deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan dari Bank yang menerima PLJPS dalam hal deposito mudharabah 3 (tiga) bulan tidak tersedia. 29 Tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah sebelum distribusi didasarkan pada data yang tercantum dalam laporan harian bank umum syariah. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Pelunasan kewajiban PLJPS merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œkewajiban PLJPSโ€ adalah saldo pokok PLJPS dan/atau bagi hasil PLJPS yang belum dibayar. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œkewajiban PLJPSโ€ adalah saldo pokok PLJPS, bagi hasil PLJPS yang belum dibayar, dan/atau kewajiban membayar (gharamah maliyah). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œkurs transaksi Bank Indonesiaโ€ adalah kurs transaksi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Kurs yang digunakan yaitu kurs yang tersedia pada saat transaksi. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. 30 Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana dealing system atau sarana lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. 31 Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ antara lain konsultan keuangan dan/atau kantor jasa penilai publik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Persetujuan Bank Indonesia disertai dengan informasi rekening yang ditetapkan untuk menerima hasil eksekusi agunan PLJPS di Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank Indonesia menginformasikan kelebihan hasil eksekusi agunan yang telah dikreditkan ke rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia kepada Bank . Ayat (3) Bank Indonesia menginformasikan kekurangan pelunasan kewajiban PLJPS kepada Bank. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. 32 Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkewajiban PLJPSโ€ adalah saldo pokok PLJPS, bagi hasil PLJPS, kewajiban membayar (gharamah maliyah), dan biaya lainnya terkait PLJPS. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpenempatan danaโ€ antara lain penempatan dana pada pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS) dan pembelian surat berharga syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 33 Pasal 79 Operasi moneter syariah Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar terbuka dan transaksi financing facility dalam rangka standing facilities. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/8/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH </reg_title> <set_date> 22 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <replaced_reg> '15/44/DPbS|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '19/4/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
2ii PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/23/PADG/2019 TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai laporan bank umum terintegrasi, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan hal teknis terkait laporan bank umum terintegrasi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/9/PBI/2019 tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6377); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI. 2ii BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Pelapor adalah Bank yang menyampaikan laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. 3. Laporan Bank Umum Terintegrasi yang selanjutnya disebut Laporan adalah informasi yang disusun dan disampaikan oleh Pelapor kepada Bank Indonesia secara terintegrasi dalam format dan definisi yang seragam sesuai dengan metadata yang ditetapkan oleh otoritas. 4. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas. BAB II KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PELAPOR Pasal 2 (1) Pelapor wajib menyusun dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun dan disampaikan secara lengkap, akurat, kini, utuh, dan tepat waktu. Pasal 3 (1) Pelapor wajib menunjuk petugas dan penanggung jawab Laporan. 3ii (2) Proses pendaftaran petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahannya dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. menyampaikan surat permohonan akses disertai dengan formulir pendaftaran dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat permohonan akses sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350; dan c. menyertakan user ID yang telah didaftarkan pada portal yang ditetapkan oleh otoritas. (3) Penunjukan petugas dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi dan/atau menghilangkan tanggung jawab direksi Bank atau pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. BAB III PENYUSUNAN LAPORAN DAN PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 4 (1) Penyusunan Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada metadata yang ditetapkan oleh otoritas. (2) Metadata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam: a. pedoman penyusunan laporan bank umum terintegrasi; dan 4ii b. metadata teknis berupa tools yang dipublikasikan pada portal yang ditetapkan oleh otoritas. (3) Untuk pertama kali, pedoman penyusunan laporan bank umum terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Dalam hal terdapat perubahan metadata sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia akan mencantumkan perubahan metadata tersebut dalam sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (5) Pemberitahuan perubahan metadata sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Pelapor melalui surat dan/atau media lain. Pasal 5 (1) Pelapor harus memiliki sandi Pelapor untuk penyampaian Laporan. (2) Sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sandi bank; dan b. sandi kantor cabang. (3) Untuk memperoleh sandi bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank menyampaikan surat permohonan disertai salinan surat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Gedung D, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (4) Untuk memperoleh sandi kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pelapor menyampaikan surat permohonan disertai salinan surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terkait pembukaan kantor cabang atau peningkatan status menjadi kantor cabang kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. 5ii Pasal 6 (1) Pelapor harus mengajukan permohonan penutupan sandi Pelapor dalam hal terdapat: a. penutupan kantor cabang atau penurunan status dari kantor cabang; dan b. langkah strategis dan mendasar yang mengakibatkan Pelapor tidak lagi melakukan kegiatan usaha. (2) Penutupan sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan menyampaikan surat permohonan disertai salinan surat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terkait penutupan kantor cabang atau penurunan status kantor cabang kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (3) Penutupan sandi Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan menyampaikan surat permohonan disertai salinan surat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Gedung D, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. Pasal 7 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri atas 4 (empat) kelompok informasi yaitu: a. kelompok informasi keuangan; b. kelompok informasi risiko; c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan; dan d. kelompok informasi data pokok. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf d dilaporkan secara: a. individual per kantor cabang Pelapor; b. gabungan seluruh kantor Pelapor; dan/atau c. konsolidasi bank dan perusahaan anak. 6ii (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilaporkan secara gabungan seluruh kantor Pelapor. Pasal 8 (1) Kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a meliputi informasi: a. laporan posisi keuangan; b. c. rekening administratif; laba rugi; d. kas dalam valuta asing; e. penempatan pada Bank Indonesia; f. penempatan pada bank lain; g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan; h. surat berharga yang dimiliki; i. surat berharga repo dan liabilitas repo; j. tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo); k. akseptasi; l. kredit/pembiayaan; m. penyertaan modal; n. aset keuangan lainnya; o. aset tetap dan inventaris; p. salam; q. aset istishnaโ€™ dalam penyelesaian; r. s. persediaan; properti terbengkalai; t. agunan yang diambil alih; u. rekening tunda; v. aset tidak berwujud; w. aset antar kantor; x. aset lainnya; y. giro; z. tabungan; aa. deposito; bb. liabilitas kepada Bank Indonesia; cc. liabilitas kepada bank lain; 7ii dd. surat berharga yang diterbitkan; ee. pinjaman/pembiayaan yang diterima; ff. setoran jaminan; gg. liabilitas antar kantor; hh. liabilitas lainnya; ii. rincian modal; jj. penghasilan/beban komprehensif lain; kk. irrevocable L/C; ll. garansi; mm. penerusan dana (channeling); nn. aset keuangan yang dihapus buku; oo. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; pp. transaksi spot dan derivatif; dan qq. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. (2) Kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi informasi: a. posisi devisa neto; b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; c. dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum; d. dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; e. proyeksi arus kas; f. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik; g. permasalahan layanan keuangan digital; h. pengaduan nasabah; i. publikasi negatif; dan j. penyelesaian sengketa. (3) Kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi informasi: a. kartu kredit; 8ii b. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; c. uang elektronik; d. e. agen layanan keuangan digital; f. proprietary channel; g. suku bunga penawaran; h. suku bunga kredit; i. suku bunga simpanan; j. k. remitansi. (4) Kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d meliputi informasi: a. data pokok pelapor; b. data pihak lawan; dan c. agunan/jaminan. Bagian Kedua Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Pasal 9 (1) Penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dilakukan secara terpusat oleh Pelapor yang meliputi: a. kantor pusat bank atau kantor koordinator yang ditunjuk; b. unit usaha syariah; dan c. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (2) Pelaporan secara terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi data pokok yang dilaporkan secara individual per kantor cabang Pelapor harus bisa diidentifikasi untuk masing-masing kantor cabang Pelapor. (3) Dalam hal Laporan belum dapat disampaikan secara terpusat oleh Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik; tingkat imbalan deposito investasi mudharabah; dan 9ii (1), Laporan disampaikan oleh masing-masing kantor cabang Pelapor. (4) Dalam hal Laporan disampaikan oleh masing-masing kantor cabang Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelapor wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis disertai dengan rencana tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (5) Rencana tindak yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat: a. target dimulainya pelaksanaan pengiriman Laporan secara terpusat; b. rincian kegiatan dan pembagian waktu pelaksanaan untuk mencapai target sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. penanggung jawab pelaksanaan pelaporan secara terpusat. (6) Pemberitahuan secara tertulis dan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh direksi Bank. (7) Penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib dilakukan paling lambat pada tanggal 30 Juni 2020. Pasal 10 (1) Dalam hal terdapat kesalahan pada Laporan yang telah disampaikan, Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan. (2) Koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar: a. b. inisiatif Pelapor; hasil audit oleh akuntan publik; atau c. temuan Bank Indonesia dan/atau otoritas lainnya. 10ii (3) Penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2). BAB IV PERIODISASI LAPORAN Pasal 11 Periode penyampaian untuk Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) terdiri atas: a. harian; b. mingguan; c. bulanan; dan d. triwulanan. Bagian Kesatu Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Bank Umum Konvensional Paragraf 1 Penyampaian Laporan Secara Harian Pasal 12 (1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dan bank umum konvensional yang memenuhi kriteria untuk melakukan transaksi derivatif suku bunga rupiah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, huruf pp, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; 11ii d. transaksi spot dan derivatif; dan e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. (2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dan tidak memenuhi kriteria untuk melakukan transaksi derivatif suku bunga rupiah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; dan d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. Pasal 13 (1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf e secara harian yaitu: a. posisi devisa neto; b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan c. proyeksi arus kas. (2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf e secara harian yaitu: a. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan b. proyeksi arus kas. 12ii (3) Pelapor berupa bank umum konvensional yang merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e secara harian yaitu: a. posisi devisa neto; b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan c. dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan d. proyeksi arus kas. Pasal 14 (1) Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf h dan huruf i secara harian yaitu: a. suku bunga kredit; dan b. suku bunga simpanan. (2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang ditunjuk sebagai bank kontributor sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf g, huruf h, dan huruf i secara harian yaitu: a. suku bunga penawaran; b. suku bunga kredit; dan c. suku bunga simpanan. 13ii Paragraf 2 Penyampaian Laporan Secara Mingguan Pasal 15 Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum. Paragraf 3 Penyampaian Laporan Secara Bulanan Pasal 16 Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf o, huruf s sampai dengan huruf ll, dan huruf nn secara bulanan yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. laba rugi; d. kas dalam valuta asing; e. penempatan pada Bank Indonesia; f. penempatan pada bank lain; g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan; h. surat berharga yang dimiliki; i. surat berharga repo dan liabilitas repo; j. tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo); k. akseptasi; l. kredit/pembiayaan; m. penyertaan modal; n. aset keuangan lainnya; o. aset tetap dan inventaris; p. properti terbengkalai; q. agunan yang diambil alih; 14ii r. rekening tunda; s. aset tidak berwujud; t. aset antar kantor; u. aset lainnya; v. giro; w. tabungan; x. deposito; y. liabilitas kepada Bank Indonesia; z. liabilitas kepada bank lain; aa. surat berharga yang diterbitkan; bb. pinjaman/pembiayaan yang diterima; cc. setoran jaminan; dd. liabilitas antar kantor; ee. liabilitas lainnya; ff. rincian modal; gg. penghasilan/beban komprehensif lain; hh. irrevocable L/C; ii. garansi; dan jj. aset keuangan yang dihapus buku. Pasal 17 (1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine (ATM), penerbit kartu debet, dan/atau penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik dan persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud 15ii dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan yaitu: a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik; dan b. permasalahan layanan keuangan digital. Pasal 18 (1) Pelapor berupa bank umum konvensional yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf k secara bulanan yaitu remitansi. (2) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf d secara bulanan yaitu: a. kartu kredit; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (3) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu: a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (4) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem 16ii pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dan huruf d secara bulanan yaitu: a. uang elektronik; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (5) Pelapor berupa bank umum konvensional yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e secara bulanan yaitu agen layanan keuangan digital. (6) Pelapor berupa bank umum konvensional yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan proprietary channel wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f secara bulanan yaitu proprietary channel. Pasal 19 Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c secara bulanan yaitu agunan/jaminan. Paragraf 4 Penyampaian Laporan Secara Triwulanan Pasal 20 Pelapor berupa bank umum konvensional dan memiliki perusahaan anak wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana 17ii dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c secara triwulanan yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; dan c. laba rugi. Pasal 21 Pelapor berupa bank umum konvensional wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf h, huruf i, dan huruf j secara triwulanan yaitu: a. pengaduan nasabah; b. publikasi negatif; dan c. penyelesaian sengketa. Bagian Kedua Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Bank Umum Syariah Paragraf 1 Penyampaian Laporan Secara Harian Pasal 22 (1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, huruf pp, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; d. transaksi spot dan derivatif; dan e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. 18ii (2) Pelapor berupa bank umum syariah yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; dan d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. Pasal 23 (1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf e secara harian yaitu: a. posisi devisa neto; b. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan c. proyeksi arus kas. (2) Pelapor berupa bank umum syariah yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf e secara harian yaitu: a. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan b. proyeksi arus kas. Pasal 24 Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud 19ii dalam Pasal 8 ayat (3) huruf j secara harian yaitu tingkat imbalan deposito investasi mudharabah. Paragraf 2 Penyampaian Laporan Secara Mingguan Pasal 25 Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum. Paragraf 3 Penyampaian Laporan Secara Bulanan Pasal 26 Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h dan huruf j sampai dengan huruf nn secara bulanan yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. laba rugi; d. kas dalam valuta asing; e. penempatan pada Bank Indonesia; f. penempatan pada bank lain; g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan; h. surat berharga yang dimiliki; i. tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo); j. akseptasi; k. kredit/pembiayaan; l. penyertaan modal; m. aset keuangan lainnya; n. aset tetap dan inventaris; 20ii o. salam; p. aset istishnaโ€™ dalam penyelesaian; q. persediaan; r. properti terbengkalai; s. agunan yang diambil alih; t. rekening tunda; u. aset tidak berwujud; v. aset antar kantor; w. aset lainnya; x. giro; y. tabungan; z. deposito; aa. liabilitas kepada Bank Indonesia; bb. liabilitas kepada bank lain; cc. surat berharga yang diterbitkan; dd. pinjaman/pembiayaan yang diterima; ee. setoran jaminan; ff. liabilitas antar kantor; gg. liabilitas lainnya; hh. rincian modal; ii. penghasilan/beban komprehensif lain; jj. irrevocable L/C; kk. garansi; ll. penerusan dana (channeling); dan mm. aset keuangan yang dihapus buku. Pasal 27 (1) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine (ATM), penerbit kartu debet, dan/atau penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. 21ii (2) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik dan persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan yaitu: a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik; dan b. permasalahan layanan keuangan digital. Pasal 28 (1) Pelapor berupa bank umum syariah yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf k secara bulanan yaitu remitansi. (2) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf d secara bulanan yaitu: a. kartu kredit; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (3) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran 22ii dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu: a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (4) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dan huruf d secara bulanan yaitu: a. uang elektronik; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (5) Pelapor berupa bank umum syariah yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e secara bulanan yaitu agen layanan keuangan digital. (6) Pelapor berupa bank umum syariah yang memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan proprietary channel wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f secara bulanan yaitu proprietary channel. Pasal 29 Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c secara bulanan yaitu agunan/jaminan. 23ii Paragraf 4 Penyampaian Laporan Secara Triwulanan Pasal 30 Pelapor berupa bank umum syariah dan memiliki perusahaan anak wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c secara triwulanan yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; dan c. laba rugi. Pasal 31 Pelapor berupa bank umum syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf h, huruf i, dan huruf j secara triwulanan yaitu: a. pengaduan nasabah; b. publikasi negatif; dan c. penyelesaian sengketa. Bagian Ketiga Kewajiban Penyampaian dan Periodisasi Laporan Bagi Unit Usaha Syariah Paragraf 1 Penyampaian Laporan Secara Harian Pasal 32 (1) Pelapor berupa unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, 24ii huruf b, huruf oo, huruf pp, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; d. transaksi spot dan derivatif; dan e. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. (2) Pelapor berupa unit usaha syariah pada bank umum konvensional yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf oo, dan huruf qq secara harian yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; dan d. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder. Pasal 33 Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf j secara harian yaitu tingkat imbalan deposito investasi mudharabah. Paragraf 2 Penyampaian Laporan Secara Mingguan Pasal 34 Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko 25ii sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c secara mingguan yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum. Paragraf 3 Penyampaian Laporan Secara Bulanan Pasal 35 Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf h dan huruf j sampai dengan huruf nn secara bulanan yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. laba rugi; d. kas dalam valuta asing; e. penempatan pada Bank Indonesia; f. penempatan pada bank lain; g. transaksi spot dan derivatif yang masih berjalan; h. surat berharga yang dimiliki; i. tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repo); j. akseptasi; k. kredit/pembiayaan; l. penyertaan modal; m. aset keuangan lainnya; n. aset tetap dan inventaris; o. salam; p. aset istishnaโ€™ dalam penyelesaian; q. persediaan; r. properti terbengkalai; s. agunan yang diambil alih; t. rekening tunda; u. aset tidak berwujud; v. aset antar kantor; w. aset lainnya; 26ii x. giro; y. tabungan; z. deposito; aa. liabilitas kepada Bank Indonesia; bb. liabilitas kepada bank lain; cc. surat berharga yang diterbitkan; dd. pinjaman/pembiayaan yang diterima; ee. setoran jaminan; ff. liabilitas antar kantor; gg. liabilitas lainnya; hh. rincian modal; ii. penghasilan/beban komprehensif lain; jj. irrevocable L/C; kk. garansi; ll. penerusan dana (channeling); dan mm. aset keuangan yang dihapus buku. Pasal 36 (1) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine (ATM), penerbit kartu debet, dan/atau penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f secara bulanan yaitu fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (2) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik dan persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dan huruf g secara bulanan yaitu: a. fraud alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik; dan b. permasalahan layanan keuangan digital. 27ii Pasal 37 (1) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu kredit wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan d secara bulanan yaitu: a. kartu kredit; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (2) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit kartu automated teller machine (ATM) dan/atau kartu debet wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan huruf d secara bulanan yaitu: a. kartu ATM dan/atau kartu ATM debet; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (3) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai penerbit uang elektronik wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c dan huruf d secara bulanan yaitu: a. uang elektronik; dan b. infrastruktur alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan uang elektronik. (4) Pelapor berupa unit usaha syariah yang telah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebagai penyelenggara layanan keuangan digital wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e secara bulanan yaitu agen layanan keuangan digital. 28ii Pasal 38 Pelapor berupa unit usaha syariah wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c secara bulanan yaitu agunan/jaminan. Bagian Keempat Penyampaian Informasi Pokok Pelapor dan Informasi Pihak Lawan Pasal 39 (1) Pelapor wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data pokok dan perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a yaitu data pokok pelapor. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui surat kepada Bank Indonesia disertai dengan: a. data pokok pelapor sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. salinan surat terkait data pokok pelapor dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pelapor melakukan sinkronisasi terhadap informasi data pokok pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (4) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. Pasal 40 Pelapor wajib menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi data pokok dan perubahannya 29ii sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b yaitu data pihak lawan. Bagian Kelima Cakupan Penyampaian Laporan Pasal 41 (1) Informasi yang dilaporkan secara individual per kantor cabang Pelapor dilakukan untuk informasi dalam: a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35; dan b. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. (2) Informasi yang dilaporkan secara gabungan seluruh kantor Pelapor dilakukan untuk informasi dalam: a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32. b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 34, dan Pasal 36. c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 33, dan Pasal 37. d. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40. (3) Informasi yang dilaporkan secara konsolidasi bank dan perusahaan anak dilakukan untuk informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 30. 30ii BAB V BATAS WAKTU PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Pasal 42 Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan terdiri atas: a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020; dan b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020. Bagian Kesatu Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan untuk Data Akhir Bulan Desember 2019 sampai dengan Data Akhir Bulan Agustus 2020 Paragraf 1 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Harian Pasal 43 Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara harian dengan batas waktu pukul 23.59 WIB, pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas, untuk informasi dalam: a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32, yang mencakup: 1. laporan posisi keuangan, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; 2. rekening administratif, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; 3. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call, untuk data tanggal penyampaian laporan; 31ii 4. transaksi spot dan derivatif, untuk data tanggal penyampaian laporan; dan 5. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder, untuk data tanggal penyampaian laporan; b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 23, yang mencakup: 1. posisi devisa neto, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; 2. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; 3. dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; dan 4. proyeksi arus kas, untuk data tanggal penyampaian laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari; dan c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 24, dan Pasal 33, yang mencakup: 1. suku bunga penawaran; 2. suku bunga kredit; 3. suku bunga simpanan; dan 4. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah, untuk data tanggal penyampaian laporan. Paragraf 2 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Mingguan Pasal 44 Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara mingguan dengan batas waktu: a. tanggal 9, untuk data tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; 32ii b. tanggal 16, untuk data tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; c. tanggal 24, untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; dan d. tanggal 2 pada bulan berikutnya, untuk data tanggal 16 sampai dengan tanggal 23, untuk informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, dan Pasal 34, yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum. Paragraf 3 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Bulanan Pasal 45 Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara bulanan dengan batas waktu tanggal 20 bulan berikutnya untuk informasi dalam: a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35; b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 36; c. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 28, dan Pasal 37; dan d. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal 38. 33ii Paragraf 4 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Triwulanan Pasal 46 Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 secara triwulanan dengan batas waktu tanggal 28 bulan berikutnya untuk informasi dalam: a. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 30; dan b. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 31. Paragraf 5 Periode Keterlambatan dan Tidak Menyampaikan Laporan Pasal 47 Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk data akhir bulan Juni 2020 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode penyampaian mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46; b. dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan 34ii dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia; c. Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan dengan periode mingguan, bulanan, dan triwulanan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan Laporan dengan periode harian sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43; d. Pelapor yang dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diberikan pemberitahuan tertulis; dan e. Pelapor yang dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf c diberikan pemberitahuan tertulis. Bagian Kedua Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan sejak Data Bulan September 2020 Paragraf 1 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Harian Pasal 48 Pelapor wajib menyampaikan Laporan sejak data bulan September 2020 secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 32, dan Pasal 33 dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. pukul 10.30 WIB, untuk informasi dalam kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan yaitu suku bunga penawaran untuk data tanggal penyampaian laporan; b. pukul 12.00 WIB, untuk informasi dalam kelompok informasi keuangan yaitu transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip 35ii syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah untuk data tanggal penyampaian laporan; c. pukul 18.00 WIB, untuk informasi dalam: 1. kelompok informasi keuangan, yaitu: a) transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk: 1) transaksi pasar uang antarbank sore rupiah; 2) transaksi pasar uang antarbank valuta asing; 3) transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan 4) transaksi deposit on call; dan b) transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder, untuk data tanggal penyampaian laporan; dan 2. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan, yaitu: a) suku bunga kredit; b) suku bunga simpanan; dan c) tingkat imbalan deposito investasi mudharabah, untuk data tanggal penyampaian laporan; dan d. pukul 23.59 WIB, untuk informasi dalam: 1. kelompok informasi keuangan, yaitu: a) laporan posisi keuangan, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; b) rekening administratif, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; c) transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call, untuk transaksi pasar uang antarbank yang dilakukan oleh Pelapor dengan bank di luar negeri untuk data tanggal penyampaian laporan; dan 36ii d) transaksi spot dan derivatif, untuk data tanggal penyampaian laporan; dan 2. kelompok informasi risiko, yaitu: a) posisi devisa neto, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; b) utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; c) dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, untuk data 2 (dua) Hari Kerja sebelum tanggal penyampaian laporan; dan d) proyeksi arus kas, untuk data tanggal penyampaian laporan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari, pada setiap hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas. Pasal 49 Pelapor wajib menyampaikan koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 32, dan Pasal 33 dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. pukul 10.45 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a; b. pukul 12.00 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b; c. pukul 18.00 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c; d. pukul 23.59 WIB pada hari yang sama, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 37ii huruf d angka 1 huruf a) dan huruf b) serta angka 2 huruf a) dan huruf d); e. pukul 16.00 WIB pada hari berikutnya yang merupakan hari kerja termasuk hari yang ditetapkan Bank Indonesia untuk melakukan kegiatan operasional terbatas, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d angka 1 huruf c) dan huruf d) serta angka 2 huruf b) dan huruf c); dan f. pukul 16.00 WIB pada tanggal valuta transaksi spot dan derivatif, untuk Laporan yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d angka 1 huruf d), apabila terdapat kesalahan atas jenis dokumen underlying untuk kontrak selain tod. Paragraf 2 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Mingguan Pasal 50 Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 secara mingguan dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanggal 6, untuk data tanggal 24 sampai dengan akhir bulan sebelumnya; b. tanggal 13, untuk data tanggal 1 sampai dengan tanggal 7; c. tanggal 21, untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15; dan d. tanggal 29, untuk data tanggal 16 sampai dengan tanggal 23, untuk informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, dan Pasal 34, yaitu dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum. 38ii Paragraf 3 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Bulanan Pasal 51 Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 secara bulanan dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, untuk informasi dalam: 1. kelompok informasi keuangan dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35; dan 2. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal 38; dan b. tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan, untuk informasi dalam: 1. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 36; dan 2. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 28, dan Pasal 37. Paragraf 4 Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan Secara Triwulanan Pasal 52 Pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sejak data bulan September 2020 secara triwulanan sebagaimana 39ii dalam batas waktu yang ditetapkan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanggal 10 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari, untuk informasi dalam kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 31; dan b. tanggal 23 bulan April, bulan Juli, bulan Oktober, dan bulan Januari, untuk informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 30. Paragraf 5 Periode Keterlambatan dan Tidak Menyampaikan Laporan Pasal 53 (1) Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan untuk 1 (satu) periode penyampaian mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c, dan huruf d dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan diterima oleh Bank Indonesia dalam periode keterlambatan yaitu sampai dengan 2 (dua) hari setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52. (2) Dalam hal batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur nasional maka batas akhir periode keterlambatan penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Pasal 54 Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dalam hal Bank Indonesia belum menerima Laporan dengan periode harian sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Laporan dengan periode mingguan, 40ii bulanan, dan triwulanan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53. Bagian Ketiga Batas Waktu Penyampaian Laporan dan/atau Koreksi Laporan pada Hari Libur Pasal 55 Dalam hal batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sehubungan dengan perayaan hari raya keagamaan maka batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yaitu Hari Kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Pasal 56 (1) Ketentuan penyampaian Laporan secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 32, dan Pasal 33 yaitu: a. untuk data akhir bulan Desember 2019 sampai dengan data akhir bulan Agustus 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43; dan b. sejak data bulan September 2020 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, tidak berlaku dalam hal Pelapor tidak beroperasi, dengan terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. tanggal Pelapor tidak beroperasi; dan b. alasan Pelapor tidak beroperasi. 41ii (3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (4) Pelapor tetap menyampaikan Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d pada Hari Kerja pertama Pelapor beroperasi kembali yaitu: a. laporan posisi keuangan; b. rekening administratif; c. posisi devisa neto; d. utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek; dan e. dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. BAB VI PROSEDUR PENYAMPAIAN LAPORAN DAN/ATAU KOREKSI LAPORAN Pasal 57 (1) Pelapor harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (2) Penyampaian Laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keamanan lingkungan perangkat yang digunakan untuk mengakses sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. Pasal 58 (1) Dalam hal Pelapor: a. mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan; dan/atau 42ii b. tidak dapat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disebabkan gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesia, yang terjadi pada batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 52 maka Laporan dan/atau koreksi Laporan disampaikan secara offline. (2) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan periode penyampaian Laporan secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a disampaikan paling lambat: 1. pukul 10.45 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 10.30 WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a; 2. pukul 14.00 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 12.00 WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b; 3. pukul 20.00 WIB, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 18.00 WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c; dan 4. pukul 10.00 WIB Hari Kerja berikutnya, untuk Laporan yang disampaikan dengan batas waktu pukul 23.59 WIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf d; dan b. penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan periode penyampaian Laporan secara mingguan, bulanan, dan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan pada Hari Kerja berikutnya setelah batas waktu penyampaian Laporan dan/atau koreksi 43ii Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52. (3) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Surat pemberitahuan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh pejabat Bank. (5) Penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline oleh Pelapor yang mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disertai dengan bukti dan penjelasan mengenai gangguan teknis tersebut. (6) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis atau melalui sarana lain kepada Pelapor mengenai terjadinya gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 59 (1) Penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf f disertai dengan surat penyampaian koreksi jenis dokumen underlying kepada Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Koreksi Laporan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan periode keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 disertai dengan surat penyampaian koreksi Laporan di luar batas waktu penyampaian atau periode keterlambatan kepada Bank Indonesia sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 44ii (3) Surat penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara online melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (4) Penyampaian koreksi Laporan setelah batas waktu penyampaian dan periode keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan atas dasar hasil audit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b disertai dengan surat opini dari kantor akuntan publik dan laporan keuangan utama yang telah diaudit. Pasal 60 (1) Pelapor yang memiliki kewajiban penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 38 namun tidak memiliki data atau transaksi terkait pada periode Laporan, tetap wajib menyampaikan Laporan dengan isian nihil. (2) Laporan dengan isian nihil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu file kosong dengan penamaan file mengikuti aturan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. Pasal 61 (1) Pelapor dinyatakan telah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan pada tanggal diterimanya Laporan dan/atau koreksi Laporan oleh Bank Indonesia. (2) Penerimaan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda terima penyampaian Laporan yang diperoleh dari sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. (3) Tanda terima penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam hal Laporan dan/atau koreksi Laporan dinyatakan lolos validasi sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. 45ii (4) Tanda terima penyampaian koreksi Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. informasi yang dikoreksi; b. waktu koreksi Laporan diterima; dan c. jumlah baris yang dikoreksi. Pasal 62 Setelah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan berupa informasi dalam kelompok informasi keuangan yang disampaikan secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 32 yaitu: a. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; b. transaksi spot dan derivatif; dan c. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder, Pelapor harus memastikan bahwa status transaksi telah matching dengan data Pelapor lain sebagai lawan transaksi. Pasal 63 (1) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan tidak tersedianya informasi, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 38. (3) Pelapor yang mengalami keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus segera menyampaikan permohonan pengecualian secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan memberikan penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami. 46ii (4) Permohonan pengecualian secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh direksi atau pimpinan Bank. (5) Permohonan pengecualian secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (6) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah disetujui oleh Bank Indonesia. (7) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan setelah Pelapor kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 64 (1) Pelapor yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan bank umum terintegrasi dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan/atau b. kewajiban membayar. (2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia mendebit rekening giro rupiah Pelapor pada Bank Indonesia. (3) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 47ii BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 65 (1) Pelapor yang melakukan penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan tetap wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 32, dan Pasal 33 untuk data sampai dengan Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan; b. secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 25, dan Pasal 34 untuk data sampai dengan minggu Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan; c. secara bulanan untuk: 1. kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 26, dan Pasal 35; dan 2. kelompok informasi data pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 29, dan Pasal 38, untuk data sampai dengan bulan sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan; d. secara bulanan untuk: 1. kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 27, dan Pasal 36; dan 2. kelompok informasi sistem pembayaran dan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 28, atau Pasal 37, untuk data sampai dengan bulan pada Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan; 48ii e. secara triwulanan untuk kelompok informasi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau Pasal 30 sampai dengan triwulan sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan; dan f. secara triwulanan untuk kelompok informasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atau Pasal 31 sampai dengan triwulan pada Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif pelaksanaan penggabungan dan peleburan. (2) Pelapor yang melakukan konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah tetap wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan ketentuan sebagai berikut: a. sebelum konversi, bank umum konvensional menyampaikan: 1. secara harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 pada Hari Kerja terakhir sebelum tanggal efektif konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; 2. secara mingguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 pada minggu sebelum tanggal efektif konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; 3. secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 pada bulan sebelum tanggal efektif konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; dan 4. secara triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 pada triwulan sebelum tanggal efektif konversi bank umum b. sesudah konversi, konvensional menjadi bank umum syariah; dan bank umum syariah menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana 49ii diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini sejak tanggal efektif konversi bank umum konvensional menjadi bank umum syariah. (3) Pelapor yang merupakan hasil pemisahan tetap wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan dengan mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini sejak tanggal efektif pemisahan. Pasal 66 (1) Bank Indonesia dapat menyediakan hasil olahan Laporan kepada pihak lain dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan/atau nota kesepahaman dengan Bank Indonesia. (2) Penyediaan hasil olahan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kelompok informasi keuangan, yaitu: 1. transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call; 2. transaksi spot dan derivatif; 3. transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder; dan/atau 4. informasi lainnya; dan/atau b. kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan: 1. suku bunga penawaran 2. suku bunga kredit; 3. suku bunga simpanan; 4. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah; dan/atau 5. informasi lainnya. (3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan permohonan menjadi pelanggan hasil olahan secara tertulis kepada Bank Indonesia sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran VIII yang 50ii merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Permohonan menjadi pelanggan hasil olahan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Statistik, Menara Sjafruddin Prawiranegara, Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. Pasal 67 (1) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada calon pelanggan hasil olahan mengenai persetujuan atau penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. (2) Dalam hal permohonan disetujui oleh Bank Indonesia, calon pelanggan hasil olahan harus menandatangani perjanjian penggunaan hasil olahan Laporan dengan Bank Indonesia sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 68 Pelapor yang telah memiliki sandi Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) pada saat ketentuan ini mulai berlaku tidak perlu mengajukan surat permohonan pembukaan sandi Pelapor. 51ii BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 69 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/2/DSta tanggal 27 Januari 2015 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP perihal Laporan Berkala Bank Umum; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/16/DPbS tanggal 20 Juli 2006 perihal Laporan Berkala Bank Umum; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM tanggal 22 Januari 2009 perihal Laporan Bulanan Bank Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/16/DSta tanggal 27 Juli 2016 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/2/DSM perihal Laporan Bulanan Bank Umum; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/4/DPM tanggal 4 Februari 2011 perihal Biaya Laporan Harian Bank Umum; e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta tanggal 5 September 2013 perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/7/DSta tanggal 22 April 2014 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/37/DSta perihal Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bulanan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; f. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang Laporan Harian Bank Umum sebagaimana telah diubah 52ii beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/39/PADG/2018 tanggal 27 Desember 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum; dan g. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/20/PADG/2018 tanggal 30 Agustus 2018 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan September 2020. Pasal 70 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/23/PADG/2019 TENTANG LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI I. UMUM Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan telah mengembangkan sistem pelaporan yang terintegrasi dan berbasis metadata dengan prinsip kolaboratif, efisiensi, dan konsistensi. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi yang antara lain mengatur cakupan Laporan, periodisasi, dan batas waktu penyampaian Laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. Sejalan dengan implementasi pelaporan terintegrasi oleh Bank Indonesia, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Laporan Bank Umum Terintegrasi sebagai pedoman dan tata cara bagi Bank dalam menyusun dan menyampaikan Laporan melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. 2 Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpetugas dan penanggung jawabโ€ adalah petugas dan penanggung jawab di Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk menyusun, melakukan verifikasi, dan menyampaikan Laporan kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œportal yang ditetapkan oleh otoritasโ€ adalah sistem pelaporan dengan mekanisme satu pintu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œmetadataโ€ adalah penjelasan mengenai informasi yang dilaporkan Pelapor antara lain definisi, aturan validasi, format, dan ketentuan acuan. Yang dimaksud dengan โ€œotoritasโ€ adalah Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œmedia lainโ€ antara lain melalui pengumuman pada sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. 3 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Surat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara lain surat izin usaha bank atau surat izin spin-off. Permohonan sandi bank dalam hal ini merupakan dampak dari pendirian bank atau pelaksanaan langkah strategis dan mendasar yang berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. Ayat (4) Kantor cabang dalam hal ini termasuk kantor cabang pembantu bagi Pelapor dengan status kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œlangkah strategis dan mendasarโ€ adalah langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œsurat persetujuanโ€ adalah surat persetujuan untuk melakukan langkah strategis dan mendasar. 4 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œindividual per kantor cabang Pelaporโ€ adalah Laporan dari setiap kantor cabang Pelapor termasuk kantor pusat yang melakukan kegiatan operasional, unit usaha syariah, dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Target dimulainya pelaksanaan pengiriman Laporan secara terpusat disampaikan secara rinci yang meliputi bulan dan tahun. 5 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Hasil audit oleh akuntan publik mencakup audit atas informasi keuangan historis atau penelaahan terbatas, baik untuk periode tahunan maupun interim. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œotoritas lainnyaโ€ adalah Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing atau bank devisa merupakan bank yang memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing. Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi derivatif suku bunga rupiahโ€ adalah transaksi derivatif suku bunga rupiah sebagaimana 6 dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi derivatif suku bunga rupiah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œbank kontributorโ€ adalah bank yang menyampaikan suku bunga indikasi kepada Bank Indonesia untuk digunakan dalam penetapan Jakarta InterBank Offered Rate (JIBOR). Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Penerbit kartu kredit, penerbit kartu automated teller machine (ATM), dan penerbit kartu debet mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Penerbit uang elektronik mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai uang elektronik. Ayat (2) Kegiatan layanan keuangan digital mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan layanan keuangan digital. 7 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Proprietary channel mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Informasi proprietary channel meliputi profil proprietary channel yang dimiliki Pelapor dan data transaksi melalui proprietary channel yang antara lain menggunakan teknologi berbasis short message service, mobile, dan/atau web. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. 8 Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Proprietary channel mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Informasi proprietary channel meliputi profil proprietary channel yang dimiliki Pelapor dan data transaksi melalui proprietary channel yang antara lain menggunakan teknologi berbasis short message service, mobile, dan/atau web. Pasal 29 Cukup jelas. 9 Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Sinkronisasi terhadap informasi data pokok pelapor antara lain mencakup sandi Pelapor, status kantor Pelapor, dan jenis kegiatan usaha Pelapor. 10 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Huruf a Angka 1 Contoh: Informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 2 Contoh: Informasi rekening administratif untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 3 Contoh: Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan pada tanggal 31 Desember 2019 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 4 Contoh: Informasi transaksi spot dan derivatif untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan tanggal 31 Desember 2019 WIB dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. 11 Angka 5 Contoh: Informasi transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan tanggal 31 Desember 2019 WIB dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf b Angka 1 Contoh: Informasi posisi devisa neto untuk data tanggal 31 Desember 2019 disampaikan pada tanggal 3 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 2 Contoh: Informasi utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek untuk data tanggal 14 Januari 2020 disampaikan pada tanggal 16 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 3 Contoh: Informasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri untuk data tanggal 13 Januari 2020 disampaikan pada tanggal 15 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 4 Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Contoh: Informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 20 Januari 2020 disampaikan pada tanggal 20 Januari 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. 12 Angka 4 Cukup jelas. Pasal 44 Contoh: Informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum untuk data tanggal 24 Desember 2019 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal 9 Januari 2020. Pasal 45 Contoh: Informasi laporan posisi keuangan untuk data posisi bulan Desember 2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal 20 Januari 2020. Pasal 46 Contoh: 1. Informasi laporan posisi keuangan konsolidasi bank dan perusahaan anak untuk data posisi triwulan keempat 2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal 28 Januari 2020. 2. Informasi pengaduan nasabah untuk data triwulan keempat 2019 disampaikan dengan batas waktu tanggal 28 Januari 2020. Pasal 47 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh 1: Bank C menyampaikan Laporan berupa informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum dalam kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020 pada hari Jumat tanggal 17 Juli 2020. 13 Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 16 Juli 2020. Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Juli 2020 sampai dengan tanggal 7 Juli 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank C diberikan pemberitahuan tertulis. Contoh 2: Bank D menyampaikan Laporan berupa informasi laporan posisi keuangan dalam kelompok informasi keuangan untuk data posisi bulan Juli 2020 pada hari Jumat tanggal 21 Agustus 2020. Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 20 Agustus 2020. Bank D dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan untuk data bulan Juli 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank D diberikan pemberitahuan tertulis. Contoh 3: Bank E menyampaikan Laporan berupa informasi pengaduan nasabah dalam kelompok informasi risiko untuk data triwulan kedua 2020 pada hari Rabu tanggal 29 Juli 2020. Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 28 Juli 2020. Bank E dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data triwulan kedua 2020 selama 1 (satu) Hari Kerja, sehingga Bank E diberikan pemberitahuan tertulis. Huruf e Contoh: Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi laporan posisi keuangan dalam kelompok informasi keuangan untuk data posisi bulan Juli 2020 adalah hari Kamis tanggal 20 Agustus 2020. Batas akhir periode keterlambatan jatuh pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus 2020 maka batas akhir periode keterlambatan adalah Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 24 Agustus 2020. Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 24 Agustus 2020 maka Pelapor 14 dinyatakan tidak menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan dan diberikan pemberitahuan tertulis. Pasal 48 Huruf a Contoh: Informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 10.30 WIB. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi pasar uang antarbank pagi rupiahโ€ adalah transaksi pasar uang antarbank dalam negeri dengan menggunakan valuta rupiah yang dilakukan oleh Pelapor sebelum pukul 12.00 WIB. Contoh: Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 12.00 WIB. Huruf c Angka 1 Huruf a) Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi pasar uang antarbank sore rupiahโ€ adalah transaksi pasar uang antarbank dalam negeri dengan menggunakan valuta rupiah yang dilakukan oleh Pelapor sebelum pukul 18.00 WIB. Contoh: Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank sore rupiah untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. 15 Huruf b) Contoh: Informasi transaksi surat berharga dan sertifikat deposito di pasar sekunder untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 WIB dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. Angka 2 Huruf a) Informasi suku bunga kredit untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. Huruf b) Informasi suku bunga simpanan untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. Huruf c) Informasi tingkat imbalan deposito investasi mudharabah untuk data tanggal 1 September disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. Huruf d Angka 1 Huruf a) Contoh: Informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf b) Contoh: Informasi rekening administratif untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf c) Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi pasar uang antarbank yang dilakukan oleh Pelapor dengan bank di luar negeriโ€ adalah transaksi pasar uang antarbank 16 yang dilakukan oleh Pelapor yang beroperasi di Indonesia dengan bank yang beroperasi di luar negeri baik yang berkantor pusat di Indonesia maupun di luar negeri dengan menggunakan valuta rupiah dan valas. Contoh: Informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank yang dilakukan oleh Pelapor dengan bank di luar negeri untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 WIB dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf d) Contoh: Informasi transaksi spot dan derivatif untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Angka 2 Huruf a) Contoh: Informasi posisi devisa neto untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf b) Contoh: Informasi utang luar negeri dan kewajiban bank lainnya dalam valas jangka pendek untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf c) Contoh: Informasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. 17 Huruf d) Cukup jelas. Pasal 49 Huruf a Contoh: Koreksi informasi suku bunga penawaran untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 10.45 WIB. Huruf b Contoh: Koreksi informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 dengan batas waktu pukul 12.00 WIB. Huruf c Contoh: Koreksi informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk transaksi pasar uang antarbank sore rupiah untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 1 September 2020 WIB dengan batas waktu pukul 18.00 WIB. Huruf d Contoh: Koreksi informasi laporan posisi keuangan untuk data tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 3 September 2020 dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. Huruf e Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif yang disampaikan dengan batas waktu pukul 16.00 WIB pada hari berikutnya tidak termasuk jenis dokumen underlying untuk kontrak selain tod. Contoh 1: Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif untuk kontrak tod yang dilakukan oleh Pelapor untuk data transaksi tanggal 1 18 September 2020 disampaikan pada tanggal 2 September 2020 WIB dengan batas waktu pukul 16.00 WIB. Contoh 2: Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif atas kesalahan selain jenis dokumen underlying untuk kontrak spot yang dilakukan oleh Pelapor untuk data transaksi tanggal 1 September 2020 disampaikan pada tanggal 2 September 2020 WIB dengan batas waktu pukul 16.00 WIB. Huruf f Contoh: Koreksi informasi transaksi spot dan derivatif atas kesalahan jenis dokumen underlying untuk kontrak spot tanggal 7 September 2020 dengan tanggal valuta 9 September 2020 disampaikan pada tanggal 9 September 2020 dengan batas waktu pukul 16.00 WIB. Pasal 50 Contoh: Informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum untuk data tanggal 8 sampai dengan tanggal 15 September 2020 disampaikan pada tanggal 21 September 2020. Pasal 51 Huruf a Contoh: Informasi laba rugi untuk data posisi September 2020 disampaikan dengan batas waktu tanggal 5 Oktober 2020. Huruf b Contoh: Informasi permasalahan layanan keuangan digital untuk posisi September 2020 disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2020. 19 Pasal 52 Huruf a Contoh: Informasi pengaduan nasabah untuk data triwulan ketiga 2020 disampaikan dengan batas waktu pada hari Sabtu tanggal 10 Oktober 2020 maka batas waktu penyampaian adalah Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 12 Oktober 2020. Huruf b Contoh: Informasi laba rugi konsolidasi bank dan perusahaan anak untuk data posisi triwulan ketiga 2020 disampaikan pada tanggal 23 Oktober 2020. Pasal 53 Ayat (1) Contoh: Bank C menyampaikan Laporan berupa informasi dana pihak ketiga untuk perhitungan pemenuhan giro wajib minimum dalam kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 pada hari Kamis tanggal 15 Oktober 2020. Batas waktu penyampaian Laporan tersebut adalah tanggal 13 Oktober 2020. Bank C dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko untuk data tanggal 1 Oktober 2020 sampai dengan tanggal 7 Oktober 2020 selama 2 (dua) Hari Kerja. Ayat (2) Contoh: Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi laba rugi dalam kelompok informasi keuangan untuk data bulan Oktober 2020 adalah hari Kamis tanggal 5 November 2020. Batas akhir periode keterlambatan jatuh pada hari Sabtu tanggal 7 November 2020 maka batas akhir periode keterlambatan adalah Hari Kerja berikutnya yaitu hari Senin tanggal 9 November 2020. 20 Pasal 54 Contoh: Batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi pengaduan nasabah dalam kelompok informasi risiko untuk data triwulan keempat 2021 adalah tanggal 10 Januari 2022. Batas akhir periode keterlambatan Laporan tersebut adalah tanggal 12 Januari 2022. Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 12 Januari 2022 maka Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan kelompok informasi risiko. Pasal 55 Contoh: Informasi dalam kelompok informasi keuangan yaitu laba rugi untuk posisi November 2020 disampaikan paling lambat tanggal 5 Desember 2020. Mengingat tanggal 5 Desember 2020 jatuh pada hari Sabtu maka batas waktu penyampaian Laporan menjadi Hari Kerja berikutnya, yaitu hari Senin tanggal 7 Desember 2020. Pasal 56 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œPelapor tidak beroperasiโ€ antara lain apabila Pelapor menjalankan hari libur di luar hari libur nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 57 Yang dimaksud dengan โ€œonlineโ€ adalah penyampaian Laporan melalui sistem pelaporan portal, managed file transfer (MFT), dan application programming interface (API). 21 Pasal 58 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œofflineโ€ adalah penyampaian Laporan ke Bank Indonesia dengan menggunakan media antara lain compact disk (CD) atau flash disk yang disampaikan pada jam kerja Bank Indonesia yang mewilayahi Pelapor. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œgangguan teknisโ€ adalah gangguan yang terjadi di Pelapor antara lain gangguan jaringan data atau komunikasi dengan Bank Indonesia namun tidak termasuk gangguan pada sistem penyusunan Laporan di Pelapor. Tidak termasuk dalam gangguan teknis antara lain gangguan yang terjadi pada core banking system atau pada sistem penyusunan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) saat penyusunan laporan. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€gangguan teknis dan/atau gangguan lainnya pada sistem atau jaringan telekomunikasi di Bank Indonesiaโ€ adalah gangguan yang menyebabkan Bank Indonesia tidak dapat menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan secara online dari Pelapor antara lain karena gangguan pada jaringan telekomunikasi dan/atau penyebab lainnya. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Contoh: Bank E mengalami gangguan teknis pada jaringan komunikasi pada tanggal 2 Oktober 2020 sampai dengan pukul 10.30 WIB sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan informasi suku bunga penawaran pada kelompok informasi kegiatan sistem pembayaran dan jasa keuangan untuk data tanggal 2 Oktober 2020. 22 Oleh karena itu Bank E menyampaikan Laporan dimaksud secara offline sampai dengan pukul 10.45 WIB. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf b Contoh: Bank F mengalami gangguan teknis pada jaringan komunikasi sampai dengan batas waktu penyampaian Laporan berupa informasi rekening administratif dalam kelompok informasi keuangan untuk data posisi Desember 2020 yaitu tanggal 5 Januari 2021, sehingga tidak dapat menyampaikan Laporan dimaksud. Oleh karena itu Bank F menyampaikan Laporan dimaksud secara offline pada tanggal 6 Januari 2021. Dalam hal Laporan tersebut diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 6 Januari 2021 secara online maka Bank F dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan selama 1 (satu) Hari Kerja. Dalam hal Laporan tersebut diterima oleh Bank Indonesia pada tanggal 7 Januari 2021 maka Bank F dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan selama 2 (dua) Hari Kerja. Dalam hal Laporan tersebut belum diterima oleh Bank Indonesia sampai dengan tanggal 7 Januari 2021 maka Bank F dinyatakan tidak menyampaikan Laporan kelompok informasi keuangan. Ayat (3) Jika Bank menyampaikan laporan secara terpusat maka Bank dapat menyampaikan surat pemberitahuan penyampaian secara offline ke kantor Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat atau kantor koordinator yang ditunjuk. 23 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Yang dimaksud โ€œLaporan dengan isian nihilโ€ adalah format Laporan yang memuat paling sedikit informasi tentang sandi Bank, tanggal Laporan, dan nama informasi. Ayat (2) Contoh 1: Bank T tidak memiliki transaksi spot dan derivatif pada tanggal 13 Februari 2020 namun Bank T tetap wajib menyampaikan Laporan berupa informasi transaksi spot dan derivatif dalam kelompok informasi keuangan dengan isian nihil. Contoh 2: Bank T tidak memiliki transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call untuk: a. transaksi pasar uang antarbank pagi rupiah; b. transaksi pasar uang antarbank sore rupiah; dan c. transaksi pasar uang antarbank valuta asing, namun bank T tetap wajib menyampaikan Laporan berupa informasi transaksi pasar uang antarbank, pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, dan deposit on call dalam kelompok informasi keuangan dengan isian nihil dengan batas waktu pukul 23.59 WIB. 24 Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanda terima penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan yang disampaikan oleh Pelapor secara online atau offline dapat diakses oleh Pelapor melalui sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia. Ayat (3) Dalam hal terdapat gangguan teknis sehingga sistem tidak dapat mengeluarkan tanda terima maka Bank Indonesia akan mengeluarkan tanda terima melalui sarana lain sampai dengan sistem pelaporan terintegrasi Bank Indonesia beroperasi secara normal. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan kaharโ€ adalah keadaan yang secara nyata berdampak tidak berfungsinya kegiatan operasional Pelapor dan menyebabkan Pelapor tidak dapat menyusun dan menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat instansi yang berwenang dari daerah setempat atau pernyataan dari instansi yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 25 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œtanggal efektif pelaksanaanโ€ adalah tanggal pelaksanaan operasional hasil penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Contoh: Bank H dan Bank I melakukan penggabungan menjadi Bank I dengan tanggal efektif pelaksanaan yaitu hari Selasa, 6 Oktober 2020 maka Bank H terakhir menyampaikan Laporan dengan rincian sebagai berikut: a. untuk Laporan periode harian yaitu data hari Senin, 5 Oktober 2020; b. untuk Laporan periode mingguan yaitu data tanggal 1 sampai dengan 5 Oktober 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 13 Oktober 2020; c. untuk Laporan periode bulanan yaitu: 1. kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi data pokok untuk data bulan September 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2020; dan 2. kelompok informasi risiko dan kelompok informasi sistem pembayaran dan jasa keuangan untuk data bulan Oktober 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 November 2020. Mengingat tanggal 15 November 2020 jatuh pada hari Minggu maka Laporan tersebut dapat disampaikan pada Hari Kerja berikutnya yaitu Senin tanggal 16 November 2020; dan 26 d. untuk laporan periode triwulanan yaitu: 1. kelompok informasi keuangan untuk data triwulan ketiga 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Oktober 2020; dan 2. kelompok informasi risiko untuk data triwulan keempat 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 23 Januari 2021. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œtanggal efektif konversiโ€ adalah tanggal pelaksanaan operasional bank umum syariah hasil perubahan kegiatan bank umum konvensional. Contoh: Bank J melakukan konversi dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah dengan tanggal efektif konversi yaitu hari Selasa, 6 Oktober 2020. Oleh karena itu, Bank J menyampaikan Laporan sebagai bank umum konvensional dengan rincian sebagai berikut: a. untuk Laporan periode harian yaitu data hari Senin, 5 Oktober 2020; b. untuk Laporan periode mingguan yaitu data tanggal 24 sampai dengan 30 September 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 6 Oktober 2020; c. untuk Laporan periode bulanan yaitu: 1. kelompok informasi keuangan dan kelompok informasi data pokok untuk data bulan September 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 5 Oktober 2020; dan 2. kelompok informasi risiko dan kelompok informasi sistem pembayaran dan jasa keuangan untuk data bulan September 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 15 Oktober 2020; dan d. untuk laporan periode triwulanan yaitu: 1. kelompok informasi keuangan untuk data triwulan ketiga 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 10 Oktober 2020; dan 27 2. kelompok informasi risiko untuk data triwulan ketiga 2020 yang disampaikan paling lambat tanggal 23 Oktober 2020. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œhasil olahanโ€ adalah hasil yang diperoleh dari hasil pengolahan agregat atas informasi yang dilaporkan oleh Pelapor. Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ adalah pihak selain Pelapor, yang dapat memperoleh hasil olahan Laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œperjanjian penggunaan hasil olahan Laporanโ€ adalah kesepakatan tertulis antara Bank Indonesia dengan pihak lain mengenai penggunaan hasil olahan Laporan dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 68 Cukup jelas. 28 Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/23/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BANK UMUM TERINTEGRASI </reg_title> <set_date> 6 Desember 2019 </set_date> <effective_date> 6 Desember 2019 </effective_date> <replaced_reg> '20/20/PADG/2018', '17/2/DSta|SE-BI/2015', '8/15/DPNP|SE-BI/2006', '15/37/DSta|SE-BI/2013', '19/18/PADG/2017', '8/16/DPbS|SE-BI/2006', '20/39/PADG/2018', '16/7/DSta|SE-BI/2014', '13/4/DPM|SE-BI/2011', '18/16/DSta|SE-BI/2016', '11/2/DSM|SE-BI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/9/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/13/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa sehubungan dengan adanya penerbitan ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan penambahan instrumen pasar uang dan pasar valuta asing, diperlukan penyesuaian terhadap pelaporan harian bank guna memenuhi kebutuhan informasi untuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum; 3 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Domestik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5926); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5927); 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM. Pasal I Bab III dan Bab IV Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2018. 3 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/13/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM I. UMUM Guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan sistem Laporan Harian Bank Umum untuk menghasilkan informasi yang lebih utuh, komprehensif, dan berkualitas, perlu dilakukan perluasan cakupan kandungan informasi yang dilaporkan, penyempurnaan sistem dan tata cara pelaporan Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Terkait dengan perluasan cakupan kandungan informasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Penyusunan dan Petunjuk Teknis LHBU sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/13/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 26 Juni 2018 </set_date> <effective_date> 2 Juli 2018 </effective_date> <changed_reg> '19/18/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '18/19/PBI/2016', '13/8/PBI/2011', '20/5/PBI/2018', '18/18/PBI/2016' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/39/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia di sektor moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang lebih efektif diperlukan dukungan informasi secara harian yang real time, tepat waktu, aman, akurat, andal, objektif, lengkap, dan mudah untuk diakses secara simultan; b. bahwa sehubungan dengan adanya penerbitan ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate, diperlukan penyesuaian terhadap pelaporan harian bank guna memenuhi kebutuhan informasi untuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum; 6 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/8/PBI/2011 tentang Laporan Harian Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5194); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/7/PBI/2018 tentang Indonesia Overnight Index Average dan Jakarta Interbank Offered Rate (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6227); 3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/13/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM. 6 Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang Laporan Harian Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/13/PADG/2018 tanggal 26 Juni 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (3) Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. b. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; c. posisi rekapitulasi transaksi derivatif; d. posisi devisa neto; e. pos-pos tertentu neraca; f. proyeksi arus kas; g. posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan h. posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a sampai dengan huruf f, huruf k, dan huruf l dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. (2) Penyampaian data nontransaksional berupa: a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; b. suku bunga kredit; dan c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. (3) Penyampaian data suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30 WIB. 2. Ketentuan ayat (4) Pasal 18 diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. posisi devisa neto; b. pos-pos tertentu neraca; dan c. proyeksi arus kas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf d, huruf e, dan huruf f dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (2) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah; b. suku bunga kredit; dan c. suku bunga deposito berjangka, diskonto sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan segera setelah diketahui adanya kesalahan dengan batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (3) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk: a. posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; 6 b. c. d. e. posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan pihak asing; posisi rekapitulasi transaksi derivatif; posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank; dan posisi harian dana usaha kantor cabang bank asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf a, huruf b, huruf c, huruf k, dan huruf l dilakukan paling lambat pukul 16.00 WIB pada Hari Kerja berikutnya. (4) Penyampaian koreksi LHBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) untuk suku bunga penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6) huruf j dilakukan paling lambat pukul 10.45 WIB pada Hari Kerja yang sama. 3. Subbab I.6 mengenai waktu penyampaian laporan dalam Bab I dan subbab III.17 mengenai form 501: suku bunga penawaran dalam Bab III Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2019. 6 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/39/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM I. UMUM Guna meningkatkan efisiensi transaksi di pasar uang, diperlukan adanya benchmark rate pasar uang yang kredibel dan transparan. Oleh karena itu, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Indonesia Overnight Index Average (IndONIA) dan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR). Penggunaan IndONIA dan JIBOR diharapkan dapat mengurangi kompleksitas kontrak keuangan rupiah di Indonesia. Sehubungan dengan penerbitan ketentuan tersebut, diperlukan penyesuaian sistem dan tata cara pelaporan LHBU, khususnya terkait pelaporan kuotasi suku bunga indikasi yang akan diproses menjadi JIBOR. Implementasi penyesuaian tersebut dituangkan dalam perubahan kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/18/PADG/2017 tentang Laporan Harian Bank Umum yang mengatur mengenai tata cara pelaporan LHBU. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 16 Ayat (1) Contoh: Data posisi devisa neto pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal 12 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 23.59 WIB. Ayat (2) Contoh: Data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah pada tanggal 10 April 2018 disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 10 April 2018 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Ayat (3) Contoh: Data suku bunga penawaran pada tanggal 10 April 2019 disampaikan pada tanggal tersebut, yaitu 10 April 2019 mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan pukul 10.30 WIB. Angka 2 Pasal 18 Ayat (1) Contoh: Koreksi data posisi devisa neto tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 11 April 2018 paling lambat pukul 23.59 WIB. Ayat (2) Contoh: Koreksi data tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah tanggal 9 April 2018 disampaikan pada tanggal 9 April 2018 paling lambat pukul 18.00 WIB. 3 Ayat (3) Contoh: Koreksi data posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan pihak asing posisi devisa neto pada tanggal 9 April 2018 disampaikan paling lambat pada tanggal 10 April 2018 pukul 16.00 WIB. Koreksi data posisi rekapitulasi transaksi derivatif pada tanggal 10 April 2018 disampaikan paling lambat tanggal 13 April 2018 pukul 16.00 WIB. Ayat (4) Contoh: Koreksi data suku bunga penawaran tanggal 10 April 2019 disampaikan paling lambat tanggal 10 April 2019 pukul 10.45 WIB. Angka 3 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/39/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/18/PADG/2017 TENTANG LAPORAN HARIAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 27 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2019 </effective_date> <changed_reg> '19/18/PADG/2017' </changed_reg> <extension_of> '20/13/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '13/8/PBI/2011', '20/13/PADG/2018', '19/18/PADG/2017', '20/7/PBI/2018' </related_reg>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/21/PADG/2017 TENTANG PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga keamanan dan kelancaran penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia diperlukan penyediaan dana prefund oleh masing-masing peserta; b. bahwa untuk mewujudkan penyediaan dana prefund oleh peserta yang semakin lancar dan efisien diperlukan penyesuaian terhadap jenis dan formula perhitungan prefund; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyediaan Prefund dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali 2 diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/15/PBI/2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6170); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan untuk memproses perhitungan hak dan kewajiban antarpeserta sistem kliring nasional Bank Indonesia yang setelmennya dilakukan pada waktu tertentu. 2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. 3. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 4. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan transfer dana. 3 5. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan kliring warkat debit. 6. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan pembayaran reguler. 7. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam layanan penagihan reguler. 8. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 9. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 10. Peserta Langsung Utama yang selanjutnya disingkat PLU adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana Peserta yang bersangkutan. 11. Peserta Langsung Afiliasi yang selanjutnya disingkat PLA adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara langsung dengan menggunakan infrastruktur SKNBI Peserta yang bersangkutan dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank pembayar. 12. Peserta Tidak Langsung yang selanjutnya disingkat PTL adalah Peserta yang mengirimkan DKE ke Penyelenggara secara tidak langsung melalui bank penerus dan setelmen dana dilakukan ke rekening setelmen dana bank penerus. 13. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 14. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik warkat debit. 4 15. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 16. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antar-Peserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 17. Prefund adalah dana yang disediakan oleh Peserta untuk memenuhi kewajiban dalam penyelenggaraan SKNBI. 18. Prefund Debit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler. 19. Prefund Kredit adalah Prefund yang disediakan untuk Layanan Transfer Dana dan Layanan Pembayaran Reguler. 20. Bank Pembayar adalah PLU yang ditunjuk oleh PLA untuk melaksanakan setelmen dana, penyediaan Prefund, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya dalam penyelenggaraan SKNBI. 21. Bank Penerus adalah PLU yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara untuk melaksanakan pengiriman DKE, penyediaan Prefund, setelmen dana, dan/atau pembayaran kewajiban lainnya untuk kepentingan PTL. 22. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang dilakukan berdasarkan perhitungan hak dan kewajiban masing- masing Peserta yang timbul dalam penyelenggaraan SKNBI. 23. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta dalam mata uang Rupiah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. 24. Sistem Sentral Kliring yang selanjutnya disingkat SSK adalah komponen SKNBI di Penyelenggara yang digunakan dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal. 5 25. Sistem Peserta Kliring yang selanjutnya disingkat SPK adalah komponen SKNBI di Peserta yang terhubung dengan SSK. 26. Periode Waktu Kegiatan adalah jangka waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara dalam satu hari kliring untuk melaksanakan kegiatan operasional setiap layanan dalam SKNBI. BAB II JENIS DAN PENGGUNAAN PREFUND Pasal 2 (1) Untuk memenuhi kewajiban dalam Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal, Peserta wajib menyediakan Prefund sesuai dengan Periode Waktu Kegiatan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Prefund Debit; dan b. Prefund Kredit. (3) Penyediaan Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk dana tunai (cash Prefund). (4) Periode Waktu Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 3 (1) PLU wajib menyediakan Prefund Debit dan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) PLA wajib menyediakan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 4 (1) Prefund sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditatausahakan pada sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dalam rekening milik Penyelenggara yang 6 digunakan khusus untuk menampung dana tunai (cash Prefund). (2) Penatausahaan dana tunai (cash Prefund) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) untuk masing-masing Peserta dilakukan di SSK. BAB III TATA CARA PENYEDIAAN PREFUND DEBIT Pasal 5 (1) Peserta wajib menyediakan Prefund Debit paling sedikit sebesar jumlah dari hasil netting Layanan Kliring Warkat Debit yang bersaldo debit (negatif) dan hasil netting Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif). (2) Penyediaan Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib dipenuhi oleh Peserta terdiri atas: a. minimum Prefund Debit yang disediakan Peserta; dan b. penambahan Prefund Debit dalam hal minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum memenuhi jumlah kewajiban penyediaan Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Perhitungan minimum Prefund Debit dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan jumlah netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar selama 12 (dua belas) bulan terakhir. (2) Contoh perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Data netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) bulan kedua belas yang diperhitungkan yaitu data transaksi sampai dengan tanggal 25 bulan yang bersangkutan. 7 (4) Dalam hal tanggal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur maka data netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) yang diperhitungkan yaitu data sampai dengan hari kerja terakhir sebelum tanggal 25 bulan tersebut. (5) Informasi minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses oleh Peserta melalui SPK setiap tanggal 26. (6) Dalam hal tanggal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur maka besarnya minimum Prefund Debit dapat diakses oleh Peserta melalui SPK pada hari kerja berikutnya. Pasal 7 Penyediaan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan oleh Peserta melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dengan cara melakukan transfer dana dari Rekening Setelmen Dana Peserta ke rekening milik Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Pasal 8 Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) bagi Peserta baru, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada hari pertama keikutsertaan Peserta, nilai minimum Prefund Debit yang harus disediakan yaitu sebesar Rp0,00 (nol rupiah); b. pada hari kerja berikutnya di bulan yang sama dengan tanggal keikutsertaan Peserta, nilai minimum Prefund Debit yang harus disediakan oleh Peserta ditetapkan berdasarkan netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar Peserta pada hari kerja sebelumnya sejak tanggal efektif kepesertaan; dan 8 c. nilai minimum Prefund Debit untuk bulan berikutnya ditetapkan sesuai dengan data historis yang dimiliki Peserta sebagai berikut: 1. dalam hal hari pertama keikutsertaan Peserta yaitu sebelum tanggal 26 maka nilai minimum Prefund Debit dihitung berdasarkan netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar Peserta pada bulan sebelumnya sejak tanggal efektif kepesertaan; atau 2. dalam hal hari pertama keikutsertaan Peserta yaitu setelah tanggal 26 maka nilai minimum Prefund Debit dihitung berdasarkan netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar Peserta pada hari kerja sebelumnya sejak tanggal efektif kepesertaan. Pasal 9 Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) bagi Peserta yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. sejak tanggal efektif penggabungan atau peleburan usaha sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan, nilai minimum Prefund Debit yang harus disediakan yaitu sebesar total nilai minimum Prefund Debit dari Peserta yang melakukan penggabungan atau peleburan usaha, yang telah ditetapkan pada awal bulan ketika Peserta tersebut belum melakukan penggabungan atau peleburan usaha; dan b. nilai minimum Prefund Debit untuk bulan berikutnya ditetapkan berdasarkan jumlah netting hasil kliring harian Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler yang bersaldo debit (negatif) terbesar, dalam bulan sebelumnya terhitung sejak tanggal efektif penggabungan atau peleburan usaha. 9 Pasal 10 Perhitungan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang wajib disediakan oleh Peserta yang melakukan perubahan kegiatan usaha dari konvensional menjadi berdasarkan prinsip syariah dilakukan dengan berdasarkan data historis nilai minimum Prefund Debit sebelum perubahan kegiatan usaha dilakukan. Pasal 11 (1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, pada hari yang sama harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan surat pernyataan kepada Penyelenggara mengenai tidak dipenuhinya kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit; dan b. sebelum surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan, Peserta terlebih dahulu menyampaikan informasi segera kepada Penyelenggara mengenai tidak dipenuhinya kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit beserta alasannya, melalui faksimile dan/atau sarana lainnya. (2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dan memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 10 BAB IV TATA CARA PENYEDIAAN PREFUND KREDIT Pasal 12 (1) Peserta wajib menyediakan Prefund Kredit paling sedikit sebesar jumlah dari hasil netting Layanan Transfer Dana yang bersaldo debit (negatif) dan hasil netting Layanan Pembayaran Reguler yang bersaldo debit (negatif). (2) Dalam hal Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) belum memenuhi jumlah kewajiban penyediaan Prefund sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta wajib melakukan penambahan Prefund Kredit. Pasal 13 (1) Mekanisme penyediaan Prefund Kredit untuk masing- masing Peserta diatur sebagai berikut: a. penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan, untuk PLU; dan b. penyediaan Prefund Kredit dilakukan oleh PLU yang menjadi Bank Pembayar dari PLA yang bersangkutan, untuk PLA. (2) Penyediaan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement dengan cara melakukan transfer dana dari Rekening Setelmen Dana PLU atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar ke rekening milik Penyelenggara dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. BAB V PENGEMBALIAN PREFUND Pasal 14 (1) Penyelenggara mengembalikan saldo Prefund yang tidak digunakan dalam perhitungan Layanan Transfer Dana, 11 Layanan Kliring Warkat Debit, Layanan Pembayaran Reguler, dan/atau Layanan Penagihan Reguler. (2) Saldo Prefund Debit dikembalikan oleh Penyelenggara ke Rekening Setelmen Dana PLU. (3) Saldo Prefund Kredit dikembalikan oleh Penyelenggara ke Rekening Setelmen Dana PLU atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar. (4) Periode pengembalian saldo Prefund Kredit dan Prefund Debit mengacu pada Periode Waktu Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I. BAB VI SANKSI Pasal 15 (1) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Penyelenggara dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta paling lama pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (3) Peserta yang dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dapat ikut serta dalam Layanan Kliring Warkat Debit dan Layanan Penagihan Reguler. (4) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta tidak memenuhi kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a sebanyak 6 (enam) kali, Peserta dapat dikenakan sanksi berupa penurunan status kepesertaan dari aktif menjadi ditangguhkan. 12 (5) Penyelenggara dapat mengubah kembali status Peserta dari ditangguhkan menjadi aktif berdasarkan kebijakan Penyelenggara. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message dan/atau sarana lainnya; dan c. koordinator pertukaran warkat debit yang di wilayah kerjanya terdapat perwakilan Peserta melalui surat atau sarana lainnya. Pasal 16 (1) Dalam hal Peserta tidak mampu memenuhi kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a, Peserta dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dari aktif menjadi ditangguhkan. (2) Penyelenggara dapat mengubah kembali status Peserta dari ditangguhkan menjadi aktif apabila Peserta dapat memenuhi kembali kewajiban penyediaan minimum Prefund Debit. (3) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat; b. seluruh Peserta melalui fasilitas administrative message dan/atau sarana lainnya; dan c. koordinator pertukaran warkat debit yang di wilayah kerjanya terdapat perwakilan Peserta melalui surat atau sarana lainnya. Pasal 17 (1) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b yang menyebabkan: 13 a. DKE Warkat Debit tidak diperhitungkan dalam Layanan Kliring Warkat Debit; atau b. DKE Penagihan tidak diperhitungkan dalam Layanan Penagihan Reguler, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (2) Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang menyebabkan: a. DKE Transfer Dana tidak diperhitungkan dalam Layanan Transfer Dana; atau b. DKE Pembayaran tidak diperhitungkan dalam Layanan Pembayaran Reguler, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per 1 (satu) hari kerja. (3) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar, paling lama pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Bab V dan Bab XVII huruf B Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/40/DPSP tanggal 30 Desember 2016, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 14 Pasal 19 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/21/PADG/2017 TENTANG PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA I. UMUM Untuk menjaga keamanan dan kelancaran Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia serta mendukung pelaksanaan prinsip no money no game, diperlukan adanya penyediaan dana Prefund oleh masing-masing Peserta. Oleh karena penyediaan Prefund oleh Peserta memiliki dampak terhadap likuiditas Peserta maka pengaturan mengenai kewajiban penyediaan Prefund oleh Peserta selain dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan juga perlu mempertimbangkan aspek efisiensi penyediaan dana. Penetapan jenis Prefund yang disediakan oleh Peserta dan formula perhitungan penyediaan minimum Prefund debit akan mendukung terselenggaranya penyelenggaraan SKNBI yang semakin lancar, aman, dan efisien. Penyediaan Prefund Debit dalam bentuk dana tunai (cash Prefund) dimaksudkan untuk meningkatkan kelancaran, keamanan, dan efisiensi dalam pengelolaan dana oleh Peserta. Dengan demikian tidak dikenal lagi penyediaan Prefund Debit dalam bentuk surat berharga (collateral Prefund). 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Kewajiban Prefund Kredit oleh PLU termasuk untuk memenuhi kewajiban Prefund Kredit bagi PTL apabila PLU yang bersangkutan bertindak sebagai Bank Penerus. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œnetting Layanan Kliring Warkat Debitโ€ adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Warkat Debit keluar yang tidak diretur oleh Peserta lain dan didukung oleh dana yang cukup (confirmed outgoing) dengan jumlah total nominal DKE Warkat Debit masuk (incoming) yang tidak diretur. Yang dimaksud dengan โ€œnetting Layanan Penagihan Regulerโ€ adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Penagihan keluar yang tidak diretur oleh Peserta lain dan didukung oleh dana yang cukup (confirmed outgoing) dengan jumlah total nominal DKE Penagihan masuk (incoming) yang tidak diretur. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. 3 Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan โ€œPeserta yang melakukan penggabunganโ€ adalah Peserta yang menggabungkan diri dan Peserta yang menerima penggabungan. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œnetting Layanan Transfer Danaโ€ adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Transfer Dana masuk yang didukung oleh dana yang cukup (confirmed incoming) dengan jumlah total nominal DKE Transfer Dana keluar (outgoing). Yang dimaksud dengan โ€œnetting Layanan Pembayaran Regulerโ€ adalah selisih antara jumlah total nominal DKE Pembayaran masuk yang didukung oleh dana yang cukup (confirmed incoming) dengan jumlah total nominal DKE Pembayaran keluar (outgoing). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Penyediaan Prefund Kredit oleh PLU dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban PLU yang bersangkutan dan PTL dalam hal PLU tersebut menjadi Bank Penerus PTL yang bersangkutan. 4 Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Peserta yang dikenakan sanksi kewajiban membayar adalah Peserta yang tidak menyediakan Prefund Debit karena kelalaian Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/21/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PENYEDIAAN PREFUND DALAM PENYELENGGARAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL OLEH BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 29 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2019 </effective_date> <replaced_reg> '18/7/DPSP|SE-BI/2016 | Bab V dan Bab XVII huruf B', '18/40/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/9/PBI/2015', '19/15/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/12/PADG/2018 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia untuk melakukan pengendalian moneter; b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai pembawaan uang kertas asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia dapat terlaksana dengan optimal maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman pelaksanaan pembawaan uang kertas asing; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pedoman Pelaksanaan Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6050) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/2/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6185); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Kertas Asing yang selanjutnya disingkat UKA adalah uang kertas dalam valuta asing yang resmi diterbitkan oleh suatu negara di luar Indonesia dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah di negara yang bersangkutan. 2. Pembawaan UKA adalah kegiatan memasukkan dan/atau mengeluarkan UKA ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau menggunakan jasa pihak lain, untuk kepentingan sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau barang bawaan penumpang. 3. Izin Pembawaan UKA adalah izin yang diberikan Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. 3 4. Badan Berizin adalah korporasi yang memperoleh Izin Pembawaan UKA. 5. Persetujuan Pembawaan UKA adalah persetujuan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin untuk Pembawaan UKA. 6. Daerah Pabean adalah daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. 7. Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 8. Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank yang selanjutnya disebut Penyelenggara KUPVA Bukan Bank adalah penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. 9. Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah yang selanjutnya disingkat PJPUR adalah penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah. 10. PJPUR Terdaftar adalah PJPUR yang telah melakukan pendaftaran ke Bank Indonesia untuk melakukan Pembawaan UKA. 11. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 12. Indonesia National Single Window yang selanjutnya disebut dengan Sistem INSW adalah Indonesia National Single Window sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penggunaan sistem elektronik dalam kerangka Indonesia National Single Window. 4 13. Sistem Aplikasi Pembawaan UKA adalah sistem berbasis web milik Bank Indonesia yang digunakan dalam proses administrasi kegiatan Pembawaan UKA. BAB II TATA CARA MEMPEROLEH IZIN SEBAGAI BADAN BERIZIN Bagian Kesatu Pihak yang Dapat Menjadi Badan Berizin Pasal 2 (1) Pembawaan UKA dengan jumlah yang nilainya paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) hanya dapat dilakukan oleh Badan Berizin. (2) Pihak yang dapat menjadi Badan Berizin terdiri atas: a. Bank; dan b. Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Bagian Kedua Persyaratan Badan Berizin Pasal 3 Bank yang mengajukan permohonan sebagai Badan Berizin harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang berwenang; dan b. memiliki izin sebagai bank devisa atau memperoleh persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran valuta asing dari otoritas yang berwenang. Pasal 4 Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang mengajukan permohonan sebagai Badan Berizin harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dari Bank Indonesia; 5 b. memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan c. memenuhi persyaratan operasional sebagai berikut: 1. memiliki pegawai yang menjalankan fungsi terkait Pembawaan UKA; 2. memiliki sarana teknologi informasi yang paling sedikit dapat terhubung dengan jaringan internet untuk mendukung Pembawaan UKA; 3. memiliki sistem manajemen risiko yang paling sedikit memiliki kebijakan dan prosedur tertulis terkait kegiatan Pembawaan UKA; dan 4. memenuhi persyaratan operasional lainnya sesuai dengan yang ditetapkan Bank Indonesia. Bagian Ketiga Tata Cara Pengajuan Permohonan sebagai Badan Berizin Pasal 5 (1) Permohonan sebagai Badan Berizin diajukan dengan surat dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh salah satu anggota direksi dari pihak Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dengan mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. nama korporasi; b. jenis korporasi; c. alamat kantor pusat; d. daftar dokumen yang dilampirkan; dan e. informasi pegawai yang ditugaskan untuk pengurusan permohonan sebagai Badan Berizin. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen paling sedikit sebagai berikut: a. bagi Bank: 6 1. fotokopi izin usaha sebagai Bank dari otoritas yang berwenang; 2. fotokopi izin sebagai bank devisa atau persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran valuta asing dari otoritas yang berwenang; 3. surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, yang telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh anggota direksi dengan dibubuhi meterai yang cukup; 4. daftar nama dan spesimen tanda tangan pejabat dan/atau staf yang ditunjuk oleh Bank sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan penandatanganan dokumen/korespondensi dalam berhubungan dengan Bank Indonesia terkait Pembawaan UKA; dan 5. fotokopi dokumen kebijakan dan prosedur tertulis terkait manajemen risiko kegiatan Pembawaan UKA. b. bagi Penyelenggara KUPVA Bukan Bank: 1. fotokopi surat keputusan pemberian izin usaha (KPmIU) sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dari Bank Indonesia; 2. fotokopi laporan keuangan perusahaan paling sedikit 1 (satu) tahun terakhir; 3. surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh anggota direksi dengan dibubuhi meterai yang cukup; 4. daftar nama dan spesimen tanda tangan pejabat dan/atau staf yang ditunjuk oleh Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan penandatanganan 7 dokumen/korespondensi dalam berhubungan dengan Bank Indonesia terkait Pembawaan UKA; 5. fotokopi dokumen kebijakan dan prosedur tertulis terkait manajemen risiko kegiatan Pembawaan UKA; dan 6. fotokopi anggaran dasar yang menunjukkan modal disetor paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 6 (1) Surat permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus disampaikan dengan cara diunggah melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. (2) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau mengalami gangguan maka surat permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 hanya dapat disampaikan secara langsung. (3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) ditujukan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank pemohon. (4) Dalam hal terjadi perubahan pembagian wilayah kerja Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menginformasikan perubahan tersebut secara tertulis dan/atau melalui media lainnya. Pasal 7 (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan atas surat permohonan dan kelengkapan dokumen yang disampaikan Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan notifikasi kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank: 8 a. melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA; atau b. secara langsung dan tertulis, dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau mengalami gangguan. (3) Dalam hal hasil pemeriksaan surat dan dokumen permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus menyampaikan fisik surat permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 secara langsung kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal hasil pemeriksaan surat dan dokumen permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak lengkap, maka penyampaian notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan bersamaan dengan pengembalian surat beserta seluruh dokumen permohonan kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Bagian Keempat Pemrosesan Permohonan sebagai Badan Berizin Pasal 8 (1) Untuk surat dan dokumen yang telah dinyatakan lengkap dan fisiknya telah diterima Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), Bank Indonesia melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kebenaran dan kesesuaiannya dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 setelah dokumen diterima secara lengkap. (2) Bank Indonesia dapat meminta Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank untuk menunjukkan asli dokumen, apabila diperlukan untuk memastikan keabsahan dokumen. 9 (3) Dalam hal dokumen yang disampaikan tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan maka Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank untuk menyesuaikan dokumen tersebut. (4) Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus menyampaikan kembali dokumen yang telah disesuaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan dari Bank Indonesia. (5) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia tidak menerima dokumen yang telah disesuaikan dari Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank maka Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dinyatakan telah membatalkan permohonan sebagai Badan Berizin. Pasal 9 (1) Dalam hal hasil penelitian surat dan dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dinyatakan telah benar dan sesuai dengan persyaratan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan pemenuhan persyaratan operasional secara langsung ke tempat kedudukan Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank dinilai belum memenuhi seluruh persyaratan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. (3) Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank harus melaksanakan tindakan yang diperlukan guna memenuhi seluruh persyaratan operasional paling lama 20 (dua 10 puluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 10 Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk memproses permohonan Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagai Badan Berizin. Pasal 11 (1) Berdasarkan proses permohonan sebagai Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, Bank Indonesia: a. menyetujui permohonan sebagai Badan Berizin; atau b. menolak permohonan sebagai Badan Berizin. (2) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan sebagai Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap dan sesuai. (3) Persetujuan atau penolakan sebagai Badan Berizin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan juga dengan notifikasi melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. Pasal 12 (1) Bank Indonesia memberikan surat izin sebagai Badan Berizin untuk melakukan kegiatan pembawaan UKA kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang permohonannya disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Surat izin sebagai Badan Berizin untuk melakukan kegiatan pembawaan UKA diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. (3) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi paling sedikit: a. penetapan sebagai Badan Berizin; 11 b. tanggal efektif dan masa berlakunya Izin Pembawaan UKA; dan c. informasi bahwa Badan Berizin dapat melakukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA. (4) Bank Indonesia memberikan surat penolakan kepada Bank atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Pasal 13 Bank Indonesia mengumumkan daftar Badan Berizin pada laman resmi Bank Indonesia dengan alamat www.bi.go.id. Bagian Kelima Perpanjangan Izin sebagai Badan Berizin Pasal 14 (1) Permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin disampaikan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. paling cepat 6 (enam) bulan sebelum izin sebagai Badan Berizin berakhir; dan b. paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin sebagai Badan Berizin berakhir. (2) Permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin disampaikan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin. (3) Dalam hal 3 (tiga) bulan sebelum izin sebagai Badan Berizin berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b jatuh pada hari libur maka batas akhir pengajuan permohonan perpanjangan izin yaitu pada hari kerja pertama setelah hari libur tersebut. (4) Dalam hal permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Badan Berizin dianggap tidak mengajukan perpanjangan izin. 12 Pasal 15 Tata cara permohonan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin dilakukan sebagai berikut: a. Badan Berizin mengajukan permohonan perpanjangan izin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA disertai dengan kelengkapan dokumen; dan b. kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. fotokopi dokumen perubahan data atas dokumen yang telah disampaikan oleh Badan Berizin pada saat mengajukan Izin Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), apabila ada; dan 2. daftar realisasi Pembawaan UKA 1 (satu) tahun terakhir yang disahkan oleh pejabat Badan Berizin. Pasal 16 (1) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau mengalami gangguan maka Badan Berizin dapat mengajukan permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melalui surat kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin. (2) Tata cara pemrosesan perpanjangan izin sebagai Badan Berizin dilakukan dengan mengacu pada tata cara pemrosesan permohonan sebagai Badan Berizin. BAB III PERSETUJUAN PEMBAWAAN UKA Bagian Kesatu Bentuk Persetujuan Pembawaan UKA Pasal 17 (1) Bank Indonesia memberikan Persetujuan Pembawaan UKA kepada Badan Berizin berupa: 13 a. persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA; dan b. persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA. (2) Periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu: a. Januari sampai dengan Maret; b. April sampai dengan Juni; c. Juli sampai dengan September; dan d. Oktober sampai dengan Desember. (3) Pemberian persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperhatikan jumlah kuota yang telah diberikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (4) Persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan untuk periode berjalan dan dapat diberikan untuk maksimal 1 (satu) periode setelahnya. Bagian Kedua Persetujuan Kuota Paragraf 1 Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kuota Pasal 18 (1) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a diajukan oleh Badan Berizin kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. (2) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: 14 a. proyeksi kebutuhan UKA per mata uang untuk periode yang diajukan dengan dibedakan antara keperluan Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean; b. detail rencana Pembawaan UKA untuk periode Pembawaan UKA yang bersangkutan; c. alasan Pembawaan UKA; dan d. pihak counterparty. (3) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung untuk permohonan persetujuan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank Indonesia dapat meminta data historis Pembawaan UKA kepada Badan Berizin yang baru pertama kali mengajukan permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tanggal pelaksanaan Pembawaan UKA. (6) Permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4). (7) Dalam hal 1 (satu) bulan sebelum tanggal pelaksanaan Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur maka batas akhir pengajuan permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA yaitu pada hari kerja pertama setelah hari libur dimaksud. Pasal 19 Bank Indonesia memberikan notifikasi kepada Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dalam hal persyaratan permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA telah atau belum diterima secara lengkap. 15 Pasal 20 Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) belum tersedia atau mengalami gangguan maka permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA dilakukan sebagai berikut: a. Badan Berizin mengajukan permohonan melalui surat yang ditandatangani oleh anggota direksi Badan Berizin dengan dilengkapi dokumen pendukung yang memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2); dan b. contoh surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengacu pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Persetujuan Kuota oleh Bank Indonesia Pasal 21 (1) Dalam hal persyaratan permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 telah diterima secara lengkap, Bank Indonesia memberikan: a. persetujuan terhadap seluruh jumlah kuota yang diajukan oleh Badan Berizin; b. persetujuan terhadap sebagian jumlah kuota yang diajukan oleh Badan Berizin; atau c. penolakan terhadap permohonan. (2) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah persyaratan permohonan persetujuan diterima secara lengkap. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b memuat informasi sebagai berikut: 16 a. jumlah kuota Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean untuk masing-masing mata uang; dan b. masa berlaku persetujuan. (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. peruntukan Pembawaan UKA; b. aspek historis Pembawaan UKA; c. kondisi makroekonomi; dan/atau d. pertimbangan lainnya. Pasal 22 Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau mengalami gangguan maka Bank Indonesia menginformasikan penolakan atau persetujuan permohonan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA melalui surat. Pasal 23 Bagi Badan Berizin yang ditolak permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c maka Badan Berizin yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA untuk periode berikutnya. Paragraf 3 Tata Cara Penambahan Kuota Pasal 24 (1) Badan Berizin dapat mengajukan permohonan penambahan kuota paling banyak 1 (satu) kali dalam periode persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA yang telah diberikan oleh Bank Indonesia. 17 (2) Permohonan penambahan kuota diajukan melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal Pembawaan UKA. (3) Permohonan penambahan kuota disampaikan kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin. (4) Permohonan penambahan kuota dilengkapi dengan informasi mengenai: a. kebutuhan tambahan kuota per mata uang; b. tujuan penambahan kuota; dan c. pihak counterparty. (5) Bank Indonesia dapat meminta dokumen pendukung untuk permohonan penambahan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau mengalami gangguan maka permohonan penambahan kuota disampaikan oleh Badan Berizin kepada Bank Indonesia melalui surel yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 25 (1) Dalam hal permohonan penambahan kuota telah diterima Bank Indonesia secara lengkap dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), Bank Indonesia memproses permohonan tersebut berdasarkan pertimbangan: a. peruntukan penambahan kuota; b. aspek historis Pembawaan UKA; c. kondisi makroekonomi; dan/atau d. pertimbangan lainnya. (2) Berdasarkan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberikan: a. persetujuan terhadap seluruh jumlah penambahan kuota; b. persetujuan terhadap sebagian jumlah penambahan kuota; atau 18 c. penolakan terhadap permohonan penambahan kuota. (3) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah persyaratan permohonan penambahan kuota diterima secara lengkap oleh Bank Indonesia. (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b memuat informasi mengenai jumlah kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean yang disetujui oleh Bank Indonesia untuk masing-masing mata uang. (5) Dalam hal permohonan penambahan kuota yang disampaikan oleh Badan Berizin kepada Bank Indonesia melalui surel disampaikan tidak secara lengkap maka Bank Indonesia tidak memproses permohonan penambahan kuota Badan Berizin. (6) Badan Berizin yang: a. permohonannya tidak diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) maka Badan Berizin dapat mengajukan kembali permohonan penambahan kuota dalam periode Pembawaan UKA berjalan dengan tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dalam Pasal 24; atau b. permohonan penambahan kuota ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c maka Badan Berizin yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permohonan penambahan kuota paling cepat pada periode Pembawaan UKA berikutnya. (7) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia atau mengalami gangguan maka Bank Indonesia menginformasikan persetujuan atau penolakan penambahan kuota melalui surel yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 19 Bagian Ketiga Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA Pasal 26 (1) Badan Berizin mengajukan permohonan persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b melalui: a. Sistem Aplikasi Pembawaan UKA bagi Pembawaan UKA yang melalui barang bawaan penumpang; atau b. sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan yang melalui jalur kargo. (2) Persetujuan atas setiap Pembawaan UKA mengurangi kuota Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b. (3) Pengurangan kuota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap Pembawaan UKA dengan nilai paling sedikit setara dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA diperoleh Badan Berizin melalui sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk: a. formulir persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA yang melalui barang bawaan penumpang; atau b. dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) atau pemberitahuan impor barang (PIB) bagi Pembawaan UKA yang melalui jalur kargo. (5) Bank Indonesia dapat menolak permohonan Persetujuan setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan: a. peruntukan Pembawaan UKA; b. aspek historis Pembawaan UKA; c. kondisi makroekonomi; dan/atau d. pertimbangan lainnya. (6) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a belum tersedia atau mengalami gangguan maka permohonan persetujuan 20 untuk setiap Pembawaan UKA diajukan melalui surel yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Paragraf 1 Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA Melalui Barang Bawaan Penumpang Pasal 27 (1) Permohonan persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengisi formulir persetujuan yang berisi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. rencana tanggal Pembawaan UKA; b. kategori Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean; c. negara asal atau negara tujuan Pembawaan UKA; d. pintu masuk atau pintu keluar pabean; e. alasan Pembawaan UKA; dan f. jumlah untuk masing-masing mata uang. (2) Formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicetak oleh Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. (3) Formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk Pembawaan UKA dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak rencana tanggal Pembawaan UKA. (4) Contoh formulir persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 28 Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA telah terintegrasi dengan sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan maka formulir persetujuan sebagaimana 21 dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat tidak dicetak oleh Badan Berizin. Paragraf 2 Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA Melalui Jalur Kargo Pasal 29 (1) Permohonan persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengisi informasi sebagai berikut: a. kode pengajuan untuk persetujuan setiap Pembawaan UKA yang dihasilkan dari sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan; dan b. alasan Pembawaan UKA. (2) Selain mengisi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Berizin juga mengunggah dokumen PEB atau PIB melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. (3) Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia atau mengalami gangguan maka Badan Berizin menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen PEB atau PIB melalui surel yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. BAB IV PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMBAWAAN UKA OLEH BADAN BERIZIN Bagian Kesatu Pembawaan UKA oleh Badan Berizin Pasal 30 (1) Pembawaan UKA oleh Badan Berizin dapat dilakukan: a. secara sendiri oleh Badan Berizin; dan/atau 22 b. menggunakan jasa PJPUR Terdaftar. (2) Pembawaan UKA secara sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dilakukan oleh pegawai Badan Berizin. (3) Pembawaan UKA dengan menggunakan jasa PJPUR Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan surat permintaan dari Badan Berizin. Bagian Kedua Pembawaan UKA melalui Barang Bawaan Penumpang Pasal 31 (1) Dalam hal Pembawaan UKA dilakukan secara sendiri oleh Badan Berizin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, pegawai Badan Berizin menyampaikan dokumen kepada petugas otoritas kepabeanan berupa dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. (2) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pegawai Badan Berizin juga menunjukkan kepada petugas otoritas kepabeanan berupa: a. b. c. formulir persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a; asli surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Badan Berizin; dan identitas pegawai Badan Berizin yang membawa UKA. (3) Dalam hal Pembawaan UKA dilakukan dengan menggunakan jasa PJPUR Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b, pegawai PJPUR Terdaftar menyampaikan dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan kepada petugas otoritas kepabeanan. 23 (4) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pegawai PJPUR Terdaftar juga menunjukkan kepada petugas otoritas kepabeanan berupa: a. formulir persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a; b. surat permintaan dari Badan Berizin untuk melakukan Pembawaan UKA; c. d. asli surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari PJPUR Terdaftar; dan identitas pegawai PJPUR Terdaftar yang membawa UKA. (5) Badan Berizin harus mengunggah formulir persetujuan yang telah dilengkapi, ditandatangani, dan divalidasi oleh petugas otoritas kepabeanan melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja terhitung sejak rencana tanggal pembawaan UKA. (6) Dalam hal Badan Berizin batal melakukan Pembawaan UKA, formulir persetujuan harus dilengkapi dan ditandatangani oleh Badan Berizin serta diunggah melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja terhitung sejak rencana tanggal Pembawaan UKA. Pasal 32 Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA belum tersedia atau mengalami gangguan pada saat Badan Berizin mengunggah formulir persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) maka Badan Berizin mengunggah formulir persetujuan setelah Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dapat digunakan disertai dengan keterangan bahwa terdapat gangguan dalam Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. Pasal 33 Dalam hal Sistem Aplikasi Pembawaan UKA telah terintegrasi dengan sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan maka validasi terhadap formulir 24 persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) dilakukan secara elektronik melalui sistem aplikasi kepabeanan. Bagian Ketiga Pembawaan UKA melalui Jalur Kargo Pasal 34 Tata cara Pembawaan UKA melalui jalur kargo mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan. BAB V TATA CARA PENYAMPAIAN PERUBAHAN DATA DAN/ATAU INFORMASI BAGI BANK Pasal 35 (1) Badan Berizin wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia melalui surat apabila terdapat perubahan data dan/atau informasi pada dokumen yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia pada saat pengajuan permohonan sebagai Badan Berizin. (2) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Badan Berizin terdiri atas: a. perubahan status; b. perubahan modal; c. perubahan nama; dan/atau d. perubahan alamat. (3) Perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Badan Berizin berupa Bank dilakukan setelah perubahan tersebut disetujui oleh otoritas yang berwenang. (4) Badan Berizin berupa Bank menyampaikan perubahan data dan/atau informasi secara tertulis disertai dengan fotokopi dokumen pendukung kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin. 25 (5) Badan Berizin berupa Bank harus menyampaikan perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah perubahan tersebut disetujui oleh otoritas yang berwenang. (6) Tata cara penyampaian perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf d bagi Badan Berizin berupa bank umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu bank umum. BAB VI TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 36 (1) Badan Berizin wajib menyampaikan laporan mengenai realisasi Pembawaan UKA untuk setiap periode Pembawaan UKA. (2) Laporan mengenai realisasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan berkala. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal terakhir periode Pembawaan UKA. (4) Laporan realisasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: a. jumlah realisasi Pembawaan UKA untuk masing- masing mata uang dalam 1 (satu) periode Pembawaan UKA, termasuk Pembawaan UKA dengan jumlah di bawah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); b. alasan Pembawaan UKA; dan c. pihak counterparty. 26 Pasal 37 (1) Badan Berizin menyampaikan laporan realisasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) melalui sistem aplikasi pelaporan Bank Indonesia. (2) Dalam hal sistem aplikasi pelaporan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau mengalami gangguan maka Badan Berizin menyampaikan laporan melalui surat kepada Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin. (3) Laporan realisasi Pembawaan UKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 38 Dalam mengenakan sanksi administratif, Bank Indonesia mempertimbangkan: a. b. tingkat kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau faktor lainnya. Pasal 39 (1) Tata cara pengenaan sanksi administratif oleh Bank Indonesia dilakukan sebagai berikut: a. pengenaan sanksi administratif disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin melalui surat; dan b. pengenaan sanksi administratif dapat disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait pelaksanaan Pembawaan UKA. (2) Dalam hal Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara Pembawaan 27 UKA, Bank Indonesia menetapkan jangka waktu pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara Pembawaan UKA. (3) Bank Indonesia menyampaikan informasi kepada instansi terkait mengenai pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara Pembawaan UKA dan pencabutan Izin Pembawaan UKA. Pasal 40 Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis atas pelanggaran kewajiban pelaporan perubahan data dan/atau informasi serta penyampaian laporan berkala, tidak meniadakan kewajiban bagi Badan Berizin untuk memenuhi kewajiban tersebut. BAB VIII KORESPONDENSI Pasal 41 (1) Kegiatan korespondensi terkait permohonan sebagai Badan Berizin bagi Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kotamadya Bekasi, Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 5 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Kegiatan korespondensi terkait persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA dan persetujuan untuk setiap kali pelaksanaan Pembawaan UKA bagi Badan Berizin yang berkantor pusat di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kotamadya Bekasi, 28 Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok, serta perubahan data dan informasi bagi Badan Berizin berupa bank umum disampaikan kepada: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Kegiatan korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi Badan Berizin yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kotamadya Bekasi, Kotamadya Bogor, dan Kotamadya Depok, serta perubahan data dan informasi bagi Badan Berizin berupa bank perkreditan rakyat disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang mewilayahi kantor pusat Badan Berizin yang bersangkutan. (4) Dalam hal alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terjadi perubahan, Bank Indonesia menginformasikan perubahan tersebut secara tertulis dan/atau melalui media lainnya. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 (1) Pengajuan permohonan sebagai Badan Berizin, Persetujuan Pembawaan UKA, tata cara Pembawaan UKA, penyampaian perubahan data dan/atau informasi serta laporan berkala mulai berlaku pada tanggal 4 Juni 2018. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 mulai berlaku pada tanggal 3 September 2018. Pasal 43 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 29 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Juni 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, SUGENG TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/12/PADG/2018 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia perlu melakukan penguatan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/2/PBI/2018 dalam rangka pengendalian moneter. Untuk memperjelas dan melakukan penguatan pengaturan kewenangan perizinan dan pengawasan oleh Bank Indonesia, perlu diatur lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan Pembawaan UKA khususnya terkait persyaratan, tata cara, pemrosesan, dan perpanjangan izin bagi Badan Berizin, tata cara persetujuan kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA, persyaratan dan tata cara persetujuan Pembawaan UKA, dan tata cara pengenaan sanksi dalam suatu Peraturan Anggota Dewan Gubernur. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. 2 Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œmodal disetorโ€ adalah modal disetor untuk pendirian Penyelenggara KUPVA Bukan Bank sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tersebut. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Contoh persyaratan operasional lainnya antara lain ketersediaan infrastruktur. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Angka 1 Dalam hal Bank yang mengajukan permohonan sebagai Badan Berizin tidak dapat menyampaikan fotokopi dokumen yang menunjukan izin usaha sebagai bank diakibatkan antara lain karena hilangnya dokumen maka Bank yang bersangkutan dapat menyampaikan dokumen relevan lainnya yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. 3 Angka 2 Dalam hal Bank yang mengajukan Izin Pembawaan UKA tidak dapat menyampaikan fotokopi dokumen yang menunjukan izin sebagai bank devisa atau persetujuan untuk melakukan kegiatan penukaran valuta asing dari otoritas yang berwenang diakibatkan antara lain karena hilangnya dokumen maka Bank yang bersangkutan dapat menyampaikan dokumen relevan lainnya yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œanggota direksiโ€ adalah paling sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA. Angka 4 Yang dimaksud dengan โ€œanggota direksiโ€ adalah paling sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA. Angka 5 Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Yang dimaksud dengan โ€œanggota direksiโ€ adalah paling sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. 4 Angka 6 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Penyampaian surat permohonan dan kelengkapan dokumen dengan cara mengunggah melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dimaksudkan agar Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak langsung mengirimkan fisik surat permohonan dan kelengkapan dokumen tersebut sebelum menerima notifikasi dari Bank Indonesia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œSistem Aplikasi Pembawaan UKA mengalami gangguanโ€ adalah apabila terdapat pemberitahuan adanya gangguan pada Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dari Bank Indonesia atau apabila Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank tidak dapat mengakses Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dengan alasan yang dapat diterima oleh Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Keharusan penyampaian fisik surat permohonan dan kelengkapan dokumen secara langsung kepada Bank Indonesia ditujukan kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank yang telah menyampaikan permohonannya melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. Ayat (4) Cukup jelas. 5 Pasal 8 Ayat (1) Penelitian terhadap kesesuaian dokumen antara lain dapat dilakukan melalui klarifikasi dokumen kepada Bank dan Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œsecara tertulisโ€ adalah melalui surat elektronik yang terkoneksi dengan Sistem Aplikasi Pembawaan UKA atau melalui surat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Pemeriksaan secara langsung kepada Bank dan/atau Penyelenggara KUPVA Bukan Bank antara lain mengenai kesiapan sarana dan prasarana serta mekanisme dan prosedur terkait Pembawaan UKA. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œsesuaiโ€ adalah termasuk pemenuhan persyaratan dalam hal dilakukan pemeriksaan secara langsung atas kesiapan operasional. 6 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Contoh: Apabila Izin Pembawaan UKA Badan Berizin berakhir pada tanggal 15 Mei 2023 maka Badan Berizin yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan UKA paling cepat tanggal 15 November 2022 dan paling lambat tanggal 15 Februari 2023. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Bagi Badan Berizin berupa Penyelenggara KUPVA Bukan Bank, pengajuan permohonan perpanjangan Izin Pembawaan UKA dapat disampaikan bersamaan dengan pengajuan permohonan perpanjangan izin sebagai Penyelenggara KUPVA Bukan Bank. 7 Angka 2 Daftar realisasi Pembawaan UKA selama 1 (satu) tahun terakhir termasuk Pembawaan UKA dengan jumlah di bawah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkuota per mata uang untuk 1 (satu) periode pembawaan UKAโ€ adalah kuota Pembawaan UKA ke dalam dan/atau ke luar Daerah Pabean. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpihak counterpartyโ€ adalah pihak yang menjual dan/atau membeli UKA di luar Daerah Pabean. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ antara lain dokumen underlying penjualan dan/atau pembelian UKA. Ayat (4) Periode data historis yang disampaikan yaitu data historis paling lama 1 (satu) tahun terakhir. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. 8 Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Yang dimaksud dengan โ€œanggota direksiโ€ adalah paling sedikit salah satu anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan Pembawaan UKA. Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpersetujuan terhadap sebagian jumlah kuotaโ€ adalah termasuk kuota per mata uang untuk 1 (satu) periode Pembawaan UKA. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Persetujuan atau penolakan oleh Bank Indonesia dapat diakses oleh Badan Berizin melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA yang telah terintegrasi dengan Sistem INSW. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œpertimbangan lainnyaโ€ antara lain aspek kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 Cukup jelas. 9 Pasal 23 Contoh: Apabila permohonan Persetujuan Pembawaan UKA dari Badan Berizin untuk periode Juli-September 2018 tidak disetujui oleh Bank Indonesia maka Badan Berizin tersebut dapat mengajukan permohonan Persetujuan Pembawaan UKA untuk periode Oktober- Desember 2018. Pasal 24 Ayat (1) Penambahan kuota yang diajukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pada periode Pembawaan UKA berjalan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œpihak counterpartyโ€ adalah pihak yang menjual dan/atau membeli UKA di luar Daerah Pabean. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpertimbangan lainnyaโ€ antara lain aspek kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 10 Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan antara lain aplikasi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), bagi Pembawaan UKA yang melalui jalur kargo. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Formulir persetujuan antara lain memuat kode persetujuan kuota berupa kode yang dihasilkan melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA. Kode persetujuan untuk setiap pembawaan UKA digunakan oleh otoritas kepabeanan untuk memastikan keaslian formulir persetujuan pada saat pelaksanaan Pembawaan UKA. Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œpertimbangan lainnyaโ€ antara lain aspek kepatuhan Badan Berizin terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan terdapat kebijakan pembatasan pembawaan UKA dari otoritas yang berwenang atas UKA tersebut. Ayat (6) Cukup jelas. 11 Pasal 27 Ayat (1) Formulir persetujuan untuk setiap Pembawaan UKA merupakan dokumen pelengkap kepabeanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Apabila Badan Berizin mencantumkan tanggal Pembawaan UKA adalah 20 Agustus 2018 maka Badan Berizin yang bersangkutan dapat menggunakan dokumen tersebut untuk Pembawaan UKA terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2018 sampai dengan tanggal 22 Agustus 2018. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Integrasi Sistem Aplikasi Pembawaan UKA dengan sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan berdampak pada pemrosesan dokumen kepabeanan secara elektronik. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpegawai Badan Berizinโ€ adalah personil Badan Berizin yang terdapat dalam struktur organisasi Badan Berizin termasuk anggota direksi, anggota komisaris, dan pegawai Badan Berizin yang memperoleh surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Badan Berizin. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œsurat permintaan dari Badan Berizinโ€ antara lain surat keterangan dari Badan Berizin yang diterbitkan 12 atas dasar perjanjian antara Badan Berizin dengan PJPUR Terdaftar. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpegawai Badan Berizinโ€ adalah personil Badan Berizin yang terdapat dalam struktur organisasi Badan Berizin termasuk anggota direksi, anggota komisaris, dan pegawai Badan Berizin yang memperoleh surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Badan Berizin. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpegawai PJPUR Terdaftarโ€ adalah personil PJPUR Terdaftar yang terdapat dalam struktur organisasi PJPUR Terdaftar termasuk anggota direksi, anggota komisaris, dan pegawai PJPUR Terdaftar yang memperoleh surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari PJPUR Terdaftar. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œsurat permintaan dari Badan Berizinโ€ antara lain surat keterangan dari Badan Berizin yang diterbitkan atas dasar perjanjian antara Badan Berizin dengan PJPUR Terdaftar. Huruf c Cukup jelas. 13 Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œpegawai PJPUR Terdaftarโ€ adalah personil PJPUR Terdaftar yang terdapat dalam struktur organisasi PJPUR Terdaftar termasuk anggota direksi, anggota komisaris, dan pegawai PJPUR Terdaftar yang memperoleh surat tugas yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari PJPUR Terdaftar. Ayat (5) Formulir persetujuan yang telah divalidasi oleh petugas otoritas kepabeanan melalui Sistem Aplikasi Pembawaan UKA tidak dapat digunakan kembali oleh Badan Berizin untuk Pembawaan UKA. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Huruf a Cukup jelas. 14 Huruf b Contoh faktor lainnya antara lain aspek perlindungan konsumen. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/12/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 4 Juni 2018 </set_date> <effective_date> 4 Juni 2018 </effective_date> <related_reg> '20/2/PBI/2018', '19/7/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/12/PADG/2017 TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah diperlukan upaya untuk memitigasi risiko terjadinya fluktuasi rupiah melalui suatu kerja sama antara Bank Indonesia dengan bank sentral atau otoritas moneter negara lain terkait dengan penyelesaian transaksi perdagangan bilateral; b. bahwa Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia telah menyepakati pembentukan kerangka kerja sama untuk mendorong penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dalam rupiah dan ringgit melalui kegiatan dan transaksi keuangan yang dapat dilakukan oleh bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral antara Indonesia dan Malaysia Menggunakan Rupiah dan Ringgit Melalui Bank; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6127); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan serta bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Dengan Menggunakan Rupiah dan Ringgit (Local Currency Settlement) yang selanjutnya disebut LCS Rupiah dan Ringgit adalah penyelesaian transaksi perdagangan bilateral yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia dan di Malaysia dengan menggunakan rupiah dan ringgit. 3. Bank yang Ditunjuk Untuk Melaksanakan Transaksi Mata Uang (Appointed Cross Currency Dealer Bank) yang selanjutnya disebut Bank ACCD adalah bank yang ditunjuk oleh Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia guna melakukan kegiatan dan transaksi 3 keuangan tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 4. Bank ACCD Indonesia adalah Bank ACCD di Indonesia. 5. Bank ACCD Malaysia adalah Bank ACCD di Malaysia. 6. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Rupiah yang selanjutnya disebut SNA Rupiah adalah rekening khusus milik Bank ACCD Malaysia dalam rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 7. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account Rupiah yang selanjutnya disebut Sub-SNA Rupiah adalah rekening khusus milik importir/eksportir Malaysia dalam rupiah yang dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 8. Rekening Special Purpose Non-Resident Account Ringgit yang selanjutnya disebut SNA Ringgit adalah rekening khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam ringgit yang dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 9. Rekening Sub-Special Purpose Non-Resident Account Ringgit yang selanjutnya disebut Sub-SNA Ringgit adalah rekening khusus milik importir/eksportir Indonesia dalam ringgit yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 10. Underlying Transaksi adalah seluruh kegiatan perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia, termasuk kegiatan pembiayaan perdagangan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. 11. Pembiayaan Perdagangan adalah pembiayaan yang diberikan Bank ACCD kepada importir/eksportir di Indonesia dan Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan perdagangan bilateral. 12. Eksportir adalah eksportir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan. 13. Importir adalah importir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perdagangan. 14. Hari adalah hari kerja. 4 BAB II PENUNJUKAN BANK ACCD Pasal 2 (1) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia menunjuk bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia. (2) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penetapan Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia secara efektif dapat mulai melakukan kegiatan operasional dan transaksi keuangan tertentu untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. (3) Penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria: a. kondisi kesehatan bank; b. kemampuan bank dalam memfasilitasi perdagangan antara Indonesia dan Malaysia; c. kemampuan bank dalam menjalin hubungan bisnis dengan perbankan di Indonesia dan di Malaysia; d. akses jaringan kantor bank di negara asal (home country) yaitu Indonesia atau Malaysia; dan/atau e. kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia. (4) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia melakukan evaluasi dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Ringgit. (5) Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia dapat mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia. 5 Pasal 3 (1) Untuk kepentingan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Bank Indonesia bersama Bank Negara Malaysia melakukan persiapan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia: a. meminta calon Bank ACCD Indonesia untuk mengajukan surat permohonan kepada Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia; b. menerima permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD Malaysia; c. melakukan pemrosesan permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia dan calon Bank ACCD Malaysia melalui koordinasi dengan Bank Negara Malaysia; d. persetujuan penunjukan Bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan bank sebagai Bank ACCD Malaysia; dan/atau e. kegiatan persiapan lainnya terkait penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia. (2) Penyampaian surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. memuat pernyataan minat dan kesiapan untuk menjadi Bank ACCD Indonesia serta usulan calon mitra Bank ACCD Indonesia di Malaysia; dan b. melampirkan surat permohonan dari calon mitra Bank ACCD Indonesia di Malaysia kepada Bank Indonesia, sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Indonesia kepada Bank Negara Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank Negara 6 Malaysia melalui calon mitra Bank ACCD Indonesia di Malaysia sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I. (4) Surat permohonan dari calon Bank ACCD Malaysia kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran I. Pasal 4 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia berkoordinasi dengan Bank Negara Malaysia. (2) Evaluasi terhadap Bank ACCD Malaysia dilakukan oleh Bank Negara Malaysia berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Ringgit. BAB III KEGIATAN DAN TRANSAKSI KEUANGAN BANK ACCD Bagian Kesatu Pembukaan SNA Rupiah dan SNA Ringgit Pasal 5 (1) Bank ACCD Indonesia dapat menerima pembukaan SNA Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari setiap Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. 7 (3) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga pada SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia. (4) Pemberian bunga pada SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia. Pasal 6 (1) Bank ACCD Indonesia membuka SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Ringgit pada setiap Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (3) Bank ACCD Indonesia menerima bunga atas SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemberian bunga pada SNA Ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Malaysia. Pasal 7 (1) Saldo setiap SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia pada Bank ACCD Indonesia dibatasi paling banyak sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. (2) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan saldo SNA Rupiah tidak melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari. (3) Saldo SNA Rupiah dapat melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari sepanjang Bank ACCD Indonesia menerima dokumen dari Bank ACCD Malaysia yang membuktikan bahwa kelebihan saldo SNA Rupiah tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara Indonesia dan Malaysia atau investasi pada aset keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya. 8 Pasal 8 (1) Bank ACCD Indonesia wajib memelihara saldo setiap SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia paling banyak sebesar MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari. (2) Dalam hal saldo SNA Ringgit pada akhir Hari melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka kelebihan saldo SNA Ringgit harus dijual kepada Bank Negara Malaysia dengan nilai tukar khusus yang ditetapkan oleh Bank Negara Malaysia. (3) Saldo SNA Ringgit dapat melebihi jumlah nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada akhir Hari apabila memperoleh persetujuan dari Bank Negara Malaysia. (4) Untuk memperoleh persetujuan dari Bank Negara Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank ACCD Indonesia harus menyampaikan permohonan beserta dokumen pendukung kepada Bank Negara Malaysia melalui Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia. (5) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Ringgit akan digunakan untuk membayar kewajiban perdagangan bilateral antara Indonesia dan Malaysia atau melakukan investasi pada aset keuangan dalam ringgit pada Hari berikutnya. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima oleh Bank Negara Malaysia paling lambat pada pukul 17.30 waktu Kuala Lumpur, Malaysia pada Hari terjadinya kelebihan saldo SNA Ringgit. 9 Bagian Kedua Pembukaan Sub-SNA Ringgit dan Sub-SNA Rupiah Paragraf 1 Pembukaan Rekening Sub-SNA Ringgit Pasal 9 Bank ACCD Indonesia menerima pembukaan rekening Sub- SNA Ringgit bagi Importir/Eksportir Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. Pasal 10 (1) Bank ACCD Indonesia memberikan bunga untuk Sub- SNA Ringgit. (2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Indonesia. Paragraf 2 Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA Ringgit Pasal 11 (1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Ringgit milik Importir/Eksportir Indonesia hanya bersumber dari: a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam ringgit dari importir di Malaysia; b. pembelian ringgit terhadap rupiah atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA Ringgit; dan/atau d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan Perdagangan dalam ringgit yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD Indonesia. 10 (2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Ringgit milik Importir/Eksportir Indonesia hanya dilakukan untuk: a. pembayaran impor barang dan jasa dalam ringgit kepada eksportir di Malaysia; b. penjualan ringgit terhadap rupiah atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dari devisa hasil ekspor dalam ringgit; c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam ringgit yang diterima Importir/Eksportir Indonesia dari Bank ACCD Indonesia; dan/atau d. transfer ringgit untuk kepentingan investasi Eksportir Indonesia pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia. Paragraf 3 Pembukaan Rekening Sub-SNA Rupiah Pasal 12 Bank ACCD Malaysia menerima pembukaan rekening Sub- SNA Rupiah bagi kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. Pasal 13 (1) Bank ACCD Malaysia memberikan bunga untuk Sub-SNA Rupiah. (2) Pemberian bunga pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kebijakan masing-masing Bank ACCD Malaysia. Paragraf 4 Penambahan dan Pengurangan Saldo Rekening Sub-SNA Rupiah Pasal 14 (1) Penambahan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik importir/eksportir Malaysia hanya bersumber dari: importir/eksportir Malaysia untuk 11 a. penerimaan devisa hasil ekspor dalam rupiah dari Importir di Indonesia; b. pembelian rupiah terhadap ringgit atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. penerimaan bunga atas saldo rekening Sub-SNA Rupiah; dan/atau d. penerimaan atas pencairan dana dari Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah yang diterima importir/eksportir Malaysia dari Bank ACCD Malaysia. (2) Pengurangan saldo rekening Sub-SNA Rupiah milik importir/eksportir Malaysia hanya dilakukan untuk: a. pembayaran impor barang dan jasa dalam rupiah kepada Eksportir di Indonesia; b. penjualan rupiah terhadap ringgit atau valuta asing melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dari devisa hasil ekspor dalam rupiah; c. pelunasan Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah yang diterima importir/eksportir Malaysia dari Bank ACCD Malaysia; dan/atau d. transfer rupiah untuk kepentingan investasi eksportir Malaysia pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. Bagian Ketiga Transaksi Rupiah dan Valuta Asing Terhadap Ringgit Paragraf 1 Transaksi Ringgit Antar Bank ACCD Pasal 15 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit untuk transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia untuk pengelolaan likuiditas tanpa Underlying Transaksi. 12 (2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah untuk transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Malaysia untuk keperluan pengelolaan likuiditas Bank ACCD Malaysia tanpa Underlying Transaksi. Paragraf 2 Transaksi Ringgit Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia Pasal 16 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit dengan Importir/Eksportir Indonesia yang didukung oleh Underlying Transaksi. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit dengan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Underlying Transaksi. Indonesia dengan didukung (3) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan melalui transaksi: a. b. tod; tom; c. spot; d. forward; dan/atau e. swap. (4) Nominal dan jangka waktu transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilarang melebihi nominal Underlying Transaksi dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi. (5) Importir/Eksportir Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan menggunakan Underlying Transaksi dalam denominasi mata uang selain ringgit. 13 Paragraf 3 Squaring Position Pasal 17 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit berupa transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan squaring position dengan Bank ACCD Indonesia, Bank ACCD Malaysia, atau non-Bank ACCD Malaysia. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melakukan squaring position sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan dengan Importir/Eksportir Indonesia dan/atau non-Bank ACCD Indonesia dengan cara: a. secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis) dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia tanpa Underlying Transaksi; atau b. secara gross (gross basis) dengan non-Bank ACCD Malaysia dengan didukung oleh Transaksi. Pasal 18 (1) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah berupa transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Malaysia. (2) Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi untuk pelaksanaan squaring position dari Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan importir/eksportir Malaysia dan/atau non-Bank ACCD Malaysia secara neto (net basis) atau secara gross (gross basis) tanpa Underlying Transaksi. Underlying 14 Bagian Keempat Penyelesaian Transaksi Pasal 19 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD Indonesia yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal dan wajib disertai dengan dokumen pendukung. (4) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 20 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), 15 dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan tanpa Underlying Transaksi. (4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awal. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 21 (1) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan: a. Bank ACCD Indonesia; b. Bank ACCD Malaysia; atau c. non-Bank ACCD Malaysia, untuk pelaksanaan squaring position sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dapat dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh atau secara netting. 16 (2) Penyelesaian transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit secara netting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk: a. perpanjangan transaksi (rollover); b. percepatan penyelesaian transaksi (early termination); dan/atau c. pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). (3) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan: a. Bank ACCD Indonesia atau Bank ACCD Malaysia, dilakukan tanpa dokumen pendukung; atau b. non-Bank ACCD Malaysia, dilakukan dengan dokumen pendukung. (4) Perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dan pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilakukan dengan Bank ACCD atau non-Bank ACCD Malaysia yang sama sesuai kontrak transaksi awal. (5) Contoh penyelesaian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kelima Pembiayaan Perdagangan Pasal 22 (1) Bank ACCD Indonesia dapat memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam ringgit kepada Importir/Eksportir Indonesia perdagangan dengan Malaysia. yang melakukan 17 (2) Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam berbagai jenis Pembiayaan Perdagangan yang lazim dilakukan. (3) Penyediaan dana dalam ringgit untuk Pembiayaan Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank ACCD Malaysia; dan/atau b. pinjaman langsung (direct borrowing) dalam ringgit dari Bank ACCD Indonesia lainnya dan/atau Bank ACCD Malaysia. Pasal 23 (1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan dalam ringgit dapat menggunakan dokumen Underlying Transaksi dalam denominasi mata uang selain ringgit. (2) Nominal dokumen Underlying Transaksi selain dalam ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam ekuivalen ringgit. Pasal 24 (1) Jumlah nominal pinjaman langsung (direct borrowing) dalam ringgit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi. (2) Jangka waktu pinjaman langsung (direct borrowing) dalam ringgit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) huruf b, dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. Pasal 25 (1) Untuk kepentingan pemberian fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah oleh Bank ACCD Malaysia 18 kepada importir/eksportir di Malaysia, Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan: a. transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward dan/atau swap dengan Bank ACCD Malaysia; dan/atau b. penempatan dalam rupiah pada Bank ACCD Malaysia. (2) Jumlah nominal penempatan dalam rupiah oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang melebihi jumlah nominal Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. (3) Jangka waktu penempatan dalam rupiah yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank ACCD Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilarang melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun dan dilarang melebihi jangka waktu Underlying Transaksi berupa Pembiayaan Perdagangan. Bagian Keenam Pengelolaan SNA Ringgit dan SNA Rupiah Pasal 26 (1) Untuk kepentingan pemenuhan saldo SNA Ringgit, Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Malaysia. (2) Dalam hal Bank ACCD Malaysia melakukan pemenuhan saldo SNA Rupiah, Bank ACCD Indonesia dapat melaksanakan transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap dengan Bank ACCD Malaysia. 19 Pasal 27 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo SNA Ringgit, Bank ACCD Indonesia dapat melakukan transaksi yang meliputi: a. investasi pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia; b. transaksi swap ringgit terhadap rupiah atau valuta asing dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau dengan Bank ACCD Malaysia; dan/atau c. konversi dari ringgit ke rupiah atau valuta asing lainnya melalui transaksi tod, tom, spot, dan/atau forward. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di Malaysia berupa deposito dan tabungan. (3) Dalam hal Bank ACCD Indonesia melakukan investasi pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia, pokok dan hasil dari investasi tersebut dapat ditransfer kembali ke SNA Ringgit. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disertai dengan dokumen pendukung. Bagian Ketujuh Pengelolaan Sub-SNA Ringgit dan Sub-SNA Rupiah Paragraf 1 Pengelolaan Sub-SNA Ringgit Pasal 28 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Ringgit, Eksportir Indonesia dapat melakukan investasi pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia. (2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Ringgit milik Eksportir Indonesia. (3) Importir Indonesia tidak dapat melakukan investasi atas saldo Sub-SNA Ringgit. 20 (4) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah investasi atas saldo Sub-SNA Ringgit milik Importir Indonesia. (5) Bank ACCD Indonesia wajib memastikan pelaksanaan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh dokumen pendukung. (6) Investasi yang dilakukan Eksportir Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dalam bentuk penempatan pada bank di Malaysia berupa deposito dan tabungan. Paragraf 2 Pengelolaan Sub-SNA Rupiah Pasal 29 (1) Untuk kepentingan pengelolaan saldo Sub-SNA Rupiah, eksportir Malaysia dapat melakukan investasi pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. (2) Pokok dan hasil investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah milik eksportir Malaysia. (3) Importir Malaysia tidak dapat melakukan investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah. (4) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melaksanakan perintah investasi atas saldo Sub-SNA Rupiah milik importir Malaysia. (5) Investasi yang dilakukan eksportir Malaysia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dalam bentuk penempatan pada Bank di Indonesia berupa deposito dan tabungan. Pasal 30 (1) Posisi gross transaksi swap ringgit terhadap rupiah atau valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Malaysia dilarang melebihi 21 MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) untuk setiap SNA Ringgit. (2) Posisi gross transaksi swap rupiah terhadap ringgit atau valuta asing yang dilakukan antara Bank ACCD Malaysia dengan Bank ACCD Malaysia lainnya atau Bank ACCD Indonesia tidak dapat melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) untuk setiap SNA Rupiah. Bagian Kedelapan Larangan Penarikan dan Penyetoran Sub-SNA Ringgit dan Sub-SNA Rupiah Secara Tunai Pasal 31 (1) Importir/Eksportir di Indonesia tidak dapat melakukan penyetoran dan penarikan dalam ringgit secara tunai pada Sub-SNA Ringgit. (2) Bank ACCD Indonesia dilarang melaksanakan perintah penyetoran dan penarikan dalam ringgit secara tunai pada Sub-SNA Ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 32 (1) Importir/eksportir di Malaysia tidak dapat melakukan penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai pada Sub-SNA Rupiah. (2) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melaksanakan perintah penyetoran dan penarikan dalam rupiah secara tunai pada Sub-SNA Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 22 Bagian Kesembilan Transfer Dana Pasal 33 Transfer ringgit dapat dilakukan sebagai berikut: a. antara Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD Indonesia lainnya atau Bank ACCD Malaysia yang berasal dari: 1. transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap; dan 2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk kepentingan Pembiayaan Perdagangan; b. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening non-SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia atau antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening non-SNA Ringgit milik non-Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening ringgit milik Bank ACCD Malaysia dan rekening ringgit milik non-Bank ACCD Malaysia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; d. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening ringgit milik importir/eksportir Malaysia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan e. antara SNA Ringgit milik Bank ACCD Indonesia dengan rekening ringgit milik bank di Malaysia atau perusahaan di Malaysia, untuk penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam ringgit di Malaysia. Pasal 34 Transfer rupiah dapat dilakukan sebagai berikut: a. antara Bank ACCD Malaysia dengan Bank ACCD Malaysia lainnya atau Bank ACCD Indonesia yang berasal dari: 23 1. transaksi ringgit atau valuta asing terhadap rupiah melalui transaksi tod, tom, spot, forward, dan/atau swap; dan 2. pinjaman langsung (direct borrowing) untuk kepentingan Pembiayaan Perdagangan; b. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan rekening non-SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia atau antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD Malaysia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; c. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan rekening rupiah milik Bank ACCD Indonesia dan non- Bank ACCD Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; d. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan rekening rupiah milik Importir/Eksportir Indonesia, untuk penyelesaian Underlying Transaksi; dan/atau e. antara SNA Rupiah milik Bank ACCD Malaysia dengan rekening non-SNA Rupiah milik non-Bank ACCD Indonesia atau perusahaan Indonesia, untuk penyelesaian investasi pada aset keuangan dalam rupiah di Indonesia. Pasal 35 Untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit, Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang menerima dana rupiah dari bank ACCD Malaysia atau dari Bank ACCD Indonesia yang ditujukan kepada rekening rupiah milik non-Bank ACCD Malaysia dapat menggunakan Underlying Transaksi berupa perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia. 24 Bagian Kesepuluh Kuotasi Harga Pasal 36 (1) Bank ACCD Indonesia wajib menerbitkan dan menampilkan kuotasi harga ringgit terhadap rupiah pada sarana penyedia informasi. (2) Dalam melakukan transaksi ringgit terhadap rupiah, Bank ACCD Indonesia wajib menggunakan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penetapan kuotasi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merefleksikan harga wajar yang terjadi di pasar valuta asing. Bagian Kesebelas Posisi Terbuka Transaksi Ringgit Pasal 37 (1) Bank ACCD Indonesia dapat memiliki posisi terbuka transaksi ringgit terhadap rupiah dan/atau valuta asing paling banyak sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari untuk setiap SNA Ringgit. (2) Posisi terbuka transaksi ringgit terhadap rupiah dan/atau valuta asing merupakan selisih bersih antara pembelian dan penjualan ringgit terhadap rupiah dan/atau valuta asing secara outright dari transaksi tod, tom, spot, dan/atau forward. (3) Contoh perhitungan posisi terbuka ringgit terhadap rupiah dan/atau valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 25 Bagian Kedua Belas Larangan Melakukan Transaksi Non-Deliverable Forward Pasal 38 (1) Bank ACCD Indonesia tidak dapat melakukan dan/atau memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF) rupiah atau valuta asing terhadap ringgit. (2) Bank ACCD Malaysia tidak dapat melakukan dan/atau memfasilitasi transaksi non-deliverable forward (NDF) ringgit atau valuta asing terhadap rupiah. BAB IV DOKUMEN UNDERLYING TRANSAKSI Pasal 39 (1) Dokumen Underlying Transaksi dapat berupa: a. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment); atau b. dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). (2) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dokumen yang menunjukkan bukti perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir Indonesia dan importir/eksportir Malaysia. (3) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dokumen perkiraan yang terkait dengan rencana penerimaan atau kebutuhan pembayaran perdagangan barang dan jasa antara Importir/Eksportir Indonesia dengan importir/eksportir Malaysia. (4) Perhitungan Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan rencana kebutuhan penerimaan atau 26 pembayaran perdagangan barang dan jasa paling lama 6 (enam) bulan. (5) Jangka waktu transaksi dengan menggunakan Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat melebihi 6 (enam) bulan sejak tanggal transaksi dan tidak dapat melebihi nominal perkiraan kebutuhan penerimaan atau pembayaran perdagangan barang dan jasa. (6) Dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung secara gross (gross basis). (7) Rincian dokumen Underlying Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 40 (1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom, dan/atau spot yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment). (2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi forward dan swap yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia yang bertindak untuk kepentingan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). Pasal 41 (1) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi tod, tom, dan/atau spot yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir 27 Indonesia, wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment). (2) Transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit melalui transaksi forward dan/atau swap yang dilakukan antara Bank ACCD Indonesia dan Importir/Eksportir Indonesia, wajib didukung dengan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis). Pasal 42 (1) Perpanjangan transaksi (rollover) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir dan non- Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf a, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan perubahan jangka waktu penyelesaian transaksi. (2) Percepatan penyelesaian transaksi (early termination) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa perusahaan di Malaysia atau di Indonesia melakukan percepatan penyelesaian transaksi. (3) Pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) atas transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan Bank ACCD Indonesia dengan Importir/Eksportir Indonesia dan non-Bank ACCD Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, wajib disertai dengan dokumen pendukung yang menjelaskan bahwa perusahaan di Malaysia atau di Indonesia telah membatalkan ekspor dan/atau impor atau telah terjadi perubahan nominal Underlying Transaksi. 28 Pasal 43 (1) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) dan/atau yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) pada tanggal transaksi. (2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung perpanjangan transaksi (rollover) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) pada tanggal perpanjangan transaksi (rollover) dilakukan. (3) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung percepatan penyelesaian transaksi (early termination) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) pada tanggal percepatan penyelesaian transaksi (early termination) dilakukan. (4) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen pendukung pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) pada tanggal pengakhiran transaksi (unwind/cancel up) dilakukan. Pasal 44 (1) Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia wajib didukung oleh dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) dari Importir/Eksportir Indonesia. (2) Bank ACCD Indonesia harus menerima dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat pengajuan Pembiayaan Perdagangan. Pasal 45 Untuk kepentingan kegiatan investasi pada aset keuangan dalam ringgit, Bank ACCD Indonesia wajib memastikan Eksportir Indonesia menyampaikan dokumen pendukung pada saat penyelesaian investasi dilakukan. 29 BAB V PENGAKHIRAN PENUNJUKAN BANK ACCD INDONESIA Pasal 46 (1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Bank Negara Malaysia dapat mengakhiri penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia. (2) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis pengakhiran penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia. (3) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia yang telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran penunjukan sebagai Bank ACCD, tidak dapat melakukan kegiatan dan transaksi keuangan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. (4) Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia yang telah menerima surat pemberitahuan pengakhiran penunjukan sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia, harus segera memberitahukan kepada nasabahnya mengenai: a. penghentian kegiatan bank sebagai Bank ACCD; dan b. mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban nasabah terkait: 1. penutupan SNA Rupiah, SNA Ringgit, Sub-SNA Rupiah, dan/atau Sub-SNA Ringgit; 2. pelunasan Pembiayaan Perdagangan; dan 3. hal lain terkait transaksi bank dengan nasabah untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. (5) Bank ACCD harus memiliki mekanisme untuk penyelesaian hak dan kewajiban kepada nasabah terkait dengan transaksi yang dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. 30 BAB VI PELAPORAN Pasal 47 (1) Bank ACCD Indonesia wajib menyusun dan menyampaikan laporan untuk kepentingan LCS Rupiah dan Ringgit kepada Bank Indonesia secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi formulir: a. transaksi valuta asing; b. posisi terbuka transaksi mata uang negara mitra; c. posisi saldo SNA mitra; d. transfer dana; e. posisi saldo dan mutasi sub-SNA mitra; dan f. posisi Pembiayaan Perdagangan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data selama 1 (satu) periode laporan yaitu dari tanggal 1 sampai dengan akhir bulan yang bersangkutan. (4) Penyusunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 48 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) disusun dan digabungkan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana format pada Lampiran VII. (2) Dalam hal tidak terdapat transaksi dan/atau posisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) dalam 1 (satu) periode laporan maka laporan tersebut tetap disampaikan berupa header. 31 Pasal 49 (1) Dalam hal terdapat kesalahan laporan yang telah disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia, Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan koreksi atas kesalahan laporan dimaksud. (2) Koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam 1 (satu) berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1). Pasal 50 (1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan secara offline kepada Bank Indonesia dengan menggunakan media surat elektronik kepada [email protected]. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat dan/atau media lainnya. Pasal 51 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya. (2) Dalam hal tanggal 14 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah maka laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja berikutnya. (3) Penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lambat pada pukul 16.00 WIB. (4) Dalam hal terdapat kesalahan pada laporan Bank ACCD Indonesia setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia tetap harus menyampaikan koreksi laporan. 32 (5) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka laporan dan/atau koreksi laporan disampaikan pada Hari kerja berikutnya setelah gangguan teknis dapat diatasi. (6) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank ACCD Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung. (7) Bank ACCD Indonesia dinyatakan telah menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan pada tanggal diterimanya laporan dan/atau koreksi laporan setelah memperoleh notifikasi dari Bank Indonesia melalui surat elektronik. Pasal 52 (1) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga mengakibatkan tidak tersedianya data selama 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk periode laporan tersebut. (2) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sehingga menyebabkan terhambatnya penyampaian laporan dan/atau koreksi laporan untuk 1 (satu) periode laporan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan untuk periode laporan tersebut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). (3) Bank ACCD Indonesia yang mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan setelah Bank ACCD Indonesia kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. 33 (4) Dalam hal Bank ACCD Indonesia mengalami keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank ACCD Indonesia harus segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank Indonesia disertai dengan bukti pendukung. Pasal 53 (1) Bank ACCD Indonesia dianggap menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan secara tidak lengkap apabila Bank ACCD Indonesia tidak menyampaikan seluruh laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan/atau koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51. (2) Bank ACCD Indonesia dianggap tidak menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan apabila Bank Indonesia belum menerima laporan dan/atau koreksi laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51. BAB VII KORESPONDENSI Pasal 54 (1) Penyampaian surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit disampaikan oleh Bank ACCD Indonesia kepada Bank Indonesia dan dialamatkan kepada Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, Gedung C, Lantai 5, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan menginformasikan perubahan alamat tersebut melalui surat dan/atau media lainnya. 34 BAB VIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 55 (1) Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa teguran tertulis kepada Bank ACCD Indonesia yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelesaian transaksi perdagangan bilateral menggunakan mata uang lokal (local currency settlement) melalui bank. (2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan tembusan kepada otoritas terkait. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 56 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, PERRY WARJIYO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/12/PADG/2017 TENTANG PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK I. UMUM Bank Indonesia dan Bank Negara Malaysia telah memiliki kesepakatan guna mendorong penggunaan mata uang lokal untuk penyelesaian transaksi perdagangan bilateral antara Indonesia dan Malaysia. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang tertentu yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Guna mendukung pelaksanaan kesepakatan tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/11/PBI/2017 tentang Penyelesaian Transaksi Perdagangan Bilateral Menggunakan Mata Uang Lokal (Local Currency Settlement) Melalui Bank. Sebagai pedoman pelaksanaan ketentuan tersebut diperlukan peraturan yang mengatur pelaksanaan kegiatan dan transaksi keuangan melalui skema LCS Rupiah dan Ringgit antara lain mencakup pembukaan rekening khusus dalam rupiah dan ringgit, pelaksanaan transaksi rupiah atau valuta asing terhadap ringgit, dan pemberian fasilitas Pembiayaan Perdagangan dalam rupiah dan ringgit. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Persetujuan penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia antara lain terkait dengan: 1. mitra Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia atau mitra pengganti; dan/atau 2. penyampaian informasi penunjukan bank sebagai Bank ACCD Indonesia dan Bank ACCD Malaysia. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Surat permohonan kepada Bank Negara Malaysia disampaikan dalam bahasa Inggris. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 3 Pasal 4 Ayat (1) Dalam melakukan evaluasi terhadap Bank ACCD Indonesia, Bank Indonesia dapat meminta masukan dan informasi dari Bank Negara Malaysia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pertimbangan mengenai perkembangan bisnis Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit serta kepatuhan Bank ACCD Indonesia terkait ketentuan yang mengatur mengenai LCS Rupiah dan Ringgit antara lain diperoleh berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil koordinasi antara Bank Indonesia dengan otoritas terkait lainnya. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia. Bank A hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat menerima permintaan pembukaan 1 (satu) SNA Rupiah dari Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 4 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Bank A dan Bank B adalah Bank ACCD Indonesia. Bank A bermitra dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia dan Bank B bermitra dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia. Bank A hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank A (dalam contoh ini Bank X). Bank B hanya dapat membuka 1 (satu) SNA Ringgit pada Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra Bank B (dalam contoh ini Bank Y). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia memiliki SNA Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Pada tanggal 1 Februari 2018, SNA Rupiah milik Bank X tersebut menerima transfer rupiah sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) untuk eksportir Malaysia atas penjualan barang kepada Importir Indonesia. Jumlah saldo SNA Rupiah Bank X tersebut berpotensi melebihi Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus menginformasikan kepada Bank X untuk mengurangi saldo SNA Rupiah hingga jumlahnya paling banyak sebesar Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. 5 Ayat (3) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia memiliki SNA Rupiah pada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Pada tanggal 1 Februari 2018, Bank X memiliki saldo SNA Rupiah sebesar Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah) pada akhir Hari. Bank X harus memberikan dokumen kepada Bank A yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Rupiah sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban impor kepada Eksportir di Indonesia atau investasi pada aset keuangan dalam rupiah pada Hari berikutnya. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Permohonan beserta dokumen pendukung disampaikan melalui Bank ACCD Malaysia yang merupakan mitra dari Bank ACCD Indonesia dimana saldo SNA Ringgit melebihi MYR100,000,000.00 (seratus juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari. Contoh: Pada tanggal 1 Maret 2018, Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memiliki saldo SNA Ringgit pada Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia sebesar MYR120,000,000.00 (seratus dua puluh juta ringgit Malaysia) pada akhir Hari. Oleh karena itu, Bank A harus mengajukan permohonan beserta dokumen pendukung kepada Bank Negara Malaysia melalui Bank X yang menjelaskan bahwa kelebihan saldo SNA Ringgit tersebut sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia) akan digunakan untuk membayar kewajiban impor 6 kepada eksportir di Malaysia atau melakukan investasi pada aset keuangan dalam ringgit pada Hari berikutnya. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT X yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) karena menerima hasil penjualan barang kepada importir Malaysia. Huruf b Contoh: Importir Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran impor kepada eksportir Malaysia. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-SNA Ringgit milik Importir Indonesia bertambah sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT X yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR10,000.00 (sepuluh ribu ringgit Malaysia) karena memperoleh bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Ringgit. 7 Huruf d Contoh: Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT Y yang merupakan Eksportir Indonesia bertambah sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) karena menerima pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia. Ayat (2) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT A yang merupakan Importir Indonesia berkurang sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) karena digunakan untuk membayar pembelian barang kepada eksportir Malaysia. Huruf b Contoh: Eksportir Indonesia melakukan transaksi spot jual MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank ACCD Indonesia untuk mengkonversi devisa hasil ekspor dalam ringgit. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub-SNA Ringgit milik Eksportir Indonesia berkurang sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Ringgit milik PT Y yang merupakan Importir Indonesia berkurang sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) karena digunakan untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Indonesia. Huruf d Contoh: PT D yang merupakan Eksportir Indonesia melakukan pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah Malaysia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub- 8 SNA Ringgit milik PT D berkurang MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima hasil penjualan barang kepada Importir Indonesia. Huruf b Contoh: Importir Malaysia melakukan transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank ACCD Malaysia untuk pembayaran impor kepada Eksportir Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub- SNA Rupiah milik importir Malaysia bertambah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) karena memperoleh bunga dari rata-rata saldo Sub-SNA Rupiah. Huruf d Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Berhad yang merupakan eksportir Malaysia bertambah sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena menerima sebesar 9 pencairan dana dari fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Malaysia. Ayat (2) Huruf a Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad yang merupakan importir Malaysia berkurang sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena digunakan untuk membayar pembelian barang kepada Eksportir Indonesia. Huruf b Contoh: Eksportir Malaysia melakukan transaksi spot jual IDR/MYR sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank ACCD Malaysia untuk mengkonversi devisa hasil ekspor dalam rupiah. Berdasarkan transaksi tersebut, Sub- SNA Rupiah milik eksportir Malaysia berkurang sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Huruf c Contoh: Rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan Y Berhad yang merupakan importir Malaysia berkurang sebesar Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah) karena digunakan untuk melunasi fasilitas Pembiayaan Perdagangan yang diberikan oleh Bank ACCD Malaysia. Huruf d Contoh: Perusahaan X Berhad yang merupakan eksportir Malaysia melakukan pembelian surat berharga atau obligasi pemerintah Indonesia sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan transaksi tersebut, rekening Sub-SNA Rupiah milik perusahaan X Berhad berkurang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 15 Cukup jelas. 10 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œnon-Bank ACCD Indonesiaโ€ adalah Bank di Indonesia yang bukan merupakan Bank ACCD. Contoh: Bank B yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) kepada Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan Importir A di Indonesia yang akan melakukan pembayaran pembelian barang kepada eksportir di Malaysia. Pembelian MYR/IDR oleh Bank B tersebut didukung oleh Underlying Transaksi dari Importir A. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Importir B di Indonesia sesuai kontrak penjualan (sales contract) memiliki kewajiban kepada eksportir di Malaysia yang akan jatuh waktu 1 (satu) bulan sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Importir B melakukan transaksi pembelian MYR/IDR melalui transaksi forward paling banyak sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Ayat (5) Contoh: Importir C di Indonesia bermaksud untuk melunasi tagihan dari eksportir X di Malaysia sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia) dengan kurs USD/MYR sebesar 4.22. Berdasarkan tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia). 11 Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œsquaring positionโ€ adalah transaksi yang dilakukan Bank ACCD Indonesia untuk menihilkan posisi terbuka yang timbul dari transaksi sebelumnya. Yang dimaksud dengan โ€œnon-Bank ACCD Malaysiaโ€ adalah bank di Malaysia yang bukan merupakan Bank ACCD. Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi dengan Importir A tersebut, Bank B dapat melakukan squaring position dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia berupa transaksi forward beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) tanpa Underlying Transaksi. Ayat (2) Huruf a Contoh: Importir A di Indonesia melakukan pembelian MYR/IDR kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia melalui transaksi spot sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Kemudian, Eksportir B di Indonesia melakukan penjualan MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR7,000,000.00 (tujuh juta ringgit Malaysia) kepada Bank B. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B dapat melakukan squaring position secara net basis dengan melakukan pembelian MYR/IDR kepada Bank ACCD Malaysia lainnya sebesar MYR3,000,000.00 (tiga juta ringgit Malaysia) yang merupakan selisih dari MYR10,000,000.00 โ€“ MYR7,000,000.00. Huruf b Contoh: Importir C di Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR kepada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Indonesia melalui transaksi MYR10,000,000.00 (sepuluh juta spot sebesar ringgit Malaysia). 12 Eksportir B juga melakukan penjualan MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR7,000,000.00 (tujuh juta ringgit Malaysia) kepada Bank Y. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat melakukan squaring position secara gross basis dengan melakukan transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) dan transaksi spot jual MYR/IDR sebesar MYR7,000,000.00 (tujuh juta ringgit Malaysia) dengan non-Bank ACCD Malaysia disertai dengan Underlying Transaksi. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Importir A di Malaysia melakukan pembelian IDR/MYR kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melalui transaksi spot sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian, Eksportir B di Malaysia melakukan penjualan IDR/MYR melalui transaksi spot sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) kepada Bank X. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank X dapat melakukan squaring position secara net basis dengan melakukan pembelian IDR/MYR kepada Bank ACCD Indonesia dengan melakukan transaksi spot sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) yang merupakan selisih dari Rp1.000.000.000,00 โ€“ Rp600.000.000,00. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œnettingโ€ adalah penyelesaian transaksi yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs. Ayat (2) Cukup jelas. 13 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ adalah dokumen di luar Underlying Transaksi yang membuktikan terjadinya perpanjangan transaksi (rollover), percepatan penyelesaian transaksi (early termination), dan/atau pengakhiran transaksi (unwind/cancel up). Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œnettingโ€ adalah penyelesaian transaksi yang dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh sehingga yang bergerak hanya sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi (notional) dengan selisih kurs. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œBank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awalโ€ adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 14 Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œBank ACCD yang sama sesuai dengan kontrak transaksi awalโ€ adalah Bank ACCD Indonesia dan/atau Bank ACCD Malaysia. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œjenis Pembiayaan Perdagangan yang lazim dilakukanโ€ antara lain letter of credit (L/C), standby L/C, trust receipt, atau letter of guarantee. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Contoh: Importir C di Indonesia melakukan pembelian barang sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dari eksportir X di Malaysia. Importir C membuka letter of credit di Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk melunasi tagihan dari eksportir X di Malaysia sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalen sebesar MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia) dengan kurs USD/MYR sebesar 4.22. Berdasarkan tagihan tersebut, Importir C dapat melakukan pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot sebesar MYR422,000.00 (empat ratus dua puluh dua ribu ringgit Malaysia). Ayat (2) Cukup jelas. 15 Pasal 24 Ayat (1) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia bermaksud untuk memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir B di Indonesia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Bank A dapat melakukan pinjaman langsung kepada Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia paling banyak sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Dalam hal ini, Underlying Transaksi berupa fasilitas Pembiayaan Perdagangan. Ayat (2) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada Importir D di Indonesia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia) dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang sumber dananya didanai oleh pinjaman langsung (direct borrowing) dari Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia. Pinjaman langsung yang dilakukan antara Bank A kepada Bank X paling lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 3 (tiga) bulan. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia bermaksud memberikan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Malaysia sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Dalam hal ini, Bank B melakukan penempatan dalam rupiah kepada Bank X 16 paling banyak sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah). Ayat (3) Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan fasilitas Pembiayaan Perdagangan kepada importir Y di Malaysia sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan jangka waktu 5 (lima) bulan. Berdasarkan Underlying Transaksi tersebut, Bank X melakukan pinjaman langsung dalam rupiah kepada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) dengan tenor 5 (lima) bulan. Dengan demikian, penempatan dalam rupiah yang dilakukan oleh Bank B kepada Bank X paling lama sama dengan jangka waktu Pembiayaan Perdagangan yaitu 5 (lima) bulan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia membeli obligasi pemerintah/surat berharga negara Malaysia sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) sehingga dapat mengurangi saldo SNA Ringgit pada akhir Hari. Huruf b Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi swap MYR/IDR atau MYR/USD sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia atau dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia sehingga mengurangi saldo SNA Ringgit. 17 Huruf c Contoh: Bank C yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan konversi ringgit ke rupiah sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) melalui transaksi spot sehingga mengurangi jumlah saldo SNA Ringgit. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan investasi pada surat berharga negara Malaysia sebesar MYR30,000,000.00 (tiga puluh juta ringgit Malaysia) dengan kupon 3% (tiga persen) per tahun. Berdasarkan investasi tersebut, pada saat jatuh waktu pembayaran kupon Bank A menerima kupon sebesar MYR225,000.00 (dua ratus dua puluh lima ribu ringgit Malaysia). Penerimaan kupon tersebut dapat ditransfer ke rekening SNA Ringgit milik Bank A. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ antara lain bukti investasi atau kepemilikan aset keuangan dalam ringgit di Malaysia. Pasal 28 Ayat (1) Contoh: Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo SNA Ringgit tersebut, Eksportir A dapat melakukan pembelian saham di Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit Malaysia). Ayat (2) Contoh: Eksportir B di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Ringgit tersebut, Eksportir B dapat melakukan pembelian saham 18 di Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit Malaysia). 6 (enam) bulan kemudian, Eksportir B bermaksud untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Ringgit pada Bank ACCD Indonesia. Ayat (3) Contoh: Importir C di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya berasal dari pembelian MYR/IDR melalui transaksi spot untuk pembayaran kewajiban kepada eksportir di Malaysia. Berdasarkan saldo Sub-SNA Ringgit tersebut, Importir C tidak dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di Malaysia mengingat dana tersebut ditujukan untuk membayar kewajiban kepada eksportir di Malaysia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Eksportir A di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Eksportir A melakukan pembelian saham di Malaysia sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit Malaysia). Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Bank B wajib memastikan Eksportir A menyampaikan dokumen pendukung antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian saham. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Contoh: Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah 19 tersebut, Eksportir X dapat melakukan pembelian saham di Indonesia sebesar Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Contoh: Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, eksportir X dapat melakukan pembelian saham di Indonesia sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 6 (enam) bulan kemudian, eksportir X bermaksud untuk menjual saham. Dana hasil penjualan saham tersebut tidak dapat ditransfer kembali ke Sub-SNA Rupiah eksportir X pada Bank ACCD Malaysia. Ayat (3) Contoh: Importir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dananya berasal dari pembelian IDR/MYR melalui transaksi spot untuk pembayaran kewajiban kepada Eksportir di Indonesia. Berdasarkan saldo Sub-SNA Rupiah tersebut, importir X tidak dapat menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di Indonesia mengingat dana tersebut ditujukan untuk membayar kewajiban kepada Eksportir di Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi swap beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Bank A kemudian melakukan transaksi swap jual MYR/IDR sebesar MYR5,000,000.00 (lima juta ringgit Malaysia) dengan Bank X yang merupakan Bank ACCD 20 Malaysia. Dengan demikian, Bank A memiliki posisi gross transaksi swap sebesar MYR15,000,000.00 (lima belas juta ringgit Malaysia). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Yang dimaksud dengan โ€œnon-SNA Ringgitโ€ adalah rekening ringgit pada bank di Malaysia. Huruf a Contoh: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank B dapat melakukan transfer ringgit kepada Bank A paling banyak sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Huruf b Contoh 1: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia melakukan transfer ringgit sebesar MYR1,000,000.00 (satu juta ringgit Malaysia) dari rekening SNA Ringgit milik Bank A ke rekening ringgit lainnya (non-SNA Ringgit) milik Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Contoh 2: Bank C yang merupakan non-Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR500,000.00 (lima ratus ribu ringgit Malaysia) dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan nasabahnya yang merupakan Importir 21 Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari Malaysia. Berdasarkan transaksi tersebut Bank D dapat melakukan transfer dari rekening SNA Ringgit milik Bank D ke rekening ringgit milik Bank C pada bank di Malaysia (non-SNA ringgit) sebesar MYR500,000.00 (lima ratus ribu ringgit Malaysia). Huruf c Contoh: Importir A di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Ringgit pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari eksportir X di Malaysia yang memiliki rekening ringgit pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan transaksi Importir A tersebut, Bank B akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Ringgit Importir A pada Bank B sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia); dan 2. meminta Bank Y untuk mendebit SNA Ringgit milik Bank B pada Bank Y sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) untuk selanjutnya ditransfer kepada rekening ringgit milik eksportir X pada non-Bank ACCD di Malaysia. Huruf d Contoh: Importir C di Indonesia yang memiliki Sub-SNA Ringgit pada Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari eksportir Y di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan transaksi Importir C, Bank D akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Ringgit milik Importir C pada Bank D sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia); dan 2. mentransfer ringgit dari SNA Ringgit milik Bank Y pada Bank ACCD Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua 22 puluh juta ringgit Malaysia) kepada rekening ringgit milik eksportir Y pada Bank ACCD di Malaysia. Huruf e Contoh: Eksportir E di Indonesia memiliki saldo Sub-SNA Ringgit sebesar MYR40,000,000.00 (empat puluh juta ringgit Malaysia) yang diperoleh dari devisa hasil ekspor pada Bank F yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Eksportir E melalui perusahaan sekuritas di Malaysia bermaksud melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia). Berdasarkan perintah Eksportir E, Bank F akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Ringgit milik Eksportir E pada Bank F sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia); dan 2. transfer ringgit dari SNA Ringgit milik Bank F pada Bank ACCD Malaysia kepada rekening ringgit milik perusahaan sekuritas pada bank di Malaysia untuk penyelesaian pembelian obligasi oleh Eksportir E sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia). Pasal 34 Yang dimaksud dengan โ€œnon-SNA Rupiahโ€ adalah rekening rupiah pada Bank di Indonesia. Huruf a Contoh: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dengan Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank A dapat melakukan transfer rupiah kepada Bank X sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). 23 Huruf b Contoh 1: Bank X yang merupakan Bank ACCD Malaysia melakukan transfer rupiah sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dari rekening SNA Rupiah milik Bank X ke rekening rupiah lainnya (non-SNA Rupiah) milik Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia. Contoh 2: Bank X yang merupakan non-Bank ACCD Malaysia melakukan transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan nasabahnya yang merupakan importir Malaysia dengan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang dari Indonesia. Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Y dapat melakukan transfer dari rekening SNA Rupiah milik Bank Y ke rekening rupiah (non-SNA Rupiah) milik Bank X pada Bank di Indonesia sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Huruf c Contoh: Importir X di Malaysia yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari Eksportir A di Indonesia yang memiliki rekening rupiah pada Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). Bank Y memiliki rekening SNA Rupiah pada Bank B. Berdasarkan transaksi importir X tersebut, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah importir X pada Bank Y sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah); dan 2. meminta Bank B untuk mendebit SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank B sebesar Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) untuk selanjutnya dipindahbukukan kepada rekening rupiah milik Eksportir A pada Bank B. 24 Huruf d Contoh: Importir X di Malaysia yang memiliki Sub-SNA Rupiah pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia akan melakukan pembayaran kewajiban atas pembelian barang dari Eksportir A di Indonesia sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Berdasarkan transaksi importir X, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik importir X pada Bank Y sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); dan 2. mentransfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank ACCD Indonesia sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) ke rekening rupiah milik Eksportir A pada Bank ACCD di Indonesia. Huruf e Contoh: Eksportir X di Malaysia memiliki saldo Sub-SNA Rupiah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) pada Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia yang diperoleh dari devisa hasil ekspor. Eksportir X melalui perusahaan sekuritas di Indonesia bermaksud melakukan investasi atas sebagian dana tersebut dalam bentuk obligasi di Indonesia sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Berdasarkan perintah eksportir X, Bank Y akan melakukan: 1. pendebitan Sub-SNA Rupiah milik eksportir X pada Bank Y sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); dan 2. transfer rupiah dari SNA Rupiah milik Bank Y pada Bank ACCD Indonesia ke rekening rupiah milik perusahaan sekuritas pada Bank di Indonesia untuk penyelesaian pembelian obligasi oleh eksportir X sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 25 Pasal 35 Contoh 1: Importir D di Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR kepada Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia sebesar MYR100,000.00 (seratus ribu ringgit Malaysia) untuk pembayaran impor barang kepada eksportir Malaysia dengan Underlying Transaksi berupa invoice. Atas posisi tersebut Bank A melakukan squaring position dengan Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Malaysia berupa transaksi spot beli MYR/IDR sebesar MYR100,000.00 (seratus ribu ringgit Malaysia) dengan kurs MYR/IDR sebesar 3,200. Pada saat jatuh waktu Bank A akan mentrasfer dana rupiah sebesar Rp320.000.000,00 (tiga ratus dua puluh juta rupiah) kepada rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang oleh Importir D. Contoh 2: Bank Z yang merupakan non-Bank ACCD Malaysia melakukan transaksi spot beli IDR/MYR sebesar Rp320.000.000,00 (tiga ratus dua puluh juta rupiah) dengan Bank Y yang merupakan Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan importir X di Malaysia dalam rangka pembayaran impor barang kepada Eksportir Indonesia dengan Underlying Transaksi berupa invoice. Pada saat jatuh waktu, Bank Y akan melakukan transfer dana rupiah sebesar Rp320.000.000,00 (tiga ratus dua puluh juta rupiah) ke rekening rupiah milik Bank Z pada Bank di Indonesia dengan menggunakan Underlying Transaksi berupa invoice pembelian barang oleh importir X. Pasal 36 Ayat (1) yang dimaksud dengan โ€œโ€sarana penyedia informasiโ€ antara lain Reuters. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 26 Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Yang dimaksud dengan transaksi โ€œnon-deliverable forwardโ€ adalah transaksi derivatif forward yang penyelesaian transaksinya dilakukan tanpa pemindahan dana pokok secara penuh melainkan hanya pemindahan sejumlah dana yang merupakan hasil perhitungan nominal transaksi dengan selisih kurs. Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Contoh: Pada tanggal 1 Agustus 2018, perusahaan A di Indonesia yang memiliki aktivitas impor dan ekspor melakukan transaksi forward beli MYR/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia) untuk membayar impor pembelian barang dari Malaysia. Pada tanggal 1 Agustus 2018, perusahaan A juga melakukan transaksi forward jual MYR/IDR dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebesar MYR2,000,000.00 (dua juta ringgit Malaysia) untuk menjual devisa hasil ekspor ke Malaysia. Berdasarkan masing-masing transaksi tersebut, perusahaan A harus menyampaikan dokumen Underlying Transaksi sebagai berikut: 1. dokumen perkiraan pembayaran impor sebesar MYR10,000,000.00 (sepuluh juta ringgit Malaysia); dan 27 2. dokumen perkiraan penerimaan ekspor sebesar MYR2,000,000.00 (dua juta ringgit Malaysia). Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot MYR/IDR dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward MYR/IDR dengan non-Bank ACCD Indonesia. Transaksi ini dilakukan untuk memenuhi kepentingan Importir di Indonesia. Dalam hal ini, non-Bank ACCD Indonesia wajib menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas transaksi yang dilakukan non-Bank ACCD Indonesia dengan Importir Indonesia antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia, atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) dari Importir Indonesia antara lain berupa perkiraan pembayaran impor paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 41 Ayat (1) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi spot MYR/IDR dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm 28 commitment) atas impor barang yang dilakukan Importir antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia melakukan transaksi forward MYR/IDR dengan Importir Indonesia. Bank ACCD Indonesia wajib meminta kepada Importir Indonesia untuk menyampaikan dokumen Underlying Transaksi yang bersifat final (firm commitment) atas impor barang antara lain letter of credit atau invoice yang menunjukkan transaksi perdagangan barang dan jasa antara Indonesia dan Malaysia atau dokumen Underlying Transaksi yang bersifat perkiraan (anticipatory basis) antara lain perkiraan pembayaran impor paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 42 Ayat (1) Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi forward beli MYR/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. Pada 2 (dua) hari sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir A melakukan rollover transaksi forward tersebut. Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir A yang menjelaskan penundaan waktu pembayaran kepada eksportir di Malaysia. Ayat (2) Contoh: Importir C di Indonesia melakukan transaksi forward beli MYR/IDR dengan Bank D yang merupakan Bank ACCD Indonesia dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan. Pada 2 (dua) bulan sebelum transaksi forward jatuh waktu, Importir C melakukan early termination transaksi forward tersebut. Bank D wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir C yang menjelaskan percepatan penyelesaian transaksi kepada eksportir di Malaysia. 29 Ayat (3) Contoh: Importir A di Indonesia melakukan transaksi spot beli MYR/IDR dengan Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia untuk pembayaran kewajiban kepada eksportir di Malaysia. Pada saat jatuh waktu, Importir A memberitahukan Bank B bahwa terjadi pembatalan pembelian barang sehingga Importir A melakukan pengakhiran transaksi spot. Berdasarkan pengakhiran transaksi tersebut, Bank B wajib meminta dokumen pendukung kepada Importir yang menunjukan pembatalan pembelian barang kepada eksportir Malaysia. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ antara lain bukti konfirmasi pembelian aset keuangan dalam ringgit di Malaysia. Contoh: Eksportir A di Indonesia melakukan investasi pada obligasi korporasi di Malaysia sebesar MYR20,000,000.00 (dua puluh juta ringgit Malaysia) dengan sumber dana berasal dari devisa hasil ekspor. Berdasarkan kegiatan investasi tersebut, Eksportir A wajib menyerahkan dokumen Underlying Transaksi kepada Bank ACCD Indonesia antara lain berupa bukti konfirmasi pembelian obligasi korporasi. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. 30 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi valuta asingโ€ adalah data transaksi rupiah dan valuta asing terhadap ringgit yang dilakukan oleh Bank ACCD Indonesia dengan Bank ACCD lainnya, non-Bank ACCD, dan/atau Importir/Eksportir Indonesia, untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œposisi terbuka mata uang negara mitraโ€ adalah data posisi terbuka transaksi ringgit terhadap rupiah dan valuta asing pada akhir Hari. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œposisi saldo SNA mitraโ€ adalah data saldo akhir Hari dan total mutasi harian dari SNA mitra. Yang dimaksud dengan โ€œSNA mitraโ€ adalah rekening khusus milik Bank ACCD Indonesia dalam ringgit yang dibuka pada Bank ACCD Malaysia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œtransfer danaโ€ adalah data transaksi transfer dana dari dan/atau ke SNA mitra. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œposisi saldo dan mutasi sub-SNA mitraโ€ adalah saldo akhir Hari dan rincian mutasi harian dari sub-SNA mitra. Yang dimaksud dengan โ€œsub-SNA mitraโ€ adalah rekening khusus milik Importir/Eksportir Indonesia dalam ringgit yang dibuka pada Bank ACCD Indonesia untuk kepentingan pelaksanaan LCS Rupiah dan Ringgit. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œposisi Pembiayaan Perdaganganโ€ adalah data posisi (outstanding amount) harian Pembiayaan Perdagangan. Ayat (3) Cukup jelas. 31 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: Bank ACCD Indonesia telah menyampaikan laporan untuk bulan November 2018, namun terdapat kesalahan pengisian pada salah satu baris formulir posisi Pembiayaan Perdagangan. Berdasarkan hal tersebut, Bank ACCD Indonesia harus menyampaikan kembali seluruh informasi dalam formulir posisi Pembiayaan Perdagangan yang mencakup baris yang telah dikoreksi dan baris lainnya yang tidak dikoreksi. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€gangguan teknisโ€ adalah gangguan yang menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan kepada Bank Indonesia antara lain karena gangguan pada sistem di intern Bank ACCD Indonesia dan gangguan jaringan telekomunikasi. 32 Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan memaksa (force majeure)โ€ adalah keadaan yang secara nyata menyebabkan Bank ACCD Indonesia tidak dapat menyusun dan menyampaikan laporan dan/atau koreksi laporan, antara lain kebakaran, kerusuhan massa, terorisme, bom, perang, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, yang dibenarkan oleh pejabat dari instansi terkait di daerah setempat. Contoh 1: Bank A yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami bencana alam sehingga menyebabkan force majeure sepanjang bulan September 2018 sehingga Bank A tidak dapat melaporkan transaksi yang dilakukan selama bulan September 2018. Bank A dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan untuk periode pelaporan bulan Oktober 2018. Contoh 2: Bank B yang merupakan Bank ACCD Indonesia mengalami kerusakan sistem pada tanggal 10 sampai dengan tanggal 14 September 2018 sehingga menyebabkan force majeure. Sistem Bank B kembali normal pada tanggal 21 September 2018. Berdasarkan kondisi tersebut, Bank B tidak dapat melaporkan transaksi pada periode force majeure selama 5 (lima) Hari. Bank B tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan untuk periode pelaporan bulan Oktober 2018 tanpa data transaksi pada periode force majeure yaitu tanggal 10 sampai dengan 14 September 2018. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 33 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/12/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PENYELESAIAN TRANSAKSI PERDAGANGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA MENGGUNAKAN RUPIAH DAN RINGGIT MELALUI BANK </reg_title> <set_date> 20 November 2017 </set_date> <effective_date> 2 Januari 2018 </effective_date> <related_reg> '19/11/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek yang dapat dialami oleh perbankan, Bank Indonesia menyediakan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada bank; b. bahwa dalam rangka penyediaan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada bank, perlu diatur mengenai mekanisme dan hal-hal teknis pelaksanaan penyediaan pinjaman likuiditas jangka pendek; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang pinjaman likuiditas jangka pendek bagi bank umum konvensional; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. 2. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 3. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disebut Bank adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk unit usaha syariah dari kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 5. Giro Wajib Minimum yang selanjutnya disingkat GWM adalah giro wajib minimum primer dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum bank umum. 3 6. Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM. 7. Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang selanjutnya disingkat PLJP adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank. 8. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Sertifikat Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 9. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. 10. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Sertifikat Deposito Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 11. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 12. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau yang dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, dalam mata uang rupiah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 4 14. Aset Kredit adalah aset Bank berupa kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, tidak termasuk kredit dalam valuta asing. 15. Aset Pembiayaan adalah aset Bank berupa pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, tidak termasuk pembiayaan dalam valuta asing. 16. Obligasi Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), termasuk obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 17. Sukuk Korporasi adalah surat utang yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah oleh korporasi selain Bank yang mengajukan permohonan PLJP, dalam mata uang rupiah, dan ditatausahakan di KSEI, termasuk sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah daerah. 18. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI- RTGS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana melalui Sistem BI-RTGS. 19. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. BAB II PERSYARATAN PLJP Pasal 2 (1) Bank yang mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek dapat mengajukan permohonan PLJP kepada Bank Indonesia. 5 (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh PLJP apabila Bank memenuhi persyaratan: a. tergolong sebagai Bank solven yang tercermin dari rasio kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bulan terkini yang memadai, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. paling rendah sama dengan rasio KPMM berdasarkan profil risiko terakhir sesuai penilaian OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum; dan 2. dalam hal terdapat peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM Bank maka KPMM bulan terkini merupakan KPMM bulanan terkini sesuai penilaian OJK yang dilengkapi dengan informasi kondisi terakhir Bank berupa subsequent events dimaksud; b. memiliki peringkat komposit tingkat kesehatan Bank paling rendah 2 (dua) sesuai penilaian OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum; c. memiliki agunan berkualitas tinggi sebagai jaminan PLJP yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d. diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJP. Pasal 3 (1) Bank mengajukan plafon PLJP berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai dengan Bank memenuhi GWM. (2) Perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP. 6 BAB III AGUNAN PLJP Bagian Kesatu Persyaratan Agunan Pasal 4 (1) PLJP harus dijamin dengan agunan berkualitas tinggi berupa: a. SBI; b. SBIS yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; c. SDBI; d. SBN, termasuk SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; e. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, termasuk Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank; f. Aset Kredit; dan/atau g. Aset Pembiayaan dengan akad mudharabah, akad musyarakah, dan/atau akad ijarah nonjasa yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank. (2) Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN; atau b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN namun nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (3) Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g hanya dapat dijadikan agunan PLJP dalam hal pada saat permohonan: a. Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; atau b. Bank memiliki SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, namun 7 nilainya tidak mencukupi untuk menjadi agunan PLJP. (4) Agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada dalam kondisi: a. bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; dan b. tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia. (5) Bank tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang masih dalam status sebagai agunan PLJP. Pasal 5 Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank dapat digunakan sebagai agunan PLJP dengan ketentuan sebagai berikut: a. SBIS dan SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan setelah seluruh SBI, SDBI, dan SBN Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; b. Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal: 1. seluruh SBIS dan SBSN yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; dan 2. seluruh Obligasi Korporasi dan Sukuk Korporasi Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; c. Aset Pembiayaan yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank hanya dapat diajukan sebagai agunan dalam hal: 1. seluruh Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan; dan 8 2. seluruh Aset Kredit Bank yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP telah diajukan sebagai agunan. Pasal 6 Agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP; dan b. khusus untuk agunan berupa SBN dipersyaratkan dapat diperdagangkan. Pasal 7 (1) Agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki peringkat paling rendah 3 (tiga) peringkat (notch) teratas pada 1 (satu) tahun terakhir berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai lembaga pemeringkat; b. aktif diperdagangkan yaitu pernah diperdagangkan dalam 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir; dan c. memiliki sisa jangka waktu paling singkat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP. (2) Contoh peringkat dari lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 9 Pasal 8 Agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf g harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. kolektibilitas tergolong lancar selama 12 (dua belas) bulan terakhir berturut-turut; b. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah dan/atau pembiayaan pemilikan rumah; c. dijamin dengan agunan tanah dan bangunan dan/atau tanah dengan nilai paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) dari plafon kredit dan/atau plafon pembiayaan; d. bukan merupakan kredit dan/atau pembiayaan kepada pihak terkait Bank; e. f. tidak pernah direstrukturisasi dalam waktu 3 (tiga) tahun terakhir; sisa jangka waktu jatuh waktu kredit dan/atau pembiayaan paling singkat 9 (sembilan) bulan sejak tanggal penandatanganan perjanjian pemberian PLJP; g. baki debet kredit atau saldo pokok pembiayaan tidak melebihi batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana pada saat diberikan dan tidak melebihi plafon kredit atau pembiayaan; h. memiliki perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan serta pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum; i. telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir; j. dalam perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dan debitur atau nasabah tercantum klausul bahwa kredit dan/atau pembiayaan dapat dialihkan kepada pihak lain; dan k. telah tercantum dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia. 10 Pasal 9 (1) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta agunan lain setelah agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencukupi. (2) Agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. saham Bank yang menerima PLJP milik pemegang saham pengendali; b. personal guarantee dan/atau corporate guarantee dari pemegang saham pengendali; c. aset tetap milik Bank yang menerima PLJP; dan/atau d. agunan lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 10 Pengikatan agunan PLJP dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a. pengikatan agunan berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dilakukan dengan akta gadai; dan b. pengikatan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dan huruf g dilakukan dengan akta fidusia. Bagian Kedua Perhitungan Nilai Agunan PLJP Pasal 11 (1) Nilai agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan SBN ditetapkan sebagai berikut: a. nilai agunan berupa SBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SBI; b. nilai agunan berupa SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai nominal SBIS; 11 c. nilai agunan berupa SDBI ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai jual SDBI; d. nilai agunan berupa SBN ditetapkan sebagai berikut: 1. nilai agunan berupa SUN ditetapkan paling rendah sebesar 105% (seratus lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SUN; dan 2. nilai agunan berupa SBSN ditetapkan paling rendah sebesar 106,5% (seratus enam koma lima persen) dari plafon PLJP yang dihitung berdasarkan nilai pasar SBSN. (2) Nilai agunan PLJP berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ditetapkan sebagai berikut: a. 120% (seratus dua puluh persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; b. 135% (seratus tiga puluh lima persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh selain BUMN dan/atau dijamin oleh pemerintah pusat, dengan peringkat teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; c. 140% (seratus empat puluh persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-2 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai 12 pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; dan d. 145% (seratus empat puluh lima persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, dengan peringkat ke-3 teratas berdasarkan penilaian lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK, yang dihitung berdasarkan nilai pasar dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi. (3) Nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset Pembiayaan ditetapkan paling rendah sebesar 200% (dua ratus persen) dari plafon PLJP yang dijamin dengan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dan dihitung berdasarkan baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan. Pasal 12 (1) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan sebagai berikut: a. pada saat permohonan PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJP; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP; c. pada saat permohonan penambahan plafon PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penambahan plafon PLJP; d. pada saat permohonan penurunan plafon PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan penurunan plafon PLJP; e. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, 13 nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP; dan f. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP, nilai surat berharga yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (2) Nilai surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan data sebagai berikut: a. untuk surat berharga berupa SBI dan SDBI menggunakan data nilai jual yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter atau operasi moneter syariah; b. untuk surat berharga berupa SBIS menggunakan data nilai nominal yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter atau operasi moneter syariah; c. untuk surat berharga berupa SBN menggunakan data nilai pasar yang tercantum dalam BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter atau operasi moneter syariah; dan d. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi menggunakan nilai pasar yang tercantum dalam harga publikasi terakhir yang tersedia pada lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui oleh OJK. (3) Cara perhitungan nilai agunan PLJP berupa Aset Kredit atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut: 14 a. pada saat permohonan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan PLJP; b. pada saat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP; c. pada saat penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP; dan d. pada saat penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP, nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan yang digunakan yaitu nilai pada posisi 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (4) Nilai baki debet Aset Kredit atau saldo pokok Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan data yang tercantum dalam catatan pembukuan Bank. Pasal 13 Contoh untuk perhitungan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 15 Bagian Ketiga Pelaporan Berkala Daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan Pasal 14 (1) Bank harus memelihara dan menatausahakan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJP dan dialokasikan untuk menjadi agunan PLJP. (2) Pemeliharaan dan penatausahaan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan PLJP dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. (3) Bank menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember, paling lambat tanggal 15 setelah posisi akhir bulan bersangkutan termasuk koreksi laporan. (5) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat mengajukan PLJP dengan agunan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sampai dengan periode pelaporan berikutnya. (6) Bank dapat memperbarui laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. posisi akhir bulan Juni diperbarui dengan posisi akhir bulan September pada tahun yang bersangkutan dan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 Oktober; dan 16 b. posisi akhir bulan Desember diperbarui dengan posisi akhir bulan Maret pada tahun berikutnya dan disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK paling lambat tanggal 15 April. Pasal 15 (1) Penyampaian laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank harus memastikan keamanan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Bank tidak berhasil melakukan pengiriman laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan melalui sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus menyampaikan laporan tersebut melalui surat dengan melampirkan soft copy daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 paling lambat pukul 16.00 waktu Indonesia barat (WIB), dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 16.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (5) Laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Tata cara penyampaian laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 17 Pasal 16 (1) Bank harus menyampaikan nama petugas Bank yang diberikan kewenangan untuk menyusun dan menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, termasuk apabila terdapat perubahannya kepada Bank Indonesia. (2) Nama petugas Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan, Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. Pasal 17 Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan dokumen pendukung dari Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang dilaporkan dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (3). BAB IV PERMOHONAN PLJP Bagian Kesatu Permohonan PLJP Pasal 18 (1) Permohonan PLJP diajukan oleh Bank melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (3) Permohonan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (4) Permohonan PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. 18 Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (5) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (6) Bank dapat mengajukan permohonan PLJP pada setiap hari kerja dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia sampai dengan pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan memproses PLJP pada hari yang bersangkutan; dan b. dalam hal surat Bank diterima Bank Indonesia setelah pukul 12.00 WIB, Bank Indonesia akan memproses PLJP pada hari kerja berikutnya, setelah dokumen permohonan PLJP diterima secara lengkap. Pasal 19 Dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) terdiri atas: a. surat pernyataan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang, yang memuat hal sebagai berikut: 1. pernyataan mengenai Bank mengalami Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang disertai dengan: a) penjelasan mengenai penyebab Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan b) upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; 2. pernyataan mengenai seluruh aset yang menjadi agunan PLJP: a) berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, dan sitaan; b) tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain atau Bank Indonesia; 19 c) memenuhi seluruh persyaratan sebagai agunan PLJP sesuai dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d) tidak akan diperjualbelikan dan/atau dijaminkan kembali kepada pihak lain selama masih dalam status sebagai agunan PLJP; 3. pernyataan mengenai kesanggupan Bank untuk membayar kewajiban PLJP; dan 4. pernyataan mengenai kebenaran data dan/atau dokumen yang disampaikan dan kesanggupan Bank untuk menyampaikan data dan/atau dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia, dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit, dalam hal 20 terdapat agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; e. surat persetujuan dari pihak yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengenai permohonan PLJP dan/atau penggunaan aset Bank sebagai agunan PLJP; f. dokumen anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank termasuk perubahannya; g. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan h. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 20 (1) Bank Indonesia memberikan PLJP untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender untuk setiap periode pemberian PLJP. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP oleh Bank Indonesia. (3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu PLJP keseluruhan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Bagian Kedua Koordinasi dengan OJK Pasal 21 (1) Bank Indonesia berkoordinasi dengan OJK dalam rangka menindaklanjuti permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 melalui: a. permintaan informasi dari OJK mengenai kondisi Bank yang mengajukan PLJP, yang meliputi pemenuhan persyaratan: 1. solvabilitas; dan 21 2. tingkat kesehatan Bank; dan b. pelaksanaan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan Bank untuk mengembalikan PLJP. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilaksanakan dalam rangka menindaklanjuti permohonan Bank terkait perpanjangan jangka waktu PLJP, penambahan plafon PLJP, dan/atau penurunan plafon PLJP. Bagian Ketiga Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan PLJP Pasal 22 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan PLJP melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. kelengkapan dokumen permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan c. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan PLJP disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan PLJP; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perjanjian pemberian PLJP melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 22 d. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta pengikatan agunan PLJP melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI untuk agunan berupa surat berharga dan Lampiran XII untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal diperlukan. (4) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa surat berharga meliputi: a. daftar surat berharga yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 1; dan b. hasil pemeringkatan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi yang diterbitkan oleh paling sedikit 1 (satu) lembaga pemeringkat yang diakui oleh OJK apabila terdapat agunan berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dan hasil pemeringkatan tersebut belum melebihi 1 (satu) tahun sampai dengan tanggal permohonan PLJP. (5) Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan meliputi: a. daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang diagunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c angka 2; b. dokumen asli perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dan debitur atau nasabah beserta seluruh perubahannya; c. dokumen asli pengikatan agunan atas perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan yang mempunyai kekuatan hukum antara Bank dan debitur atau nasabah beserta seluruh perubahannya; 23 d. dokumen asli bukti kepemilikan agunan yang menjadi jaminan kredit dan/atau pembiayaan Bank; e. dokumen asli hasil penilaian agunan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan oleh penilai independen; f. dokumen asli polis asuransi agunan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang dijamin dengan tanah dan bangunan; dan g. dokumen lain yang terkait dengan agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang diminta oleh Bank Indonesia. (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf c, dan huruf d disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dokumen yang terkait dengan agunan lain dalam hal diminta oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi: a. bukti kepemilikan saham dari pemegang saham pengendali yang akan diikat dengan akta gadai dalam hal agunan lain berupa saham Bank milik pemegang saham pengendali dari Bank yang menerima PLJP; b. rancangan akta notariil personal guarantee dan/atau corporate guarantee yang disertai daftar aset milik pemegang saham pengendali dalam hal agunan lain berupa personal guarantee dan/atau corporate 24 guarantee dari pemegang saham pengendali dari Bank yang menerima PLJP; dan c. dokumen asli bukti kepemilikan aset tetap dalam hal agunan lain berupa aset tetap milik Bank yang menerima PLJP yang akan diikat dengan hak tanggungan. (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP. (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP. Pasal 23 Mekanisme pengagunan agunan PLJP berupa surat berharga dilakukan sebagai berikut: a. untuk surat berharga berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN: 1. Bank melakukan pengagunan surat berharga pada BI-SSSS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah surat persetujuan PLJP diterima oleh Bank, dengan ketentuan sebagai berikut: a) Bank sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan melakukan pengagunan surat berharga pada BI-SSSS dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 25 b) dalam hal Bank menggunakan surat berharga yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank maka pengagunan dilakukan oleh UUS dengan Bank Indonesia sebagai penerima agunan; 2. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 1, dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender; 3. pengagunan surat berharga sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan sampai dengan tanggal penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP; 4. pengagunan surat berharga setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dilakukan untuk jangka waktu pengagunan paling singkat 110 (seratus sepuluh) hari kalender; 5. untuk penambahan dan/atau penggantian agunan yang dilakukan pada saat periode pemberian PLJP atau perpanjangan jangka waktu PLJP, jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dikurangi dengan jumlah hari kalender PLJP berjalan; dan 6. jangka waktu pengagunan sebagaimana dimaksud pada angka 4 dan angka 5 dapat diperpanjang apabila diperlukan; b. untuk surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi: 1. Bank melakukan pemindahbukuan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI segera setelah Bank menyampaikan daftar surat berharga sesuai dengan tata cara yang ditetapkan KSEI; 2. dalam hal Bank menggunakan surat berharga yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank maka pemindahbukuan Sukuk Korporasi ke rekening efek Bank Indonesia di KSEI dilakukan oleh UUS dengan Bank Indonesia sebagai penerima agunan; dan 26 c. dalam hal terjadi pelunasan PLJP maka agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, dan SBN pada BI-SSSS dilepas (release) paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP dilunasi; dan 2. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi pada rekening efek Bank Indonesia di KSEI dipindahbukukan ke rekening efek Bank di KSEI paling lama 1 (satu) hari kerja setelah PLJP dilunasi. Pasal 24 (1) Penilaian terhadap agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan: a. verifikasi dokumen yang terkait agunan PLJP; dan/atau b. penilaian pemenuhan persyaratan agunan PLJP. (2) Bank Indonesia dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. (3) Dalam hal Bank Indonesia akan menggunakan jasa pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank menunjuk pihak ketiga. (4) Biaya yang timbul dari penggunaan jasa pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menjadi beban Bank. (5) Untuk mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan terkait agunan PLJP yang harus dipenuhi oleh Bank. Pasal 25 Bank Indonesia melakukan verifikasi dan/atau penilaian melalui penelitian terhadap: a. dokumen rancangan akta perjanjian pemberian PLJP; b. dokumen rancangan akta pengikatan agunan PLJP; dan 27 c. dokumen yang terkait dengan agunan lain. Pasal 26 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) terdapat agunan yang tidak memenuhi persyaratan dan/atau dokumen yang terkait agunan diketahui tidak lengkap maka agunan dimaksud tidak diperhitungkan sebagai agunan PLJP. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) nilai agunan PLJP tidak mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui maka Bank Indonesia menyampaikan surat permintaan penambahan agunan kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (3) Bank harus menyampaikan penambahan agunan yang memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penambahan agunan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima Bank. (4) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, penambahan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penambahan agunan dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima Bank. (5) Dalam hal Bank tidak dapat menyampaikan tambahan agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau menyampaikan tambahan agunan namun nilainya tidak mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia, Bank Indonesia menyampaikan surat 28 permintaan penyediaan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bank harus menyediakan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) di rekening giro Bank di Bank Indonesia paling lambat sampai dengan awal periode pre- cut off Sistem BI-RTGS pada 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah surat permintaan penyediaan sumber dana lain dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima Bank. (7) Penyediaan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disertai dengan dokumen dan/atau data pendukung yang disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah dana tersedia di rekening giro Bank di Bank Indonesia. (8) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercatat di pembukuan Bank paling singkat sampai dengan Bank Indonesia melaksanakan aktivasi pemberian PLJP. (9) Dalam hal Bank dapat menyediakan sumber dana lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia menurunkan plafon PLJP sesuai dengan nilai agunan yang tersedia. Pasal 27 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diketahui bahwa: a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP, 29 maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP. (2) Penandatanganan terhadap akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP. (3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 maka pengikatan agunan lain dapat dilakukan selama periode pemberian PLJP. (4) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pasal 28 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), diketahui dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJP. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP atau selama periode PLJP. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan tersebut akan diperhitungkan kembali sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. 30 Pasal 29 Persetujuan atas permohonan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon, Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). BAB V PENCAIRAN PLJP Bagian Kesatu Mekanisme Pencairan Pasal 30 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan aktivasi pemberian PLJP kepada Bank paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat tanggal aktivasi pemberian PLJP dan jumlah PLJP yang dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait dengan pencairan PLJP. (2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJP sejak tanggal aktivasi pemberian PLJP. (3) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan PLJP sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (4) Bank Indonesia dapat melakukan pencairan PLJP 1 (satu) kali dalam 1 (satu) hari sebesar perkiraan kebutuhan Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek. (5) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. 31 Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait pada setiap hari kerja paling lambat pukul 12.00 WIB selama periode PLJP untuk pencairan pada hari kerja berikutnya. (6) Khusus pada tanggal aktivasi pemberian PLJP, PLJP dapat dicairkan pada hari kerja yang sama, sepanjang Bank mengajukan permohonan pencairan PLJP paling lambat pukul 10.00 WIB pada hari kerja yang sama. (7) Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dokumen sebagai berikut: a. surat sanggup bayar (promissory note) sebesar pengajuan pencairan yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. proyeksi arus kas berupa rincian perkiraan kebutuhan likuiditas Bank yang mencerminkan kebutuhan pencairan di hari yang bersangkutan sampai dengan Bank memenuhi GWM, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 31 (1) Atas permohonan pencairan PLJP oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJP pada pagi hari setelah Sistem BI-RTGS dibuka sepanjang Bank memenuhi persyaratan pencairan. (2) Khusus permohonan pencairan pada tanggal aktivasi pemberian PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (6), Bank Indonesia melakukan pencairan PLJP paling lambat sebelum periode transaksi untuk nasabah pada 32 Sistem BI-RTGS berakhir sepanjang Bank memenuhi persyaratan pencairan. (3) Persyaratan pencairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a. ketersediaan plafon atau sisa plafon PLJP; b. terdapat kecukupan agunan; c. Bank masih memenuhi persyaratan sebagai Bank solven dan persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan d. terdapat surat permohonan pencairan dan surat sanggup bayar (promissory note) yang ditandatangani oleh direksi Bank yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (7) huruf a. (4) Pencairan PLJP oleh Bank Indonesia dilakukan dengan cara mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia. Bagian Kedua Bunga PLJP Pasal 32 (1) Bank Indonesia mengenakan bunga secara harian kepada Bank atas baki debet PLJP. (2) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga repurchase agreement rate untuk lending facility yang berlaku pada tanggal aktivasi pemberian PLJP ditambah margin sebesar 400 (empat ratus) basis poin. (3) Rumus perhitungan besarnya bunga PLJP yaitu sebagai berikut: X = P x R x t/360 Keterangan: X : besarnya bunga yang diterima Bank Indonesia. P : baki debet PLJP. R : lending facility + 400 (empat ratus) basis poin. t : jumlah hari kalender perhitungan bunga. 33 (4) Contoh perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk 1 (satu) periode PLJP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. BAB VI PEMANTAUAN PLJP Bagian Kesatu Pemantauan Agunan Pasal 33 (1) Selama periode PLJP, Bank harus memantau aset yang menjadi agunan PLJP untuk mengidentifikasi agunan PLJP yang mengalami kondisi sebagai berikut: a. agunan PLJP tidak memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5); b. Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi tidak lagi memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a; c. terdapat pelunasan atas Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan oleh debitur atau nasabah Bank; dan/atau d. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang diagunkan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a; (2) Pemantauan aset yang menjadi agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan pemenuhan persyaratan agunan PLJP dan nilai agunan mencukupi plafon selama periode PLJP. 34 Bagian Kedua Penggantian Agunan PLJP Pasal 34 (1) Bank harus mengganti agunan PLJP dalam periode PLJP apabila terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) sehingga nilai agunan PLJP mengalami penurunan dan secara keseluruhan tidak lagi memenuhi plafon PLJP. (2) Penggantian agunan PLJP diprioritaskan dengan menggunakan agunan berupa surat berharga yang dimiliki oleh Bank yang memenuhi persyaratan agunan PLJP. (3) Dalam hal surat berharga yang dimiliki oleh Bank tidak mencukupi untuk penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penggantian agunan dapat dilakukan dengan menggunakan surat berharga yang dimiliki oleh Bank ditambah dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJP. (4) Dalam hal Bank tidak memiliki surat berharga maka penggantian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang memenuhi persyaratan agunan PLJP. Pasal 35 (1) Dalam hal Bank melakukan penggantian agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Bank menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan/atau ayat (5) yang terkait dengan agunan pengganti kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana 35 dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. Pasal 36 Selama Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, pada periode pemberian PLJP Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJP sepanjang terdapat plafon atau sisa plafon dan agunan PLJP yang mencukupi. Pasal 37 (1) Dalam hal penggantian agunan disetujui oleh Bank Indonesia, Bank meminta notaris untuk mempersiapkan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (2) Penandatanganan terhadap akta perubahan pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. Bagian Ketiga Pembatasan Pencairan dan Penghentian Pencairan PLJP Sebelum Jatuh Waktu Pasal 38 (1) Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJP dalam hal: a. nilai agunan PLJP mengalami penurunan akibat kondisi agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 33 sehingga secara keseluruhan nilai agunan tidak mencukupi plafon PLJP; dan b. Bank tidak melakukan penggantian agunan atau melakukan penggantian agunan namun nilai agunan pengganti tidak mencukupi plafon PLJP. (2) Bank dapat mengajukan penggantian agunan setelah Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan dengan 36 mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 37. Pasal 39 (1) Bank Indonesia berwenang menghentikan pencairan PLJP sebelum jatuh waktu dalam hal Bank: a. tidak memenuhi persyaratan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau b. tidak memenuhi persyaratan tingkat kesehatan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b. (2) Dalam hal Bank Indonesia melakukan penghentian pencairan PLJP sebelum jatuh waktu PLJP maka Bank Indonesia tidak melakukan pencairan PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP meskipun terdapat ketersediaan plafon atau sisa plafon serta agunan PLJP mencukupi. (3) Pelunasan pokok dan bunga PLJP bagi Bank yang dikenakan penghentian pencairan PLJP sebelum jatuh waktu PLJP dilakukan pada tanggal jatuh waktu PLJP. BAB VII PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PLJP Bagian Kesatu Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu PLJP Pasal 40 (1) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh 37 direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (4) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (5) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP pada setiap hari kerja sampai dengan pukul 12.00 WIB, dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan apabila tidak terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan atau terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan hanya berupa surat berharga; b. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP berjalan apabila terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP setelah dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP diterima secara lengkap. (9) Permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling 38 sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan maka harus dilengkapi dengan daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit; d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 41 (1) Untuk keperluan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank tetap dapat menggunakan agunan PLJP pada periode PLJP sebelumnya sepanjang masih memenuhi persyaratan dan kecukupan jumlah agunan PLJP. 39 (2) Dalam rangka pelaksanaan perpanjangan jangka waktu PLJP, Bank harus memastikan agunan PLJP mencukupi plafon PLJP dengan memperhatikan persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12. (3) Persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan. (4) Bank harus menambah jumlah agunan yang diserahkan untuk menjamin perpanjangan jangka waktu PLJP dalam hal diketahui bahwa: a. terdapat aset yang lebih prioritas untuk menjadi agunan PLJP dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4); dan/atau b. nilai agunan yang telah dijaminkan tidak lagi mencukupi plafon PLJP. (5) Dalam hal terjadi perpanjangan jangka waktu PLJP dan terdapat agunan PLJP berupa SBI, SBIS, SDBI, dan/atau SBN yang diagunkan kembali, maka jangka waktu pengagunan surat berharga pada BI-SSSS dapat diperpanjang apabila diperlukan. Bagian Kedua Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu PLJP Pasal 42 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank 40 Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; c. kelengkapan dokumen permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (9); dan d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan rancangan akta perubahan pengikatan agunan PLJP melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. melunasi bunga atas PLJP pada saat jatuh waktu PLJP; dan e. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal diperlukan. (4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat berharga, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). (5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan 41 dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, Bank menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8). (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP. (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP. Pasal 43 Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga yang baru, pengagunan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. 42 Pasal 44 (1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Penilaian terhadap agunan PLJP yang digunakan kembali sebagai agunan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai agunan. Pasal 45 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diketahui: a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP, maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (2) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (3) Dalam hal terdapat agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 maka pengikatan agunan lain dapat dilakukan selama periode pemberian PLJP. (4) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 43 Pasal 46 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), diketahui terdapat dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJP. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia akan melakukan pembatasan pencairan sejak periode perpanjangan jangka waktu PLJP dimulai atau selama periode PLJP. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. Pasal 47 (1) Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai agunan tidak mencukupi plafon dan Bank tidak dapat menambah agunan PLJP dan/atau Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). 44 (2) Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP dibatalkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank harus melunasi PLJP pada saat jatuh waktu. BAB VIII PENAMBAHAN DAN PENURUNAN PLAFON PLJP Bagian Kesatu Permohonan Penambahan Plafon PLJP Pasal 48 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penambahan plafon PLJP kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan penambahan plafon PLJP hanya dapat disampaikan bersamaan dengan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7). (3) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Surat permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (5) Permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (6) Permohonan penambahan plafon PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. 45 (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (8) Bank Indonesia akan memproses permohonan penambahan plafon PLJP setelah dokumen permohonan penambahan plafon PLJP diterima secara lengkap. (9) Dalam rangka penambahan plafon PLJP: a. Bank dapat menggunakan kelebihan nilai agunan PLJP yang telah dijaminkan bagi PLJP berjalan untuk menjamin penambahan plafon PLJP dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12; b. Bank dapat menambah agunan PLJP dengan aset yang memenuhi persyaratan dan nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8, Pasal 11 dan Pasal 12; dan c. persyaratan sisa jangka waktu bagi agunan yang baru ditambahkan paling singkat memiliki jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan Pasal 7 ayat (1) huruf c dikurangi dengan jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan penandatanganan perubahan akta perjanjian PLJP. Pasal 49 Dokumen permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (5) meliputi: a. dokumen yang mendukung jumlah kebutuhan untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek paling sedikit berupa proyeksi arus kas paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak tanggal permohonan penambahan plafon PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 46 b. daftar seluruh aset yang menjadi agunan PLJP berupa: 1. SBI, SBIS, SDBI, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. dalam hal terdapat penggantian dan/atau penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan maka harus dilengkapi dengan daftar rekapitulasi Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik yang dikeluarkan dan/atau ditandatangani oleh kantor akuntan publik yang melakukan pemeriksaan atau audit; d. daftar seluruh surat berharga yang dimiliki dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan disertai bukti kepemilikannya; dan e. dokumen lain yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 50 Dalam mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP yang disertai dengan penambahan plafon PLJP, pengaturan terkait agunan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. Bagian Kedua Tindak Lanjut Persetujuan atas Permohonan Penambahan Plafon PLJP Pasal 51 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan plafon PLJP melalui surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. 47 (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; b. jangka waktu PLJP secara keseluruhan belum melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender berturut-turut; c. kelengkapan dokumen permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49; dan d. analisis mengenai perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas Bank. (3) Dalam hal permohonan penambahan plafon PLJP disetujui, maka berdasarkan surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank harus melakukan hal sebagai berikut: a. menyampaikan dokumen yang terkait dengan penambahan dan/atau penggantian agunan PLJP; b. menunjuk notaris; c. menyampaikan dokumen berupa rancangan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP melalui notaris dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII, Lampiran XVIII, dan Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan d. menyampaikan dokumen yang terkait dengan agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam hal diperlukan. (4) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa surat berharga, Bank menyampaikan dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4). (5) Dalam hal terdapat penambahan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan, Bank menyampaikan 48 dokumen yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5). (6) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (7) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya setelah surat persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima Bank. (8) Dalam hal Bank Indonesia meminta agunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Bank menyampaikan dokumen terkait agunan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (8). (9) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan paling lambat pukul 12.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP. (10) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disampaikan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat paling lambat pukul 12.00 waktu Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat pada 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP. 49 Pasal 52 Dalam hal terdapat agunan berupa surat berharga yang baru, pengagunan menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. Pasal 53 (1) Penilaian terhadap tambahan agunan yang digunakan untuk penambahan plafon PLJP mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Penilaian terhadap agunan PLJP yang digunakan kembali sebagai agunan untuk penambahan plafon PLJP diutamakan pada penilaian kecukupan terhadap nilai agunan. Pasal 54 (1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian terhadap agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diketahui: a. agunan telah memenuhi ketentuan dan nilai agunan mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia; atau b. nilai agunan yang telah memenuhi ketentuan tidak mencukupi plafon PLJP yang telah disetujui Bank Indonesia dan Bank dapat menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP, maka akan dilakukan penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (2) Dalam hal Bank Indonesia masih dalam proses melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 sampai dengan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP maka penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP hanya dilakukan untuk perpanjangan jangka waktu PLJP. (3) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penandatanganan terhadap akta perubahan 50 perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP untuk penambahan plafon PLJP dilakukan setelah Bank Indonesia selesai melakukan proses penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53. (4) Tambahan plafon PLJP yang disetujui akan diakumulasikan dengan plafon PLJP sebelumnya. (5) Penandatanganan terhadap akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia bersama Bank diwakili oleh pihak Bank yang berwenang melakukan penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP. (6) Pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 55 (1) Dalam hal setelah penandatanganan akta perubahan perjanjian pemberian PLJP dan akta perubahan pengikatan agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), diketahui dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) tidak lengkap, Bank Indonesia tidak memperhitungkan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud sebagai agunan PLJP. (2) Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebabkan nilai agunan secara keseluruhan tidak mencukupi plafon yang telah disetujui, Bank Indonesia akan melakukan pembatasan pencairan sejak tanggal aktivasi penambahan plafon PLJP atau selama periode PLJP. (3) Dalam hal Bank telah melengkapi kekurangan dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dimaksud akan diperhitungkan kembali 51 sebagai agunan PLJP dan pencairan PLJP dilakukan sesuai dengan kecukupan nilai agunan. Pasal 56 Persetujuan atas permohonan penambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dibatalkan oleh Bank Indonesia apabila: a. Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3); b. berdasarkan verifikasi dan/atau penilaian Bank Indonesia nilai tambahan agunan tidak mencukupi penambahan plafon PLJP dan Bank tidak menyediakan sumber dana lain untuk menutup kekurangan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari PLJP; dan/atau c. diketahui bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 57 (1) Bank Indonesia menyampaikan surat pemberitahuan aktivasi penambahan plafon PLJP kepada Bank paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal aktivasi yang memuat tanggal aktivasi penambahan plafon PLJP dan jumlah PLJP yang dapat dicairkan, serta informasi lain yang terkait dengan pencairan PLJP. (2) Bank dapat mengajukan permohonan pencairan tambahan plafon PLJP sejak tanggal aktivasi penambahan plafon PLJP. (3) Pencairan tambahan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31. Pasal 58 Dalam hal permohonan Bank untuk penambahan plafon PLJP telah disetujui namun belum dilakukan aktivasi, Bank dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP untuk periode berikutnya dengan plafon PLJP sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia sesuai 52 dengan ketentuan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia ini. Bagian Ketiga Permohonan Penurunan Plafon PLJP Pasal 59 (1) Bank dapat mengajukan permohonan penurunan plafon PLJP kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan penurunan plafon PLJP hanya dapat disampaikan bersamaan dengan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7). (3) Permohonan penurunan plafon PLJP didasarkan pada kebutuhan likuiditas Bank sampai dengan Bank memenuhi GWM sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai giro wajib minimum, yang didukung dengan proyeksi arus kas. (4) Permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Surat permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direksi Bank dan diketahui oleh dewan komisaris Bank yang berwenang. (6) Permohonan penurunan plafon PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan Bank Indonesia. (7) Permohonan penurunan plafon PLJP diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. 53 (8) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (9) Bank Indonesia akan memproses permohonan penurunan plafon PLJP setelah dokumen permohonan penurunan plafon PLJP diterima secara lengkap. Pasal 60 (1) Proses penurunan plafon PLJP dilakukan sesuai dengan proses perpanjangan jangka waktu PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47. (2) Dalam proses penurunan plafon PLJP Bank dapat melakukan penarikan agunan sepanjang memenuhi ketentuan mengenai agunan dan kecukupan nilai agunan. BAB IX PELUNASAN PLJP Bagian Kesatu Pelunasan Sebagian atau Keseluruhan Baki Debet PLJP Selama Periode PLJP Pasal 61 (1) Bank Indonesia melakukan pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia apabila saldo rekening giro Bank tersebut pada periode PLJP jumlahnya melebihi kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM sebagai pelunasan sebagian atau keseluruhan baki debet PLJP. (2) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling tinggi sebesar nilai terendah antara baki debet PLJP dan kelebihan saldo rekening giro Bank dalam rupiah dari kewajiban GWM ditambah 10% (sepuluh persen) dari kewajiban GWM. 54 (3) Pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada hari berikutnya. Bagian Kedua Pelunasan Sebelum PLJP Jatuh Waktu Pasal 62 (1) Bank dapat mengajukan permohonan pelunasan PLJP sebelum PLJP jatuh waktu. (2) Pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia sebesar kewajiban PLJP. (3) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu diajukan oleh Bank paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum rencana pelunasan. (4) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (6) Bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia, permohonan pelunasan sebelum PLJP jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Kantor Perwakilan Bank Indonesia setempat. (7) Bank Indonesia menginformasikan kepada Bank jumlah kewajiban PLJP yang meliputi baki debet (outstanding), bunga PLJP, dan biaya terkait dengan pemberian PLJP 55 paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal pelunasan. (8) Bank Indonesia akan mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia pada saat Sistem BI-RTGS dibuka pada tanggal pelunasan yang ditetapkan dengan urutan pendebitan bunga, kemudian baki debet (outstanding) PLJP, dan terakhir biaya terkait dengan pemberian PLJP. (9) Dalam hal pada tanggal pelunasan yang direncanakan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk pembayaran kewajiban PLJP maka pelunasan PLJP dilakukan pada saat jatuh waktu. Bagian Ketiga Pelunasan PLJP Pada Saat Jatuh Waktu Pasal 63 (1) Bank wajib melunasi seluruh kewajiban PLJP pada tanggal jatuh waktu PLJP. (2) Bank Indonesia akan menginformasikan kepada Bank pada 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu PLJP mengenai jumlah kewajiban PLJP yang meliputi pokok dan bunga termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJP yang harus dibayar Bank. (3) Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia untuk pembayaran kewajiban PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada tanggal jatuh waktu PLJP. (4) Bank Indonesia dapat mendebit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dalam hal terdapat biaya lain terkait dengan pemberian PLJP yang timbul atau ditagihkan oleh pihak lain setelah Bank melunasi PLJP. (5) Dalam hal jatuh waktu PLJP bertepatan pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur, atau pada hari kerja yang kemudian ditetapkan sebagai hari libur maka pendebitan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia 56 dilakukan pada hari kerja berikutnya memperhitungkan bunga PLJP pada hari tersebut. tanpa (6) Dalam hal Bank Indonesia beroperasi secara terbatas pada hari libur atau cuti bersama, dimana Bank Indonesia mengoperasikan Sistem BI-RTGS dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) maka hari tersebut termasuk sebagai hari kerja. (7) Bank Indonesia melakukan pendebitan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada saat buka Sistem BI-RTGS. Pasal 64 Dalam hal pelunasan kewajiban PLJP pada tanggal jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 telah dilakukan, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Bank yang menginformasikan bahwa kewajiban PLJP telah dilunasi Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. Pasal 65 (1) Bank Indonesia mengembalikan agunan PLJP kepada Bank setelah kewajiban PLJP dilunasi. (2) Mekanisme pengembalian agunan PLJP kepada Bank diatur sebagai berikut: a. untuk agunan berupa SBI, SBIS, SDBI, dan SBN dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka 1; b. untuk agunan berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c angka 2; dan c. untuk agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dilakukan dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah tanggal surat pemberitahuan lunas dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. 57 Bagian Keempat Pelunasan PLJP Setelah Tanggal Jatuh Waktu Pasal 66 (1) Dalam hal saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk membayar pokok dan bunga PLJP pada saat jatuh waktu, Bank Indonesia melakukan tindakan sebagai berikut: a. pada tanggal jatuh waktu: 1. pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia yang dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJP yang belum lunas termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJP; 2. pembatasan transaksi outgoing rekening giro Bank dalam valuta asing serta rekening giro UUS dalam rupiah dan valuta asing, sejak Sistem BI- RTGS dibuka pada tanggal jatuh waktu PLJP; dan 3. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia baik rupiah maupun valuta asing termasuk saldo rekening giro dalam rupiah dan valuta asing milik UUS dari Bank yang dilakukan pada periode pre cut-off Sistem BI-RTGS; b. setelah tanggal jatuh waktu: 1. pendebitan rekening giro rupiah dan valuta asing Bank serta rekening giro rupiah dan valuta asing milik UUS, di Bank Indonesia, yang dilakukan pada saat Sistem BI-RTGS dibuka sebesar kewajiban PLJP yang belum lunas termasuk dalam hal terdapat biaya terkait dengan pemberian PLJP; dan 2. penihilan rekening giro Bank di Bank Indonesia baik rupiah maupun valuta asing termasuk saldo giro UUS dari Bank yang dilakukan pada periode pre cut-off Sistem BI-RTGS. 58 (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan Bank Indonesia sampai dengan kewajiban PLJP dapat dilunasi Bank. (3) Kurs yang digunakan dalam pendebitan rekening giro Bank dalam valuta asing adalah kurs beli dari kurs transaksi Bank Indonesia. (4) Bank Indonesia tetap menghitung bunga PLJP sampai dengan pokok PLJP dilunasi. (5) Bank yang belum melakukan pelunasan PLJP pada saat jatuh waktu tidak dapat menggunakan surat berharga sebagai pemenuhan prefund debit sejak tanggal jatuh waktu sampai dengan kewajiban PLJP lunas. Bagian Kelima Pelaksanaan Eksekusi Agunan PLJP Pasal 67 (1) Dalam hal kewajiban PLJP tidak dapat dilunasi setelah dilakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a, Bank Indonesia akan melakukan eksekusi agunan PLJP dalam rangka pelunasan kewajiban PLJP Bank. (2) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan, Bank Indonesia menyampaikan surat kepada Bank dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait yang menginformasikan: a. Bank tidak dapat melunasi kewajiban PLJP pada saat jatuh waktu; b. jumlah kewajiban PLJP yang belum dilunasi; dan c. Bank Indonesia akan melakukan tindak lanjut berupa eksekusi agunan, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu PLJP. 59 Pasal 68 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa surat berharga mulai hari kerja ke-1 setelah tanggal jatuh waktu PLJP. (2) Eksekusi agunan berupa SBI, SBIS, dan/atau SDBI dilakukan dengan cara mencairkan SBI, SBIS, dan/atau SDBI menggunakan nilai surat berharga pada posisi tanggal jatuh waktu PLJP. (3) Eksekusi agunan berupa SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau Sukuk Korporasi dilakukan melalui penjualan agunan oleh pialang, dengan pengaturan sebagai berikut: a. calon pembeli agunan dapat merupakan bank dan/atau pihak lain; b. window time penjualan SBN, Obligasi Korporasi, dan/atau Sukuk Korporasi dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB; c. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan rencana penjualan SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi kepada pialang; d. transaksi dilakukan melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) atau sarana lainnya; e. Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter akan mengumumkan pemenang kepada Pialang dan melakukan konfirmasi kepada Pialang yang penawarannya dimenangkan; f. pialang yang penawarannya dimenangkan menginformasikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengelolaan Moneter antara lain hal-hal sebagai berikut: 1. sub-registry bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen SBN; 2. lembaga kustodian untuk calon pembeli agunan yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan sebelum jatuh waktu (early redemption) 60 setelmen Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; dan 3. bank pembayar bagi calon pembeli agunan selain bank yang penawarannya diterima untuk pelaksanaan setelmen dana. g. calon pembeli yang penawarannya diterima yang merupakan bank dan bank pembayar yang ditunjuk wajib menyediakan dana di rekening giro Bank di Bank Indonesia; h. Bank Indonesia melakukan setelmen paling lambat pada 5 (lima) hari kerja (T+5) setelah pengumuman dengan mendebit rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank; i. Bank Indonesia melakukan setelmen surat berharga setelah pendebitan saldo rekening giro bank atau bank pembayar yang ditunjuk bagi calon pembeli agunan selain bank sebagaimana dimaksud pada huruf h berhasil dilaksanakan; j. dalam hal surat berharga berupa Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank Indonesia melakukan pemindahbukuan surat berharga tersebut ke rekening efek yang ditunjuk oleh pembeli surat berharga di KSEI; k. dalam hal agunan berupa SBN tidak terjual dan saldo rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi kewajiban PLJP sampai dengan berakhirnya jangka waktu pengikatan agunan SBN, Bank Indonesia memperpanjang jangka waktu pengikatan pengagunan SBN sampai dengan Bank dapat melunasi pokok PLJP ditambah bunga PLJP dan biaya terkait dengan pemberian PLJP; l. dalam hal terdapat pembayaran kupon dari Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi, Bank Indonesia meneruskan pembayaran tersebut ke rekening giro Bank yang ada di Bank Indonesia. 61 Pasal 69 (1) Bank Indonesia akan melakukan proses eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan mulai hari kerja ke-15 setelah tanggal jatuh waktu PLJP. (2) Bank dapat meminta kepada Bank Indonesia agar proses eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dipercepat sebelum hari kerja ke-15 sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Bank melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK terkait pada hari kerja dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Bank Indonesia akan menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau peringatan sebelum proses eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 70 (1) Eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dilakukan dengan cara: a. menjual hak tagih atas dasar Sertifikat Jaminan Fidusia melalui fiat eksekusi pengadilan; b. menjual hak tagih atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum; atau c. menjual di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia. (2) Dalam rangka eksekusi agunan PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan penilaian dan/atau penjualan terhadap agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. 62 (3) Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan mengenai pelaksanaan eksekusi agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan kepada Bank, dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. (4) Dalam rangka pelaksanaan eksekusi agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan Bank harus menginformasikan pengalihan tagihan kredit dan/atau pembiayaan kepada masing-masing debitur atau nasabah. (5) Dalam hal eksekusi agunan PLJP berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dilakukan melalui penjualan di bawah tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh Bank maka Bank harus menyampaikan rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJP berupa hak tagih atas Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan tersebut serta melaporkan realisasi eksekusi agunan dimaksud melalui surat kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350. (6) Rencana pelaksanaan eksekusi agunan PLJP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapat persetujuan Bank Indonesia. (7) Hasil eksekusi agunan PLJP disetorkan ke rekening yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 71 (1) Hasil eksekusi agunan diperhitungkan sebagai pelunasan terhadap kewajiban PLJP yang meliputi nilai pokok PLJP ditambah dengan akumulasi bunga PLJP, biaya eksekusi agunan, dan biaya lainnya terkait dengan pemberian PLJP. (2) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih besar dari kewajiban PLJP maka Bank Indonesia mengkredit rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia sebesar kelebihan hasil eksekusi agunan dari kewajiban PLJP. 63 (3) Dalam hal hasil eksekusi agunan lebih kecil daripada kewajiban PLJP maka Bank wajib menyetor tambahan dana untuk membayar kekurangan pelunasan kewajiban PLJP kepada Bank Indonesia termasuk dari agunan lain apabila tersedia. Pasal 72 Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan OJK maupun pihak lainnya untuk pelaksanaan dan/atau pemantauan eksekusi agunan. Bagian Keenam Biaya PLJP Pasal 73 Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian PLJP menjadi beban Bank yang menerima PLJP yang meliputi: a. biaya penggunaan kantor akuntan publik dalam kegiatan verifikasi dan/atau penilaian Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan; b. biaya notaris untuk pembuatan akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, termasuk perubahannya; c. biaya dalam rangka eksekusi agunan; d. biaya transaksi, biaya kustodian, dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi; e. biaya penyimpanan dokumen Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dengan menggunakan pihak ketiga; dan f. biaya lain terkait PLJP. BAB X PELAPORAN Pasal 74 Selama periode PLJP Bank wajib menyampaikan laporan sebagai berikut: 64 a. laporan harian yang terdiri atas: 1. laporan penggunaan PLJP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. laporan kondisi likuiditas Bank dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. laporan terkait agunan yang disampaikan dalam hal terdapat: 1. Obligasi Korporasi atau Sukuk Korporasi yang tidak memenuhi persyaratan peringkat yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a; 2. pelunasan kredit atau pembiayaan yang menjadi agunan PLJP oleh debitur atau nasabah Bank; dan/atau 3. Aset Kredit atau Aset Pembiayaan yang tidak memenuhi persyaratan kolektibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, c. d. e. yang memuat daftar agunan yang memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan/atau angka 3 dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; laporan perhitungan rasio KPMM; laporan rencana tindak perbaikan (remedial action plan) untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek; dan laporan lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia. Pasal 75 (1) Laporan harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a disampaikan setiap hari kerja paling lambat pukul 12.00 WIB untuk posisi 1 (satu) hari kerja sebelumnya. 65 (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c disampaikan dalam hal terdapat peristiwa yang mengakibatkan penurunan rasio KPMM Bank. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf d disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pencairan PLJP yang pertama kali. (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 disampaikan kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 dengan tembusan kepada OJK c.q. Departemen Pengawasan Bank, Kantor Regional OJK, atau Kantor OJK yang terkait. BAB XI PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN Pasal 76 (1) Pengawasan terhadap Bank yang menerima PLJP dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan memastikan penggunaan dana PLJP sesuai dengan peruntukannya dan pelaksanaan rencana pembayaran kembali PLJP sesuai dengan perjanjian pemberian PLJP. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimaksudkan untuk memantau dan memastikan pemenuhan persyaratan PLJP selama periode PLJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 77 (1) Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank yang menerima PLJP. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan OJK. 66 BAB XII LARANGAN DAN PEMBATASAN KEGIATAN BAGI BANK YANG MENERIMA PLJP Pasal 78 (1) Selama periode pemberian PLJP atau selama Bank belum melunasi kewajiban PLJP, Bank dilarang: a. melakukan penempatan dana; b. menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru kepada pihak terkait Bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya; c. merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank; dan d. melakukan pembagian dividen. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan larangan lain yang telah dikeluarkan oleh OJK. Pasal 79 Selama periode pemberian PLJP Bank hanya dapat mengikuti operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi. BAB XIII PENATAUSAHAAN DOKUMEN PLJP Pasal 80 (1) Bank Indonesia menatausahakan dokumen terkait PLJP berupa akta perjanjian pemberian PLJP dan akta pengikatan agunan PLJP, termasuk perubahannya serta dokumen yang terkait dengan agunan. (2) Dalam rangka penatausahaan dokumen yang terkait dengan agunan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan penyimpanan dokumen. 67 (3) Dalam hal dokumen disimpan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, maka pihak lain tersebut harus memelihara kelengkapan dan keamanan dokumen. BAB XIV SANKSI Pasal 81 (1) Bank yang melanggar ketentuan mengenai kebenaran data dan dokumen yang disampaikan kepada Bank Indonesia, larangan kegiatan selama periode PLJP, dan/atau kewajiban penyampaian laporan selama periode PLJP dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; b. PLJP tidak dapat diperpanjang; dan/atau c. tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu. (2) Bank yang tidak dapat melakukan pelunasan PLJP pada tanggal jatuh waktu PLJP dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu; dan c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter, termasuk penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS. (3) Bank yang tidak melakukan pelunasan PLJP setelah eksekusi agunan dilakukan, dikenakan sanksi berupa: a. b. teguran tertulis; tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dalam jangka waktu tertentu; c. penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter, termasuk penghentian sementara dari kepesertaan operasi moneter syariah bagi UUS; d. penurunan status kepesertaan SKNBI, termasuk penurunan status kepesertaan SKNBI bagi UUS; 68 e. penurunan status kepesertaan BI-RTGS, termasuk penurunan status kepesertaan BI-RTGS bagi UUS; dan/atau f. penurunan status kepesertaan BI-SSSS, termasuk penurunan status kepesertaan BI-SSSS bagi UUS. Pasal 82 Bank Indonesia menginformasikan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 kepada Bank dengan tembusan kepada OJK. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 84 (1) Ketentuan mengenai persyaratan pencantuman Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan dalam laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan terkini yang disampaikan secara berkala kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf k mulai berlaku untuk permohonan PLJP yang diajukan setelah tanggal 15 Juli 2017. (2) Ketentuan mengenai persyaratan bahwa agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan harus telah menjadi objek atau sampel pemeriksaan atau audit oleh kantor akuntan publik terhadap Bank paling lama 1 (satu) tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf i mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2018. 69 Pasal 85 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL I. UMUM Untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dapat dialami oleh perbankan, Bank Indonesia menyediakan PLJP kepada Bank. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional pada tanggal 13 April 2017. Sehubungan dengan hal di atas, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Bagi Bank Umum Konvensional yang mengatur mengenai mekanisme dan hal teknis pelaksanaan penyediaan PLJP. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Contoh dari pemenuhan persyaratan Bank tergolong sebagai Bank solven: 2 Bank mengajukan permohonan PLJP pada tanggal 6 Juni 2017. Dalam hal rasio KPMM bulan terkini yang memadai yang tersedia sesuai penilaian OJK yaitu posisi April 2017 maka rasio KPMM menggunakan posisi April 2017. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Peristiwa setelah periode pelaporan (subsequent events) yang dapat mempengaruhi rasio KPMM Bank yaitu subsequent events yang didukung dengan bukti objektif, contohnya: a. hasil pemeriksaan kantor akuntan publik atau otoritas yang menyesuaikan pengakuan biaya atau pendapatan tertentu; dan b. terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk membayar sejumlah tertentu oleh Bank kepada pihak lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œmampu untuk mengembalikan PLJPโ€ adalah Bank memiliki sumber dana untuk mengembalikan PLJP yang tercermin antara lain dari: 1. proyeksi arus kas Bank yang mencerminkan adanya dana masuk yang mencukupi untuk digunakan sebagai pelunasan PLJP; 2. dokumen pendukung lainnya yang mencerminkan adanya sumber dana untuk melunasi PLJP. Pasal 3 Cukup jelas. 3 Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan โ€œakad mudharabahโ€ adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (โ€˜amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Yang dimaksud dengan โ€œakad musyarakahโ€ adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing. Yang dimaksud dengan โ€œakad ijarah nonjasaโ€ adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Ayat (2) Cukup jelas. 4 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œ1 (satu) tahun terakhirโ€ adalah 1 (satu) tahun sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œ30 (tiga puluh) hari kalender terakhirโ€ adalah 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pengajuan permohonan PLJP. Contoh: Dalam hal Bank mengajukan PLJP pada tanggal 25 Juli 2017, perhitungan 30 (tiga puluh) hari kalender terakhir Obligasi Korporasi dan/atau Sukuk Korporasi aktif diperdagangkan yaitu sejak tanggal 25 Juni 2017 sampai dengan 24 Juli 2017. Yang dimaksud dengan โ€œdiperdagangkanโ€ adalah diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau di luar bursa (over the counter). Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 5 Pasal 8 Dalam hal terdapat perbedaaan informasi mengenai hal yang menjadi persyaratan Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang disampaikan oleh Bank dengan informasi yang dimiliki Bank Indonesia, maka yang digunakan adalah informasi yang dimiliki Bank Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œkolektibilitas tergolong lancarโ€ adalah kualitas tergolong lancar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Nilai agunan yang digunakan yaitu nilai pasar berdasarkan hasil penilai independen paling lama 2 (dua) tahun terakhir sebelum tanggal permohonan PLJP. Huruf d Yang dimaksud dengan "pihak terkait" adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum atau batas maksimum penyaluran dana yang berlaku bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œrestrukturisasiโ€ adalah restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum atau ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. Jangka waktu 3 (tiga) tahun terakhir dihitung sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal permohonan PLJP. Huruf f Cukup jelas. 6 Huruf g Batas maksimum pemberian kredit atau penyaluran dana mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan โ€kantor akuntan publikโ€ adalah kantor akuntan publik yang telah tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 7 Huruf d Untuk saat ini, lembaga yang melakukan penilaian harga efek yang diakui OJK yaitu Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyampaian tembusan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan kepada OJK dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan Bank Indonesia dan OJK. Ayat (4) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya. Koreksi laporan dilakukan dengan menyampaikan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan yang telah dikoreksi secara keseluruhan. Ayat (5) Contoh: Bank tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan posisi Juni 2017 sampai melewati batas waktu pelaporan tanggal 15 Juli 2017. Dalam hal ini, Bank tidak dapat mengajukan permohonan PLJP dengan agunan berupa Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sampai dengan tanggal 15 Januari 2018. Namun demikian, Bank 8 tetap dapat mengajukan PLJP dengan agunan berupa surat berharga yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Ayat (6) Apabila tanggal batas waktu penerimaan laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian yaitu hari kerja berikutnya. Bank yang tidak menyampaikan laporan berkala daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan maka tidak dapat melakukan pembaruan laporan untuk posisi laporan yang tidak disampaikan dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk keamanan penyampaian laporan, Bank memastikan antara lain bahwa laporan dilakukan oleh petugas Bank yang berwenang dan data yang disampaikan bebas dari virus. Ayat (3) Lampiran dalam bentuk softcopy dapat disampaikan melalui media perekam data elektronik antara lain compact disk atau flash disk. Surat yang disampaikan Bank antara lain memuat penjelasan mengenai alasan Bank tidak berhasil melakukan pengiriman laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan melalui sarana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Format laporan daftar Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III diunduh dari situs web Bank Indonesia. Ayat (6) Cukup jelas. 9 Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan โ€œdokumen pendukungโ€ antara lain perjanjian kredit dan/atau akad pembiayaan antara Bank dengan debitur atau nasabah, bukti pengikatan agunan, bukti kepemilikan atas aset yang menjadi agunan kredit dan/atau pembiayaan Bank, laporan keuangan debitur atau nasabah Bank, dan dokumen pendukung lainnya. Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal terdapat aset berupa SBIS, SBSN, dan/atau Sukuk Korporasi yang dicatat dalam pembukuan UUS dari Bank yang akan digunakan sebagai agunan PLJP maka Bank menambahkan keterangan dalam surat permohonan PLJP mengenai penggunaan aset tersebut untuk kepentingan PLJP dari Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 10 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Surat persetujuan disampaikan apabila diatur dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga di BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau the central depository and book entry settlement system (C-BEST) di KSEI. Huruf h Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tanggal aktivasi pemberian PLJP akan disampaikan oleh Bank Indonesia melalui surat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian pemberian PLJP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam melaksanakan penilaian bersama mengenai pemenuhan persyaratan agunan, Bank Indonesia dan 11 OJK dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank antara lain terhadap sistem informasi terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Dokumen yang terkait dengan agunan PLJP yang disampaikan Bank hanya untuk agunan PLJP sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. 12 Pasal 23 Huruf a Pengagunan surat berharga milik Bank yang sedang ditransaksikan dengan pihak lain dilakukan segera setelah transaksi dengan pihak lain tersebut jatuh waktu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œpihak ketigaโ€ antara lain kantor akuntan publik yang tercantum dalam daftar kantor akuntan publik yang diakui oleh OJK. Perjanjian atau kontrak penunjukan pihak ketiga yang ditandatangani oleh Bank dan pihak ketiga memuat klausul bahwa pekerjaan pihak ketiga dilakukan untuk kepentingan Bank Indonesia dan hasil pekerjaan diserahkan kepada Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 13 Ayat (3) Penyampaian tambahan agunan memperhatikan prioritas agunan PLJP berupa surat berharga yang memenuhi syarat untuk diagunkan terlebih dahulu sebelum Aset Kredit dan/atau Aset Pembiayaan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dokumen pendukung lainnya dapat berupa perjanjian pinjam meminjam jika dana berstatus dana pinjaman. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan dengan pengikatan agunan PLJP maka Bank menyampaikan surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. 14 Pasal 29 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJP. Pasal 30 Ayat (1) Tanggal aktivasi pemberian PLJP menunjukkan tanggal dimulainya periode PLJP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œsurat sanggup bayar (promissory note)โ€ adalah surat yang memuat kesanggupan dari Bank untuk membayar kepada Bank Indonesia atas pencairan dana PLJP. Surat sanggup bayar tersebut tidak dapat diperdagangkan di pasar uang. Huruf b Informasi dalam dokumen proyeksi arus kas termasuk rencana penggunaan PLJP. 15 Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "repurchase agreement rate" atau repo rate adalah tingkat suku bunga lending facility sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Penggantian agunan PLJP dimaksudkan agar nilai aset agunan PLJP secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJP dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Contoh permohonan pencairan pada saat Bank Indonesia memproses penggantian agunan PLJP: 16 Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Pada periode PLJP terdapat sejumlah agunan berupa Aset Kredit yang mengalami penurunan kolektibilitas sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai agunan PLJP yang mengakibatkan nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJP sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Mengingat nilai agunan tidak lagi mencukupi plafon, Bank mengajukan penggantian agunan kepada Bank Indonesia agar agunan dapat kembali mencukupi plafon. Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Dengan baki debet tersebut maka masih terdapat sisa plafon sebesar Rp450.000.000.000,00 โ€“ Rp250.000.000.000,00 = Rp200.000.000.000,00. Oleh karena itu, selama Bank Indonesia memproses permintaan penggantian agunan, Bank tetap dapat mengajukan pencairan PLJP paling banyak sampai dengan baki debet PLJP mencapai Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œpembatasan pencairanโ€ adalah Bank hanya dapat mencairkan PLJP paling banyak sebesar kelonggaran tarik yang didukung dengan kecukupan agunan. Contoh pembatasan pencairan: Contoh 1 Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJP sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). 17 Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Dengan baki debet tersebut maka masih terdapat kelonggaran tarik sebesar Rp450.000.000.000,00 โ€“ Rp250.000.000.000,00 = Rp200.000.000.000,00. Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan masih mencukupi baki debet PLJP dan masih memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan pembatasan pencairan PLJP paling banyak sampai dengan Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Contoh 2: Plafon awal PLJP sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). Nilai agunan secara keseluruhan turun sehingga nilai agunan hanya mencukupi untuk plafon PLJP sebesar Rp450.000.000.000,00 (empat ratus lima puluh miliar rupiah). Posisi baki debet PLJP saat ini sebesar Rp475.000.000.000,00. Berdasarkan kondisi tersebut maka nilai agunan saat ini sudah tidak lagi mencukupi baki debet PLJP sehingga Bank tidak lagi memiliki kelonggaran tarik. Oleh karena itu, Bank Indonesia tidak dapat lagi melakukan pencairan PLJP. Ayat (2) Penggantian agunan PLJP dimaksudkan agar nilai aset agunan PLJP secara keseluruhan dapat mencukupi plafon PLJP dengan memperhatikan ketentuan perhitungan nilai agunan. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 18 Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga di BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari kalender. Aktivasi PLJP 19 dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJP ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga berupa SBI, SUN, dan Obligasi Korporasi dengan rincian sebagai berikut: No Jenis Agunan 1 SBI, SDBI 2 SUN 3 Obligasi Korporasi atau Sukuk Korporasi Sisa Jangka Waktu (hari kalender) SBIS, 120 hari 100 hari 150 hari Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) Status 110-22 = 88 hari Diterima 110-22 = 88 hari Diterima 180-22 = 158 hari Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 20 Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pelunasan bunga dilakukan mulai awal pembukaan Sistem BI-RTGS sampai dengan awal periode pre-cut off Sistem BI- RTGS. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. 21 Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (3) Dalam hal pengikatan agunan lain dilakukan tidak bersamaan dengan pengikatan agunan PLJP maka Bank menyampaikan surat pernyataan atau surat kuasa untuk melakukan pengikatan agunan lain dari pemilik agunan lain. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJP. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 22 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Bank A menandatangani perjanjian PLJP pada tanggal 3 Juli 2017 dengan periode PLJP 14 (empat belas) hari kalender. Aktivasi PLJP dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 dan jatuh waktu pada tanggal 24 Juli 2017. Kemudian Bank A mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu PLJP selama 14 (empat belas) hari dari tanggal 24 Juli 2017 sampai dengan jatuh waktu tanggal 7 Agustus 2017. Akta perubahan perjanjian pemberian PLJP ditandatangani pada tanggal 24 Juli 2017. Sehubungan terdapat agunan PLJP periode sebelumnya yang tidak lagi memenuhi persyaratan, maka Bank mengajukan tambahan agunan surat berharga berupa SBI, SUN, dan Obligasi Korporasi dengan rincian sebagai berikut: 23 Jenis No Agunan 1 SBI, SBIS, SDBI 2 SUN 3 Obligasi Korporasi atau Sukuk Korporasi Sisa Jangka Waktu (hari kalender) 120 hari 100 hari 150 hari Persyaratan Sisa Jangka Waktu Paling Singkat (hari kalender) Status 110-22 = 88 hari Diterima 110-22 = 88 hari Diterima 180-22 = 158 hari Tidak diterima Keterangan: Jangka waktu mulai dari penandatanganan akta perjanjian pemberian PLJP sampai dengan jatuh waktu PLJP berjalan = 22 hari (dari 3 Juli 2017 sampai dengan 24 Juli 2017). Pasal 49 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Bukti kepemilikan antara lain berupa print out rekening surat berharga pada BI-SSSS di Bank Indonesia dan/atau C-BEST di KSEI. Huruf e Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. 24 Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pihak Bank yang berwenang yaitu direksi dan/atau dewan komisaris Bank yang memiliki kewenangan mewakili Bank sesuai anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi bahwa Bank tidak lagi memenuhi persyaratan antara lain diperoleh dari OJK dan/atau hasil verifikasi dan/atau penilaian bersama oleh Bank Indonesia dan OJK terhadap agunan PLJP. 25 Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan โ€œyang berwenangโ€ adalah direksi dan dewan komisaris yang berwenang sesuai dengan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga Bank. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. 26 Ayat (2) Contoh 1 Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.100.000.000,00. Posisi baki debet PLJP: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.200.000.000,00 โ€“ Rp1.100.000.000,00 = Rp100.000.000,00. Mengingat jumlah kelebihan saldo giro nilainya lebih rendah dari posisi baki debet PLJP maka Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank paling tinggi sebesar posisi kelebihan saldo rekening giro Bank yaitu Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan pendebitan rekening giro tersebut maka posisi baki debet PLJP terkini: Rp500.000.000,00 โ€“ Rp100.000.000,00 = Rp400.000.000,00. Contoh 2 Saldo giro Bank di akhir hari: Rp1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah). Kewajiban GWM: Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.100.000.000,00. Posisi baki debet PLJP: Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Kelebihan saldo di atas kewajiban GWM + 10% dari kewajiban GWM: Rp1.800.000.000,00 โ€“ Rp1.100.000.000,00 = Rp700.000.000,00. Mengingat posisi baki debet PLJP nilainya lebih rendah dari jumlah kelebihan saldo giro, maka Bank Indonesia mendebit rekening giro Bank paling tinggi sebesar baki debet PLJP yaitu Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dengan pendebitan rekening giro Bank tersebut maka posisi baki debet PLJP terkini: Rp500.000.000,00 โ€“ Rp500.000.000,00 = Rp0,00. 27 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Termasuk dalam biaya lain yaitu perkiraan atas biaya yang belum timbul atau belum ditagihkan oleh pihak lain kepada Bank Indonesia. Contoh: biaya terkait dengan penatausahaan Obligasi Korporasi dan Sukuk Korporasi di KSEI sebagai agunan PLJP. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pendebitan rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia dilakukan dengan mendahulukan pelunasan bunga PLJP, kemudian pembayaran pokok PLJP, dan selanjutnya biaya yang harus dibayar Bank apabila ada. 28 Biaya yang harus dibayar Bank yaitu biaya yang timbul sehubungan dengan proses PLJP yang belum dibayar atau dilunasi oleh Bank. Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Pelunasan kewajiban PLJP merupakan transaksi high priority sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, dan penyelesaiannya dilakukan mendahului penyelesaian transaksi lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œkurs transaksi Bank Indonesiaโ€ adalah kurs transaksi yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. Kurs yang digunakan yaitu kurs yang tersedia pada saat transaksi. 29 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengumuman kepada pialang dilakukan melalui sarana dealing system atau sarana lainnya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. 30 Huruf l Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ antara lain konsultan keuangan dan kantor jasa penilai publik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Persetujuan Bank Indonesia disertai dengan informasi rekening yang ditetapkan untuk menerima hasil eksekusi agunan PLJP di Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Bank Indonesia menginformasikan kelebihan hasil eksekusi agunan yang telah dikreditkan ke rekening giro Bank dalam rupiah di Bank Indonesia kepada Bank. Ayat (3) Bank Indonesia menginformasikan kekurangan pelunasan kewajiban PLJP kepada Bank. 31 Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Pengawasan dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan yang dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œkewajiban PLJPโ€ adalah pokok atau baki debet (outstanding) PLJP, bunga PLJP, dan biaya lainnya terkait PLJP. Larangan bagi Bank berlaku juga bagi UUS dari Bank penerima PLJP. Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpenempatan danaโ€ antara lain penempatan dana pada pasar uang antar bank (PUAB), pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), dan pembelian surat berharga. 32 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 79 Operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka operasi pasar terbuka dan transaksi lending facility dalam rangka standing facilities. Pembatasan keikutsertaan bagi Bank hanya dalam operasi moneter Bank Indonesia yang bersifat ekspansi berlaku juga bagi UUS dari Bank dalam operasi moneter syariah. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/6/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL </reg_title> <set_date> 31 Mei 2017 </set_date> <effective_date> 31 Mei 2017 </effective_date> <replaced_reg> '15/11/DPNP|SE-BI/2013' </replaced_reg> <related_reg> '19/3/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIV' </penalty_list>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/25/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan implementasi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian waktu pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi setelmen dana dan ketentuan mengenai fasilitas likuiditas intrahari; 2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/15/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/15/PADG/2018 tentang Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3 Pasal 153 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/8/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/37/DPSP tanggal 16 Desember 2016 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018. 2. Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 4 Pasal 154 Ketentuan mengenai: a. Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (4), Pasal 102 ayat (3) huruf c, Pasal 104, dan Pasal 105; b. grup prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dan Pasal 108; c. mekanisme antrean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 dan Pasal 111; dan d. fasilitas pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121, mulai berlaku pada tanggal 1 November 2018. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/25/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT I. UMUM Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI- RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem BI-ETP. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dana yang cukup pada saat pengiriman instruksi Setelmen Dana melalui Sistem BI-RTGS, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai mekanisme antrean dan penggunaan FLI. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 153 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 154 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/25/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/15/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN SETELMEN DANA SEKETIKA MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-REAL TIME GROSS SETTLEMENT </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2018 </set_date> <effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/15/PADG/2018' </changed_reg> <replaced_reg> '18/8/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018', '18/37/DPSP|SE-BI/2016 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018', '17/30/DPSP|SE-BI/2015 | kecuali: a. ketentuan mengenai pembuatan dan pengiriman instruksi Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.B.2.b; b. ketentuan mengenai mekanisme Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.3; c. ketentuan mengenai prioritas transaksi, sistem antrean, dan pengelolaan transaksi dalam antrean sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.4; dan d. ketentuan mengenai fasilitas penghemat likuiditas (liquidity saving) sebagaimana dimaksud dalam butir V.C.5.d, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Oktober 2018' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/17/PADG/2017 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia perlu mengatur kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam pelaksanaan berdasarkan prinsip syariah; operasi moneter c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kriteria Dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara Dalam Operasi Moneter Syariah; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5567); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 3. Bank adalah BUS dan UUS. 4. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 5. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka OMS. 6. Standing Facilities Syariah adalah fasilitas yang disediakan oleh Bank Indonesia kepada Bank dalam rangka OMS. 3 7. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, SBSN, dan surat berharga lain yang digunakan dalam transaksi OMS. 8. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 9. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN dalam mata uang rupiah. 10. SBSN Ritel atau dapat disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang dijual kepada individu atau orang perseorangan warga negara Indonesia melalui agen penjual. 11. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 12. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 13. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan SBIS. 14. Transaksi Repurchase Agreement SBSN yang selanjutnya disebut Transaksi Repo SBSN adalah transaksi penjualan SBSN oleh peserta OMS kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh peserta OMS sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 15. Transaksi Reverse Repo adalah transaksi pembelian Surat Berharga oleh peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 4 16. Transaksi Outright adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga oleh peserta OMS kepada Bank Indonesia secara putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali oleh peserta OMS. 17. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 18. Bank Indonesia โ€“ Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan, serta penatausahaan surat berharga, yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 19. Sistem Bank Indonesia โ€“ Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 20. Rekening Surat Berharga adalah rekening Bank pada BI- SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 21. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 5 22. Financing to Deposit Ratio yang selanjutnya disingkat FDR adalah rasio pembiayaan yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk pembiayaan kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk antar bank. 23. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. BAB II SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH Pasal 2 (1) Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam OMS yaitu sebagai berikut: a. diterbitkan dengan memenuhi prinsip syariah; b. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia; c. diterbitkan dalam mata uang rupiah; d. tercatat di BI-SSSS; dan e. tidak sedang diagunkan. (2) Jenis Surat Berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. SBIS; b. SBSN, yang meliputi: 1) SBSN Jangka Pendek; dan 2) SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel. Pasal 3 Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut: a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo SBIS untuk Standing Facilities Syariah; dan b. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo SBSN 6 untuk OPT Syariah dan Transaksi Repo SBSN untuk Standing Facilities Syariah. Pasal 4 (1) SBSN yang diperoleh peserta OMS dari Bank Indonesia dalam Transaksi Reverse Repo SBSN dapat digunakan kembali dalam transaksi di pasar sekunder. (2) Dalam hal peserta OMS melakukan transaksi di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transaksi dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. BAB III HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH Pasal 5 Bank Indonesia menetapkan harga dan haircut Surat Berharga yang digunakan dalam OMS. Pasal 6 Penetapan harga Surat Berharga oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur sebagai berikut: a. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh waktu; dan b. harga SBSN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan antara lain harga pasar masing- masing jenis dan seri SBSN. Pasal 7 (1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga Surat Berharga. (2) Haircut terhadap Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen); dan 7 b. untuk SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen). Pasal 8 Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). Pasal 9 Harga dan haircut Surat Berharga yang digunakan dalam OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, diumumkan oleh Bank Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain. Pasal 10 (1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan Surat Berharga secara outright oleh peserta OMS karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo SBSN dalam OPT Syariah atau karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo SBSN dalam Standing Facilities Syariah, harga Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen outright yaitu harga Surat Berharga pada tanggal transaksi first leg. (2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian Surat Berharga secara outright oleh peserta OMS karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo SBSN, harga Surat Berharga yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen outright yaitu harga Surat Berharga pada tanggal transaksi first leg. 8 BAB IV PERHITUNGAN NILAI SETELMEN TRANSAKSI OPERASI MONETER SYARIAH Bagian Kesatu Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Repo SBIS, Transaksi Repo SBSN, dan Transaksi Reverse Repo SBSN Pasal 11 (1) Nilai setelmen Surat Berharga adalah sebesar nilai nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan. (2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: a. SBIS nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan; b. SBSN Jangka Pendek Nilai setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” = Nominal Surat Berharga yang di-๐‘Ÿ๐‘’๐‘๐‘œ-kan atau ๐‘‘๐‘– โˆ’ ๐‘Ÿ๐‘’๐‘ฃ๐‘’๐‘Ÿ๐‘ ๐‘’ ๐‘Ÿ๐‘’๐‘๐‘œ โˆ’ ๐‘˜๐‘Ž๐‘› c. SBSN Jangka Panjang Nilai setelmen first leg =[ x ( Harga Surat Berharga โˆ’Haircut) Nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan Keterangan: harga Surat Berharga x( Harga Surat Berharga - Haircut)] +Accrued imbalan : harga SBSN sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN haircut : haircut sebagaimana diumumkan dalam Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal 9 Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN accrued imbalan : - hak atas imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen first leg - perhitungan hak atas imbalan SBSN didasarkan pada jumlah hari yang sebenarnya (actual per actual); dan d. SBSN Jangka Panjang, dalam hal terdapat pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg Nilai setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” = [ Nominal Surat Berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan Keterangan: harga Surat Berharga x( Harga Surat Berharga โˆ’ Haircut)] โˆ’ Accrued imbalan : harga SBSN sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN haircut : haircut sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN accrued imbalan : hak atas imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal setelmen first leg. (3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: 10 a. SBIS Nilai setelmen second leg Biaya Transaksi Repo SBIS Nilai = setelmen first leg Nilai = setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” x + Biaya Transaksi Repo SBIS Tingkat Biaya Repo SBIS ร— Jangka waktu 360 Keterangan: biaya Transaksi Repo SBIS : kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia pada Transaksi Repo SBIS karena peserta OMS tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS; dan b. SBSN Nilai setelmen second leg Nilai marjin Transaksi Repo/ Reverse Repo = Nilai = setelmen first leg Nilai setelmen first leg Keterangan: nilai marjin Transaksi Repo/ Transaksi Reverse Repo jangka waktu ร— + Nilai marjin Transaksi Repo/Reverse Repo Marjin Transaksi Repo/ Transaksi Reverse Repo ร— Jangka Waktu 360 : penerimaan Bank Indonesia atau Peserta OMS sesuai jangka waktu Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN : jangka waktu Transaksi Repo SBSN atau Transaksi Reverse Repo SBSN. 11 Bagian Kedua Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Outright Pasal 12 (1) Nilai setelmen Surat Berharga yaitu sebesar nilai nominal Surat Berharga yang ditransaksikan secara outright. (2) Nilai setelmen dana untuk transaksi pembelian atau penjualan Surat Berharga secara outright sebagai berikut: a. SBSN Jangka Pendek Nilai setelmen ๐‘œ๐‘ข๐‘ก๐‘Ÿ๐‘–๐‘”โ„Ž๐‘ก Nilai setelmen ๐‘œ๐‘ข๐‘ก๐‘Ÿ๐‘–๐‘”โ„Ž๐‘ก Keterangan: harga Surat Berharga = [ = b. SBSN Jangka Panjang Nominal Surat Berharga ร— Harga Surat Berharga ] + ๐ด๐‘๐‘๐‘Ÿ๐‘ข๐‘’๐‘‘ imbalan Nominal Surat Berharga ร— Harga Surat Berharga : harga Surat Berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga Surat Berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme nonlelang accrued imbalan : hak atas imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen Transaksi Outright; dan c. SBSN Jangka Panjang, dalam hal terdapat pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal setelmen Transaksi Outright 12 Nilai setelmen ๐‘œ๐‘ข๐‘ก๐‘Ÿ๐‘–๐‘”โ„Ž๐‘ก Keterangan: harga Surat Berharga = [ Nominal Surat Berharga ร— Harga Surat Berharga ] โˆ’ ๐ด๐‘๐‘๐‘Ÿ๐‘ข๐‘’๐‘‘ imbalan : harga Surat Berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga Surat Berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal Transaksi Outright dilakukan dengan mekanisme nonlelang accrued imbalan : hak atas imbalan Surat Berharga yang dihitung sejak tanggal setelmen Transaksi Outright sampai dengan tanggal pembayaran imbalan Surat Berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal Transaksi Outright. Bagian Ketiga Perhitungan Accrued Imbalan Pasal 13 Accrued imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 dihitung dengan rumus perhitungan accrued imbalan per unit sebagai berikut: AI = Nร— Keterangan: AI N C n ร— a E : accrued imbalan per unit : nominal Surat Berharga per unit yaitu Rp 1.000.000 13 (satu juta Rupiah) C n a E : nilai imbalan : frekuensi pembayaran imbalan dalam setahun : jumlah hari sebenarnya (actual days) : jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode imbalan sampai dengan tanggal pembayaran imbalan berikutnya. Bagian Keempat Pelunasan SBIS Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Pasal 14 Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Repo SBIS dalam rangka Standing Facilities Syariah jatuh waktu, nilai setelmen early redemption sebesar nilai nominal Surat Berharga yang di early redeem. BAB V KRITERIA DAN PERSYARATAN PESERTA DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH Bagian Kesatu Peserta Operasi Moneter Syariah Pasal 15 (1) Bank Indonesia menetapkan kriteria peserta OMS dengan mempertimbangkan aspek kapasitas, kapabilitas, dan reputasi. (2) Peserta OMS terdiri atas peserta OPT Syariah dan peserta Standing Facilities Syariah. (3) Peserta OPT Syariah dan peserta Standing Facilities Syariah adalah Bank. (4) Peserta OMS melakukan transaksi OMS untuk kepentingan diri sendiri. 14 Pasal 16 (1) Peserta OMS dalam rupiah adalah Bank yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berstatus aktif sebagai peserta di Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan Sistem BI-RTGS; b. memiliki Rekening Giro rupiah di Bank Indonesia; c. memiliki Rekening Surat Berharga di BI-SSSS; dan d. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS. (2) Peserta OMS dalam valuta asing adalah Bank yang melakukan kegiatan dalam valuta asing, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia; dan b. tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS. Pasal 17 Selain persyaratan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, peserta OMS yang mengikuti kegiatan OPT Syariah dalam rupiah yang bersifat absorpsi harus memiliki FDR paling sedikit 80% (delapan puluh persen) berdasarkan perhitungan otoritas yang berwenang yang diterima oleh Bank Indonesia. Pasal 18 (1) Dalam hal peserta OMS berasal dari perubahan kegiatan usaha bank konvensional dan data FDR belum tersedia, perhitungan FDR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menggunakan data loan to deposit ratio dari bank umum konvensional sebelum diubah kegiatan usahanya menjadi BUS. (2) Data loan to deposit ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perhitungan otoritas yang berwenang yang diterima oleh Bank Indonesia. 15 Pasal 19 Peserta OMS wajib: a. menyediakan: 1) dana rupiah di Rekening Giro di Bank Indonesia; dan/atau 2) Surat Berharga di Rekening Surat Berharga di BI- SSSS, yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi OMS; dan/atau b. mentransfer dana valuta asing ke rekening Bank Indonesia di bank koresponden yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi OMS. Bagian Kedua Lembaga Perantara Pasal 20 (1) Lembaga perantara melakukan transaksi OPT Syariah untuk kepentingan peserta OMS. (2) Lembaga perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan b. perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama. (3) Perusahaan efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat menjadi lembaga perantara pada: a. Transaksi Repo SBSN; b. Transaksi Reverse Repo SBSN; dan c. dalam OPT Syariah. Pasal 21 Persyaratan lembaga perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) yaitu sebagai berikut: a. berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-ETP; dan transaksi pembelian atau penjualan SBSN secara outright di pasar sekunder, 16 b. tidak sedang dikenakan sanksi terkait izin usaha oleh otoritas pengawas yang berwenang. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan Surat Berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam OMS dalam semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5567), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/17/PADG/2017 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH I. UMUM Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah. Dalam melaksanakan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah tersebut, Bank Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat digunakan, peserta, dan lembaga perantara dalam transaksi operasi moneter berdasarkan prinsip syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Pemenuhan prinsip syariah dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. 2 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. 3 Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Kegiatan OPT Syariah dalam rupiah yang bersifat absorpsi meliputi antara lain transaksi penerbitan SBIS dan Transaksi Reverse Repo SBSN. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œloan to deposit ratioโ€ adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. 4 Pasal 22 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tentang Operasi Moneter Syariah, antara lain: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/40/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/41/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/42/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah; d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/43/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah; e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/44/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/45/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia dalam rangka Standing Facilities Syariah; g. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/46/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; dan h. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/31/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Tata Cara Penempatan Berjangka (Term Deposit) Syariah dalam Valuta Asing. Pasal 23 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/17/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA, PESERTA, DAN LEMBAGA PERANTARA DALAM OPERASI MONETER SYARIAH </reg_title> <set_date> 28 Desember 2017 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2017 </effective_date> <replaced_reg> '16/12/PBI/2014' </replaced_reg> <related_reg> '16/12/PBI/2014' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/20/PADG/2019 TENTANG SYSTEMATIC INTERNALISERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan pasar keuangan yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing; b. bahwa salah satu penyelenggara sarana pelaksanaan transaksi yaitu systematic internalisers; c. bahwa agar kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat terlaksana dengan baik dan terstruktur maka diperlukan ketentuan pelaksanaan bagi systematic internalisers dan pelaku pasar di pasar keuangan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Systematic Internalisers; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/5/PBI/2019 tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6336); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG SYSTEMATIC INTERNALISERS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang selanjutnya disebut Penyelenggara Transaksi adalah badan usaha yang menyediakan teknologi dan menyelenggarakan sarana untuk melaksanakan transaksi di pasar uang dan pasar valuta asing yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia. 2. Pasar Uang adalah pasar uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 3. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penjualan dan/atau pembelian valuta asing terhadap rupiah. 4. Pelaku Pasar adalah pelaku Pasar Uang dan pelaku Pasar Valuta Asing. 5. Pelaku Pasar Uang adalah pelaku Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. 6. Pelaku Pasar Valuta Asing adalah pihak yang melakukan kegiatan transaksi di Pasar Valuta Asing. 7. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik berbasis teknologi komputasi dan telekomunikasi. 8. Systematic Internalisers adalah bank yang menyediakan sarana tertentu yang digunakan dalam melakukan transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing atas akun milik sendiri dengan Pengguna Jasa. 9. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa yang ditawarkan oleh Systematic Internalisers. 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk unit usaha syariah. 11. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II PERIZINAN Pasal 2 (1) Systematic Internalisers wajib memperoleh izin operasional dari Bank Indonesia. (2) Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan izin operasional kepada Bank Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman; b. memiliki sumber daya manusia yang kompeten; c. memiliki kondisi finansial yang sehat sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; d. memiliki rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; 2. potensi ekonomi; dan 3. komitmen dalam pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; e. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; f. memiliki tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; g. memperoleh keterangan pendaftaran atau persetujuan atas penambahan instrumen dan/atau transaksi dari otoritas yang berwenang; dan h. memenuhi persyaratan administratif lainnya. Pasal 3 (1) Systematic Internalisers sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menyampaikan surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi. (3) Contoh surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional sebagai Systematic Internalisers tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 4 Surat permohonan untuk mendapatkan izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan keamanan infrastruktur, berupa: 1. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana pelaksana transaksi; dan 2. hasil audit teknologi informasi terkini sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; b. struktur organisasi yang menunjukkan bahwa Systematic Internalisers memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidang tresuri dan/atau teknologi informasi; c. dokumen yang menunjukkan kondisi finansial yang sehat sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; d. rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) manfaat dan biaya bagi Bank; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi, yang mencakup maksimal nominal transaksi dan minimal nominal transaksi; 4) calon Pengguna Jasa; dan 5) manfaat dan risiko bagi Pengguna Jasa; 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; dan 3. surat pernyataan yang berisi komitmen untuk mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing domestik; e. dokumen keterangan pendaftaran atau persetujuan atas penambahan instrumen dan/atau transaksi dari otoritas yang berwenang; f. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko yang efektif dan tata kelola yang baik khususnya terkait teknologi informasi sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; dan g. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan. Pasal 5 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terhadap dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Systematic Internalisers untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Systematic Internalisers harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kembali kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Systematic Internalisers belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Systematic Internalisers dianggap telah membatalkan permohonan untuk mendapatkan izin operasional. Pasal 6 Bank Indonesia melakukan kunjungan ke lokasi Systematic Internalisers (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional. Pasal 7 (1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin operasional sebagai Systematic Internalisers melalui surat paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Bank Indonesia memublikasikan Systematic Internalisers yang telah memperoleh izin operasional pada laman resmi Bank Indonesia. Pasal 8 Systematic Internalisers harus melaporkan pelaksanaan kegiatan usaha paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan kegiatan usaha. BAB III JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI Pasal 9 Jenis instrumen dan/atau transaksi yang dapat ditawarkan oleh Systematic Internalisers mencakup: a. instrumen moneter baik konvensional dan/atau dengan prinsip syariah; b. transaksi di Pasar Uang baik dalam rupiah dan/atau valuta asing termasuk dengan prinsip syariah; c. transaksi di Pasar Valuta Asing yaitu transaksi spot, swap, forward, dan option valuta asing terhadap rupiah; d. instrumen dan/atau transaksi di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia; dan/atau e. instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya, sesuai dengan persetujuan Bank Indonesia. BAB IV PERUBAHAN JENIS INSTRUMEN DAN/ATAU TRANSAKSI DAN SISTEM ELEKTRONIK Pasal 10 Systematic Internalisers wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia dalam hal akan melakukan perubahan: a. jenis instrumen dan/atau transaksi; dan b. Sistem Elektronik secara signifikan, yang menimbulkan risiko terganggunya transaksi Pengguna Jasa. Bagian Kesatu Perubahan Jenis Instrumen dan/atau Transaksi Pasal 11 Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki infrastruktur yang andal dan aman untuk mendukung perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi; b. memperbarui rencana bisnis untuk 2 (dua) tahun pertama sejak rencana perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan; dan 2. potensi ekonomi; c. memiliki kesiapan penerapan manajemen risiko yang efektif; d. menyampaikan hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan e. memenuhi persyaratan administratif lainnya. Pasal 12 (1) Surat permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. dokumen yang menunjukkan keandalan dan keamanan infrastruktur untuk mendukung perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi, berupa: 1. keterangan mengenai jenis, spesifikasi, jumlah unit, dan kapasitas sarana pelaksanaan transaksi; dan 2. hasil audit teknologi informasi terkini sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; b. rencana bisnis yang telah diperbarui untuk 2 (dua) tahun pertama sejak perubahan yang memuat paling sedikit: 1. studi kelayakan yang paling sedikit meliputi: a) manfaat dan biaya bagi Bank; dan b) model bisnis yang paling sedikit meliputi: 1) mekanisme transaksi; 2) jenis instrumen dan/atau transaksi yang akan diselenggarakan; 3) nominal transaksi, yang mencakup maksimal nominal transaksi dan minimal nominal transaksi; 4) calon Pengguna Jasa; dan 5) manfaat dan risiko bagi Pengguna Jasa; dan 2. potensi ekonomi yang meliputi penjelasan mengenai jangkauan atau cakupan wilayah bisnis dan strategi bisnis; c. prosedur operasional standar yang menunjukkan manajemen risiko yang efektif khususnya terkait teknologi informasi sesuai dengan ketentuan otoritas yang berwenang; d. hasil uji coba implementasi perubahan sistem, dalam hal terdapat pengembangan sistem; dan e. dokumen administratif lainnya dalam hal diperlukan. (2) Surat permohonan atas perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi. (3) Contoh surat permohonan atas perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I. Bagian Kedua Perubahan Sistem Elektronik Pasal 13 (1) Systematic Internalisers yang mengajukan permohonan perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b harus menyampaikan rencana perubahan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum implementasi perubahan kepada Bank Indonesia. (2) Systematic Internalisers wajib menyampaikan surat permohonan perubahan Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b secara signifikan kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum implementasi perubahan. (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. alasan dan deskripsi perubahan Sistem Elektronik secara signifikan; b. analisis dan mitigasi risiko perubahan Sistem Elektronik secara signifikan; dan c. persyaratan administratif lainnya. (4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi. (5) Contoh surat permohonan atas perubahan Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I. Pasal 14 (1) Dalam hal berdasarkan penelitian Bank Indonesia terhadap dokumen pendukung: a. perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); dan b. perubahan Sistem Elektronik secara signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), terdapat dokumen yang dinilai tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan kepada Systematic Internalisers untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung. (2) Systematic Internalisers harus melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menyampaikan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja sejak tanggal pemberitahuan tertulis disampaikan oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Systematic Internalisers belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi dan/atau diperbaiki, Systematic Internalisers dianggap telah membatalkan permohonan perubahan. Pasal 15 Bank Indonesia dapat melakukan kunjungan ke lokasi Systematic Internalisers (on site visit) untuk memastikan kesiapan operasional atas perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Pasal 16 (1) Bank Indonesia menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan jenis instrumen dan/atau transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan permohonan perubahan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) melalui surat paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen pendukung dinyatakan lengkap. (2) Systematic Internalisers harus melaporkan realisasi atas perubahan Sistem Elektronik kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah dilakukan impelementasi perubahan. BAB V KEWAJIBAN Bagian Kesatu Penyampaian Informasi Pasal 17 (1) Systematic Internalisers wajib menyampaikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal: a. terdapat indikasi manipulasi pasar yang dilakukan oleh Pengguna Jasa; b. terdapat kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional; c. melakukan penghentian sementara kegiatan sebagai Systematic Internalisers; d. terjadi perselisihan antara Systematic Internalisers dengan Pengguna Jasa; e. dikenakan sanksi oleh otoritas terkait di dalam negeri dan/atau di luar negeri terkait penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di pasar keuangan; f. terdapat perjanjian pertukaran informasi yang telah disepakati antara Systematic Internalisers dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas yang berwenang di dalam negeri dan/atau di luar negeri; dan/atau g. terdapat informasi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah kejadian. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf g disampaikan kepada Bank Indonesia melalui laporan insidental paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja setelah kejadian. Bagian Kedua Konektivitas dengan Sistem Bank Indonesia Pasal 18 Sistem Elektronik Systematic Internalisers wajib terkoneksi dengan sistem Bank Indonesia dan/atau infrastruktur lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bagian Ketiga Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Manajemen Risiko Pasal 19 Systematic Internalisers wajib menerapkan prinsip kehati- hatian yang dituangkan dalam pedoman internal yang paling sedikit memuat: a. pedoman etika bisnis sebagai Systematic Internalisers; b. transparansi dan keterbukaan informasi; c. mekanisme penyelesaian sengketa; dan d. perlindungan konsumen. Pasal 20 Dalam menerapkan manajemen risiko yang efektif khususnya terkait teknologi informasi, Systematic Internalisers wajib memiliki: a. perencanaan keberlangsungan bisnis; b. rencana pemulihan bencana; dan c. jaringan komunikasi yang memenuhi prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan. Pasal 21 Dalam menawarkan jasanya kepada Pengguna Jasa, Systematic Internalisers wajib memiliki buku pedoman (rule book) yang paling sedikit memuat: a. aturan mengenai transparansi dan keterbukaan informasi; b. mekanisme penyelesaian sengketa; c. tata cara pendaftaran Pengguna Jasa; d. penghentian layanan kepada Pengguna Jasa; dan e. struktur biaya yang dikenakan kepada Pengguna Jasa. Bagian Keempat Tata Cara Pelaporan Pasal 22 (1) Systematic Internalisers wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia sebagai berikut: a. b. laporan berkala; dan laporan insidental. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. laporan transaksi bulanan; dan b. laporan audit sistem. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas kewajiban penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). Pasal 23 (1) Laporan transaksi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a memuat informasi mengenai volume instrumen dan/atau transaksi yang dilakukan melalui Systematic Internalisers dan disampaikan setiap bulan paling lambat 14 (empat belas) Hari Kerja setelah berakhirnya bulan laporan. (2) Laporan audit sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b memuat laporan hasil audit sistem dari auditor independen eksternal atau internal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 20 (dua puluh) Hari Kerja sejak hasil audit sistem diterbitkan. (3) Format laporan transaksi bulanan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 24 (1) Systematic Internalisers menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) kepada Bank Indonesia secara online atau offline. (2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Systematic Internalisers dengan berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan secara online. (3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) disampaikan secara offline. BAB VI PENGAWASAN Bagian Kesatu Tata Cara Pengawasan Pasal 25 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Systematic Internalisers yang meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan/atau b. pemeriksaan. (2) Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap Systematic Internalisers, Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang. (3) Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Pihak lain yang ditugaskan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. (5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap penyedia teknologi yang melakukan kerja sama dengan Systematic Internalisers. Pasal 26 Dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, petugas pemeriksa yang ditugaskan oleh Bank Indonesia dilengkapi dengan surat penugasan yang memuat tujuan pemeriksaan, objek pemeriksaan, atau informasi lainnya. Bagian Kedua Pencabutan Izin Operasional Berdasarkan Hasil Evaluasi Pasal 27 (1) Bank Indonesia melakukan evaluasi atas izin operasional yang diberikan kepada Systematic Internalisers berdasarkan hasil pengawasan dan informasi dari otoritas lain. (2) Bank Indonesia dapat melakukan pencabutan izin operasional sebagai Systematic Internalisers berdasarkan hasil evaluasi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VII TATA CARA PENCABUTAN IZIN DI LUAR PENGENAAN SANKSI Bagian Kesatu Pencabutan Izin Usaha Bank oleh Otoritas yang Berwenang Pasal 28 Dalam hal Systematic Internalisers dicabut izin usahanya sebagai Bank oleh otoritas yang berwenang, Bank Indonesia mengeluarkan surat pencabutan izin operasional Systematic Internalisers. Bagian Kedua Pencabutan Izin Operasional atas Permintaan Sendiri Pasal 29 (1) Systematic Internalisers yang akan melakukan pencabutan izin operasional atas permintaan sendiri menyampaikan surat permohonan pencabutan izin operasional kepada Bank Indonesia. (2) Surat permohonan pencabutan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling sedikit oleh 1 (satu) anggota direksi. (3) Surat permohonan pencabutan izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan informasi sebagai berikut: a. alasan penghentian kegiatan sebagai Systematic Internalisers; b. tanggal efektif penghentian kegiatan sebagai Systematic Internalisers; dan c. mekanisme pemberitahuan atau publikasi kepada Pengguna Jasa mengenai rencana penghentian kegiatan sebagai Systematic Internalisers. (4) Contoh surat permohonan pencabutan izin operasional atas permintaan sendiri sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. BAB VIII TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 30 (1) Dalam hal pihak dan/atau Systematic Internalisers melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia menyampaikan surat teguran tertulis kepada Systematic Internalisers yang melakukan pelanggaran. (2) Dalam hal Systematic Internalisers melakukan pelanggaran atas ketentuan yang sama dari Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Systematic Internalisers. (3) Dalam hal Systematic Internalisers melakukan pelanggaran dengan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 5 (lima) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, Bank Indonesia mengenakan sanksi penghentian sementara selama 6 (enam) bulan kepada Systematic Internalisers. (4) Dalam hal Systematic Internalisers yang terkena sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak melakukan penghentian kegiatan operasional paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal surat sanksi penghentian sementara, Bank Indonesia mencabut izin operasional Systematic Internalisers tersebut. BAB IX KORESPONDENSI Pasal 31 (1) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait perizinan dan pengaturan disampaikan kepada: Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat Surat elektronik: [email protected]. (2) Alamat surat-menyurat atau korespondensi terkait pelaporan disampaikan kepada: Departemen Surveilans Sistem Keuangan Komplek Perkantoran Bank Indonesia Jalan MH. Thamrin Nomor 2 Jakarta Pusat. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 (1) Pihak yang telah menyelenggarakan kegiatan sebagai Systematic Internalisers dan telah beroperasi sebelum Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini berlaku, tetap dapat melakukan kegiatan sebagai Systematic Internalisers. (2) Systematic Internalisers sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap wajib memenuhi persyaratan izin operasional paling lambat tanggal 28 April 2020. (3) Systematic Internalisers yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan kegiatan penyelenggaraan sarana pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 31 Oktober 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/ 20/PADG/2019 TENTANG SYSTEMATIC INTERNALISERS I. UMUM Kegiatan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang pesat sebagai dampak positif dari kebijakan Bank Indonesia. Era globalisasi juga menambah tuntutan bagi Pelaku Pasar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas di dalam pelaksanaan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing. Sarana pelaksanaan transaksi juga ikut berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Hal ini berdampak pada munculnya berbagai alternatif penyedia sarana pelaksanaan transaksi bagi pelaku pasar salah satunya Systematic Internalisers. Sebagai penyedia sarana penyelenggaraan transaksi berbasis sistem elektronik, Systematic Internalisers dituntut untuk memiliki tata kelola dan manajemen risiko yang baik dalam rangka mendorong terciptanya Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang berintegritas, adil, teratur, transparan, likuid, dan efisien. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œinfrastruktur yang andal dan amanโ€ antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œsumber daya manusia yang kompetenโ€ antara lain: 1. memiliki sertifikasi tresuri untuk sumber daya manusia yang bertindak sebagai dealer sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri; dan/atau 2. memiliki pengalaman di bidang teknologi informasi untuk sumber daya manusia yang terkait teknologi informasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan jenis produk yang terdiri atas instrumen dan/atau transaksi, rencana pengembangan sistem, dan aspek lain yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing untuk 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin operasional dari Bank Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kompetensi di bidang tresuri antara lain dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat tresuri. Kompetensi di bidang teknologi informasi antara lain dibuktikan dengan pengalaman di bidang teknologi informasi. Huruf c Yang dimaksud โ€œdokumen yang menunjukkan kondisi finansial yang sehatโ€ antara lain dapat berupa hasil penilaian sendiri (self assesment) atas tingkat kesehatan Bank yang terkini terkait kondisi finansial. Huruf d Rencana bisnis juga dapat mencakup rencana pengembangan jenis produk yang terdiri atas instrumen dan/atau transaksi, rencana pengembangan sistem, dan aspek lainnya yang terkait transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing untuk 2 (dua) tahun pertama setelah memperoleh izin operasional dari Bank Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Instrumen moneter antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) termasuk SBI dengan prinsip syariah, Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), dan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dalam valuta asing. Huruf b Transaksi di Pasar Uang antara lain transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), Pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS), dan jenis transaksi lainnya yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Huruf c Transaksi di Pasar Valuta Asing termasuk juga jenis transaksi yang telah distandardisasi antara lain dari aspek tenor, minimum volume dan/atau kelipatan volume, dan tanggal setelmen. Transaksi spot mencakup transaksi today dan tomorrow. Huruf d Instrumen Pasar Uang antara lain transaksi jual beli sertifikat deposito (negotiable certificate of deposit) dan surat berharga komersial (commercial paper) berbentuk scripless. Transaksi di Pasar Valuta Asing antara lain derivatif valuta asing terhadap rupiah yang merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah serta suku bunga valuta asing dan rupiah atau gabungan antarturunan dari nilai tukar valuta asing terhadap rupiah. Huruf e Instrumen dan/atau transaksi keuangan lainnya antara lain currency futures dan/atau interest rate futures serta transaksi Surat Berharga Negara dengan mengacu pada ketentuan otoritas terkait. Pasal 10 Huruf a Contoh melakukan perubahan atas jenis instrumen dan/atau transaksi yaitu: Systematic Internalisers yang menyelenggarakan transaksi spot ingin menambah layanannya untuk transaksi swap. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œperubahan Sistem Elektronik secara signifikanโ€ yaitu perubahan Sistem Elektronik yang bersifat mendasar, struktural, dan berbiaya tinggi sehingga berpotensi mengganggu kelancaran transaksi Pengguna Jasa, misalnya Systematic Internalisers melakukan perubahan operating system. Pasal 11 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œinfrastruktur yang andal dan amanโ€ antara lain Sistem Elektronik dan/atau perangkat komunikasi dengan jumlah unit atau kapasitas yang cukup dan teknologi yang tidak obsolet. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œmanipulasi pasarโ€ antara lain: 1. layering and spoofing, yaitu memasukkan penawaran secara berulang pada satu sisi (bid atau offer) untuk selanjutnya melakukan eksekusi transaksi atas sisi yang berlawanan; 2. manipulation of benchmarks, yaitu mengirimkan informasi palsu atau menyesatkan, melakukan input yang salah atau menyesatkan, atau aktivitas setara lainnya dengan sengaja untuk memanipulasi perhitungan benchmark harga, suku bunga, atau nilai tukar; 3. momentum ignition, yaitu memasukkan order atau order berseri yang bertujuan memulai atau memperburuk tren dan mendorong Pelaku Pasar mengakselerasi atau memperpanjang tren sehingga menciptakan kesempatan atau peluang bagi Pelaku Pasar tersebut untuk melakukan unwind atau membuka posisi pada tingkat harga yang diinginkan; 4. price flashing, yang merupakan salah satu bentuk strategi manipulasi yang serupa dengan spoofing, antara lain melakukan distribusi harga atau order ke dalam suatu ETP dalam jangka waktu singkat pada frekuensi tertentu dimana risiko eksekusi minimal atau tidak ada dan memberikan kesan yang keliru terkait harga dan likuiditas di pasar; atau 5. quote stuffing, yaitu Pelaku Pasar memasukkan sejumlah besar pesanan dan/atau pembatalan atau pembaruan pesanan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pelaku Pasar lainnya, memperlambat proses transaksi, dan untuk menyamarkan strategi mereka sendiri. Huruf b Kejadian yang berpotensi memengaruhi kelancaran operasional antara lain: 1. Systematic Internalisers melakukan pemeliharaan sistem dan/atau jaringan Sistem Elektronik; dan/atau 2. Systematic Internalisers mengalami gangguan koneksi dan/atau serangan virus, sehingga mengganggu layanan kepada Pengguna Jasa. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Perjanjian pertukaran informasi dengan pihak lain atau kewajiban penyampaian informasi kepada otoritas lain meliputi data transaksi domestik. Contoh penyampaian informasi kepada otoritas lain yaitu: Systematic Internalisers yang merupakan perusahaan global dan beroperasi di berbagai negara melaporkan seluruh transaksi yang terjadi dalam ETP termasuk transaksi di pasar domestik kepada otoritas negara lain maka Systematic Internalisers wajib melaporkan hal tersebut kepada Bank Indonesia. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a Salah satu pedoman etika bisnis yang dapat diacu yaitu market code of conduct yang diterbitkan oleh komite pasar antara lain Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC) dan/atau Bank for International Settlement (BIS). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud โ€œstruktur biayaโ€ adalah biaya-biaya yang dikenakan tanpa adanya diskriminasi dan diperlakukan sama kepada semua Pengguna Jasa. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Contoh: Laporan transaksi bulanan untuk bulan Januari 2020 disampaikan paling lambat tanggal 20 Februari 2020. Ayat (2) Contoh: Laporan hasil audit sistem informasi diterbitkan oleh auditor pada tanggal 31 Maret 2020. Systematic Internalisers menyampaikan laporan hasil audit sistem paling lambat pada tanggal 29 April 2020. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pihak lain yang ditugaskan antara lain auditor independen yang memiliki sertifikasi dan kompetensi di bidang keuangan dan/atau teknologi informasi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/20/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> SYSTEMATIC INTERNALISERS </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2019 </set_date> <effective_date> 31 Oktober 2019 </effective_date> <related_reg> '21/5/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/15/PADG/2017 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan mengenai penyelenggaraan teknologi finansial untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan teknologi finansial; b. bahwa agar kebijakan Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan teknologi finansial dapat dilaksanakan dengan baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan maka diperlukan ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi para pihak yang menjadi penyelenggara teknologi finansial; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial. 2 Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5945); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6142); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Teknologi Finansial adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. 2. Penyelenggara Teknologi Finansial adalah setiap pihak yang menyelenggarakan kegiatan Teknologi Finansial. 3. Inovasi adalah penggunaan teknologi baru dan/atau penerapan ide baru dalam mekanisme, instrumen, hukum, dan/atau infrastruktur dalam penyelenggaraan Teknologi Finansial. 3 4. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran adalah penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. 5. Regulatory Sandbox adalah suatu ruang uji coba terbatas yang aman untuk menguji Penyelenggara Teknologi Finansial beserta produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnisnya. 6. Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial di Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial adalah daftar Penyelenggara Teknologi Finansial yang dinyatakan telah terdaftar di Bank Indonesia. BAB II PENDAFTARAN Bagian Kesatu Pendaftaran dan Penyampaian Informasi Pasal 2 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang: a. akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial berupa: 1) bersifat inovatif; 2) dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis; 3) dapat memberikan manfaat bagi masyarakat; 4) dapat digunakan secara luas; dan 5) kriteria lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. berada di bawah kewenangan otoritas lain yang menyelenggarakan Teknologi Finansial di bidang sistem pembayaran, wajib mendaftar pada Bank Indonesia. 4 (2) Kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi: a. Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia; dan/atau b. Penyelenggara Teknologi Finansial yang berada di bawah kewenangan otoritas lain. Pasal 3 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a harus menyampaikan informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru kepada Bank Indonesia. Bagian Kedua Kelembagaan Penyelenggara Teknologi Finansial Pasal 4 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus merupakan badan usaha. (2) Untuk Penyelenggara Teknologi Finansial berupa lembaga selain bank yang memenuhi kategori sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, Penyelenggara Teknologi Finansial tersebut harus merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia. Bagian Ketiga Tata Cara Pendaftaran bagi Penyelenggara Teknologi Finansial Pasal 5 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menyampaikan permohonan pendaftaran kepada Bank Indonesia. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dalam bahasa 5 Indonesia dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir pendaftaran. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara daring (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia. (5) Format permohonan dan formulir pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara Teknologi Finansial mengajukan permohonan pendaftaran melalui surat. Bagian Keempat Dokumen Pendaftaran Pasal 6 (1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Penyelenggara Teknologi Finansial harus memastikan kebenaran atas seluruh dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dituangkan dalam surat pernyataan bermeterai cukup sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Teknologi Finansial. 6 Bagian Kelima Pemrosesan Pendaftaran Pasal 7 (1) Dalam memproses permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberitahukan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial untuk melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik. (3) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari Bank Indonesia. (4) Dalam hal Penyelenggara Teknologi Finansial tidak melengkapi kekurangan dokumen dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Penyelenggara Teknologi Finansial dinyatakan membatalkan permohonan pendaftaran. (5) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Teknologi Finansial telah lengkap maka Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen. (6) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dokumen yang disampaikan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial tidak benar dan/atau tidak sesuai termasuk jika permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Bank Indonesia menolak permohonan pendaftaran. 7 (7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dokumen telah dinyatakan benar dan sesuai, Bank Indonesia mencantumkan Penyelenggara Teknologi Finansial dalam Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial. (8) Bank Indonesia menyampaikan hasil penelitian kebenaran dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) kepada Penyelenggara Teknologi Finansial. Bagian Keenam Publikasi dan Penghapusan Penyelenggara Teknologi Finansial Terdaftar Pasal 8 (1) Bank Indonesia memublikasikan Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial pada laman resmi Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia melakukan pengkinian terhadap Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial dalam laman resmi Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Bank Indonesia dapat menghapus Penyelenggara Teknologi Finansial dari Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. berdasarkan hasil pemantauan Bank Indonesia, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis sudah tidak digunakan oleh Penyelenggara Teknologi Finansial; b. Penyelenggara Teknologi Finansial telah memperoleh izin dari Bank Indonesia atau otoritas yang berwenang; c. Penyelenggara Teknologi Finansial dikenakan sanksi oleh Bank Indonesia dan/atau otoritas yang berwenang; 8 d. Penyelenggara Teknologi Finansial terbukti melakukan tindak pidana atau dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; e. f. terdapat rekomendasi dan/atau permintaan tertulis dari otoritas berwenang; permintaan tertulis dari Penyelenggara Teknologi Finansial; dan/atau g. Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data dan/atau informasi yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Bagian Ketujuh Tata Cara Penyampaian Informasi bagi Penyelenggara Teknologi Finansial Berupa Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Pasal 10 (1) Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 menyampaikan informasi mengenai produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru kepada Bank Indonesia. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang mewakili Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. (3) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga disertai dengan pengisian dan pengiriman formulir penyampaian informasi. (4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara daring (online), melalui tautan di laman resmi Bank Indonesia. (5) Format penyampaian informasi dan formulir penyampaian informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 9 (6) Dalam hal sarana pendaftaran secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran menyampaikan informasi melalui surat. Pasal 11 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) disampaikan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran disertai dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Bank Indonesia melakukan penelitian atas kelengkapan, kebenaran, dan kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap, Bank Indonesia memberitahukan kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melengkapi kekurangan dokumen melalui surat elektronik. (4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diterima Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan kekurangan dokumen dari Bank Indonesia. (5) Dalam hal Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran tidak melengkapi kekurangan dokumen sesuai pemberitahuan Bank Indonesia dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran dapat dikenakan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. (6) Dalam hal dokumen yang disampaikan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran telah lengkap maka Bank Indonesia melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen. 10 (7) Dalam hal berdasarkan penelitian kebenaran dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen telah dinyatakan benar dan sesuai, Bank Indonesia mencatat produk, layanan teknologi, dan/atau model bisnis baru tersebut. BAB III PRINSIP MANAJEMEN RISIKO DAN KEHATI-HATIAN Pasal 12 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah terdaftar di Bank Indonesia wajib menerapkan prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian dalam menyelenggarakan Teknologi Finansial. (2) Prinsip manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian yang paling sedikit dilakukan terhadap kepengurusan, kebijakan dan prosedur, serta pengendalian intern. (3) Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup risiko keamanan informasi, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan Teknologi Finansial. (4) Penerapan manajemen risiko dan kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan kompleksitas produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari Penyelenggara Teknologi Finansial. BAB IV PEMANTAUAN Pasal 13 Bank Indonesia melakukan pemantauan terhadap Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah tercantum dalam Daftar Penyelenggara Teknologi Finansial. 11 Pasal 14 (1) Penyelenggara Teknologi Finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib menyampaikan data dan/atau informasi yang diminta oleh Bank Indonesia. (2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi: a. transaksi terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial, yang disampaikan secara berkala; b. produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis; c. kondisi keuangan; d. kepengurusan dan kepemilikan; dan e. data dan/atau informasi lain. (3) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan secara bulanan yaitu pada minggu pertama bulan berikutnya. (4) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d disampaikan secara tahunan yaitu pada bulan pertama tahun berikutnya. (5) Dalam hal terjadi perubahan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, Penyelenggara Teknologi Finansial harus menyampaikan informasi perubahan data dan/atau informasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal perubahan. (6) Penyampaian data dan/atau informasi dilakukan secara daring (online) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Dalam hal sarana penyampaian data dan/atau informasi secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) belum tersedia, Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data dan/atau informasi melalui surat atau surat elektronik. 12 BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 15 (1) Surat menyurat dan komunikasi dengan Bank Indonesia terkait pelaksanaan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini disampaikan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office dengan alamat di Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Gedung Thamrin Lantai 4, Jalan M.H. Thamrin Nomor 2, Jakarta 10350. (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia akan memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2017 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/15/PADG/2017 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL I. UMUM Kebijakan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Teknologi Finansial bertujuan untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter, menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk makroprudensial, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang sistem pembayaran. Kebijakan yang terdiri dari pengaturan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan Teknologi Finansial ini penting agar Bank Indonesia dapat melakukan monitoring dan mitigasi risiko dari potensi berkembangnya transaksi perekonomian yang tidak terawasi (shadow economy) serta untuk terus mendorong pengembangan ekosistem Teknologi Finansial agar semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dengan menerapkan prinsip perlindungan konsumen, manajemen risiko, dan kehati-hatian. Sehubungan dengan itu, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial agar terdapat pedoman yang jelas dalam rangka pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia terkait penyelenggaraan Teknologi Finansial tersebut. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak yang berwenang mewakili penyelenggara Teknologi Finansial antara lain: a. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum perseroan terbatas yaitu direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas; dan b. bagi Penyelenggara Teknologi Finansial berbadan hukum koperasi yaitu pengurus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkoperasian. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Surat tertulis diajukan kepada Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran c.q. Bank Indonesia Financial Technology Office. 3 Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bagi permohonan yang dinyatakan batal, maka seluruh dokumen milik Penyelenggara Teknologi Finansial yang telah disampaikan tidak dikembalikan kepada Penyelenggara Teknologi Finansial. Ayat (5) Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara Teknologi Finansial. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 4 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap antara lain putusan untuk menghentikan kegiatan usaha. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Dalam melakukan penelitian kebenaran dan kesesuaian dokumen, Bank Indonesia antara lain melakukan penelitian atas dokumen yang disampaikan, meminta konfirmasi, dan/atau meminta informasi lebih lanjut kepada Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran. Ayat (7) Cukup jelas. 5 Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Risiko lainnya termasuk namun tidak terbatas pada: a. risiko keuangan; b. risiko likuiditas; c. risiko hukum; d. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Dalam pelaksanaan pemantauan, Bank Indonesia dapat melakukan kegiatan seperti peninjauan lapangan, diskusi, dan/atau klarifikasi. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Transaksi mencakup nilai, volume, dan/atau pengguna. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk kondisi keuangan adalah mengenai permodalan. Huruf d Penyelenggara Teknologi Finansial menyampaikan data dan/atau informasi mengenai rencana perubahan modal dan/atau kepemilikan serta realisasi perubahan modal dan/atau kepemilikan dimaksud. Huruf e Cukup jelas. risiko reputasi. 6 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Alamat surat elektronik Bank Indonesia Financial Technology Office yaitu [email protected]. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 19/15/PADG/2017 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENDAFTARAN, PENYAMPAIAN INFORMASI, DAN PEMANTAUAN PENYELENGGARA TEKNOLOGI FINANSIAL </reg_title> <set_date> 30 November 2017 </set_date> <effective_date> 30 November 2017 </effective_date> <related_reg> '18/40/PBI/2016', '19/12/PBI/2017' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/9/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dilaksanakan melalui operasi pasar terbuka dan standing facilities; b. bahwa pelaksanaan operasi moneter berdasarkan prinsip syariah secara terus menerus diperkuat salah satunya dengan penyempurnaan akad transaksi deposit facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara 2 Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/6/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6341); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/37/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES. Pasal I Ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/37/PADG/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 42 ayat (4) diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan cara penempatan dana rupiah oleh Peserta Standing Facilities secara berjangka di Bank Indonesia. 3 (2) Transaksi Deposit Facility sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. tanpa disertai dengan penerbitan surat berharga; dan b. tidak dapat diperdagangkan, tidak dapat diagunkan, dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. (3) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dilaksanakan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). (4) Transaksi Deposit Facility yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan akad juโ€™alah. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/9/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES I. UMUM Operasi Moneter dapat dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk operasi pasar terbuka dan standing facilities. Pelaksanaan Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah secara terus menerus diperkuat salah satunya dengan penyempurnaan akad transaksi deposit facility yang dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang semula menggunakan akad wadiโ€™ah menjadi akad juโ€™alah sesuai dengan opini dari Dewan Syariah Nasional โ€“ Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan perubahan kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 tentang Standing Facilities. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œakad juโ€™alahโ€ adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (โ€˜iwadh/juโ€™l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/9/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/9/PADG/2018 TENTANG STANDING FACILITIES </reg_title> <set_date> 2 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 2 Mei 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/9/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/37/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '21/6/PBI/2019', '20/9/PADG/2018', '20/37/PADG/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
2 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/23/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk segera memenuhi kebutuhan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal diperlukan percepatan implementasi ketentuan mengenai tata cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa untuk mendukung percepatan implementasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu penyesuaian waktu pemberlakuan ketentuan mengenai tata cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur 20/2/PADG/2018 tentang Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari; Nomor 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/2/PADG/2018 tentang Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas Intrahari diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggara adalah Bank Indonesia yang menyelenggarakan sistem dalam kegiatan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 3 2. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain yang ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System. 3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 4. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah, dan transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 5. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta yang dilakukan secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. 6. Transaksi adalah Transaksi dengan Bank Indonesia dan Transaksi Pasar Keuangan. 7. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan Transaksi dan penatausahaan Surat Berharga yang dilakukan secara elektronik. 8. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 4 9. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 10. Bank Peserta Sistem BI-RTGS adalah Bank yang telah memenuhi persyaratan dan memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta Sistem BI-RTGS. 11. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Bank Peserta Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan setelmen dana. 12. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan Rekening Setelmen Dana. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Penetapan harga, haircut, dan perhitungan nilai Surat Berharga yang tersedia di rekening FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga, peserta, dan lembaga perantara dalam operasi moneter. 3. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2018. 5 Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/23/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI I. UMUM Bahwa Bank Indonesia telah melakukan penyempurnaan Sistem BI- RTGS dan BI-SSSS untuk mendukung perubahan kebijakan larangan queue bersamaan dengan kegiatan penggantian infrastruktur yang digunakan untuk Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk segera mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal maka diperlukan percepatan pemberlakuan ketentuan mengenai tata cara penggunaan fasilitas likuiditas intrahari. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Cukup jelas. 2 Angka 3 Pasal 11 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/23/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/2/PADG/2018 TENTANG TATA CARA PENGGUNAAN FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2018 </set_date> <effective_date> 31 Oktober 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/2/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/3/PADG/2019 TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya dalam valuta asing merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi perekonomian nasional serta merupakan bagian dari pengelolaan aliran modal untuk mendukung kestabilan ekonomi makro; b. bahwa pengelolaan utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya dalam valuta asing perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian sehingga mengurangi kerentanan eksternal dan risiko sistemik untuk mendukung stabilitas sistem keuangan; c. bahwa pengaturan kegiatan utang luar negeri bank dan kewajiban bank lainnya dalam valuta asing didukung ketentuan pelaksanaan sebagai pedoman bagi bank; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya dalam Valuta Asing; perlu 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6297); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan bank umum syariah serta unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, serta kantor bank umum dan bank umum syariah berbadan hukum Indonesia yang beroperasi di luar negeri. 2. Utang Luar Negeri Bank yang selanjutnya disebut ULN Bank adalah utang Bank kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan/atau rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. 3. Penduduk adalah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar. 4. Kewajiban Jangka Pendek adalah kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) sampai dengan 1 (satu) tahun. 3 5. Kewajiban Jangka Panjang adalah kewajiban Bank berupa ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing, yang berjangka waktu asal (original maturity) lebih dari 1 (satu) tahun. 6. Surat Utang Valuta Asing Domestik yang selanjutnya disebut Surat Utang Valas Domestik adalah surat utang dalam valuta asing yang diterbitkan Bank di bursa dalam negeri maupun dijual secara private placement kepada Penduduk. 7. Transaksi Partisipasi Risiko yang selanjutnya disingkat TPR adalah transaksi pengalihan risiko atas individual kredit dan/atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian induk transaksi partisipasi risiko (master risk participation agreement). 8. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 9. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia. 10. Operasi Moneter adalah operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. 11. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. Pasal 2 (1) Bank dapat memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing. (2) Kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Surat Utang Valas Domestik; dan b. TPR. 4 (3) ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan jangka waktunya terbagi atas: a. Kewajiban Jangka Pendek; dan b. Kewajiban Jangka Panjang (4) Bank yang memiliki ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 (1) TPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b berdasarkan jangka waktunya terbagi atas: a. TPR jangka pendek; dan b. TPR jangka panjang (2) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilakukan oleh Bank sebagai grantor dengan pihak lain bukan Penduduk sebagai participant; b. disertai dengan aliran dana dari pihak lain bukan Penduduk sebagai participant kepada Bank sebagai grantor saat transaksi mulai berlaku (funded); dan c. tanpa pengalihan hak tagih dari Bank sebagai grantor kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai participant. (3) TPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang kemudian dialihkan hak tagihnya kepada pihak lain bukan Penduduk sebagai participant diperlakukan sebagai utang luar negeri milik debitur Bank kepada participant. (4) Bank wajib melaporkan pengalihan hak tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 5 BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA PENDEK Pasal 4 (1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap Kewajiban Jangka Pendek dengan membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank. (2) Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ULN Bank jangka pendek; b. Surat Utang Valas Domestik jangka pendek; dan c. TPR jangka pendek. Pasal 5 (1) Bank Indonesia dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam hal Bank sangat memerlukan Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi ketentuan otoritas berdasarkan informasi dan/atau rekomendasi otoritas terkait. (2) Bank yang bermaksud memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyampaikan surat permohonan pengecualian kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format surat permohonan pengecualian pembatasan saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Pengajuan surat permohonan pengecualian kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat atau bukti lainnya dari otoritas terkait yang berisi: 6 a. informasi bahwa Bank sangat memerlukan Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi ketentuan otoritas terkait; dan/atau b. pemberian rekomendasi kepada Bank untuk melakukan Kewajiban Jangka Pendek guna mengatasi permasalahan yang mendesak dan/atau untuk memenuhi ketentuan otoritas terkait. (4) Bank Indonesia memberikan jawaban atas surat permohonan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 15 (lima belas) Hari Kerja sejak dokumen diterima dengan lengkap. Pasal 6 (1) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikecualikan terhadap: a. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali untuk mengatasi kesulitan likuiditas Bank; b. ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali untuk penyaluran kredit ke sektor riil; c. dana usaha kantor cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri sampai dengan 100% (seratus persen) dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); d. kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilai; e. giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasional, termasuk anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional; f. giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia yang meliputi penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN, dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; 7 g. giro milik bukan Penduduk yang menampung dana hasil penjualan kembali atau divestasi atas penyertaan langsung, pembelian saham, pembelian obligasi korporasi Indonesia, pembelian SBN, dan/atau pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; h. giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham pengendali yang digunakan untuk penyaluran kredit ke proyek infrastruktur; i. giro milik bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah oleh lembaga supranasional untuk pembiayaan proyek infrastruktur; dan/atau j. giro atau deposito milik bukan Penduduk yang diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara dana setoran modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti yang memadai, yaitu: a. untuk ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali guna mengatasi kesulitan likuiditas Bank paling sedikit berupa laporan proyeksi arus kas dan laporan posisi likuiditas; b. untuk ULN Bank jangka pendek dari pemegang saham pengendali guna penyaluran kredit ke sektor riil paling sedikit berupa analisis pemberian kredit Bank, bukti mutasi penerimaan dana, dan realisasi kredit;. c. untuk penempatan dana usaha dari kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri pada kantor cabangnya di Indonesia paling sedikit berupa bukti penempatan atau transfer dan laporan keuangan Bank; d. untuk kewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilai Bank paling sedikit berupa deal ticket dan jurnal pembukuan mark-to-market; 8 e. untuk giro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga internasional termasuk anggota stafnya paling sedikit berupa fotokopi identitas pemilik rekening; f. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia melalui penyertaan langsung paling sedikit berupa bukti penyertaan termasuk nominal, identitas penyetor, dan identitas penerima penyertaan; g. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk pembelian surat berharga paling sedikit berupa bukti pembelian saham, obligasi, atau reksa dana yang tercatat di lembaga kustodian atau bursa efek; h. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk pembelian SBN atau surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, paling sedikit telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); i. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk penjualan kembali atau divestasi atas penyertaan langsung atau penjualan kembali surat berharga, paling sedikit berupa bukti perubahan kepemilikan saham atau surat berharga; j. untuk giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk penjualan kembali SBN atau surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, paling sedikit telah tercatat pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS); k. untuk giro milik bukan Penduduk yang menampung dana yang diterima Bank dari kreditur nonpemegang saham pengendali untuk penyaluran kredit ke proyek infrastruktur paling sedikit berupa salinan perjanjian kredit antara pemilik giro dengan debitur proyek infrastruktur; l. untuk giro milik bukan Penduduk yang menampung dana hasil penerbitan obligasi berdenominasi rupiah 9 oleh lembaga supranasional untuk pembiayaan proyek infrastruktur, paling sedikit berupa prospektus obligasi dan bukti penerbitan obligasi; dan/atau m. untuk giro atau deposito milik bukan Penduduk yang diperuntukkan sebagai penyimpanan sementara dana setoran modal Bank, paling sedikit berupa bukti masuk dana setoran modal ke Bank dan bukti pelaksaaan due dilligence oleh pihak yang ditunjuk calon investor. Pasal 7 (1) Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya diperpanjang kurang dari 1 (satu) tahun tetap merupakan Kewajiban Jangka Pendek. (2) Kewajiban Jangka Panjang yang jangka waktunya diperpendek sehingga memiliki jangka waktu asal (original maturity) menjadi sampai dengan 1 (satu) tahun diperlakukan sebagai Kewajiban Jangka Pendek. (3) Kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka Panjang yang jangka waktunya diperpendek sehingga jangka waktu asal (original maturity) kewajiban tersebut menjadi sampai dengan 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 8 Perhitungan posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tercantum dalam contoh sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 10 BAB III PRINSIP KEHATI-HATIAN TERHADAP KEWAJIBAN JANGKA PANJANG Bagian Kesatu Rencana Masuk Pasar Pasal 9 (1) Bank yang akan masuk pasar untuk memperoleh Kewajiban Jangka Panjang wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia. (2) Kewajiban Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. ULN Bank jangka panjang; b. Surat Utang Valas Domestik jangka panjang; dan c. TPR jangka panjang. (3) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada OJK. Pasal 10 (1) Permohonan persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung, berupa: a. surat permohonan persetujuan rencana masuk pasar yang dilengkapi dengan informasi dan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. surat pernyataan bahwa rencana masuk pasar telah tercantum dalam rencana bisnis Bank yang ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang anggota direksi Bank, sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran V yang merupakan 11 bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dalam hal Bank akan melakukan Kewajiban Jangka Panjang dalam bentuk pinjaman subordinasi (subordinated loan) yang dilakukan atas dasar rekomendasi OJK, surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digantikan oleh surat atau bukti lainnya dari OJK yang menyatakan bahwa OJK memberikan rekomendasi kepada Bank untuk melakukan Kewajiban Jangka Panjang dalam bentuk pinjaman subordinasi (subordinated loan). (3) Dalam hal Bank akan melakukan Kewajiban Jangka Panjang atas dasar informasi dan/atau rekomendasi otoritas terkait untuk mengatasi permasalahan yang mendesak dan/atau memenuhi ketentuan otoritas terkait, surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digantikan oleh surat atau bukti lainnya dari otoritas terkait yang berisi: a. informasi bahwa Bank sangat memerlukan Kewajiban Jangka Panjang untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak dan/atau untuk memenuhi ketentuan otoritas terkait; dan/atau b. pemberian rekomendasi melakukan Kewajiban Jangka Panjang kepada Bank untuk mengatasi permasalahan yang mendesak dan/atau memenuhi ketentuan otoritas terkait. (4) Informasi dan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: a. b. informasi rencana tanggal masuk pasar; informasi terms and conditions kewajiban, yaitu: 1. mata uang, jumlah, dan bentuk kewajiban; 2. pemberi kewajiban (untuk penerbitan surat utang atau pinjaman sindikasi dengan memperhatikan region/negara potensial pembeli/target pembeli serta underwriter atau lead manager); 3. hubungan dengan peminjam; 12 4. jangka waktu, termasuk masa tenggang (grace period); 5. maturity profile (pokok dan bunga); 6. suku bunga atau kupon indikatif; 7. biaya terkait; 8. debt covenant; 9. lain-lain (dalam terdapat hal lain yang perlu disampaikan); c. alasan dan tujuan melakukan kewajiban; d. analisis forecast cashflow yang dibuat bank, sesuai dengan tenor kewajiban dengan memperhatikan current exposure Bank dan komposisi utang lainnya termasuk dalam rupiah, sebagaimana format proyeksi arus kas yang tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; e. analisis kesiapan risk management/asssessment Bank terhadap risiko; dan f. rancangan perjanjian pinjaman, dalam hal ada. (5) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan informasi, klarifikasi dan/atau dokumen tambahan selain informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 11 (1) Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun diperlakukan sebagai Kewajiban Jangka Panjang baru. (2) Kewajiban memperoleh persetujuan rencana masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) juga berlaku bagi Kewajiban Jangka Pendek yang jangka waktunya diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 12 (1) Bank Indonesia dapat menyetujui atau menolak permohonan persetujuan rencana masuk pasar yang 13 diajukan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). (2) Bank Indonesia menyampaikan secara tertulis persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga puluh) Hari Kerja setelah dokumen yang dipersyaratkan diterima secara lengkap. (3) Dokumen diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila Bank Indonesia telah menerima: a. seluruh dokumen pendukung dimaksud dalam Pasal 10 secara lengkap; sebagaimana b. informasi, klarifikasi, dan/atau dokumen tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5); dan c. data dan informasi mengenai kondisi Bank dari OJK, termasuk rekomendasi OJK. (4) Setelah menerima dokumen secara lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menyetujui atau menolak permohonan persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. syarat dan ketentuan (terms and condition) Kewajiban Jangka Panjang; b. kondisi ekonomi makro dan pasar keuangan; c. kondisi sistem keuangan; d. kondisi keuangan Bank; dan e. hal lainnya yang dianggap penting oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal permohonan persetujuan masuk pasar Bank ditolak, Bank dapat mengajukan kembali permohonan persetujuan masuk pasar kepada Bank Indonesia tanpa periode tunggu. Pasal 13 (1) Persetujuan masuk pasar yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Bank berlaku untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan masuk pasar. 14 (2) Bank dapat masuk pasar secara sekaligus atau bertahap sepanjang tidak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 14 (1) Persetujuan masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) yang belum direalisasikan oleh Bank dapat menjadi tidak berlaku dalam hal Bank melakukan aksi korporasi. (2) Keberlakuan persetujuan masuk pasar bagi Bank yang melakukan aksi korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. dalam hal Bank melakukan penggabungan (merger), persetujuan masuk pasar yang tetap berlaku yaitu persetujuan yang telah diperoleh oleh Bank yang menerima penggabungan (surviving bank); b. dalam hal Bank melakukan peleburan (konsolidasi), persetujuan masuk pasar yang telah diperoleh Bank yang meleburkan diri menjadi tidak berlaku; c. dalam hal Bank melakukan pemisahan, baik pemisahan murni maupun pemisahan tidak murni (spin off), persetujuan masuk pasar yang telah diperoleh Bank yang melakukan pemisahan menjadi tidak berlaku; dan d. dalam hal Bank mengalami pengambilalihan (akuisisi), persetujuan masuk pasar yang telah diperoleh Bank tetap berlaku. Bagian Kedua Laporan Realisasi Masuk Pasar Pasal 15 (1) Bank yang telah masuk pasar wajib menyampaikan laporan realisasi masuk pasar paling lambat: a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman, ULN Bank dalam bentuk surat utang yang diterbitkan melalui private placement, Surat Utang 15 Valas Domestik yang diterbitkan melalui private placement, dan TPR, yaitu 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal masuk pasar; dan b. untuk ULN Bank dalam bentuk surat utang dan Surat Utang Valas Domestik yang diterbitkan melalui bursa, yaitu 7 (tujuh) Hari Kerja setelah tanggal penyelesaian transaksi. (2) Dalam hal terdapat perbedaan syarat dan ketentuan Kewajiban Jangka Panjang pada saat sebelum dan sesudah masuk pasar, Bank wajib menjelaskan kepada Bank Indonesia penyebab perbedaan tersebut dalam laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara memadai. (3) Dalam hal Bank tidak merealisasikan rencana masuk pasar dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Bank harus melaporkan alasannya kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) Hari Kerja setelah berakhirnya jangka waktu persetujuan masuk pasar. (4) Dalam hal Bank melakukan perubahan jangka waktu Kewajiban Jangka Panjang menjadi kurang dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Bank harus melaporkan perubahan jangka waktu tersebut kepada Bank Indonesia. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan menggunakan formulir laporan realisasi masuk pasar sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 16 BAB IV TATA CARA PENGENAAN SANKSI Pasal 16 (1) Bank Indonesia menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank yang akan dikenai sanksi administratif dengan menyebutkan: a. jenis pelanggaran; b. tanggal pelanggaran; c. besarnya nominal sanksi,untuk sanksi administratif berupa kewajiban membayar; d. perhitungan nominal sanksi, untuk sanksi administratif berupa kewajiban membayar; e. periode pengenaan sanksi, untuk sanksi larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar dan sanksi pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter; dan/atau f. jenis pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter, untuk sanksi pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter. (2) Surat pemberitahuan secara tertulis kepada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada OJK. (3) Bank diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan tertulis atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) Hari Kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dari Bank Indonesia. (4) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bank tidak menyampaikan tanggapan tertulis atau tanggapan tertulis yang disampaikan Bank tidak dapat diterima oleh Bank Indonesia maka Bank Indonesia menyampaikan surat penetapan pengenaan sanksi kepada Bank. 17 (5) Pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar dilakukan dengan mendebit saldo rekening giro rupiah Bank yang ada di Bank Indonesia. BAB V KORESPONDENSI Pasal 17 (1) Seluruh korespondensi terkait ketentuan Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing disampaikan kepada: Bank Indonesia Departemen Surveilans Sistem Keuangan Jl. M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350 (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat dan/atau media lainnya. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 18 Selain penyampaian laporan realisasi masuk pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank juga wajib menyampaikan laporan terkait ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelaporan Bank Indonesia. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: 18 a. Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; b. Surat Edaran Nomor 10/32/DInt tanggal 14 Oktober 2008 perihal Perubahan atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; c. Surat Edaran Nomor 14/30/DInt tanggal 22 Oktober 2012 perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; d. Surat Edaran Nomor 15/36/DKEM tanggal 30 Agustus 2013 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank; dan e. Surat Edaran Nomor 16/4/DKEM tanggal 7 April 2014 perihal Perubahan Keempat atas Surat Edaran Nomor 9/1/DInt tanggal 15 Februari 2007 perihal Pinjaman Luar Negeri Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Februari 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, MIRZA ADITYASWARA PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/3/PADG/2019 TENTANG UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING I. UMUM Dalam menjalankan tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan di sektor moneter, khususnya menjaga stabilitas nilai rupiah melalui kebijakan pengelolaan lalu lintas modal, Bank Indonesia telah melakukan pengaturan ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asing. Pengaturan tersebut dilakukan melalui penerbitan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing. Untuk mendukung pelaksanaan pengaturan tersebut, diperlukan Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur hal teknis mengenai tata cara penerapan prinsip kehati-hatian terhadap kewajiban Bank, baik yang berjangka panjang maupun pendek, sebagai pedoman bagi Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Surat Utang Valas Domestik dapat berupa obligasi, floating rate notes, medium term notes, promissory notes, dan bentuk surat utang lainnya. Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip kehati-hatianโ€ adalah kegiatan pengelolaan risiko yang mencakup risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko kepatuhan, dan risiko lainnya. Pasal 3 Ayat (1) Pengkategorian TPR berdasarkan jangka waktu ditentukan berdasarkan jangka waktu perjanjian pengalihan risiko atas individual kredit dan/atau fasilitas lainnya. Contoh 1: Bank A menyalurkan kredit sebesar USD100 juta kepada PT. XYZ dengan jangka waktu kredit 4 (empat) tahun yang ditandatangani pada bulan Juni 2018 dan akan jatuh tempo pada bulan Juni 2022. Bank A dan Bank B (bukan Penduduk) memiliki perjanjian induk TPR (master risk participation agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2018 dan berlaku sampai dengan 1 Juni 2023. Pada bulan September 2021, Bank A melakukan TPR atas kredit tersebut dengan Bank B di Singapura (bukan Penduduk) sebagai participant dengan jangka waktu TPR sampai dengan jatuh waktu kredit (Juni 2022). TPR yang dilakukan Bank A tersebut memiliki jangka waktu 9 (sembilan) bulan sehingga dikategorikan sebagai TPR jangka pendek. 3 Contoh 2: Bank C menyalurkan kredit sebesar USD300 juta kepada PT. PQR dengan jangka waktu kredit 5 (lima) tahun yang ditandatangani pada bulan Maret 2019 dan akan jatuh tempo pada bulan Maret 2024. Bank C dan Bank D di Australia (bukan Penduduk) memiliki perjanjian induk TPR (master risk participation agreement) yang ditandatangani pada tanggal 1 Juni 2018 dan berlaku sampai dengan 1 Juni 2028. Pada bulan September 2019, Bank C sebagai grantor melakukan TPR atas kredit tersebut dengan Bank D di Australia (bukan Penduduk) sebagai participant, dengan jangka waktu sampai dengan jatuh tempo kredit (Maret 2024). TPR yang dilakukan Bank C tersebut dikategorikan sebagai TPR jangka panjang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œgrantorโ€ adalah pihak yang menjual risiko. Yang dimaksud dengan โ€œparticipantโ€ adalah pihak yang membeli atau menerima risiko. Ayat (3) Dalam hal debitur Bank merupakan korporasi nonbank maka utang luar negeri debitur Bank tersebut selanjutnya tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai utang luar negeri korporasi nonbank. Dalam hal debitur Bank merupakan badan usaha milik negara atau kredit dan/atau fasilitas lainnya yang menjadi dasar TPR merupakan kredit dan/atau fasilitas yang terkait dengan proyek Pemerintah maka utang luar negeri tersebut tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pinjaman komersial luar negeri. Contoh: Bank E menyalurkan kredit sebesar USD200 juta kepada PT. ABC dengan jangka waktu kredit 3 (tiga) tahun yang ditandatangani pada bulan Januari 2017 dan jatuh tempo pada bulan Januari 2020. Pada bulan Juni 2017, Bank E melakukan TPR funded dengan Bank F di Australia (bukan Penduduk) dengan nominal 4 partisipasi sebesar USD90 juta dan jangka waktu sampai dengan jatuh tempo kredit (Januari 2020). Pada bulan September 2017 Bank E mengalihkan hak tagih atas kredit tersebut kepada Bank F sebagai participant. Pengalihan hak tagih dari Bank E kepada Bank F menyebabkan PT. ABC memiliki utang luar negeri sebesar USD90 juta kepada Bank F. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Pengecualian terhadap kewajiban Bank untuk membatasi posisi saldo harian Kewajiban Jangka Pendek untuk mengatasi permasalahan Bank yang mendesak antara lain untuk penyehatan Bank. Yang termasuk otoritas terkait yaitu LPS atau OJK. LPS dapat memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) dapat memberikan informasi kepada Bank Indonesia dalam hal Bank dalam resolusi dan LPS sebagai pemegang saham. Ayat (4) Yang dimaksud dengan โ€œdokumen diterima secara lengkapโ€ adalah termasuk diterimanya informasi dan/atau rekomendasi dari otoritas terkait. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpemegang saham pengendaliโ€ adalah pemegang saham pengendali sebagaimana dimaksud 5 dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai pemegang saham pengendali. Yang dimaksud dengan โ€œkesulitan likuiditasโ€ adalah kesulitan memenuhi kewajiban jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) baik valuta asing maupun rupiah, tidak termasuk untuk kegiatan ekspansi usaha. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpenyaluran kredit ke sektor riilโ€ adalah penyaluran kredit secara langsung dari Bank kepada sektor riil. Yang dimaksud dengan โ€œsektor riilโ€ adalah kegiatan usaha suatu entitas di Indonesia yang menghasilkan barang dan jasa, tidak termasuk di dalamnya kegiatan usaha di sektor keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œdana usahaโ€ adalah dana usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai dana usaha. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œkewajiban Bank kepada bukan Penduduk yang timbul dari transaksi lindung nilaiโ€ adalah kewajiban Bank yang muncul akibat kegiatan mark-to- market transaksi derivatif Bank dan tercatat di on balance sheet. Transaksi derivatif merupakan transaksi yang didasari oleh suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasarinya seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, tidak termasuk transaksi derivatif kredit. Transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah tunduk pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak asing. 6 Yang dimaksud dengan โ€œlindung nilaiโ€ adalah cara atau teknik untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi harga di pasar keuangan. Transaksi lindung nilai yang dilakukan Bank mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi lindung nilai Bank. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œgiro, tabungan, dan deposito milik perwakilan negara asing dan lembaga internasionalโ€ adalah giro, tabungan, dan deposito yang digunakan untuk kegiatan operasional. Giro, tabungan, dan deposito anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional merupakan giro, tabungan, dan deposito milik pribadi anggota staf perwakilan negara asing dan lembaga internasional. Perwakilan negara asing mencakup juga perwakilan pemerintah daerah negara asing yang mewakili secara resmi pemerintah daerah negara asing tersebut dalam melakukan tugasnya. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga internasionalโ€ adalah lembaga dengan keanggotaan, cakupan pekerjaan, dan/atau keberadaan yang bersifat internasional yang kegiatan utamanya bersifat nirlaba, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Islamic Development Bank (IDB). Huruf f Kegiatan investasi di Indonesia termasuk di dalamnya reksa dana saham, reksa dana, obligasi, dan kombinasi keduanya. Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi tidak termasuk yang dikecualikan. Yang dimaksud dengan โ€œsurat berharga yang diterbitkan Bank Indonesiaโ€ adalah surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). 7 Huruf g Hasil penjualan kembali atau divestasi meliputi pokok dan imbal hasil. Deposito, tabungan, dan lainnya yang sejenis di luar giro milik bukan Penduduk yang digunakan untuk menampung dana hasil penjualan kembali atau divestasi tidak termasuk yang dikecualikan. Yang dimaksud dengan โ€œsurat berharga yang diterbitkan Bank Indonesiaโ€ adalah surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia, yang dapat dimiliki oleh bukan Penduduk antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan/atau Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Huruf h Penggunaan giro milik bukan Penduduk nonpemegang saham pengendali Bank dalam penyaluran kredit ke proyek infrastruktur meliputi: 1. untuk menampung sementara dana sebelum disalurkan oleh pemilik rekening giro tersebut kepada debitur di proyek infrastruktur; dan 2. untuk menerima pembayaran dari debitur di proyek infrastruktur, tidak termasuk kredit yang diberikan secara two step loan. Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Huruf i Yang dimaksud dengan โ€œlembaga supranasionalโ€ adalah lembaga keuangan multilateral yang dibentuk oleh 2 (dua) atau lebih negara dan dalam kegiatannya menyediakan pembiayaan, hibah, dan/atau bantuan teknis untuk mendorong pembangunan ekonomi negara anggotanya. Contoh lembaga supranasional antara lain Asian Development Bank (ADB), Islamic Development Bank (IDB), dan World Bank Group yang terdiri atas International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan International Finance Corporation (IFC). 8 Cakupan proyek infrastruktur mengacu pada ketentuan otoritas terkait yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Huruf j Yang dimaksud dengan โ€œketentuan OJKโ€ adalah ketentuan OJK yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum. Giro atau deposito dapat berada di Bank yang akan menerima setoran modal atau Bank lain yang ditunjuk oleh OJK. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Contoh 1: Bank A memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan agreement) dengan jangka waktu 8 (delapan) bulan. Pada saat ULN tersebut jatuh waktu, Bank A melakukan roll over dengan jangka waktu 7 (tujuh) bulan. ULN Bank A setelah roll over tetap merupakan Kewajiban Jangka Pendek. Contoh 2: Bank B memiliki Surat Utang Valas Domestik dengan jangka waktu 9 (sembilan) bulan. Satu bulan sebelum Surat Utang Valas Domestik tersebut jatuh waktu, Bank B melakukan reschedule dengan jangka waktu baru 5 (lima) bulan. Dalam kasus ini, Surat Utang Valas Domestik Bank B setelah reschedule tetap merupakan Kewajiban Jangka Pendek. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œjangka waktu asal (original maturity)โ€ adalah jangka waktu dari sejak timbulnya kewajiban Bank sampai dengan jatuh waktu. Contoh: Bank D memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan agreement) dengan jangka waktu 13 (tiga belas) bulan yang ditandatangani pada bulan Januari 2020 dan jatuh waktu pada 9 bulan Februari 2021. Pada tanggal 21 November 2020, Bank D melakukan perubahan jangka waktu sehingga jatuh waktu ULN Bank tersebut menjadi bulan Desember 2020. Dalam kasus ini, ULN Bank D setelah diperpendek jangka waktunya diperlakukan sebagai Kewajiban Jangka Pendek, sehingga harus diperhitungkan dalam kewajiban pembatasan saldo harian Kewajiban Jangka Pendek mulai 21 November 2020. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œmasuk pasarโ€ adalah: a. untuk ULN Bank dalam bentuk perjanjian pinjaman yaitu pada saat perjanjian pinjaman ditandatangani oleh kedua belah pihak. b. untuk surat utang yang diterbitkan di bursa yaitu pada saat dimulainya penawaran resmi di pasar (public expose). c. untuk surat utang yang diterbitkan melalui private placement yaitu pada saat tanggal penerbitan surat utang. d. untuk TPR yaitu pada saat tanggal efektif perjanjian TPR antara participant dan grantor atas pengalihan risiko suatu kredit tertentu dan/atau fasilitas lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. 10 Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œdireksiโ€ adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK yang mengatur mengenai rencana bisnis bank. Bank Indonesia dapat meminta informasi kepada OJK untuk memastikan pencantuman rencana Pinjaman Luar Negeri yang diajukan Bank kepada Bank Indonesia dalam rencana bisnis Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Contoh: Bank C memiliki ULN Bank dalam bentuk perjanjian kredit (loan agreement) dengan jangka waktu 10 (sepuluh) bulan. Dua bulan sebelum ULN Bank tersebut jatuh waktu, Bank C melakukan reschedule dengan jangka waktu baru 13 (tiga belas) bulan. Dalam kasus ini, ULN Bank C setelah reschedule merupakan Kewajiban Jangka Panjang sehingga harus memperoleh persetujuan rencana masuk pasar dari Bank Indonesia dan menyampaikan laporan realisasi masuk pasar kepada Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 11 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œlengkapโ€ antara lain jenis dokumen dan kualitas informasi yang disampaikan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Rekomendasi OJK antara lain terkait profil risiko, analisis proyeksi arus kas, dan kondisi keuangan Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œaksi korporasiโ€ adalah penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œtanggal penyelesaian transaksiโ€ adalah tanggal pada saat transfer dana dan surat utang telah diselesaikan oleh para pihak yang melakukan transaksi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œperbedaan syarat dan ketentuanโ€ antara lain perbedaan pada bentuk kewajiban, mata uang, 12 jumlah kewajiban, suku bunga atau kupon, maturity profile pada pokok dan bunga, biaya terkait, dan debt covenants. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Contoh jenis pelanggaran yang disebutkan dalam surat pemberitahuan sanksi antara lain berupa pelanggaran atas penerimaan Kewajiban Jangka Panjang melebihi dari nominal yang diizinkan atau pelanggaran atas penerimaan Kewajiban Jangka Panjang tanpa izin Bank Indonesia. Huruf b Tanggal pelanggaran untuk pelanggaran berupa penerimaan Kewajiban Jangka Panjang melebihi dari nominal yang diizinkan atau pelanggaran atas penerimaan Kewajiban Jangka Panjang tanpa izin Bank Indonesia yaitu tanggal tercatatnya Kewajiban Jangka Panjang dalam neraca Bank, Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Masa 1 (satu) tahun yang digunakan untuk menentukan pelanggaran kedua kali dihitung sejak tanggal pelanggaran yang pertama. Masa sanksi larangan mengajukan permohonan persetujuan rencana masuk pasar selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan sanksi yang tertera pada surat pemberitahuan pengenaan sanksi. 13 Huruf f Jenis pembatasan keikutsertaan dalam Operasi Moneter yaitu: 1. Bank hanya diperbolehkan mengikuti Operasi Moneter pada instrumen lelang repo SBN 1 minggu dan lending facility/financing facility; atau 2. hanya diperbolehkan mengikuti Operasi Moneter pada instrumen lending facility/financing facility. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œlaporan terkait ULN Bank dan kewajiban Bank lainnya dalam valuta asingโ€ antara lain: 1. laporan lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa bank dan nasabah. 2. laporan harian bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. 14 Pasal 20 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/3/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> UTANG LUAR NEGERI BANK DAN KEWAJIBAN BANK LAINNYA DALAM VALUTA ASING </reg_title> <set_date> 15 Februari 2019 </set_date> <effective_date> 1 Maret 2019 </effective_date> <replaced_reg> '15/36/DKEM|SE-BI/2013', '10/32/DInt|SE-BI/2008', '16/4/DKEM|SE-BI/2014', '14/30/DInt|SE-BI/2012', '9/1/DInt|SE-BI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '21/1/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan operasi moneter, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa dalam melaksanakan operasi moneter sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Bank Indonesia perlu mengatur tata cara pelaksanaan operasi pasar terbuka, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank 3 Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Peserta OPT adalah peserta OPT Konvensional dan peserta OPT Syariah. 12. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 15. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang 4 diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 18. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 19. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 20. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 21. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 23. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji 5 pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 25. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 26. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 27. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 28. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 29. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 30. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Bank Indonesia sebagai peserta BI-SSSS untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 6 31. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI- RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 32. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 33. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 34. Sistem Laporan Harian Bank Umum yang selanjutnya disebut Sistem LHBU adalah sarana pelaporan Bank kepada Bank Indonesia secara harian, termasuk penyediaan informasi pasar uang dan pengumuman dari Bank Indonesia. 35. Bank Koresponden adalah bank yang memelihara rekening giro valuta asing dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana valuta asing ke dan/atau dari Bank. 36. Bank Pembayar adalah bank yang memiliki Rekening Giro valuta asing di Bank Indonesia untuk melakukan pembayaran dan/atau penerimaan dana dalam rangka setelmen transaksi SBBI Valas. 37. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 38. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan 7 penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 39. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 40. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 41. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 42. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 43. Standard Settlement Instruction adalah suatu pedoman tertentu dalam melakukan transfer dana melalui sarana telekomunikasi yang antara lain memuat nama Bank Koresponden, nomor rekening, kode kliring, dan kode Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT). 8 44. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 45. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 46. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 47. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 48. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Surat Berharga penatausahaan. untuk 49. Setelmen Dana adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan Rekening Giro di Bank Indonesia melalui Sistem BI-RTGS untuk penatausahaan. 50. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. 51. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 9 52. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II TRANSAKSI OPT KONVENSIONAL Pasal 2 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran OPT Konvensional yang diajukan kepada Bank Indonesia. Pasal 3 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dilarang membatalkan penawaran OPT Konvensional yang diajukan kepada Bank Indonesia. Bagian Kesatu Penerbitan SBI Paragraf 1 Pengumuman Lelang SBI Pasal 4 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBI dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); 10 h. tingkat diskonto SBI, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); tanggal dan waktu setelmen; dan/atau informasi lainnya. i. j. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang SBI Pasal 5 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBI kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 6 (1) Pengajuan penawaran lelang SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi informasi: a. b. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu SBI yang akan diterbitkan. (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat diskonto dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). 11 Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang SBI Pasal 7 (1) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SBI Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). sebesar (2) Dalam hal lelang SBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran SBI yang diajukan; atau 2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran SBI yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SBI sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 12 Pasal 8 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang SBI. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang SBI Pasal 9 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBI setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, tingkat diskonto, nilai tunai SBI yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU, dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI, Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Setelmen SBI Pasal 10 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBI paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang SBI. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil lelang SBI. Pasal 11 (1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang SBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai tunai SBI dan Setelmen Surat 13 Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal SBI. (2) Nilai tunai SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) dengan rumus: Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai Nilai Tunai SBI Keterangan: Nilai Nominal Tingkat Diskonto Nilai Nominal x 360 = 360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu) = nilai nominal SBI yang dimenangkan = tingkat diskonto yang dimenangkan Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen lelang SBI sampai dengan tanggal jatuh waktu (3) Contoh perhitungan nilai tunai dan nilai diskonto SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. Pasal 12 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut- off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SBI, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi lelang SBI yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang SBI yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SBI sebagaimana 14 dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 13 (1) Setelmen pelunasan SBI dilakukan pada tanggal jatuh waktu SBI. (2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (3) Bank Indonesia melunasi SBI jatuh waktu berdasarkan pencatatan kepemilikan SBI yang tercatat di BI-SSSS pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu SBI. (4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu SBI ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen pelunasan SBI dilakukan pada Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan diskonto untuk hari libur dimaksud. (5) Bank Indonesia melakukan pelunasan SBI pada tanggal jatuh waktu dengan: a. mengkredit Rekening Giro rupiah pemilik SBI sebesar nilai nominal SBI jatuh waktu; dan b. mendebit Rekening Surat Berharga pemilik SBI sebesar nilai nominal SBI jatuh waktu. Paragraf 6 Pembatasan Transaksi SBI (Minimum Holding Period) Pasal 14 Dalam jangka waktu 1 (satu) minggu, yaitu 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian, pemilik SBI dilarang mentransaksikan SBI yang dimilikinya dengan pihak lain. 15 Pasal 15 Larangan mentransaksikan SBI yang dimiliki dengan pihak lain dalam jangka waktu 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk transaksi SBI oleh Peserta OPT Konvensional dengan Bank Indonesia. Pasal 16 Sub-Registry wajib menatausahakan SBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Pasal 17 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan pembatasan transaksi SBI selama 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak kepemilikan SBI oleh Peserta OPT Konvensional dan Sub-Registry. (2) Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran pelaksanaan atas pembatasan transaksi SBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia menyampaikan surat permintaan konfirmasi kepada Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub-Registry. (3) Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub-Registry yang menerima surat permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan tanggapan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal surat permintaan konfirmasi dari Bank Indonesia. (4) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub-Registry tidak menyampaikan tanggapan tertulis maka Peserta OPT Konvensional dan/atau Sub- Registry dianggap mengkonfirmasi indikasi pelanggaran tersebut. 16 Bagian Kedua Penerbitan SDBI Paragraf 1 Pengumuman Lelang SDBI Pasal 18 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SDBI dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. tingkat diskonto SDBI, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); tanggal dan waktu setelmen; dan/atau informasi lainnya. i. j. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang SDBI Pasal 19 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SDBI kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. 17 Pasal 20 (1) Pengajuan penawaran lelang SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi informasi: a. b. nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu SDBI yang akan diterbitkan. (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat diskonto dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang SDBI Pasal 21 (1) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SDBI sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang SDBI dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau 18 a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran SDBI yang diajukan; atau 2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran SDBI yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SDBI sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 22 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang SDBI. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang SDBI Pasal 23 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SDBI setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, tingkat diskonto, nilai tunai SDBI yang dimenangkan dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat 19 diskonto SDBI, Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Setelmen SDBI Pasal 24 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SDBI paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang SDBI. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil lelang SDBI. Pasal 25 (1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang SDBI dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai tunai SDBI dan Setelmen Surat Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal SDBI. (2) Nilai tunai SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) dengan rumus: Nilai Diskonto = Nilai Nominal โ€“ Nilai Tunai Nilai Tunai SDBI Keterangan: Nilai Nominal Tingkat Diskonto Nilai Nominal x 360 = 360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu) = nilai nominal SDBI yang dimenangkan = tingkat diskonto yang dimenangkan Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal 20 setelmen lelang SDBI sampai dengan tanggal jatuh waktu (3) Contoh perhitungan nilai tunai dan nilai diskonto SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. Pasal 26 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut- off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SDBI, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi lelang SDBI yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang SDBI yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SDBI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 27 (1) Setelmen pelunasan SDBI dilakukan pada tanggal jatuh waktu SDBI. (2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (3) Bank Indonesia melunasi SDBI jatuh waktu berdasarkan pencatatan kepemilikan SDBI yang tercatat di BI-SSSS pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu SDBI. 21 (4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu SDBI ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen pelunasan SDBI dilakukan pada Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan diskonto untuk hari libur dimaksud. (5) Bank Indonesia melakukan pelunasan SDBI pada tanggal jatuh waktu dengan: a. mengkredit Rekening Giro rupiah pemilik SDBI sebesar nilai nominal SDBI jatuh waktu; dan b. mendebit Rekening Surat Berharga pemilik SDBI sebesar nilai nominal SDBI jatuh waktu. Paragraf 6 Pembatasan Transaksi SDBI di Pasar Sekunder Pasal 28 BUK dilarang memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI yang dimilikinya dengan pihak selain BUK. Pasal 29 BUK dapat mentransaksikan SDBI dengan Bank Indonesia. Pasal 30 Sub-Registry wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. Pasal 31 Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dan/atau pemeriksaan atas pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 oleh BUK dan Sub- Registry. Pasal 32 (1) Atas pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Bank Indonesia melakukan 22 Early Redemption atas SDBI yang dimiliki oleh pihak selain BUK tanpa persetujuan pemilik. (2) Perhitungan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen pemindahtanganan SDBI ke pihak selain BUK. (3) Perhitungan Early Redemption atas SDBI mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Bagian Ketiga Penerbitan SBBI Valas Paragraf 1 Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti Lelang SBBI Valas Pasal 33 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum mengikuti pelaksanaan lelang SBBI Valas. Pasal 34 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang SBBI Valas yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit 2 (dua) nama pegawai yang ditunjuk untuk melakukan transaksi lelang SBBI Valas. (2) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara. (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 23 (4) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Nomor Faksimile 021-2310347 (5) Penyampaian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didahului dengan faksimile. (6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. Pasal 35 Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat disampaikan bersamaan dengan pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Pasal 36 (1) Dalam hal terjadi perubahan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan pengkinian informasi melalui surat, dengan menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4). 24 Paragraf 2 Pengumuman Lelang SBBI Valas Pasal 37 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBBI Valas dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Sistem-LHBU, website Bank Indonesia, dan/atau sarana komunikasi lain yang digunakan Bank Indonesia. (2) Pengumuman rencana lelang SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. seri; d. window time; e. jangka waktu; f. tanggal jatuh waktu; g. metode lelang; h. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); i. j. tingkat diskonto SBBI Valas, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); tanggal setelmen; dan/atau k. informasi lainnya. Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang SBBI Valas Pasal 38 (1) Pengajuan penawaran transaksi SBBI Valas untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. tingkat diskonto sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; 25 d. participant code BI-SSSS yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut: 1. dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama diri sendiri, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan; 2. dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara mengajukan atas nama Peserta OPT Konvensional lain, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional lain tersebut; atau 3. dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga, participant code yang digunakan adalah participant code Sub-Registry. (2) Pengajuan penawaran transaksi SBBI Valas untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. tingkat diskonto; d. participant code BI-SSSS yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut: 1. dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama diri sendiri, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan; 2. dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara mengajukan atas nama Peserta OPT Konvensional lain, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional lain tersebut; atau 26 3. dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga, participant code yang digunakan adalah participant code Sub-Registry. Pasal 39 (1) Pengajuan penawaran nilai nominal dari masing-masing Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara paling sedikit sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat). (2) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan penawaran paling banyak sebesar USD 100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) per pengajuan penawaran. (3) Dalam hal lelang transaksi SBBI Valas dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan penawaran diskonto diajukan dengan kelipatan 0,1 bps (nol koma satu basis point) atau 0,001% (nol koma nol nol satu persen). Pasal 40 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara yang mengikuti lelang penerbitan SBBI Valas harus menyampaikan penawaran lelang SBBI Valas dengan informasi yang lengkap dan benar berdasarkan dokumen instruksi transaksi. (2) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi SBBI Valas kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran lelang SBBI Valas. 27 (4) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara yang telah mengajukan penawaran lelang SBBI Valas tidak dapat membatalkan penawarannya. (5) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai penawaran lelang SBBI Valas yang telah diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. (6) Dalam hal Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBBI Valas atas nama pihak yang diwakilinya maka Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara bertanggung jawab atas aturan pemenuhan batas paling tinggi nominal penawaran (broker bidding limit) yang telah disepakati antara Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara dengan pihak yang diwakilinya. Pasal 41 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat melakukan koreksi atas informasi pengajuan penawaran lelang SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama window time lelang SBBI Valas. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi pengajuan penawaran selain nama lelang (auction name). Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang SBBI Valas Pasal 42 (1) Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan SBBI Valas yang dimenangkan dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara 28 proporsional dengan pembulatan nominal terkecil SBBI Valas sebesar USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat). (2) Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan SBBI Valas yang dimenangkan dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari SOR yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran SBBI Valas yang diajukan; dan 2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan SOR yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran SBBI Valas yang diajukan sebesar hasil perhitungan secara proporsional dengan pembulatan nominal terkecil SBBI Valas sebesar USD1.000,00 (seribu dolar Amerika Serikat). c. Contoh penetapan perhitungan nilai nominal pemenang lelang SBBI Valas berdasarkan metode harga tetap (fixed rate tender) dan harga beragam (variable rate tender) sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 43 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang SBBI Valas. 29 Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang SBBI Valas Pasal 44 Bank Indonesia mengumumkan hasil Lelang SBBI Valas setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain berupa pemenang lelang SBBI Valas, nilai nominal yang dimenangkan, nilai tunai yang dimenangkan, tingkat diskonto, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui sistem LHBU dan/atau sarana lain, berupa seri, mata uang, nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, rata-rata tertimbang tingkat diskonto, tanggal jatuh waktu, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 6 Setelmen SBBI Valas Pasal 45 Setelmen hasil lelang SBBI Valas dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari Kerja setelah tanggal pelaksanaan lelang SBBI Valas. Pasal 46 (1) Pelaksanaan setelmen atas transaksi SBBI Valas, dilakukan dengan mendebit atau mengkredit: a. Rekening Giro valuta asing dalam denominasi dolar Amerika Serikat (USD); dan/atau b. Rekening Surat Berharga. (2) Kecukupan dana pada Rekening Giro valuta asing untuk pelaksanaan setelmen memperhitungkan: a. saldo efektif Rekening Giro valuta asing posisi akhir hari pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal setelmen SBBI Valas; dan 30 b. hasil pelaksanaan setelmen transaksi surat berharga dalam valuta asing melalui BI-SSSS pada tanggal setelmen. (3) Dalam hal penyediaan dana pada Rekening Giro valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui rekening giro Bank Indonesia di bank koresponden maka penyetoran dana dalam valuta asing harus telah efektif pada rekening giro Bank Indonesia di Federal Reserve Bank of New York paling lambat 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal setelmen SBBI Valas. (4) Pelaksanaan penatausahaan SBBI Valas dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. Pasal 47 (1) Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana yang cukup di Rekening Giro valuta asing untuk penyelesaian kewajiban pada waktu penyelesaian transaksi. (2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dana yang harus disediakan oleh Bank Pembayar. Pasal 48 Pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga harus menunjuk Sub-Registry untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang SBBI Valas. Pasal 49 (1) Pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Giro valuta asing harus menunjuk Bank Pembayar untuk pelaksanaan setelmen hasil lelang SBBI Valas. (2) Prosedur penunjukan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS. 31 Pasal 50 (1) Pada tanggal pelaksanaan setelmen hasil Lelang SBBI Valas, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Setelmen Dana dilakukan dengan mendebit: 1) Rekening Giro valuta asing Peserta OPT Konvensional, dalam hal pembeli SBBI Valas adalah Peserta OPT Konvensional; atau 2) Rekening Giro valuta asing Bank Pembayar, dalam hal pembeli SBBI Valas tidak memiliki Rekening Giro valuta asing, sebesar nilai tunai SBBI Valas. b. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mengkredit: 1) Rekening Surat Berharga Peserta OPT Konvensional, dalam hal pembeli SBBI Valas adalah Peserta OPT Konvensional; atau 2) Rekening Surat Berharga Sub-Registry, dalam hal pembeli SBBI Valas tidak memiliki Rekening Surat Berharga, sebesar nilai nominal SBBI Valas yang dimenangkan. (2) Nilai tunai SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) dengan rumus sebagai berikut: Nilai Diskonto = Nilai Nominal โ€“ Nilai Tunai Nilai Nominal x 360 Nilai Tunai = Keterangan: Nilai Nominal Tingkat Diskonto 360 + (Tingkat Diskonto x Jangka Waktu) = nilai nominal SBBI Valas yang dimenangkan = tingkat diskonto yang dimenangkan Jangka Waktu = jumlah hari yang dihitung 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen lelang SBBI Valas sampai dengan tanggal jatuh waktu 32 Pasal 51 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro valuta asing Peserta OPT Konvensional atau Bank Pembayar tidak mencukupi untuk setelmen lelang SBBI Valas mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SBBI Valas maka Bank Indonesia membatalkan transaksi lelang SBBI Valas yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional atau pihak lain yang diwakili oleh Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang SBBI Valas yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SBBI Valas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 52 (1) Setelmen pelunasan SBBI Valas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pelunasan SBBI Valas pada tanggal jatuh waktu SBBI Valas atau sebelum tanggal jatuh waktu pelunasan SBBI Valas. b. Pelunasan SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam huruf a, berdasarkan posisi pencatatan kepemilikan SBBI Valas di BI-SSSS pada 3 (tiga) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu pelunasan pokok SBBI Valas. c. Bank Indonesia melakukan setelmen pelunasan SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebagai berikut: 1. Setelmen Dana dilakukan dengan mengkredit sebesar nilai nominal SBBI Valas pada: a) Rekening Giro valuta asing Peserta OPT Konvensional untuk kepemilikan SBBI Valas atas nama Peserta OPT Konvensional tersebut; atau sehingga 33 b) Rekening Giro valuta asing Bank Pembayar yang ditunjuk oleh Sub-Registry untuk kepemilikan SBBI Valas atas nama nasabah. 2. Setelmen Surat Berharga dilakukan dengan mendebit sebesar nilai nominal SBBI Valas yang dilunasi pada: a) Rekening Surat Berharga Peserta OPT Konvensional untuk kepemilikan SBBI Valas atas nama Peserta OPT Konvensional tersebut; dan/atau b) Rekening Surat Berharga Sub-Registry untuk kepemilikan SBBI Valas atas nama nasabah. (2) Dalam hal setelah terjadinya transaksi penerbitan SBBI Valas, tanggal setelmen hasil lelang, atau tanggal jatuh waktu SBBI Valas ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen transaksi dimaksud dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan pengurangan atau penambahan nilai diskonto untuk hari libur dimaksud. Bagian Keempat Transaksi Repo OPT Konvensional Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 53 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; 34 b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. suku bunga repo (repo rate), apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); jenis surat berharga yang dapat di-repo-kan; i. j. haircut; k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau l. informasi lainnya. (3) Dalam hal Transaksi Repo OPT Konvensional menggunakan surat berharga dalam valuta asing maka pengumuman rencana lelang, selain mengumumkan hal- hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga mengumumkan acuan harga untuk surat berharga dalam valuta asing dan acuan kurs transaksi. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 54 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah atau dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system dalam window time yang ditetapkan. Pasal 55 (1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 meliputi informasi: 35 a. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di- repo-kan, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di- repo-kan, dan repo rate, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Repo OPT Konvensional yang akan dilakukan. (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran repo rate dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Pasal 56 (1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dalam Pasal 54 diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Kurs yang digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing adalah kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. b. Pengajuan penawaran meliputi informasi: 1. dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender): a) nama Peserta OPT Konvensional; b) tanggal transaksi; c) jangka waktu repo; d) Standard Settlement Instruction; e) jenis dan seri surat berharga yang di-repo- kan; f) penawaran nilai nominal; dan/atau 36 g) informasi lainnya. 2. dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender): a) nama Peserta OPT Konvensional; b) tanggal transaksi; c) jangka waktu repo; d) Standard Settlement Instruction; e) jenis dan seri surat berharga yang di-repo- kan; f) penawaran nilai nominal; g) tingkat bunga (repo rate) dan/atau h) informasi lainnya. (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran repo rate dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). (4) Penawaran lelang dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan. Pasal 57 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi atas pengajuan penawaran lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1). (2) Dalam hal terjadi koreksi penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time lelang Transaksi Repo OPT Konvensional. (3) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu Transaksi Repo OPT Konvensional. 37 (4) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. Pasal 58 (1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing harus mengirimkan dokumen ke Bank Indonesia sebagai berikut: a. surat pernyataan yang menyatakan bahwa: 1) surat berharga dalam valuta asing yang di-repo- kan merupakan aset milik Peserta OPT Konvensional; dan 2) Peserta OPT Konvensional tidak lagi memiliki SBI, SDBI, dan SBN; b. data terkait surat berharga dalam valuta asing yang paling sedikit meliputi jadwal pembayaran kupon terakhir (last coupon date), jadwal pembayaran kupon selanjutnya (next coupon date), tingkat kupon (coupon rate), dan nominal kupon; c. surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dengan statement of holding atas kepemilikan surat berharga dalam valuta asing di lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia dan Hasil Olahan Komputer (HOK) posisi kepemilikan surat berharga dalam Rupiah Peserta OPT Konvensional pada posisi penutupan 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal transaksi. (2) Contoh surat pernyataan dan data terkait surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 38 Pasal 59 (1) Penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 kepada Bank Indonesia dilakukan sebelum penutupan window time transaksi yang dapat didahului dengan penyampaian melalui faksimile atau sarana lainnya. (2) Penyampaian dokumen ditujukan kepada: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter c.q. Grup Operasi Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Faksimile: (021) 2310347 Telepon: (021) 29818350 Pasal 60 Penawaran lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing dinyatakan batal dalam hal Peserta OPT Konvensional: a. mengajukan penawaran tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 56; b. tidak melakukan koreksi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57; c. tidak menyampaikan dokumen sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan/atau d. berdasarkan pemeriksaan oleh Bank Indonesia, surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 terbukti tidak benar. Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 61 (1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: 39 a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan repo rate terendah yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal repo rate yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran Transaksi Repo OPT Konvensional yang diajukan; atau 2. dalam hal repo rate yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran Transaksi Repo OPT Konvensional yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 62 (1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Kovensional dengan surat berharga dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: 40 a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia dengan pembulatan ke atas dalam jutaan rupiah terdekat. (2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan repo rate terendah yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal suku bunga repo (repo rate) yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran Transaksi Repo OPT Konvensional yang diajukan; atau 2. dalam hal suku bunga repo (repo rate) yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran Transaksi Repo OPT Konvensional yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia dengan pembulatan ke atas dalam jutaan rupiah terdekat. (3) Contoh penetapan dan perhitungan nilai nominal pemenang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 41 Pasal 63 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Repo OPT Konvensional. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Repo OPT Konvensional Pasal 64 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai transaksi, repo rate yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang repo rate, dan/atau informasi lainnya. Pasal 65 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan dilakukan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang repo rate, dan/atau informasi lainnya. b. Konfirmasi secara individual disampaikan kepada pemenang lelang melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia berupa: 42 1. nilai nominal yang dimenangkan, nominal surat berharga dalam valuta asing yang harus dipindahkan ke rekening Bank Indonesia pada lembaga kustodian yang ditunjuk Bank Indonesia, dan repo rate yang dimenangkan; 2. tanggal setelmen (tanggal valuta); 3. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; dan/atau 4. informasi lainnya. c. Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan sebagai berikut: 1. dalam hal Peserta OPT Konvensional yang memenangkan lelang memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan; atau 2. dalam hal Peserta OPT Konvensional yang memenangkan lelang tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan melalui Lembaga Perantara. Paragraf 5 Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional dengan Surat Berharga dalam Rupiah Pasal 66 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Repo OPT Konvensional. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki Surat Berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen first leg. (3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: 43 a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga yang di-repo-kan; dan b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg. Pasal 67 Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 68 (1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan waktu yang ditetapkan sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Transaksi Repo OPT Konvensional (first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan Transaksi Repo OPT Konvensional dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 69 (1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen second leg. (3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: 44 a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg; dan b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu. Pasal 70 Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 71 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam rupiah, tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga repo untuk hari libur dimaksud. Pasal 72 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg). (2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Dalam hal surat berharga berupa SBI dan SDBI, Bank Indonesia melakukan Early Redemption atas SBI dan SDBI dan mengenakan biaya Transaksi Repo OPT Konvensional. b. Dalam hal surat berharga berupa SBN, transaksi yang bersangkutan diperlakukan sebagai transaksi 45 penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional. (3) Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT Konvensional tetap membayar biaya Transaksi Repo OPT Konvensional kepada Bank Indonesia. (4) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat berharga transaksi penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 73 Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan perhitungan harga surat berharga sebagai berikut: 1. dalam hal harga pada transaksi penjualan secara putus (outright) lebih rendah daripada harga pada transaksi first leg setelah dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar selisih dimaksud setelah dikalikan dengan nilai nominal surat berharga yang di-repo-kan; atau 2. dalam hal harga pada transaksi penjualan secara putus (outright) lebih tinggi dari harga pada transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar selisih dimaksud setelah dikalikan dengan nilai nominal SBN yang di-repo-kan dan paling banyak sebesar nilai dari haircut yang ditetapkan pada saat first leg. b. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit untuk memperhitungkan nilai accrued interest atau imbalan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia setelah transaksi penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan 46 sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 2. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Peserta OPT Konvensional pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 3. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Peserta OPT Konvensional pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright)maka Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan Bank Indonesia pada saat first leg ditambah dengan accrued interest atau imbalan sejak tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 4. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) yang diterima oleh Peserta OPT Konvensional maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan dari tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan didebit sebesar accrued interest atau imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi penjualan secara putus (outright); 5. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Peserta OPT Konvensional pada tanggal 47 transaksi penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Konvensional pada saat first leg; 6. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Peserta OPT Konvensional pada periode Transaksi Repo OPT Konvensional dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Konvensional pada saat first leg ditambah dengan accrued interest atau imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); atau 7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran kupon atau imbalan pada periode Transaksi Repo OPT Konvensional maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Konvensional pada saat setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued interest atau imbalan sejak pembayaran kupon terakhir pada periode Transaksi Repo OPT Konvensional sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright). c. Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar bunga repo yang harus dibayarkan oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia. Pasal 74 Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Konvensional pada hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian 48 sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Paragraf 6 Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional Dengan Surat Berharga Dalam Valuta Asing Pasal 75 Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen first leg yaitu kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. Pasal 76 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Repo OPT Konvensional. (2) Setelmen first leg dilaksanakan sebagai berikut: a. Setelmen Surat Berharga dilakukan Peserta OPT Konvensional dengan memindahkan surat berharga dengan jenis dan seri surat berharga sebesar nilai nominal yang di-repo-kan dari rekening Peserta OPT Konvensional ke rekening surat berharga Bank Indonesia pada lembaga kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia, pada tanggal setelmen (tanggal valuta). b. Perhitungan nilai nominal surat berharga yang akan dipindahkan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. c. Setelmen Dana dilakukan Bank Indonesia dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai penawaran nominal yang dimenangkan. d. Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c setelah menerima konfirmasi dari bank kustodian bahwa surat berharga dalam valuta asing yang di-repo-kan Peserta OPT Konvensional telah diterima. 49 Pasal 77 Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak dapat memenuhi kewajiban Transaksi Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf a, Bank Indonesia membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional yang tidak didukung dengan pemindahan surat berharga yang mencukupi. Pasal 78 (1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg), Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana yang mencukupi di Rekening Giro rupiah untuk setelmen second leg. (2) Setelmen second leg dilaksanakan sebagai berikut: a. Setelmen Dana dilakukan Bank Indonesia dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg; b. Bank Indonesia melakukan Setelmen Surat Berharga dengan memindahkan surat berharga dalam valuta asing dari rekening Bank Indonesia ke rekening Peserta OPT Konvensional di bank kustodian yang ditunjuk oleh Bank Indonesia setelah dilakukan Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Pasal 79 Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 80 (1) Dalam hal Bank Indonesia menerima pembayaran kupon pada periode Transaksi Repo OPT Konvensional, nilai kupon dimaksud dalam ekuivalen rupiah mengurangi kewajiban Peserta OPT Konvensional pada Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg) dengan perhitungan sebagai berikut: 50 Nilai Setelmen Second Leg = Nilai Setelmen First Leg + Bunga Repo - Nilai Kupon yang Diterima Bank Indonesia (2) Perhitungan nilai kupon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kurs beli dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal valuta penerimaan kupon. (3) Dalam hal Bank Indonesia menerima pembayaran kupon maka perhitungan bunga repo sejak tanggal pembayaran kupon didasarkan pada nilai setelmen first leg dikurangi dengan ekuivalen penerimaan kupon dimaksud dalam rupiah. Pasal 81 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing, tanggal Transaksi Repo jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga repo atas hari libur dimaksud. Pasal 82 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, Bank Indonesia membatalkan Transaksi Repo OPT Konvensional second leg Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan setelmen second leg, Bank Indonesia melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Bank Indonesia menjual surat berharga dalam valuta asing kepada counterparty Bank Indonesia setelah terjadi kegagalan setelmen second leg. 51 b. Kurs yang digunakan pada saat Bank Indonesia melakukan penjualan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a yaitu kurs beli dari kurs transaksi Bank Indonesia. c. Selama surat berharga dalam valuta asing belum terjual, Bank Indonesia akan mengenakan biaya repo kepada Peserta OPT Konvensional sampai dengan tanggal setelmen (tanggal valuta) penjualan surat berharga. d. Dalam hal nilai penjualan surat berharga dalam valuta asing lebih rendah daripada nilai setelmen first leg, Bank Indonesia membebankan kekurangan dana hasil penjualan surat berharga dalam valuta asing dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar selisih dimaksud. e. Dalam hal nilai penjualan surat berharga dalam valuta asing lebih tinggi daripada nilai setelmen first leg, Bank Indonesia mengembalikan kelebihan dana hasil penjualan surat berharga dalam valuta asing dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar selisih dimaksud. f. Rekening Giro rupiah didebit sebesar bunga repo. Paragraf 7 Kupon Surat Berharga Pasal 83 (1) Perlakuan terhadap kupon atau imbalan surat berharga dalam hal terdapat kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Konvensional, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional, kupon atau imbalan yang diterima menjadi milik Bank Indonesia. 52 b. Dalam hal pada tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Peserta OPT Konvensional menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional, Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Peserta OPT Konvensional. c. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Peserta OPT Konvensional menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Konvensional, maka pada tanggal pembayaran kupon atau imbalan Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Peserta OPT Konvensional. (2) Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai kupon pada Transaksi Repo OPT Konvensional dengan surat berharga dalam valuta asing yaitu kurs beli dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal penerimaan kupon. Bagian Kelima Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 84 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; 53 c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. suku bunga reverse repo (RR-Rate), apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. jenis dan seri surat berharga yang di-reverse-repo- kan; j. haircut; k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau l. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 85 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 86 (1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 meliputi informasi: a. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. nilai nominal dan suku bunga reverse repo (RR-Rate), untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional yang akan dilakukan. 54 (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran suku bunga reverse repo (RR-Rate) dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 87 (1) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan suku bunga reverse repo (RR-Rate) tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 55 1. dalam hal suku bunga reverse repo (RR-Rate) yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran Transaksi Reverse Repo surat berharga yang diajukan; atau 2. dalam hal suku bunga reverse repo (RR-Rate) yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Dalam hal Bank Indonesia menawarkan lebih dari 1 (satu) seri surat berharga dalam lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Bank Indonesia menentukan alokasi seri dan nominal surat berharga yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional. Pasal 88 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 89 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai 56 transaksi, suku bunga reverse repo (RR-Rate), jenis dan seri surat berharga yang dimenangkan, informasi lainnya; dan dan/atau b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang suku bunga reverse repo (RR-Rate), dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Setelmen Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional Pasal 90 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen first leg. (3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg; dan b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga yang dimenangkan. Pasal 91 Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 92 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi 57 kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut- off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Reverse Repo Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional (first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 93 (1) Pada tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen second leg. (3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga Transaksi Reverse Repo jatuh waktu (second leg); dan b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg. Pasal 94 Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 58 Pasal 95 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, tanggal Transaksi Reverse Repo jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga reverse repo untuk hari libur dimaksud. Pasal 96 (1) Dalam hal jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut- off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional jatuh waktu (second leg) Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal Peserta OPT Konvensional gagal melakukan setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional diperlakukan sebagai transaksi pembelian surat berharga secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional. (3) Perhitungan setelmen dan penggunaan harga surat berharga transaksi pembelian secara putus (outright) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 97 Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara putus (outright), dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Rekening Giro rupiah didebit dengan perhitungan harga surat berharga sebagai berikut: 1. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara putus (outright) sama dengan harga pada transaksi first leg dikurangi haircut, Rekening Giro rupiah 59 didebit sebesar haircut, setelah dikalikan dengan nilai nominal surat berharga yang di-reverse-repo-kan; 2. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara putus (outright) lebih tinggi daripada harga pada transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional didebit sebesar selisih dimaksud dan paling sedikit sebesar nilai dari haircut yang ditetapkan pada first leg, setelah dikalikan dengan nilai nominal surat berharga yang di-reverse-repo-kan; atau 3. dalam hal harga pada transaksi pembelian secara putus (outright) lebih rendah daripada harga pada transaksi first leg dikurangi haircut maka Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional didebit sebesar nilai dari haircut yang ditetapkan pada first leg, setelah dikalikan dengan nilai nominal surat berharga yang di-reverse-repo-kan. b. Rekening Giro rupiah didebit atau dikredit untuk memperhitungkan nilai accrued interest atau imbalan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Peserta OPT Konvensional setelah transaksi pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued interest atau imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 2. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued interest atau imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 3. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus 60 (outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan Peserta OPT Konvensional pada saat first leg ditambah dengan accrued interest atau imbalan sejak tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 4. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) yang diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro rupiahdidebit sebesar accrued interest atau imbalan dari tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued interest atau imbalan dari tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi pembelian secara putus (outright); 5. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia pada tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg; 6. dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan yang diterima Bank Indonesia pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dan terdapat pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright), Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg 61 ditambah dengan accrued interest atau imbalan dari tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); atau 7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran kupon atau imbalan pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional yang diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued interest atau imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat setelmen first leg dan didebit sebesar accrued interest atau imbalan sejak pembayaran kupon terakhir pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright). c. Atas kegagalan setelmen second leg, Peserta OPT Konvensional tidak menerima bunga reverse repo. Pasal 98 Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional pada hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Paragraf 6 Kupon Surat Berharga Pasal 99 Perlakuan terhadap kupon atau imbalan surat berharga dalam hal terdapat kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian surat berharga secara putus (outright), Peserta OPT Konvensional menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank 62 Indonesia, kupon atau imbalan yang diterima menjadi milik Peserta OPT Konvensional. b. Dalam hal pada tanggal transaksi pembelian surat berharga secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia. c. Dalam hal setelah tanggal Transaksi pembelian surat berharga secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran kupon atau imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia, pada tanggal pembayaran kupon atau imbalan Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia. Bagian Keenam Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 100 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar pekunder memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; 63 d. jenis dan seri SBN yang akan ditransaksikan; e. f. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); yield atau harga SBN, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); g. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau h. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang Tansaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 101 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 102 (1) Pengajuan penawaran lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder meliputi informasi: a. b. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau nilai nominal dan yield atau harga SBN, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender). (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran yield dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). 64 Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Tansaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 103 (1) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SBN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), Bank Indonesia menetapkan tingkat yield yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR), atau harga yang dapat diterima, dan penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Lelang transaksi pembelian SBN secara putus (outright) di pasar sekunder: 1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari harga yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional sama dengan harga yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional 65 memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal berdasarkan unit terkecil SBN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). b. Lelang transaksi penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder: 1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari harga yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional memenangkan seluruh penawaran SBN yang diajukan; atau 2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional sama dengan harga yang dapat diterima, Peserta OPT Konvensional memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal berdasarkan unit terkecil SBN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 104 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder. 66 Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 105 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi penjualan dan pembelian SBN secara putus (outright) di pasar sekunder setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal yang dimenangkan, nilai transaksi, yield atau harga yang dimenangkan, jenis dan seri SBN yang dimenangkan dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang tingkat yield, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Nonlelang Pasal 106 Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. 67 Paragraf 6 Setelmen Transaksi Pembelian dan Penjualan SBN secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Lelang dan Nonlelang Pasal 107 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki jenis dan seri SBN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen pembelian SBN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia. (4) Setelmen pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. (5) Contoh perhitungan nilai setelmen penjualan dan pembelian SBN tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 108 (1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional pada transaksi pembelian SBN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia tidak memiliki jenis dan seri SBN di Rekening Surat Berharga atau pada transaksi penjualan SBN tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBN sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS secara 68 otomatis membatalkan transaksi pembelian dan penjualan SBN dimaksud. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme lelang, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. (3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung untuk setiap transaksi yang batal. Bagian Ketujuh Transaksi Term Deposit OPT Konvensional Dalam Rupiah Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 109 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem-LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. metode lelang; 69 f. target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable rate tender); g. tingkat diskonto, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); h. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau i. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 110 Peserta OPT Konvensional secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 111 (1) Pengajuan penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 meliputi informasi: a. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. nilai nominal dan tingkat diskonto, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah yang akan dilakukan. (2) Peserta OPT Konvensional mengajukan setiap penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 70 (3) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat diskonto dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 112 (1) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan tingkat diskonto tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 71 2. dalam hal tingkat diskonto yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 113 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah Pasal 114 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia, sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sarana Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, tingkat diskonto, nilai tunai yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa rata-rata tertimbang tingkat diskonto Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah, Stop Out Rate (SOR), nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya. 72 Paragraf 5 Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 115 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah. (2) Peserta OPT Konvensional wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah. Pasal 116 (1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar total nilai tunai Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah. (2) Nilai tunai transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) dengan rumus: Nilai Diskonto Nilai = Tunai Keterangan: Nilai Nominal 360+(Tingkat Diskonto x Jangka Waktu) = Nilai Nominal - Nilai Tunai Nilai Nominal x 360 = nilai nominal Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah yang dimenangkan 73 Tingkat Diskonto Jangka waktu = tingkat diskonto yang dimenangkan = jumlah hari yang dihitung 1 (satu) hari kalender sesudah tanggal setelmen lelang sampai dengan tanggal transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah jatuh waktu. (3) Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross). Pasal 117 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sampai dengan waktu yang ditetapkan untuk setelmen sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 118 (1) Setelmen pelunasan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dilakukan pada tanggal jatuh waktu. (2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (3) Dalam hal setelah terjadinya transaksi Term Deposit Rupiah, tanggal jatuh waktu transaksi Term Deposit OPT 74 Konvensional dalam rupiah ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen jatuh waktu dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan diskonto untuk hari libur dimaksud. (4) Bank Indonesia melakukan setelmen pada tanggal jatuh waktu dengan mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal Term Deposit OPT Konvensional rupiah. Paragraf 6 Early Redemption Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 119 (1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early Redemption transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah dari pukul 15.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. (2) Nilai nominal setiap pengajuan Early Redemption paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Pengajuan Early Redemption dilakukan dengan mengirimkan surat permohonan kepada Bank Indonesia dan melalui sarana BI-SSSS. (4) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia melalui faksimile. (5) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia โ€“ Departemen Pengelolaan Moneter c.q. Grup Operasi Moneter-Divisi Operasi Moneter Rupiah Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta Pusat 10350 Faksimile: (021) 2310347 cc.: Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman 75 (6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lainnya. (7) Contoh surat pengajuan Early Redemption transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 120 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen pada tanggal pengajuan Early Redemption (same day settlement) pada awal periode pre cut-off Sistem BI-RTGS. (2) Setelmen early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Nominal Nilai Tunai Early Redemption= Term Deposit Rupiah yang di-Early Redeem 360 + (Term Deposit Rupiah x RRT Diskonto pada saat Diterbitkan Biaya= Term Deposit Rupiah x ( Nilai Nominal yang Di-Early Redeem Repo Rate Lending Facility x 360 Sisa Jangka Waktu RRT Diskonto - Term Deposit Rupiah Pada Saat Diterbitkan ) x ) Sisa Jangka Waktu 360 Nilai Setelmen = Early Redemption Keterangan: RRT Repo Lending Facility Rate Early Redemption Nilai Tunai - Biaya = Rata-rata Tertimbang = Tingkat bunga repo yang dikenakan atas transaksi Lending Facility (BI 7- Day (Reverse) Repo Rate ditambah margin tertentu) 76 Bagian Kedelapan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Paragraf 1 Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 121 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum mengikuti pelaksanaan lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. Pasal 122 (1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) dalam hal Peserta OPT Konvensional telah memiliki Terminal Controller Identifier (TCID); d. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Konvensional menyampaikan: 1. nama Bank Koresponden; 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden; dan 3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden. e. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Konvensional menyampaikan: 1. nama bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 77 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Konvensional di bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 4. nama Bank Koresponden; 5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan 6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden. f. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dealer yang berwenang melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf f. (2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Lembaga Perantara; b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga Perantara; c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan broker yang berwenang melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan broker yang berwenang melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang 78 berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia pada saat pertama kali akan melakukan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan ke alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 123 Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat disampaikan bersamaan dengan pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Pasal 124 (1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (6). 79 Pasal 125 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; f. g. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 126 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing memuat informasi : a. sarana transaksi; b. tanggal lelang; c. nama lelang (auction name); d. jangka waktu; e. window time; tanggal efektif untuk mengikuti lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan/atau 80 f. g. metode lelang; target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. tingkat bunga, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); tanggal setelmen (tanggal valuta); tanggal jatuh waktu; dan/atau i. j. k. informasi lainnya. Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 127 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. Pasal 128 (1) Pengajuan penawaran transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, 81 untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. tingkat bunga; dan d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu persen); Pasal 129 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi nama lelang (auction name); dan/atau 82 b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan nama lelang (auction name). (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 130 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 131 (1) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai perhitungan Bank Indonesia dengan pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan: 83 1. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan 2. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). (2) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan tingkat bunga transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal tingkat bunga yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal tingkat bunga yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia dengan pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan: a) untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan b) untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 84 (3) Contoh perhitungan nilai nominal dan penetapan pemenang lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 132 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 133 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. tingkat bunga yang dimenangkan; 4. nominal bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; dan/atau 5. informasi lainnya; b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan; 85 2. tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); dan/atau 3. rata-rata tertimbang tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan/atau 4. informasi lainnya. (2) Peserta OPT Konvensional dapat mengakses pengumuman hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing. Paragraf 6 Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 134 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. (2) Peserta OPT Konvensional menyediakan dana di rekening giro pada Bank Koresponden atau bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen, yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (3) Pada tanggal setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib mentransfer dana atas kewajiban setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk setiap penawaran atau sesuai dengan jumlah nominal yang dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden. 86 (4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi setelmen transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui SWIFT message format MT320 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 135 (1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (3), transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dinyatakan batal. (2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMK, pembatalan tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 136 (1) Pada tanggal jatuh waktu transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan pelunasan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing jatuh waktu dengan melakukan transfer ke rekening giro Peserta OPT Konvensional pada Bank Koresponden sebesar nilai tunai. (2) Nilai tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Tunai = N x (1 + r k 360 ) Keterangan: N = nilai nominal Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing = tingkat bunga yang dimenangkan r k = jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing 87 (3) Dalam hal setelah terjadinya transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing tanggal jatuh waktu transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen jatuh waktu tersebut dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan bunga untuk hari libur dimaksud. Paragraf 7 Pencairan Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 137 (1) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang akan dilakukan Early Redemption. (2) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan Early Redemption pada setiap Hari Kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan jangka waktu melebihi overnight. (3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB. (4) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). 88 (6) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing harus disertai informasi reference number dan informasi nama lelang (auction name) pada saat pengajuan lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; atau b. untuk Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang ditransaksikan secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang akan dilakukan Early Redemption (waktu Greenwich Mean Time/GMT). (7) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, baik keseluruhan atau sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal ticket. Pasal 138 (1) Peserta OPT Konvensional yang melakukan Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing memperoleh bunga secara proporsional dengan perhitungan sebagai berikut: Bunga= Nominal Early Redemption x Tingkat Bunga k x 360 Hari Keterangan: k = jangka waktu sampai dengan setelmen Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing di Bank Indonesia (2) Peserta OPT Konvensional dikenakan biaya Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta 89 asing sebesar 10% (sepuluh persen) dari bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 139 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan Early Redemption. (2) Nilai tunai Early Redemption sebesar nilai nominal Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang dilakukan Early Redemption ditambah bunga dikurangi biaya Early Redemption, dengan rumus sebagai berikut: Nilai Nominal Nilai Tunai = Early Redemption Term Deposit Valas yang di-early redeem + Bunga - Biaya Early Redemption Paragraf 8 Pengalihan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia Pasal 140 (1) Dalam hal Peserta OPT Konvensional membutuhkan likuiditas rupiah, Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia. (2) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dengan jangka waktu melebihi overnight. (3) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal ticket. 90 (4) Pengajuan pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sekaligus merupakan pengajuan Early Redemption atas transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang akan dialihkan. (5) Early Redemption transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 dan Pasal 138. Pasal 141 (1) Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang berasal dari pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, paling singkat 7 (tujuh) hari kalender. (2) Premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang berasal dari pengalihan Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB. (4) Bank Indonesia menyampaikan informasi premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia kepada Peserta OPT Konvensional pada pukul 14.00 WIB dan sekaligus meminta Peserta OPT Konvensional untuk memberikan konfirmasi. (5) Dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak menyepakati premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, proses Transaksi Swap Jual Bank Indonesia tidak dilanjutkan dan Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang bersangkutan tetap diteruskan (tidak dilakukan Early Redemption). (6) Dalam hal Peserta OPT Konvensional menyepakati premi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional memberikan 91 konfirmasi (deal confirmation) transaksi Early Redemption Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dan transaksi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (7) Atas transaksi pengalihan Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia, Bank Indonesia memberikan bunga dan mengenakan biaya kepada Peserta OPT Konvensional sesuai ketentuan Early Redemption sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138. Paragraf 9 Setelmen Pengalihan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia Pasal 142 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption untuk pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dengan cara mentransfer bunga ke rekening giro Peserta OPT Konvensional pada Bank Koresponden setelah dikurangi biaya Early Redemption, pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan pengalihan. (2) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dalam rangka pengalihan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi Transaksi Swap Jual Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan pengalihan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia melakukan pencatatan pengalihan valuta asing dari Early Redemption transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing menjadi sumber dana untuk setelmen valuta asing Transaksi Swap Jual Bank Indonesia. 92 b. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar ekuivalen dalam rupiah dari nilai nominal transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang dialihkan, dikalikan kurs spot yang ditetapkan pada tanggal Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai instrumen operasi pasar terbuka. (3) Pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan setelmen transaksi dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal valuta asing Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dikalikan kurs forward (forward rate) yang ditetapkan pada tanggal Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai instrumen operasi pasar terbuka. b. Bank Indonesia melakukan transfer valuta asing ke rekening giro Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden sebesar nilai nominal valuta asing Transaksi Swap Jual Bank Indonesia. c. Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan wajib menyediakan dana yang mencukupi pada hari kerja berikutnya. d. Penyelesaian kewajiban setelmen Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf c dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. 93 Bagian Kesembilan Transaksi Spot Pasal 143 (1) Transaksi Spot dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. (2) Transaksi Spot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sarana dealing system yang digunakan Bank Indonesia. Pasal 144 Bank Indonesia melakukan setelmen Transaksi Spot pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. Pasal 145 Setelmen Transaksi Spot Jual Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pada tanggal setelmen, Bank Indonesia melakukan transfer dana dolar Amerika Serikat ke rekening giro Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat Transaksi Spot yang disepakati. b. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang disepakati dikalikan kurs Transaksi Spot yang disepakati. c. Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Spot Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. d. Pembayaran nominal Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam huruf c dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. 94 Pasal 146 Setelmen Transaksi Spot Beli Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Peserta OPT Konvensional wajib memenuhi kewajiban setelmen berupa penyelesaian transfer dana dolar Amerika Serikat sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat Transaksi Spot yang disepakati ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden paling lambat pada tanggal setelmen. b. Pada tanggal setelmen Transaksi Spot, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat dikalikan kurs yang disepakati pada saat Transaksi Spot. c. Dalam hal pada tanggal setelmen Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud pada huruf a, Peserta OPT Konvensional wajib menyelesaikan transfer dana dolar Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya. Bagian Kesepuluh Transaksi Swap Paragraf 1 Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti Transaksi Swap Secara Lelang Pasal 147 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum mengikuti pelaksanaan Transaksi Swap secara lelang. Pasal 148 (1) Peserta OPT Konvensional menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: 95 a. nama Peserta OPT Konvensional; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) dalam hal Peserta OPT Konvensional telah memiliki Terminal Controller Identifier (TCID); d. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Konvensional menyampaikan: 1. nama Bank Koresponden; 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden; dan 3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden; e. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Konvensional menyampaikan: 1. nama bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Konvensional di bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 4. nama Bank Koresponden; 5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan 6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden. f. nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional; g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dealer yang berwenang melakukan Transaksi Swap secara lelang; dan h. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang melakukan Transaksi Swap secara lelang sebagaimana dimaksud dalam huruf g. 96 (2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Lembaga Perantara; b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga Perantara; c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan broker yang berwenang melakukan Transaksi Swap secara lelang; dan d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan broker yang berwenang melakukan Transaksi Swap secara lelang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (3) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang mewakili Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara dan hanya disampaikan pada saat pertama kali akan melakukan Transaksi Swap secara lelang melalui surat kepada Bank Indonesia. (4) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (6) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank Indonesia memberitahukan perubahan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 149 Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dapat disampaikan bersamaan dengan 97 pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Pasal 150 (1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2), Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara menyampaikan pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (5). Pasal 151 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang kepada Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui surat, yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Konvensional; c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara; d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; f. g. informasi lainnya. tanggal efektif untuk mengikuti Transaksi Swap secara lelang; dan/atau 98 Paragraf 2 Pengumuman Lelang Transaksi Swap Pasal 152 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Swap dan perubahannya paling lambat sebelum window time, melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana Transaksi Swap secara lelang meliputi: a. jenis Transaksi Swap; b. sarana transaksi; c. tanggal lelang; d. nama lelang (auction name); e. jangka waktu; f. window time; g. metode lelang; h. premi swap, apabila Transaksi Swap dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. target indikatif, apabila Transaksi Swap dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable rate tender); j. mata uang; k. kurs spot; l. tanggal setelmen (tanggal valuta); m. tanggal jatuh waktu; dan/atau n. informasi lainnya. Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Swap Pasal 153 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran Transaksi Swap secara lelang kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window 99 time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. Pasal 154 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; dan c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; c. premi swap; dan d. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Swap secara lelang. (3) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan paling banyak sebesar USD50,000,000.00 (lima puluh juta dolar Amerika Serikat), dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Dalam hal lelang Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran premi swap paling sedikit sebesar 100 Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah). Pasal 155 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Swap secara lelang. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi nama lelang (auction name); dan/atau b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran Transaksi Swap secara lelang untuk dan atas nama Peserta OPT Konvensional dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Konvensional dan nama lelang (auction name); (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154. Pasal 156 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi Swap secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi Swap secara lelang yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. 101 Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Swap Pasal 157 (1) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. (2) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan batas premi swap yang diterima; b. untuk Transaksi Swap Jual, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari batas penawaran premi swap yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran premi swap yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia; 102 c. untuk Transaksi Swap Beli, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari batas penawaran premi swap yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal premi swap yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran premi swap yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. (3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dan Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Pembulatan nominal yang dimenangkan oleh pemenang Transaksi Swap secara lelang dengan proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan: a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). 103 Pasal 158 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Swap. Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Swap Pasal 159 Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada masing-masing pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. kurs spot; 4. kurs forward; 5. premi swap yang dimenangkan; dan/atau 6. informasi lainnya. b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. nilai nominal Transaksi Swap yang dimenangkan; 2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan/atau 4. informasi lainnya. c. Peserta OPT Konvensional dapat mengakses pengumuman hasil lelang Transaksi Swap sebagaimana dimaksud pada 104 huruf a dalam confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing. d. Peserta OPT Konvensional yang telah memenangkan penawaran dilarang melakukan pengakhiran Transaksi Swap secara lelang sebelum jatuh waktu (early termination). Paragraf 6 Transaksi Swap Secara Nonlelang Pasal 160 Transaksi Swap secara nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. Paragraf 7 Setelmen Transaksi Swap Pasal 161 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap. (2) Setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia; b. Peserta OPT Konvensional mentransfer dana dolar Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang dimenangkan dalam Transaksi Swap secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara nonlelang ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden. (3) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang 105 disepakati dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara nonlelang dikalikan dengan kurs spot. (4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 162 Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen berupa transfer dana dolar Amerika Serikat sebesar nilai yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Jual Bank Indonesia secara nonlelang ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden, Peserta OPT Konvensional wajib menyelesaikan transfer dana Dolar Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya. Pasal 163 (1) Peserta OPT Konvensional menyediakan dana rupiah yang mencukupi di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia. (2) Setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen second leg; b. Bank Indonesia mentransfer dana dolar Amerika Serikat ke rekening Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat pada setelmen second leg. (3) Nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar 106 Amerika Serikat pada setelmen first leg dikalikan kurs forward. (4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melalui SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 164 (1) Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. (2) Pemenuhan kewajiban setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. Pasal 165 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal Transaksi Swap Beli Bank Indonesia. (2) Setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia; b. Bank Indonesia melakukan transfer dana dolar Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara nonlelang ke rekening Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden. 107 (3) Nilai setelmen first leg sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara nonlelang dikalikan dengan kurs spot. (4) Peserta OPT Konvensional menyampaikan konfirmasi setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui SWIFT message format MT300 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 166 (1) Dalam hal pada tanggal setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. (2) Pemenuhan kewajiban setelmen first leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro Rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. Pasal 167 (1) Setelmen second leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai setelmen second leg. b. Peserta OPT Konvensional mentransfer dana dolar Amerika Serikat untuk setiap penawaran yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank 108 Indonesia secara nonlelang Indonesia di Bank Koresponden. ke rekening Bank (2) Nilai setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Swap Beli Bank Indonesia secara nonlelang dikalikan kurs forward. Pasal 168 Dalam hal pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Beli Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) huruf b, Peserta OPT Konvensional wajib menyelesaikan kewajiban setelmen melalui transfer dana dolar Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya. Pasal 169 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Swap Jual Bank Indonesia dan Transaksi Swap Beli Bank Indonesia, tanggal setelmen first leg atau tanggal setelmen second leg ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan penambahan atau pengurangan premi swap untuk hari libur dimaksud. Bagian Kesebelas Transaksi Forward Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Forward Pasal 170 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi Forward secara lelang dan perubahannya paling lambat sebelum window time, melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain. 109 (2) Pengumuman rencana Transaksi Forward secara lelang meliputi: a. jenis Transaksi Forward; b. sarana transaksi; c. tanggal lelang; d. waktu penyerahan dana (tenor); e. window time; f. metode lelang; g. tanggal setelmen (tanggal valuta); h. forward point, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. j. target indikatif lelang, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); jenis valuta; k. kurs spot; dan/atau l. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Transaksi Forward Secara Lelang Pasal 171 Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran Transaksi Forward secara lelang kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 172 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Forward secara lelang meliputi informasi: a. nama Peserta OPT Konvensional; b. tanggal transaksi; c. tenor; d. tanggal setelmen (tanggal valuta); e. jenis valuta; f. nilai nominal apabila lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 110 g. nilai nominal dan forward point apabila lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. Standard Settlement Instruction; dan/atau i. informasi lainnya. (2) Pengajuan penawaran Transaksi Forward secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing tenor yang ditawarkan. (3) Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). (4) Pengajuan setiap penawaran forward point dari Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah). Pasal 173 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Forward secara lelang. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) kecuali informasi nama Peserta OPT Konvensional dan tenor Transaksi Forward secara lelang. (3) Dalam hal dilakukan koreksi atas jumlah penawaran (nilai nominal) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah penawaran (nilai nominal) dimaksud harus memenuhi persyaratan penawaran nilai nominal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (3). 111 Pasal 174 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi Forward secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi Forward secara lelang yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172, dan tidak melakukan koreksi pengajuan penawaran dalam window time Transaksi Forward secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173, penawaran dimaksud dinyatakan batal. Pasal 175 Bank Indonesia dapat menolak penawaran Transaksi Forward secara lelang yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional apabila Peserta OPT Konvensional tidak memiliki counterparty limit yang cukup. Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Forward Pasal 176 (1) Dalam hal Transaksi Forward secara lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Konvensional dapat dimenangkan sebagian dengan perhitungan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. 112 (2) Dalam hal Transaksi Forward secara lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan batas forward point yang diterima; b. untuk Transaksi Forward Jual, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal forward point yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih tinggi dari batas penawaran forward point yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal forward point yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran forward point yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia; c. untuk Transaksi Forward Beli, Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal forward point yang diajukan Peserta OPT Konvensional lebih rendah dari batas penawaran forward point yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal forward point yang diajukan Peserta OPT Konvensional sama dengan batas penawaran forward point yang diterima Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian dari penawaran yang diajukan secara 113 proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia. (3) Contoh perhitungan pemenang Transaksi Forward secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Pembulatan nilai nominal yang dimenangkan oleh pemenang Transaksi Forward secara lelang dengan perhitungan secara proporsional dilakukan dengan pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan: a. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan b. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). Pasal 177 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang Transaksi Forward secara lelang. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Transaksi Forward Secara Lelang Pasal 178 Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Forward secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa nilai nominal Transaksi Forward yang dimenangkan, rata-rata tertimbang (weighted average) forward point per tenor, dan/atau informasi lainnya; 114 b. melakukan konfirmasi kepada pemenang lelang secara individual melalui sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia berupa: 1. nominal lelang Transaksi Forward yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional; 2. forward point yang dimenangkan; 3. jangka waktu transaksi; 4. tanggal valuta; 5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; dan/atau 6. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT; Konvensional dan/atau 7. informasi lainnya; c. dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau 2. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. Paragraf 5 Transaksi Forward Secara Nonlelang Pasal 179 Transaksi Forward secara nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. 115 Paragraf 6 Setelmen Transaksi Forward Pasal 180 (1) Pada tanggal valuta Transaksi Forward Jual Bank Indonesia, Bank Indonesia melakukan transfer dana dolar Amerika Serikat ke rekening Peserta OPT Konvensional di Bank Koresponden sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara nonlelang. (2) Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara nonlelang dikalikan dengan kurs setelmen. (3) Kurs setelmen Transaksi Forward Jual Bank Indonesia yaitu kurs JISDOR saat tanggal transaksi ditambah forward point yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional untuk Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara lelang atau kurs yang disepakati untuk Transaksi Forward Jual Bank Indonesia secara nonlelang. Pasal 181 (1) Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Forward Jual Bank Indonesia Peserta OPT Konvensional tidak memiliki dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib menyediakan dana rupiah yang cukup untuk memenuhi kewajiban setelmen pada hari kerja berikutnya. (2) Pembayaran nominal Transaksi Forward Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendebitan Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional di Bank Indonesia. 116 Pasal 182 (1) Pada tanggal valuta Transaksi Forward Beli Bank Indonesia, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Konvensional sebesar nilai nominal dolar Amerika Serikat yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara nonlelang dikalikan kurs setelmen. (2) Paling lambat pada tanggal setelmen, Peserta OPT Konvensional wajib mentransfer dana dolar Amerika Serikat sebesar nilai yang dimenangkan dalam Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau sebesar nilai yang disepakati dalam Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara nonlelang ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden. (3) Kurs setelmen Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah JISDOR pada tanggal transaksi ditambah forward point yang dimenangkan Peserta OPT Konvensional untuk Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara lelang atau kurs yang disepakati untuk Transaksi Forward Beli Bank Indonesia secara nonlelang. Pasal 183 Dalam hal pada tanggal setelmen Transaksi Forward Beli Bank Indonesia Peserta OPT Konvensional tidak memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2), Peserta OPT Konvensional wajib menyelesaikan kewajiban setelmen melalui transfer dana dolar Amerika Serikat pada hari kerja berikutnya. Pasal 184 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Forward Jual Bank Indonesia dan Transaksi Forward Beli Bank Indonesia, tanggal setelmen ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada hari kerja berikutnya. 117 BAB III TRANSAKSI OPT SYARIAH Pasal 185 Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran OPT Syariah yang diajukan kepada Bank Indonesia. Pasal 186 Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dilarang membatalkan penawaran OPT Syariah yang diajukan kepada Bank Indonesia. Bagian Kesatu Penerbitan SBIS Paragraf 1 Pengumuman Lelang SBIS Pasal 187 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBIS dan perubahannya paling lambat sebelum window time, melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. window time; c. jangka waktu; d. target indikatif; e. acuan tingkat imbalan; f. tanggal lelang; g. tanggal jatuh waktu; h. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau i. informasi lainnya. 118 Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang SBIS Pasal 188 Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBIS kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 189 (1) Pengajuan penawaran lelang SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 yaitu penawaran nilai nominal menurut jangka waktu SBIS yang diterbitkan. (2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang SBIS Pasal 190 Bank Indonesia menetapkan pemenang lelang SBIS dengan ketentuan sebagai berikut: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SBIS sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 191 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang SBIS. 119 Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang SBIS Pasal 192 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBIS setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, tingkat imbalan, nilai transaksi SBIS yang dimenangkan dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, tingkat imbalan, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 5 Setelmen SBIS Pasal 193 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen hasil lelang SBIS paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang SBIS. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen hasil lelang SBIS. Pasal 194 (1) Bank Indonesia melakukan Setelmen Dana hasil lelang SBIS dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah dan Setelmen Surat Berharga dengan mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta OPT Syariah sebesar nilai nominal SBIS. (2) Setelmen Dana dan Setelmen Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. 120 Pasal 195 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen lelang SBIS, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi lelang SBIS yang dimenangkan Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang SBIS yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 196 (1) Setelmen pelunasan SBIS dilakukan pada tanggal jatuh waktu. (2) BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen pelunasan sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (3) Bank Indonesia melunasi SBIS jatuh waktu berdasarkan pencatatan kepemilikan SBIS yang tercatat di BI-SSSS pada 1 (satu) Hari Kerja sebelum tanggal jatuh waktu SBIS. (4) Dalam hal setelah terjadinya transaksi, tanggal jatuh waktu SBIS ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen pelunasan SBIS dilakukan pada Hari Kerja berikutnya, tanpa memperhitungkan tambahan imbalan untuk hari libur dimaksud. (5) Pada tanggal jatuh waktu SBIS, Bank Indonesia melakukan pelunasan SBIS dengan cara: 1. mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah sebesar nilai nominal SBIS jatuh waktu dan imbalan; dan 121 2. mendebit Rekening Surat Berharga Peserta OPT Syariah sebesar nilai nominal SBIS jatuh waktu. (6) Contoh perhitungan imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum pada Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Transaksi Repo OPT Syariah Paragraf 1 Persiapan Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 197 (1) Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Repo OPT Syariah setelah menandatangani dokumen janji (waโ€™d) untuk membeli kembali surat berharga dalam Transaksi Repo OPT Syariah dengan Bank Indonesia. (2) Penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia: 1. Dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang; 2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari anggota direksi yang berwenang kepada pejabat penandatangan dokumen janji (waโ€™d); b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri: 1. Dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO); 2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO) maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari Chief Executive Officer 122 (CEO) kepada pejabat penandatangan dokumen janji (waโ€™d); atau c. Peserta OPT Syariah yang berupa UUS, dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK. (3) Dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia. (4) Contoh dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 198 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (3) meliputi: a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia, menyampaikan: 1. fotokopi anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau perubahan terakhir yang dilegalisir oleh Peserta OPT Syariah, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus terkini; atau 2. fotokopi peraturan daerah yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus Peserta OPT Syariah terkini, dalam hal Peserta OPT Syariah merupakan badan hukum perusahaan daerah; dan 3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari anggota direksi yang berwenang atau pejabat yang diberikan kuasa untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d). b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri, menyampaikan: 1. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT Syariah yang memuat kewenangan 123 Chief Executive Officer (CEO) untuk mewakili Peserta OPT Syariah, dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); 2. fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari Chief Executive Officer (CEO) kepada pejabat yang diberikan wewenang untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d), dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); dan 3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari Chief Executive Officer (CEO) atau pejabat Peserta OPT Syariah yang berwenang untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d). Pasal 199 (1) Penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) dilakukan sebelum Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Repo OPT Syariah dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (2) Peserta OPT Syariah harus menyampaikan perubahan dokumen janji (waโ€™d) dalam hal terdapat perubahan atas: a. dokumen janji (waโ€™d); b. anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau peraturan daerah mengenai kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah; dan/atau c. ketentuan internal Peserta OPT Syariah yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang. Pasal 200 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 dan Pasal 198 disampaikan dengan surat pengantar yang ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: 124 Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 201 Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta OPT Syariah mengenai persetujuan untuk mengikuti Transaksi Repo OPT Syariah melalui surat atau Sistem BI-ETP. Paragraf 2 Pengumuman Lelang Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 202 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Repo OPT Syariah dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. margin repo, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. jenis dan seri surat berharga yang dapat di-repo-kan; j. haircut; k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau l. informasi lainnya. 125 Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 203 Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Syariah kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI- ETP dalam window time yang ditetapkan. Pasal 204 (1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 meliputi informasi: a. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di- repo-kan untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. nilai nominal, jenis dan seri surat berharga yang di- repo-kan dan margin repo untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Repo OPT Syariah yang akan dilakukan. (2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran margin repo dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). 126 Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 205 (1) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (2) Dalam hal lelang Transaksi Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan margin repo terendah yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal margin repo yang diajukan Peserta OPT Syariah lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran Transaksi Repo OPT Syariah yang diajukan; atau 2. dalam hal margin repo yang diajukan Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran Transaksi Repo OPT Syariah yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 127 Pasal 206 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Repo OPT Syariah. Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 207 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Repo OPT Syariah setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, nilai transaksi, margin repo yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang margin repo, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 6 Setelmen Transaksi Repo OPT Syariah Pasal 208 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Repo OPT Syariah. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki surat berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen first leg. (3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga yang di-repo-kan; dan 128 b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg. Pasal 209 Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 210 (1) Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan waktu yang ditetapkan sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT Syariah Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Transaksi Repo OPT Syariah (first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 211 (1) Pada tanggal Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen second leg. (3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg; dan b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu. 129 Pasal 212 Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 213 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Repo OPT Syariah, tanggal Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan margin repo untuk hari libur dimaksud. Pasal 214 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg). (2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Transaksi Repo OPT Syariah diperlakukan sebagai transaksi penjualan surat berharga secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah. Pasal 215 Dalam hal terjadi transaksi penjualan secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan memperhitungkan nilai accrued imbalan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Bank Indonesia setelah transaksi penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued imbalan sejak tanggal setelmen first leg 130 sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 2. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Peserta OPT Syariah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 3. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Peserta OPT Syariah pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan Bank Indonesia pada saat first leg ditambah dengan accrued imbalan sejak tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); 4. dalam hal terdapat pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan terdapat pembayaran imbalan berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi outright yang diterima oleh Peserta OPT Syariah, Rekening Giro rupiah dikredit sebesar accrued imbalan dari tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan didebit sebesar accrued imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi penjualan secara putus (outright); 5. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Peserta OPT Syariah pada tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Syariah pada saat first leg; 131 6. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Peserta OPT Syariah pada periode Transaksi Repo OPT Syariah dan terdapat pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Syariah pada saat first leg ditambah dengan accrued imbalan dari tanggal transaksi penjualan secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright); atau 7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran imbalan pada periode Transaksi Repo OPT Syariah yang diterima oleh Peserta OPT Syariah, Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Peserta OPT Syariah pada saat setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued imbalan sejak pembayaran imbalan terakhir pada periode Transaksi Repo OPT Syariah sampai dengan tanggal transaksi penjualan secara putus (outright). b. Rekening Giro rupiah dikredit untuk memperhitungkan haircut yang masih menjadi hak Peserta OPT Syariah; dan c. Rekening Giro rupiah didebit sebesar margin repo surat berharga yang harus dibayarkan oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia. Pasal 216 Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah pada hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. 132 Paragraf 7 Imbalan Surat Berharga Pasal 217 Perlakuan terhadap imbalan surat berharga dalam hal terdapat kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Syariah, imbalan yang diterima menjadi milik Bank Indonesia. b. Dalam hal pada tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Peserta OPT Syariah menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Syariah, Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar imbalan yang diterima oleh Peserta OPT Syariah. c. Dalam hal setelah tanggal transaksi penjualan secara putus (outright), Peserta OPT Syariah menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-repo-kan oleh Peserta OPT Syariah, pada tanggal pembayaran imbalan Bank Indonesia mendebit Rekening Giro rupiah sebesar kupon atau imbalan yang diterima oleh Peserta OPT Syariah. Bagian Ketiga Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Paragraf 1 Persiapan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 218 (1) Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah setelah menandatangani dokumen janji (waโ€™d) untuk menjual kembali surat berharga dalam 133 Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dengan Bank Indonesia. (2) Penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di Indonesia: 1. Dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang; 2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh anggota direksi yang berwenang maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari anggota direksi yang berwenang kepada pejabat penandatangan dokumen janji (waโ€™d); b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri: 1. Dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO); 2. Dalam hal tidak ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO) maka harus dilengkapi dengan surat kuasa dari Chief Executive Officer (CEO) kepada pejabat penandatangan dokumen janji (waโ€™d); atau c. Peserta OPT Syariah yang berupa UUS, dokumen janji (waโ€™d) ditandatangani oleh pejabat UUS yang diberikan kuasa oleh anggota direksi BUK (3) Dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibubuhi meterai cukup dan dilampirkan dokumen pendukung sesuai persyaratan Bank Indonesia. (4) Contoh dokumen janji (waโ€™d) adalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 219 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (3) meliputi: 134 a. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukandi Indonesia menyampaikan: 1. fotokopi anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau perubahan terakhir yang dilegalisir oleh Peserta OPT Syariah, yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus terkini; atau 2. fotokopi peraturan daerah yang memuat kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah dan susunan pengurus Peserta OPT Syariah terkini dalam hal Peserta OPT Syariah merupakan badan hukum perusahaan daerah; dan 3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor dari anggota direksi yang berwenang atau pejabat yang diberikan kuasa untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d). b. Peserta OPT Syariah yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri menyampaikan: 1. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT Syariah yang memuat kewenangan Chief Executive Officer (CEO) untuk mewakili Peserta OPT Syariah dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); 2. fotokopi surat kuasa (power of attorney) sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan surat kuasa dari Chief Executive Officer (CEO) kepada pejabat yang diberikan wewenang untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d) dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO); dan 3. fotokopi identitas diri yang masih berlaku berupa paspor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari Chief Executive Officer (CEO) atau pejabat Peserta OPT Syariah yang berwenang untuk menandatangani dokumen janji (waโ€™d). 135 Pasal 220 (1) Penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) dilakukan sebelum Peserta OPT Syariah mengajukan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dengan Bank Indonesia untuk pertama kali. (2) Peserta OPT Syariah harus menyampaikan perubahan dokumen janji (waโ€™d) dalam hal terdapat perubahan atas: a. dokumen janji (waโ€™d); b. perubahan anggaran dasar Peserta OPT Syariah atau peraturan daerah mengenai kewenangan direksi untuk mewakili Peserta OPT Syariah; dan/atau c. ketentuan internal Peserta OPT Syariah yang mengatur mengenai pendelegasian wewenang. Pasal 221 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 disampaikan dengan surat pengantar yang ditujukan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (2) Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia memberitahukan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 222 Bank Indonesia memberitahukan kepada Peserta OPT Syariah mengenai persetujuan pengajuan Transaksi Repo OPT Syariah melalui surat atau Sistem BI-ETP. 136 Paragraf 2 Pengumuman Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 223 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jangka waktu; e. tanggal jatuh waktu; f. metode lelang; g. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); h. margin Reverse Repo, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); i. jenis dan seri surat berharga yang dapat di-reverse repo-kan; j. haircut; k. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau l. informasi lainnya. Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 224 Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. 137 Pasal 225 (1) Pengajuan penawaran lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 meliputi informasi: a. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau b. nilai nominal dan margin reverse repo untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender), untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Reverse Repo OPT Syariah yang akan dilakukan. (2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran dengan nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan penawaran margin reverse repo dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 226 (1) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 138 (2) Dalam hal lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Bank Indonesia menetapkan margin reverse repo tertinggi yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR); dan b. Bank Indonesia menetapkan penawaran yang dimenangkan dengan cara: 1. dalam hal margin reverse repo yang diajukan Peserta OPT Syariah lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh penawaran Transaksi Reverse Repo OPT Syariah yang diajukan; atau 2. dalam hal margin reverse repo yang diajukan Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan, Peserta OPT Syariah yang bersangkutan memenangkan seluruh atau sebagian penawaran Transaksi Reverse Repo OPT Syariah yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Dalam hal Bank Indonesia menawarkan lebih dari 1 (satu) seri surat berharga dalam lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, Bank Indonesia menentukan alokasi seri dan nominal surat berharga yang dimenangkan Peserta OPT Syariah. Pasal 227 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah. 139 Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 228 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal, margin reverse repo, jenis dan seri surat berharga yang dimenangkan, nilai transaksi, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, kisaran penawaran margin reverse repo (bid rate), Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang margin reverse repo, dan/atau informasi lainnya. Paragraf 6 Setelmen Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 229 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen first leg paling lambat 1 (satu) Hari Kerja setelah pengumuman hasil lelang Transaksi Reverse Repo OPT Syariah. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen first leg. (3) Setelmen first leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Dana, dengan mendebit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen first leg; dan 140 b. Setelmen Surat Berharga, dengan mengkredit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga yang dimenangkan. Pasal 230 Perhitungan nilai setelmen first leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 231 (1) Dalam hal dana di Rekening Giro rupiah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen first leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah (first leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 232 (1) Pada tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan setelmen second leg sejak Sistem BI-RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki jenis dan seri surat berharga yang mencukupi dalam Rekening Surat Berharga untuk setelmen second leg. (3) Setelmen second leg dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP sebagai berikut: a. Setelmen Surat Berharga, dengan mendebit Rekening Surat Berharga sebesar nilai nominal surat berharga Transaksi Reverse Repo jatuh waktu (second leg). 141 b. Setelmen Dana, dengan mengkredit Rekening Giro rupiah sebesar nilai setelmen second leg. Pasal 233 Perhitungan nilai setelmen second leg mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. Pasal 234 Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, tanggal Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg) ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen dilakukan pada Hari Kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan margin reverse repo untuk hari libur dimaksud. Pasal 235 (1) Dalam hal jenis dan seri surat berharga di Rekening Surat Berharga tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen second leg sampai dengan sebelum periode cut- off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen second leg, BI-SSSS secara otomatis membatalkan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh waktu (second leg) Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. (2) Dalam hal Peserta OPT Syariah gagal melakukan setelmen second leg, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah diperlakukan sebagai transaksi pembelian secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah. (3) Perhitungan setelmen transaksi pembelian secara putus (outright) dan penggunaan harga surat berharga transaksi pembelian secara putus (outright) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam operasi moneter. 142 Pasal 236 Dalam hal terjadi transaksi pembelian secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah, dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Rekening Giro rupiah akan didebit atau dikredit dengan memperhitungkan nilai accrued imbalan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Peserta OPT Syariah setelah transaksi pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah didebit sebesar accrued imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 2. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg maka Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 3. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan Peserta OPT Syariah pada saat first leg ditambah dengan accrued imbalan sejak tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); 4. dalam hal terdapat pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan terdapat pembayaran imbalan berikutnya pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) yang diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro rupiah akan didebit sebesar accrued imbalan dari tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg dan dikredit sebesar accrued imbalan dari tanggal 143 transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah transaksi pembelian secara putus (outright); 5. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Bank Indonesia pada tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) maka Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg; 6. dalam hal terdapat pembayaran imbalan yang diterima Bank Indonesia pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dan terdapat pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright), Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat first leg ditambah dengan accrued imbalan dari tanggal transaksi pembelian secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran imbalan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright); atau 7. dalam hal terdapat 2 (dua) kali pembayaran imbalan pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Syariah yang diterima oleh Bank Indonesia, Rekening Giro rupiah akan dikredit sebesar accrued imbalan yang dibayarkan kepada Bank Indonesia pada saat setelmen first leg dan didebit sebesar accrued imbalan sejak pembayaran imbalan terakhir pada periode Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sampai dengan tanggal transaksi pembelian secara putus (outright). b. Atas kegagalan setelmen second leg, Bank Indonesia tidak membayarkan margin reverse repo kepada Peserta OPT Syariah. Pasal 237 Dalam hal pada hari yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah jatuh waktu 144 (second leg), untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut hanya dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Paragraf 7 Imbalan Surat Berharga Pasal 238 Perlakuan terhadap imbalan surat berharga dalam hal terdapat kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, diatur sebagai berikut: a. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright), Peserta OPT Syariah menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia, imbalan yang diterima menjadi milik Peserta OPT Syariah. b. Dalam hal pada tanggal transaksi pembelian secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia, Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah sebesar imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia. c. Dalam hal setelah tanggal transaksi pembelian secara putus (outright), Bank Indonesia menerima pembayaran imbalan atas surat berharga yang di-reverse repo-kan oleh Bank Indonesia, pada tanggal pembayaran imbalan Bank Indonesia mengkredit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah sebesar imbalan yang diterima oleh Bank Indonesia. 145 Bagian Keempat Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Paragraf 1 Pengumuman Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 239 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder memuat informasi: a. sarana transaksi; b. hari dan tanggal lelang; c. window time; d. jenis dan seri SBSN yang akan ditransaksikan; e. f. yield atau harga SBSN, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); g. tanggal dan waktu setelmen; dan/atau h. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 240 Peserta OPT Syariah secara langsung dan/atau melalui Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder kepada Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dalam window time yang ditetapkan. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); 146 Pasal 241 (1) Pengajuan penawaran lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder meliputi informasi: a. b. nilai nominal, untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender); atau nilai nominal dan yield atau harga SBSN, untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender). (2) Peserta OPT Syariah mengajukan setiap penawaran nilai nominal paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran yield dilakukan dengan kelipatan sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen). Paragraf 3 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 242 (1) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender), penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). 147 (2) Dalam hal lelang transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), Bank Indonesia menetapkan tingkat yield yang dapat diterima atau Stop Out Rate (SOR), atau harga yang dapat diterima, dan penetapan pemenang lelang dihitung dengan cara: a. Lelang transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder: 1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah lebih tinggi dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah lebih rendah dari harga yang dapat diterima, Peserta OPT Syariah memenangkan seluruh penawaran yang diajukan; atau 2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah sama dengan harga yang dapat diterima, Peserta OPT Syariah memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal berdasarkan unit terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). b. Lelang transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder: 1. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah lebih rendah dari Stop Out Rate (SOR) yang ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah lebih tinggi dari harga yang dapat diterima, Peserta OPT Syariah memenangkan seluruh penawaran SBSN yang diajukan; atau 2. dalam hal yield yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah sama dengan Stop Out Rate (SOR) yang 148 ditetapkan atau harga yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah sama dengan harga yang dapat diterima, Peserta OPT Syariah memenangkan seluruh atau sebagian penawaran yang diajukan secara proporsional sesuai dengan perhitungan Bank Indonesia, dengan pembulatan nominal berdasarkan unit terkecil SBSN sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Pasal 243 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder. Paragraf 4 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder Pasal 244 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang penjualan dan pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui Sistem BI-ETP dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal yang dimenangkan, nilai transaksi, yield atau harga yang dimenangkan, jenis dan seri SBSN yang dimenangkan, dan/atau informasi lainnya; dan b. secara keseluruhan melalui Sistem BI-ETP, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, berupa nilai nominal seluruh penawaran yang masuk, nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan, Stop Out Rate (SOR), rata-rata tertimbang tingkat yield, dan/atau informasi lainnya. 149 Paragraf 5 Transaksi Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Nonlelang Pasal 245 Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Syariah secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. Paragraf 6 Setelmen Pembelian dan Penjualan SBSN Secara Putus (Outright) di Pasar Sekunder dengan Mekanisme Lelang dan Nonlelang Pasal 246 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal transaksi. (2) Peserta OPT Syariah wajib memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga yang mencukupi untuk setelmen pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia. (3) Peserta OPT Syariah wajib memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk setelmen penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia. (4) Setelmen pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia dilakukan melalui Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS dengan mekanisme penyelesaian transaksi per transaksi (gross to gross) dan DVP. (5) Contoh perhitungan nilai setelmen penjualan dan pembelian SBSN tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 150 Pasal 247 (1) Dalam hal Peserta OPT Syariah pada transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia tidak memiliki jenis dan seri SBSN di Rekening Surat Berharga atau pada transaksi penjualan SBSN tidak memiliki dana di Rekening Giro rupiah yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen pembelian dan penjualan SBSN sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS sehingga mengakibatkan kegagalan setelmen, BI-SSSS secara otomatis membatalkan transaksi pembelian dan penjualan SBSN dimaksud. (2) Dalam hal pada lelang yang sama terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme lelang, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. (3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder dengan mekanisme nonlelang, dalam rangka perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan transaksi tersebut dihitung untuk setiap transaksi yang batal. Bagian Kelima Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Paragraf 1 Pendaftaran dan Pengkinian Informasi untuk Mengikuti Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 248 Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi sebelum 151 mengikuti pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. Pasal 249 (1) Peserta OPT Syariah menyampaikan surat pemohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Syariah; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah; c. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID), dalam hal Peserta OPT Syariah telah memiliki Terminal Controller Identifier (TCID); d. dalam hal Peserta OPT Syariah berupa UUS belum memiliki Terminal Controller Identifier (TCID), menyampaikan 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) BUK dari UUS yang bersangkutan; e. dalam hal Peserta OPT Syariah memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Syariah menyampaikan: 1. nama Bank Koresponden; 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Syariah di Bank Koresponden; dan 3. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden. f. dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki rekening di Bank Koresponden, Peserta OPT Syariah menyampaikan: 1. nama bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 2. 1 (satu) nomor rekening Peserta OPT Syariah di bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 3. Bank Identifier Code (BIC) bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen; 4. nama Bank Koresponden; 152 5. 1 (satu) nomor rekening bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen di Bank Koresponden; dan 6. Bank Identifier Code (BIC) Bank Koresponden. g. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dealer yang berwenang melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan h. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan pejabat yang membawahkan dealer yang berwenang melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf g. (2) Lembaga Perantara menyampaikan surat permohonan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, yang dilengkapi dengan informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama Lembaga Perantara; b. 1 (satu) Terminal Controller Identifier (TCID) Lembaga Perantara; c. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan broker yang berwenang melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan d. nama, surat elektronik, dan contoh tanda tangan dari pejabat yang membawahkan broker yang berwenang melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (3) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang mewakili Peserta OPT Syariah atau Lembaga Perantara. (4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui surat kepada Bank Indonesia pada saat pertama kali akan melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (5) Surat permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan format sebagaimana contoh 153 dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan ke alamat sebagai berikut: Bank Indonesia - Departemen Pengelolaan Moneter Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 (7) Dalam hal terjadi perubahan alamat surat-menyurat akan diberitahukan melalui surat dan/atau media lain. Pasal 250 Pengajuan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 dapat disampaikan bersamaan dengan pengajuan izin kepesertaan Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Pasal 251 (1) Dalam hal terjadi perubahan atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (2), Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara menyampaikan pengkinian informasi melalui surat dengan menggunakan format sebagaimana contoh dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (6). Pasal 252 Bank Indonesia menyampaikan persetujuan pendaftaran untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing kepada Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melalui surat yang memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara; b. Bank Identifier Code (BIC) Peserta OPT Syariah; 154 c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara; d. kode individual page yang terdiri dari active page, historical page, dan confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; e. Standard Settlement Instruction Peserta OPT Syariah; f. g. informasi lainnya. Paragraf 2 Pengumuman Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 253 (1) Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dan perubahannya paling lambat sebelum window time melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (2) Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memuat informasi: a. sarana transaksi; b. tanggal lelang; c. nama lelang (auction name); d. jangka waktu; e. window time; f. tingkat imbalan g. metode lelang; h. target indikatif; i. j. tanggal efektif untuk mengikuti lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau persentase besaran sanksi; tanggal setelmen (tanggal valuta); k. tanggal jatuh waktu; dan/atau l. informasi lainnya. 155 Paragraf 3 Pengajuan Penawaran Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 254 Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. Pasal 255 (1) Pengajuan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: a. nama lelang (auction name); b. penawaran nilai nominal; dan c. Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah, dalam hal Lembaga Perantara mengajukan penawaran untuk dan atas nama Peserta OPT Syariah, untuk masing-masing jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Pengajuan penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pasal 256 (1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara dapat mengajukan koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 156 a. Peserta OPT Syariah dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi nama lelang (auction name); dan/atau b. Lembaga Perantara yang mengajukan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing untuk dan atas nama Peserta OPT Syariah dapat mengajukan koreksi terhadap informasi penawaran selain informasi Terminal Controller Identifier (TCID) Peserta OPT Syariah dan nama lelang (auction name). (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255. Pasal 257 (1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Syariah mengenai Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Syariah. Paragraf 4 Penetapan Pemenang Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 258 (1) Bank Indonesia menetapkan nilai nominal Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang dimenangkan dengan cara: a. penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dimenangkan seluruhnya; atau b. dalam hal diperlukan, penawaran nilai nominal yang diajukan Peserta OPT Syariah dapat dimenangkan sebagian secara proporsional sesuai perhitungan 157 Bank Indonesia dengan pembulatan ke seratus ribuan dolar Amerika Serikat terdekat dengan ketentuan: 1. untuk nominal kurang dari USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) dibulatkan menjadi 0 (nol); dan 2. untuk nominal USD50,000.00 (lima puluh ribu dolar Amerika Serikat) atau lebih dibulatkan menjadi USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat). (2) Contoh perhitungan nilai nominal dan penetapan pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 259 Bank Indonesia dapat menetapkan tidak ada pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. Paragraf 5 Pengumuman Hasil Lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 260 (1) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. secara individual kepada pemenang lelang melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa: 1. jangka waktu; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. tingkat imbalan; 158 4. nominal imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau 5. informasi lainnya; b. secara keseluruhan kepada semua Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain, yang memuat informasi berupa: 1. nilai nominal penawaran yang dimenangkan; 2. tingkat imbalan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau 3. informasi lainnya. (2) Peserta OPT Syariah dapat mengakses pengumuman hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam confirmation page pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing. Paragraf 6 Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 261 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. (2) Peserta OPT Syariah menyediakan dana di rekening giro pada Bank Koresponden atau bank perantara (intermediary bank) yang ditunjuk untuk keperluan setelmen, yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (3) Pada tanggal setelmen, Peserta OPT Syariah wajib mentransfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing untuk setiap penawaran atau sesuai dengan jumlah nominal yang 159 dimenangkan ke rekening Bank Indonesia di Bank Koresponden. (4) Peserta OPT Syariah menyampaikan konfirmasi setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melalui SWIFT message format MT320 atau sarana lain kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman. Pasal 262 (1) Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memenuhi kewajiban setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (3), Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dinyatakan batal. (2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) kali pembatalan setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari yang sama, untuk perhitungan pengenaan sanksi penghentian sementara mengikuti kegiatan OMS, pembatalan tersebut dihitung sebanyak 1 (satu) kali. Pasal 263 (1) Pada tanggal jatuh waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia melakukan pelunasan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing jatuh waktu dengan melakukan transfer ke rekening giro Peserta OPT Syariah pada Bank Koresponden sebesar nilai tunai. (2) Nilai tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan rumus sebagai berikut: Nilai Tunai = N ร— (1 + r k 360 hari ) Keterangan: N = nilai nominal Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing r = tingkat imbalan 160 k = jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing (3) Dalam hal setelah terjadinya Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, tanggal jatuh waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing ditetapkan sebagai hari libur oleh pemerintah, pelaksanaan setelmen transaksi tersebut dilakukan pada hari kerja berikutnya tanpa memperhitungkan tambahan imbalan untuk hari libur dimaksud. Paragraf 7 Pencairan Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 264 (1) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing paling cepat 3 (tiga) hari setelah setelmen hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang akan dilakukan Early Redemption. (2) Peserta OPT Syariah dapat mengajukan Early Redemption pada setiap hari kerja, kecuali pada hari pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dengan jangka waktu melebihi overnight. (3) Pengajuan Early Redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00 WIB. (4) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan melalui sarana dealing system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (5) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan paling sedikit sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat) dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). 161 (6) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang ditransaksikan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing harus disertai dengan informasi reference number dan informasi nama lelang (auction name) pada saat pengajuan lelang transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; atau b. untuk Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang ditransaksikan secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 ayat (1) huruf c harus disertai informasi tanggal lelang dan informasi waktu transaksi lelang yang akan dilakukan Early Redemption (waktu Greenwich Mean Time/GMT). (7) Pengajuan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, baik keseluruhan atau sebagian, dilakukan untuk nilai nominal penuh yang tercantum dalam setiap deal ticket. Pasal 265 (1) Peserta OPT Syariah yang melakukan Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memperoleh imbalan secara proporsional dengan perhitungan sebagai berikut: Imbalan = Nominal Early Redemption ร— Tingkat imbalan k ร— 360 Keterangan: k = jangka waktu sampai dengan setelmen Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing (2) Peserta OPT Syariah dikenakan biaya Early Redemption Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebesar 10% 162 (sepuluh persen) dari imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 266 (1) Bank Indonesia melakukan setelmen Early Redemption pada 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengajuan Early Redemption. (2) Nilai tunai Early Redemption sebesar nilai nominal Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang dilakukan Early Redemption ditambah imbalan dikurangi biaya Early Redemption, dengan rumus sebagai berikut: Nilai Tunai = Early Redemption Nilai Nominal Term Deposit Valas yang di-early redeem + Imbalan - Biaya Early Redemption BAB IV PELAKSANAAN OPT DALAM KEADAAN TIDAK NORMAL Bagian Kesatu Pelaksanaan OPT dalam Rupiah dalam Keadaan Tidak Normal Pasal 267 Pelaksanaan transaksi OPT dalam rupiah dalam keadaan tidak normal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI- SSSS, dan/atau penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS. 163 Bagian Kedua Pelaksanaan Transaksi OPT dalam Valuta Asing dalam Keadaan Tidak Normal Paragraf 1 Penerbitan SBBI Valas Pasal 268 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sarana dealing system yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang SBBI Valas, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyesuaikan window time lelang SBBI Valas; b. membatalkan proses lelang SBBI Valas yang dilakukan melalui sarana dealing system; dan/atau c. melakukan lelang SBBI Valas dengan cara manual. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan kepada Peserta OPT Konvensional melalui sarana dealing system, Sistem LHBU dan/atau sarana lain. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan proses lelang SBBI Valas dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu) sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran lelang SBBI Valas melalui 1 (satu) sarana transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia. 164 Pasal 269 Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang SBBI Valas dengan cara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window time lelang SBBI Valas yang dilakukan secara manual melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain. b. Window time lelang SBBI Valas dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Pengumuman rencana lelang SBBI Valas memuat informasi: 1. sarana transaksi; 2. hari dan tanggal lelang; 3. seri; 4. window time; 5. jangka waktu; 6. tanggal jatuh waktu; 7. metode lelang; 8. target indikatif, apabila lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); 9. tingkat diskonto SBBI Valas, apabila lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 10. tanggal setelmen (tanggal valuta); dan/atau 11. informasi lainnya. Pasal 270 Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang SBBI Valas kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. 165 b. Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. penawaran nilai nominal; 3. tingkat diskonto sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; 4. participant code BI-SSSS yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut: a) dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama diri sendiri, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan; b) dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara mengajukan atas nama Peserta OPT Konvensional lain, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional lain tersebut; atau c) dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga, participant code yang digunakan adalah participant code Sub-Registry. c. Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi paling sedikit sebagai berikut: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. penawaran nilai nominal; 3. tingkat diskonto; 4. participant code BI-SSSS yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS yaitu sebagai berikut: a) dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama diri sendiri, participant 166 code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan; b) dalam hal Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara mengajukan atas nama Peserta OPT Konvensional lain, participant code yang digunakan adalah participant code Peserta OPT Konvensional lain tersebut; atau c) dalam hal Peserta OPT Konvensional mengajukan atas nama pembeli SBBI Valas yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga, participant code yang digunakan adalah participant code Sub-Registry. d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan. e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT paling sedikit sebesar USD100,000.00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000.00 (seribu dolar Amerika Serikat). f. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara dapat mengajukan penawaran paling banyak sebesar USD 100,000,000.00 (seratus juta dolar Amerika Serikat) per pengajuan penawaran. g. Dalam hal lelang SBBI Valas dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan penawaran diskonto diajukan dengan kelipatan 0,1 bps (nol koma satu basis point) atau 0,001% (nol koma nol nol satu persen). Pasal 271 (1) Peserta OPT dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time lelang SBBI Valas. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu SBBI Valas. 167 (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270. Pasal 272 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran informasi penawaran lelang SBBI Valas yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai lelang SBBI Valas yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 dan Pasal 271 maka penawaran tersebut dinyatakan batal. (4) Pengajuan penawaran lelang SBBI Valas oleh Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Pasal 273 (1) Penetapan pemenang lelang SBBI Valas mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (2) Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang SBBI Valas setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 1. seri; 2. mata uang; 3. nilai nominal seluruh penawaran yang masuk; 168 4. nilai nominal seluruh penawaran yang dimenangkan; 5. rata-rata tertimbang tingkat diskonto; 6. tanggal jatuh waktu; dan/atau 7. informasi lainnya. b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT Konvensional yang memenangkan lelang secara individual melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia yang memuat informasi berupa: 1. pemenang lelang SBBI Valas; 2. nilai nominal yang dimenangkan; 3. tingkat diskonto; dan/atau 4. informasi lainnya. Pasal 274 Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. Pasal 275 Setelmen lelang SBBI Valas dalam hal terjadi kondisi tidak normal pada sarana dealing system dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. 169 Paragraf 2 Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 276 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyesuaikan window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing; b. membatalkan proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang dilakukan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; dan/atau c. melakukan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing secara manual. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan kepada Peserta OPT Konvensional melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu) sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing melalui 1 (satu) sarana transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia. 170 Pasal 277 Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang dilakukan secara manual melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain. b. Window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing memuat informasi: 1. sarana transaksi; 2. tanggal lelang; 3. jangka waktu; 4. window time; 5. metode lelang; 6. tingkat bunga, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 7. target indikatif, apabila lelang transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable rate tender); 8. tanggal setelmen (tanggal valuta); 9. tanggal jatuh waktu; dan/atau 10. informasi lainnya. Pasal 278 Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing kepada Bank 171 Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga tetap (fixed rate tender) memuat informasi: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. tanggal transaksi; 3. jangka waktu; 4. tanggal jatuh waktu; 5. Standard Settlement Instruction; 6. penawaran nilai nominal; 7. 8. tingkat bunga sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan/atau informasi lainnya. c. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing untuk lelang dengan metode harga beragam (variable rate tender) memuat informasi: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. tanggal transaksi; 3. jangka waktu; 4. tanggal jatuh waktu; 5. Standard Settlement Instruction; 6. penawaran nilai nominal; 7. tingkat bunga; dan/atau 8. informasi lain yang ditentukan Bank Indonesia. d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan. e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). f. dalam hal lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga 172 beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran tingkat bunga dilakukan dengan kelipatan 1 (satu) bps (basis point) atau 0,01% (nol koma nol satu persen). Pasal 279 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278. Pasal 280 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 dan Pasal 279 maka penawaran tersebut dinyatakan batal. 173 Pasal 281 Penetapan pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana diatur dalam Pasal 131. Pasal 282 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. nilai nominal yang dimenangkan; 2. tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang tingkat bunga Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, apabila Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan/atau 4. informasi lainnya. b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT konvensional yang memenangkan lelang secara individual melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa informasi: 1. nominal valuta asing dan tingkat bunga yang dimenangkan Peserta OPT; 2. jangka waktu; 3. tanggal setelmen (tanggal valuta); 4. tanggal jatuh waktu; 5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT Konvensional; dan/atau 6. informasi lainnya. 174 Pasal 283 Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. Pasal 284 (1) Transfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dilakukan sesuai dengan nilai nominal yang tercantum pada setiap deal ticket konfirmasi lelang Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing. (2) Setelmen Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, Pasal 135 dan Pasal 136. Paragraf 3 Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 285 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyesuaikan window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; b. membatalkan proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang dilakukan 175 melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; dan/atau c. melakukan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing secara manual. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan kepada Peserta OPT Syariah melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU, dan/atau sarana lain. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan proses lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu) sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Syariah dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing melalui 1 (satu) sarana transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 286 Bank Indonesia mengumumkan rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang dilakukan secara manual melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain. b. Window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 176 c. Pengumuman rencana lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing memuat informasi: 1. sarana transaksi; 2. tanggal lelang; 3. jangka waktu; 4. window time; 5. metode lelang; 6. target indikatif; 7. persentase besaran sanksi; 8. tanggal setelmen (tanggal valuta); 9. tanggal jatuh waktu; dan/atau 10. informasi lainnya. Pasal 287 Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat informasi: 1. nama Peserta OPT Syariah; 2. tanggal transaksi; 3. jangka waktu; 4. tanggal jatuh waktu; 5. Standard Settlement Instruction; 6. penawaran nilai nominal; 7. tingkat imbalan sesuai dengan yang diumumkan oleh Bank Indonesia; dan/atau 8. informasi lainnya. 177 c. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan. d. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Syariah paling sedikit sebesar USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). Pasal 288 (1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi nama Peserta OPT Syariah dan jangka waktu Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287. Pasal 289 (1) Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran data penawaran Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Syariah mengenai Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Syariah. (3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan oleh Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dan Pasal 288 maka penawaran tersebut dinyatakan batal. 178 Pasal 290 Penetapan pemenang lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana diatur dalam Pasal 258. Pasal 291 Bank Indonesia mengumumkan hasil lelang Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa: 1. nilai nominal yang dimenangkan; 2. tingkat imbalan Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau 3. informasi lainnya. b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT Syariah yang memenangkan lelang secara individual melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa informasi: 1. nilai nominal dan tingkat imbalan; 2. jangka waktu; 3. tanggal setelmen (tanggal valuta); 4. tanggal jatuh waktu; 5. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT Syariah; dan/atau 6. informasi lainnya. Pasal 292 Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Peserta OPT Syariah tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau 179 b. dalam hal Peserta OPT syariah memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi dilakukan kepada Peserta OPT Syariah yang bersangkutan. Pasal 293 (1) Transfer dana atas kewajiban setelmen Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dilakukan sesuai dengan nilai nominal yang tercantum pada setiap deal ticket konfirmasi lelang transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing. (2) Setelmen transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261, Pasal 262 dan Pasal 263. Paragraf 4 Pelaksanaan Transaksi Swap Secara Lelang Pasal 294 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan Transaksi Swap secara lelang, Bank Indonesia dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. menyesuaikan window time Transaksi Swap secara lelang; b. membatalkan proses Transaksi Swap secara lelang yang dilakukan melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing; dan/atau c. melakukan Transaksi Swap secara lelang dengan cara manual. (2) Dalam hal dilakukan penyesuaian window time sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau pembatalan proses lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia menginformasikan 180 kepada Peserta OPT Konvensional melalui sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing, Sistem LHBU dan/atau sarana lain. (3) Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat melakukan proses Transaksi Swap secara lelang dengan cara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia menetapkan lebih dari 1 (satu) sarana transaksi yang dapat digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta OPT Konvensional dan/atau Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran Transaksi Swap secara lelang melalui 1 (satu) sarana transaksi yang ditetapkan Bank Indonesia. Pasal 295 Bank Indonesia mengumumkan rencana Transaksi Swap secara lelang dengan cara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294 ayat (3) dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pengumuman dilakukan paling lambat sebelum window time Transaksi Swap secara lelang yang dilakukan secara manual melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain. b. Window time Transaksi Swap secara lelang dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. c. Dalam hal window time sebagaimana dimaksud pada huruf b dibuka sebelum penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR hari kerja sebelumnya. d. Dalam hal window time sebagaimana dimaksud pada huruf b dibuka setelah penerbitan JISDOR, kurs spot yang digunakan adalah JISDOR pada tanggal transaksi. e. Pengumuman rencana lelang Transaksi Swap memuat informasi: 1. jenis Transaksi Swap; 2. sarana transaksi; 3. tanggal lelang; 181 4. jangka waktu; 5. window time; 6. metode lelang; 7. premi swap, apabila lelang Transaksi Swap dilaksanakan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 8. target indikatif, apabila lelang Transaksi Swap dilaksanakan dengan metode harga beragam (variable rate tender); 9. mata uang; 10. kurs spot; 11. tanggal setelmen (tanggal valuta); 12. tanggal jatuh waktu; dan/atau 13. informasi lainnya. Pasal 296 Pengajuan penawaran lelang transaksi Swap dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara mengajukan penawaran lelang Transaksi Swap kepada Bank Indonesia melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan waktu yang tercatat pada sistem di Bank Indonesia. b. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Swap dengan metode harga tetap (fixed rate tender) meliputi informasi: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. tanggal transaksi; 3. jangka waktu; 4. tanggal jatuh waktu; 5. penawaran nilai nominal; 6. mata uang; 7. Standard Settlement Instruction; dan/atau 8. informasi lainnya. 182 c. Pengajuan penawaran lelang Transaksi Swap dengan metode harga beragam (variable rate tender) meliputi informasi: 1. nama Peserta OPT Konvensional; 2. tanggal transaksi; 3. jangka waktu; 4. tanggal jatuh waktu; 5. penawaran nilai nominal; 6. mata uang; 7. premi swap; 8. Standard Settlement Instruction; dan/atau 9. informasi lainnya d. Penawaran dapat diajukan paling banyak 2 (dua) kali untuk masing-masing jangka waktu yang ditawarkan. e. Pengajuan setiap penawaran nilai nominal dari Peserta OPT Konvensional paling sedikit USD5,000,000.00 (lima juta dolar Amerika Serikat) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar USD1,000,000.00 (satu juta dolar Amerika Serikat). f. Dalam hal Transaksi Swap secara lelang dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender), pengajuan setiap penawaran premi swap dari Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara paling sedikit sebesar Rp1,00 (satu rupiah) dan selebihnya dengan kelipatan sebesar Rp1,00 (satu rupiah). Pasal 297 (1) Peserta OPT dan Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali koreksi untuk setiap penawaran yang diajukan dalam window time Transaksi Swap secara lelang. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap informasi penawaran selain informasi nama Peserta OPT Konvensional dan jangka waktu Transaksi Swap. sebesar 183 (3) Koreksi penawaran harus memenuhi persyaratan pengajuan penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296. Pasal 298 (1) Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara harus memantau kebenaran informasi penawaran Transaksi Swap secara lelang yang disampaikan kepada Bank Indonesia. (2) Lembaga Perantara harus menyampaikan informasi kepada Peserta OPT Konvensional mengenai Transaksi Swap secara lelang yang diajukan untuk kepentingan Peserta OPT Konvensional. (3) Dalam hal penawaran dan/atau koreksi yang diajukan oleh Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 dan Pasal 297 maka penawaran tersebut dinyatakan batal. (4) Pengajuan penawaran Transaksi Swap secara lelang oleh Peserta OPT Konvensional atau Lembaga Perantara dilakukan oleh pihak yang berwenang melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf g atau Pasal 148 ayat (2) huruf c. Pasal 299 (1) Penetapan pemenang lelang Transaksi Swap mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157. (2) Bank Indonesia mengumumkan hasil Transaksi Swap secara lelang setelah dilakukan proses penetapan pemenang lelang oleh Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. mengumumkan hasil penetapan pemenang lelang kepada semua Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara secara keseluruhan melalui Sistem LHBU dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang memuat informasi berupa: 184 1. nilai nominal Transaksi Swap dimenangkan; yang 2. premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender); 3. rata-rata tertimbang (weighted average) premi swap per jangka waktu, apabila Transaksi Swap dilakukan dengan metode harga beragam (variable rate tender); dan/atau 4. informasi lainnya; b. melakukan konfirmasi kepada Peserta OPT Konvensional yang memenangkan lelang secara individual melalui sarana dealing system dan/atau sarana lain yang ditetapkan Bank Indonesia yang memuat informasi berupa: 1. nominal lelang Transaksi Swap yang dimenangkan; 2. premi swap yang dimenangkan; 3. kurs spot; 4. jangka waktu transaksi; 5. tanggal setelmen (tanggal valuta); 6. tanggal jatuh waktu; 7. permintaan Standard Settlement Instruction Peserta OPT; 8. permintaan nomor Rekening Giro rupiah Peserta OPT; dan/atau 9. informasi lainnya. Pasal 300 Dalam hal penawaran lelang diajukan melalui Lembaga Perantara, konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Peserta OPT Konvensional tidak memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan melalui Lembaga Perantara; atau 185 b. dalam hal Peserta OPT Konvensional memiliki sarana dealing system yang ditetapkan Bank Indonesia, konfirmasi akan dilakukan kepada Peserta OPT Konvensional yang bersangkutan. Pasal 301 Peserta OPT yang telah memenangkan penawaran dilarang melakukan pengakhiran Transaksi Swap secara lelang sebelum jatuh waktu (early termination). Pasal 302 Setelmen Transaksi Swap secara lelang dalam hal terjadi kondisi tidak normal pada sistem otomasi lelang Operasi Moneter valuta asing dilakukan dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 sampai dengan Pasal 169. BAB V TATA CARA PENGENAAN SANKSI OPT Bagian Kesatu Sanksi OPT Konvensional Paragraf 1 Sanksi Transaksi OPT Konvensional dalam Rupiah Pasal 303 (1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Konvensional dalam rupiah, meliputi: a. transaksi penerbitan SBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1). b. transaksi penerbitan SDBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). c. Transaksi Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pasal 72 ayat (1), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1). 186 d. Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 96 ayat (1). e. Transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1). f. Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1). (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi OPT Konvensional dalam rupiah yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 304 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Pasal 305 (1) Dalam hal transaksi memiliki second leg, nilai transaksi yang batal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) yaitu nilai transaksi pada saat first leg. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. 187 Paragraf 2 Sanksi Transaksi OPT Konvensional dalam Valuta Asing Selain SBBI Valas dan Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 306 (1) Peserta OPT Konvensional dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen Transaksi OPT Konvensional dalam valuta asing, meliputi: a. Transaksi Spot sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 huruf c dan Pasal 146 huruf c. b. Transaksi Swap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162, Pasal 164 ayat (1), Pasal 166 ayat (1), dan Pasal 168. c. Transaksi Forward sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1) dan 183. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar: 1. rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing dolar Amerika Serikat. 2. rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing non-dolar Amerika Serikat; atau 188 3. rata-rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh), untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam rupiah. Pasal 307 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) dilakukan paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal setelmen. Pasal 308 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah atau Rekening Giro valuta asing Peserta OPT yang ada di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal kewajiban setelmen. Paragraf 3 Sanksi Transaksi SBBI Valas dan Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing Pasal 309 (1) Peserta OPT dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi SBBI Valas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (1), Peserta OPT dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku pada tanggal penyelesaian transaksi ditambah margin sebesar 200 (dua ratus) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh). 189 (2) Dalam hal Peserta OPT tidak dapat memenuhi kewajiban pada tanggal setelmen second leg Transaksi Swap Jual Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (3) huruf c maka Peserta OPT dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar yang dihitung atas dasar rata- rata Bank Indonesia 7-Day (Reverse) Repo Rate yang berlaku ditambah margin sebesar 350 (tiga ratus lima puluh) basis point dikalikan nilai transaksi dikalikan 1/360 (satu per tiga ratus enam puluh). Pasal 310 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah pembatalan transaksi SBBI Valas dan/atau Term Deposit OPT Konvensional dalam Valuta Asing, atau tidak terpenuhinya kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (3) huruf c. Pasal 311 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Peserta OPT di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah tanggal kewajiban pelaksanaan setelmen. 190 Paragraf 4 Sanksi Penghentian Sementara Mengikuti OMK Pasal 312 Atas batalnya transaksi OMK, yang terdiri atas transaksi OPT Konvensional dan/atau transaksi Standing Facilities Konvensional, yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (2), Pasal 306 ayat (2), dan Pasal 309, Peserta OPT juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMK selama 5 (lima) Hari Kerja berturut- turut. Pasal 313 Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 diberlakukan mulai 1 (satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi adanya pembatalan transaksi OMK yang ketiga kalinya. Pasal 314 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 3 (tiga) kali pembatalan transaksi OMK dalam 1 (satu) hari, pengenaan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 312 hanya memperhitungkan 3 (tiga) kali pembatalan. (2) Contoh pengenaan sanksi karena pembatalan transaksi OMK tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 315 Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam OMK juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT Konvensional yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan 191 Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial. Paragraf 5 Sanksi Pelanggaran Kewajiban Minimum Holding Period SBI Pasal 316 Bank dan/atau Sub-Registry yang tidak memenuhi ketentuan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SBI yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 317 Penyampaian surat teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 dilakukan setelah terlampauinya batas waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). Pasal 318 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry. Paragraf 6 Sanksi Pelanggaran Transaksi SDBI antara Bank dengan Pihak Selain Bank di Pasar Sekunder Pasal 319 BUK yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Sub-Registry yang tidak memenuhi 192 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dikenakan sanksi sebagai berikut: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi SDBI yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per hari. Pasal 320 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 319 dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah diketahuinya pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 30. Pasal 321 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 319 dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah dan/atau rekening giro bank pembayar yang ditunjuk Sub-Registry. Bagian Kedua Sanksi OPT Syariah Paragraf 1 Sanksi Transaksi OPT Syariah dalam Rupiah Pasal 322 (1) Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi dalam hal tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Syariah dalam rupiah, meliputi: a. transaksi penerbitan SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1); b. Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) dan Pasal 214 ayat (1); 193 c. Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) dan Pasal 235 ayat (1); d. Transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1). (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi OPT Syariah dalam rupiah yang dibatalkan, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap pembatalan. (3) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (1) dan dalam hal harga surat berharga pada saat second leg lebih rendah dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-repo-kan. (4) Dalam hal terjadi pembatalan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) dan dalam hal harga surat berharga pada saat second leg lebih tinggi dari harga surat berharga pada transaksi first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-reverse repo-kan. 194 Pasal 323 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (2) dilakukan pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Pasal 324 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (2) dilakukan dengan mendebit Rekening Giro rupiah Peserta OPT Syariah yang dikenakan sanksi pada 1 (satu) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. (2) Contoh pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran XIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 2 Sanksi Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam Valuta Asing Pasal 325 Dalam hal Peserta OPT Syariah tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen yang menyebabkan batalnya Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1), Peserta OPT Syariah dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban membayar sebesar persentase tertentu dari nilai transaksi yang batal, yang diumumkan Bank Indonesia pada saat pengumuman rencana transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (2) dengan rumus sebagai berikut: Kewajiban Membayar = Persentase besaran sanksi ร— Nominal transaksi 195 Pasal 326 Penyampaian teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 325 dilakukan paling lambat 2 (dua) Hari Kerja setelah pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1). Pasal 327 Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 325 dilakukan dengan mendebit Rekening Giro valuta asing Peserta OPT Syariah di Bank Indonesia paling lama 2 (dua) Hari Kerja setelah terjadinya pembatalan transaksi. Paragraf 3 Sanksi Penghentian Sementara Mengikuti OMS Pasal 328 Atas batalnya transaksi OMS, yang terdiri atas transaksi OPT Syariah dan/atau transaksi Standing Facilities Syariah, yang ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 322 ayat (2) dan Pasal 325, Peserta OPT Syariah juga dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) Hari Kerja berturut-turut. Pasal 329 Sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan OMS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328 diberlakukan mulai 1 (satu) Hari Kerja setelah diperoleh informasi adanya pembatalan transaksi OMS yang ketiga kalinya. Pasal 330 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 3 (tiga) kali pembatalan transaksi OMS dalam 1 (satu) hari, pengenaan sanksi penghentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 hanya memperhitungkan 3 (tiga) kali pembatalan. 196 (2) Contoh pengenaan sanksi karena pembatalan transaksi OMS tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 331 Sanksi pembatasan dan/atau larangan keikutsertaan dalam OMS juga dapat dikenakan bagi Peserta OPT Syariah yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 332 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/40/DPM perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/41/DPM perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; c. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/44/DPM perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/46/DPM perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah; 197 e. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/24/DPM perihal Operasi Pasar Terbuka; f. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/31/DPM perihal Tata Cara Penempatan Berjangka (Term Deposit) Syariah dalam Valuta Asing; dan g. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/48/DPD perihal Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 333 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/6/PADG/2018 TENTANG PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam rangka mencapai tujuan dimaksud dan menghadapi tantangan kondisi makroekonomi, Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Operasi moneter salah satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi pasar terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. 2 Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Transaksi SBI mencakup antara lain transaksi repurchase agreement (repo), transaksi jual atau beli secara putus (outright), pinjam- 3 meminjam, memberi atau menerima hibah, memberikan atau menerima agunan. Transaksi repurchase agreement (repo) SBI dengan prinsip sell and buy back tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu kurang dari 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender. Dalam hal transaksi SBI memiliki second leg dan tidak terjadi perpindahan kepemilikan antara lain repurchase agreement (repo) dengan prinsip collateralized borrowing, pengagunan (pledge), dan securities lending and borrowing, pemilik SBI dapat langsung mentransaksikan kembali SBI dimaksud setelah jatuh waktu (second leg). Dalam hal transaksi SBI memiliki second leg dan terjadi perpindahan kepemilikan, antara lain repo sell and buyback SBI, pemilik SBI dapat mentransaksikan kembali SBI dimaksud dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal second leg transaksi repo berhasil dilakukan, SBI dimaksud dapat ditransaksikan kembali oleh penjual repo 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen second leg transaksi SBI dimaksud; atau b. dalam hal second leg transaksi repo tidak berhasil dilakukan, SBI dimaksud dapat ditransaksikan kembali oleh pembeli repo 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen first leg transaksi SBI dimaksud. Dalam hal transfer SBI antar Sub-Registry tanpa perpindahan kepemilikan atau transfer SBI karena pengambilalihan, akuisisi, dan peleburan, SBI dapat ditransaksikan kembali 1 (satu) minggu atau 7 (tujuh) hari kalender sejak SBI dicatat di Sub-Registry awal atau di Rekening Surat Berharga awal. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. penggabungan, 4 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œhari kerjaโ€ adalah hari kerja yang dimulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, kecuali hari libur nasional dan/atau hari libur khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. 5 Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. 6 Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. 7 Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. 8 Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. 9 Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. 10 Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. 11 Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. 12 Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. 13 Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. 14 Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. 15 Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. 16 Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Cukup jelas. 17 Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. 18 Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup jelas. 19 Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO) maka surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT Syariah memuat hak Chief Executive Officer (CEO) untuk mengalihkan kewenangannya atau hak substitusi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 198 Cukup jelas. 20 Pasal 199 Ayat (1) Dokumen janji (waโ€™d) untuk pengajuan repo SBSN oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia berlaku untuk transaksi repo SBSN OPT Syariah dan transaksi repo SBSN untuk financing facility syariah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai standing facilities. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 200 Cukup jelas. Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 Cukup jelas. Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 Cukup jelas. Pasal 206 Cukup jelas. Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. 21 Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Cukup jelas. Pasal 211 Cukup jelas. Pasal 212 Cukup jelas. Pasal 213 Cukup jelas. Pasal 214 Cukup jelas. Pasal 215 Cukup jelas. Pasal 216 Cukup jelas. Pasal 217 Cukup jelas. Pasal 218 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. 22 Angka 2 Dalam hal penandatanganan dokumen janji (waโ€™d) tidak dilakukan oleh Chief Executive Officer (CEO) maka surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Peserta OPT Syariah memuat hak Chief Executive Officer (CEO) untuk mengalihkan kewenangannya atau hak substitusi. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 219 Cukup jelas. Pasal 220 Cukup jelas. Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 Cukup jelas. Pasal 223 Cukup jelas. Pasal 224 Cukup jelas. Pasal 225 Cukup jelas. Pasal 226 Cukup jelas. 23 Pasal 227 Cukup jelas. Pasal 228 Cukup jelas. Pasal 229 Cukup jelas. Pasal 230 Cukup jelas. Pasal 231 Cukup jelas. Pasal 232 Cukup jelas. Pasal 233 Cukup jelas. Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 Cukup jelas. Pasal 237 Cukup jelas. Pasal 238 Cukup jelas. 24 Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Cukup jelas. Pasal 243 Cukup jelas. Pasal 244 Cukup jelas. Pasal 245 Cukup jelas. Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 Cukup jelas. Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Cukup jelas. Pasal 250 Cukup jelas. 25 Pasal 251 Cukup jelas. Pasal 252 Cukup jelas. Pasal 253 Cukup jelas. Pasal 254 Cukup jelas. Pasal 255 Cukup jelas. Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Cukup jelas. Pasal 260 Cukup jelas. Pasal 261 Cukup jelas. Pasal 262 Cukup jelas. 26 Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 Cukup jelas. Pasal 265 Cukup jelas. Pasal 266 Cukup jelas. Pasal 267 Yang dimaksud dengan โ€œkeadaan tidak normalโ€ adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. Transaksi OPT dalam rupiah paling kurang meliputi penerbitan SBI, penerbitan SDBI, Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Term Deposit OPT Konvensional dalam rupiah, penerbitan SBIS, Transaksi Repo OPT Syariah, dan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah. Pasal 268 Cukup jelas. Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 Cukup jelas. 27 Pasal 272 Cukup jelas. Pasal 273 Cukup jelas. Pasal 274 Cukup jelas. Pasal 275 Cukup jelas. Pasal 276 Cukup jelas. Pasal 277 Cukup jelas. Pasal 278 Cukup jelas. Pasal 279 Cukup jelas. Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 Cukup jelas. Pasal 283 Cukup jelas. 28 Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Cukup jelas. Pasal 286 Cukup jelas. Pasal 287 Cukup jelas. Pasal 288 Cukup jelas. Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 Cukup jelas. Pasal 294 Cukup jelas. Pasal 295 Cukup jelas. 29 Pasal 296 Cukup jelas. Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 300 Cukup jelas. Pasal 301 Cukup jelas. Pasal 302 Cukup jelas. Pasal 303 Cukup jelas. Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Cukup jelas. 30 Pasal 308 Cukup jelas. Pasal 309 Cukup jelas. Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 Cukup jelas. Pasal 312 Cukup jelas. Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 Cukup jelas. Pasal 316 Cukup jelas. Pasal 317 Cukup jelas. Pasal 318 Cukup jelas. Pasal 319 Cukup jelas. 31 Pasal 320 Cukup jelas. Pasal 321 Cukup jelas. Pasal 322 Cukup jelas. Pasal 323 Cukup jelas. Pasal 324 Cukup jelas. Pasal 325 Cukup jelas. Pasal 326 Cukup jelas. Pasal 327 Cukup jelas. Pasal 328 Cukup jelas. Pasal 329 Cukup jelas. Pasal 330 Cukup jelas. Pasal 331 Cukup jelas. 32 Pasal 332 Cukup jelas. Pasal 333 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/6/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 20 April 2018 </set_date> <effective_date> 20 April 2018 </effective_date> <replaced_reg> '17/40/DPM|SE-BI', '17/41/DPM|SE-BI', '17/44/DPM|SE-BI', '17/46/DPM|SE-BI', '18/24/DPM|SE-BI', '18/31/DPM|SE-BI', '17/48/DPD|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/ 3 /PADG/2020 TENTANG PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Peraturan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan hal teknis terkait standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/16/PBI/2019 tentang Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6448); 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH. Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Standardisasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Standardisasi Kompetensi SPPUR adalah penerapan standar kompetensi kerja nasional Indonesia bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah dan jenjang kualifikasi nasional Indonesia bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 2. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut SKKNI Bidang SPPUR adalah rumusan kemampuan kerja di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian, serta sikap kerja. 3. Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Jenjang Kualifikasi SPPUR adalah jenjang pencapaian pembelajaran di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang kedudukannya disetarakan dengan jenjang tertentu dalam kerangka kualifikasi nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kerangka kualifikasi nasional Indonesia. 3 4. Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut PBK SPPUR adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja sesuai dengan SKKNI Bidang SPPUR dan persyaratan di tempat kerja. 5. Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah proses pemberian sertifikat kompetensi sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai dengan SKKNI Bidang SPPUR. 6. Sertifikat Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat PBK SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga pelatihan kerja sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang menyatakan bahwa seseorang telah kompeten sesuai dengan PBK SPPUR yang diikuti. 7. Sertifikat Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat Kompetensi SPPUR adalah bukti tertulis yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang menerangkan bahwa seseorang telah menguasai kompetensi kerja tertentu di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 8. Sertifikat Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Sertifikat SPPUR adalah Sertifikat PBK SPPUR dan Sertifikat Kompetensi SPPUR. 9. Pelaku Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Pelaku SPPUR adalah bank dan lembaga selain bank yang menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 10. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri serta bank umum syariah dan unit usaha syariah sebagaimana 4 dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. 11. Lembaga Selain Bank yang selanjutnya disingkat LSB adalah badan usaha bukan Bank yang berbadan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia. 12. Kegiatan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Kegiatan SPPUR adalah kegiatan operasional di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. 13. Satuan Kerja Operasional adalah unit kerja atau fungsi operasional pada struktur organisasi Pelaku SPPUR yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. 14. Pejabat Eksekutif adalah anggota direksi, dewan komisaris, dan kelompok jenjang jabatan pada Pelaku SPPUR yang berada paling banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR. 15. Penyelia adalah kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja Operasional yang berada di bawah Pejabat Eksekutif yang melakukan supervisi atas Kegiatan SPPUR yang dilakukan oleh Pelaksana. 16. Pelaksana adalah kelompok jenjang jabatan pada Satuan Kerja Operasional yang berada di bawah Penyelia yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. 17. Pegawai Pelaku SPPUR yang selanjutnya disebut Pegawai adalah orang dalam kelompok jenjang jabatan tertentu pada Satuan Kerja Operasional yang melaksanakan Kegiatan SPPUR. 18. Lembaga Pelatihan Kerja Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut LPK SPPUR adalah lembaga pelatihan kerja yang telah memperoleh izin atau tanda daftar dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan PBK SPPUR. 19. Lembaga Sertifikasi Profesi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut LSP SPPUR adalah lembaga sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 5 20. Penyelenggara Standardisasi Kompetensi SPPUR yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dan LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. 21. Program Pelatihan Berbasis Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Program PBK SPPUR adalah program pelatihan Kegiatan SPPUR bagi Pegawai yang disusun secara sistematis yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan PBK SPPUR. 22. Skema Sertifikasi Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR adalah paket kompetensi dan persyaratan spesifik sesuai dengan jenjang jabatan tertentu dalam Kegiatan SPPUR yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 23. Pemeliharaan Kompetensi Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah yang selanjutnya disebut Pemeliharaan Kompetensi SPPUR adalah proses pengkinian kompetensi Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR. Pasal 2 Kegiatan SPPUR terdiri atas: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai meliputi: 1. kegiatan layanan kas; dan 2. kegiatan usaha penukaran valuta asing dan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai meliputi: 1. kegiatan pengelolaan transfer dana; dan 2. kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan meliputi: 1. kegiatan setelmen transaksi tresuri; dan 6 2. kegiatan setelmen pembayaran transaksi pembiayaan perdagangan; dan d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga mencakup kegiatan penatausahaan surat berharga milik nasabah. BAB II STANDARDISASI KOMPETENSI SPPUR Bagian Kesatu SKKNI Bidang SPPUR dan Jenjang Kualifikasi SPPUR Pasal 3 (1) Standardisasi Kompetensi SPPUR terdiri atas penerapan: a. SKKNI Bidang SPPUR; dan b. Jenjang Kualifikasi SPPUR, yang mencakup Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Jenjang Kualifikasi SPPUR untuk Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas: a. Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 bagi Pelaksana; b. Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 bagi Penyelia; dan c. Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 bagi Pejabat Eksekutif. (3) Uraian Jenjang Kualifikasi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kedua Sertifikat SPPUR Pasal 4 (1) Sertifikat SPPUR berupa Sertifikat PBK SPPUR terdiri atas: a. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4; b. c. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5; dan 7 (2) Sertifikat SPPUR berupa Sertifikat Kompetensi SPPUR terdiri atas: a. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4; b. c. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5; dan Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6. (3) Sertifikat PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan setiap kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 5 Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang melaksanakan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki Sertifikat SPPUR. Pasal 6 (1) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa Bank diatur sebagai berikut: a. Pelaksana yang melakukan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memiliki: 1. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau 2. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. b. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa kegiatan operasional sistem pembayaran tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, 8 kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d harus memiliki: 1. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; atau 2. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. c. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c harus memiliki Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan; dan d. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memiliki Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. (2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yaitu kelompok jenjang jabatan yang berada paling banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR. (3) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 9 Pasal 7 (1) Kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa LSB diatur sebagai berikut: a. Pelaksana yang melakukan Kegiatan SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memiliki: 1. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau 2. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 4 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. b. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa kegiatan operasional sistem pembayaran tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, dan kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d harus memiliki: 1. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; atau 2. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. c. Penyelia yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c harus memiliki Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 5 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 10 (2) huruf b sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. d. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa: 1. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai yaitu kegiatan usaha penukaran valuta asing dan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a angka 2; dan 2. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai yaitu kegiatan pengelolaan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 1, dengan rata-rata nilai transaksi lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan harus memiliki: 1. Sertifikat PBK SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c; atau 2. Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. e. Pejabat Eksekutif yang melakukan Kegiatan SPPUR berupa: 1. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai yaitu kegiatan layanan kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a angka 1; 2. kegiatan operasional untuk: a) sistem pembayaran tunai yaitu kegiatan usaha penukaran valuta asing dan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a angka 2; atau 11 b) sistem pembayaran nontunai yaitu kegiatan pengelolaan transfer dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 1, dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan; 3. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai yaitu kegiatan pemrosesan transaksi pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b angka 2; 4. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c; dan 5. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, harus memiliki Sertifikat Kompetensi SPPUR Jenjang Kualifikasi SPPUR 6 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c sesuai kegiatan operasional pada Kegiatan SPPUR yang dilaksanakan. (2) Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e, diatur sebagai berikut: a. anggota direksi dan dewan komisaris untuk LSB yang menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan b. kelompok jenjang jabatan yang berada paling banyak 2 (dua) level di bawah direksi yang bertanggung jawab atas Kegiatan SPPUR untuk LSB selain LSB yang menyelenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing. (3) Kepemilikan Sertifikat SPPUR bagi Pegawai Pelaku SPPUR berupa LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 12 Pasal 8 (1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. Pasal 9 Sertifikat Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. Pasal 10 (1) Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri dapat diakui oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia berdasarkan persetujuan Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia. 13 Bagian Ketiga Penatausahaan Data Pegawai Pasal 11 (1) Pelaku SPPUR wajib menatausahakan data Pegawai pemilik Sertifikat SPPUR. (2) Data Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama; b. Nomor Induk Kependudukan (NIK); c. tanggal lahir; d. jabatan; e. tanggal menjabat; f. informasi terkait Sertifikat SPPUR; dan g. informasi terkait Pemeliharaan Kompetensi SPPUR. Pasal 12 (1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. 14 BAB III PENYELENGGARA Bagian Kesatu LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Paragraf 1 Tata Cara Menjadi LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 13 Pihak yang akan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus memenuhi tahapan sebagai berikut: a. mengajukan permohonan rekomendasi kepada Bank Indonesia; b. mengajukan permohonan izin atau permohonan pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang berwenang; dan c. mengajukan permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia kepada Bank Indonesia. Pasal 14 (1) Permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi dokumen persyaratan sebagai berikut: a. dokumen rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri, bagi calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; b. dokumen perangkat organisasi; c. Program PBK SPPUR yang akan diselenggarakan; d. daftar instruktur PBK SPPUR; e. surat kesanggupan penyediaan mentor PBK SPPUR; dan 15 f. fotokopi akta pendirian dan anggaran dasar beserta perubahannya, bagi calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri dan pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dokumen perangkat organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bagan struktur organisasi dan uraian tugas. (3) Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan mengacu pada pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (4) Daftar instruktur PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 15 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a. (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia: a. melakukan penelitian administratif terhadap pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh calon LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); dan b. dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon LPK SPPUR dalam hal diperlukan. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia meminta calon LPK SPPUR untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 16 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen. (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) calon LPK SPPUR belum melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka calon LPK SPPUR dianggap membatalkan permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (5) Persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Pihak yang telah memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, harus mengajukan permohonan izin atau permohonan pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang berwenang. (2) Tata cara pengajuan permohonan izin atau permohonan pendaftaran sebagai LPK SPPUR, atau permohonan penambahan Program PBK SPPUR kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Pasal 17 (1) Pihak yang telah memperoleh izin atau tanda daftar sebagai LPK SPPUR, atau izin penambahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 harus mengajukan permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. 17 (2) Permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi: a. data profil LPK SPPUR dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. fotokopi izin atau fotokopi tanda daftar dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi. Pasal 18 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan penelitian administratif terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada LPK SPPUR mengenai keputusan Bank Indonesia atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dokumen persyaratan diterima dan dinyatakan lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Bank Indonesia mencantumkan LPK SPPUR dalam daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya. Pasal 19 Dalam hal data profil LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a mengalami perubahan, LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyampaikan perubahan data profil LPK SPPUR tersebut kepada Bank 18 Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya perubahan. Paragraf 2 Akreditasi LPK SPPUR Pasal 20 (1) LPK SPPUR yang telah diakui oleh Bank Indonesia wajib terakreditasi oleh lembaga yang berwenang paling lambat 1 (satu) tahun sejak LPK SPPUR diakui oleh Bank Indonesia. (2) Tata cara pengajuan permohonan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja. Pasal 21 (1) LPK SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. 19 Paragraf 3 Penyusunan Bahan Pelatihan dan Modul PBK SPPUR Pasal 22 (1) Dalam menyelenggarakan PBK SPPUR, LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyusun bahan pelatihan dengan mengacu pada modul PBK SPPUR. (2) Modul PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. buku informasi; b. buku kerja; dan c. buku penilaian. Pasal 23 (1) Modul PBK SPPUR berupa buku informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia dengan ketentuan sebagai berikut: a. buku informasi disusun dengan mengacu pada SKKNI Bidang SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan ketentuan mengenai pedoman penyusunan modul pelatihan berbasis kompetensi; b. buku informasi disusun berdasarkan kesepakatan LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; c. buku informasi yang telah disusun dan disepakati disampaikan secara tertulis oleh perwakilan LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk memperoleh persetujuan Bank Indonesia; dan d. buku informasi yang telah disetujui oleh Bank Indonesia dipublikasikan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia melalui laman resmi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dan/atau melalui media publikasi lainnya. (2) Modul PBK SPPUR berupa buku informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a harus dievaluasi dan dilaporkan secara berkala kepada Bank Indonesia. 20 Paragraf 4 Penatausahaan Sertifikat PBK SPPUR Pasal 24 LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menatausahakan data Sertifikat PBK SPPUR yang diterbitkan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia paling sedikit memuat informasi: a. nomor Sertifikat PBK SPPUR; b. identitas pemilik Sertifikat PBK SPPUR; c. tanggal penerbitan Sertifikat PBK SPPUR; dan d. Jenjang Kualifikasi SPPUR pemilik Sertifikat PBK SPPUR. Paragraf 5 Perubahan Program PBK SPPUR Pasal 25 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang akan melakukan perubahan Program PBK SPPUR wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan persetujuan perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia secara tertulis dengan melengkapi dokumen sebagai berikut: a. daftar perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana tercantum pada Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. Program PBK SPPUR hasil perubahan. Pasal 26 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1). 21 (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang disampaikan oleh LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia meminta LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen. (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia belum melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dianggap membatalkan permohonan perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25. (5) Persetujuan atau penolakan perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. Pasal 27 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. 22 (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. Paragraf 6 Kerja Sama Bank Indonesia dengan LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 28 (1) Bank Indonesia melakukan kerja sama dengan LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan kegiatan PBK SPPUR bagi Pegawai dari Pelaku SPPUR yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. LSB sebagai penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing yang memiliki rata-rata transaksi lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan; b. LSB sebagai penyelenggara transfer dana yang memiliki rata-rata transaksi lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan; c. LSB sebagai penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah dengan kategori satu; dan d. Pelaku SPPUR lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Bank Indonesia dapat membantu pembiayaan penyelenggaraan PBK SPPUR kepada Pelaku SPPUR yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 23 Bagian Kedua LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Paragraf 1 Perangkat Organisasi Pasal 29 LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia memiliki perangkat organisasi paling sedikit terdiri atas: a. struktur organisasi; b. forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi; dan c. pedoman kerja internal. Pasal 30 Struktur organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a paling sedikit terdiri atas: a. unsur pengarah; dan b. unsur pelaksana. Pasal 31 (1) Unsur pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a terdiri atas: a. ketua merangkap anggota; dan b. anggota. (2) Unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki 1 (satu) orang anggota yang merupakan pimpinan asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri. Pasal 32 Unsur pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki pengalaman di industri jasa keuangan paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; b. tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang jasa keuangan; dan 24 c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pasal 33 (1) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b paling sedikit memiliki fungsi yang menangani: a. sertifikasi kompetensi; b. teknologi informasi; c. manajemen mutu; dan d. administrasi. (2) Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berpengalaman dan/atau memiliki keahlian yang memadai dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; c. d. tidak memiliki jabatan rangkap di Pelaku SPPUR; dan tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi SPPUR lainnya maupun penyelenggara pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Pasal 34 Forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b merupakan perangkat organisasi yang menetapkan kelulusan akhir peserta Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 25 Pasal 35 Pedoman kerja internal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c paling sedikit memuat: a. ketentuan bahwa: 1. anggota forum penetapan kelulusan pengujian kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b; dan 2. asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR, tidak memiliki peran dalam pelatihan calon peserta Sertifikasi Kompetensi SPPUR; b. tata cara penyusunan materi uji kompetensi; dan c. tata cara pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, pencabutan, dan penatausahaan Sertifikat Kompetensi SPPUR. Paragraf 2 Tata Cara Menjadi LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Pasal 36 Pihak yang akan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus memenuhi tahapan sebagai berikut: a. mengajukan permohonan rekomendasi kepada Bank Indonesia; b. mengajukan permohonan pembentukan LSP SPPUR atau lisensi sebagai LSP SPPUR kepada lembaga yang berwenang; dan c. mengajukan permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. Pasal 37 (1) Permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a diajukan secara tertulis dengan melengkapi dokumen persyaratan sebagai berikut: a. dokumen rekomendasi dari asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri; b. dokumen perangkat organisasi; 26 c. pedoman kerja internal; d. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR; e. daftar asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan f. fotokopi akta pendirian dan anggaran dasar beserta perubahannya. (2) Dokumen perangkat organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. bagan struktur organisasi; b. dokumen pendukung dari masing-masing sumber daya manusia dalam bagan struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada angka 1 meliputi: 1. riwayat hidup yang paling sedikit memuat riwayat pendidikan dan pekerjaan; 2. surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan bahwa: a) yang bersangkutan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang jasa keuangan, khusus untuk unsur pengarah; b) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang jasa keuangan dan/atau pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; dan c) tidak menjabat sebagai pengurus dan/atau menjadi pemegang saham pada penyelenggara Pemeliharaan Kompetensi SPPUR lain maupun penyelenggara pelatihan untuk persiapan Sertifikasi Kompetensi SPPUR, khusus untuk unsur pelaksana. (3) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan mengacu pada skema sertifikasi kerangka kualifikasi nasional Indonesia di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah yang ditetapkan oleh komite skema sertifikasi kompetensi. 27 (4) Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. program Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan b. program Pemeliharaan Kompetensi SPPUR. (5) Program Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling sedikit memuat: a. paket kompetensi yang akan diuji dalam bahasa Indonesia; b. persyaratan peserta Sertifikasi Kompetensi SPPUR; c. kriteria asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR; d. besaran biaya Sertifikasi Kompetensi SPPUR; dan e. proses Sertifikasi Kompetensi SPPUR. (6) Daftar asesor Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 38 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia: a. melakukan penelitian administratif terhadap pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh calon LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); dan b. dapat melakukan pemeriksaan lokasi kepada calon LSP SPPUR dalam hal diperlukan. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia meminta calon LSP SPPUR untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan 28 Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen. (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) calon LSP SPPUR belum melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka calon LSP SPPUR dianggap membatalkan permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). (5) Persetujuan atau penolakan pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen persyaratan diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. Pasal 39 (1) Pihak yang telah memperoleh rekomendasi dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus mengajukan permohonan: a. pembentukan LSP SPPUR; dan/atau b. lisensi sebagai LSP SPPUR, kepada lembaga yang berwenang. (2) Tata cara pengajuan permohonan pembentukan LSP SPPUR dan lisensi sebagai LSP SPPUR kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman ketentuan umum lisensi lembaga sertifikasi profesi. Pasal 40 (1) Pihak yang telah memperoleh lisensi sebagai LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, harus mengajukan permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi: a. data profil LSP SPPUR dengan menggunakan format 29 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. fotokopi lisensi dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi. Pasal 41 (1) Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan penelitian administratif terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2). (3) Bank Indonesia memberitahukan secara tertulis kepada LSP SPPUR mengenai keputusan Bank Indonesia atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dokumen persyaratan diterima dan dinyatakan lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. (4) Dalam hal Bank Indonesia memberikan persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), Bank Indonesia mencantumkan LSP SPPUR dalam daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia dan/atau media publikasi lainnya. Paragraf 3 Penyusunan Materi Uji Kompetensi Pasal 42 Dalam menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi SPPUR, LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyusun materi uji kompetensi dengan mengacu pada buku informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a. 30 Paragraf 4 Penatausahaan Sertifikat Kompetensi SPPUR Pasal 43 LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia menatausahakan data Sertifikat Kompetensi SPPUR yang telah diterbitkan dan data Pemeliharaan Kompetensi SPPUR pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR yang paling sedikit memuat informasi: a. nomor Sertifikat Kompetensi SPPUR; b. identitas pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR; c. tanggal penerbitan dan daluwarsa Sertifikat Kompetensi SPPUR; d. Jenjang Kualifikasi SPPUR pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR; dan e. Pemeliharaan Kompetensi pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR. Paragraf 5 Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR Pasal 44 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang akan melakukan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia. (2) Permohonan persetujuan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia secara tertulis dengan melengkapi dokumen sebagai berikut: a. daftar perubahan substansi dalam Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR dengan menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR hasil perubahan. 31 Pasal 45 (1) Bank Indonesia dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1). (2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, Bank Indonesia melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang disampaikan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Bank Indonesia meminta LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan Bank Indonesia untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen. (4) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia belum melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen maka LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia dianggap membatalkan permohonan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1). (5) Persetujuan atau penolakan perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan sesuai oleh Bank Indonesia. 32 Pasal 46 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. Pasal 47 Dalam hal data profil LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a mengalami perubahan, LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia harus menyampaikan perubahan data profil LSP SPPUR tersebut kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya perubahan. BAB IV PEMELIHARAAN KOMPETENSI SPPUR Pasal 48 (1) Pelaku SPPUR wajib memastikan Pegawai yang memiliki Sertifikat SPPUR melakukan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR secara berkala. (2) Pemeliharaan Kompetensi SPPUR secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi: a. Pegawai pemilik Sertifikat PBK SPPUR, paling sedikit dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun; dan 33 b. Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR, paling sedikit dilakukan 1 (satu) kali sebelum masa berlaku Sertifikat Kompetensi SPPUR berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (3) Dalam memastikan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku SPPUR wajib mengacu pada: a. pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, bagi Pegawai pemilik Sertifikat PBK SPPUR; dan b. Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR, bagi Pegawai pemilik Sertifikat Kompetensi SPPUR. Pasal 49 (1) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (2) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. 34 BAB V PELAPORAN Bagian Kesatu Pelaporan bagi Pelaku SPPUR Paragraf 1 Jenis Laporan Pasal 50 (1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. (2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan rencana pemenuhan pelaksanaan Standardisasi Kompetensi SPPUR; b. laporan kepemilikan Sertifikat SPPUR; c. laporan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR; dan d. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan atas: a. inisiatif Pelaku SPPUR sendiri; dan b. permintaan Bank Indonesia. (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi laporan daftar Pegawai yang penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR ditunda, dicabut, atau dibatalkan oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan laporan terkait Standardisasi Kompetensi SPPUR yang diminta guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia. 35 Paragraf 2 Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas Laporan Pasal 51 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia setiap tahun, paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b dan huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak: a. tanggal terjadinya penundaan, pencabutan, dan pembatalan penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR oleh LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a; atau b. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b. (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas waktu penyampaian laporan yaitu hari kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. Pasal 52 Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) huruf a disampaikan secara online melalui sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan 36 b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b disampaikan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dilaksanakan secara online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, selama tahapan implementasi; dan b. laporan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, setelah tahapan implementasi berakhir. (2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a tidak dapat dilaksanakan secara online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 54 (1) Pelaku SPPUR wajib menyampaikan koreksi laporan terhadap: a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2); dan/atau 37 b. laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar dan/atau tidak lengkap. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar: a. inisiatif Pelaku SPPUR; dan/atau b. temuan Bank Indonesia. (3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) berakhir. (4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) berakhir. (5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan. Pasal 55 (1) Pelaku SPPUR yang melanggar kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (2) Pelaku SPPUR yang melanggar kewajiban penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud 38 dalam Pasal 54 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. (4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b tidak menghilangkan kewajiban Pelaku SPPUR untuk tetap menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1). Bagian Kedua Pelaporan bagi LPK SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Paragraf 1 Jenis Laporan Pasal 56 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. (2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan penyelenggaraan PBK SPPUR; dan b. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 39 (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan atas: a. inisiatif LPK SPPUR sendiri; dan b. permintaan Bank Indonesia. (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi laporan adanya gangguan atau terjadinya keadaan kahar dalam penyelenggaraan PBK SPPUR. (5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan laporan terkait penyelenggaraan PBK SPPUR yang diminta guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Paragraf 2 Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas Laporan Pasal 57 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak: a. tanggal adanya gangguan atau terjadinya keadaan kahar untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a; atau b. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf b. (3) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas waktu penyampaian laporan yaitu hari kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. 40 Pasal 58 Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disampaikan secara online melalui sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) disampaikan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia. Pasal 59 Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan secara online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 60 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi laporan terhadap: a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2); dan/atau b. laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3), dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar dan/atau tidak lengkap. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar: a. inisiatif LPK SPPUR; dan/atau b. temuan Bank Indonesia. (3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas 41 waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) berakhir. (4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) berakhir. (5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 59 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan. Pasal 61 (1) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (2) LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar kewajiban penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; 42 b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. (4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b tidak menghilangkan kewajiban LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk tetap menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1). Bagian Ketiga Pelaporan oleh LSP SPPUR yang Diakui oleh Bank Indonesia Paragraf 1 Jenis Laporan Pasal 62 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan berkala dan laporan insidental kepada Bank Indonesia secara benar dan lengkap. (2) Laporan berkala yang disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. laporan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR; b. laporan penyelenggaraan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR; dan c. laporan lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan atas: a. inisiatif LSP SPPUR sendiri; dan b. permintaan Bank Indonesia. (4) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi: a. laporan daftar Sertifikat Kompetensi SPPUR yang ditunda, dicabut, atau dibatalkan penerbitannya; dan 43 b. laporan adanya gangguan atau terjadinya keadaan kahar dalam penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. (5) Laporan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan laporan terkait penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR yang diminta guna pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Paragraf 2 Tata Cara Penyampaian Laporan dan Koreksi atas laporan Pasal 63 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bank Indonesia setiap semester, paling lama 10 (sepuluh) hari kerja pada bulan berikutnya. (2) Laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak: a. tanggal terjadinya penundaan, pencabutan, dan pembatalan penerbitan Sertifikat Kompetensi SPPUR untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a; b. tanggal adanya gangguan atau terjadinya keadaan kahar dalam penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf a; atau c. tanggal permintaan laporan oleh Bank Indonesia untuk laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3) huruf b. (3) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, dan/atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maka batas waktu penyampaian laporan berkala yaitu hari kerja berikutnya, kecuali ditetapkan lain oleh Bank Indonesia. 44 Pasal 64 Penyampaian laporan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) huruf a disampaikan secara online melalui sistem yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan b. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b dan huruf c disampaikan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia. Pasal 65 (1) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) tidak dapat dilaksanakan secara online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini. (2) Dalam hal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a tidak dapat dilaksanakan secara online, penyampaian laporan dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 66 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia wajib menyampaikan koreksi laporan terhadap: a. laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2); dan/atau b. laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (3), 45 dalam hal laporan yang disampaikan tidak benar dan/atau tidak lengkap. (2) Koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar: a. inisiatif LSP SPPUR; dan b. temuan Bank Indonesia. (3) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) berakhir. (4) Batas waktu penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah batas waktu penyampaian laporan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) berakhir. (5) Ketentuan mengenai penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyampaian koreksi laporan. Pasal 67 (1) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. 46 (2) LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia yang melanggar kewajiban penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4), dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia. (3) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. (4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b tidak menghilangkan kewajiban LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia untuk tetap menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1). BAB VI PENGAWASAN Pasal 68 (1) Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada: a. Pelaku SPPUR; dan b. Penyelenggara. 47 (2) Pengawasan terhadap Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah terkait pemenuhan kewajiban Pelaku SPPUR dalam penerapan Standardisasi Kompetensi SPPUR. (3) Pengawasan terhadap Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap pemenuhan ketentuan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah terkait penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Pasal 69 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) meliputi: a. pengawasan tidak langsung; dan b. pengawasan langsung. (2) Dalam pelaksanaan pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bank Indonesia melakukan penelitian, analisis, dan evaluasi, yang didasarkan atas laporan berkala, laporan insidentil, data dan/atau informasi lainnya yang diperoleh Bank Indonesia dari pihak lain, dan diskusi dengan Pelaku SPPUR dan Penyelenggara. (3) Dalam pelaksanaan pengawasan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Pelaku SPPUR dan Penyelenggara. (4) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 48 (5) Pihak lain yang ditunjuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menjaga kerahasiaan dokumen, data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan. Pasal 70 (1) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib memberikan keterangan, penjelasan, rekaman, dan/atau dokumen yang dibutuhkan dalam pemeriksaan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) maupun oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4). (2) Pelaku SPPUR dan Penyelenggara wajib menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. (3) Pelaku SPPUR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan pemberian persetujuan atas pengembangan produk, kerja sama, dan kegiatan lainnya di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah; dan/atau c. pencabutan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. (4) Penyelenggara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembekuan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh Bank Indonesia; dan/atau c. pencabutan dari daftar Penyelenggara yang diakui oleh Bank Indonesia. 49 (5) Dalam mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Bank Indonesia mempertimbangkan: a. tingkat kesalahan dan/atau pelanggaran; b. akibat yang ditimbulkan; dan c. aspek lainnya. BAB VII KOORDINASI Pasal 71 (1) Bank Indonesia dapat melakukan koordinasi dengan: a. otoritas terkait; b. Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia; c. Badan Nasional Sertifikasi Profesi; dan d. asosiasi profesi dan asosiasi industri. (2) Ruang lingkup koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pengembangan dan penerapan SKKNI Bidang SPPUR dan Jenjang Kualifikasi SPPUR; b. pendirian Penyelenggara; c. pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri; dan d. tindak lanjut hasil pengawasan terhadap Pelaku SPPUR dan Penyelenggara. BAB VIII PELAKSANAAN TAHAPAN IMPLEMENTASI Pasal 72 Implementasi ketentuan mengenai kewajiban Pelaku SPPUR untuk memastikan kepemilikan Sertifikat SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilakukan dalam 3 (tiga) tahap: a. tahap 1; b. tahap 2; dan c. tahap 3. 50 Pasal 73 (1) Implementasi tahap 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf a diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 3; dan b. LSB. (2) Bank dan LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Bank dan LSB yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga. (3) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa: a. kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan b. kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan dan memiliki risiko menengah sampai dengan tinggi. (4) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa kegiatan dengan rata-rata transaksi lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan dan risiko menengah sampai dengan tinggi. Pasal 74 (1) Implementasi tahap 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf b diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 1; dan b. LSB. 51 (2) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Bank yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana; c. kegiatan operasional sistem setelmen transaksi tresuri dan pembiayaan perdagangan; dan d. kegiatan operasional sistem penatausahaan surat berharga. (3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas LSB yang melaksanakan: a. kegiatan operasional sistem pembayaran tunai; dan b. kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana. (4) Kegiatan operasional sistem pembayaran tunai oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa kegiatan usaha penukaran valuta asing dan kegiatan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesia, dengan rata-rata nilai transaksi: a. lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah; dan b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah sampai dengan tinggi. (5) Kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai penyelenggara transfer dana oleh LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa kegiatan dengan rata-rata nilai transaksi: a. lebih besar dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah; dan b. lebih kecil sama dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) per bulan yang memiliki risiko rendah sampai dengan tinggi. 52 Pasal 75 (1) Implementasi tahap 3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 huruf c diberlakukan bagi Pelaku SPPUR berupa: a. Bank; dan b. LSB. (2) Pelaku SPPUR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pelaku SPPUR yang melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran nontunai sebagai: a. prinsipal; b. penyelenggara switching; c. penerbit; d. acquirer; e. penyelenggara payment gateway; f. penyelenggara kliring; g. penyelenggara penyelesaian akhir; dan h. penyelenggara dompet elektronik. (3) LSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan LSB yang melaksanakan kegiatan operasional sistem pembayaran tunai berupa kegiatan layanan kas. Pasal 76 (1) Penentuan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 74 ayat (4) dan ayat (5) ditentukan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment. (2) Tingkat risiko berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. risiko rendah; b. risiko menengah; dan c. risiko tinggi (3) Penentuan tingkat risiko berdasarkan national risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada: a. hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pencucian uang; dan 53 b. hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pendanaan terorisme, yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. (4) Penentuan tingkat risiko berdasarkan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada hasil penilaian risiko Indonesia terhadap sektor penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 77 (1) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil penilaian risiko dalam national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) maka hasil penilaian risiko yang digunakan yaitu hasil penilaian risiko dalam sectoral risk assessment. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf a dan hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) huruf b maka hasil penilaian risiko Indonesia yang digunakan yaitu hasil penilaian risiko tertinggi. BAB IX KORESPONDENSI Bagian Kesatu Korespondensi terkait Standardisasi Kompetensi SPPUR Pasal 78 Pengajuan permohonan berupa: a. pengakuan sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); 54 b. rekomendasi bagi pihak yang akan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a; c. pengakuan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c; d. persetujuan buku informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c; e. perubahan Program PBK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1); f. rekomendasi bagi pihak yang akan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a; g. pengakuan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c; dan h. perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), disampaikan kepada: Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 4 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Pasal 79 Penyampaian perubahan data profil atas: a. LPK SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan b. LSP SPPUR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, disampaikan kepada: Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 4 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 55 Bagian Kedua Korespondensi terkait Pelaporan Pasal 80 Penyampaian laporan oleh: a. LPK SPPUR sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1); dan b. LSP SPPUR sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1), ditujukan kepada: Bank Indonesia cq. Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 4 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Pasal 81 Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) oleh Pelaku SPPUR berupa LSB sebagai: a. penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank; dan b. penyelenggara transfer dana bukan bank, ditujukan kepada Bank Indonesia sesuai dengan wilayah kerja sebagaimana tercantum dalam daftar wilayah kerja Bank Indonesia pada Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 82 Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) oleh Pelaku SPPUR berupa: a. Bank; dan b. LSB selain LSB sebagaimana dimaksud dalam 81, ditujukan kepada: Bank Indonesia cq. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Gedung D Lantai 9 Jl. M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 56 Bagian Ketiga Perubahan Korespondensi Pasal 83 Dalam hal terdapat perubahan alamat surat-menyurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82, Bank Indonesia memberitahukan perubahan dimaksud melalui surat dan/atau media lainnya. BAB X PENUTUP Pasal 84 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubenur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 MARET 2020 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/ 3 /PADG/2020 TENTANG PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH I. UMUM Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat sumber daya manusia agar memiliki kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. Sejalan dengan Standardisasi Kompetensi SPPUR oleh Bank Indonesia, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Pelaksanaan Standardisasi Kompetensi di Bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah sebagai pedoman dan tata cara bagi Pelaku SPPUR dan Penyelenggara dalam melaksanakan ketentuan mengenai standardisasi kompetensi di bidang sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 2 Pasal 2 Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan layanan kasโ€ adalah kegiatan pengelolaan uang tunai (cash handling) yang meliputi: 1. distribusi uang rupiah; 2. penyimpanan uang rupiah di khazanah; 3. pemrosesan uang rupiah; dan 4. pengisian, pengambilan, dan/atau pemantauan kecukupan uang rupiah pada automated teller machine, cash deposit machine, dan/atau cash recycling machine. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan usaha penukaran valuta asingโ€ adalah kegiatan jual dan beli uang kertas asing dan pembelian cek pelawat. Yang dimaksud dengan โ€œpembawaan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean Indonesiaโ€ adalah kegiatan memasukkan dan/atau mengeluarkan uang kertas asing ke dalam dan/atau ke luar daerah pabean yang dilakukan dengan cara membawa sendiri atau dengan menggunakan jasa pihak lain untuk kepentingan sendiri atau pihak lain baik melalui kargo dan/atau barang bawaan penumpang. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan pengelolaan transfer danaโ€ adalah kegiatan penyelesaian transaksi atas pemindahan sejumlah dana baik dalam denominasi rupiah dan/atau valuta asing kepada penerima, serta penatausahaan cek dan bilyet giro. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan pemrosesan transaksi pembayaranโ€ adalah kegiatan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR sebagai prinsipal, penyelenggara switching, penerbit, acquirer, penyelenggara 3 payment gateway, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, dan penyelenggara dompet elektronik. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan setelmen transaksi tresuriโ€ adalah kegiatan setelmen atas transaksi tresuri antara lain transaksi money market, transaksi fixed income, transaksi foreign exchange, dan transaksi derivatif. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan setelmen pembayaran transaksi pembiayaan perdaganganโ€ adalah kegiatan setelmen pembayaran atas transaksi pembelian dan penjualan barang dan jasa dalam perdagangan internasional maupun dalam negeri (trade finance) antara lain documentary credit dan documentary collection seperti letter of credit, surat kredit berdokumen dalam negeri, open account, bank garansi, standby letter of credit, demand guarantee, dan bank payment obligation. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œkegiatan operasional sistem penatausahaan surat berhargaโ€ adalah kegiatan penatausahaan surat berharga milik nasabah yang dilakukan oleh Pelaku SPPUR sebagai sub-registry yang dilakukan melalui Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System, meliputi kegiatan pencatatan kepemilikan, penyelesaian transaksi, dan aksi korporasi. Pasal 3 Ayat (1) SKKNI Bidang SPPUR mengacu pada SKKNI Bidang SPPUR yang tercantum dalam pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pedoman penyelenggaraan PBK SPPUR paling kurang memuat: a. ruang lingkup dan tata cara penyusunan Program PBK SPPUR; b. pelaksanaan PBK SPPUR; 4 c. pelaksanaan Pemeliharaan Kompetensi SPPUR bagi pemilik Sertifikat PBK SPPUR; dan d. acuan dalam menetapkan biaya PBK SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Huruf c Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. 5 Pasal 10 Ayat (1) Persetujuan Bank Indonesia mencakup persetujuan atas sertifikat profesi yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi di luar negeri dan penyetaraan Jenjang Kualifikasi SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Data informasi terkait Sertifikat SPPUR antara lain nomor, tingkatan, tanggal penerbitan, tanggal kadaluarsa, dan Penyelenggara. Huruf g Data informasi terkait Pemeliharaan Kompetensi SPPUR antara lain tanggal pelaksanaan, bentuk, dan nama Penyelenggara. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 6 Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Huruf c Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang akan menjadi LPK SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesiaโ€ adalah calon LPK SPPUR dan LPK SPPUR yang akan melakukan penambahan program pelatihan kerja untuk Kegiatan SPPUR yang diselenggarakan. Huruf a Rekomendasi dari Bank Indonesia dapat berupa: a. rekomendasi untuk menjadi LPK SPPUR; atau b. rekomendasi untuk penambahan Program PBK SPPUR. Huruf b Pengajuan permohonan izin dilakukan oleh calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri dan pihak lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pengajuan permohonan pendaftaran dilakukan oleh calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh Pelaku SPPUR. Pengajuan permohonan penambahan Program PBK SPPUR dilakukan oleh LPK SPPUR yang akan melakukan penambahan program pelatihan kerja untuk Kegiatan SPPUR yang diselenggarakan. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Huruf c Cukup jelas. 7 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Yang dimaksud dengan โ€œpihak lainโ€ adalah calon LPK SPPUR yang dibentuk oleh selain Pelaku SPPUR dan asosiasi profesi dan/atau asosiasi industri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Uraian tugas memuat penjelasan mengenai tugas pejabat yang bertanggung jawab secara langsung terhadap penyelenggaraan Program PBK SPPUR. Ayat (3) Ruang lingkup Program PBK SPPUR paling sedikit memuat: a. nama Program PBK SPPUR; b. tujuan Program PBK SPPUR; 8 c. cakupan kegiatan operasional Program PBK SPPUR yang akan diselenggarakan; d. perkiraan waktu Program PBK SPPUR; e. persyaratan peserta Program PBK SPPUR; f. persyaratan instruktur Program PBK SPPUR; g. kurikulum dan silabus Program PBK SPPUR; dan h. daftar bahan ajar dan peralatan pendukung. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang berwenang memberikan izin dan tanda daftar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja. Pasal 18 Cukup jelas. 9 Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œakreditasiโ€ adalah proses pemberian pengakuan formal yang menyatakan bahwa suatu lembaga telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang melakukan akreditasi lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai akreditasi lembaga pelatihan kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. 10 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œketentuan mengenai pedoman penyusunan modul pelatihan berbasis kompetensiโ€ adalah ketentuan yang dikeluarkan oleh kementerian yang membidangi urusan ketenagakerjaan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Perubahan Program PBK SPPUR dilakukan dalam rangka pengkinian Program PBK SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 11 Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penentuan kategori penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah mengacu pada Peraturan Bank Indonesia mengenai pengelolaan uang rupiah. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 29 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œforum penetapan kelulusan pengujian kompetensiโ€ adalah forum yang dibentuk dalam rangka menetapkan kelulusan akhir peserta Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Pasal 30 Huruf a Unsur pengarah mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi. 12 Huruf b Unsur pelaksana mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œtindakan tercelaโ€ antara lain melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window dressing di bidang perbankan dan keuangan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Unsur pelaksana dapat menangani lebih dari satu bidang tugas sepanjang memiliki pengalaman dan/atau keahlian yang memadai. 13 Huruf a Sertifikasi kompetensi mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi. Huruf b Teknologi informasi mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi Huruf c Manajemen mutu mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi. Huruf d Administrasi mengacu pada ketentuan badan nasional sertifikasi profesi yang mengatur mengenai pedoman pembentukan lembaga sertifikasi profesi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang akan menjadi LSP SPPUR yang diakui oleh Bank Indonesiaโ€ adalah calon LSP SPPUR dan LSP SPPUR yang akan melakukan penambahan ruang lingkup lisensi untuk Kegiatan SPPUR yang diselenggarakan. Huruf a Rekomendasi dari Bank Indonesia dapat berupa: a. rekomendasi untuk menjadi LSP SPPUR; atau b. rekomendasi untuk penambahan ruang lingkup lisensi Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 14 Huruf b Pengajuan permohonan pembentukan LSP SPPUR dilakukan oleh calon LSP SPPUR yang baru didirikan. Pengajuan permohonan lisensi sebagai LSP SPPUR dilakukan oleh LSP SPPUR yang akan melakukan penambahan ruang lingkup lisensi untuk Kegiatan SPPUR yang akan diselenggarakan. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi profesi. Huruf c Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Huruf a Yang termasuk asosiasi profesi antara lain asosiasi profesi di bidang jasa keuangan yang terkait dengan Kegiatan SPPUR yang telah tercatat dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Yang termasuk asosiasi industri antara lain Asosiasi Bank Kustodian Indonesia, Afiliasi Pedagang Valuta Asing, Asosiasi Bank Pembangunan Daerah, Asosiasi Bank Syariah Indonesia, Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia, Himpunan Bank Milik Negara, International Chamber of Commerce Indonesia, Indonesia Foreign Exchange Market Committee, Perhimpunan Bank Nasional, dan Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 15 Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œtindakan tercelaโ€ antara lain melakukan penggelapan atau manipulasi, transaksi fiktif, kolusi, dan window dressing di bidang perbankan dan keuangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œkomite skema sertifikasi kompetensiโ€ adalah komite sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi profesi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Paket kompetensi terdiri atas unit kompetensi dan parameter. Yang dimaksud dengan โ€œunit kompetensiโ€ adalah silabus materi yang akan diujikan. Yang dimaksud dengan โ€œparameterโ€ adalah alat ukur untuk menilai kompetensi antara lain berupa pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung kompetensi, keterampilan, dan sikap kerja, pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan prosedur. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Proses Sertifikasi Kompetensi SPPUR antara lain mencakup pendaftaran, proses asesmen, uji kompetensi, serta perpanjangan, pembekuan, dan pencabutan sertifikat. 16 Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Pengajuan permohonan pembentukan LSP SPPUR dilakukan oleh calon LSP SPPUR yang baru didirikan. Huruf b Pengajuan permohonan lisensi sebagai LSP SPPUR dilakukan oleh LSP SPPUR yang akan melakukan penambahan ruang lingkup lisensi untuk Kegiatan SPPUR yang akan diselenggarakan. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ adalah lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai badan nasional sertifikasi profesi. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. 17 Pasal 44 Ayat (1) Perubahan Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR dilakukan dalam rangka pengkinian Skema Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek 18 perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Huruf c Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash disk. Pasal 53 Ayat (1) Penyampaian laporan secara tertulis dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital melalui media elektronik kepada Bank Indonesia dilakukan dalam hal sistem pelaporan online belum tersedia atau adanya gangguan sistem dan/atau jaringan komunikasi di Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas 19 Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek perlindungan konsumen, dan aspek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash disk. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 20 Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash disk. Pasal 65 Ayat (1) Media elektronik antara lain berupa compact disc (CD) dan flash disk. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. 21 Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Akibat yang ditimbulkan antara lain dampak terhadap aspek kelancaran dan keamanan Kegiatan SPPUR, aspek perlindungan konsumen, aspek pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, serta kelancaran penyelenggaraan PBK SPPUR dan Sertifikasi Kompetensi SPPUR. 22 Huruf c Cukup jelas. Pasal 71 Otoritas terkait antara lain Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œBank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 3โ€ adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 4 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 3 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Ayat (4) Risiko menengah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem 23 pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Pasal 74 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œBank dengan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 1โ€ adalah Bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha 2 dan Bank Umum Kegiatan Usaha 1 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Ayat (5) Risiko rendah sampai dengan tinggi ditetapkan berdasarkan national risk assessment dan sectoral risk assessment sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. 24 Pasal 75 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œprinsipalโ€ adalah prinsipal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpenyelenggara switchingโ€ adalah penyelenggara switching sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpenerbitโ€ adalah penerbit sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œacquirerโ€ adalah acquirer sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œpenyelenggara payment gatewayโ€ adalah penyelenggara payment gateway sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œpenyelenggara kliringโ€ adalah penyelenggara kliring sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan 25 kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf g Yang dimaksud dengan โ€œpenyelenggara penyelesaian akhirโ€ adalah penyelenggara penyelesaian akhir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu dan ketentuan Bank Indonesia mengenai uang elektronik. Huruf h Yang dimaksud dengan โ€œpenyelenggara dompet elektronikโ€ adalah penyelenggara dompet elektronik sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pencucian uang dan hasil penilaian risiko Indonesia terhadap tindak pidana pendanaan terorisme dapat diperoleh pada laman resmi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Yang dimaksud dengan โ€œlembaga yang berwenangโ€ yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Ayat (4) Hasil penilaian risiko Indonesia terhadap sektor penyelenggara jasa sistem pembayaran selain bank dan kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank dapat diperoleh pada laman resmi Bank Indonesia. Pasal 77 Cukup jelas. 26 Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 22/3/PADG/2020 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN STANDARDISASI KOMPETENSI DI BIDANG SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGELOLAAN UANG RUPIAH </reg_title> <set_date> 30 Maret 2020 </set_date> <effective_date> 30 Maret 2020 </effective_date> <related_reg> '21/16/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB II Bagian Kedua Pasal 8', 'BAB II Bagian Ketiga Pasal 12', 'BAB III Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 21', 'Bab III Bagian Kesatu Paragraf 5 Pasal 27', 'BAB III Bagian Kedua Paragraf 5 Pasal 46', 'Bab IV Pasal 49', 'BAB V Bagian Kesatu Paragraf 2 Pasal 55', 'BAB V Bagian Kedua Paragraf 2 Pasal 61', 'BAB V Bagian Kedua Paragraf 2 Pasal 67', 'BAB VI Pasal 70' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga untuk fasilitas likuiditas intrahari; b. bahwa untuk meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola, dan efektivitas kepesertaan maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai pihak yang dapat menjadi peserta dan sub-registry dalam penyelenggaraan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System; c. bahwa untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam pelayanan perizinan terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan dalam penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 301, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6169); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 2. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan secara elektronik. 3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 3 4. Sistem Informasi BI-SSSS yang selanjutnya disingkat SI BI-SSSS adalah sistem yang disediakan oleh Bank Indonesia bagi sub-registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan individual nasabah. 5. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring, dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi surat berharga dan hasil transaksi tanpa surat berharga. 6. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan. 7. Transaksi Dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, operasi moneter syariah, dan/atau transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama Pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 8. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi surat berharga di pasar sekunder. 9. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengelolaan moneter melalui operasi pasar terbuka dan koridor suku bunga (standing facilities). 10. Operasi Moneter Syariah adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. 11. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disingkat FLI adalah fasilitas pendanaan yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank peserta Sistem BI-RTGS baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS. 4 12. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada BI-SSSS. 13. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 14. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 15. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 16. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 17. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah Surat Berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antarbank. 18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. 19. Penyelenggara BI-SSSS yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan sebagai pihak yang menyelenggarakan BI-SSSS. 20. Peserta BI-SSSS yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan BI-SSSS. 21. Central Registry adalah Bank Indonesia yang melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan Peserta. 5 22. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 23. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 24. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lainnya, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 25. Dealer Utama adalah Bank dan/atau perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai dealer utama. 26. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 27. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan rekening surat berharga dalam rangka Penatausahaan. 28. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening Setelmen Dana. 29. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia dalam rangka pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi Surat Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. 30. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana. 6 31. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran dan penerimaan dana oleh Peserta lain. 32. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung BI-SSSS yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan BI- SSSS. 33. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 34. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas BI-SSSS di lokasi Penyelenggara dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dalam Negeri (KPwDN) yang disediakan oleh Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan BI- SSSS di lokasi Peserta. 35. BI-SSSS Central Node yang selanjutnya disebut SCN adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan fungsi untuk pelaksanaan kegiatan Penatausahaan dan fungsi pendukung lain dalam rangka penyelenggaraan BI-SSSS. 36. BI-SSSS Participant Platform yang selanjutnya disebut SPP adalah BI-SSSS di Peserta yang terhubung dengan SCN, yang digunakan Peserta untuk melakukan kegiatan terkait Penatausahaan dan fungsi pendukung lainnya. 37. Digital Certificate adalah suatu sertifikat dalam bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik, dan periode validitas sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci publik Bank Indonesia. 7 BAB II PENYELENGGARA Pasal 2 (1) Ruang lingkup penyelenggaraan BI-SSSS meliputi: a. kepesertaan; b. operasional; dan c. kepatuhan Peserta. (2) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan data kepesertaan BI-SSSS, sebagai dampak dari adanya langkah strategis dan mendasar, serta penyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; d. permohonan perubahan data kepesertaan BI-SSSS selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b 8 yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; dan e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup dan perubahan data kepesertaan BI-SSSS yang diajukan oleh pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. (3) Penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. Pasal 3 Dalam penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan BI- SSSS; b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan BI- SSSS; c. melaksanakan kegiatan operasional BI-SSSS; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan BI-SSSS; e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan f. melakukan kegiatan Penatausahaan sebagai Central Registry. Pasal 4 Sarana dan prasarana penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit mencakup: a. perangkat keras (hardware) di Penyelenggara dan aplikasi SCN (software); b. satu jaringan komunikasi data (JKD) yang menghubungkan SPP utama di Peserta dengan SCN di Penyelenggara; c. d. aplikasi SPP dan perubahannya serta pedoman pengoperasian BI-SSSS; Fasilitas Guest Bank; dan e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk SI BI-SSSS. 9 Pasal 5 (1) Untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, Penyelenggara melakukan kegiatan paling sedikit: a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SCN; b. melakukan pengelolaan dan pengoperasian SI BI- SSSS; c. menyediakan layanan help desk; d. memberikan layanan yang berkaitan dengan kepesertaan dalam BI-SSSS; e. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan BI- SSSS; f. menerapkan standar layanan minimum dalam penyelenggaraan BI-SSSS; g. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; h. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan menetapkan status kepesertaan. i. (2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan untuk menangani permasalahan: a. operasional BI-SSSS; dan/atau b. JKD BI-SSSS, yang dihadapi Peserta. Pasal 6 (1) Kegiatan Penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f mencakup: a. melakukan pencatatan penerbitan dan kepemilikan Surat Berharga atas hasil Setelmen; b. menyediakan data dan informasi terkait pencatatan penerbitan dan kepemilikan Surat Berharga; c. melakukan Setelmen atas transaksi Surat Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan Transaksi Pasar Keuangan di pasar perdana maupun di pasar sekunder; 10 d. melakukan Setelmen atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar kepada peserta Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah; e. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas transaksi antar-Peserta di pasar sekunder yang belum jatuh waktu; f. melakukan pembatalan Setelmen second leg atas perpanjangan (roll over) otomatis oleh sistem; g. melakukan pemblokiran Surat Berharga atas permintaan lembaga pengawas; h. melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas Surat Berharga dan instrumen yang ditatausahakan di BI-SSSS kepada Peserta pemilik Surat Berharga dan Sub- Registry; dan i. mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta yang memiliki fungsi sebagai penerbit dalam rangka melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal sebagaimana dimaksud dalam huruf h. (2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan cara: a. mendebit atau mengkredit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar; dan/atau b. mendebit atau mengkredit Rekening Surat Berharga Peserta. (3) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan berdasarkan: a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi atas dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan transaksi; b. keputusan lembaga pengawas yang berwenang yang mengakibatkan Setelmen second leg harus dibatalkan; dan/atau c. keputusan lembaga arbitrase dan/atau pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang mengakibatkan Setelmen second leg harus dibatalkan. 11 (4) Pembatalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dalam hal: a. Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki batas waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan; dan b. Peserta tidak melakukan pembatalan Setelmen second leg. BAB III KEPESERTAAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Kepesertaan Pasal 7 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu: a. Bank Indonesia; b. Kementerian Keuangan; c. Bank; d. e. perusahaan efek; dan f. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Berdasarkan fungsi Peserta di BI-SSSS, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibedakan menjadi: a. penerbit Surat Berharga; b. pemilik Surat Berharga di Central Registry; c. Penatausahaan bagi kepentingan nasabah; dan/atau d. fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Berdasarkan penggunaan rekening untuk Setelmen Dana, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibedakan menjadi: a. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana dalam mata uang rupiah, yang digunakan untuk pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Penatausahaan dalam mata uang rupiah; 12 b. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana dalam valuta asing, yang digunakan untuk pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Penatausahaan dalam valuta asing; dan/atau c. Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana dalam mata uang rupiah dan/atau dalam valuta asing, yang pelaksanaan Setelmen Dana dan/atau pembayaran kewajiban lainnya melalui Bank Pembayar. Bagian Kedua Persyaratan Menjadi Peserta Pasal 8 (1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. memenuhi persyaratan permodalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; d. telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS, untuk calon Peserta berupa Bank; e. direksi calon Peserta telah memperoleh persetujuan atau dinyatakan lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; f. memiliki laporan hasil security audit atas sistem internal calon Peserta dalam 1 (satu) tahun terakhir, dalam hal calon Peserta akan menghubungkan sistem internal calon Peserta ke BI-SSSS; g. menunjuk 1 (satu) Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam mata uang rupiah, untuk calon Peserta yang bukan peserta Sistem BI-RTGS; 13 h. menunjuk 1 (satu) Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam valuta asing, untuk calon Peserta yang akan melakukan transaksi Surat Berharga dalam valuta asing; dan i. menggunakan infrastruktur BI-SSSS sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Penunjukan Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam mata uang rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, ditujukan untuk: a. pembebanan biaya BI-SSSS; b. pembebanan sanksi administratif kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan Bank Indonesia; c. Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga, Transaksi Dengan Bank Indonesia, dan Transaksi Pasar Keuangan; dan d. penerimaan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu. (3) Penunjukan Bank Pembayar untuk kebutuhan pendebitan dan/atau pengkreditan dana dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, ditujukan untuk: a. pembebanan sanksi administratif kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan Bank Indonesia; b. Setelmen Dana atas transaksi Surat Berharga dalam valuta asing; dan c. penerimaan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga dalam valuta asing pada saat jatuh waktu. 14 Pasal 9 (1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf i yang berada dalam kewenangan pengelolaan pihak lain, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola infrastruktur BI-SSSS; dan b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang bersangkutan. (2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: a. pengaturan hak dan kewajiban Peserta dan pihak lain; b. tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau penyalahgunaan data dan informasi; c. mekanisme pelaksanaan pengiriman instruksi baik dalam keadaan normal maupun pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat di Peserta atau pihak lain; d. pengaturan penyelesaian perselisihan antara Peserta dengan pihak lain; e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan kepada calon Peserta; f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap: 1. sarana fisik; 2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait BI- SSSS; dan/atau 3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait dengan calon Peserta; dan g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia. 15 (3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah (UUS) dan/atau unit atau divisi pada Bank yang melaksanakan fungsi Kustodian dan menggunakan infrastruktur milik Bank induknya yang menjadi Peserta maka muatan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur tertulis internal Bank. Pasal 10 Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub- Registry, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan atau izin melakukan kegiatan Kustodian yang masih berlaku dari lembaga pengawas yang berwenang; b. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia; c. memiliki pengalaman dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga, paling singkat 3 (tiga) tahun sejak memperoleh izin dari lembaga pengawas yang berwenang; d. memiliki pengelola dengan pengalaman paling singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga; e. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; f. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) secara book-entry yang aman, akurat, dan terpercaya; g. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan; h. memiliki pengurus yang tidak termasuk dalam daftar kredit macet dan daftar hitam nasional pada saat mengajukan permohonan, bagi pengurus calon Sub- Registry selain Bank; 16 i. j. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan Kustodian; mencatat dan/atau menyimpan Surat Berharga dengan nilai nominal rata-rata bulanan paling sedikit telah mencapai Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam 6 (enam) bulan terakhir; dan k. memiliki fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri. Pasal 11 (1) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub- Registry dan akan menerima pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta lain yang telah mendapatkan persetujuan sebagai Sub-Registry, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki persetujuan atau izin melakukan kegiatan Kustodian yang masih berlaku dari lembaga pengawas yang berwenang; b. berkedudukan di wilayah hukum Indonesia; c. memiliki pengelola dengan pengalaman paling singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga; d. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; e. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) secara book-entry yang aman, akurat, dan terpercaya; f. memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan (pledge); g. memiliki pengurus yang tidak termasuk dalam daftar kredit macet dan daftar hitam nasional pada saat mengajukan permohonan, bagi pengurus calon Sub- Registry selain Bank; 17 h. memiliki unit kerja terpisah yang khusus menangani kegiatan Kustodian; i. menerima pengalihan pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS dari Peserta lain yang telah mendapatkan persetujuan sebagai Sub-Registry, paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah); dan j. memiliki fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri. (2) Dalam hal terjadi pengalihan aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka status kepesertaan Sub-Registry dari Peserta yang mengalihkan aset dan kewajiban menjadi ditutup. Pasal 12 (1) Kepesertaan sebagai Sub-Registry harus terpisah dari kepesertaan dengan fungsi yang lain. (2) Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk UUS maka kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS untuk kegiatan usaha secara konvensional harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bagian Ketiga Prosedur Menjadi Peserta Pasal 13 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan kepesertaan dalam penyelenggaraan BI-SSSS. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 2 (dua) tahapan sebagai berikut: a. persetujuan prinsip; dan b. persetujuan operasional. 18 Pasal 14 (1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk menjadi Peserta kepada Penyelenggara. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta atau pihak yang berwenang bertindak mewakili untuk dan atas nama Bank atau lembaga/instansi calon Peserta tersebut; c. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam hal calon Peserta merupakan UUS dan/atau unit atau divisi pada Bank yang melaksanakan fungsi Kustodian maka dalam surat permohonan dijelaskan bahwa permohonan tersebut diajukan oleh Bank dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A. (4) Dalam hal calon Peserta merupakan peserta Sistem BI- RTGS, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS, tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. (5) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d kepada Penyelenggara. Pasal 15 Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d terdiri atas: 19 a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan usaha yang masih berlaku dari lembaga berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai aslinya oleh pimpinan calon Peserta; c. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai nama dan struktur pengurus dari calon Peserta; d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; e. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang mengenai: 1. keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan pimpinan calon Peserta, untuk calon Peserta berupa Bank; atau 2. susunan pimpinan calon Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang, untuk calon Peserta selain Bank; f. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta bahwa calon Peserta telah memenuhi permodalan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pemenuhan permodalan; g. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang memuat mengenai kesiapan infrastruktur dan informasi spesifikasi infrastruktur dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; h. surat permohonan dari pimpinan calon Peserta untuk mendapatkan connected user dan Digital Certificate dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 20 i. laporan hasil security audit atas sistem internal calon Peserta yang dilakukan oleh auditor internal atau auditor independen, dalam hal sistem internal calon Peserta akan terhubung dengan BI-SSSS. Pasal 16 Apabila dalam penyelenggaraan BI-SSSS calon Peserta menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada dalam kewenangan pihak lain maka selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d, permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus dilengkapi dokumen tambahan berupa: a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta bahwa calon Peserta telah memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur BI-SSSS yang dikelola oleh pihak lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 17 (1) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub- Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, selain melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, juga harus melengkapi dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat persetujuan atau izin usaha sebagai Kustodian yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang; b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa pengelola calon Peserta Sub-Registry memiliki pengalaman paling singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga; 21 c. surat keterangan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry mengenai sistem penatausahaan Surat Berharga dan fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang terintegrasi antarkantor yang dimiliki di dalam negeri; d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub- Registry memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) yang aman dan akurat; e. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub- Registry memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan (pledge); f. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry bahwa calon pengurus Sub-Registry tidak termasuk dalam daftar kredit macet dan tidak tercantum dalam daftar hitam nasional; dan g. data mengenai jumlah dan nilai nominal pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga dalam 6 (enam) bulan terakhir. (2) Calon Peserta yang mengajukan permohonan sebagai Sub- Registry yang menerima pengalihan aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), selain melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, juga harus melengkapi dokumen sebagai berikut: a. fotokopi surat persetujuan atau izin melakukan kegiatan Kustodian yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang; b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa pengelola calon Peserta Sub-Registry memiliki pengalaman paling singkat 1 (satu) tahun dalam kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga; 22 c. surat keterangan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry mengenai sistem penatausahaan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri; d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub- Registry memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga tanpa warkat (scripless) yang aman dan akurat; e. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry yang menyatakan bahwa calon Peserta Sub- Registry memiliki sistem penatausahaan Surat Berharga yang paling sedikit dapat menatausahakan transaksi outright, repo, dan pengagunan (pledge); f. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta Sub- Registry bahwa calon pengurus Sub-Registry tidak termasuk dalam daftar kredit macet dan tidak tercantum dalam daftar hitam nasional; g. surat pernyataan mengenai jumlah dan nilai nominal pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga dari mendapatkan persetujuan sebagai Sub-Registry, yang dilengkapi dengan bukti pencatatan posisi terakhir di BI-SSSS; dan h. surat keterangan mengenai fasilitas jaringan usaha pencatatan dan/atau penyimpanan Surat Berharga yang terintegrasi dengan dan antarkantor cabang yang dimiliki di dalam negeri. Pasal 18 (1) Penyelenggara melakukan penelitian administratif mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 16, dan Pasal 17. Peserta lain yang sebelumnya telah 23 (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan dari Penyelenggara. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (4) Penyelenggara berwenang melakukan pemeriksaan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional BI-SSSS dari calon Peserta. Pasal 19 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan tertulis yang diajukan oleh calon Peserta sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1). (2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. Pasal 20 (1) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) memuat paling sedikit hal sebagai berikut: a. persetujuan menjadi Peserta; b. nama dan participant code; c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta paling sedikit berupa: 1. pelatihan; 2. instalasi; dan 24 3. penandatanganan perjanjian penggunaan BI- SSSS; dan d. kelengkapan dokumen administrasi oleh calon Peserta untuk pelaksanaan kegiatan operasional. (2) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi calon Peserta Sub-Registry juga memuat informasi mengenai pengambilan administrator user dan password SI BI-SSSS serta pelatihan penggunaan SI BI-SSSS. Pasal 21 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), calon Peserta menyampaikan kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d kepada Penyelenggara. (2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan pimpinan yang akan melakukan penandatanganan perjanjian penggunaan BI-SSSS dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat kuasa dari pimpinan dalam hal penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh pejabat selain pimpinan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada dalam Lampiran II.H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. surat pemberitahuan kewenangan pimpinan terkait dengan kepesertaan dan operasional BI-SSSS, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 25 d. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional BI-SSSS; e. surat permohonan dari pimpinan atau pejabat penerima kuasa untuk membuat spesimen tanda tangan bagi: 1. pimpinan atau pejabat yang berwenang; atau 2. pejabat yang diberi kuasa untuk melakukan kegiatan terkait kepesertaan dan operasional BI- SSSS, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; f. surat mengenai penambahan kewenangan pemilik spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS dengan kewenangan dalam operasional BI-SSSS kepada Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dalam hal kewenangan operasional BI-SSSS juga akan diberikan kepada pemilik spesimen tanda tangan di sistem BI-RTGS; g. surat penunjukan Bank Pembayar yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dari calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dilengkapi dengan surat konfirmasi dari Bank Pembayar sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan h. surat permintaan akses ke SI BI-SSSS yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dari calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, dalam hal calon Peserta merupakan Sub-Registry. 26 Pasal 22 Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional BI- SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pimpinan dapat memberi surat kuasa tanpa hak substitusi atau dengan 1 (satu) kali hak substitusi dengan menggunakan format surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank Indonesia; c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. penandatanganan surat menyurat, laporan, dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan dan operasional dalam BI-SSSS; 2. pengelolaan connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token; 3. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan, dan dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan dan operasional dalam BI-SSSS; dan/atau 4. penyerahan dan/atau pengambilan connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token; d. pimpinan atau pejabat penerima kuasa dengan 1 (satu) kali hak substitusi dapat memberikan kuasa tanpa hak substitusi kepada petugas di kantor pusat atau kantor cabang calon Peserta hanya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3; e. jumlah pejabat penerima kuasa untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d paling banyak 10 (sepuluh) orang; f. kegiatan yang dikuasakan dalam surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan kebutuhan calon Peserta; dan 27 g. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri yang masih berlaku dari penerima kuasa. Pasal 23 (1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d, Penyelenggara menyampaikan surat yang menginformasikan mengenai hal terkait dengan: a. penandatanganan perjanjian penggunaan BI-SSSS; b. pembuatan spesimen tanda tangan pimpinan dan pejabat atau petugas penerima kuasa dari pimpinan; c. pengambilan Digital Certificate; d. waktu pelatihan penggunaan BI-SSSS; dan e. waktu pemasangan JKD. (2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus melakukan hal sebagai berikut: a. menandatangani perjanjian penggunaan BI-SSSS sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. mengambil dokumen connected user, digital certificate hard token, dan/atau digital certificate soft token yang pelaksanaannya dilakukan oleh pimpinan atau pejabat berwenang mewakili calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani teknis operasional pada calon Peserta dalam pelatihan teknis dan operasional penggunaan BI-SSSS; dan d. melakukan uji koneksi BI-SSSS calon Peserta bersama dengan Penyelenggara atas SPP yang telah diinstalasi oleh Penyelenggara. (3) Pemenuhan kelengkapan dokumen administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d dan pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan calon Peserta paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip dari Penyelenggara. 28 (4) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi kelengkapan dokumen administrasi atau tidak melaksanakan kegiatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka: a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan menjadi tidak berlaku dan calon Peserta dinyatakan telah membatalkan permohonan; dan b. calon Peserta wajib mengembalikan aplikasi SPP, buku pedoman pengoperasian BI-SSSS, administrator user, connected user, dan Digital Certificate kepada Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak persetujuan tidak berlaku. Pasal 24 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2). (2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Bagian Keempat Perubahan Data Kepesertaan Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 25 (1) Peserta harus menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data kepesertaan meliputi perubahan: a. participant code; b. nama peserta; 29 c. kegiatan usaha; d. lokasi SPP dan/atau pemindahan JKD; e. Bank Pembayar; f. perubahan spesimen tanda tangan pimpinan; g. perubahan kuasa; dan/atau h. penggunaan infrastruktur. (2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data kepesertaan meliputi perubahan: a. data pimpinan; dan/atau b. alamat kantor. (3) Permohonan secara tertulis mengenai perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian informasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan ke Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. Paragraf 2 Perubahan Participant Code Pasal 26 Perubahan participant code dapat disebabkan oleh: a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) berubah menjadi anggota SWIFT; atau b. adanya perubahan SWIFT Bank Identifier Code (BIC) dari Peserta. Pasal 27 (1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: 30 a. Peserta mengajukan permohonan perubahan participant code secara tertulis, yang dilengkapi dengan dokumen berupa: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. dokumen yang menunjukkan sebagai anggota SWIFT atau adanya perubahan SWIFT BIC dari Peserta; dan b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan participant code melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. Pasal 28 (1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) memuat paling sedikit: a. nama Peserta; b. participant code yang baru; dan c. permintaan agar Peserta memenuhi kelengkapan dokumen untuk permintaan connected user dan Digital Certificate untuk participant code baru. (2) Peserta harus memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan menyampaikan surat kepada Penyelenggara yang memuat informasi: a. nama Peserta; b. participant code baru; dan c. certificate signing request (CSR) yang dihasilkan dan disimpan di media compact disc (CD) yang bersifat read-only, dalam hal Peserta menggunakan aplikasi BI-SSSS straight-through processing gateway (SSTPG). 31 (3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara memberitahukan: a. tanggal efektif perubahan participant code, nama connected user, dan Digital Certificate baru kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan participant code kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. (4) Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 3 Perubahan Nama Peserta Pasal 29 (1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS secara tertulis yang dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh lembaga yang berwenang; 2. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; 3. fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 2 terdiri atas: a) akta perubahan anggaran dasar untuk badan hukum Indonesia; b) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan 32 c) surat keputusan dari lembaga yang berwenang tentang perubahan nama, dalam hal Peserta adalah Bank; dan 4. dalam hal Peserta merupakan Bank yang berkantor pusat berkedudukan di luar negeri, menyampaikan fotokopi dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf c); dan b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan nama melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan nama Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara memberitahukan kepada: a. Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan dan tanggal efektif perubahan nama Peserta; dan b. seluruh Peserta mengenai perubahan nama Peserta melalui administrative message atau sarana lain. Paragraf 4 Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 30 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c meliputi perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum syariah (BUS). (2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus melakukan perubahan data kepesertaan, berupa: a. kegiatan usaha Peserta; 33 b. nama Peserta; dan/atau c. participant code. Pasal 31 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS secara tertulis yang dilengkapi dengan fotokopi dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a berupa: 1. akta perubahan anggaran dasar; 2. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan 3. surat keputusan dari lembaga yang berwenang mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; dan c. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (2) Dalam hal perubahan kegiatan usaha berdampak pada perubahan participant code maka Peserta harus mengajukan permohonan perubahan participant code dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28. 34 (3) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI- SSSS melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam BI-SSSS, Penyelenggara memberitahukan kepada: a. Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan dan tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta; dan b. seluruh Peserta mengenai perubahan kegiatan usaha Peserta melalui administrative message atau sarana lain. Paragraf 5 Perubahan Lokasi SPP dan/atau JKD Peserta Pasal 32 (1) Perubahan lokasi SPP dan/atau pemindahan JKD Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf d dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan secara tertulis kepada Penyelenggara mengenai perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD yang dilengkapi dengan formulir data kepesertaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan b. penyampaian permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). 35 (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat hal sebagai berikut: a. perubahan lokasi SPP utama dan/atau SPP cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara; b. pelaksanaan pemindahan JKD; dan c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait dengan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau JKD. Paragraf 6 Perubahan Bank Pembayar Pasal 33 (1) Perubahan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan Bank Pembayar secara tertulis yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 1. surat penunjukan Bank Pembayar sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L; dan 2. surat konfirmasi Bank Pembayar sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M; dan b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). 36 (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan Bank Pembayar melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan Bank Pembayar, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan Bank Pembayar. Paragraf 7 Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan Pasal 34 (1) Perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf f dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan kepada Penyelenggara secara tertulis mengenai perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sehubungan dengan adanya perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3); dan 37 3. dalam hal seluruh pimpinan dan pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara mengalami perubahan dan/atau penggantian maka permohonan tertulis mengenai perubahan spesimen tanda tangan diajukan oleh pimpinan yang baru; c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa: a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi Warga Negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA), yang masih berlaku; dan d. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf c telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai: 1. susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang; atau 2. persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; 38 b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan c. fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri. (3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Penyelenggara atau pejabat KPwDN. (4) Dalam hal pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memiliki spesimen tanda tangan di Sistem BI-RTGS, Peserta dapat meminta penambahan kewenangan pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di Sistem BI- RTGS dengan kewenangan dalam operasional BI-SSSS dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K. (5) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan dari pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peserta juga dapat menyampaikan surat pernyataan tetap diberlakukannya spesimen tanda tangan pimpinan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 35 (1) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan tertulis dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. 39 (2) Pemberitahuan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi sebagai berikut: a. pembuatan spesimen tanda tangan bagi pimpinan baru; dan b. tanggal efektif pencabutan kewenangan pimpinan dalam hal terdapat perubahan kewenangan pimpinan. (3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku efektif sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan atau paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan. (4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada Penyelenggara, spesimen tanda tangan pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. (5) Dalam hal pencabutan kewenangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum berlaku efektif, spesimen tanda tangan pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 8 Perubahan Kuasa Pasal 36 (1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf g dilakukan untuk penambahan, pergantian, dan/atau pencabutan kuasa pejabat dan/atau petugas. 40 (2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa secara tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3); b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas serta permintaan pembuatan spesimen tanda tangan, permohonan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau sebagian kuasa kepada pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa, permohonan juga dilampiri dengan surat pernyataan pencabutan kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan (4) Penyelenggara 3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan dalam surat kuasa yang diberikan kepada pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa, Peserta harus menyampaikan surat permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa yang baru dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N. menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan kuasa melalui surat, kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dan dokumen diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. 41 (5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas. (6) Peserta yang tidak mengajukan permohonan perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas kepada Penyelenggara maka data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan Pejabat penerima kuasa dan/atau petugas penerima kuasa tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 9 Perubahan Penggunaan Infrastruktur Pasal 37 Perubahaan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h meliputi: a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak lain; b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri; atau c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain yang berbeda. Pasal 38 (1) Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur secara tertulis yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 42 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; 2. surat pernyataan dari pimpinan yang menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat informasi spesifikasi infrastruktur sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf g; dan 3. dalam hal Peserta menggunakan infrastruktur yang dikelola pihak lain maka selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, Peserta juga harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan b. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3). (2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan Peserta. (3) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan perubahan penggunaan infrastruktur melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan infrastruktur Peserta. 43 Paragraf 10 Perubahan Data Pimpinan Pasal 39 Perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara secara tertulis mengenai perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3); c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa: a) Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM) atau paspor, bagi Warga Negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga yang berwenang, bagi Warga Negara Asing (WNA), yang masih berlaku; 44 d. dalam hal perubahan data pimpinan disebabkan oleh penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada huruf c, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: 1. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai: a) susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang; atau b) persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; 2. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan 3. fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi kantor cabang Bank yang kantor pusatnya berkedudukan di luar negeri; dan e. dalam hal perubahan data pimpinan mengakibatkan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan, dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d disampaikan pada saat pengajuan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. Paragraf 11 Perubahan Alamat Kantor Peserta Pasal 40 (1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara secara tertulis mengenai perubahan alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang dilengkapi dengan dokumen pendukung; 45 b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3); c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan alamat kantor dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. (2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta. Paragraf 12 Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan Pasal 41 Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS dan/atau peserta Sistem BI-ETP serta dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP sama dengan dokumen pendukung di BI-SSSS, dokumen untuk perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 40 yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP, tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. 46 Paragraf 13 Perbedaan Tanda Tangan Pasal 42 Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada spesimen tanda tangan pejabat atau petugas penerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kelima Status Kepesertaan dan Perubahannya Paragraf 1 Status Kepesertaan Pasal 43 (1) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dibedakan menjadi: a. aktif; b. ditangguhkan; c. dibekukan; atau d. ditutup. (2) Status ditangguhkan dan dibekukan tidak berlaku bagi Peserta dengan fungsi sebagai penerbit Surat Berharga dan Sub-Registry. (3) Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS, perubahan status kepesertaan di Sistem BI-RTGS menjadi ditangguhkan, dibekukan, atau ditutup berdampak pada perubahan status kepesertaan yang sama di BI-SSSS. 47 Paragraf 2 Perubahan Status Kepesertaan Pasal 44 (1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari: a. status aktif menjadi ditangguhkan atau sebaliknya; b. status aktif menjadi dibekukan; c. status aktif menjadi ditutup; d. status ditangguhkan menjadi dibekukan; atau e. status dibekukan menjadi ditutup. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan hal sebagai berikut: a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara; b. permintaan tertulis dari lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta; atau c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah status dari status aktif menjadi ditutup. (3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self- liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan, pengunduran diri, atau alasan lain dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta, Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile; b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan/atau c. lembaga yang berwenang dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan Peserta melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile. 48 Pasal 45 (1) Dalam hal akan dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban dalam penyelenggaraan BI-SSSS; b. Peserta melakukan pemindahan saldo Rekening Surat Berharga ke rekening yang ditetapkan oleh Peserta untuk penihilan saldo; c. Penyelenggara dapat memindahkan saldo Rekening Surat Berharga atas nama Peserta ke rekening yang ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan surat kuasa, apabila Peserta tidak melakukan pemindahan saldo Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf b; d. Penyelenggara mengubah status kepesertaan menjadi ditutup setelah Rekening Surat Berharga bersaldo nihil; dan e. Peserta harus mengembalikan digital certificate hard token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal efektif perubahan status kepesertaan menjadi ditutup. (2) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disebabkan oleh penggabungan, peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (3) Penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 49 a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan berdasarkan pada surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang menerima pengalihan. (4) Pemindahan saldo Rekening Surat Berharga ke rekening yang ditetapkan untuk penihilan saldo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Peserta dengan fungsi Sub-Registry, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Sub-Registry harus memindahkan kepemilikan Surat Berharga individual nasabahnya kepada Sub-Registry lain yang ditunjuk oleh nasabah; dan b. pemindahan kepemilikan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal penutupan kepesertaan Sub-Registry. Pasal 46 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b, dilakukan dengan mengajukan permohonan perubahan status kepesertaan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan tembusan kepada Penyelenggara. (2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan yang diminta; b. alasan perubahan status kepesertaan; dan c. tanggal efektif perubahan status kepesertaan. (3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 50 a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari alasan perubahan status kepesertaan; atau b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan usaha dari lembaga yang berwenang, putusan kepailitan, dan/atau likuidasi. (4) Dalam hal perubahan status kepesertaan yang diminta merupakan perubahan status menjadi ditangguhkan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula batasan penangguhan yang mencakup penangguhan terhadap kegiatan tertentu di BI-SSSS. (5) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima Penyelenggara dengan lengkap; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (4), dalam hal status kepesertaan berubah menjadi ditutup. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4). Pasal 47 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf c, dilakukan oleh Peserta dengan mengajukan permohonan penutupan kepesertaan kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal Peserta melakukan self-liquidation; atau 51 b. dokumen terkait lainnya untuk alasan perubahan status kepesertaan yang dilakukan berdasarkan alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pejabat yang berwenang yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. (4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diterima Penyelenggara dengan lengkap; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (4). (5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4). Paragraf 3 Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan Pasal 48 (1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V. (2) Dalam hal calon Peserta yang menerima penggabungan akan menerima pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta Sub-Registry yang akan menggabungkan diri maka: 52 a. calon Peserta harus memenuhi ketentuan umum kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud pada Pasal 8; dan b. calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang menyetujui penggabungan yang telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan. (4) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan pemberitahuan penggabungan yang paling sedikit memuat: a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang berwenang; b. informasi mengenai Peserta yang menerima penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam BI-SSSS dari Peserta yang menggabungkan diri kepada Peserta yang menerima penggabungan; 2. pemindahan saldo Rekening Surat Berharga Peserta yang menggabungkan diri ke Rekening Surat Berharga Peserta yang menerima penggabungan; dan 3. penutupan kepesertaan dalam BI-SSSS dari Peserta yang menggabungkan diri; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan secara hukum; dan e. informasi pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 53 (5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan berupa: 1. akta penggabungan; 2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang menerima penggabungan; 3. izin penggabungan dari lembaga yang berwenang memberikan persetujuan penggabungan; 4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau dokumen pendaftaran akta penggabungan dan akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan; dan 5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus: a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. Pasal 49 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3) dan ayat (5) diterima secara lengkap. tentang 54 (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hal sebagai berikut: a. waktu pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam BI-SSSS; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan. (3) Saldo Rekening Surat Berharga dari Peserta yang menggabungkan diri dipindahkan melalui SPP yang bersangkutan ke Rekening Surat Berharga Peserta yang menerima penggabungan. (4) Pelaksanaan pemindahan saldo Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan kewenangan dan jadwal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam BI-SSSS yang disetujui oleh Penyelenggara. (5) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dari Peserta yang menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam BI-SSSS, setelah Rekening Surat Berharga Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersaldo nihil. (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4). Paragraf 4 Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan Pasal 50 (1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus mengajukan permohonan menjadi Peserta BI-SSSS dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 14. (2) Dalam hal calon Peserta hasil peleburan akan menerima pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta Sub-Registry yang akan meleburkan diri maka: 55 a. Calon Peserta harus memenuhi persyaratan umum kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan b. Calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi Peserta Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan menyampaikan pemberitahuan peleburan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.X; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan calon Peserta, berupa: 1. akta peleburan; 2. akta pendirian Peserta yang merupakan hasil peleburan; 3. izin peleburan dari lembaga yang berwenang memberikan persetujuan tentang peleburan; dan 4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas akta pendirian Peserta yang merupakan hasil peleburan. Pasal 51 (1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan calon Peserta, sebagai berikut: 56 a. fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang menyetujui peleburan; dan b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang meleburkan diri. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4) huruf a, dan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN. Pasal 52 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta yang merupakan hasil peleburan setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 51 ayat (2) diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat persetujuan waktu pelaksanaan peleburan secara operasional dalam BI-SSSS beserta hal yang harus dilakukan oleh Peserta yang bersangkutan. (3) Saldo Rekening Surat Berharga dari Peserta yang meleburkan diri dipindahkan melalui SPP yang bersangkutan ke Rekening Surat Berharga Peserta yang merupakan hasil peleburan. (4) Pelaksanaan pemindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai kewenangan dan jadwal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam BI-SSSS yang disetujui oleh Penyelenggara. (5) Status kepesertaan dalam BI-SSSS dari Peserta yang meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam BI-SSSS, setelah Rekening Surat Berharga Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersaldo nihil. 57 (6) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4). Paragraf 5 Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan Pasal 53 (1) Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan dalam hal terdapat Peserta berupa UUS yang melakukan pemisahan dari Peserta berupa bank konvensional sebagai induknya yang dilakukan dengan cara mendirikan BUS baru atau mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada. (2) Dalam hal calon Peserta akan menerima pengalihan aset dan kewajiban dari Peserta Sub-Registry yang melakukan pemisahan maka: a. calon Peserta harus memenuhi persyaratan umum kepesertaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan b. calon Peserta harus memenuhi persyaratan menjadi Peserta Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Prosedur perubahan kepesertaan karena pemisahan dengan cara mendirikan BUS baru, mengikuti prosedur perubahan status kepesertaan karena peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 52. (4) Prosedur perubahan kepesertaan karena pemisahan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada dilakukan dengan tata cara penggabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49. 58 Paragraf 6 Perubahan Status Kepesertaan Karena Pengalihan Aset dan Kewajiban yang Bukan Merupakan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan Pasal 54 Prosedur perubahan status kepesertaan karena adanya pengalihan aset dan kewajiban berdasarkan persetujuan lembaga yang berwenang mengikuti prosedur perubahan status kepesertaan yang berlaku dalam penggabungan, peleburan, atau pemisahan. Paragraf 7 Penyampaian Dokumen Bagi Peserta Sistem BI-RTGS dan/atau Sistem BI-ETP Pasal 55 Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS dan/atau Sistem BI-ETP serta dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP sama dengan dokumen pendukung di BI-SSSS, dokumen pendukung untuk perubahan status kepesertaan karena penggabungan, peleburan, pemisahan, atau pengalihan aset dan kewajiban yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 53, dan Pasal 54 yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS dan/atau penyelenggara Sistem BI-ETP, tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. 59 Bagian Keenam Kewajiban Peserta Paragraf 1 Kewajiban Umum Peserta Pasal 56 Dalam penggunaan BI-SSSS, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS; b. bertanggung jawab atas kebenaran instruksi Setelmen, serta seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui BI-SSSS; c. melaksanakan kegiatan operasional BI-SSSS sesuai dengan perjanjian penggunaan sistem antara Penyelenggara dan Peserta dan ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan BI-SSSS, serta ketentuan terkait lainnya; d. memberikan data, dokumen, dan/atau informasi kepada Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik terkait dengan pelaksanaan operasional BI-SSSS; dan e. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait penyelenggaraan BI-SSSS. Pasal 57 Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis (KPT) yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional BI-SSSS; b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional BI-SSSS; c. melakukan security audit; d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan BI-SSSS yang di-review dan di-update secara reguler; 60 e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity plan (BCP); f. melakukan pengelolaan batas Setelmen Dana (settlement limit) dan mengatur pelaksanaannya dalam prosedur internal Peserta, dalam hal Peserta juga ditunjuk sebagai Bank Pembayar; g. menggunakan aplikasi SPP sesuai dengan buku pedoman pengoperasian BI-SSSS; h. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan; i. melakukan pemeliharaan data; dan j. menjamin SPP utama dan SPP cadangan berfungsi dengan baik untuk melakukan berbagai aktivitas BI-SSSS sepanjang jam operasional BI-SSSS. Pasal 58 Penyusunan KPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. KPT wajib dibuat dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif kepesertaan di BI-SSSS; b. KPT wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia; c. KPT wajib dibuat dengan mengacu pada ketentuan terkait dengan BI-SSSS yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi sistem pembayaran terkait penyelenggaraan BI-SSSS; d. KPT wajib memuat materi paling sedikit sebagai berikut: 1. pendahuluan; 2. organisasi pengoperasian BI-SSSS; 3. ketentuan dan prosedur operasional BI-SSSS; 4. pengawasan operasional BI-SSSS; dan 5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; e. penyusunan rincian cakupan minimum materi KPT sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 61 f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi KPT sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara dan/atau asosiasi sistem pembayaran, yang berdampak pada materi KPT, Peserta harus melakukan pengkinian terhadap KPT dimaksud; dan g. pengkinian terhadap KPT sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya perubahan materi dan ketentuan tersebut. Pasal 59 Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf b dilakukan oleh Peserta dengan ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara. Pasal 60 (1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan keandalan teknologi informasi internal Peserta, keterhubungan (interface) antara SPP dengan sistem internal Peserta, serta kondisi lingkungan tempat Peserta melakukan kegiatan operasional. (2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali terhitung sejak menjadi Peserta atau dalam hal terjadi perubahan dalam sistem teknologi informasi internal Peserta yang terkait dengan BI-SSSS, security audit dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadi perubahan; b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau auditor eksternal; dan c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 62 Pasal 61 Pedoman DRP dan BCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memuat prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat untuk memastikan bahwa operasional BI-SSSS di Peserta tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem cadangan tidak dapat digunakan; b. pedoman DRP paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan untuk menjamin kegiatan operasional BI-SSSS tetap berjalan; 4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara; dan c. pedoman BCP paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin kegiatan operasional BI-SSSS tetap berjalan; 4. mekanisme pengujian prosedur BCP; 5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara. Pasal 62 Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf i dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemeliharaan data dilakukan terhadap data yang tersimpan dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk hasil olahan komputer BI-SSSS; 63 b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga kerahasiaannya; c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam media elektronik yang berbeda dengan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak rusak; dan e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai ketentuan mengatur mengenai dokumen perusahaan. Pasal 63 Untuk menjamin SPP utama dan SPP cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf j, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. memastikan petugas yang menangani BI-SSSS memahami sistem dan prosedur operasional BI-SSSS yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta; b. mengatur dan menetapkan user dan kewenangan user yang melakukan operasional BI-SSSS; c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk BI- SSSS di Peserta; d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik; e. menjamin keamanan dan keandalan JKD yang digunakan untuk menghubungkan SPP utama dan/atau SPP cadangan ke SCN; f. melaporkan pengembangan aplikasi internal Peserta yang terkait BI-SSSS kepada Penyelenggara paling lama 1 (satu) bulan setelah implementasi; peraturan perundang-undangan yang 64 g. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar perangkat keras (hardware) berfungsi dengan baik dan perangkat lunak (software) yang digunakan dalam BI- SSSS dan/atau yang terkait dengan BI-SSSS bebas dari segala jenis malicious software (malware); h. menjamin integritas database BI-SSSS yang ada pada SPP utama dan SPP cadangan serta data cadangan (back-up); i. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi SPP utama dan/atau SPP cadangan sesuai dengan buku pedoman pengoperasian BI-SSSS; j. menyimpan dengan baik aplikasi SPP, termasuk setiap terdapat perubahan aplikasi SPP yang telah diberikan oleh Penyelenggara; dan k. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 64 Pengaturan dan penetapan user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud); b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangan petugas; c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan perannya masing-masing; d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab digital certificate hard token dan digital certificate soft token, termasuk serial number token; e. memastikan keamanan penggunaan digital certificate hard token oleh user yang telah ditetapkan; dan f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan connected user, digital certificate hard token, dan digital certificate soft token. 65 Pasal 65 Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk BI-SSSS di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyediakan SPP cadangan dan JKD cadangan dari lokasi SPP cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban Peserta; dan c. pemilihan jenis dan lokasi SPP cadangan serta JKD cadangan Peserta diserahkan kepada setiap Peserta. Pasal 66 Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf d, Peserta: a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai dengan pemberitahuan dari Penyelenggara; b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala; dan c. mengoperasikan sistem cadangan secara berkala untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal. Pasal 67 (1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. uji coba dilakukan terhadap SPP cadangan, JKD cadangan, dan data cadangan, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun; b. uji coba dapat dilakukan dengan menggunakan: 1. environment testing Penyelenggara selama jam operasional BI-SSSS; atau 2. environment production Penyelenggara yang dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat minggu pertama atau minggu ketiga setelah proses akhir hari BI-SSSS di Penyelenggara berakhir; dan 66 c. penggunaan environment production Penyelenggara dilakukan paling lama 1 (satu) jam. (2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf b dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi sistem cadangan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan. Pasal 68 (1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun; dan b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup pengoperasian SPP cadangan dan/atau JKD cadangan. (2) Pengoperasian sistem cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf c dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan sistem cadangan; 67 b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan penggunaan SPP cadangan dan/atau JKD cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pengoperasian Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan selesai dilakukan. Pasal 69 (1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf e dilakukan terhadap JKD yang menghubungkan SPP utama dan/atau SPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional BI-SSSS. (2) Dalam hal Peserta menghubungkan SPP utama dan/atau SPP cadangan dengan sistem internal Peserta, kegiatan menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan terhadap JKD yang menghubungkan SPP utama dan/atau SPP cadangan dengan sistem internal Peserta. Paragraf 2 Kewajiban Sub-Registry Pasal 70 Dalam penggunaan BI-SSSS untuk melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan nasabah, Peserta Sub- Registry wajib: a. meneruskan hasil Setelmen atas transaksi Surat Berharga kepada nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen; b. meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal Surat Berharga kepada nasabah pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan tanggal Sub-Registry menerima pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/ nominal Surat Berharga dari penerbit Surat Berharga; sistem cadangan kepada 68 c. menjamin kebenaran penatausahaan dan laporan kepemilikan Surat Berharga atas nama seluruh nasabah; d. menyelesaikan masalah perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah, dalam hal terdapat perbedaan pencatatan kepemilikan Surat Berharga antara Sub-Registry dengan nasabah; e. memenuhi jumlah minimum pencatatan kepemilikan Surat Berharga rata-rata bulanan paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dalam 12 (dua belas) bulan terakhir, bagi Sub-Registry yang telah melakukan kegiatan pencatatan kepemilikan Surat Berharga di BI-SSSS lebih dari 12 (dua belas) bulan; f. menjaga agar posisi kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM) bagi Bank Kustodian atau modal disetor bagi lembaga Kustodian bukan Bank tidak kurang dari posisi KPMM atau modal disetor sesuai ketentuan yang berlaku; g. mengelola dan melaporkan data nasabah secara lengkap dan benar melalui SI BI-SSSS, dengan informasi dan tata cara pengisian sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; h. menjaga keamanan SI BI-SSSS dan kerahasiaan data termasuk administrator user lokal yang disampaikan oleh Penyelenggara; i. menyediakan KPT yang paling sedikit berupa penatausahaan Surat Berharga dan penggunaan SI BI- SSSS di internal Sub-Registry; j. menyampaikan laporan kepada Penyelenggara dengan benar dan tepat waktu melalui SI BI-SSSS dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; k. melakukan rekonsiliasi secara harian antara data Setelmen pada SI BI-SSSS dengan data Setelmen atas transaksi yang terjadi di Sub-Registry; 69 l. melakukan koreksi data pelaporan melalui SI BI-SSSS, dalam hal terdapat kesalahan dan menginformasikan kepada Penyelenggara melalui surat; m. menginformasikan biaya yang akan dibebankan Peserta kepada nasabah terkait Setelmen melalui BI-SSSS secara transparan dan pada tempat yang mudah terlihat oleh nasabah; dan n. melengkapi data nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf g dengan nomor tunggal identitas investor, sesuai single investor identification yang digunakan di pasar modal, dan menginformasikan nomor tunggal identitas investor tersebut kepada nasabah yang bersangkutan. BAB IV OPERASIONAL PENYELENGGARAAN BI-SSSS Bagian Kesatu Waktu Operasional Penyelenggaraan BI-SSSS Pasal 71 (1) Penyelenggara menetapkan waktu operasional penyelenggaraan BI-SSSS yang mencakup hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan. (2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara. (3) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan dapat dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan: a. kebijakan Penyelenggara; dan/atau b. permintaan Peserta Penyelenggara. yang disetujui oleh (4) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam operasional, dan/atau periode waktu kegiatan, Penyelenggara memberitahukan hal tersebut kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. 70 Pasal 72 (1) Hari operasional BI-SSSS dilaksanakan setiap hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Peserta wajib melakukan kegiatan operasional BI-SSSS sesuai dengan hari kerja yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam kondisi tertentu, Keadaan Tidak Normal, dan/atau Keadaan Darurat, Peserta dapat tidak melakukan kegiatan operasional BI-SSSS pada hari operasional berdasarkan persetujuan Penyelenggara. (4) Pada hari Penyelenggara tidak melakukan kegiatan operasional, instruksi Setelmen dengan tanggal Setelmen (tanggal valuta) yang jatuh pada hari dimaksud tidak dapat dijalankan dan akan di-roll over ke hari kerja berikutnya. Pasal 73 (1) Jam operasional penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS mulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 18.30 WIB. (2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk melakukan kegiatan Setelmen atas transaksi Surat Berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS. (3) Dalam hal terdapat perubahan periode waktu kegiatan cut- off warning dan periode waktu kegiatan pre cut-off pada Sistem BI-RTGS, periode waktu kegiatan cut-off warning dan periode waktu kegiatan pre cut-off pada BI-SSSS mengikuti cut-off warning dan pre cut-off pada Sistem BI- RTGS. (4) Penetapan jam operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. 71 Pasal 74 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan untuk tidak melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) yang disebabkan hal sebagai berikut: a. kantor Bank Indonesia di wilayah tertentu dan/atau daerah tertentu ditetapkan libur fakultatif; b. kantor pusat Peserta berada pada kantor wilayah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan/atau c. kondisi tertentu yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Prosedur untuk tidak melakukan kegiatan operasional BI- SSSS dalam kondisi tertentu diatur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan surat permohonan tidak melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dalam kondisi tertentu yang penyampaiannya dapat didahului dengan administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain. b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan atas permohonan Peserta sebagaimana dimaksud dalam huruf a melalui surat yang dapat didahului dengan administrative message, faksimile, atau sarana lainnya; dan d. dalam hal permohonan disetujui, Penyelenggara mengumumkan kepada seluruh Peserta melalui administrative message untuk menginformasikan Peserta yang tidak melakukan kegiatan operasional BI-SSSS. Pasal 75 Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf a dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: 72 a. adanya Keadaan Tidak Normal pada BI-SSSS dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Setelmen melalui BI-SSSS; b. adanya perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS dan/atau Sistem BI-ETP; c. adanya kepentingan Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan/atau kepentingan penyelesaian transaksi pemerintah; dan/atau d. adanya permintaan perpanjangan periode waktu kegiatan dari Peserta yang berdampak pada perubahan periode waktu kegiatan dan jam operasional. Pasal 76 Perubahan periode waktu kegiatan berdasarkan permintaan Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan dalam hal Peserta mengalami Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan perpanjangan periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Setelmen melalui BI- SSSS; b. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan disetujui oleh Penyelenggara maka: 1. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan sesuai dengan permintaan Peserta untuk periode waktu kegiatan yang masih terbuka pada saat permohonan perpanjangan diterima oleh Penyelenggara; dan 2. perpanjangan periode waktu kegiatan dilakukan secara proporsional, dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan melebihi pukul 17.00 WIB; 73 c. perpanjangan periode waktu kegiatan yang dapat diberikan yaitu selama 30 (tiga puluh) menit atau paling lama 60 (enam puluh) menit, kecuali dalam kondisi tertentu; d. perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b menyebabkan perubahan periode waktu kegiatan berikutnya dan/atau jam operasional; e. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan yang telah disetujui oleh Penyelenggara melalui administrative message, bersifat final dan tidak dapat dibatalkan oleh Peserta; dan f. perpanjangan periode waktu kegiatan atas permintaan Peserta dikenakan biaya. Pasal 77 Prosedur pengajuan perpanjangan periode waktu kegiatan oleh Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a ditetapkan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan secara tertulis yang disertai alasan kepada Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan administrative message, faksimile, dan/atau sarana lain; b. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan harus diajukan paling lambat 30 (tiga puluh) menit sebelum berakhirnya periode waktu kegiatan yang dimintakan perpanjangan; d. Penyelenggara memberitahukan persetujuan atau penolakan atas permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan kepada Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya; e. dalam hal telah terdapat Peserta yang mengajukan perpanjangan periode waktu kegiatan selama 60 (enam puluh) menit dan telah disetujui oleh Penyelenggara maka Peserta yang lain tidak dapat mengajukan perpanjangan periode waktu kegiatan; dan 74 f. dalam hal permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan disetujui, Penyelenggara menyampaikan informasi perpanjangan periode waktu kegiatan kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. Bagian Kedua Pengelolaan Pengguna (User) Pasal 78 (1) Pengguna (user) BI-SSSS terdiri atas: a. connected user; dan b. unconnected user. (2) Connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. administrator user; dan b. regular user. (3) Berdasarkan penggunaannya, connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. connected user untuk BI-SSSS depository gateway (SDG); dan b. connected user untuk BI-SSSS straight through processing gateway (SSTPG). Pasal 79 (1) Penyelenggara melakukan pengelolaan connected user paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian, reset password, penghentian, reaktivasi, dan penetapan security level. (2) Peserta melakukan pengelolaan user dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengelolaan mencakup connected user dan unconnected user; b. pengelolaan dilakukan dengan menggunakan administrator user yang meliputi: 1. akses connected user; dan 2. pendaftaran dan akses unconnected user. 75 (3) Pengelolaan dan penggunaan connected user yang telah diserahkan oleh Penyelenggara kepada Peserta, dilakukan berdasarkan ketentuan internal Peserta dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Peserta yang bersangkutan. Bagian Ketiga Connected User dan Digital Certificate Pasal 80 (1) Penyelenggara memberikan connected user kepada Peserta yang dilengkapi dengan: a. password dan digital certificate hard token untuk setiap Peserta yang menggunakan aplikasi SDG; dan b. password dan digital certificate soft token untuk setiap Peserta yang menggunakan aplikasi SSTPG. (2) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling banyak 10 (sepuluh) connected user yang terdiri atas: a. dua administrator user; dan b. paling banyak 8 (delapan) regular user. (3) Penyelenggara menyediakan connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling banyak 1 (satu) connected user. (4) Masa aktif digital certificate hard token dan digital certificate soft token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif. (5) Pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. 76 Paragraf 1 Penambahan Connected User serta Penggantian dan/atau Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate Pasal 81 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan connected user yang dilengkapi dengan password dan Digital Certificate sepanjang tidak melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (3). (2) Penambahan connected user yang melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dapat diberikan kepada Peserta berdasarkan persetujuan Penyelenggara. (3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian digital certificate hard token dan digital certificate soft token yang hilang/rusak atau tidak dapat digunakan karena sebab apapun. (4) Penambahan connected user sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau penggantian digital certificate hard token sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan biaya. (5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana rupiah Peserta atau Bank Pembayar. (6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif digital certificate hard token dan digital certificate soft token yang akan berakhir masa aktifnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4). Pasal 82 Permohonan penambahan connected user serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan penambahan connected user serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate secara tertulis kepada Penyelenggara; 77 b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D; c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memuat informasi paling sedikit: 1. untuk penambahan connected user yang dilengkapi dengan password dan Digital Certificate: a) nama dan participant code Peserta; b) jumlah penambahan connected user; dan c) alasan permintaan tambahan connected user, dalam hal permintaan melebihi jumlah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2); 2. untuk penggantian digital certificate hard token: a) nama dan participant code Peserta; b) nama connected user untuk digital certificate hard token yang akan diganti; c) nomor seri digital certificate hard token; dan d) alasan permintaan penggantian digital certificate hard token; 3. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate hard token: a) nama dan participant code Peserta; b) nama connected user untuk digital certificate hard token yang akan diperpanjang masa aktifnya; dan c) nomor seri digital certificate hard token; atau 4. untuk perpanjangan masa aktif digital certificate soft token: a) nama dan participant code Peserta; dan b) nama connected user dari server yang digital certificate soft token yang akan diperpanjang masa aktifnya; d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dokumen pendukung sebagai berikut: 78 1. file CSR dalam media CD dari server yang digital certificate soft token yang akan diperpanjang masa aktifnya, dalam hal Peserta mengajukan perpanjangan masa aktif digital certificate soft token; 2. digital certificate hard token, dalam hal Peserta mengajukan perpanjangan masa aktif atau penggantian digital certificate hard token; atau 3. surat keterangan kehilangan digital certificate hard token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta mengajukan penggantian digital certificate hard token yang hilang; dan e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ditembuskan kepada KPwDN yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja KPwDN; dan 2. bagi Peserta yang mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif karena masa aktif Digital Certificate akan berakhir, permohonan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum masa aktif Digital Certificate berakhir. Pasal 83 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lain untuk pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Peserta melakukan pengambilan dokumen connected user, password, dan/atau Digital Certificate dengan prosedur sebagai berikut: a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI) pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara; 79 b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja KPwDN pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor KPwDN; dan c. pengambilan dokumen dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. (3) Dalam hal terdapat perpanjangan masa aktif digital certificate soft token, Peserta harus menginformasikan tanggal efektif penggunaan digital certificate soft token yang baru kepada Penyelenggara melalui administrative message atau surat yang dapat didahului dengan pengiriman melalui faksimile. (4) Dalam hal Peserta tidak menginformasikan tanggal efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka segala risiko dan akibat yang timbul sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. (5) Dalam hal penambahan connected user melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penambahan connected user kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap oleh Penyelenggara. Paragraf 2 Penghapusan Connected User SDG dan/atau SSTPG Pasal 84 (1) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG dapat dilakukan atas dasar inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta. (2) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG oleh Penyelenggara dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan BI- SSSS atau berdasarkan pertimbangan lain. (3) Penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG atas permintaan Peserta dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: 80 a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG secara tertulis kepada Penyelenggara yang dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan digital certificate hard token yang connected user yang dimohonkan untuk dihapus; dan c. Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta mengenai penghapusan connected user SDG dan/atau SSTPG. Paragraf 3 Reset Password Connected User untuk SDG, Unlock Connected User untuk SDG, dan/atau Reset Password Digital Certificate Hard Token Pasal 85 Peserta dapat mengajukan permohonan reset password connected user untuk SDG, unlock connected user untuk SDG, dan/atau reset password digital certificate hard token kepada Penyelenggara. Pasal 86 Permohonan reset password connected user untuk SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. permohonan secara tertulis mengenai reset password connected user untuk SDG dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 81 2. nama connected user untuk password yang dimohonkan untuk dilakukan reset; dan 3. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan password connected user kepada Peserta melalui surat; dan d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. Pasal 87 Permohonan unlock connected user untuk SDG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: a. permohonan secara tertulis mengenai unlock connected user untuk SDG kepada Penyelenggara dapat disampaikan melalui administrative message atau surat yang ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang dapat didahului dengan faksimile; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. nama connected user yang dimohonkan untuk di- unlock; dan 3. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian proses unlock connected user untuk SDG kepada Peserta yang bersangkutan melalui administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 88 Permohonan reset password digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan dengan ketentuan dan prosedur sebagai berikut: 82 a. permohonan secara tertulis mengenai reset password digital certificate hard token dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pejabat berwenang yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dan paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. nama connected user untuk digital certificate hard token yang dimohonkan untuk di-reset; 3. nomor seri digital certificate hard token; dan 4. nama dan nomor telepon pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon kepada pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 untuk melakukan tahapan proses reset password digital certificate hard token di SPP. Bagian Keempat Penatausahaan Rekening Surat Berharga di BI-SSSS Paragraf 1 Prinsip Penatausahaan Pasal 89 (1) Penyelenggara menggunakan BI-SSSS untuk melakukan kegiatan Penatausahaan yang meliputi Penatausahaan Surat Berharga dan Penatausahaan hasil Transaksi. (2) Surat Berharga yang ditatausahakan pada BI-SSSS yakni Surat Berharga dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. (3) Penyelenggara melakukan Penatausahaan Transaksi di pasar perdana dan di pasar sekunder. (4) Central Registry menatausahakan Rekening Surat Berharga di BI-SSSS untuk kepentingan Peserta dan pihak yang disetujui oleh Penyelenggara untuk memiliki Rekening Surat Berharga. 83 (5) Sub-Registry menatausahakan Rekening Surat Berharga untuk kepentingan nasabah. (6) Peserta dan nasabah di Sub-Registry dibedakan atas status: a. residen; dan b. nonresiden. Paragraf 2 Jenis Rekening Pasal 90 (1) Penyelenggara menetapkan rekening yang dimiliki Peserta sesuai dengan kegiatan dan fungsi dalam kepesertaan. (2) Jenis rekening pada BI-SSSS terdiri atas: a. rekening untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan instrumen keuangan; dan b. rekening administratif, sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Paragraf 3 Setelmen Pasal 91 (1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan pada tanggal Setelmen. (2) Setelmen terdiri atas Setelmen Surat Berharga dan/atau Setelmen Dana. (3) Setelmen hanya dapat dilakukan apabila: a. Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga; atau b. Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga dan saldo pada Rekening Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen Dana. 84 (4) Dalam hal saldo Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen maka instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga Peserta akan masuk dalam mekanisme antrian. (5) Dalam hal saldo Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak mencukupi untuk pelaksanaan Setelmen maka instruksi Setelmen akan masuk dalam mekanisme antrian atau dibatalkan. (6) Ketentuan mengenai instruksi Setelmen yang masuk dalam mekanisme antrian atau dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu pada jenis transaksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS. (7) Instruksi Setelmen yang berada dalam mekanisme antrian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dibatalkan apabila saldo Rekening Surat Berharga dan/atau Rekening Setelmen Dana tidak mencukupi sesuai dengan batas waktu Setelmen atas transaksi yang ditetapkan atau pada awal periode cut-off warning BI- SSSS. (8) Setelmen di BI-SSSS bersifat final dan tidak dapat dibatalkan. Pasal 92 (1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan dengan cara: a. delivery versus payment (DvP); b. free of payment (FoP); atau c. delivery versus delivery (DvD). (2) Setelmen dilakukan berdasarkan data transaksi per transaksi (gross to gross) sesuai dengan urutan transaksi yang diterima BI-SSSS. (3) Peserta dan/atau Bank Pembayar harus berstatus aktif sebagai peserta Sistem BI-RTGS untuk melakukan Setelmen dengan mekanisme DvP. 85 (4) Surat Berharga yang telah dicatat dalam rekening agunan dalam BI-SSSS tidak dapat digunakan untuk tujuan lain. Pasal 93 (1) Pelaksanaan Setelmen pada BI-SSSS meliputi Setelmen atas: a. penerbitan Surat Berharga di pasar perdana; b. transaksi Surat Berharga di pasar sekunder; c. pinjam meminjam dalam rangka transaksi pasar uang antarbank (PUAB) dan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS); dan d. pemindahbukuan Surat Berharga antar-Rekening Surat Berharga Peserta. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a. jual beli secara putus (outright); b. repurchase agreement (repo); c. transfer; d. pengagunan (pledge); dan e. pinjam meminjam Surat Berharga (securities lending and borrowing). Pasal 94 Setelmen atas transaksi jual beli secara putus (outright) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a dilakukan secara DvP. Pasal 95 (1) Setelmen atas transaksi repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b dilakukan secara DvP. (2) Jenis transaksi repo di BI-SSSS terdiri atas: a. repo sell and buyback (repo SBB); dan b. repo collateralized borrowing (repo CB). (3) Dalam transaksi repo SBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut: 86 a. kepemilikan Surat Berharga berpindah dari Peserta peminjam dana kepada Peserta yang meminjamkan dana; dan b. Peserta yang meminjamkan dana dapat mentransaksikan Surat Berharga hasil Setelmen atas transaksi repo SBB. (4) Repo SBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas: a. repo SBB tipe 1 yaitu Setelmen repo SBB dengan re- routing kupon/bunga atau imbalan pada saat Setelmen second leg kepada Peserta peminjam dana; dan b. repo SBB tipe 2 yaitu Setelmen repo SBB dengan re- routing kupon/bunga atau imbalan pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu kepada Peserta peminjam dana. (5) Dalam transaksi repo CB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. kepemilikan Surat Berharga tetap berada pada Peserta peminjam dana; dan peminjam b. Peserta dana tidak dapat mentransaksikan Surat Berharga hasil Setelmen atas transaksi repo CB. (6) Repo CB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas: a. repo CB tipe 1 yaitu Setelmen repo CB dengan pencatatan Surat Berharga tetap pada Rekening Surat Berharga Peserta peminjam dana; dan b. repo CB tipe 2 yaitu Setelmen repo CB dengan pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Peserta yang meminjamkan dana dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu kepada Peserta peminjam dana. (7) Pada tanggal transaksi repo jatuh waktu (second leg), BI- SSSS secara otomatis melakukan Setelmen second leg. 87 (8) Dalam hal transaksi repo jatuh waktu (second leg) merupakan transaksi pasar sekunder antar-Peserta maka Setelmen second leg dilakukan berdasarkan persetujuan dari Peserta peminjam dana dengan melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang diterimanya. (9) Dalam hal tanggal transaksi repo jatuh waktu (second leg) merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second leg dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 96 (1) Setelmen atas transaksi transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf c dilakukan secara FoP. (2) Peserta harus menginformasikan tujuan Setelmen atas transaksi transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada instruksi Setelmen di BI-SSSS. (3) Dalam hal Peserta melakukan transaksi transfer untuk penyelesaian transaksi jual beli Surat Berharga dan transaksi pinjam meminjam, maka Peserta harus mengisi informasi nilai setelmen dana dan harga pada instruksi Setelmen BI-SSSS. (1) Setelmen atas Pasal 97 transaksi pengagunan (pledge) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf d dilakukan secara FoP. (2) Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge) terdiri atas: a. pengagunan (pledge) tipe 1, yaitu Setelmen atas transaksi pledge dengan pencatatan Surat Berharga tetap pada Rekening Surat Berharga Peserta pemberi agunan; dan b. pengagunan (pledge) tipe 2, yaitu Setelmen atas transaksi pledge dengan pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Peserta penerima agunan dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu kepada Peserta pemberi agunan. 88 (3) Pada tanggal transaksi pengagunan (pledge) jatuh waktu (second leg), BI-SSSS secara otomatis melakukan Setelmen second leg. (4) Dalam hal tanggal transaksi pengagunan (pledge) jatuh waktu (second leg) merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second leg dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 98 (1) Setelmen atas transaksi securities lending and borrowing (SLB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf e dilakukan secara DvD atau DvP. (2) Setelmen atas transaksi SLB dapat dilakukan dengan menggunakan jaminan berupa: a. Surat Berharga; atau b. dana. (3) Setelmen atas transaksi SLB dengan jaminan berupa Surat Berharga dilakukan secara DvD yang terdiri atas: a. SLB tipe 1, yaitu Setelmen atas transaksi SLB tanpa re-routing kupon/bunga atau imbalan pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu baik untuk Surat Berharga yang dipinjamkan maupun Surat Berharga yang diserahkan sebagai jaminan; b. SLB tipe 2, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta penerima pinjaman Surat Berharga pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu untuk Surat Berharga yang diserahkan sebagai jaminan; c. SLB tipe 3, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta pemberi pinjaman Surat Berharga pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu untuk Surat Berharga yang dipinjamkan; dan 89 d. SLB tipe 4, yaitu Setelmen atas transaksi SLB dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta pemberi dan penerima pinjaman Surat Berharga pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu baik untuk Surat Berharga yang dipinjamkan maupun Surat Berharga yang diserahkan sebagai jaminan. (4) Setelmen atas transaksi SLB dengan jaminan berupa dana dilakukan secara DvP yaitu SLB tipe 5 dengan re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta pemberi pinjaman Surat Berharga pada saat pembayaran kupon/bunga atau imbalan jatuh waktu untuk Surat Berharga yang dipinjamkan. (5) Pencatatan Surat Berharga yang dipinjamkan berpindah dari Rekening Surat Berharga Peserta pemberi pinjaman ke Rekening Surat Berharga Peserta penerima pinjaman. (6) Pencatatan Surat Berharga yang diserahkan sebagai jaminan berpindah dari Rekening Surat Berharga Peserta penerima pinjaman ke Rekening Surat Berharga Peserta pemberi pinjaman. (7) Pada tanggal transaksi SLB jatuh waktu (second leg), BI- SSSS secara otomatis melakukan Setelmen second leg. (8) Dalam hal transaksi SLB jatuh waktu (second leg) merupakan transaksi pasar sekunder antar-Peserta maka Setelmen second leg: a. untuk SLB tipe 1, SLB tipe 2, SLB tipe 3, dan SLB tipe 4, dilakukan berdasarkan persetujuan dari Peserta penerima pinjaman Surat Berharga dengan melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang diterimanya; atau b. untuk SLB tipe 5, dilakukan berdasarkan persetujuan dari Peserta pemberi pinjaman Surat Berharga dengan melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang diterimanya. (9) Dalam hal tanggal transaksi SLB jatuh waktu (second leg) merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second leg dilakukan pada hari kerja berikutnya. 90 Paragraf 4 Pengiriman dan Pemrosesan Instruksi Setelmen Pasal 99 (1) Setelmen pada BI-SSSS dilakukan berdasarkan instruksi Setelmen. (2) Pengiriman instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh: a. Peserta; dan b. Sistem BI-ETP. (3) Instruksi Setelmen dapat dilakukan dengan prinsip matching atau tanpa matching. (4) Instruksi Setelmen atas transaksi titipan (future date transaction) dapat dilakukan dengan tanggal valuta Setelmen paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pengiriman instruksi Setelmen. Pasal 100 (1) Setiap instruksi Setelmen memiliki communication reference yang merupakan kode unik dalam pengiriman instruksi Setelmen. (2) Communication reference diisi dengan nomor referensi pelaporan transaksi yang diperoleh dari penerima laporan transaksi efek (PLTE). (3) Dalam hal transaksi yang dilakukan Peserta tidak harus dilaporkan melalui PLTE, pengisian communication reference dilakukan dengan mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Communication reference yang telah digunakan tidak dapat digunakan kembali selama: a. Setelmen belum berhasil dilakukan; b. instruksi Setelmen masuk dalam antrian atau belum dibatalkan; atau c. Setelmen atas transaksi second leg belum jatuh waktu. 91 Pasal 101 (1) Pemrosesan instruksi Setelmen pada BI-SSSS dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit: a. kecukupan saldo di Rekening Surat Berharga atau subrekening Surat Berharga milik Peserta atau pihak pemilik Rekening Surat Berharga; b. kecukupan saldo di Rekening Setelmen Dana milik Peserta atau Bank Pembayar; c. tingkat prioritas transaksi di BI-SSSS dan Sistem BI- RTGS; d. urutan transaksi yang dikirimkan ke BI-SSSS; e. batas Setelmen Dana (settlement limit); f. periode waktu kegiatan yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara; g. status kepesertaan Peserta di BI-SSSS; h. status kepesertaan Peserta dan/atau Bank Pembayar di Sistem BI-RTGS; dan i. batas waktu terakhir Surat Berharga atau instrumen keuangan lain, yang setelmennya dapat dilakukan melalui BI-SSSS. (2) Penyelenggara menetapkan prioritas Setelmen Surat Berharga pada BI-SSSS sebagai berikut: a. high priority; b. normal priority; dan c. low priority. (3) Peserta dapat menentukan waktu pelaksanaan Setelmen dilakukan sebagai berikut: a. waktu paling awal Setelmen dilakukan; dan/atau b. waktu paling akhir Setelmen dilakukan. Pasal 102 (1) Penyelesaian instruksi Setelmen yang masuk dalam mekanisme antrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) dilakukan dengan prinsip: a. first in first out (FIFO) untuk Setelmen Surat Berharga atas transaksi outright, transfer, dan Surat Berharga yang dipinjamkan dalam transaksi SLB; dan 92 b. first available first out (FAFO) untuk Setelmen Surat Berharga atas transaksi repo, pledge, dan Surat Berharga yang dijaminkan dalam transaksi SLB. (2) Penyelesaian instruksi Setelmen yang berada dalam mekanisme antrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS. (3) Pelaksanaan Setelmen dalam mekanisme antrian dengan prinsip FIFO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen grup low priority dilakukan setelah Setelmen pada grup high priority dan normal priority berhasil dilakukan; b. Setelmen grup normal priority dilakukan setelah Setelmen pada grup high priority berhasil dilakukan; c. instruksi Setelmen yang berada dalam mekanisme antrian akan dibatalkan secara otomatis oleh sistem pada awal periode cut-off warning BI-SSSS atau waktu yang telah ditetapkan; dan d. Peserta dapat melakukan pengelolaan prioritas untuk grup normal priority dan low priority. (4) Pengelolaan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: a. reordering; b. reprioritization; dan c. cancellation. Pasal 103 (1) Peserta dapat melakukan pembatalan instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga sepanjang belum dilakukan Setelmen atas transaksi Surat Berharga. (2) Pembatalan instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut: 93 a. pembatalan instruksi Setelmen dilakukan oleh Peserta secara sepihak dalam hal lawan transaksi belum melakukan pengiriman instruksi Setelmen atau data instruksi Setelmen yang dikirim oleh kedua belah pihak belum matching; atau b. pembatalan instruksi Setelmen dilakukan oleh Peserta berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dalam hal status Setelmen sudah matching namun masih dalam mekanisme antrian. Paragraf 5 Penunjukan Bank Pembayar Pasal 104 Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana dan Sub- Registry harus menunjuk Bank Pembayar untuk melakukan Setelmen Dana. Pasal 105 (1) Peserta dan Sub-Registry sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) Bank Pembayar untuk keperluan Setelmen Dana dalam mata uang rupiah atas Transaksi Pasar Keuangan. (2) Penunjukan Bank Pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan surat penunjukan Bank Pembayar kepada Penyelenggara yang dilengkapi dengan surat konfirmasi dari Bank Pembayar. Pasal 106 (1) Bank Pembayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 melakukan pengelolaan batas dana yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit) bagi Peserta dan/atau Sub-Registry yang menunjuk Bank Pembayar tersebut. 94 (2) Pengelolaan batas dana yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penetapan batas dana yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit) dilakukan berdasarkan kesepakatan Bank Pembayar dengan Peserta atau Sub-Registry yang menunjuk; b. batas dana yang dapat digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit) dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan Setelmen Dana atas transaksi Peserta atau Sub-Registry yang menunjuk; dan c. Bank Pembayar harus memantau batas dana yang digunakan untuk Setelmen Dana (settlement limit). Paragraf 6 Pengelolaan Surat Berharga Yang Dijadikan Sebagai Jaminan (Collateral Management) oleh Penyelenggara Pasal 107 Penyelenggara menetapkan parameter pengelolaan Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral management) untuk pelaksanaan Setelmen atas transaksi yang dilakukan dengan Bank Indonesia. Paragraf 7 Pembayaran Kupon/Bunga atau Imbalan Surat Berharga atau Instrumen Keuangan Lain Pasal 108 (1) Penyelenggara melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan pada tanggal pembayaran kupon/bunga atau imbalan dengan mendebit Rekening Setelmen Dana penerbit dan mengkredit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar, sebesar nilai kupon/bunga atau imbalan. 95 (2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. perhitungan dan tingkat kupon/bunga atau imbalan; dan b. posisi pencatatan kepemilikan Surat Berharga atau instrumen keuangan lain di BI-SSSS pada akhir hari tanggal batas waktu penetapan penerima kupon/bunga atau imbalan, sesuai dengan ketentuan dan persyaratan masing-masing seri Surat Berharga atau instrumen keuangan lain. (3) Dalam hal terdapat re-routing kupon/bunga atau imbalan, re-routing kupon/bunga atau imbalan kepada Peserta dilakukan sesuai dengan jenis dan tipe transaksi Surat Berharga yang dilakukan Peserta. (4) Dalam hal tanggal pembayaran kupon/bunga atau imbalan Surat Berharga dan instrumen keuangan lain merupakan hari libur maka pelaksanaan pembayaran kupon/bunga atau imbalan dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 109 (1) Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan kepada nasabah pemilik Surat Berharga atau instrumen keuangan lain pada tanggal yang sama dengan tanggal pembayaran kupon/bunga atau imbalan oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran kupon/bunga atau imbalan pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry harus membayar kompensasi kepada nasabah pemilik Surat Berharga atau instrumen keuangan lain sesuai kesepakatan Sub-Registry dan nasabah. 96 Paragraf 8 Pelunasan Pokok/Nilai Nominal Surat Berharga atau Instrumen Keuangan Lain Pasal 110 (1) Pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain dilakukan pada saat jatuh waktu atau sebelum jatuh waktu (early redemption) sesuai dengan ketentuan dan persyaratan masing-masing seri Surat Berharga atau instrumen keuangan lain. (2) Pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain pada saat jatuh waktu atau sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Dalam hal tanggal pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain merupakan hari libur maka pelaksanaan pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pasal 111 (1) Dalam hal pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain dilakukan sebelum jatuh waktu (early redemption), Peserta yang menjual Surat Berharga atau instrumen keuangan lain harus memiliki saldo pada Rekening Surat Berharga yang mencukupi sejumlah pokok/nilai nominal seri Surat Berharga atau instrumen keuangan lain yang akan dilunasi. (2) Pembayaran pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan sebesar nilai Setelmen Dana yang disepakati oleh Peserta dan penerbit Surat Berharga atau instrumen keuangan lain. 97 Pasal 112 (1) Sub-Registry wajib meneruskan pembayaran pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain kepada nasabah pemilik Surat Berharga pada tanggal yang sama dengan tanggal pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal Sub-Registry tidak meneruskan pembayaran pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga atau instrumen keuangan lain pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry harus membayar kompensasi kepada nasabah pemilik Surat Berharga atau instrumen keuangan lain sesuai kesepakatan Sub-Registry dan nasabah. Paragraf 9 Laporan Setelmen dan Laporan Posisi Rekening Surat Berharga Pasal 113 (1) Peserta memperoleh laporan Setelmen dan laporan posisi harian Rekening Surat Berharga dari Penyelenggara setiap akhir hari saat tutup sistem. (2) Peserta dapat meminta kepada Penyelenggara laporan Setelmen, laporan posisi Rekening Surat Berharga, dan laporan lain yang tersedia pada BI-SSSS selama waktu operasional BI-SSSS. (3) Dalam hal terjadi perbedaan posisi harian Rekening Surat Berharga yang tercatat di sistem Peserta dengan sistem Penyelenggara maka yang digunakan dan berlaku adalah posisi harian Rekening Surat Berharga yang tercatat di sistem Penyelenggara. 98 Bagian Kelima Penatausahaan Transaksi Pasar Keuangan Paragraf 1 Setelmen atas Transaksi Pasar Sekunder Antar-Peserta Pasal 114 Peserta pemilik Rekening Surat Berharga dapat mengirimkan instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga di pasar sekunder melalui BI-SSSS untuk transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2). Pasal 115 (1) Instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga antar- Peserta dilakukan dengan prinsip matching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3). (2) Pengiriman instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kedua Peserta dengan meng- input dan mengirim instruksi Setelmen. (3) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Peserta berdasarkan suatu perintah pembukuan atau perintah penyelesaian transaksi Surat Berharga sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh masing-masing Peserta. Pasal 116 Pelaksanaan Setelmen atas Transaksi Pasar Sekunder antar- Peserta dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Pasal 117 (1) Dalam hal Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge) dilakukan untuk pinjaman likuiditas jangka pendek dari Bank Indonesia maka Peserta sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan mengirimkan instruksi Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge) tipe 1. 99 (2) Dalam hal Peserta merupakan Bank Konvensional dan akan menggunakan Surat Berharga milik UUS maka pengiriman instruksi Setelmen atas transaksi pengagunan (pledge) tipe 1 dilakukan oleh UUS sebagai pemberi agunan dan Bank Indonesia sebagai penerima agunan. (3) Setelmen second leg atas transaksi pengagunan (pledge) tipe 1 dapat dilakukan apabila Peserta telah memenuhi persyaratan penarikan (release) agunan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. (4) Dalam hal dilakukan eksekusi agunan pinjaman likuiditas jangka pendek maka Peserta dan Bank Indonesia melakukan pembatalan Setelmen second leg (cancel second leg) atas transaksi pengagunan (pledge). Paragraf 2 Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP Pasal 118 Sistem BI-ETP dapat mengirimkan instruksi Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI- ETP. Pasal 119 (1) Instruksi Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dilakukan dengan prinsip tanpa matching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3). (2) Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dapat dilakukan dengan underlying Surat Berharga atau tanpa underlying Surat Berharga. (3) Instruksi Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP yaitu: a. transaksi pinjam meminjam dalam rangka transaksi PUAB dan PUAS; dan 100 b. transaksi pasar sekunder antar-Peserta. (4) Pelaksanaan Setelmen atas Transaksi Pasar Keuangan yang dilakukan melalui Sistem BI-ETP dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. (5) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi PUAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengelola dana melakukan pencatatan term and condition instrumen PUAS yang menjadi dasar transaksi PUAS melalui BI-SSSS; dan b. pelaksanaan Setelmen atas transaksi PUAS dilakukan setelah pencatatan instrumen PUAS sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilaksanakan. (6) Pada tanggal transaksi PUAB atau PUAS jatuh waktu (second leg) atas transaksi pasar sekunder antar-Peserta maka Setelmen second leg dilakukan berdasarkan persetujuan dari: a. Peserta peminjam dana untuk PUAB; atau b. Peserta pengelola dana untuk PUAS, dengan melakukan otorisasi atas instruksi Setelmen yang diterimanya. (7) Dalam hal tanggal transaksi PUAB atau PUAS jatuh waktu (second leg) merupakan hari libur maka pelaksanaan Setelmen second leg dilakukan pada hari kerja berikutnya. Paragraf 3 Setelmen atas Transaksi Second Leg Sebelum Jatuh Waktu (Early Termination) dan Setelmen Perpanjangan Jangka Waktu Transaksi Pasal 120 Peserta dapat melakukan Setelmen sebelum jatuh waktu (early termination) atas transaksi second leg atau perpanjangan jangka waktu transaksi dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan berdasarkan kesepakatan antar-Peserta yang bertransaksi; dan 101 b. dilakukan oleh Peserta yang bertransaksi melalui BI-SSSS dengan mengubah tanggal Setelmen second leg paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal jatuh waktu Setelmen second leg. Paragraf 4 Penyelesaian Kegagalan Setelmen Second Leg atas Transaksi Antar-Peserta Pasal 121 (1) Setelmen second leg atas transaksi antar-Peserta dinyatakan gagal dalam hal saldo pada Rekening Setelmen Dana dan/atau Rekening Surat Berharga untuk pelaksanaan transaksi second leg jatuh waktu tidak mencukupi sampai dengan awal periode cut-off warning BI-SSSS atau batas waktu Setelmen yang ditetapkan. (2) Penyelesaian lebih lanjut atas kegagalan Setelmen second leg sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. BI-SSSS melakukan perpanjangan jangka waktu transaksi secara otomatis dengan jangka waktu 1 (satu) hari kerja; b. BI-SSSS melakukan pelaksanaan Setelmen second leg pada hari kerja berikutnya; dan c. perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sampai dengan Setelmen second leg berhasil dilakukan atau dilakukan pembatalan second leg (cancel second leg). Paragraf 5 Pembatalan Second Leg (Cancel Second Leg) atas Transaksi Antar-Peserta Pasal 122 (1) Pembatalan second leg (cancel second leg) dilakukan berdasarkan kesepakatan antar-Peserta. 102 (2) Pembatalan second leg (cancel second leg) oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta yang menyerahkan Surat Berharga sebagai jaminan mengirimkan instruksi pembatalan second leg melalui BI-SSSS; dan b. Peserta lawan transaksi yang menerima Surat Berharga sebagai jaminan memberikan persetujuan pembatalan second leg (cancel second leg) dengan melakukan otorisasi atas instruksi yang diterimanya. Pasal 123 (1) Penyelenggara membatalkan second leg (cancel second leg) apabila Surat Berharga yang ditransaksikan memasuki batas waktu untuk dapat ditransaksikan namun Peserta tidak melakukan pembatalan second leg (cancel second leg). (2) Penyelenggara dapat melakukan pembatalan second leg (cancel second leg) berdasarkan: a. permintaan salah satu Peserta yang bertransaksi atas dasar kuasa pembatalan dari Peserta lawan transaksi; b. permintaan lembaga pengawas yang berwenang; atau c. putusan pengadilan dan/atau lembaga arbitrase yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang mengakibatkan second leg harus dibatalkan. (3) Pembatalan berdasarkan permintaan salah satu Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf c dilakukan dengan prosedur: a. Peserta mengajukan permohonan pembatalan second leg (cancel second leg) secara tertulis melalui surat disertai dengan dokumen pendukung kepada Penyelenggara yang dapat didahului dengan administrative message dan/atau faksimile; 103 b. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a, berupa: 1. bukti transaksi; 2. surat kuasa dari Peserta lawan transaksi; dan/atau 3. putusan pengadilan atau putusan arbitrase yang mengakibatkan transaksi second leg harus dibatalkan; d. dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disetujui, Penyelenggara melakukan pembatalan second leg (cancel second leg) atas transaksi Peserta yang bersangkutan; dan e. Penyelenggara menyampaikan informasi pelaksanaan pembatalan second leg (cancel second leg) kepada kedua belah pihak Peserta yang bertransaksi melalui surat, administrative message, dan/atau sarana lain. Pasal 124 (1) Dalam hal dilakukan pembatalan second leg (cancel second leg) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dan Pasal 123, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Setelmen first leg dianggap sebagai Setelmen atas transaksi outright; dan b. dalam hal first leg berupa Setelmen repo CB dan pengagunan (pledge), pembatalan second leg dilakukan dengan pemindahan Surat Berharga yang menjadi jaminan kepada penerima jaminan. (2) Pelaksanaan pemindahan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. 104 Paragraf 6 Pengelolaan Surat Berharga yang Dijadikan Sebagai Jaminan (Collateral Management) oleh Peserta Pasal 125 (1) Peserta dapat menetapkan kriteria Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan transaksi secara bilateral. (2) Dalam pengelolaan Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral management), Peserta dapat menetapkan potongan harga (haircut) Surat Berharga dengan ketentuan sebagai berikut: a. haircut yang ditetapkan oleh Peserta pemberi agunan harus lebih tinggi atau sama dengan yang ditetapkan oleh Peserta penerima agunan; dan b. dalam hal terdapat perbedaan haircut antara Peserta penerima agunan dengan Peserta pemberi agunan maka haircut yang digunakan yaitu haircut yang ditetapkan Peserta penerima agunan. (3) Peserta dapat melakukan penggantian Surat Berharga yang sedang digunakan sebagai jaminan (collateral substitution) untuk transaksi antar-Peserta dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan sebelum tanggal second leg; b. dilakukan berdasarkan kesepakatan antar-Peserta; dan c. Surat Berharga pengganti memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan potongan harga (haircut) sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 105 Bagian Keenam Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah Paragraf 1 Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah untuk Absorpsi Likuiditas Pasal 126 Setelmen atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah untuk absorpsi likuiditas di pasar uang terdiri atas: a. Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga oleh Bank Indonesia; b. Setelmen atas transaksi penempatan dana; dan c. Setelmen atas transaksi pasar sekunder. Pasal 127 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah untuk absorpsi likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dilakukan secara DvP. (2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. (3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 128 Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas operasi moneter dan operasi moneter syariah mulai dilakukan pada awal hari yang meliputi: a. Setelmen jatuh waktu untuk pelunasan Surat Berharga dan penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf a dan huruf b; dan 106 b. Setelmen second leg transaksi di pasar sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 huruf c. Pasal 129 Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dan Pasal 128, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Paragraf 2 Penatausahaan Transaksi Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah untuk Injeksi Likuiditas Pasal 130 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah untuk injeksi likuiditas di pasar uang dilakukan secara DvP. (2) Pelaksanaan Setelmen dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. (3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Setelmen Dana dan/atau saldo Rekening Surat Berharga tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 131 Pelaksanaan Setelmen jatuh waktu atas operasi moneter dan operasi moneter syariah mulai dilakukan pada awal hari. Pasal 132 Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 dan Pasal 131, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. 107 Paragraf 3 Pelaksanaan Pembebanan atas Pengenaan Sanksi Administratif Kewajiban Membayar untuk Operasi Moneter dan Operasi Moneter Syariah Pasal 133 Penyelenggara mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar untuk pembebanan atas pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai operasi moneter dan operasi moneter syariah. Bagian Ketujuh Penatausahaan Transaksi SBN Atas Nama Pemerintah Paragraf 1 Setelmen atas Transaksi SBN Atas Nama Pemerintah Pasal 134 Penyelenggara melakukan Setelmen atas transaksi SBN atas nama Pemerintah yang meliputi: a. transaksi penerbitan SBN yang dilakukan melalui lelang oleh Bank Indonesia; b. transaksi penerbitan SBN yang tidak dilakukan melalui lelang oleh Bank Indonesia; c. transaksi pembelian kembali (buyback) dengan cara tunai atau penukaran (debt switching); dan d. transaksi peminjaman SBN oleh Dealer Utama. Paragraf 2 Setelmen atas Transaksi Penerbitan SBN Pasal 135 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi penerbitan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf a dilakukan secara DvP. 108 (2) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi penerbitan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf b dilakukan secara DvP atau melalui mekanisme lain yang ditetapkan oleh Pemerintah. (3) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara FIFO sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. (4) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi penerbitan SBN atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 136 Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Paragraf 3 Setelmen atas Transaksi Pembelian Kembali SBN oleh Pemerintah (Buyback) Pasal 137 Penyelenggara melakukan Setelmen atas transaksi pembelian kembali SBN oleh Pemerintah (buyback) yang dilakukan dengan cara tunai atau dengan cara penukaran (debt switching). Pasal 138 (1) Pelaksanaan Setelmen atas transaksi pembelian kembali SBN oleh Pemerintah (buyback) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 dilakukan secara DvP atau melalui mekanisme lain yang ditetapkan oleh Pemerintah. (2) Pelaksanaan Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara FIFO sesuai dengan urutan instruksi Setelmen. 109 (3) Setelmen tidak dapat dilakukan selama saldo Rekening Surat Berharga Peserta dan/atau saldo Rekening Setelmen Dana Peserta atau Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar tidak mencukupi sampai dengan batas waktu Setelmen transaksi pembelian kembali SBN oleh Pemerintah (buyback) atau awal periode cut-off warning BI-SSSS. Pasal 139 Setelmen atas transaksi pembelian kembali SBN oleh Pemerintah (buyback) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Paragraf 4 Setelmen Peminjaman SBN Oleh Dealer Utama Pasal 140 (1) Setelmen peminjaman SBN oleh Dealer Utama dilakukan dengan menggunakan mekanisme Setelmen atas transaksi SLB tipe 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) huruf a. (2) Setelmen atas transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Bagian Kedelapan Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI Paragraf 1 Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI Pada Sistem BI- RTGS Pasal 141 (1) Untuk penggunaan FLI pada Sistem BI-RTGS, Peserta harus menyediakan Surat Berharga sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai fasilitas likuiditas intrahari. 110 (2) Peserta dapat melakukan release Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar nilai nominal yang tidak digunakan untuk menjamin penggunaan FLI. (3) Penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selama periode waktu kegiatan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (4) Penyediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penarikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Pasal 142 (1) Penyelenggara menghitung dan menetapkan nilai tunai (cash value) atas Surat Berharga yang tercatat pada rekening FLI. (2) Nilai tunai (cash value) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan menjadi batas paling tinggi (limit) FLI yang dapat digunakan oleh Peserta melalui Sistem BI-RTGS. Pasal 143 (1) Peserta dapat melakukan pelunasan penggunaan FLI melalui BI-SSSS selama periode waktu kegiatan Setelmen pelunasan FLI yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebesar nilai penggunaan FLI untuk setiap transaksi penggunaan FLI di Sistem BI-RTGS. (3) Dalam hal Peserta belum melunasi penggunaan FLI sampai dengan berakhirnya periode waktu kegiatan Setelmen pelunasan FLI, Penyelenggara akan melakukan Setelmen pelunasan FLI sebesar penggunaan FLI yang belum dilunasi dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta di Sistem BI-RTGS. 111 Paragraf 2 Konversi Penggunaan FLI yang Belum Dilunasi Menjadi Transaksi Lending Facility atau Financing Facility dengan Bank Indonesia Pasal 144 (1) Dalam hal Rekening Setelmen Dana Peserta di Sistem BI- RTGS tidak mencukupi untuk melunasi penggunaan FLI maka Penyelenggara melakukan konversi penggunaan FLI yang belum dilunasi menjadi transaksi lending facility atau financing facility dengan Bank Indonesia. (2) Penyelenggara menetapkan Surat Berharga yang menjadi agunan atas transaksi lending facility atau financing facility dengan urutan prioritas sebagai berikut: a. tipe Surat Berharga yaitu: 1. Surat Berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; dan/atau 2. SBN; dan b. sisa jangka waktu Surat Berharga yang lebih pendek untuk Surat Berharga yang sama. (3) Pelunasan atas transaksi lending facility atau financing facility sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai: a. koridor suku bunga (standing facilities); b. tata cara transaksi repo sertifikat Bank Indonesia syariah dengan Bank Indonesia; dan c. tata cara transaksi repo surat berharga syariah negara dengan Bank Indonesia. (4) Mekanisme konversi atas transaksi lending facility atau financing facility dilakukan sesuai dengan mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. 112 Bagian Kesembilan Penatausahaan Surat Berharga Nasabah Paragraf 1 Penatausahaan Surat Berharga Nasabah oleh Sub-Registry Pasal 145 (1) Setiap pihak yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga di Central Registry, harus menunjuk Sub-Registry untuk melakukan penatausahaan Surat Berharga yang dimilikinya. (2) Pencatatan kepemilikan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Sub-Registry di Central Registry bersifat global (omnibus account). (3) Pencatatan Surat Berharga yang dimiliki nasabah dilakukan tersendiri pada sistem yang dimiliki oleh Sub- Registry. (4) Dalam hal Sub-Registry telah melakukan setelmen antarnasabah (inhouse transfer) atas transaksi repo CB atau pengagunan (pledge) pada sistem Sub-Registry maka Sub-Registry harus melakukan pemindahbukuan Surat Berharga yang ditransaksikan sesuai mekanisme Setelmen sebagaimana tercantum dalam Lampiran X. Pasal 146 (1) Dalam hal nasabah Sub-Registry berupa Dealer Utama non- Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank, Sub-Registry dapat membuka Rekening Surat Berharga di BI-SSSS untuk dan atas nama Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank yang digunakan khusus untuk pelaksanaan Setelmen hasil lelang SBN di pasar perdana. (2) Sub-Registry harus memindahkan Surat Berharga hasil lelang SBN dari Rekening Surat Berharga Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Rekening Surat Berharga Sub-Registry di BI-SSSS yang bersifat global (omnibus account) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), segera setelah Setelmen hasil lelang SBN dilakukan. 113 Pasal 147 (1) Sub-Registry harus mengajukan permohonan tertulis kepada Penyelenggara untuk pembukaan Rekening Surat Berharga atas nama Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank yang dilampiri dokumen sebagai berikut: a. informasi Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank, yang paling sedikit memuat nama dan nomor single investor identity yang digunakan di pasar modal; b. fotokopi surat penunjukan sebagai Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank dari Menteri Keuangan; dan c. surat pernyataan dari Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank yang menyatakan bahwa Dealer Utama non-Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank merupakan nasabah dari Sub- Registry. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani pejabat yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. (3) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara akan melakukan pembukaan Rekening Surat Berharga atas nama Dealer Utama non- Bank atau peserta lelang SBSN non-Bank paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak dokumen diterima secara lengkap. Paragraf 2 Sarana Pelaporan bagi Sub-Registry Pasal 148 Penyelenggara menyediakan SI BI-SSSS bagi Sub-Registry sebagai sarana pelaporan dan rekonsiliasi data BI-SSSS terkait penatausahaan nasabah. 114 Pasal 149 Pengelolaan dan kewenangan penggunaan SI BI-SSSS diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penyelenggara memberikan user-ID dan password administrator kepada setiap Sub-Registry untuk akses terhadap aplikasi SI BI-SSSS; b. administrator sebagaimana dimaksud dalam huruf a memiliki kewenangan sebagai berikut: 1. membuat user setingkat administrator; dan 2. melakukan kegiatan menambah, menghapus, reset password untuk user dan user group; dan c. Sub-Registry dapat mengajukan permohonan reset password kepada Penyelenggara melalui administrative message BI-SSSS atau dengan menyampaikan permintaan tertulis yang ditandatangani oleh pengelola Sub-Registry. Paragraf 3 Pelaporan Sub-Registry Pasal 150 (1) Sub-Registry wajib menyampaikan laporan penatausahaan Surat Berharga nasabah kepada Penyelenggara. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi laporan berkala dan laporan sewaktu-waktu yang terdiri atas: a. laporan harian; b. laporan bulanan; c. laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga; d. laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt switching; dan e. laporan data nasabah. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu pada tata cara dan format laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI. 115 Pasal 151 (1) Ketentuan penyampaian laporan harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf a diatur sebagai berikut: a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan secara harian pada hari yang sama dengan tanggal Setelmen; b. laporan harian sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. laporan Setelmen atas transaksi antarnasabah dalam Sub-Registry yang sama (inhouse transfer); dan/atau 2. laporan informasi data nasabah atas Setelmen atas transaksi Surat Berharga yang dilakukan melalui BI-SSSS; dan c. dalam hal informasi data nasabah sebagaimana dimaksud dalam huruf b tidak terdaftar dalam database nasabah di SI BI-SSSS maka Sub-Registry dianggap tidak melengkapi data nasabah sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 huruf g. (2) Ketentuan penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf b diatur sebagai berikut: a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan bulanan paling lama 3 (tiga) hari kerja pada awal bulan berikutnya; dan b. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memuat informasi posisi kepemilikan Surat Berharga nasabah Sub-Registry pada akhir bulan yang disampaikan melalui SI BI-SSSS. (3) Ketentuan penyampaian laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf c diatur sebagai berikut: a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga pada hari yang sama dengan tanggal Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry; dan 116 b. laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a memuat informasi hasil Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry. (4) Ketentuan penyampaian laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt switching sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) huruf d diatur sebagai berikut: a. Sub-Registry wajib menyampaikan laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt switching atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry pada hari yang sama dengan tanggal Setelmen transaksi buyback/debt switching; dan b. laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt switching memuat informasi hasil Setelmen atas transaksi buyback/debt switching atas nasabah yang tercatat di Sub-Registry. (5) Laporan data nasabah sebagaimana dimaksud dalam 150 ayat (2) huruf e disampaikan oleh Sub-Registry untuk pengisian database nasabah di SI BI-SSSS, yang berisi: a. data nasabah baru; dan/atau b. perubahan data nasabah. Pasal 152 (1) Dalam hal terdapat kesalahan dalam pelaporan maka Sub- Registry wajib melakukan koreksi atas laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara. (2) Koreksi atas laporan yang disampaikan Sub-Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. koreksi atas laporan harian Sub-Registry disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pemberitahuan dari Penyelenggara; 117 b. koreksi atas laporan bulanan Sub-Registry disampaikan melalui SI BI-SSSS paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah pemberitahuan dari Penyelenggara; dan c. ketentuan dan tata cara penyampaian koreksi laporan dilakukan melalui SI BI-SSSS dengan mengacu kepada tata cara dan format laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI. BAB V BIAYA Bagian Kesatu Biaya dalam Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui BI-SSSS Pasal 153 Penyelenggara menetapkan biaya terhadap Peserta dalam penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI- SSSS. Pasal 154 Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 terdiri atas: a. biaya instruksi Setelmen; b. biaya pengiriman administrative message; c. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank; d. biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional; e. biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token; dan f. biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. 118 Pasal 155 (1) Penetapan biaya instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf a dikenakan untuk setiap pengiriman instruksi Setelmen. (2) Penetapan biaya pengiriman administrative message sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf b dikenakan untuk setiap pengiriman administrative message. (3) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu) jam; b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh Fasilitas Guest Bank Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS; dan c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta. (4) Penetapan besaran biaya perpanjangan periode waktu kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf d dikenakan berdasarkan durasi perpanjangan periode waktu kegiatan setiap 30 (tiga puluh) menit. (5) Biaya penggantian atau penambahan digital certificate hard token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 huruf e dikenakan untuk setiap digital certificate hard token yang diganti atau ditambahkan. (6) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam penggunaan BI-SSSS tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (7) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). 119 Bagian Kedua Pembebasan Biaya Pasal 156 (1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk PPN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Pembebanan Biaya Pasal 157 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan jumlah biaya untuk masing-masing Peserta pada setiap akhir hari. (2) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari kerja berikutnya dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar. Bagian Keempat Pembebanan Biaya oleh Peserta Kepada Nasabah Pasal 158 (1) Peserta Sub-Registry dapat menetapkan dan mengenakan biaya kepada nasabah dalam jumlah yang wajar. (2) Peserta Sub-Registry wajib mengumumkan besarnya biaya penggunaan BI-SSSS yang ditetapkan Penyelenggara dan besarnya biaya penggunaan BI-SSSS yang ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta Sub-Registry kepada nasabah. (3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditempatkan pada tempat yang mudah dilihat dan dibaca oleh nasabah. 120 BAB VI PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Bagian Kesatu Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Penyelenggara Paragraf 1 Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara Pasal 159 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS atau mengakibatkan operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan maka berlaku prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal. (2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut: a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal dan tahapan yang perlu dilakukan melalui administrative message dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan, Peserta harus menghentikan sementara kegiatan pengiriman instruksi Setelmen dan kegiatan lain melalui BI-SSSS; dan c. dalam hal BI-SSSS dapat beroperasi kembali, Peserta melakukan hal sebagai berikut: 1. melakukan koneksi ulang ke BI-SSSS; 121 2. melakukan rekonsiliasi antara data transaksi di sistem Peserta dengan data transaksi BI-SSSS di Penyelenggara dan mengecek Setelmen terakhir yang dilakukan dan posisi kepemilikan Surat Berharga melalui SPP; dan 3. menginformasikan kepada help desk apabila dari hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam angka 2 terdapat perbedaan data transaksi Setelmen dan/atau posisi kepemilikan Surat Berharga. (3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative message, help desk, dan/atau sarana lainnya. (4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang mengakibatkan BI-SSSS tidak dapat beroperasi sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan memberitahukan kepada Peserta. Paragraf 2 Keadaan Darurat di Penyelenggara Pasal 160 Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang mempengaruhi kelancaran penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS atau mengakibatkan operasional BI-SSSS tidak dapat diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka berlaku prosedur sebagai berikut: a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur penanggulangan Keadaan Darurat; dan b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS. 122 Bagian Kedua Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta Pasal 161 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan terganggunya kelancaran penyelesaian Setelmen melalui BI-SSSS maka Peserta harus memberitahukan kepada Penyelenggara. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk BI- SSSS melalui sarana telepon paling lama 30 (tiga puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang ditindaklanjuti dengan penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Penyelenggara mengenai hal tersebut dan penyebabnya; dan/atau b. pemberitahuan disampaikan kepada Penyelenggara melalui surat yang didahului dengan faksimile dalam hal Peserta memerlukan tindak lanjut perpanjangan periode waktu kegiatan sesuai dengan prosedur perpanjangan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76. Pasal 162 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dengan menggunakan SPP utama maka Peserta menggunakan SPP cadangan. (2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan SPP cadangan dan/atau tidak dapat mengirimkan instruksi Setelmen di lokasi Peserta maka Peserta dapat melakukan kegiatan operasional BI-SSSS dengan menggunakan Fasilitas Guest Bank. 123 (3) Dalam hal Peserta memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan operasional maka Peserta harus segera memberitahukan kepada Penyelenggara melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta Sub-Registry yang menyebabkan Peserta Sub-Registry tidak dapat mengirimkan laporan melalui SI BI-SSSS maka Peserta Sub-Registry dapat mengirimkan laporan melalui surat elektronik (e-mail) atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 163 Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Setelmen melalui BI-SSSS. Bagian Ketiga Penggunaan Fasilitas Guest Bank Pasal 164 (1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama jam operasional BI-SSSS untuk melakukan kegiatan sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku. (2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia. (3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Setelmen Surat Berharga melalui Fasilitas Guest Bank. 124 (4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) metode yaitu: a. shared SDG; b. standalone SDG; c. standalone SSTPG; atau d. own SPP. (5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di KPwDN hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode shared SDG. Pasal 165 (1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Z yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja KPwDN, permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada KPwDN yang menyediakan Fasilitas Guest Bank. (4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank untuk BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau Sistem BI- ETP, permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest Bank cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara, sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang memiliki kewenangan dalam operasional BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau Sistem BI-ETP. 125 (5) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank kepada peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Pasal 166 Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi Penyelenggara atau KPwDN berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan, Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan Fasilitas Guest Bank berdasarkan urutan kedatangan Peserta. BAB VII PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA Pasal 167 (1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga akibat: a. terlambat atau tidak terlaksananya Setelmen dan pencatatan, pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga; dan/atau b. sebab lain. (2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen dan pencatatan, pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan oleh: 126 a. pengiriman instruksi Setelmen atas transaksi oleh Peserta kepada Penyelenggara dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; b. kesalahan data dan/atau instruksi Setelmen yang dikirimkan oleh Peserta kepada Penyelenggara; c. gangguan jaringan komunikasi dan/atau sistem pada Peserta yang mengakibatkan keterlambatan Setelmen; d. ketidakmampuan atau keterlambatan pengisian dana oleh Peserta sebagai penerbit Surat Berharga pada Rekening Setelmen Dana yang mengakibatkan tidak terbayar atau terlambatnya pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan/atau pelunasan pokok/nilai nominal Surat Berharga pada saat jatuh waktu kepada Peserta pemilik Surat Berharga; e. ketidakmampuan atau keterlambatan Peserta menyediakan dana pada Rekening Setelmen Dana dan/atau Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga oleh Peserta; f. pembatalan Setelmen atas transaksi second leg (cancel second leg) oleh Penyelenggara yang dilakukan melalui BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e; g. kelalaian Peserta; dan/atau h. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat baik yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta. BAB VIII PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA Bagian Kesatu Umum Pasal 168 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan Peserta untuk memastikan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. 127 (2) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. tata kelola; b. operasional; c. infrastruktur; d. BCP; dan e. perlindungan konsumen. (3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau secara langsung. Bagian Kedua Pemantauan Tidak Langsung Pasal 169 (1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (3) dilakukan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap: a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara; dan b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara. (2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Penyelenggara. (3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam hal diminta oleh Penyelenggara. (4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu- waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 128 (5) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan langsung berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Paragraf 1 Laporan Berkala Pasal 170 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. b. laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK); dan laporan penatausahaan Surat Berharga nasabah oleh Sub-Registry. (2) Penyampaian LHPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diatur sebagai berikut: a. LHPK merupakan laporan tahunan yang memuat hasil penilaian pemeriksaan internal untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. LHPK disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; c. LHPK disampaikan dengan batas waktu paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya; d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian LHPK yaitu hari kerja berikutnya; e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan LHPK sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Peserta tetap wajib menyampaikan LHPK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu penyampaian LHPK yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan f. Peserta dinyatakan tidak menyampaikan LHPK apabila Peserta tidak menyampaikan LHPK sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e. 129 (3) Penyampaian laporan penatausahaan Surat Berharga nasabah oleh Sub-Registry sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang berupa laporan harian dan laporan bulanan, dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) dan ayat (2). Paragraf 2 Laporan Sewaktu-Waktu Pasal 171 (1) Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. laporan sewaktu-waktu yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara; dan/atau b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta. (2) Selain laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub- Registry juga menyampaikan laporan sewaktu-waktu berupa: a. laporan Setelmen atas transaksi penerbitan Surat Berharga; b. laporan Setelmen atas transaksi buyback/debt switching; dan c. laporan data nasabah, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) sampai dengan ayat (5). Bagian Ketiga Pemantauan Langsung Pasal 172 (1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan langsung. 130 (2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara. (5) Peserta wajib memberikan akses kepada petugas yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling sedikit berupa: a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara; dan/atau b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan operasional BI-SSSS di Peserta. (6) Peserta wajib memberikan penjelasan atau keterangan kepada Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta. (8) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta disampaikan secara tertulis kepada Peserta. (9) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (8). BAB IX TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 173 (1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis, dan/atau penurunan status kepesertaan. 131 (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan: a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a; b. kewajiban penyampaian laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2); c. kewajiban penyampaian koreksi laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (1); d. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3); dan/atau e. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (9). (3) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak menyampaikan laporan berkala dan laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (5) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar. 132 Pasal 174 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (5) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf b apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 170 ayat (2) huruf c; b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan per laporan dengan batas nominal paling banyak sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah); dan (2) Penyelenggara c. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2) huruf c, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan batas nominal paling banyak sebesar Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah). menginformasikan pembebanan pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar melalui surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi. 133 BAB X KORESPONDENSI Pasal 175 (1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan operasional penyelenggaraan BI-SSSS yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor: Telepon : 021-29818888 Faksimile : 021-2311476. 134 (5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta perubahan nomor telepon dan/atau faksimile sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut melalui surat dan/atau sarana lain. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 176 Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan yang berbeda mengenai penyelenggaraan penatausahaan Surat Berharga melalui BI-SSSS bagi Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 177 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/20/DPSP tanggal 23 September 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/31/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali: a. ketentuan mengenai kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam butir III.F.2.g. dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Mei 2018; 135 b. ketentuan mengenai setelmen sebagaimana dimaksud dalam butir IV.D.3.a.2) dan butir IV.D.3.a.3) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018; dan c. ketentuan mengenai penatausahaan surat berharga dalam rangka FLI sebagaimana dimaksud dalam butir IV.H dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2018. Pasal 178 (1) Ketentuan mengenai kewajiban Sub-Registry untuk mengelola dan melaporkan data nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 huruf g khusus informasi berupa prinsip usaha mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2018. (2) Ketentuan mengenai Setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4) sampai dengan ayat (7), Pasal 95 ayat (8), Pasal 98 ayat (8), Pasal 102 ayat (2), dan Pasal 119 ayat (6), serta ketentuan mengenai Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 sampai dengan Pasal 144, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. Pasal 179 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/4/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem pembayaran yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan penyempurnaan kebijakan terkait Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI. Selain itu, dalam rangka meningkatkan aspek pelayanan, tata kelola, dan efektivitas Penatausahaan Surat Berharga milik nasabah oleh Sub-Registry, perlu menyempurnakan pengaturan mengenai pihak yang dapat menjadi Peserta dan Sub-Registry dalam penyelenggaraan BI-SSSS. Sebagai upaya mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi Bank umum maka pengaturan mengenai tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan BI-SSSS dilakukan secara tersentralisasi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaanโ€ adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta. Yang dimaksud dengan โ€œpenyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ€ adalah perubahan data pimpinan dan alamat kantor Peserta. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaan BI- SSSS selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasarโ€ antara lain perubahan participant code dan perubahan Bank Pembayar. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pedoman pengoperasian BI-SSSS berupa buku atau bentuk lainnya. Penyampaian pedoman pengoperasian BI-SSSS dilakukan melalui surat dan/atau sarana lain. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 3 Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œbatas waktu Surat Berharga dapat ditransaksikanโ€ adalah batas waktu Surat Berharga untuk ditransaksikan oleh Peserta sesuai dengan term and condition untuk masing-masing Surat Berharga. Huruf b Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Persetujuan bagi lembaga lain untuk menjadi Peserta didasarkan pada pertimbangan antara lain: 1. ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pengembangan pasar Surat Berharga di Indonesia; 3. 4. pertimbangan teknis. efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau 4 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Infrastruktur BI-SSSS yang digunakan dapat dikelola sendiri atau dikelola oleh pihak lain. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan mengenai operasi moneter dan/atau operasi moneter syariah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. 5 Ayat (3) Huruf a Ketentuan Bank Indonesia antara lain ketentuan mengenai operasi moneter dan/atau operasi moneter syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œpengelolaโ€ adalah pejabat yang bertanggung jawab terhadap operasional kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga, tidak termasuk direksi dan pejabat setingkat direksi. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. 6 Huruf j Surat Berharga yang dicatat dan/atau disimpan merupakan Surat Berharga yang dapat diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal. Huruf k Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Pengalihan aset dan kewajiban dapat terjadi karena penggabungan, peleburan, pemisahan, atau bentuk lain yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari lembaga yang berwenang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpengelolaโ€ adalah pejabat yang bertanggung jawab terhadap operasional kegiatan penatausahaan Surat Berharga dan/atau dalam kegiatan penyimpanan Surat Berharga, tidak termasuk direksi dan pejabat setingkat direksi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. 7 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Security audit yang dilakukan oleh auditor internal dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Pasal 16 Cukup jelas. 8 Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional BI-SSSS calon Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan kesiapan infrastruktur. Pasal 19 Ayat (1) Permohonan tertulis yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 9 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan โ€œidentitas diriโ€ adalah: 1. Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), atau paspor bagi warga negara indonesia (WNI); atau 2. Paspor, Keterangan Izin Tinggal Sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara asing (WNA). Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permohonan perubahan participant code yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. 10 Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permohonan perubahan nama yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Permohonan perubahan kegiatan usaha yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permohonan perubahan lokasi SPP utama, SPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD Peserta yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. 11 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Permohonan perubahan Bank Pembayar yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 12 Ayat (4) Permohonan perubahan kuasa yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Permohonan perubahan penggunaan infrastruktur yang tidak disetujui akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. 13 Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi pada SPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses Peserta yang bersangkutan. Huruf b Peserta dengan status ditangguhkan tidak dapat melakukan kegiatan tertentu di BI-SSSS sesuai dengan pembatasan yang dilakukan oleh Penyelenggara. Peserta dengan status ditangguhkan dapat mengirim atau menerima instruksi, namun terhadap instruksi atas kegiatan yang sedang dibatasi akan diproses sesuai prosedur setelah status Peserta kembali aktif. Huruf c Peserta dengan status dibekukan tidak dapat mengirim dan menerima seluruh instruksi melalui BI-SSSS. Peserta dengan status dibekukan masih dapat mengakses informasi atau data yang telah disinkronisasi dari SCN ke SPP. Huruf d Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang telah dihentikan kepesertaannya dalam BI-SSSS dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 14 Huruf b Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Huruf a Kewajiban dalam penyelenggaran BI-SSSS antara lain biaya penggunaan BI-SSSS, pelunasan fasilitas pendanaan yang diperoleh dari Bank Indonesia, dan transaksi second leg yang belum jatuh waktu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari lembaga yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. 15 Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œKPTโ€ adalah ketentuan yang berlaku sebagai pedoman operasional BI-SSSS di Peserta yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta. 16 Penyusunan KPT mencakup juga prosedur pengamanan penggunaan BI-SSSS di lingkungan internal Peserta. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Pasal 58 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal KPT dibuat dalam bahasa asing, KPT harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 17 Huruf g Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Data yang wajib dipelihara antara lain: 1. data transaksi; 2. aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan/atau 3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara. Huruf b Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses pihak yang tidak berwenang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 63 Huruf a Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional BI-SSSS dilakukan antara lain melalui pelatihan secara berkala. 18 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œaplikasi internalโ€ adalah aplikasi internal yang terhubung langsung dengan SPP. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Menjamin integritas database termasuk data cadangan (back-up) yang tersimpan dalam bentuk compact disc (CD), tape, cartridge, USB flash drive, dan/atau media penyimpanan elektronik lainnya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi SPP. Huruf k Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemilihan jenis dan lokasi SPP cadangan serta JKD cadangan Peserta dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain: 19 1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi BI-SSSS bagi Peserta; dan 2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di Peserta. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan agar BI-SSSS bebas dari segala kemungkinan sumber perusak termasuk pada kemungkinan pemalsuan (fraud), pembobolan data elektronis (hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri sistem dengan data dan/atau instruksi Setelmen serta data lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 70 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 20 Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Penyediaan KPT oleh Peserta antara lain termasuk pemberian akses dan pengamanan penggunaan aplikasi SI BI-SSSS. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Yang dimaksud dengan โ€œnomor tunggal identitas investorโ€ adalah kode tunggal dan khusus yang digunakan nasabah dan/atau pemilik Surat Berharga yang ditatausahakan di BI-SSSS. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. 21 Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œconnected userโ€ adalah user yang ditatausahakan dan diberikan oleh Penyelenggara kepada Peserta untuk melakukan akses ke SCN melalui SPP serta memiliki Digital Certificate untuk mekanisme pengamanan pengiriman dan penerimaan message dari dan ke SCN. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œunconnected userโ€ adalah user yang didaftarkan oleh Peserta pada SPP dan dapat membuat instruksi serta melakukan kegiatan yang bersifat lokal, namun tidak dapat mengirimkan instruksi ke SCN. Ayat (2) Huruf a Administrator user memiliki fungsi untuk mendaftarkan unconnected user dan melakukan pengelolaan user melalui SPP. Huruf b Regular user memiliki fungsi untuk membuat dan mengirim instruksi Setelmen dari SPP ke SCN, namun tidak dapat mendaftarkan unconnected user dan tidak dapat melakukan pengelolaan user melalui SPP. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 22 Huruf b Angka 1 Penggelolaan akses connected user antara lain: a) penetapan hak akses bagi connected user terhadap menu di SPP; dan b) penetapan role dan limit bagi connected user. Angka 2 Pengelolaan pendaftaran dan akses unconnected user antara lain: a) pendaftaran dan penyesuaian unconnected user; b) penetapan security level bagi unconnected user; c) penetapan hak akses bagi unconnected user terhadap menu di SPP; dan d) penetapan role dan limit bagi unconnected user. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Huruf a Digital certificate hard token disimpan di dalam media USB flash drive. Huruf b Digital certificate soft token disimpan di dalam media compact disc (CD) atau media lain yang akan diinstalasi pada server SPP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. 23 Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œresidenโ€ adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia paling singkat 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri. 24 Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œnonresidenโ€ adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya yang tidak berdomisili di Indonesia atau tidak berencana berdomisili di Indonesia. Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Rekening untuk mencatat kepemilikan Surat Berharga dan instrumen keuangan terdiri atas beberapa subrekening. Huruf b Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œdelivery versus paymentโ€ adalah mekanisme Setelmen dengan cara Setelmen Surat Berharga dan Setelmen Dana dilakukan secara bersamaan. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œfree of paymentโ€ adalah mekanisme Setelmen dengan cara Setelmen Surat Berharga tanpa disertai Setelmen Dana. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œdelivery versus deliveryโ€ adalah mekanisme Setelmen yang melibatkan dua kewajiban Setelmen Surat Berharga. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 25 Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 93 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œpemindahbukuan Surat Berhargaโ€ adalah pemindahbukuan Surat Berharga antar-Rekening Surat Berharga atau subrekening Surat Berharga pada satu Peserta. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œjual beli secara putus (outright)โ€ adalah transaksi pembelian dan penjualan Surat Berharga secara putus tanpa kewajiban penjualan dan pembelian kembali. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrepurchase agreement (repo)โ€ yaitu transaksi pinjam meminjam dana dengan jaminan Surat Berharga sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œtransferโ€ adalah Setelmen yang mengakibatkan perpindahan kepemilikan Surat Berharga kepada Peserta lain yang tidak disertai Setelmen Dana. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œpengagunan (pledge)โ€ adalah pemindahan Surat Berharga yang digunakan untuk menjamin dipenuhinya kewajiban salah satu pihak yang bertransaksi tanpa pengalihan hak atau kepemilikan atas Surat Berharga. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œpinjam meminjam Surat Berharga (securities lending and borrowing)โ€ adalah transaksi pinjam meminjam Surat Berharga dengan jaminan Surat Berharga atau dana. 26 Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œrepo sell and buyback (repo SBB)โ€ adalah Setelmen repo dengan pencatatan Surat Berharga berpindah dari Rekening Surat Berharga Peserta peminjam dana kepada Peserta yang meminjamkan dana. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrepo collateralized borrowing (repo CB)โ€ adalah Setelmen repo dengan pencatatan Surat Berharga tetap pada Rekening Surat Berharga Peserta peminjam dana atau pencatatan Surat Berharga pada Rekening Surat Berharga Peserta yang meminjamkan dana, yang dicatatkan pada rekening agunan atas transaksi repo. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. 27 Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan โ€œprinsip matchingโ€ adalah data instruksi Setelmen yang dikirim oleh kedua Peserta harus sesuai. Yang dimaksud dengan โ€œprinsip tanpa matchingโ€ adalah instruksi Setelmen dapat dijalankan tanpa melalui proses pencocokan data instruksi Setelmen yang dikirimkan oleh Peserta lain. Pada prinsip tanpa matching instruksi Setelmen hanya dikirimkan oleh satu pihak yang diberikan kewenangan untuk mengirimkan instruksi Setelmen tanpa matching antara lain Sistem BI-ETP. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a High priority antara lain diperuntukkan bagi instruksi Setelmen atas Transaksi Dengan Bank Indonesia, transaksi Surat Berharga dengan Pemerintah, dan transaksi FLI, yang terdiri atas angka prioritas 1000 sampai dengan 1029. 28 Huruf b Normal priority antara lain diperuntukkan bagi instruksi Setelmen atas transaksi antar-Peserta, yang terdiri atas angka prioritas 1030 sampai dengan 1059. Huruf c Low priority antara lain diperuntukkan bagi instruksi Setelmen atas transaksi antar-Peserta, yang terdiri atas angka prioritas 1060 sampai dengan 1089. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Mekanisme reordering dilakukan dengan mengubah angka prioritas Setelmen dalam satu grup prioritas. Huruf b Mekanisme reprioritization dilakukan dengan mengubah grup prioritas instruksi Setelmen, dari grup normal priority ke grup low priority atau sebaliknya. Huruf c Mekanisme cancellation dilakukan dengan membatalkan instruksi Setelmen yang belum final. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. 29 Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Penetapan parameter pengelolaan Surat Berharga yang dijadikan sebagai jaminan (collateral management) antara lain tipe Surat Berharga, batas waktu Surat Berharga dapat ditransaksikan, dan potongan harga (haircut). Transaksi yang dilakukan dengan Bank Indonesia antara lain transaksi operasi moneter, operasi moneter syariah, dan transaksi FLI. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Ayat (1) Laporan posisi harian Rekening Surat Berharga memuat informasi mutasi selama waktu operasional BI-SSSS yang mempengaruhi perubahan posisi pencatatan pada Rekening Surat Berharga Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. 30 Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Input instruksi Setelmen dapat dilakukan oleh masing-masing Peserta atau salah satu Peserta melakukan input dan Peserta lawan transaksi membuat instruksi Setelmen berdasarkan instruksi Setelmen lawan transaksinya (make pair). Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Yang dimaksud dengan โ€œtransaksi second legโ€ adalah transaksi repo jatuh waktu, transaksi pengagunan (pledge) jatuh waktu, transaksi SLB jatuh waktu, transaksi PUAB jatuh waktu, dan transaksi PUAS jatuh waktu. Yang dimaksud dengan โ€œjangka waktu transaksiโ€ adalah jangka waktu transaksi repo, jangka waktu transaksi pengagunan (pledge), jangka waktu transaksi SLB, jangka waktu transaksi PUAB, dan jangka waktu transaksi PUAS. 31 Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pembatalan second leg (cancel second leg) antara lain dilakukan dengan mekanisme collateral execution. Huruf e Cukup jelas. Pasal 124 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œSetelmen first legโ€ adalah Setelmen atas transaksi repo, transaksi pengagunan (pledge), dan transaksi SLB. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 125 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œjaminan transaksiโ€ adalah jaminan atas transaksi repo, transaksi pengagunan (pledge), dan transaksi SLB. 32 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 126 Yang dimaksud dengan โ€œabsorpsiโ€ adalah pengurangan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter dan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter syariah. Huruf a Setelmen transaksi penerbitan Surat Berharga antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Huruf b Setelmen transaksi penempatan dana antara lain Term Deposit, Deposit Facility, dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS). Huruf c Setelmen transaksi pasar sekunder antara lain reverse repo SBN dan outright jual SBN oleh Bank Indonesia. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Huruf a Setelmen transaksi pelunasan antara lain untuk SBI, SBIS, SDBI, Term Deposit, Deposit Facility, dan FASBIS. Huruf b Setelmen transaksi second leg di pasar sekunder antara lain untuk Reverse Repo SBN. Pasal 129 Cukup jelas. 33 Pasal 130 Ayat (1) Setelmen transaksi operasi moneter dan operasi moneter syariah untuk injeksi likuiditas antara lain Setelmen transaksi repo dengan Bank Indonesia, outright beli SBN oleh Bank Indonesia, lending facility, dan financing facility. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Huruf a Transaksi penerbitan SBN melalui lelang oleh Bank Indonesia antara lain lelang SUN dan lelang SBSN. Huruf b Transaksi penerbitan SBN yang tidak dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain penjualan SBN oleh Pemerintah secara bookbuilding dan private placement. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. 34 Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œrekening FLIโ€ adalah rekening ILF-RSTR. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud โ€œSurat Berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesiaโ€ antara lain SBI, SBIS, dan SDBI. Angka 2 Cukup jelas. 35 Huruf b Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. 36 Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 37 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œshared SDGโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara kepada Peserta dengan menggunakan 1 (satu) aplikasi SDG yang dipasang (install) pada 1 (satu) infrastruktur dan dikonfigurasi untuk dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari 1 (satu) Peserta. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œstandalone SDGโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi SDG yang dipasang (install) pada 1 (satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œstandalone SSTPGโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi SSTPG yang dipasang (install) pada 1 (satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œown SPPโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan menggunakan aplikasi SPP yang diinstalasi pada infrastruktur milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. 38 Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara dapat diperoleh dari: 1. Peserta yang bersangkutan; 2. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara; dan/atau 3. pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jeas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta antara lain laporan gangguan BI-SSSS yang dialami Peserta. Ayat (2) Cukup jelas. 39 Pasal 172 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Data dan/atau dokumen yang diperlukan termasuk namun tidak terbatas pada dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan BI-SSSS. Huruf b Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional BI-SSSS. Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan aplikasi pendukung yang terkait dengan operasional BI-SSSS di Peserta antara lain SPP serta interface dari dan ke sistem internal Peserta. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 173 Ayat (1) Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan BI-SSSS. 40 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/4/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN PENATAUSAHAAN SURAT BERHARGA MELALUI BANK INDONESIA-SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM </reg_title> <set_date> 5 April 2018 </set_date> <effective_date> 5 April 2018 </effective_date> <replaced_reg> '17/31/DPSP|SE-BI/2015', '18/20/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX', 'BAB IV Bagian Keenam Paragraf 3 Pasal 133' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/3/PADG/2018 TENTANG LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna pengelolaan kas pemerintah dan pengejawantahan hubungan keuangan antara Bank Indonesia dengan pemerintah, Bank Indonesia perlu untuk senantiasa menyediakan dan meningkatkan pemberian layanan Sub-Registry kepada pemerintah; b. bahwa untuk lebih meningkatkan kualitas dan efektivitas pemberian layanan Bank Indonesia kepada pemerintah, termasuk dalam rangka pelaksanaan konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia dalam bentuk nontunai berupa surat berharga negara maka dengan tetap mengutamakan penerapan prinsip governance dan pelayanan yang baik (service excellence), Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan penyesuaian ketentuan terkait agar terdapat pedoman yang jelas dalam pelaksanaannya dan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan secara baik dan benar; 2 c. bahwa oleh karena jenis surat berharga yang ditatausahakan pada Sub-Registry Bank Indonesia yaitu surat berharga negara (SBN) baik yang dapat diperdagangkan maupun yang tidak dapat diperdagangkan maka penyediaan layanan Sub-Registry selain diberikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga diberikan kepada pihak lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia dipandang perlu untuk memperoleh layanan Sub-Registry dimaksud; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Layanan Sub-Registry Bank Indonesia; Mengingat : a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4888) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/19/PBI/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 274, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5763); b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia 3 Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh penyelenggara sebagai peserta Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System, untuk melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 2. Sub-Registry Bank Indonesia yang selanjutnya disebut Sub-Registry BI adalah satuan kerja di Bank Indonesia yang melaksanakan fungsi sebagai Sub-Registry surat berharga negara. 3. Nasabah Sub-Registry BI yang selanjutnya disebut Nasabah adalah pihak ekstern yang mendapat persetujuan dari Sub-Registry BI untuk memiliki rekening surat berharga negara di Sub-Registry BI. 4. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 5. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 6. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah SUN dan SBSN. 4 7. Rekening SBN adalah rekening SBN atas nama Nasabah yang ditatausahakan oleh Sub-Registry BI. 8. Rekening Giro adalah rekening pihak ekstern di Bank Indonesia yang merupakan sarana bagi penatausahaan transaksi dari simpanan yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. 9. Penyelenggara Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) dan Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah satuan kerja di Bank Indonesia yang menyelenggarakan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS. 10. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 11. Pimpinan adalah pejabat yang berwenang untuk mewakili pemilik Rekening SBN. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Bank Indonesia memberikan layanan Sub-Registry kepada pihak ekstern. (2) Jenis surat berharga yang ditatausahakan oleh Sub- Registry BI yaitu SBN. (3) Layanan Sub-Registry BI meliputi kegiatan: a. Setelmen; b. pencatatan kepemilikan; c. pembayaran kupon/bunga atau imbalan; dan/atau d. pelunasan pokok/nominal, atas hasil transaksi SBN. 5 Pasal 3 (1) Pihak ekstern yang dapat memperoleh layanan Sub- Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan; b. pemerintah daerah; dan c. lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dapat memperoleh layanan Sub-Registry BI. (2) Layanan Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. diberikan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pengelolaan kas pemerintah; b. diberikan kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk SBN hasil konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum; dan c. diberikan kepada lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang akan dituangkan lebih lanjut dalam perjanjian antara Bank Indonesia dengan lembaga lain. (3) Penetapan lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dapat memperoleh layanan Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; b. memiliki hubungan kerja sama internasional dengan Bank Indonesia secara bilateral atau multilateral; dan/atau c. memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia. 6 (4) Pihak ekstern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi Nasabah setelah memperoleh persetujuan dari Sub-Registry BI. BAB III TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB SUB-REGISTRY BI Pasal 4 Sub-Registry BI memiliki tugas sebagai berikut: a. melakukan pendaftaran single investor identification untuk seluruh Nasabah ke Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI); b. melakukan pemantauan ketersediaan dana dan/atau SBN milik Nasabah sebelum melakukan Setelmen; c. melakukan Setelmen untuk Nasabah pada tanggal yang sama dengan tanggal pelaksanaan Setelmen oleh Penyelenggara; d. melaksanakan pencatatan kepemilikan SBN; e. melakukan pemotongan pajak atas transaksi Nasabah berdasarkan ketentuan perpajakan; f. melakukan pembayaran kupon/bunga atau imbalan; g. melakukan pelunasan pokok/nominal; h. menyediakan informasi atas layanan Sub-Registry BI kepada Nasabah; dan i. menjaga kerahasiaan data Nasabah. Pasal 5 Sub-Registry BI memiliki tanggung jawab sebagai berikut: a. memastikan terlaksananya Setelmen untuk kepentingan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c; b. memastikan kebenaran pencatatan dimaksud dalam Pasal 4 huruf d; dan sebagaimana c. memastikan kebenaran informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h. 7 BAB IV TANGGUNG JAWAB NASABAH Pasal 6 (1) Nasabah Sub-Registry BI memiliki tanggung jawab sebagai berikut: a. memastikan ketersediaan dana dan/atau SBN sehubungan dengan transaksi yang akan dilakukan; b. memastikan kebenaran, keakuratan, dan keabsahan setiap instruksi Setelmen dan penandatanganan surat dan/atau kegiatan yang terkait dengan Rekening SBN di Bank Indonesia; c. memberitahukan secara tertulis kepada Sub-Registry BI apabila terjadi perubahan data yang telah disampaikan sebelumnya; dan d. melakukan verifikasi data disampaikan oleh Sub-Registry BI. (2) Nasabah tetap bertanggung jawab penuh dan tidak dapat menuntut Sub-Registry BI dalam hal terjadi kerugian bagi Nasabah dan/atau pihak ketiga yang timbul dan/atau yang akan timbul akibat: a. keterlambatan atau tidak terlaksananya Setelmen yang diakibatkan karena kelalaian Nasabah, keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat; b. kesalahan data instruksi Setelmen yang dikirimkan oleh Nasabah; dan/atau c. tidak dilaksanakannya instruksi Setelmen berdasarkan permintaan dari berwenang, dan/atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b bagi Nasabah berupa pemerintah daerah dilakukan oleh Kementerian Keuangan. otoritas yang informasi yang 8 BAB V PERSYARATAN DAN TATA CARA MENJADI NASABAH Pasal 7 (1) Pihak yang dapat menjadi Nasabah Sub-Registry BI harus telah memiliki Rekening Giro yang digunakan sebagai rekening dana untuk Setelmen dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Rekening Giro di Bank Indonesia. (2) Persyaratan kepemilikan Rekening Giro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemerintah daerah. Pasal 8 (1) Pihak ekstern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) mengajukan permohonan tertulis untuk menjadi Nasabah kepada Sub-Registry BI. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung. Pasal 9 Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi calon Nasabah berupa Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan c. dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi Surat Keputusan Presiden dan/atau Surat Keputusan Menteri yang telah dilegalisasi dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang berwenang; 2. fotokopi bukti identitas diri Direktur Jenderal Perbendaharaan; 9 3. data identitas Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 4. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 5. surat kuasa dari Direktur Jenderal Perbendaharaan kepada pejabat penerima kuasa dalam hal diperlukan dengan menggunakan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 10 Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi calon Nasabah berupa pemerintah daerah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I; b. ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang menerima kuasa dari kepala daerah; dan c. dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: 1. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan kepala daerah yang telah dilegalisasi dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang berwenang; 2. fotokopi bukti identitas diri kepala daerah; 3. data identitas dan rekening kas umum daerah dengan menggunakan format tercantum dalam Lampiran II; dan 4. surat kuasa dari kepala daerah kepada pejabat penerima kuasa dengan menggunakan format format sebagaimana 10 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dan fotokopi identitas diri pejabat penerima kuasa, dalam hal permohonan tertulis diajukan oleh pejabat penerima kuasa. Pasal 11 (1) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 bagi calon Nasabah berupa lembaga lain dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I; b. ditandatangani oleh Pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Pimpinan; dan c. dilengkapi dengan dokumen pendukung paling sedikit berupa: 1. fotokopi akta pendirian yang telah dilegalisasi dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang berwenang; 2. fotokopi surat keputusan atau surat pengangkatan Pimpinan yang telah dilegalisasi dan/atau dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh pejabat yang berwenang; 3. fotokopi nomor pokok wajib pajak (NPWP) bagi Nasabah yang merupakan wajib pajak di Indonesia atau bussines registration number bagi Nasabah yang merupakan wajib pajak di negara lain; 4. struktur organisasi dan kepengurusan; 5. surat permohonan pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana Lampiran IV; 6. data identitas Nasabah dengan menggunakan contoh sebagaimana Lampiran II; 7. fotokopi bukti identitas diri Pimpinan; dan tercantum dalam tercantum dalam 11 8. surat kuasa dari Pimpinan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan fotokopi identitas diri pejabat penerima kuasa, dalam hal permohonan tertulis diajukan oleh pejabat penerima kuasa. (2) Permohonan tertulis bagi lembaga lain berupa lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain, selain dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, juga dapat dilakukan oleh satuan kerja di Bank Indonesia yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama lembaga keuangan internasional atau bank sentral negara lain tersebut. Pasal 12 Dalam hal menurut pertimbangan Sub-Registry BI diperlukan adanya dokumen tambahan, Sub-Registry BI meminta kepada calon Nasabah untuk melengkapi dokumen tambahan tersebut. Pasal 13 (1) Dalam memproses permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Sub-Registry BI melakukan: a. penelitian pemenuhan persyaratan sebagai Nasabah; dan b. penelitian administratif. (2) Penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap dokumen yang disampaikan oleh calon Nasabah meliputi: a. penelitian kelengkapan dokumen; dan b. penelitian kesesuaian dokumen. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian pemenuhan persyaratan sebagai Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, calon Nasabah tidak memenuhi persyaratan, Sub-Registry BI menolak permohonan calon Nasabah. 12 (4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan Sub-Registry BI secara tertulis paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdapat dokumen yang tidak lengkap, Sub-Registry BI meminta calon Nasabah melengkapi dokumen paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Sub-Registry BI. (6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian kesesuaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdapat dokumen yang tidak sesuai, Sub-Registry BI meminta calon Nasabah memperbaiki dokumen paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan dari Sub-Registry BI. (7) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) calon Nasabah belum melengkapi dan/atau belum menyampaikan dokumen yang telah diperbaiki maka calon Nasabah dinyatakan telah membatalkan permohonan. Pasal 14 (1) Berdasarkan hasil penelitian pemenuhan persyaratan dan penelitian administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Sub-Registry BI memutuskan untuk: a. menyetujui; atau b. menolak, permohonan yang diajukan. (2) Sub-Registry BI menyampaikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis dan dapat didahului dengan faksimile atau sarana elektronik lainnya kepada: a. Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf 13 a dan huruf b, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap; 2. dalam hal disetujui, surat Sub-Registry BI paling sedikit memuat: a) persetujuan atas permohonan menjadi Nasabah; b) nama dan nomor Rekening SBN; dan c) nomor single investor identification. b. lembaga lain yang menurut Sub-Registry BI dapat menjadi nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak dokumen diterima secara lengkap; 2. waktu penyampaian sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dapat diperpanjang selama 15 (lima belas) hari kerja oleh Sub-Registry BI, dalam hal terdapat pertimbangan untuk penerapan prinsip kehati-hatian; dan 3. dalam hal disetujui, surat Sub-Registry BI paling sedikit memuat: a) persetujuan atas permohonan menjadi Nasabah; b) nama dan nomor Rekening SBN; c) nomor single investor identification; dan d) jenis layanan yang diberikan. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 disertai dengan naskah perjanjian antara Sub-Registry BI dengan Nasabah dan/atau kartu specimen tanda tangan dalam hal nasabah berkedudukan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Naskah perjanjian dan kartu spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditandatangani oleh Nasabah dan disampaikan kepada Sub-Registry BI paling 14 lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan Sub-Registry BI. BAB VI SPESIMEN TANDA TANGAN Pasal 15 Tata cara pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan pada kartu spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Sub-Registry BI; b. masing-masing kartu spesimen tanda tangan dibubuhi 3 (tiga) tanda tangan dan dibuat dalam rangkap 2 (dua); c. dalam hal spesimen tidak dibuat di hadapan pejabat Sub- Registry BI sebagaimana dimaksud pada huruf a maka spesimen tanda tangan tersebut disampaikan kepada Sub-Registry BI melalui surat; d. spesimen tanda tangan Nasabah berlaku efektif 2 (dua) hari kerja setelah diterima oleh Sub-Registry BI; dan e. spesimen tanda tangan Nasabah dapat berlaku efektif lebih awal sepanjang terdapat permohonan dengan mengacu pada format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 16 (1) Dalam hal terdapat perubahan spesimen tanda tangan, Nasabah harus menyampaikan informasi tertulis disertai alasan yang mendasarinya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk perubahan berupa penambahan pejabat yang mewakili, menggunakan contoh permohonan pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; b. untuk perubahan berupa penggantian pejabat yang mewakili, menggunakan contoh surat permohonan 15 pencabutan spesimen tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dan contoh permohonan pembuatan spesimen tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; dan c. untuk perubahan berupa pencabutan pejabat yang mewakili, menggunakan contoh surat permohonan pencabutan spesimen tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII. (2) Perubahan spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku efektif: a. 2 (dua) hari kerja setelah penandatanganan spesimen, untuk perubahan berupa penambahan pejabat yang mewakili; b. 2 (dua) hari kerja setelah penandatanganan spesimen, untuk perubahan berupa penggantian pejabat yang mewakili; dan c. sejak surat pemberitahuan diterima oleh Sub- Registry BI, untuk perubahan berupa pencabutan pejabat yang mewakili. Pasal 17 (1) Dalam hal terdapat perbedaan: a. penulisan nama pejabat yang mewakili Nasabah antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan yang tercantum dalam dokumen yang disampaikan kepada Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, atau Pasal 11; dan/atau b. tanda tangan pejabat yang mewakili Nasabah antara yang tercantum dalam bukti identitas dengan yang tercantum dalam kartu spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, pejabat yang mewakili Nasabah harus membuat pernyataan tertulis dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII dan 16 Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diketahui oleh: a. pemberi kuasa, b. 1 (satu) orang Pimpinan lainnya dalam hal yang mewakili Nasabah adalah Pimpinan lembaga, atau c. atasan dari pejabat yang mewakili Nasabah. Pasal 18 Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang mewakili dan Nasabah tidak memberitahukan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka spesimen tanda tangan yang ditatausahakan di Sub-Registry BI masih berlaku. BAB VII EVALUASI KEPEMILIKAN REKENING SBN Pasal 19 Sub-Registry BI berwenang melakukan evaluasi atas rekening SBN milik lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c. BAB VIII PERUBAHAN DAN PENUTUPAN REKENING SBN Pasal 20 (1) Rekening SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dapat dilakukan perubahan oleh Sub-Registry BI. (2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perubahan: a. nomor rekening; dan/atau b. nama rekening. (3) Perubahan nomor rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a hanya dapat dilakukan atas inisiatif Sub- Registry BI. 17 (4) Perubahan nama rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan dengan persetujuan Sub-Registry BI berdasarkan permohonan tertulis dari Nasabah. (5) Sub-Registry BI menyampaikan secara tertulis perubahan rekening SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Nasabah. Pasal 21 (1) Penutupan Rekening SBN dapat dilakukan berdasarkan: a. permintaan Nasabah; atau b. pertimbangan Sub-Registry BI. (2) Penutupan Rekening SBN berdasarkan pertimbangan Sub-Registry BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dilakukan terhadap Rekening SBN milik lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c. (3) Penutupan Rekening SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah saldo Rekening SBN nihil. Pasal 22 Penutupan Rekening SBN yang didasarkan pada permintaan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Nasabah harus menyampaikan permintaan penutupan Rekening SBN secara tertulis kepada Sub-Registry BI dan permintaan pemindahbukuan untuk penihilan saldo Rekening SBN dalam hal masih terdapat saldo; b. permintaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan penutupan Rekening SBN; c. Sub-Registry BI melaksanakan permintaan pemindahbukuan saldo sebagaimana dimaksud pada huruf a ke rekening yang ditunjuk oleh Nasabah; d. jangka waktu dan mekanisme penutupan Rekening SBN yang tidak dapat diperdagangkan dilakukan sesuai 18 dengan perjanjian layanan Sub-Registry antara Sub- Registry BI dan Nasabah; e. Sub-Registry BI menyampaikan pemberitahuan penutupan Rekening SBN secara tertulis kepada Nasabah paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pelaksanaan penutupan Rekening SBN. Pasal 23 (1) Penutupan Rekening SBN karena pertimbangan Sub- Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan: a. permintaan tertulis dan/atau keputusan dari otoritas yang berwenang, dan/atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyebabkan penutupan Rekening SBN; b. hasil evaluasi Sub-Registry BI atas kesesuaian kepemilikan Rekening SBN dengan kriteria penetapan lembaga lain sebagai Nasabah; dan/atau c. pertimbangan lainnya. (2) Penutupan Rekening SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Sub-Registry BI menyampaikan surat: 1. pemberitahuan rencana penutupan Rekening SBN; dan 2. permintaan agar Nasabah segera melakukan penihilan saldo pada Rekening SBN dimaksud paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pemberitahuan, dalam hal masih terdapat saldo pada Rekening SBN; b. dalam hal Nasabah tidak melakukan penihilan saldo Rekening SBN dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2, Sub-Registry BI: 1. memindahkan seluruh saldo tersebut ke rekening Sub-Registry milik Nasabah pada pihak lain; atau 2. menyetorkan seluruh saldo Rekening SBN sebagai penerimaan negara, 19 sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian antara Sub-Registry BI dan Nasabah; dan c. Sub-Registry BI menyampaikan pemberitahuan penutupan Rekening SBN secara tertulis paling lama 2 (dua) hari kerja setelah penutupan Rekening SBN. BAB IX MEKANISME PELAKSANAAN SETELMEN Pasal 24 (1) Sub-Registry BI melaksanakan Setelmen berdasarkan instruksi Setelmen tertulis dari Nasabah. (2) Untuk Nasabah berupa pemerintah daerah, Setelmen dilaksanakan berdasarkan instruksi Setelmen yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. (3) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan internal yang berlaku bagi Nasabah dan memiliki spesimen tanda tangan pada Sub-Registry BI. (4) Instruksi Setelmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi: a. seri surat berharga yang dibeli atau dijual; b. harga bersih (clean price) per unit; c. accrued interest; d. yield; e. jumlah total setelmen transaksi: 1. nominal surat berharga; dan 2. dana (cash proceed); f. data counterparty: 1. securities settlement agent berupa bank atau Sub-Registry peserta transaksi BI-SSSS; dan g. 2. payment agent; tanggal transaksi; dan h. tanggal Setelmen. (5) Untuk persiapan pelaksanaan Setelmen, instruksi Setelmen dapat disampaikan terlebih dahulu kepada Sub- 20 Registry BI melalui surat elektronik atau sarana lainnya yang disetujui oleh Sub-Registry BI. BAB X BIAYA Pasal 25 Bank Indonesia tidak membebankan biaya atas layanan jasa Sub-Registry kepada Nasabah. BAB XI PENYEDIAAN INFORMASI Pasal 26 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h, Sub-Registry BI menyediakan informasi kepada Nasabah secara: a. rutin bulanan; b. rutin untuk setiap Setelmen; dan/atau c. insidental. Pasal 27 (1) Informasi rutin bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a mencakup: a. kepemilikan surat berharga, b. penerimaan kupon/bunga atau imbalan; dan c. pemotongan pajak. (2) Sub-Registry BI menyediakan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan. Pasal 28 (1) Informasi rutin untuk setiap Setelmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b yaitu informasi atas setiap hasil Setelmen surat berharga. 21 (2) Sub-Registry BI menyediakan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan Setelmen. Pasal 29 (1) Informasi insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c yaitu informasi yang disediakan Sub-Registry BI berdasarkan permintaan Nasabah. (2) Permintaan Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada Sub-Registry BI disertai alasan permintaan. Pasal 30 (1) Informasi yang disediakan oleh Sub-Registry BI kepada Nasabah dinyatakan telah sesuai dan diterima kebenarannya oleh Nasabah apabila dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja, Nasabah tidak menyampaikan koreksi kepada Sub-Registry BI. (2) Dalam hal terdapat perbedaan antara informasi yang disediakan oleh Sub-Registry BI dengan pencatatan Nasabah maka Nasabah dapat menyampaikan koreksi secara tertulis kepada Sub-Registry BI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyampaian koreksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai dengan bukti yang cukup. BAB XII KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Pasal 31 (1) Dalam hal terjadi keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran Setelmen pada Sub-Registry BI, 22 penanganannya mengacu pada: a. ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga dan setelmen dana seketika; dan/atau b. ketentuan Bank Indonesia lainnya. (2) Sub-Registry BI menginformasikan terjadinya keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat kepada: a. Nasabah; atau b. khusus bagi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, pemberitahuan tersebut juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dan/atau Direktorat Jenderal Perbendaharaan, melalui media telepon, faksimile, dan/atau sarana elektronik lainnya. BAB XIII KORESPONDENSI Pasal 32 (1) Kegiatan korespondensi terkait dengan layanan Sub- Registry BI sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini ditujukan kepada: Departemen Operasional Tresuri dan Pinjaman Bank Indonesia Jalan M.H. Thamrin No.2, Jakarta 10350. Faksimile 021-2310982 Surat elektronik: [email protected] (2) Dalam hal terjadi perubahan alamat korespondensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sub-Registry BI memberitahukan kepada Nasabah secara tertulis. 23 BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 33 Dalam hal terdapat perubahan atas data yang telah disampaikan pada saat permohonan menjadi Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, namun Nasabah tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Sub-Registry BI maka data yang berlaku adalah yang ditatausahakan pada Sub-Registry BI. Pasal 34 Sepanjang penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 belum dapat diakses oleh Nasabah secara online, Sub-Registry BI menyampaikan informasi tersebut kepada Nasabah melalui surat dan/atau sarana lainnya. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/4/DPTP tanggal 28 Maret 2016 tentang Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai berupa Surat Berharga Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 36 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 24 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/3/PADG/2018 TENTANG LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA I. UMUM Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/13/PBI/2008 tentang Lelang dan Penatausahaan Surat Berharga Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/19/PBI/2015, dan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017, Bank Indonesia telah ditetapkan sebagai salah satu Sub-Registry yang melakukan fungsi penatausahaan bagi kepentingan nasabah. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai Sub-Registry, telah diterbitkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/4/DPTP tanggal 28 Maret 2016 perihal Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam bentuk Nontunai berupa Surat Berharga Negara, yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan pemberian layanan Sub-Registry kepada pemerintah daerah sehubungan dengan konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dalam bentuk nontunai berupa Surat Berharga Negara. Bahwa pelaksanaan fungsi Sub-Registry oleh Bank Indonesia dalam perkembangannya tidak hanya dibutuhkan dalam rangka konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dalam bentuk nontunai berupa Surat Berharga Negara, akan tetapi juga dibutuhkan 2 dalam rangka pengelolaan kas pemerintah. Mengingat adanya perkembangan kebutuhan dimaksud diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai pemberian layanan Sub-Registry Bank Indonesia. Penyesuaian ketentuan yang mengatur mengenai pemberian layanan Sub-Registry Bank Indonesia juga perlu dilakukan dengan memperluas pemberian layanan Sub-Registry Bank Indonesia kepada lembaga lain selain Kementerian Keuangan dan pemerintah daerah, yang memiliki keterkaitan dengan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, memiliki hubungan kerja sama internasional dengan Bank Indonesia baik secara bilateral maupun multilateral, dan/atau memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesia. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œpemerintah daerahโ€ adalah pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah yang meliputi pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Huruf c Lembaga lain yang menurut Bank Indonesia dapat memperoleh layanan Sub-Registry BI antara lain bank sentral negara lain dan lembaga pemerintah non kementerian. 3 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b SBN hasil konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai konversi penyaluran dana bagi hasil dan/atau dana alokasi umum dalam bentuk nontunai. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmemiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Bank Indonesiaโ€ antara lain pihak tersebut memiliki keterkaitan dengan kebijakan pemerintah dan/atau kebijakan Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Bagi calon Nasabah yang telah memiliki Rekening Giro dapat 4 menggunakan Rekening Giro yang sudah ada, selama disetujui oleh Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Bukti Identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS) dan/atau Paspor. 5 Angka 8 Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Persetujuan atau penolakan bagi pemerintah daerah disampaikan kepada: 1. pemerintah daerah selaku Nasabah dengan tembusan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, dalam hal permohonan diajukan oleh pemerintah daerah; atau 2. Kementerian Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan tembusan kepada pemerintah daerah selaku Nasabah dalam hal permohonan yang diajukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Yang dimaksud dengan โ€œpenerapan prinsip kehati- hatianโ€ antara lain perlunya pemastian oleh Sub- Registry BI mengenai profil dan eksistensi calon nasabah sehubungan dengan penerapan prinsip anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, termasuk kemungkinan adanya pengenaan sanksi dari 6 Office of Foreign Asset Control (OFAC). Angka 3 Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Evaluasi terhadap pihak lain atas kepemilikan Rekening SBN dilakukan antara lain dengan meminta data dan/atau informasi kepada Nasabah untuk melihat kesesuaian kepemilikan Rekening SBN dengan pertimbangan Bank Indonesia. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. 7 Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Yang dimaksud dengan โ€œbiaya atas layanan jasaโ€ antara lain biaya administrasi dan biaya transaksi namun tidak termasuk beban pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 Informasi kepada Nasabah memuat antara lain nama Nasabah, nomor Rekening SBN, dan nomor single investor identification. Pasal 27 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Informasi pemotongan pajak antara lain berupa bukti pemotongan pajak oleh Sub-Registry BI yang dapat dilengkapi dengan daftar rincian pemotongan pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. 8 Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/3/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> LAYANAN SUB-REGISTRY BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 29 Maret 2018 </set_date> <effective_date> 29 Maret 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/4/DPTP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/19/PBI/2015', '17/18/PBI/2015', '19/14/PBI/2017', '10/13/PBI/2008' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/36/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa Sukuk Bank Indonesia ditetapkan sebagai surat berharga yang dapat digunakan dalam operasi moneter; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6189) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 18 dan angka 19 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 18A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional 3 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau 4 pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia. 13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia. 14. Peserta Operasi Moneter adalah peserta OMK dan peserta OMS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 15. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 16. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 17. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5 18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 18A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik Bank Indonesia. 19. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 20. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 21. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 22. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 23. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 24. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 6 25. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 26. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 27. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 28. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disingkat ORI adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 29. SBSN Ritel yang selanjutnya disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 30. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 31. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 7 32. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah dengan agunan SBIS. 33. Transaksi Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada BUK untuk OMK. 34. Transaksi Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada BUS dan/atau UUS untuk OMS. 35. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 36. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 37. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI-RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 38. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai 8 penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 39. Sistem Bank Indonesiaโ€“Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 40. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 41. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 42. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas: a. SBI; b. SDBI; c. SukBI; d. SBN, yang meliputi: 1. SUN, meliputi SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan 2. SBSN, yang meliputi SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan 9 e. surat berharga dalam valuta asing jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond). 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) SBI, SDBI, dan SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a sampai dengan huruf c dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility. (2) SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, dan Transaksi Lending Facility. (3) Surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e hanya dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional. 4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut: a. untuk SBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; b. untuk SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; c. untuk SukBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg 10 Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; d. untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; dan e. untuk surat berharga dalam valuta asing, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional. 5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 terdiri atas: a. SBIS; b. SukBI; c. SBSN, yang meliputi: 1. SBSN Jangka Pendek; dan 2. SBSN Jangka Panjang, termasuk SBSN Ritel. 6. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A (1) SBIS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dapat digunakan dalam Transaksi Financing Facility. (2) SukBI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing Facility. (3) SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dapat digunakan dalam Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, dan Transaksi Financing Facility. 11 7. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut: a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Financing Facility; b. untuk SukBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing Facility; dan c. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing Facility. 8. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Penetapan harga surat berharga oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur sebagai berikut: a. harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SBI, dan/atau variabel lainnya; b. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SDBI, dan/atau variabel lainnya; 12 d. harga SukBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga saat penerbitan, tingkat imbalan, jangka waktu berjalan, dan/atau variabel lainnya; e. harga SBN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN dan/atau variabel lainnya; dan f. harga surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis, seri surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond), dan/atau variabel lainnya. 9. Ketentuan Pasal 13 ayat (2) diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga surat berharga. (2) Haircut terhadap surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen); b. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen); c. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen); d. untuk SukBI sebesar 0% (nol persen); e. untuk SBN yang terdiri atas: 1. SUN sebesar 5% (lima persen); 2. SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen); dan f. untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond), besar haircut diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi. 13 10. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) diubah sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di- reverse repo-kan. (2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: a. SBI, SDBI, SukBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek Nilai Setelmen First Leg = Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan ร— ( Harga surat berharga โˆ’Haircut) b. SBIS Nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan. c. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka Panjang Nilai Setelmen First Leg = [ Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan x ( Harga surat berharga - Haircut)] + Accrued Interest/ Imbalan Keterangan: Harga surat berharga : harga surat berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI- SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, 14 atau Transaksi Financing Facility Haircut : haircut sebagaimana diumumkan dalam Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Accrued interest atau Imbalan : - hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen first leg - perhitungan hak atas imbalan SBSN didasarkan pada jumlah hari yang sebenarnya (actual per actual) d. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka Panjang dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg Nilai setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” = [ Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan x( Harga surat berharga โˆ’ Haircut)] โˆ’ Accrued Interest/ Imbalan 15 Keterangan: Harga surat berharga : harga surat berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Haircut : haircut sebagaimana diumumkan pada Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo Repo Konvensional, Transaksi Reverse OPT OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Accrued interest atau Imbalan : hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal setelmen first leg 16 (3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: a. SBI, SDBI, SukBI, SBN Nilai Setelmen Second Leg a Bunga/ Nilai Margin Transaksi Repo/ Transaksi Reverse Repo/ = Transaksi Lending Facility/ Transaksi Financing Facility Nilai Setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” ร— Repo rate/ Reverse Repo rate/ Margin Repo/ Margin Reverse Repo ร— Jangka waktu 360 Nilai = Setelmen First Leg + Bunga/Nilai Margin Transaksi Repo/Reverse Repo/ Lending Facility/Financing Facility Keterangan: Jangka waktu : jangka waktu Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility b. SBIS Nilai setelmen second leg Nilai = setelmen first leg + Biaya Transaksi Repo SBIS Biaya Transaksi Repo SBIS Nilai = setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” x Tingkat Biaya Repo SBIS ร— Jangka waktu 360 Keterangan: Biaya Transaksi Repo SBIS : kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia pada Transaksi Repo SBIS karena peserta OMS tidak menepati 17 jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS 11. Ketentuan Bab IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedelapan dan di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedelapan Pelunasan SukBI Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Pasal 24A (1) Pelunasan SukBI sebelum jatuh waktu (Early Redemption) dilakukan dalam hal terjadi: a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Repo OPT Syariah jatuh waktu; b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility, dan Transaksi Financing Facility jatuh waktu; atau c. transaksi antara Bank dengan pihak selain Bank, yang menggunakan SukBI. (2) Nilai pelunasan SukBI sebelum jatuh waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai nominal SukBI yang di-early redeem dan imbalan SukBI yang menjadi hak Bank pemilik SukBI. (3) Imbalan SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sampai dengan tanggal Early Redemption SukBI. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 18 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/36/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah dan Sukuk Bank Indonesia ditetapkan sebagai surat berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/8/PADG/2018 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 8 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 8A Cukup jelas. Angka 7 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 12 Cukup jelas. 3 Angka 9 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 24A Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/36/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 20 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/8/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/32/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA- ELECTRONIC TRADING PLATFORM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan penyelenggaraan transaksi yang lancar, aman, efisien, dan andal, perlu menyempurnakan ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi melalui sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform; b. bahwa untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam pelayanan perizinan terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai kepesertaan dalam penyelenggaraan transaksi melalui sistem Bank Indonesia- Electronic Trading Platform; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Penyelenggaraan Transaksi Melalui Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 273, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5762) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/11/PBI/2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6256); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-ELECTRONIC TRADING PLATFORM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transaksi yang dilakukan secara elektronik. 2. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana penatausahaan transaksi dan penatausahaan surat berharga yang dilakukan secara elektronik. 3. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah infrastruktur yang digunakan sebagai sarana transfer dana elektronik yang setelmennya dilakukan seketika per transaksi secara individual. 3 4. Transaksi adalah transaksi dengan Bank Indonesia dan transaksi pasar keuangan. 5. Transaksi dengan Bank Indonesia adalah transaksi yang dilakukan oleh peserta dengan Bank Indonesia untuk kegiatan operasi moneter, transaksi surat berharga negara untuk dan atas nama pemerintah, dan/atau transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 6. Transaksi Pasar Keuangan adalah transaksi surat berharga dan transaksi pinjam meminjam antarpeserta secara konvensional atau yang dipersamakan berdasarkan prinsip syariah dalam transaksi pasar uang dan/atau transaksi surat berharga di pasar sekunder. 7. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 8. Penatausahaan adalah kegiatan yang mencakup pencatatan kepemilikan, kliring dan setelmen, serta pembayaran kupon/bunga atau imbalan dan pelunasan pokok/nominal atas hasil transaksi surat berharga dan hasil transaksi tanpa surat berharga. 9. Surat Berharga adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah, dan/atau lembaga lain, yang ditatausahakan pada BI-SSSS. 10. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 11. Penyelenggara Sistem BI-ETP yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia dalam kedudukan sebagai pihak yang menyelenggarakan Sistem BI-ETP. 12. Peserta Sistem BI-ETP yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai peserta dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. 4 13. Sub-Registry adalah Bank Indonesia dan pihak yang memenuhi persyaratan dan disetujui oleh Penyelenggara sebagai Peserta BI-SSSS, untuk melakukan fungsi Penatausahaan bagi kepentingan nasabah. 14. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank umum syariah termasuk unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 15. Setelmen adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana, rekening surat berharga, dan/atau rekening lainnya di Bank Indonesia. 16. Setelmen Surat Berharga adalah kegiatan pendebitan dan pengkreditan rekening surat berharga untuk Penatausahaan. 17. Setelmen Dana adalah proses penyelesaian akhir transaksi keuangan melalui pendebitan dan pengkreditan rekening setelmen dana. 18. Rekening Surat Berharga adalah rekening Peserta dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan Setelmen atas transaksi Surat Berharga, Transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau Transaksi Pasar Keuangan. 19. Rekening Setelmen Dana adalah rekening Peserta pada Sistem BI-RTGS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pelaksanaan Setelmen Dana. 20. Bank Pembayar adalah peserta Sistem BI-RTGS yang ditunjuk sebagai pihak untuk melakukan pembayaran dan penerimaan dana oleh Peserta lain dan/atau peserta BI-SSSS. 21. Keadaan Tidak Normal adalah situasi atau kondisi yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, aplikasi maupun sarana pendukung Sistem BI-ETP yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. 5 22. Keadaan Darurat adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kekuasaan Penyelenggara dan/atau Peserta yang menyebabkan kegiatan operasional Sistem BI-ETP tidak dapat diselenggarakan yang diakibatkan oleh kebakaran, kerusuhan massa, sabotase, serta bencana alam seperti gempa bumi dan banjir, dan/atau sebab lain, yang dinyatakan oleh pihak penguasa atau pejabat yang berwenang setempat, termasuk Bank Indonesia. 23. Fasilitas Guest Bank adalah fasilitas Sistem BI-ETP di lokasi Penyelenggara dan kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang disediakan oleh Penyelenggara untuk Peserta sebagai cadangan dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat yang menyebabkan Peserta tidak dapat menggunakan Sistem BI-ETP di lokasi Peserta. 24. Sistem BI-ETP Central Node yang selanjutnya disebut ECN adalah sistem di Penyelenggara yang menyediakan fungsi untuk pelaksanaan kegiatan pencatatan Transaksi dan fungsi pendukung lain untuk penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. 25. Sistem BI-ETP Participant Platform yang selanjutnya disebut EPP adalah Sistem BI-ETP di Peserta yang terhubung dengan ECN, yang digunakan Peserta untuk melakukan kegiatan terkait Transaksi dan fungsi pendukung lainnya. 26. Digital Certificate Hard Token adalah media penyimpanan berupa universal serial bus (USB) flash drive yang berisi sertifikat (digital certificate) dalam bentuk file terproteksi yang memuat identitas pemilik sertifikat, kunci enkripsi untuk melakukan verifikasi tanda tangan digital pemilik, dan periode validitas sertifikat, yang dihasilkan oleh infrastruktur kunci publik (public key infrastructure) Bank Indonesia. 27. Position Account adalah rekening yang digunakan dalam melakukan Transaksi yang terdiri atas Rekening Surat Berharga di BI-SSSS dan Rekening Setelmen Dana di Sistem BI-RTGS. 6 28. Portfolio adalah kumpulan Position Account yang digunakan dalam melakukan Transaksi. 29. Broker Bidding Limit adalah batas paling tinggi nominal penawaran yang diberikan oleh pihak yang diwakili kepada Peserta untuk dapat melakukan penawaran untuk dan atas nama pihak yang diwakili. BAB II PENYELENGGARA Pasal 2 (1) Ruang lingkup penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP meliputi: a. kepesertaan; b. operasional; dan c. kepatuhan Peserta. (2) Penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank yang baru didirikan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; b. permohonan untuk menjadi Peserta, perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, dan perubahan data kepesertaan Sistem BI-ETP, sebagai dampak dari adanya langkah strategis dan mendasar, serta penyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesia yang diajukan oleh Bank, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pelayanan perizinan terpadu terkait hubungan operasional bank umum dengan Bank Indonesia, disampaikan kepada 7 satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran; c. permohonan untuk menjadi Peserta yang diajukan oleh Bank selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; d. permohonan perubahan data kepesertaan Sistem BI- ETP selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasar sebagaimana dimaksud dalam huruf b yang diajukan oleh Bank disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran; dan e. permohonan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup dan perubahan data kepesertaan Sistem BI- ETP yang diajukan oleh pihak selain Bank, disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. (3) Penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran. Pasal 3 Dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP, Penyelenggara memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan dan prosedur penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; b. menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP; d. melakukan upaya untuk menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; e. melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh Penyelenggara; 8 f. menetapkan jenis dan besarnya biaya dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; dan g. mengenakan sanksi administratif. Pasal 4 Sarana dan prasarana penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b paling sedikit mencakup: a. perangkat keras di Penyelenggara dan aplikasi ECN; b. satu jaringan komunikasi data (JKD) yang menghubungkan EPP utama di Peserta dengan ECN di Penyelenggara; c. d. aplikasi EPP dan perubahannya serta pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP; Fasilitas Guest Bank; dan e. sarana dan prasarana pendukung lainnya, termasuk Digital Certificate Hard Token. Pasal 5 (1) Penyelenggara menjamin keandalan, ketersediaan, dan keamanan penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI- ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d dengan kegiatan paling sedikit: a. melakukan pengelolaan dan pengoperasian ECN; b. menyediakan layanan help desk; c. memberikan layanan yang berkaitan dengan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP; d. menetapkan waktu operasional penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; e. menerapkan standar layanan minimum dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; f. menetapkan dan memberlakukan ketentuan dan prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; g. memberikan pelatihan kepada calon Peserta dan pelatihan secara berkala kepada Peserta; dan h. menetapkan status kepesertaan. 9 (2) Layanan help desk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditujukan untuk menangani permasalahan yang dihadapi Peserta terkait dengan: a. operasional Sistem BI-ETP; dan/atau b. JKD Sistem BI-ETP. BAB III KEPESERTAAN Bagian Kesatu Ketentuan Umum Kepesertaan Pasal 6 (1) Pihak yang dapat menjadi Peserta yaitu: a. Bank Indonesia; b. Kementerian Keuangan; c. Lembaga Penjamin Simpanan; d. Bank; e. perusahaan efek; f. perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing; dan g. lembaga lain yang disetujui oleh Penyelenggara. (2) Berdasarkan fungsi Peserta di Sistem BI-ETP, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibedakan menjadi: a. penerbit Surat Berharga; b. peserta Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; c. lembaga perantara sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; d. peserta transaksi SBN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lelang surat berharga negara di pasar perdana; e. peserta Transaksi Pasar Keuangan; dan/atau 10 f. fungsi lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (3) Berdasarkan kepemilikan rekening untuk Setelmen Surat Berharga, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibedakan menjadi: a. Peserta yang memiliki Rekening Surat Berharga, yang terdiri atas: 1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama diri sendiri dengan menggunakan Rekening Surat Berharga miliknya sendiri; dan 2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain yang diwakili dengan menggunakan Rekening Surat Berharga Sub- Registry dan/atau Rekening Surat Berharga milik pihak lain yang diwakili; dan b. Peserta yang tidak memiliki Rekening Surat Berharga, yang terdiri atas: 1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama diri sendiri dengan menggunakan Rekening Surat Berharga Sub-Registry; dan 2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain yang diwakili dengan menggunakan Rekening Surat Berharga Sub- Registry dan/atau Rekening Surat Berharga milik pihak lain yang diwakili. (4) Berdasarkan kepemilikan rekening untuk Setelmen Dana, pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibedakan menjadi: a. Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana, yang terdiri atas: 1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama diri sendiri dengan menggunakan Rekening Setelmen Dana miliknya sendiri untuk pelaksanaan Setelmen Dana dan pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Transaksi; dan 2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain yang diwakili dengan menggunakan: 11 a) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar dan/atau Rekening Setelmen Dana milik pihak lain yang diwakili untuk pelaksanaan Setelmen Dana; dan b) Rekening Setelmen Dana miliknya sendiri untuk pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Transaksi; dan b. Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana, yang terdiri atas: 1. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama diri sendiri dengan menggunakan Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen Dana dan pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Transaksi; dan 2. Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain yang diwakili, dengan menggunakan: a) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar dan/atau Rekening Setelmen Dana milik pihak lain yang diwakili untuk pelaksanaan Setelmen Dana; dan b) Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar untuk pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan Transaksi. Bagian Kedua Persyaratan Menjadi Peserta Pasal 7 (1) Calon Peserta harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki izin usaha yang masih berlaku dari lembaga yang berwenang; b. tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; c. telah menjadi peserta dalam Sistem BI-RTGS dan BI- SSSS, untuk calon Peserta berupa Bank; 12 d. pimpinan calon Peserta telah memperoleh: 1. penunjukan dari lembaga terkait; atau 2. persetujuan atau dinyatakan lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; e. menunjuk Sub-Registry dan/atau peserta BI-SSSS lain untuk pelaksanaan Setelmen Surat Berharga terkait dengan kegiatan Transaksi, untuk calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b; f. menunjuk Bank Pembayar untuk pelaksanaan Setelmen Dana dan pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan penggunaan Sistem BI-ETP untuk calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf b; dan g. menggunakan infrastruktur Sistem BI-ETP sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Infrastruktur Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dapat dikelola sendiri atau dikelola oleh pihak lain. Pasal 8 (1) Calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur dengan pihak lain yang mengelola infrastruktur Sistem BI-ETP; dan b. memiliki surat pernyataan dari pihak lain atas penggunaan infrastrukturnya oleh calon Peserta yang bersangkutan. (2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat: 13 a. pengaturan hak dan kewajiban antara calon Peserta dengan pihak lain; b. tanggung jawab atas kerahasiaan dan/atau penyalahgunaan data dan informasi; c. mekanisme pelaksanaan pengiriman instruksi baik dalam keadaan normal maupun pada saat terjadi Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat di lokasi calon Peserta atau pihak lain; d. pengaturan penyelesaian perselisihan antara calon Peserta dengan pihak lain; e. biaya penggunaan infrastruktur yang dikenakan kepada calon Peserta; f. pemberian akses kepada Penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap: 1. sarana fisik yang terkait dengan calon Peserta; 2. aplikasi pendukung pihak lain yang terkait Sistem BI-ETP dalam hal memiliki aplikasi pendukung; dan 3. kegiatan operasional pihak lain yang terkait dengan calon Peserta; dan g. pernyataan bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bank Indonesia. (3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah dan menggunakan infrastruktur milik Bank pemilik unit usaha syariah yang menjadi Peserta maka substansi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk kebijakan dan prosedur tertulis internal Bank pemilik unit usaha syariah. Pasal 9 Dalam hal calon Peserta merupakan Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sekaligus melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk unit usaha syariah maka kepesertaan dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus terpisah dari kepesertaan untuk kegiatan usaha secara konvensional. 14 Bagian Ketiga Prosedur Menjadi Peserta Pasal 10 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan kepesertaan dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 2 (dua) tahapan sebagai berikut: a. persetujuan prinsip; dan b. persetujuan operasional. Pasal 11 (1) Calon Peserta mengajukan permohonan tertulis untuk menjadi Peserta kepada Penyelenggara. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta; c. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan d. dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan oleh Penyelenggara. (3) Dalam hal calon Peserta merupakan unit usaha syariah maka dalam permohonan tertulis untuk menjadi Peserta dijelaskan bahwa permohonan tersebut diajukan oleh Bank pemilik unit usaha syariah untuk unit usaha syariah dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A. 15 (4) Dalam hal calon Peserta merupakan peserta Sistem BI- RTGS, BI-SSSS, dan/atau Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS, BI-SSSS, dan/atau SKNBI tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. Pasal 12 (1) Persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d terdiri atas: a. data kepesertaan dari calon Peserta dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. fotokopi persetujuan, izin usaha, atau izin kegiatan usaha yang masih berlaku dari lembaga berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai aslinya oleh pimpinan calon Peserta; c. fotokopi anggaran dasar perusahaan dan perubahan terakhir apabila ada, yang mencantumkan mengenai nama dan struktur pengurus dari calon Peserta; d. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa calon Peserta tidak sedang dalam proses likuidasi atau kepailitan; e. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang mengenai: 1. keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan pimpinan calon Peserta, untuk calon Peserta berupa Bank; atau 2. susunan pimpinan calon Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang, untuk calon Peserta selain Bank; 16 f. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang memuat mengenai kesiapan infrastruktur dan informasi spesifikasi infrastruktur dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan g. surat permohonan dari pimpinan calon Peserta untuk mendapatkan user dan Digital Certificate Hard Token dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Dalam hal diperlukan, calon Peserta harus memperlihatkan dokumen asli atas dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Penyelenggara. Pasal 13 (1) Dokumen yang harus dilengkapi calon Peserta yang menggunakan infrastruktur yang pengelolaannya berada dalam kewenangan pihak lain terdiri atas: a. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d; dan c. dokumen tambahan lainnya. (2) Dokumen tambahan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa: a. surat pernyataan dari pihak lain yang mengelola infrastruktur untuk calon Peserta sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 17 b. surat pernyataan dari pimpinan calon Peserta yang menyatakan bahwa calon Peserta telah memiliki perjanjian kerja sama penggunaan infrastruktur Sistem BI-ETP yang dikelola oleh pihak lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 14 (1) Penyelenggara melakukan penelitian administratif mengenai pemenuhan persyaratan yang disampaikan oleh calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, dan/atau Pasal 13. (2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditemukan bahwa dokumen yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak sesuai, Penyelenggara meminta calon Peserta untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan dari Penyelenggara. (3) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) calon Peserta belum menyampaikan dokumen yang telah dilengkapi, calon Peserta dianggap membatalkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (4) Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-ETP dari calon Peserta. Pasal 15 (1) Penyelenggara memberikan persetujuan prinsip atau penolakan atas permohonan calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (2) Persetujuan prinsip atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. 18 Pasal 16 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 memuat paling sedikit hal sebagai berikut: a. persetujuan menjadi Peserta; b. nama dan participant code; c. kegiatan yang harus dilakukan oleh calon Peserta paling sedikit berupa: 1. pelatihan; 2. instalasi; dan 3. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI- ETP; dan d. kelengkapan dokumen administrasi yang harus dipenuhi oleh calon Peserta untuk pelaksanaan kegiatan operasional. Pasal 17 (1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), calon Peserta menyampaikan kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d kepada Penyelenggara. (2) Kelengkapan dokumen administrasi untuk pelaksanaan kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. surat pemberitahuan mengenai nama dan jabatan pimpinan yang akan melakukan penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI-ETP dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat kuasa dari pimpinan dalam hal penandatanganan perjanjian akan dilakukan oleh pejabat selain pimpinan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 19 c. surat pemberitahuan kewenangan pimpinan terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-ETP, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-ETP; e. surat permohonan dari pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari pimpinan untuk membuat spesimen tanda tangan bagi: 1. pimpinan; atau 2. pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan terkait kepesertaan dan operasional Sistem BI-ETP, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan f. Surat mengenai penambahan kewenangan pemilik spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau SKNBI dengan kewenangan dalam operasional Sistem BI-ETP kepada Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini, dalam hal kewenangan operasional Sistem BI-ETP juga akan diberikan kepada pemilik spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau SKNBI. (3) Dalam hal calon Peserta melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain, calon Peserta dimaksud harus menyampaikan dokumen tambahan berupa: 20 a. daftar nama pihak yang diwakili oleh calon Peserta dalam melakukan Transaksi dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat penunjukan Sub-Registry dan/atau peserta BI-SSSS lain yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dari calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; c. surat konfirmasi dari Sub-Registry dan/atau peserta BI-SSSS lain sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; d. surat penunjukan Bank Pembayar yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang berwenang dari calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan/atau e. surat konfirmasi dari Bank Pembayar sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 18 Surat kuasa terkait dengan kepesertaan dan operasional Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 21 a. pimpinan dapat memberi surat kuasa kepada pejabat penerima kuasa tanpa hak substitusi atau dengan 1 (satu) kali hak substitusi dengan menggunakan format surat kuasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. surat kuasa berlaku untuk 1 (satu) kantor Bank Indonesia; c. surat kuasa dibuat untuk melakukan kegiatan sebagai berikut: 1. penandatanganan surat menyurat, laporan, dan/atau dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan dan operasional dalam Sistem BI-ETP; 2. pengelolaan user dan Digital Certificate Hard Token; 3. penyerahan dan/atau pengambilan surat, laporan, dan dokumen lain, baik dokumen tertulis maupun dokumen elektronik, yang terkait dengan kepesertaan dan operasional dalam Sistem BI-ETP; dan/atau 4. penyerahan dan/atau pengambilan user dan Digital Certificate Hard Token; d. pimpinan atau pejabat penerima kuasa dengan 1 (satu) kali hak substitusi dapat memberikan kuasa tanpa hak substitusi kepada petugas di kantor pusat atau kantor cabang calon Peserta hanya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3; e. jumlah pejabat penerima kuasa untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c paling banyak 10 (sepuluh) orang; f. kegiatan yang dikuasakan dalam surat kuasa sebagaimana dimaksud dalam huruf c dapat dituangkan dalam 1 (satu) atau lebih surat kuasa sesuai dengan kebutuhan calon Peserta; dan g. surat kuasa harus disertai dengan fotokopi identitas diri yang masih berlaku dari penerima kuasa. 22 Pasal 19 (1) Berdasarkan dokumen administrasi yang disampaikan calon Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Penyelenggara menyampaikan surat yang memberitahukan mengenai: a. penandatanganan perjanjian penggunaan Sistem BI- ETP; b. pembuatan spesimen tanda tangan pimpinan dan pejabat atau petugas yang menerima kuasa dari pimpinan; c. pengambilan Digital Certificate Hard Token; d. waktu pelatihan penggunaan Sistem BI-ETP; dan e. waktu pemasangan JKD. (2) Berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Peserta harus melakukan hal sebagai berikut: a. menandatangani perjanjian penggunaan Sistem BI- ETP dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b. mengambil dokumen user dan Digital Certificate Hard Token yang pelaksanaannya dilakukan oleh pimpinan atau pejabat berwenang mewakili calon Peserta yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. mengikutsertakan petugas yang akan menangani teknis operasional EPP calon Peserta dalam pelatihan teknis dan operasional penggunaan Sistem BI-ETP; dan d. melakukan uji koneksi dengan Penyelenggara atas EPP yang telah diinstalasi oleh Penyelenggara. Pasal 20 (1) Dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat persetujuan prinsip dari Penyelenggara, calon Peserta harus melakukan: 23 a. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c; b. penyampaian dokumen administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1); dan c. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). (2) Dalam hal calon Peserta tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka: a. persetujuan prinsip yang telah diterbitkan oleh Penyelenggara menjadi tidak berlaku dan calon Peserta dinyatakan telah membatalkan permohonan; dan b. calon Peserta harus mengembalikan aplikasi EPP, buku pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP, user, dan Digital Certificate Hard Token kepada Penyelenggara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak persetujuan tidak berlaku. Pasal 21 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis mengenai persetujuan operasional keikutsertaan sebagai Peserta dan tanggal efektif operasional, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah calon Peserta melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). (2) Persetujuan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: a. calon Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Pasal 22 Peserta yang telah memperoleh persetujuan operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat melakukan Transaksi dengan Bank Indonesia melalui Sistem BI-ETP dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 24 a. kepesertaan dalam Operasi Moneter mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter; dan b. kepesertaan dalam Transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lelang surat berharga negara. Bagian Keempat Perubahan Data Kepesertaan Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 23 (1) Peserta harus menyampaikan permohonan persetujuan secara tertulis kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data kepesertaan, meliputi perubahan: a. participant code; b. nama Peserta; c. kegiatan usaha; d. lokasi EPP dan/atau pemindahan JKD; e. spesimen tanda tangan pimpinan; f. kuasa; g. penggunaan infrastruktur; dan/atau h. pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi. (2) Peserta harus menyampaikan informasi secara tertulis kepada Penyelenggara terkait dengan perubahan data kepesertaan meliputi perubahan: a. data pimpinan; dan/atau b. alamat kantor. (3) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 25 a. ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Paragraf 2 Perubahan Participant Code Pasal 24 Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Penyelenggara karena alasan sebagai berikut: a. Peserta yang bukan merupakan anggota Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) berubah menjadi anggota SWIFT; atau b. adanya perubahan SWIFT Bank Identifier Code (BIC) Peserta. Pasal 25 (1) Perubahan participant code sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan participant code, yang dilengkapi dengan dokumen berupa: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. dokumen pendukung yang menunjukkan Peserta sebagai anggota SWIFT atau adanya perubahan SWIFT BIC Peserta; dan 26 b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan participant code melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. Pasal 26 (1) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) memuat paling sedikit: a. nama Peserta; b. participant code yang baru; dan c. permintaan agar Peserta mengajukan surat permohonan user dan Digital Certificate Hard Token untuk participant code yang baru. (2) Peserta menyampaikan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c yang memuat informasi: a. nama Peserta; dan b. participant code yang baru. (3) Berdasarkan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara menyampaikan: a. tanggal efektif perubahan participant code, user-ID, dan Digital Certificate Hard Token baru kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan participant code kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. (4) Peserta harus mengembalikan Digital Certificate Hard Token yang digunakan pada participant code lama, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak Peserta menerima surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. 27 Paragraf 3 Perubahan Nama Peserta Pasal 27 (1) Perubahan nama Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan nama Peserta yang dilengkapi dokumen pendukung sebagai berikut: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B dengan menggunakan nama yang tercantum dalam perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh lembaga yang berwenang; 2. fotokopi dokumen yang terdiri atas: a) akta perubahan anggaran dasar untuk badan hukum Indonesia; b) surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan c) surat keputusan dari lembaga yang berwenang tentang perubahan nama, dalam hal Peserta berupa Bank, yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. dalam hal Peserta merupakan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dokumen pendukung yang disampaikan meliputi data kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1 dan surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 huruf c); dan c. pengajuan permohonan perubahan nama Peserta dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). 28 (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan nama melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan nama Peserta, Penyelenggara memberitahukan: a. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan nama Peserta kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. Paragraf 4 Perubahan Kegiatan Usaha Pasal 28 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c meliputi perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum syariah. (2) Dalam hal Peserta melakukan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta harus melakukan perubahan data kepesertaan, berupa: a. kegiatan usaha Peserta; dan b. nama Peserta. Pasal 29 (1) Perubahan kegiatan usaha Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 29 a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta yang dilengkapi dengan fotokopi dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; 2. akta perubahan anggaran dasar; 3. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari lembaga yang berwenang; dan 4. surat keputusan dari lembaga yang berwenang mengenai izin perubahan kegiatan usaha Peserta dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah; dan c. pengajuan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kegiatan usaha Peserta dalam Sistem BI-ETP, Penyelenggara memberitahukan: 30 a. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta kepada Peserta yang bersangkutan melalui surat; dan b. tanggal efektif perubahan kegiatan usaha Peserta kepada seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lain. Paragraf 5 Perubahan Lokasi EPP dan/atau JKD Pasal 30 (1) Perubahan lokasi EPP dan/atau pemindahan JKD Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan kepada Penyelenggara mengenai perubahan lokasi EPP utama, EPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD yang dilengkapi dengan formulir data kepesertaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan b. penyampaian permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan lokasi EPP utama, EPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat hal sebagai berikut: a. perubahan lokasi EPP utama dan/atau EPP cadangan Peserta telah dicatat dalam tata usaha Penyelenggara; b. waktu pelaksanaan pemindahan JKD; dan c. kegiatan yang harus dilakukan oleh Peserta terkait dengan perubahan lokasi EPP utama, EPP cadangan, dan/atau JKD. 31 Paragraf 6 Perubahan Spesimen Tanda Tangan Pimpinan Pasal 31 (1) Perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf e dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. perubahan spesimen tanda tangan pimpinan dapat dilakukan apabila terdapat perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan; b. Peserta menyampaikan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan 3. dalam hal seluruh pimpinan dan pejabat yang menerima kuasa dari pimpinan yang memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara mengalami perubahan dan/atau penggantian maka permohonan tertulis mengenai perubahan spesimen tanda tangan diajukan oleh pimpinan yang baru; d. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; dan 32 2. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa: a) kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari lembaga berwenang, bagi warga negara asing (WNA), yang masih berlaku; dan e. pembuatan spesimen tanda tangan dilakukan setelah permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf d telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Dalam hal perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan oleh penggantian dan/atau penambahan pimpinan baru, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang mengenai: 1. susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang; atau 2. persetujuan penilaian kemampuan dan kepatutan dari lembaga pengawas yang berwenang; b. fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari pimpinan kantor pusat Bank yang berkedudukan di luar negeri kepada pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah, bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; dan c. fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku, bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 33 (3) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus membuat spesimen tanda tangan di hadapan pejabat Penyelenggara atau pejabat kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. (4) Dalam hal pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memiliki spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau SKNBI, Peserta dapat meminta penambahan kewenangan pimpinan pemilik spesimen tanda tangan di BI-SSSS, Sistem BI-RTGS, dan/atau SKNBI, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.K. (5) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka: a. Peserta tidak perlu melakukan pembuatan spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan b. Peserta menyampaikan surat pernyataan tetap diberlakukannya spesimen tanda tangan pimpinan, dengan tercantum dalam Lampiran II.T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 32 (1) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan tertulis dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (2) Persetujuan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi sebagai berikut: a. waktu pembuatan spesimen tanda tangan bagi pimpinan baru; dan b. tanggal efektif pencabutan kewenangan pimpinan, dalam hal terdapat perubahan kewenangan pimpinan. menggunakan format sebagaimana 34 (3) Spesimen tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku efektif: a. sejak pemberitahuan dari Penyelenggara mengenai tanggal efektif berlakunya spesimen tanda tangan; atau b. paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal pembuatan spesimen tanda tangan, dalam hal tidak terdapat pemberitahuan dari Penyelenggara. (4) Dalam hal Peserta tidak mengajukan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan kepada Penyelenggara, spesimen tanda tangan pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. pencabutan kewenangan pimpinan (5) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b belum berlaku efektif, spesimen tanda tangan pimpinan yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan oleh pimpinan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 7 Perubahan Kuasa Pasal 33 (1) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf f dilakukan untuk penambahan, pergantian, dan/atau pencabutan kuasa dari pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa. (2) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Perubahan kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan kuasa secara tertulis dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); 35 b. selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, permohonan tertulis juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: 1. dalam hal terdapat penambahan dan/atau pergantian kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa maka: a) permohonan diajukan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b) penambahan kuasa berlaku efektif paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan spesimen tanda tangan telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; 2. dalam hal terdapat pencabutan seluruh atau sebagian kuasa kepada pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa maka: a) permohonan juga dilampiri dengan surat pernyataan pencabutan kuasa dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; b) pencabutan seluruh atau sebagian kuasa tersebut berlaku efektif terhitung sejak tanggal surat pernyataan pencabutan kuasa diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan c) spesimen tanda tangan pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam huruf b) dinyatakan tidak berlaku; dan 36 (4) Penyelenggara 3. dalam hal terdapat perubahan kewenangan dalam surat kuasa yang diberikan kepada pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa, Peserta harus menyampaikan surat permohonan yang dilampiri dengan surat kuasa yang baru dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Q. menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan kuasa melalui surat kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permohonan dan dokumen diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (5) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan kuasa, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa. (6) Dalam hal terdapat perubahan kuasa pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa yang tidak disampaikan kepada Penyelenggara maka data yang telah ditatausahakan di Penyelenggara dianggap masih berlaku dan segala tindakan hukum yang dilakukan pejabat dan/atau petugas yang menerima kuasa tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab Peserta. Paragraf 8 Perubahan Penggunaan Infrastruktur Pasal 34 Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf g meliputi: a. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola pihak lain; b. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain menjadi penggunaan infrastruktur yang dikelola sendiri; atau 37 c. perubahan penggunaan infrastruktur yang dikelola oleh pihak lain yang berbeda. Pasal 35 (1) Perubahan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur yang dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa: 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; 2. surat pernyataan dari pimpinan yang menyatakan kesiapan infrastruktur dan memuat informasi spesifikasi infrastruktur yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f; dan 3. persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dalam hal Peserta menggunakan infrastruktur yang dikelola pihak lain; dan b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Dalam hal diperlukan, Penyelenggara dapat melakukan pemeriksaan ke lokasi infrastruktur yang akan digunakan Peserta. (3) Penyelenggara penolakan permohonan menyampaikan persetujuan atau perubahan penggunaan infrastruktur melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah surat permohonan dan dokumen pendukung diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (4) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan penggunaan infrastruktur, Penyelenggara menyampaikan surat persetujuan kepada Peserta yang memuat informasi tanggal efektif perubahan penggunaan infrastruktur Peserta. 38 Paragraf 9 Perubahan Pihak Lain yang Diwakili oleh Peserta dalam Melakukan Transaksi Pasal 36 (1) Perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi yang dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3); dan b. pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). (2) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi melalui surat yang dapat didahului dengan faksimile, kepada Peserta yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima oleh Penyelenggara secara lengkap. (3) Dalam hal Penyelenggara menyetujui permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi, Penyelenggara memberitahukan kepada Peserta yang bersangkutan mengenai persetujuan dan tanggal efektif perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi. Paragraf 10 Perubahan Data Pimpinan Pasal 37 (1) Perubahan data pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 39 a. Peserta menyampaikan informasi kepada Penyelenggara mengenai perubahan nama, kewenangan, dan/atau jabatan pimpinan yang dilengkapi dengan dokumen pendukung yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan 2. dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan c. dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf a terdiri atas: 1. fotokopi perubahan anggaran dasar mengenai pengangkatan pimpinan, bagi Peserta yang berbadan hukum Indonesia; 2. fotokopi surat dari lembaga pengawas yang berwenang mengenai: a) keputusan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan pimpinan Peserta, bagi Peserta berupa Bank; atau b) susunan pimpinan Peserta yang tercatat pada tata usaha lembaga yang berwenang, bagi Peserta selain Bank; dan 3. fotokopi bukti identitas diri pimpinan, berupa: a) kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin mengemudi (SIM) atau paspor, bagi warga negara Indonesia (WNI); atau b) paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari otoritas berwenang, bagi warga negara asing (WNA), yang masih berlaku; dan 40 4. untuk Peserta berupa kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, selain dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan angka 3, Peserta juga harus melengkapi dokumen tambahan berupa: a) fotokopi surat kuasa (power of attorney) dari kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri kepada pimpinan kantor cabang berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang dibuat oleh penerjemah tersumpah; dan b) fotokopi struktur organisasi yang masih berlaku. (2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan data pimpinan kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Perubahan data pimpinan yang mengakibatkan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32. Paragraf 11 Perubahan Alamat Kantor Peserta Pasal 38 (1) Perubahan alamat kantor Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan informasi perubahan alamat kantor pusat Peserta dan alamat kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: 41 1. data kepesertaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.B; dan 2. fotokopi surat persetujuan atau penerimaan pemberitahuan perubahan alamat kantor dari lembaga yang berwenang yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); (2) Penyelenggara menyampaikan pemberitahuan perubahan alamat kantor kepada Peserta melalui surat, yang dapat didahului dengan faksimile, paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak informasi tertulis dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Pemberitahuan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi mengenai tanggal efektif perubahan alamat kantor Peserta. Paragraf 12 Penyampaian Dokumen Perubahan Data Kepesertaan Pasal 39 Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS, peserta BI-SSSS, dan/atau peserta SKNBI serta dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI- RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan penyelenggara SKNBI sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI-ETP maka dokumen untuk perubahan data kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 38 yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI-RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. 42 Paragraf 13 Perbedaan Tanda Tangan Pasal 40 Dalam hal terdapat perbedaan tanda tangan antara yang tercantum pada identitas diri dengan yang tercantum pada spesimen tanda tangan pimpinan, pejabat, dan/atau petugas yang menerima kuasa yang ditatausahakan di Penyelenggara maka Peserta harus menyampaikan surat pernyataan perbedaan tanda tangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Bagian Kelima Status Kepesertaan dan Perubahannya Paragraf 1 Status Kepesertaan Pasal 41 (1) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dibedakan menjadi: a. aktif; b. dibekukan; atau c. ditutup. (2) Status dibekukan tidak berlaku bagi Peserta yang memiliki fungsi sebagai penerbit Surat Berharga. (3) Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. perubahan status Peserta tidak menyebabkan perubahan status kepesertaan pada Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS; dan/atau b. perubahan status Peserta dipengaruhi oleh perubahan status pada Sistem BI-RTGS dan/atau BI- SSSS sebagai berikut: 43 1. dalam hal perubahan status Peserta di Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS menjadi ditangguhkan maka status kepesertaan Sistem BI-ETP dapat menjadi dibekukan; dan/atau 2. dalam hal perubahan status Peserta di Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS menjadi dibekukan atau ditutup maka menyebabkan perubahan status kepesertaan yang sama pada Sistem BI- ETP. Paragraf 2 Perubahan Status Kepesertaan Pasal 42 (1) Perubahan status kepesertaan dapat dilakukan dari: a. status aktif menjadi dibekukan; b. status aktif menjadi ditutup; atau c. status dibekukan menjadi ditutup. (2) Perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. pengenaan sanksi administratif oleh Penyelenggara; b. permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang berwenang terhadap kegiatan Peserta; atau c. permintaan tertulis dari Peserta untuk mengubah status dari status aktif menjadi ditutup. (3) Permintaan tertulis dari Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c didasarkan pada alasan self- liquidation, penggabungan, peleburan, pemisahan, pengunduran diri, atau alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (4) Dalam hal terjadi perubahan status Peserta, Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada: a. Peserta yang bersangkutan melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile; 44 b. seluruh Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya yang ditetapkan oleh Penyelenggara; dan/atau c. lembaga pengawas yang berwenang terhadap kegiatan Peserta melalui surat yang penyampaiannya dapat didahului dengan faksimile. Pasal 43 (1) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Peserta harus menyelesaikan seluruh kewajiban dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI- ETP; dan b. Peserta harus mengembalikan Digital Certificate Hard Token, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal efektif perubahan status kepesertaan menjadi ditutup. (2) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup yang disebabkan oleh penggabungan, peleburan, atau pemisahan, maka penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. hak dan kewajiban Peserta yang akan ditutup beralih kepada Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta hasil penggabungan, peleburan, atau pemisahan. (3) Dalam hal dilakukan perubahan status kepesertaan menjadi ditutup yang disebabkan oleh adanya pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan, maka penyelesaian kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 45 a. hak dan kewajiban Peserta yang ditutup beralih kepada Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban; dan b. peralihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan berdasarkan surat pernyataan pengambilalihan hak dan kewajiban dari Peserta yang menerima pengalihan aset dan kewajiban. Pasal 44 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari lembaga pengawas yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b, dilakukan oleh lembaga pengawas yang berwenang dengan mengajukan permohonan perubahan status kepesertaan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan tembusan kepada Penyelenggara. (2) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. nama Peserta dan perubahan status kepesertaan yang diminta; b. alasan perubahan status kepesertaan; dan c. tanggal efektif perubahan status kepesertaan. (3) Permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari alasan perubahan status kepesertaan; dan/atau b. fotokopi surat keputusan pencabutan izin kegiatan usaha dari lembaga yang berwenang, putusan kepailitan, dan/atau likuidasi. (4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan 46 b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a, dalam hal status kepesertaan berubah menjadi ditutup. (5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). Pasal 45 (1) Perubahan status kepesertaan atas permintaan tertulis dari Peserta yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c karena self-liquidation, pengunduran diri, dan alasan lainnya, dilakukan oleh Peserta dengan mengajukan permohonan penutupan kepesertaan kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. fotokopi keputusan pencabutan izin usaha, dalam hal Peserta melakukan self-liquidation; b. dokumen alasan pengunduran diri, dalam hal Peserta mengundurkan diri; atau c. dokumen terkait lainnya untuk alasan lain yang telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara atau lembaga pengawas yang berwenang. (3) Surat permohonan perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. 47 (4) Penyelenggara menyetujui dan mengubah status kepesertaan apabila: a. dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah diterima secara lengkap oleh Penyelenggara; dan b. Peserta telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a. (5) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). Paragraf 3 Perubahan Status Kepesertaan Karena Penggabungan Pasal 46 (1) Setiap Peserta yang menggabungkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang yang menyetujui penggabungan yang telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan. (3) Peserta yang menerima penggabungan menyampaikan pemberitahuan penggabungan secara tertulis yang paling sedikit memuat: a. persetujuan penggabungan dari lembaga yang berwenang; b. informasi mengenai Peserta yang menerima penggabungan dan Peserta yang menggabungkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta yang menggabungkan diri kepada Peserta yang menerima penggabungan; dan 48 2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang menggabungkan diri; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang menggabungkan diri oleh Peserta yang menerima penggabungan terhitung sejak tanggal penggabungan secara hukum; dan e. informasi pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Z yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan berupa: 1. akta penggabungan; 2. akta perubahan anggaran dasar Peserta yang menerima penggabungan; 3. izin penggabungan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang penggabungan untuk Peserta berupa Bank; 4. surat persetujuan perubahan anggaran dasar dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau dokumen pendaftaran akta penggabungan dan akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan; dan 5. pengumuman penggabungan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus: 49 a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 47 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta yang menerima penggabungan, setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. waktu pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam Sistem BI-ETP; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang menggabungkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan penggabungan secara operasional dalam Sistem BI-ETP. (4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). Paragraf 4 Perubahan Status Kepesertaan Karena Peleburan Pasal 48 (1) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan harus mengajukan permohonan menjadi Peserta Sistem BI-ETP dengan memenuhi persyaratan menjadi Peserta Sistem BI- ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dalam hal calon Peserta akan menjadi Peserta Sistem BI-ETP. 50 (2) Calon Peserta yang merupakan hasil peleburan menyampaikan pemberitahuan peleburan secara tertulis yang paling sedikit memuat: a. persetujuan peleburan dari lembaga yang berwenang; b. informasi mengenai calon Peserta hasil peleburan dan Peserta yang meleburkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta yang meleburkan diri kepada Peserta hasil peleburan; dan 2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang meleburkan diri; d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang meleburkan diri oleh calon Peserta hasil peleburan terhitung sejak tanggal peleburan secara hukum; dan e. informasi pengumuman peleburan yang dimuat dalam surat kabar harian berskala nasional, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Z. (3) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan calon Peserta, berupa: 1. akta peleburan; 2. akta pendirian calon Peserta yang merupakan hasil peleburan; 3. izin peleburan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang peleburan untuk calon Peserta berupa Bank; dan 51 4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas akta pendirian calon Peserta yang merupakan hasil peleburan. (4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan calon Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat calon Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 49 (1) Setiap Peserta yang meleburkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan secara tertulis kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan Peserta, sebagai berikut: a. b. fotokopi anggaran dasar terakhir Peserta yang meleburkan diri. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. fotokopi surat keputusan dari lembaga yang berwenang menyetujui peleburan; dan 52 Pasal 50 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta yang merupakan hasil peleburan setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 49 ayat (2) diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. waktu pelaksanaan peleburan secara operasional dalam Sistem BI-ETP; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang meleburkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan peleburan secara operasional dalam Sistem BI-ETP. (4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). Paragraf 5 Perubahan Status Kepesertaan Karena Pemisahan Pasal 51 Perubahan status kepesertaan karena pemisahan dilakukan dalam hal terdapat Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri dari Peserta berupa bank konvensional sebagai induknya yang dilakukan dengan cara: a. mendirikan bank umum syariah baru; atau b. mengalihkan hak dan kewajiban Peserta unit usaha syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah. Pasal 52 (1) Dalam hal bank umum syariah baru hasil pemisahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a akan menjadi Peserta Sistem BI-ETP maka bank umum syariah baru harus terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk menjadi Peserta Sistem BI-ETP kepada Penyelenggara. 53 (2) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mengikuti prosedur menjadi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta menyampaikan pemberitahuan pemisahan secara tertulis yang paling sedikit memuat: a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang berwenang; b. informasi mengenai calon Peserta hasil pemisahan dan Peserta yang memisahkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta yang memisahkan diri kepada Peserta hasil pemisahan; dan 2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang memisahkan diri; dan d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang memisahkan diri oleh calon Peserta hasil pemisahan terhitung sejak tanggal pemisahan secara hukum, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Z. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA; dan b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan calon Peserta, berupa: 1. akta pemisahan; 2. akta pendirian bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta; 54 3. izin pemisahan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang pemisahan; dan 4. surat pengesahan badan hukum perseroan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas akta pendirian bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta. (5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat bank umum syariah baru yang akan menjadi Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 53 (1) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri harus mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP secara tertulis kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan Peserta, sebagai berikut: a. b. fotokopi surat dari lembaga yang berwenang yang mendasari pemisahan. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas yang berwenang menyetujui pemisahan; dan 55 b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 54 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta berupa bank umum syariah yang baru, setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat hal sebagai berikut: a. waktu pelaksanaan pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-ETP; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan pemisahan secara operasional dalam Sistem BI-ETP. (4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). Pasal 55 (1) Pemisahan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban Peserta berupa unit usaha syariah kepada Peserta berupa bank umum syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b dilakukan melalui penutupan kepesertaan Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri. (2) Peserta berupa unit usaha syariah yang akan memisahkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dengan ketentuan sebagai berikut: 56 a. Peserta berupa unit usaha syariah mengajukan permohonan penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP secara tertulis kepada Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Y; dan b. permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan fotokopi surat keputusan dari lembaga pengawas yang berwenang yang menyetujui pemisahan yang telah dilegalisasi oleh pejabat berwenang atau telah dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan. (3) Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil pemisahan menyampaikan pemberitahuan pemisahan secara tertulis yang paling sedikit memuat: a. persetujuan pemisahan dari lembaga yang berwenang; b. informasi mengenai Peserta yang menerima pemisahan dan Peserta yang memisahkan diri; c. waktu pelaksanaan: 1. peralihan operasional dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dari Peserta yang memisahkan diri kepada Peserta yang menerima pemisahan; dan 2. penutupan kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta yang memisahkan diri; dan d. pengambilalihan hak dan kewajiban Peserta yang memisahkan diri oleh Peserta yang menerima pemisahan terhitung sejak tanggal pemisahan secara hukum, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.Z. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai berikut: a. surat pernyataan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AA; dan 57 b. fotokopi dokumen yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang atau dinyatakan sesuai asli oleh pimpinan berupa: 1. akta pemisahan; dan 2. izin pemisahan dari lembaga pengawas yang berwenang memberikan persetujuan tentang pemisahan. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus: a. ditandatangani oleh pimpinan yang telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara; dan b. disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri. Pasal 56 (1) Penyelenggara memberitahukan persetujuan tertulis kepada Peserta berupa bank umum syariah yang menerima hasil pemisahan, setelah dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diterima secara lengkap. (2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. waktu pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban secara operasional dalam Sistem BI-ETP; dan b. hal yang harus dilakukan oleh Peserta. (3) Status kepesertaan dalam Sistem BI-ETP dari Peserta berupa unit usaha syariah yang memisahkan diri efektif berubah menjadi ditutup pada tanggal pelaksanaan pengalihan hak dan kewajiban secara operasional dalam Sistem BI-ETP. (4) Penyelenggara menginformasikan perubahan status Peserta kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4). 58 Paragraf 6 Penyampaian Dokumen Perubahan Status Kepesertaan Pasal 57 Dalam hal Peserta merupakan peserta Sistem BI-RTGS, peserta BI-SSSS, dan/atau peserta SKNBI serta dokumen pendukung yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI- RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI sama dengan dokumen pendukung di Sistem BI-ETP maka dokumen pendukung untuk perubahan status kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 56 yang telah disampaikan kepada penyelenggara Sistem BI- RTGS, penyelenggara BI-SSSS, dan/atau penyelenggara SKNBI tidak perlu disampaikan kembali kepada Penyelenggara sepanjang tidak terdapat perubahan. Bagian Keenam Kewajiban Peserta Pasal 58 Dalam penggunaan Sistem BI-ETP, Peserta wajib: a. menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-ETP; b. bertanggung jawab atas kebenaran Transaksi dan seluruh informasi yang dikirim Peserta kepada Penyelenggara melalui Sistem BI-ETP; c. melaksanakan kegiatan operasional Sistem BI-ETP sesuai dengan perjanjian penggunaan sistem antara Penyelenggara dan Peserta serta ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP, serta ketentuan terkait lainnya; d. menginformasikan biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP secara transparan kepada pihak lain yang diwakili oleh Peserta; 59 e. memberikan data, dokumen dan/atau informasi kepada Penyelenggara termasuk dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat dan/atau data elektronik terkait dengan pelaksanaan operasional Sistem BI-ETP; dan f. mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait Sistem BI-ETP. Pasal 59 Kewajiban Peserta untuk menjaga kelancaran dan keamanan dalam penggunaan Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, meliputi kegiatan sebagai berikut: a. menyusun kebijakan dan prosedur tertulis yang mendukung sistem kontrol internal yang baik dalam pelaksanaan operasional Sistem BI-ETP; b. melakukan pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional Sistem BI-ETP; c. melakukan security audit; d. menyusun kebijakan teknologi informasi terkait dengan Sistem BI-ETP yang di-review dan di-update secara reguler; e. memiliki pedoman disaster recovery plan (DRP) dan business continuity plan (BCP); f. menggunakan aplikasi EPP sesuai dengan buku pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP; g. melakukan pengkinian data atau informasi kepesertaan; h. melakukan pemeliharaan data; i. menjamin EPP utama dan EPP cadangan berfungsi dengan baik untuk melakukan Transaksi dan aktivitas lainnya melalui Sistem BI-ETP; dan j. mengikuti uji coba sistem yang diselenggarakan oleh Penyelenggara apabila diminta oleh Penyelenggara. Pasal 60 Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 60 a. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal efektif kepesertaan di Sistem BI-ETP; b. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia; c. kebijakan dan prosedur tertulis wajib dibuat dengan mengacu pada ketentuan terkait dengan Sistem BI-ETP yang ditetapkan oleh Penyelenggara dan ketentuan yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait Sistem BI-ETP; d. kebijakan dan prosedur tertulis wajib memuat materi paling sedikit sebagai berikut: 1. pendahuluan; 2. organisasi pengoperasian Sistem BI-ETP; 3. ketentuan dan prosedur operasional Sistem BI-ETP; 4. pengawasan operasional Sistem BI-ETP; 5. penanganan Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan 6. perlindungan konsumen, dalam hal Peserta melakukan Transaksi atas nama pihak lain; e. penyusunan rincian cakupan minimum materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; f. dalam hal terdapat perubahan terhadap materi kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan/atau perubahan ketentuan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara dan/atau asosiasi terkait Sistem BI-ETP, yang berdampak pada materi kebijakan dan prosedur tertulis, Peserta harus melakukan pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis dimaksud; dan g. pengkinian terhadap kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf f wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya perubahan materi dan ketentuan tersebut. 61 Pasal 61 Pemeriksaan internal untuk menjamin keamanan operasional Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b dilakukan oleh satuan kerja pengawas internal Peserta dengan ruang lingkup pemeriksaan paling sedikit mencakup materi penilaian kepatuhan yang disampaikan oleh Penyelenggara. Pasal 62 (1) Security audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c bertujuan untuk memastikan keamanan dan keandalan infrastuktur yang digunakan untuk EPP, serta kondisi lingkungan tempat Peserta melakukan kegiatan operasional. (2) Security audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. dilakukan paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun sekali terhitung sejak menjadi Peserta; b. dilakukan oleh auditor internal Peserta dan/atau auditor eksternal; dan c. cakupan security audit paling sedikit mencakup ruang lingkup sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 63 Pedoman DRP dan BCP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pedoman DRP dan BCP memuat prosedur yang dilakukan oleh Peserta dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat untuk memastikan bahwa operasional Sistem BI-ETP di Peserta tetap dapat dilakukan atau upaya lainnya yang perlu dilakukan dalam hal sistem cadangan tidak dapat digunakan; b. pedoman DRP sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 62 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. prosedur terkait penyiapan infrastruktur cadangan untuk menjamin kegiatan operasional Sistem BI-ETP tetap berjalan; 4. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 5. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara; dan c. pedoman BCP sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat hal sebagai berikut: 1. unit kerja sebagai penanggung jawab; 2. mekanisme koordinasi apabila penanggung jawab terdiri atas beberapa unit; 3. langkah bisnis yang dilakukan untuk menjamin kegiatan Transaksi tetap berjalan; 4. mekanisme pengujian prosedur BCP; 5. mekanisme pelaporan dan monitoring; dan 6. petugas operasional, termasuk data nomor telepon yang dapat dihubungi setiap saat oleh Penyelenggara. Pasal 64 Pemeliharaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf h dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemeliharaan data dilakukan melalui penyimpanan data secara harian dalam media elektronik dan/atau dalam bentuk hasil olahan komputer Sistem BI-ETP; b. data sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus mendapat pengamanan yang memadai serta terjaga kerahasiaannya; c. melakukan pencadangan atas data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan penyimpanan dalam media elektronik yang terpisah dengan media elektronik sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memastikan data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak rusak; dan 63 e. menyimpan seluruh data sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan cadangannya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, sesuai dengan ketentuan pengarsipan yang berlaku di internal Peserta dan masa retensi sesuai ketentuan mengatur mengenai dokumen perusahaan. Pasal 65 Untuk menjamin EPP utama dan EPP cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf i, Peserta melakukan kegiatan sebagai berikut: a. memastikan petugas yang menangani Sistem BI-ETP memahami sistem dan prosedur operasional Sistem BI- ETP yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara dan internal Peserta; b. menetapkan dan mengelola user dan kewenangan user yang melakukan operasional Sistem BI-ETP; c. menyediakan dan mengelola sistem cadangan untuk Sistem BI-ETP di Peserta; d. menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik; e. menjamin keamanan dan keandalan JKD yang digunakan untuk menghubungkan EPP utama dan/atau EPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional Sistem BI-ETP; f. melakukan langkah preventif yang diperlukan agar perangkat keras berfungsi dengan baik dan perangkat lunak yang digunakan dalam Sistem BI-ETP dan/atau yang terkait dengan Sistem BI-ETP bebas dari segala jenis virus; g. melakukan instalasi setiap terjadi perubahan aplikasi EPP utama dan/atau EPP cadangan sesuai dengan buku pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP; h. menyimpan dengan baik aplikasi EPP, termasuk setiap terdapat perubahan aplikasi EPP yang telah diberikan oleh Penyelenggara; dan i. melakukan perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard Token sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Penyelenggara. peraturan perundang-undangan yang 64 Pasal 66 Penetapan dan pengelolaan user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit hal sebagai berikut: a. pengaturan kewenangan user memperhatikan rentang kendali (span of control) untuk meminimalisasi kesalahan manusia (human error) dan penyalahgunaan (fraud); b. pengiriman transaksi dilakukan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kewenangan petugas; c. pengaturan petugas pengganti untuk user sesuai dengan perannya masing-masing; d. penetapan dan penatausahaan user penanggung jawab Digital Certificate Hard Token dan serial number token; e. memastikan keamanan penggunaan Digital Certificate Hard Token oleh user yang telah ditetapkan; dan f. menyimpan dokumen keamanan yang terkait dengan user dan Digital Certificate Hard Token. Pasal 67 Penyediaan dan pengelolaan sistem cadangan untuk Sistem BI- ETP di Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyediakan EPP cadangan dan JKD cadangan dari lokasi EPP cadangan Peserta ke Penyelenggara sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. biaya penyediaan dan penggunaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam huruf a menjadi beban Peserta; dan c. pemilihan jenis dan lokasi EPP cadangan serta JKD cadangan Peserta diserahkan kepada setiap Peserta. Pasal 68 Untuk menjamin sistem cadangan berfungsi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf d, Peserta: a. mengikuti kegiatan uji coba sistem cadangan sesuai dengan pemberitahuan dari Penyelenggara; 65 b. melakukan uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala; dan c. mengoperasikan sistem cadangan secara berkala untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal. Pasal 69 (1) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. uji coba koneksi dilakukan terhadap EPP cadangan, JKD cadangan, dan data cadangan (back-up), paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; b. uji coba koneksi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dilakukan dengan menggunakan: 1. environment testing Penyelenggara selama jam operasional Sistem BI-ETP; atau 2. environment production Penyelenggara yang dapat dilakukan setiap bulan pada hari Jumat minggu pertama atau minggu ketiga setelah proses akhir hari Sistem BI-ETP di Penyelenggara berakhir; dan c. penggunaan environment production Penyelenggara dilakukan paling lama 1 (satu) jam. (2) Uji coba koneksi sistem cadangan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan uji coba koneksi sistem cadangan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan 66 c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pelaksanaan uji coba koneksi sistem cadangan kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan uji coba selesai dilakukan. Pasal 70 (1) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. penggunaan sistem cadangan dilakukan secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; dan b. pengoperasian sistem cadangan dapat mencakup pengoperasian EPP cadangan dan/atau JKD cadangan. (2) Pengoperasian sistem cadangan untuk kegiatan operasional dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: a. Peserta menyampaikan permohonan melalui administrative message kepada Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum menggunakan sistem cadangan; b. Penyelenggara memberitahukan persetujuan penggunaan EPP cadangan dan/atau JKD cadangan kepada Peserta melalui administrative message; dan c. Peserta menyampaikan laporan tertulis hasil pengoperasian Penyelenggara paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah pelaksanaan pengoperasian sistem cadangan selesai dilakukan. Pasal 71 Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf e dilakukan terhadap JKD yang menghubungkan EPP utama dan EPP cadangan dengan perangkat komputer Peserta yang digunakan untuk operasional Sistem BI-ETP. sistem cadangan kepada 67 BAB IV OPERASIONAL PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BI-ETP Bagian Kesatu Waktu Operasional Penyelenggaraan Transaksi Melalui Sistem BI-ETP Pasal 72 (1) Penyelenggara menetapkan waktu operasional penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang mencakup hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan. (2) Hari operasional, jam operasional, dan periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah sewaktu-waktu oleh Penyelenggara. (3) Perubahan hari operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Penyelenggara berdasarkan: a. kebijakan pemerintah; dan/atau b. kebijakan Bank Indonesia. (4) Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan berdasarkan kebijakan Penyelenggara. (5) Dalam hal terdapat perubahan hari operasional, jam operasional, dan/atau periode waktu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyelenggara memberitahukan hal tersebut kepada seluruh Peserta melalui administrative message dan/atau sarana lainnya. Pasal 73 Hari operasional Sistem BI-ETP dilaksanakan setiap hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 74 (1) Jam operasional penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP mulai pukul 06.30 waktu Indonesia barat (WIB) sampai dengan pukul 18.30 WIB. 68 (2) Penyelenggara menetapkan periode waktu kegiatan untuk melakukan kegiatan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. (3) Penetapan kegiatan dalam periode waktu kegiatan dan jam operasional tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 75 Perubahan jam operasional dan/atau periode waktu kegiatan berdasarkan kebijakan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: a. adanya Keadaan Tidak Normal pada Sistem BI-ETP dan/atau Keadaan Darurat yang mengakibatkan adanya kebutuhan perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; b. adanya perubahan jam operasional pada Sistem BI-RTGS dan/atau BI-SSSS; dan/atau c. adanya kepentingan Bank Indonesia untuk kegiatan Operasi Moneter, Transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah, dan Transaksi dengan Bank Indonesia lainnya, yang mengakibatkan adanya kebutuhan perubahan jam operasional dan/atau perpanjangan periode waktu kegiatan untuk melaksanakan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Bagian Kedua Pengelolaan Pengguna (User) Pasal 76 Berdasarkan kewenangannya, pengguna (user) Sistem BI-ETP terdiri atas: a. administrator; b. supervisor; c. operator; dan d. viewer. 69 Pasal 77 (1) Penyelenggara melakukan pengelolaan pengguna (user) paling sedikit berupa kegiatan pendaftaran, penyesuaian, reset password, penghentian, dan penetapan security level. (2) Pengelolaan pengguna (user) yang telah diserahkan oleh Penyelenggara kepada Peserta dilakukan berdasarkan ketentuan internal Peserta dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya Peserta yang bersangkutan. Bagian Ketiga Pengguna (User) dan Digital Certificate Hard Token Pasal 78 (1) Penyelenggara memberikan user-ID kepada Peserta yang dilengkapi dengan password user, Digital Certificate Hard Token, dan password Digital Certificate Hard Token untuk setiap Peserta. (2) Penyelenggara menyediakan user-ID sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk 10 (sepuluh) pengguna (user) yang terdiri atas: a. dua administrator; b. empat supervisor; dan c. empat operator. (3) Masa aktif Digital Certificate Hard Token sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal efektif yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (4) Pengambilan dokumen user-ID, password user, Digital Certificate Hard Token, dan/atau password Digital Certificate Hard Token dilakukan oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. 70 Paragraf 1 Penambahan Pengguna (User) serta Penggantian dan/atau Perpanjangan Masa Aktif Digital Certificate Hard Token Pasal 79 (1) Peserta dapat mengajukan permohonan penambahan pengguna (user) yang dilengkapi dengan password user, Digital Certificate Hard Token, dan password Digital Certificate Hard Token sepanjang tidak melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2). (2) Penambahan pengguna (user) yang melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) dapat diberikan kepada Peserta berdasarkan persetujuan Penyelenggara. (3) Peserta dapat mengajukan permohonan penggantian Digital Certificate Hard Token yang hilang, rusak, atau tidak dapat digunakan karena sebab apapun. (4) Penambahan pengguna (user) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penggantian Digital Certificate Hard Token sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan biaya. (5) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke Rekening Setelmen Dana dalam rupiah Peserta atau Bank Pembayar. (6) Peserta harus mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard Token sebelum masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) berakhir. Pasal 80 Permohonan penambahan pengguna (user) serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard Token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 71 a. Peserta mengajukan permohonan penambahan pengguna (user) serta penggantian dan/atau perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard Token secara tertulis kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D; c. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a memuat informasi paling sedikit: 1. untuk penambahan pengguna (user) yang dilengkapi dengan password user, Digital Certificate Hard Token, dan password Digital Certificate Hard Token: a) nama dan participant code Peserta; b) jumlah penambahan pengguna (user) dan kewenangan pengguna (user); dan c) alasan permintaan tambahan pengguna (user), dalam hal permintaan melebihi jumlah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2); 2. untuk penggantian Digital Certificate Hard Token: a) nama dan participant code Peserta; b) user-ID untuk Digital Certificate Hard Token yang akan diganti; c) nomor seri Digital Certificate Hard Token; dan d) alasan permintaan penggantian Digital Certificate Hard Token; dan 3. untuk perpanjangan masa aktif Digital Certificate Hard Token: a) nama dan participant code Peserta; b) user-ID untuk Digital Certificate Hard Token yang akan diperpanjang masa aktifnya; dan c) nomor seri Digital Certificate Hard Token; d. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dokumen pendukung sebagai berikut: 72 1. Digital Certificate Hard Token, dalam hal Peserta mengajukan perpanjangan masa aktif atau penggantian Digital Certificate Hard Token; dan/atau 2. surat keterangan kehilangan Digital Certificate Hard Token dari pihak kepolisian, dalam hal Peserta mengajukan penggantian Digital Certificate Hard Token yang hilang; dan e. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. ditembuskan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi, dalam hal kantor pusat Peserta berkedudukan di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri; dan 2. bagi Peserta yang mengajukan permohonan perpanjangan masa aktif, permohonan disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum masa aktif Digital Certificate Hard Token berakhir. Pasal 81 (1) Penyelenggara memberitahukan secara tertulis kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lain untuk pengambilan dokumen user-ID, password user, Digital Certificate Hard Token, dan/atau password Digital Certificate Hard Token. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Penyelenggara paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf d diterima secara lengkap oleh Penyelenggara. (3) Peserta melakukan pengambilan dokumen user-ID, password user, Digital Certificate Hard Token, dan/atau password Digital Certificate Hard Token dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia, pengambilan dokumen dilakukan di lokasi kantor Penyelenggara; 73 b. bagi Peserta yang berkantor pusat di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, pengambilan dokumen dilakukan: 1. di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang mewilayahi Peserta; atau 2. di kantor Penyelenggara dalam hal Peserta memiliki kantor cabang di wilayah kerja kantor pusat Bank Indonesia; dan c. pengambilan dokumen dilakukan oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. (4) Dalam hal penambahan pengguna (user), yang dilengkapi dengan password user, Digital Certificate Hard Token, dan password Digital Certificate Hard Token melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2), Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut kepada Peserta paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap oleh Penyelenggara. Paragraf 2 Penghapusan User Pasal 82 (1) Penghapusan pengguna (user) dapat dilakukan atas dasar inisiatif Penyelenggara atau permintaan Peserta. (2) Penghapusan pengguna (user) oleh Penyelenggara dilakukan dalam hal Peserta telah dihentikan kepesertaannya dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP atau berdasarkan pertimbangan lain. (3) Penghapusan pengguna (user) atas permintaan Peserta dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta mengajukan permohonan penghapusan pengguna (user) secara tertulis kepada Penyelenggara yang dapat disampaikan terlebih dahulu melalui faksimile dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.D; 74 b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a disertai dengan Digital Certificate Hard Token dari pengguna (user) yang dimohonkan untuk dihapus; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan surat pemberitahuan kepada Peserta mengenai penghapusan pengguna (user). Paragraf 3 Reset Password User, Unlock User, dan/atau Reset Password Digital Certificate Hard Token Pasal 83 Peserta dapat mengajukan permohonan reset password user, unlock user, dan/atau reset password Digital Certificate Hard Token kepada Penyelenggara. Pasal 84 Permohonan reset password user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada Penyelenggara; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, yang paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. user-ID untuk password user yang dimohonkan untuk dilakukan reset; dan 3. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; 75 c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara menyampaikan password user kepada Peserta melalui surat; dan d. surat sebagaimana dimaksud dalam huruf c diambil oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara. Pasal 85 Permohonan unlock user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan secara tertulis mengenai unlock user kepada Penyelenggara dapat disampaikan melalui administrative message atau surat yang ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang dapat didahului dengan faksimile; b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. user-ID yang dimohonkan untuk di-unlock; dan 3. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan penyelesaian proses unlock user kepada Peserta yang bersangkutan melalui administrative message atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 86 Permohonan reset password Digital Certificate Hard Token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. permohonan diajukan secara tertulis melalui surat oleh Peserta yang dapat didahului dengan faksimile kepada Penyelenggara; 76 b. permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara yang paling sedikit memuat informasi: 1. nama dan participant code Peserta; 2. user-ID untuk password Digital Certificate Hard Token yang dimohonkan untuk di-reset; 3. nomor seri Digital Certificate Hard Token; dan 4. nama, nomor telepon, dan alamat surel pihak yang berwenang di Peserta bersangkutan yang dapat dihubungi; dan c. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Penyelenggara memberitahukan melalui telepon kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 4 untuk melakukan tahapan proses reset password Digital Certificate Hard Token di EPP. Bagian Keempat Pengelolaan Account dan Limit Transaksi Paragraf 1 Pengelolaan Account Pasal 87 Penyelenggara melakukan pengelolaan account yang mencakup: a. Portfolio; dan b. Position Account. Pasal 88 (1) Portfolio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a terdiri atas: a. Portfolio atas nama Peserta; dan b. Portfolio atas nama pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi. 77 (2) Portfolio atas nama Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhubung dengan Position Account atas nama Peserta dimaksud. (3) Portfolio atas nama pihak lain yang diwakili oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terhubung dengan Position Account milik pihak lain yang diwakili oleh Peserta. Pasal 89 (1) Position Account sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b terdiri atas: a. Position Account atas nama Peserta; dan/atau b. Position Account atas nama pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi. (2) Pengelolaan Position Account atas nama Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk Peserta berdasarkan kepemilikan Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 serta berdasarkan kepemilikan Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1. (3) Pengelolaan Position Account atas nama pihak lain yang diwakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk Peserta berdasarkan kepemilikan Rekening Surat Berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2 serta berdasarkan kepemilikan Rekening Setelmen Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2. (4) Dalam hal terdapat perubahan pihak yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi, Peserta menyampaikan pengkinian daftar nama pihak lain yang memiliki hubungan transaksi kepada Penyelenggara dengan format sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. 78 Paragraf 2 Pengelolaan Limit Transaksi Pasal 90 Limit Transaksi terdiri atas: a. Broker Bidding Limit; b. global limit; dan c. supervisor limit. Pasal 91 (1) Pengelolaan Broker Bidding Limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf a diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal pihak lain yang diwakili merupakan Peserta yang memiliki Rekening Setelmen Dana, setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh Peserta yang diwakili; b. dalam hal pihak lain yang diwakili merupakan Peserta yang tidak memiliki Rekening Setelmen Dana, setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh Peserta yang menjadi Bank Pembayar untuk melakukan Setelmen Dana; dan/atau c. dalam hal pihak lain yang diwakili bukan merupakan Peserta, setting Broker Bidding Limit dilakukan oleh Peserta yang menjadi Bank Pembayar untuk melakukan Setelmen Dana. (2) Mekanisme penggunaan Broker Bidding Limit diatur sebagai berikut: a. Broker Bidding Limit terakumulasi untuk setiap nilai setelmen Transaksi yang belum terselesaikan; b. dalam hal Transaksi yang diajukan melampaui Broker Bidding Limit, Transaksi dimaksud akan ditolak oleh Sistem BI-ETP; dan c. penggunaan Broker Bidding Limit akan berkurang sebesar nilai Setelmen setiap terjadi Setelmen. 79 Pasal 92 (1) Setting global limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf b dilakukan oleh Peserta untuk menetapkan batasan nominal penawaran beserta tahapan otorisasi untuk penawaran yang dilakukan dalam Transaksi dengan Bank Indonesia. (2) Berdasarkan hasil setting global limit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. penawaran dengan nominal yang sama atau di bawah global limit diotorisasi oleh 1 (satu) pengguna (user) supervisor Peserta; dan/atau b. penawaran dengan nominal di atas global limit diotorisasi 2 (dua) pengguna (user) supervisor Peserta. Pasal 93 Pengelolaan supervisor limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 huruf c diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta melakukan setting supervisor limit untuk menetapkan batasan nominal penawaran yang dapat diotorisasi oleh masing-masing pengguna (user) supervisor dalam rangka Transaksi dengan Bank Indonesia; dan b. dalam hal nominal penawaran yang diajukan melampaui supervisor limit, otorisasi atas penawaran dimaksud akan ditolak oleh Sistem BI-ETP. Bagian Kelima Kegiatan Transaksi Melalui Sistem BI-ETP Paragraf 1 Transaksi Dengan Bank Indonesia Pasal 94 (1) Transaksi dengan Bank Indonesia dilakukan untuk kegiatan Operasi Moneter dan/atau Transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah, serta transaksi lainnya yang dilakukan dengan Bank Indonesia. 80 (2) Pelaksanaan Transaksi dengan Bank Indonesia untuk Operasi Moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai operasi moneter. (3) Pelaksanaan Transaksi SBN untuk dan atas nama pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai lelang surat berharga negara. Pasal 95 (1) Jenis Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) meliputi: a. transaksi penerbitan Surat Berharga; b. transaksi penempatan dana; dan c. transaksi Surat Berharga di pasar sekunder. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, paling sedikit berupa: a. jual beli Surat Berharga secara putus (outright); b. repurchase agreement (repo); dan c. reverse repo. Pasal 96 (1) Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dilakukan secara lelang atau nonlelang. (2) Setelmen Transaksi dengan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan melalui BI-SSSS dan/atau Sistem BI-RTGS. Paragraf 2 Transaksi Pasar Keuangan Pasal 97 (1) Transaksi Pasar Keuangan dilakukan secara bilateral antar-Peserta. (2) Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 81 a. Transaksi Surat Berharga yang dilakukan di pasar uang; b. Transaksi Surat Berharga di pasar sekunder; dan/atau c. Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan Surat Berharga yang dilakukan di pasar uang. (3) Transaksi Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a. jual beli secara putus (outright); b. repo; dan c. pinjam meminjam Surat Berharga (securities lending and borrowing). (4) Transaksi pinjam meminjam tanpa menggunakan Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi: a. transaksi pasar uang antarbank (PUAB); dan b. transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah (PUAS). (5) Pelaksanaan transaksi di pasar uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (2) huruf c mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pasar uang. Pasal 98 (1) Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dilakukan dengan mekanisme kuotasi yang dapat dinegosiasikan. (2) Kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan atas nama Peserta atau untuk dan atas nama pihak lain. (3) Kuotasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kepada 1 (satu) Peserta tertentu atau kepada seluruh Peserta. (4) Peserta dapat menetapkan batas waktu kuotasi secara otomatis atau manual. 82 (5) Setelmen Transaksi Pasar Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disepakati oleh Peserta dilakukan melalui BI-SSSS dan/atau Sistem BI-RTGS. BAB V BIAYA Bagian Kesatu Biaya dalam Transaksi Melalui Sistem BI-ETP Pasal 99 Penyelenggara menetapkan biaya kepada Peserta dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Pasal 100 Jenis biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 terdiri atas: a. biaya instruksi Transaksi; b. biaya pengiriman administrative message; c. biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank; d. biaya penggantian atau penambahan Digital Certificate Hard Token; dan e. biaya lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 101 (1) Penetapan biaya instruksi Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a dikenakan untuk setiap instruksi Transaksi yang terdiri atas pengiriman, perubahan, penerimaan, dan penolakan penawaran. (2) Penetapan biaya pengiriman administrative message sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b dikenakan untuk setiap pengiriman administrative message. (3) Penetapan biaya penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 83 a. besarnya biaya ditetapkan oleh Penyelenggara berdasarkan durasi waktu penggunaan setiap 1 (satu) jam; b. besarnya biaya sebagaimana dimaksud dalam huruf a berlaku untuk penggunaan sebagian atau seluruh Fasilitas Guest Bank Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS; dan c. durasi waktu penggunaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dihitung berdasarkan waktu kehadiran Peserta yang dibuktikan dalam daftar hadir Peserta. (4) Biaya penggantian atau penambahan Digital Certificate Hard Token sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf d dikenakan untuk setiap Digital Certificate Hard Token yang diganti atau ditambahkan. (5) Besarnya biaya dan contoh perhitungan biaya dalam penggunaan Sistem BI-ETP tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (6) Besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Bagian Kedua Pembebasan Biaya Pasal 102 (1) Penyelenggara dapat membebaskan biaya tertentu dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat. (2) Pembebasan biaya tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk PPN. Bagian Ketiga Perhitungan dan Pembebanan Biaya Pasal 103 (1) Penyelenggara melakukan perhitungan biaya untuk masing-masing Peserta pada setiap akhir hari. 84 (2) Penyelenggara membebankan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari kerja berikutnya dengan mendebit Rekening Setelmen Dana Peserta atau Bank Pembayar. Bagian Keempat Biaya Transaksi Melalui Sistem BI-ETP yang Dikenakan Peserta Kepada Pihak Lain yang Diwakili Pasal 104 (1) Peserta yang melakukan Transaksi untuk dan atas nama pihak lain yang diwakili dapat menetapkan dan mengenakan biaya kepada pihak lain dimaksud dalam jumlah yang wajar. (2) Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menginformasikan: a. besarnya biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang ditetapkan Penyelenggara kepada Peserta; dan b. besarnya biaya Transaksi melalui Sistem BI-ETP yang ditetapkan dan dikenakan oleh Peserta kepada pihak lain yang diwakili. BAB VI PENANGANAN KEADAAN TIDAK NORMAL DAN/ATAU KEADAAN DARURAT Bagian Kesatu Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Penyelenggara Paragraf 1 Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara Pasal 105 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP atau mengakibatkan operasional Sistem BI-ETP tidak dapat diselenggarakan maka berlaku prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal. 85 (2) Prosedur penanganan Keadaan Tidak Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Tidak Normal dan tahapan yang perlu dilakukan melalui administrative message dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; b. dalam hal Keadaan Tidak Normal mengakibatkan operasional Sistem BI-ETP tidak dapat diselenggarakan, Peserta harus menghentikan sementara kegiatan pengiriman Transaksi dan kegiatan lain melalui Sistem BI-ETP; dan c. dalam hal Sistem BI-ETP dapat beroperasi kembali, Peserta melakukan hal sebagai berikut: 1. melakukan koneksi ulang ke Sistem BI-ETP; 2. mengecek Transaksi terakhir yang dilakukan melalui EPP; dan 3. menginformasikan kepada help desk Sistem BI- ETP apabila berdasarkan hasil pengecekan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 terdapat ketidaksesuaian data Transaksi. (3) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh Peserta berdasarkan pemberitahuan dari Penyelenggara melalui administrative message, help desk, dan/atau sarana lainnya. (4) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal yang mengakibatkan Sistem BI-ETP tidak dapat beroperasi sampai dengan batas waktu yang ditentukan oleh Penyelenggara maka Penyelenggara menetapkan kebijakan penanganan Keadaan Tidak Normal dan memberitahukan kepada Peserta. 86 Paragraf 2 Keadaan Darurat di Penyelenggara Pasal 106 Dalam hal terjadi Keadaan Darurat di Penyelenggara yang memengaruhi kelancaran penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP atau mengakibatkan operasional Sistem BI-ETP tidak dapat diselenggarakan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan oleh Penyelenggara maka berlaku prosedur sebagai berikut: a. Penyelenggara menetapkan kebijakan dan prosedur penanggulangan Keadaan Darurat; dan b. Penyelenggara memberitahukan kepada seluruh Peserta mengenai terjadinya Keadaan Darurat serta hal yang harus dilakukan oleh Peserta dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Bagian Kedua Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta Pasal 107 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang menyebabkan terganggunya kelancaran Transaksi melalui Sistem BI-ETP maka Peserta harus memberitahukan keadaan tersebut kepada Penyelenggara. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan ketentuan sebagai berikut: a. pemberitahuan disampaikan kepada help desk Sistem BI-ETP melalui sarana telepon paling lama 30 (tiga puluh) menit sejak terjadinya Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat; dan/atau b. penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditindaklanjuti dengan penyampaian pemberitahuan tertulis kepada Penyelenggara mengenai hal tersebut dan penyebabnya. 87 Pasal 108 (1) Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta yang mengakibatkan Peserta tidak dapat melakukan kegiatan operasional Sistem BI- ETP dengan menggunakan EPP utama maka Peserta menggunakan EPP cadangan. (2) Dalam hal Peserta tidak dapat menggunakan EPP cadangan dan/atau tidak dapat mengirimkan instruksi Transaksi di lokasi Peserta maka Peserta dapat melakukan kegiatan operasional Sistem BI-ETP dengan menggunakan Fasilitas Guest Bank. Pasal 109 Dalam hal terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat di Peserta, Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan, prosedur, dan hal lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Bagian Ketiga Penggunaan Fasilitas Guest Bank Paragraf 1 Prinsip Umum Pasal 110 (1) Fasilitas Guest Bank dapat digunakan oleh Peserta selama jam operasional Sistem BI-ETP untuk melakukan kegiatan sesuai dengan periode waktu kegiatan yang masih berlaku. (2) Penyelenggara dapat menetapkan batas waktu maksimal penggunaan Fasilitas Guest Bank dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank melebihi kapasitas yang tersedia. (3) Peserta membebaskan Penyelenggara dari segala kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta sehubungan dengan pelaksanaan Transaksi melalui Fasilitas Guest Bank. 88 (4) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di Penyelenggara dapat dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) metode yaitu: a. shared EPP; b. standalone EPP; atau c. own EPP. (5) Penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta di kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode shared EPP. Paragraf 2 Prosedur Penggunaan Fasilitas Guest Bank Pasal 111 (1) Peserta yang akan menggunakan Fasilitas Guest Bank harus mengajukan permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank secara tertulis kepada Penyelenggara, yang dapat didahului dengan menyampaikan informasi melalui sarana telepon, faksimile, dan/atau sarana lainnya. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pimpinan atau pejabat yang menerima kuasa dari Peserta dan telah memiliki spesimen tanda tangan di Penyelenggara, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.AB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Untuk Peserta yang berada di wilayah kerja kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penyelenggara dengan tembusan kepada kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri yang menyediakan Fasilitas Guest Bank. 89 (4) Dalam hal Peserta menggunakan Fasilitas Guest Bank untuk Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI- RTGS, permohonan tertulis penggunaan Fasilitas Guest Bank cukup diajukan kepada salah satu penyelenggara, sepanjang surat permohonan ditandatangani pejabat yang memiliki kewenangan dalam operasional Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau Sistem BI-RTGS. (5) Penyelenggara menyampaikan persetujuan atau penolakan atas permohonan penggunaan Fasilitas Guest Bank kepada Peserta melalui administrative message atau sarana lainnya. Pasal 112 Dalam penggunaan Fasilitas Guest Bank di lokasi Penyelenggara atau kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Peserta menyiapkan data transaksi dan hal lain yang diperlukan untuk operasional di Penyelenggara sesuai dengan pedoman penggunaan Fasilitas Guest Bank sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini; dan b. dalam hal jumlah Peserta yang mengajukan permohonan melebihi kapasitas Fasilitas Guest Bank yang disediakan, Penyelenggara dapat menetapkan urutan penggunaan Fasilitas Guest Bank. BAB VII PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA Pasal 113 (1) Penyelenggara dibebaskan dari segala tuntutan atas kerugian yang timbul dan/atau yang akan timbul yang dialami Peserta atau pihak ketiga akibat: a. terlambat atau tidak terlaksananya Transaksi; dan/atau b. sebab lain. 90 (2) Keterlambatan atau tidak terlaksananya Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disebabkan oleh: a. pengiriman instruksi Transaksi oleh Peserta kepada Penyelenggara dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang; b. kesalahan data dan/atau instruksi Transaksi yang dikirimkan oleh Peserta kepada Penyelenggara; c. ketidaksiapan EPP dan/atau pengguna (user) untuk melakukan Transaksi; d. gangguan JKD dan/atau sistem pada Peserta; e. kesalahan dan/atau keterlambatan setting limit Transaksi oleh Peserta; f. tidak diteruskannya instruksi Transaksi berdasarkan keputusan lembaga pengawas yang berwenang, keputusan lembaga arbitrase, dan/atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; g. kelalaian Peserta; dan/atau h. Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat baik yang dialami oleh Penyelenggara maupun Peserta. BAB VIII PEMANTAUAN KEPATUHAN PESERTA Bagian Kesatu Prinsip Umum Pasal 114 (1) Penyelenggara melakukan pemantauan kepatuhan Peserta terhadap ketentuan yang ditetapkan oleh Penyelenggara. (2) Pelaksanaan pemantauan kepatuhan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. tata kelola; b. operasional; c. infrastruktur; d. BCP; dan e. perlindungan konsumen. 91 (3) Pemantauan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tidak langsung dan/atau secara langsung. Bagian Kedua Pemantauan Tidak Langsung Pasal 115 (1) Pemantauan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dilakukan melalui penelitian, analisis, dan evaluasi terhadap: a. laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara; dan b. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara. (2) Peserta wajib menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Penyelenggara. (3) Peserta wajib menyampaikan informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam hal diminta oleh Penyelenggara. (4) Berdasarkan hasil pemantauan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara dapat melakukan klarifikasi dan/atau konfirmasi kepada Peserta atas laporan berkala dan/atau laporan sewaktu- waktu, informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 1 Laporan Berkala Pasal 116 (1) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) huruf a berupa laporan hasil penilaian kepatuhan (LHPK). 92 (2) Penyampaian LHPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur sebagai berikut: a. LHPK merupakan laporan tahunan yang memuat hasil penilaian pemeriksaan internal Peserta untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; b. LHPK disampaikan secara tertulis kepada Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Penyelenggara; c. LHPK disampaikan dengan batas waktu paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya; d. dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c jatuh pada hari Sabtu, Minggu, atau hari libur maka batas waktu penyampaian LHPK jatuh pada hari kerja berikutnya; e. dalam hal Peserta terlambat menyampaikan LHPK, Peserta tetap wajib menyampaikan LHPK paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak batas waktu penyampaian LHPK yang ditetapkan oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam huruf c; dan f. Peserta dinyatakan tidak menyampaikan LHPK apabila Peserta tidak menyampaikan LHPK sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf e. Paragraf 2 Laporan Sewaktu-Waktu Pasal 117 Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) huruf a, terdiri atas: a. laporan yang disampaikan oleh Peserta kepada Penyelenggara atas permintaan Penyelenggara; dan/atau b. laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta. 93 Bagian Ketiga Pemantauan Langsung Pasal 118 (1) Pemantauan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan langsung. (2) Pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. (3) Penyelenggara dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Penyelenggara melakukan pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Petugas yang melakukan pemeriksaan langsung dilengkapi dengan surat tugas dari Penyelenggara. Pasal 119 (1) Dalam pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (4) Peserta wajib memberikan: a. informasi, data, dan/atau dokumen yang diperlukan sesuai dengan permintaan petugas Penyelenggara; dan/atau b. akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan infrastruktur pendukung yang terkait dengan operasional Sistem BI-ETP di Peserta. (2) Pada akhir pemeriksaan langsung, dilakukan exit meeting untuk menyampaikan dan/atau membahas pokok hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta. (3) Hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Peserta. (4) Peserta wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3). 94 BAB IX TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 120 (1) Penyelenggara mengenakan sanksi administratif kepada Peserta berupa kewajiban membayar, teguran tertulis, dan/atau penurunan status kepesertaan. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemantauan kepatuhan Peserta terhadap pemenuhan: a. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a; b. kewajiban menginformasikan biaya Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dan Pasal 104 ayat (2); c. kewajiban penyampaian laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2); d. kewajiban penyampaian informasi, data, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3); dan/atau e. kewajiban menindaklanjuti hasil pemeriksaan langsung dan/atau hal yang perlu ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4). (3) Peserta yang terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar. (4) Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, tidak menginformasikan biaya Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dan Pasal 104 ayat (2), tidak menyampaikan laporan berkala dan/atau laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2), serta tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (3) dan Pasal 119 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. 95 (5) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Peserta yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a, tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2), dan tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (4), dapat dikenakan sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dalam hal Peserta tidak menindaklanjuti teguran tertulis yang ditetapkan oleh Penyelenggara. Pasal 121 (1) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala berupa LHPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf b apabila Peserta tidak menyampaikan laporan berkala sesuai batas waktu yang ditetapkan Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) huruf c; dan b. Peserta yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) per hari kerja keterlambatan dengan batas nominal paling banyak sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Penyelenggara menginformasikan pembebanan pengenaan sanksi administratif berupa kewajiban membayar melalui surat setelah pelaksanaan pembebanan sanksi. BAB X KORESPONDENSI Pasal 122 (1) Kegiatan korespondensi terkait kepesertaan dan operasional penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI- 96 ETP yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan Transaksi melalui sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Setelmen Dana dan Penatausahaan Surat Berharga Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (2) Kegiatan korespondensi terkait pemantauan kepatuhan Peserta yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Departemen Penyelenggaraan Sistem Pembayaran c.q. Divisi Kepatuhan dan Informasi Sistem Pembayaran Gedung D Lantai 3 Jalan M. H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (3) Kegiatan korespondensi yang disampaikan kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengawasan makroprudensial, moneter, dan sistem pembayaran ditujukan ke alamat: Bank Indonesia c.q. Departemen Surveilans Sistem Keuangan Jalan M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350. (4) Layanan help desk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dapat dihubungi melalui nomor: Telepon : 021-29818888 Faksimile : 021-2311476 Surel : [email protected] (5) Dalam hal terjadi perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta perubahan nomor telepon, faksimile, dan/atau surel sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka Penyelenggara memberitahukan perubahan tersebut melalui surat dan/atau sarana lain. 97 BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 123 Penyelenggara dapat menetapkan kebijakan atau ketentuan yang berbeda mengenai penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP bagi Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan lembaga lain yang disetujui Penyelenggara menjadi Peserta berdasarkan kebutuhan dan karakteristik tertentu. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 124 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/36/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 125 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 November 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/32/PADG/2018 TENTANG PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA- ELECTRONIC TRADING SYSTEM I. UMUM Untuk mewujudkan penyelenggaraan Transaksi yang lebih lancar, aman, efisien, dan andal, diperlukan penyempurnaan ketentuan mengenai penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Sebagai upaya mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi bank umum maka pengaturan mengenai tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP dilakukan secara tersentralisasi. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaanโ€ adalah perubahan nama dan kegiatan usaha Peserta. Yang dimaksud dengan โ€œpenyampaian informasi yang memengaruhi data Peserta di Bank Indonesiaโ€ adalah perubahan data pimpinan dan alamat kantor Peserta. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œperubahan data kepesertaan Sistem BI-ETP selain yang terkait dengan langkah strategis dan mendasarโ€ antara lain perubahan participant code dan perubahan pihak yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pedoman pengoperasian Sistem BI-ETP berupa buku atau bentuk lainnya yang disampaikan oleh Penyelenggara melalui surat dan/atau sarana lain. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 3 Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œperusahaan efekโ€ adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai pasar modal. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œperusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asingโ€ adalah perusahaan pialang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing. Huruf g Persetujuan bagi lembaga lain untuk menjadi Peserta didasarkan pada pertimbangan antara lain: 1. ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pengembangan pasar keuangan di Indonesia; 3. 4. pertimbangan teknis. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau 4 Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Penetapan fungsi lain oleh Penyelenggara didasarkan pada pertimbangan antara lain: 1. ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. pengembangan pasar keuangan di Indonesia; 3. 4. pertimbangan teknis. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Pembayaran kewajiban lainnya terkait dengan kegiatan penggunaan Sistem BI-ETP antara lain ditujukan untuk pembebanan biaya Sistem BI-ETP dan pembebanan pengenaan sanksi administratif terkait Sistem BI-ETP. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia; dan/atau 5 Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemeriksaan dilakukan melalui kunjungan ke lokasi calon Peserta untuk memastikan kesiapan operasional Sistem BI-ETP calon Peserta antara lain dengan melihat kesesuaian informasi dalam dokumen yang disampaikan dengan kondisi di lapangan dan kesiapan infrastruktur. Pasal 15 Ayat (1) Penolakan permohonan akan diberitahukan oleh Penyelenggara melalui surat yang disertai alasan penolakan. 6 Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan โ€œidentitas diriโ€ adalah: 1. kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), atau paspor bagi warga negara Indonesia (WNI); atau 2. paspor, keterangan izin tinggal sementara (KITAS), dan surat izin kerja dari instansi berwenang bagi warga negara asing (WNA). Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. 7 Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œuji koneksi dengan Penyelenggaraโ€ adalah uji coba antara EPP yang berada di lokasi calon Peserta dengan ECN. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan participant code disertai dengan alasan penolakan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. 8 Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan nama disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan kegiatan usaha disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan lokasi EPP utama, EPP cadangan, dan/atau pemindahan JKD Peserta disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Penolakan permohonan perubahan spesimen tanda tangan pimpinan disertai dengan alasan penolakan. Ayat (2) Cukup jelas. 9 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penolakan permohonan perubahan kuasa disertai dengan alasan penolakan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penolakan permohonan perubahan penggunaan infrastruktur disertai dengan alasan penolakan. Ayat (4) Cukup jelas. 10 Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penolakan permohonan perubahan pihak lain yang diwakili oleh Peserta dalam melakukan Transaksi disertai dengan alasan penolakan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Peserta dengan status aktif dapat melakukan seluruh fungsi pada EPP sesuai dengan jenis kepesertaan dan hak akses Peserta yang bersangkutan. Huruf b Peserta dengan status dibekukan tidak dapat mengirim dan menerima seluruh instruksi Transaksi melalui Sistem BI-ETP. Peserta dengan status dibekukan masih dapat mengakses informasi atau data yang telah disinkronisasi dari ECN ke EPP. Huruf c Peserta dengan status ditutup merupakan Peserta yang dihentikan kepesertaannya dalam Sistem BI-ETP dan tidak dapat diaktifkan kembali sebagai Peserta. 11 Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Lembaga pengawas yang berwenang antara lain Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, pengawas makroprudensial dan sistem pembayaran, serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas pengawas mikroprudensial. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam alasan lain yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang terjadi berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Huruf a Kewajiban dalam penyelenggaraan Transaksi melalui Sistem BI-ETP antara lain biaya dan sanksi administratif berupa kewajiban membayar dalam Sistem BI-ETP. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 12 Ayat (3) Pengalihan aset dan kewajiban yang bukan merupakan penggabungan, peleburan, atau pemisahan yaitu pengalihan aset dan kewajiban yang dilakukan berdasarkan persetujuan dari lembaga pengawas yang berwenang. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. 13 Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œkebijakan dan prosedur tertulisโ€ adalah ketentuan yang berlaku sebagai pedoman operasional Sistem BI- ETP di Peserta yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di internal Peserta. Penyusunan kebijakan dan prosedur tertulis mencakup juga prosedur pengamanan penggunaan Sistem BI-ETP di lingkungan internal Peserta. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. 14 Huruf j Cukup jelas. Pasal 60 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal kebijakan dan prosedur tertulis dibuat dalam bahasa asing, kebijakan dan prosedur tertulis harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal security audit dilakukan oleh auditor internal maka dilengkapi dengan surat pernyataan pimpinan Peserta yang menyatakan bahwa pelaksanaan security audit dilakukan secara independen. Huruf c Cukup jelas. 15 Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Huruf a Data yang wajib dipelihara antara lain: 1. data transaksi; 2. aplikasi yang diberikan oleh Penyelenggara; dan/atau 3. ketentuan dan prosedur yang diberikan oleh Penyelenggara. Huruf b Pengamanan data antara lain berupa perlindungan dari akses pihak yang tidak berwenang. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 65 Huruf a Kegiatan memastikan petugas memahami sistem dan operasional Sistem BI-ETP dilakukan antara lain melalui pelatihan secara berkala. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. 16 Huruf h Penyimpanan dilakukan di tempat yang aman dan bebas dari berbagai sumber yang dapat merusak aplikasi EPP. Huruf i Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemilihan jenis dan lokasi EPP cadangan serta JKD cadangan Peserta dilakukan berdasarkan pertimbangan antara lain: 1. volume transaksi Peserta dan tingkat urgensi Sistem BI-ETP bagi Peserta; dan 2. pengendalian internal guna memitigasi risiko operasional di Peserta. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Kewajiban menjamin keamanan dan keandalan JKD dilakukan agar Sistem BI-ETP bebas dari segala sumber yang dapat merusak sistem termasuk kemungkinan penyalahgunaan (fraud), pembobolan data elektronis (hacking), serta perusakan sistem dengan cara membanjiri sistem dengan data dan/atau instruksi Transaksi serta data lainnya. 17 Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œadministratorโ€ adalah pengguna (user) yang memiliki kewenangan antara lain untuk melakukan setting limit Transaksi. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œsupervisorโ€ adalah pengguna (user) yang memiliki kewenangan operasional pada Sistem BI-ETP untuk melakukan kegiatan supervisi, termasuk menyetujui atau menolak data yang dikirim oleh operator meliputi hasil entry, construct, dan/atau perubahan data Transaksi dengan Bank Indonesia, serta mengirimkan administrative message antar-Peserta dan/atau kepada Penyelenggara. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œoperatorโ€ adalah pengguna (user) yang memiliki kewenangan operasional pada Sistem BI-ETP untuk melakukan entry atau construct data Transaksi, mengubah data Transaksi, membatalkan kuotasi Transaksi Pasar Keuangan, dan mengirimkan administrative message antar-Peserta dan/atau kepada Penyelenggara. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œviewerโ€ adalah pengguna (user) yang hanya dapat memonitor data dan/atau informasi pada Sistem BI-ETP serta tidak dapat melakukan fungsi kegiatan pengguna (user) dengan level administrator, supervisor, dan operator. 18 Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Digital Certificate Hard Token disimpan di dalam media USB flash drive. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Penolakan permohonan penambahan pengguna (user) disertai alasan penolakan. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. 19 Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Huruf a Dalam hal Peserta yang bertransaksi atas nama diri sendiri bukan merupakan peserta BI-SSSS dan/atau peserta Sistem BI-RTGS, Position Account berisi informasi: 1. Rekening Surat Berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh Peserta; dan 2. Rekening Setelmen Dana Bank Pembayar yang ditunjuk oleh Peserta. Huruf b Dalam hal Peserta bertransaksi atas nama pihak lain yang diwakili, yang merupakan peserta BI-SSSS dan/atau peserta Sistem BI-RTGS, Position Account berisi informasi: 1. Rekening Surat Berharga milik pihak yang diwakili; dan 2. Rekening Setelmen Dana milik pihak yang diwakili, untuk kepentingan Setelmen. Dalam hal Peserta bertransaksi atas nama pihak yang diwakili, yang bukan merupakan peserta BI-SSSS dan/atau peserta Sistem BI-RTGS, Position Account berisi informasi: 1. Rekening Surat Berharga Sub-Registry yang ditunjuk oleh pihak yang diwakili; dan 20 2. Rekening Dana Bank Pembayar yang ditunjuk oleh pihak yang diwakili, untuk kepentingan Setelmen. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œjual beli Surat Berharga secara putus (outright)โ€ adalah transaksi penjualan dan pembelian Surat Berharga oleh Peserta kepada Bank Indonesia secara putus tanpa kewajiban pembelian dan penjualan kembali. 21 Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrepurchase agreement (repo)โ€ yaitu transaksi penjualan Surat Berharga oleh Peserta kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œreverse repoโ€ yaitu transaksi pembelian Surat Berharga oleh Peserta kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œjual beli secara putus (outright)โ€ adalah transaksi penjualan dan pembelian Surat Berharga oleh Peserta secara putus tanpa kewajiban pembelian dan penjualan kembali. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œrepoโ€ yaitu transaksi penjualan Surat Berharga oleh Peserta, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œpinjam meminjam Surat Berharga (securities lending and borrowing)โ€ adalah transaksi pinjam meminjam Surat Berharga oleh Peserta dengan jaminan Surat Berharga atau dana. 22 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. 23 Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œshared EPPโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara kepada Peserta dengan menggunakan 1 (satu) aplikasi EPP yang di- install pada 1 (satu) infrastruktur dan dikonfigurasi untuk dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari 1 (satu) Peserta. Huruf b Yang dimaksud dengan โ€œstandalone EPPโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dengan 1 (satu) aplikasi EPP yang di-install pada 1 (satu) infrastruktur untuk digunakan oleh 1 (satu) Peserta. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œown EPPโ€ adalah metode layanan Fasilitas Guest Bank yang disediakan Penyelenggara dalam bentuk akses ke sistem di Penyelenggara dengan menggunakan aplikasi EPP yang di-install pada infrastruktur milik Peserta yang dibawa ke lokasi Fasilitas Guest Bank. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. 24 Pasal 113 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Termasuk keterlambatan atau tidak terlaksananya Transaksi dalam Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat antara lain disebabkan oleh penggunaan Fasilitas Guest Bank oleh Peserta. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi, data, dan/atau dokumen yang diperoleh Penyelenggara dapat diperoleh dari: a. Peserta yang bersangkutan; b. kegiatan operasional Peserta di Penyelenggara; dan/atau 25 c. pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jeas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan yang disampaikan kepada Penyelenggara atas inisiatif dari Peserta antara lain laporan gangguan Sistem BI-ETP yang dialami Peserta. Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemeriksaan langsung secara sewaktu-waktu antara lain dilakukan berdasarkan hasil klarifikasi dan/atau konfirmasi yang dilakukan dalam pemantauan tidak langsung. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 119 Ayat (1) Huruf a Informasi data dan/atau dokumen yang diperlukan antara lain: 26 1. dokumen asli dan/atau salinan dokumen yang berupa warkat atau deal ticket; 2. data elektronik yang terkait dengan pelaksanaan Transaksi melalui Sistem BI-ETP; dan/atau 3. penjelasan atau keterangan yang terkait dengan pelaksanaan Transaksi dan/atau kegiatan operasional Sistem BI-ETP lainnya. Huruf b Pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan infrastruktur pendukung termasuk permintaan pengujian infrastruktur Peserta yang digunakan dalam operasional Sistem BI-ETP. Akses untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap sarana fisik dan infrastruktur pendukung yang terkait dengan operasional Sistem BI-ETP di Peserta antara lain pemeriksaan terhadap EPP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 120 Ayat (1) Sanksi administratif berupa penurunan status kepesertaan dikenakan antara lain dengan pertimbangan keikutsertaan Peserta dapat mengakibatkan terganggunya keamanan Sistem BI- ETP. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. 27 Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/32/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN TRANSAKSI MELALUI SISTEM BANK INDONESIA-ELECTRONIC TRADING PLATFORM </reg_title> <set_date> 30 November 2018 </set_date> <effective_date> 30 November 2018 </effective_date> <replaced_reg> '17/36/DPM|SE-BI/2015' </replaced_reg> <related_reg> '17/18/PBI/2015', '20/11/PBI/2018' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/5/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna memastikan tetap terjaganya stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia perlu untuk mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan; b. bahwa untuk mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan tersebut, perlu ditingkatkan kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan dalam pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 2 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Makroprudensial dan Penyangga Intermediasi Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6194); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/33/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio 3 Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/33/PADG/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4 huruf a dan huruf b diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM sebesar 84% (delapan puluh empat persen); b. batas atas Target RIM sebesar 94% (sembilan puluh empat persen); c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). 2. Ketentuan Pasal 12 huruf a dan huruf b diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Besaran dan parameter yang digunakan dalam pemenuhan Giro RIM Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. batas bawah Target RIM Syariah sebesar 84% (delapan puluh empat persen); b. batas atas Target RIM Syariah sebesar 94% (sembilan puluh empat persen); 4 c. KPMM Insentif sebesar 14% (empat belas persen); d. Parameter Disinsentif Bawah sebesar 0,1 (nol koma satu); dan e. Parameter Disinsentif Atas sebesar 0,2 (nol koma dua). 3. Lampiran III dan Lampiran IV diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II 1. Ketentuan pengenaan sanksi bagi BUK yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM, BUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah, dan UUS yang melanggar kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2019. 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 2019............ ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/5/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Sejalan dengan momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia akan senantiasa menempuh kebijakan makroprudensial yang akomodatif guna mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan ekonomi, dengan tetap memperhatikan terjaganya stabilitas sistem keuangan. Meskipun saat ini pertumbuhan fungsi intermediasi perbankan masih terjaga dengan baik, secara umum, pertumbuhan kredit atau pembiayaan dari industri perbankan masih dapat ditingkatkan. Terkait dengan hal tersebut, Bank Indonesia perlu untuk memperkuat kebijakan makroprudensial melalui penyesuaian kisaran batas bawah dan batas atas yang digunakan dalam pemenuhan RIM dan RIM Syariah. Sehubungan dengan hal di atas, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/11/PADG/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 12 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/5/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/11/PADG/2018 TENTANG RASIO INTERMEDIASI MAKROPRUDENSIAL DAN PENYANGGA LIKUIDITAS MAKROPRUDENSIAL BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 29 Maret 2019 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2019 </effective_date> <changed_reg> '20/11/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/33/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/11/PADG/2018', '20/4/PBI/2018', '20/33/PADG/2018' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal II Angka 1' </penalty_list>
1 PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/10/PADG/2019 TENTANG STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dalam memperoleh layanan transfer dana dan layanan pembayaran reguler pada penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal yang semakin cepat, perlu dilakukan penyesuaian terhadap standar layanan bagi peserta dalam melakukan proses penyelesaian transaksi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Standar Layanan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5704) sebagaimana telah beberapa kali 2 diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/8/PBI/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6355); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SKNBI adalah infrastruktur yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal untuk memproses data keuangan elektronik pada layanan transfer dana, layanan kliring warkat debit, layanan pembayaran reguler, dan layanan penagihan reguler. 2. Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal adalah kegiatan dalam rangka memproses perhitungan hak dan kewajiban antarpeserta SKNBI yang setelmennya dilakukan pada waktu tertentu. 3. Layanan Transfer Dana adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antarpeserta dari 1 (satu) pengirim kepada 1 (satu) penerima. 4. Layanan Kliring Warkat Debit adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana yang dilakukan antarpeserta dari 1 (satu) pengirim tagihan 3 kepada 1 (satu) penerima tagihan, disertai dengan fisik warkat debit. 5. Layanan Pembayaran Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses pemindahan sejumlah dana antarpeserta dari 1 (satu) atau beberapa pengirim kepada 1 (satu) atau beberapa penerima. 6. Layanan Penagihan Reguler adalah layanan dalam SKNBI yang memproses penagihan sejumlah dana antarpeserta dari 1 (satu) pengirim tagihan kepada beberapa penerima tagihan. 7. Data Keuangan Elektronik yang selanjutnya disingkat DKE adalah data keuangan dalam format elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penyelenggaraan SKNBI. 8. DKE Transfer Dana adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Transfer Dana. 9. DKE Warkat Debit adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Kliring Warkat Debit. 10. DKE Pembayaran adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer dana dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Pembayaran Reguler. 11. DKE Penagihan adalah DKE yang dibuat berdasarkan perintah transfer debit dan digunakan sebagai dasar perhitungan dalam Layanan Penagihan Reguler. 12. Warkat Debit adalah alat pembayaran nontunai yang diperhitungkan atas beban nasabah atau bank melalui Layanan Kliring Warkat Debit. 13. Penyelenggara SKNBI yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah Bank Indonesia. 14. Peserta SKNBI yang selanjutnya disebut Peserta adalah pihak yang telah memenuhi persyaratan dan telah memperoleh persetujuan dari Penyelenggara sebagai Peserta. 4 BAB II STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM LAYANAN TRANSFER DANA Bagian Kesatu Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Dana Pasal 2 (1) Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabah pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar. (2) Perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. identitas nasabah pengirim; b. identitas nasabah penerima; c. identitas Peserta penerima; d. jumlah dana yang ditransfer; e. tanggal perintah transfer dana; dan f. yang berlaku dicantumkan dalam perintah transfer dana. (3) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan identitas nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memuat nama dan nomor rekening. (4) Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat nama Peserta penerima. (5) Dalam hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening pada Peserta pengirim, identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat nama, alamat, nomor telepon, dan nomor identitas nasabah pengirim. informasi lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib 5 Bagian Kedua Tanggung Jawab Peserta Pengirim Pasal 3 Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta pengirim bertanggung jawab untuk: a. memastikan kelengkapan pengisian perintah transfer dana; b. memastikan kesesuaian DKE Transfer Dana dengan perintah transfer dana; c. mengirimkan DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima setelah melakukan pengaksepan perintah transfer dana; d. mengirimkan kembali DKE Transfer Dana yang tidak diproses oleh Penyelenggara karena alasan tertentu; e. menyelesaikan kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana; dan f. melakukan pengembalian dana apabila DKE Transfer Dana dikembalikan oleh Peserta penerima karena alasan tertentu. Pasal 4 (1) Pengiriman DKE Transfer Dana kepada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim harus meneruskan perintah transfer dana dalam bentuk DKE Transfer Dana; b. pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana; c. pengiriman DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana; d. DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam huruf c harus didukung dengan dana yang cukup; dan 6 e. pendebitan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengiriman DKE Transfer Dana. (2) Peserta pengirim harus mengirimkan DKE Transfer Dana pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah jam Layanan Transfer Dana dimulai dalam hal perintah transfer dana dari nasabah diterima oleh Peserta pengirim: a. kurang dari 1 (satu) jam sebelum jam Layanan Transfer Dana berakhir di Penyelenggara dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup waktu untuk meneruskan perintah transfer dana; atau b. setelah berakhirnya jam layanan nasabah yang ditetapkan oleh Peserta. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, dan ayat (2) dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan antara nasabah pengirim dan Peserta pengirim. (4) Dalam hal pendebitan rekening nasabah dilakukan lebih awal dari tanggal pengiriman DKE Transfer Dana, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (5) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Pasal 5 Pengiriman kembali DKE Transfer Dana yang tidak diproses oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 7 a. Peserta pengirim membuat dan mengirimkan kembali DKE Transfer Dana pada: 1. tanggal yang sama; atau 2. pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah jam Layanan Transfer Dana dimulai; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer Dana, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Pasal 6 (1) Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama dengan pengaksepan perintah transfer dana atas beban Peserta pengirim; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah 8 pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer Dana, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. (2) Peserta pengirim dapat meminta pengembalian dana akibat kekeliruan pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penyerahan surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) kepada Peserta penerima. (3) Peserta penerima harus melaksanakan permintaan pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 7 (1) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengembalian dana oleh Peserta pengirim kepada nasabah pengirim dilakukan melalui: 1. pengkreditan rekening nasabah pengirim; atau 2. penyampaian pemberitahuan kepada nasabah pengirim untuk mengambil kembali dana, dalam hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening di Peserta pengirim; b. pengkreditan rekening nasabah pengirim sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1 dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengembalian DKE Transfer Dana; dan c. pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengembalian DKE Transfer Dana oleh Peserta penerima. 9 (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, Peserta pengirim harus membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengembalian DKE Transfer Dana sampai dengan tanggal Peserta pengirim melakukan pengkreditan rekening nasabah pengirim atau menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Peserta Penerima Pasal 8 Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta penerima bertanggung jawab untuk: a. meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana; b. menyelesaikan kekeliruan penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak berhak; dan c. mengembalikan dana kepada Peserta pengirim karena alasan tertentu. Pasal 9 (1) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 10 a. Peserta penerima meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Transfer Dana yang diterima dari Peserta pengirim; b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara; c. penerusan dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah setelmen dana oleh Penyelenggara; d. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah penerima; dan e. batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan nama atau nomor rekening nasabah penerima dengan nama atau nomor rekening nasabah penerima yang ditatausahakan oleh Peserta penerima. (2) Peserta penerima dapat melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima setelah Peserta penerima melakukan download confirmed incoming DKE Transfer Dana. (3) Dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (4) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. 11 (5) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak berlaku apabila Peserta penerima menunda penerusan dana berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 10 Penyelesaian kekeliruan penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara; b. pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan tanpa menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima yang tidak berhak; c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points; d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. 12 Pasal 11 (1) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim karena alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengembalian dana kepada Peserta pengirim dilakukan dalam hal: 1. berdasarkan hasil verifikasi, Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana kepada nasabah penerima; atau 2. Peserta pengirim mengajukan permintaan pengembalian dana karena kekeliruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); dan b. dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 dan Peserta penerima telah meneruskan dana sesuai dengan perintah transfer dana dari Peserta pengirim maka Peserta penerima harus memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim. (2) Peserta penerima harus membantu penyelesaian pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). BAB III STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM LAYANAN KLIRING WARKAT DEBIT Bagian Kesatu Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Debit Pasal 12 (1) Perintah transfer debit yang dibuat oleh nasabah pengirim paling kurang memuat: a. identitas nasabah pengirim; b. jenis Warkat Debit; c. tanggal perintah transfer debit; 13 d. jumlah dana yang ditagih; e. identitas nasabah penerima; dan f. informasi lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dicantumkan dalam perintah transfer debit. (2) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat nama dan nomor rekening. (3) Dalam hal nasabah pengirim tidak memiliki rekening pada Peserta pengirim, identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat nama, alamat, nomor telepon, dan nomor identitas nasabah pengirim. (4) Jenis Warkat Debit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. cek; b. bilyet giro; c. nota debit; dan d. Warkat Debit lainnya yang disetujui oleh Penyelenggara untuk dikliringkan. Bagian Kedua Tanggung Jawab Peserta Pengirim Pasal 13 Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta pengirim bertanggung jawab untuk: a. menerima Warkat Debit dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku; b. memastikan kesesuaian DKE Warkat Debit dengan data pada Warkat Debit yang menjadi dasar pembuatan DKE Warkat Debit; c. mengirimkan DKE Warkat Debit dan Warkat Debit kepada Peserta penerima setelah melakukan pengaksepan perintah transfer debit; wajib 14 d. menyelesaikan kekeliruan dalam pengiriman DKE Warkat Debit; dan e. meneruskan dana kepada nasabah pengirim. Pasal 14 (1) Pengiriman DKE Warkat Debit dan Warkat Debit kepada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim meneruskan perintah transfer debit dalam bentuk DKE Warkat Debit disertai dengan Warkat Debit; b. pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan pada: 1. tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya Warkat Debit dari nasabah; atau 2. paling lambat hari kerja berikutnya apabila Warkat Debit diterima setelah berakhirnya jam layanan nasabah; c. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan lain antara nasabah pengirim dengan Peserta pengirim; dan d. khusus untuk wilayah kliring yang memberlakukan penyelesaian lebih dari 1 (satu) hari kerja, pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam huruf b dapat dilakukan oleh Peserta pengirim 1 (hari) kerja sebelum tanggal berlakunya Warkat Debit. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. 15 (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditagih. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda pengiriman DKE Warkat Debit berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15 Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Warkat Debit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Warkat Debit atas beban Peserta pengirim sesuai dengan perintah transfer debit pada tanggal yang sama dengan tanggal pengaksepan perintah transfer debit; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan 16 c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Warkat Debit, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditagih. Pasal 16 (1) Penerusan dana kepada nasabah pengirim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim wajib meneruskan dana hasil penagihan Warkat Debit kepada nasabah pengirim setelah setelmen dana oleh Penyelenggara; b. untuk nasabah pengirim yang memiliki rekening di Peserta pengirim, penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana; dan c. untuk nasabah pengirim yang tidak memiliki rekening di Peserta pengirim maka Peserta pengirim menyampaikan pemberitahuan kepada nasabah pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana atau paling lambat pada hari kerja berikutnya. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. 17 (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal pelaksanaan pengkreditan pada rekening nasabah pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditagih. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda penerusan dana berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Peserta Penerima Pasal 17 Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta penerima bertanggung jawab untuk: a. melakukan verifikasi Warkat Debit yang diterima dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku; dan b. memproses DKE Warkat Debit yang diterima dari Peserta pengirim. Pasal 18 Pemrosesan DKE Warkat Debit yang diterima dari Peserta pengirim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima memproses DKE Warkat Debit yang diterima sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. dalam hal Warkat Debit telah memenuhi persyaratan untuk dibayarkan namun tidak didukung dengan prefund debit yang cukup, Peserta penerima wajib melakukan pembayaran di luar kliring kepada Peserta pengirim pada 18 tanggal yang sama dengan tanggal penolakan DKE Warkat Debit; c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim melalui Peserta pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening di Peserta penerima; dan d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal penolakan sampai dengan Peserta penerima melakukan pembayaran, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening di Peserta penerima x 1/365 x nominal dana yang ditagih. BAB IV STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM LAYANAN PEMBAYARAN REGULER Bagian Kesatu Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Dana Pasal 19 (1) Peserta pengirim harus mensyaratkan kepada nasabah pengirim untuk mengisi perintah transfer dana secara lengkap dan benar. (2) Perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim paling sedikit memuat informasi sebagai berikut: a. identitas nasabah pengirim; b. identitas nasabah penerima; c. identitas Peserta penerima; d. jumlah dana yang ditransfer; 19 e. tanggal perintah transfer dana; dan f. informasi lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dicantumkan dalam perintah transfer dana. (3) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan identitas nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling sedikit memuat nama dan nomor rekening. (4) Identitas Peserta penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit memuat nama Peserta penerima. Bagian Kedua Tanggung Jawab Peserta Pengirim Pasal 20 Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta pengirim bertanggung jawab untuk: a. memastikan kelengkapan pengisian perintah transfer dana; b. memastikan kesesuaian DKE Pembayaran dengan perintah transfer dana; c. mengirimkan DKE Pembayaran kepada Peserta penerima setelah melakukan pengaksepan perintah transfer dana; d. mengirimkan kembali DKE Pembayaran yang tidak diproses oleh Penyelenggara karena alasan tertentu; e. menyelesaikan kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran; dan f. melakukan pengembalian dana apabila DKE Pembayaran dikembalikan oleh Peserta penerima karena alasan tertentu. Pasal 21 (1) Pengiriman DKE Pembayaran kepada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: wajib 20 a. Peserta pengirim harus meneruskan perintah transfer dana dalam bentuk DKE Pembayaran; b. pengiriman DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal diterimanya perintah transfer dana; c. pengiriman DKE Pembayaran pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan oleh Peserta pengirim paling lama 1 (satu) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana; d. DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c harus didukung dengan dana yang cukup; dan e. pendebitan rekening nasabah pengirim harus dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengiriman DKE Pembayaran. (2) Peserta pengirim harus mengirimkan DKE Pembayaran pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah jam Layanan Pembayaran Reguler dimulai dalam hal perintah transfer dana dari nasabah diterima oleh Peserta pengirim: a. kurang dari 1 (satu) jam sebelum jam Layanan Pembayaran Reguler berakhir di Penyelenggara dan Peserta pengirim tidak mempunyai cukup waktu untuk meneruskan perintah transfer dana; atau b. setelah berakhirnya jam layanan nasabah yang ditetapkan oleh Peserta. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (1) huruf c, dan ayat (2) dikecualikan sepanjang terdapat kesepakatan antara nasabah pengirim dan Peserta pengirim. (4) Dalam hal pendebitan rekening nasabah dilakukan lebih awal dari tanggal pengiriman DKE Pembayaran, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. 21 (5) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Pasal 22 Pengiriman kembali DKE Pembayaran yang tidak diproses oleh Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim membuat dan mengirimkan kembali DKE Pembayaran pada: 1. tanggal yang sama; atau 2. pada hari kerja berikutnya paling lama 1 (satu) jam setelah jam Layanan Pembayaran Reguler dimulai; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Pembayaran, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. 22 Pasal 23 (1) Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Pembayaran pada tanggal yang sama dengan pengaksepan perintah transfer dana atas beban Peserta pengirim; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pendebitan rekening nasabah pengirim sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Pembayaran, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. (2) Peserta pengirim dapat meminta pengembalian dana akibat kekeliruan pengiriman DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai penyerahan surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) kepada Peserta penerima. (3) Peserta penerima harus melaksanakan permintaan pengembalian dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2). 23 Pasal 24 (1) Pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf f, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengembalian dana oleh Peserta pengirim kepada nasabah pengirim melalui pengkreditan rekening nasabah pengirim; dan b. pengkreditan rekening nasabah pengirim sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pengembalian DKE Pembayaran. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta pengirim harus membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengembalian DKE Pembayaran sampai dengan tanggal Peserta pengirim melakukan pengkreditan rekening nasabah pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Peserta Penerima Pasal 25 Dalam melaksanakan perintah transfer dana, Peserta penerima bertanggung jawab untuk: a. meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Pembayaran; 24 b. menyelesaikan kekeliruan penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak berhak; dan c. mengembalikan dana kepada Peserta pengirim karena alasan tertentu. Pasal 26 (1) Penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima meneruskan dana kepada nasabah penerima setelah melakukan pengaksepan atas hasil verifikasi DKE Pembayaran yang diterima dari Peserta pengirim; b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara; c. penerusan dana pada tanggal yang sama sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dilakukan paling lama 1 (satu) jam setelah setelmen dana oleh Penyelenggara; d. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah penerima; dan e. batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c tidak berlaku dalam hal terdapat perbedaan nama atau nomor rekening nasabah penerima dengan nama atau nomor rekening nasabah penerima yang ditatausahakan oleh Peserta penerima. (2) Peserta penerima dapat melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima setelah Peserta penerima melakukan download confirmed incoming DKE Pembayaran. 25 (3) Dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (4) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. (5) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak berlaku apabila Peserta penerima menunda penerusan dana berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 27 Penyelesaian kekeliruan penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima melakukan pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana oleh Penyelenggara; b. pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan tanpa menunggu pengembalian dana dari nasabah penerima yang tidak berhak; c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau 26 kompensasi kepada nasabah penerima yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah penerima, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points; d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal pengkreditan rekening nasabah penerima yang berhak, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah penerima + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditransfer. Pasal 28 (1) Pengembalian dana kepada Peserta pengirim karena alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. pengembalian dana kepada Peserta pengirim dilakukan dalam hal: 1. berdasarkan hasil verifikasi Peserta penerima tidak dapat meneruskan dana kepada nasabah penerima; atau 2. Peserta pengirim mengajukan permintaan pengembalian dana karena kekeliruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2); dan b. dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 2 dan Peserta penerima telah meneruskan dana sesuai dengan perintah transfer dana dari Peserta pengirim maka Peserta penerima harus memberikan tanggapan kepada Peserta pengirim paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permintaan pengembalian dana dari Peserta pengirim. (2) Peserta penerima harus membantu penyelesaian pengembalian dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 27 BAB V STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM LAYANAN PENAGIHAN REGULER Bagian Kesatu Tata Cara Pengisian Perintah Transfer Debit Pasal 29 (1) Perintah transfer debit yang dibuat oleh nasabah pengirim paling kurang memuat: a. identitas nasabah pengirim; b. tanggal perintah transfer debit; c. jumlah dana yang ditagih; d. identitas nasabah penerima; dan e. informasi lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dicantumkan dalam perintah transfer debit. (2) Identitas nasabah pengirim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan identitas nasabah penerima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling kurang memuat nama dan nomor rekening. Bagian Kedua Tanggung Jawab Peserta Pengirim Pasal 30 Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta pengirim bertanggung jawab untuk: a. memastikan kesesuaian DKE Penagihan dengan perintah transfer debit yang disampaikan oleh nasabah pengirim; b. mengirimkan DKE Penagihan kepada Peserta penerima setelah melakukan pengaksepan perintah transfer debit; c. menyelesaikan kekeliruan dalam pengiriman DKE Penagihan; dan d. meneruskan dana kepada nasabah pengirim. wajib 28 Pasal 31 (1) Pengiriman DKE Penagihan kepada Peserta penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf b, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim meneruskan perintah transfer debit dalam bentuk DKE Penagihan; dan b. pengiriman DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal perintah transfer debit. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points. (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditagih. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda pengiriman DKE Penagihan berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 32 Penyelesaian kekeliruan pengiriman DKE Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 29 a. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Penagihan atas beban Peserta pengirim sesuai dengan perintah transfer debit pada tanggal yang sama dengan tanggal pengaksepan perintah transfer debit; b. dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim; dan c. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal pengaksepan perintah transfer debit sampai dengan tanggal Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim x 1/365 x nominal dana yang ditagih. Pasal 33 (1) Penerusan dana kepada nasabah pengirim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf d, diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta pengirim wajib meneruskan dana hasil penagihan kepada nasabah pengirim setelah setelmen dana oleh Penyelenggara; dan b. penerusan dana sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan melalui pengkreditan rekening nasabah pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal setelmen dana. (2) Dalam hal Peserta pengirim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Peserta pengirim wajib membayar jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening nasabah pengirim, ditambah dengan 200 (dua ratus) basis points; 30 (3) Jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal setelmen dana sampai dengan tanggal pelaksanaan pengkreditan rekening nasabah pengirim, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x (tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening nasabah pengirim + 2)% x 1/365 x nominal dana yang ditagih. (4) Ketentuan kewajiban pembayaran tambahan 200 (dua ratus) basis points sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila Peserta pengirim menunda penerusan dana berdasarkan: a. permintaan pihak yang berwenang; atau b. ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketiga Tanggung Jawab Peserta Penerima Pasal 34 (1) Dalam melaksanakan perintah transfer debit, Peserta penerima bertanggung jawab memproses DKE Penagihan yang diterima dari Peserta pengirim. (2) Pemrosesan DKE Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut: a. Peserta penerima memproses DKE Penagihan yang diterima sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. dalam hal DKE Penagihan telah memenuhi persyaratan untuk dibayarkan namun tidak didukung dengan prefund debit yang cukup, Peserta penerima wajib melakukan pembayaran tagihan di luar kliring kepada Peserta pengirim pada tanggal yang sama dengan tanggal penolakan DKE Penagihan; c. dalam hal Peserta penerima tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Peserta penerima wajib membayar jasa, bunga, 31 imbalan, atau kompensasi kepada nasabah pengirim melalui Peserta pengirim yang besarnya didasarkan pada jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi pada rekening di Peserta penerima; dan d. jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dihitung berdasarkan hari kalender, sejak tanggal penolakan sampai dengan Peserta penerima melakukan pembayaran, dengan rumus jumlah hari keterlambatan x tingkat jasa, bunga, imbalan, atau kompensasi untuk jenis rekening di Peserta penerima x 1/365 x nominal dana yang ditagih. BAB VI TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 35 (1) Peserta pengirim yang tidak memenuhi kewajiban pengiriman DKE Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dan/atau DKE Pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dikenai sanksi administratif berupa kewajiban membayar. (2) Peserta penerima yang tidak memenuhi kewajiban penerusan dana kepada nasabah penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan/atau Pasal 26 ayat (1) huruf c dikenai sanksi administratif berupa sanksi kewajiban membayar. (3) Pengenaan sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan mendebit rekening setelmen dana Peserta. (4) Pendebitan rekening setelmen dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak periode pemantauan berakhir. 32 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 36 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku maka: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/14/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/9/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/14/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Perlindungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 37 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2019. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. dengan Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Mei 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD SUGENG 2 PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/10/PADG/2019 TENTANG STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan efisiensi penyelesaian transaksi di masyarakat melalui penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang semakin cepat dengan tetap memperhatikan perlindungan kepada nasabah. Untuk memastikan kebijakan percepatan setelmen dana dirasakan oleh masyarakat, Bank Indonesia melakukan penyesuaian terhadap standar layanan pemrosesan transaksi yang harus diberikan Peserta kepada nasabahnya dari 2 (dua) jam menjadi 1 (satu) jam. Pemberlakuan standar layanan tersebut tidak hanya mencakup dari sisi Peserta pengirim dalam meneruskan perintah transfer dana yang diterima dari nasabah namun juga dari sisi Peserta penerima untuk meneruskan dana kepada nasabah penerima. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œketentuan peraturan perundangan- undangan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: 1. transfer dana; 2. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan 3. prinsip mengenal nasabah. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmelakukan pengaksepan perintah transfer danaโ€ adalah apabila Peserta pengirim telah: 1. melakukan pendebitan rekening nasabah pengirim; 3 2. menerbitkan perintah transfer dana yang dimaksudkan untuk melaksanakan perintah transfer dana dari nasabah pengirim; atau 3. menyampaikan pemberitahuan pengaksepan kepada nasabah pengirim melalui media yang disepakati. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain: 1. DKE Transfer Dana tidak didukung dengan dana yang cukup; atau 2. sandi Peserta penerima tidak valid. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œkekeliruan pengiriman DKE Transfer Danaโ€ antara lain Peserta pengirim melakukan pengiriman DKE Transfer Dana yang tidak sesuai dengan perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain: 1. nama dan nomor rekening nasabah penerima tidak ada dalam administrasi Peserta penerima; dan/atau 2. rekening nasabah penerima telah ditutup. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 10.00 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta pengirim baru 4 mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal 13 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Pasal 5 Huruf a Angka 1 Pengiriman kembali DKE Transfer Dana dilakukan pada tanggal yang sama apabila Penyelenggara tidak melakukan pemrosesan DKE Transfer Dana dengan alasan selain DKE Transfer Dana tidak didukung dengan dana yang cukup. Angka 2 Pengiriman kembali DKE Transfer Dana dilakukan pada hari kerja berikutnya apabila Penyelenggara tidak melakukan pemrosesan DKE Transfer Dana dengan alasan DKE Transfer Dana tidak didukung dengan dana yang cukup. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 9 Mei 2019 pukul 15.00. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal yang sama. Namun demikian, DKE Transfer Dana tersebut tidak diproses oleh Penyelenggara karena tidak didukung dengan dana yang cukup. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Transfer Dana pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 11.00. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 1 x 5% x Rp2.000.000,00 365 = Rp273,97 = Rp1.150,69 5 Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Pengiriman DKE Transfer Dana dilakukan pada tanggal yang sama. Namun demikian, Peserta pengirim melakukan kesalahan yang mengakibatkan dana ditujukan kepada nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Transfer Dana yang baru pada tanggal 14 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 4 x 5% x Rp2.000.000,00 365 Ayat (2) Surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) paling sedikit berisi: a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh karyawannya dan pihak lainnya yang terkait dengan pengembalian dana, terhadap kemungkinan gugatan atau tindakan hukum lainnya akibat pengembalian dana yang dilakukan oleh Peserta penerima; dan b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala akibat hukum yang timbul akibat pengembalian dana oleh Peserta penerima. Ayat (3) Cukup jelas. = Rp1.095,89 6 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah pengirim untuk mengambil kembali dana di Peserta pengirim. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain Peserta pengirim melakukan kekeliruan dalam pengiriman DKE Transfer Dana. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 7 Ayat (4) Contoh: Peserta penerima memperoleh DKE Transfer Dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima melakukan penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2015 ke rekening nasabah penerima. Berdasarkan hal tersebut, Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œketentuan peraturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank; b. prinsip mengenal nasabah; dan c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. = Rp1.150,69 8 Huruf d Contoh: Peserta penerima memperoleh DKE Transfer Dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta penerima melakukan penerusan dana kembali pada tanggal 14 Mei 2019 ke rekening nasabah penerima yang berhak. Berdasarkan hal tersebut, Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima yang berhak sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis points selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 4 x (5% +2%) x Rp2.000.000,00 365 Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tanggapan kepada Peserta pengirim dilakukan dengan mempertimbangkan pembebasan tanggung = Rp1.534,25 jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œmembantu penyelesaian pengembalian danaโ€ antara lain berupa memberikan data terkait dengan pengkreditan rekening nasabah penerima yang tidak berhak. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 9 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œperaturan perundangan-undangan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai: a. transfer dana; b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan c. prinsip mengenal nasabah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œmenerima Warkat Debitโ€ adalah penerimaan Warkat Debit dari nasabah yang memiliki tagihan. Yang dimaksud dengan โ€œketentuan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: 1. cek dan bilyet giro; dan 2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. 10 Huruf d Kekeliruan dalam pengiriman DKE Warkat Debit dapat disebabkan oleh: 1. DKE Warkat Debit tidak sesuai dengan data pada Warkat Debit yang diterima; atau 2. DKE Warkat Debit dikirim tanpa disertai Warkat Debit atau sebaliknya, sehingga ditolak oleh Peserta penerima. Huruf e Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Penerusan perintah transfer debit dalam bentuk DKE Warkat Debit pada tanggal yang sama dilakukan apabila Warkat Debit diterima dalam jam layanan nasabah dan Peserta pengirim mempunyai cukup waktu untuk mengkliringkannya. Angka 2 Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit yang telah jatuh tempo dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 kepada Peserta pengirim. Bunga rekening giro yaitu sebesar 5% (lima persen) per 11 tahun. Peserta pengirim baru mengkliringkan Warkat Debit dan mengirimkan DKE Warkat Debit tersebut pada tanggal 13 Mei 2019. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas Warkat Debit tersebut dan setelmen dana dapat dilakukan pada tanggal yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œperaturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit yang telah jatuh tempo pada tanggal 09 Mei 2019 pukul 09.00 kepada Peserta pengirim. Bunga rekening giro yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit pada tanggal yang sama namun tanpa disertai Warkat Debit sehingga ditolak oleh Peserta penerima. Peserta pengirim mengirimkan DKE Warkat Debit dan mengkliringkan = Rp1.150,69 12 kembali Warkat Debit tersebut pada tanggal 10 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 1 x 5% x Rp2.000.000,00 365 Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemberitahuan merupakan dasar bagi nasabah pengirim untuk mengambil dana di Peserta pengirim. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Nasabah pengirim di Kota Denpasar menyetorkan Warkat Debit yang telah jatuh tempo dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 09.00 kepada Peserta pengirim. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengkliringkan Warkat Debit dan mengirimkan DKE Warkat Debit tersebut pada tanggal yang sama. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas Warkat Debit tersebut dan setelmen dana dapat dilakukan pada tanggal yang sama. Peserta pengirim melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim melakukan penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2019 ke rekening nasabah pengirim. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga kepada nasabah pengirim sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: = Rp273,97 13 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œperaturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank; b. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œketentuan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: 1. cek dan bilyet giro; dan 2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. = Rp1.150,69 14 Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œketentuan peraturan perundangan- undangan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: 1. transfer dana; 2. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan 3. prinsip mengenal nasabah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. 15 Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œmelakukan pengaksepan perintah transfer danaโ€ adalah apabila Peserta pengirim telah: 1. melakukan pendebitan rekening nasabah pengirim; 2. menerbitkan perintah transfer dana yang dimaksudkan untuk melaksanakan perintah transfer dana dari nasabah pengirim; atau 3. menyampaikan pemberitahuan pengaksepan kepada nasabah pengirim melalui media yang disepakati. Huruf d Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain: 1. DKE Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup; atau 2. sandi Peserta penerima tidak valid. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œkekeliruan pengiriman DKE Pembayaranโ€ antara lain Peserta pengirim melakukan pengiriman DKE Pembayaran yang tidak sesuai dengan perintah transfer dana yang dibuat oleh nasabah pengirim. Huruf f Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain: 1. nama dan nomor rekening nasabah penerima tidak ada dalam administrasi Peserta penerima; dan/atau 2. rekening nasabah penerima telah ditutup. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. 16 Ayat (5) Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 10.00 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Transfer Dana pada tanggal 13 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Pasal 22 Huruf a Angka 1 Pengiriman kembali DKE Pembayaran dilakukan pada tanggal yang sama apabila Penyelenggara tidak melakukan pemrosesan DKE Pembayaran dengan alasan selain DKE Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup. Angka 2 Pengiriman kembali DKE Pembayaran dilakukan pada hari kerja berikutnya apabila Penyelenggara tidak melakukan pemrosesan DKE Pembayaran dengan alasan DKE Pembayaran tidak didukung dengan dana yang cukup. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 09 Mei 2019 pukul 15.00. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE Pembayaran pada tanggal yang sama. Namun demikian, DKE Pembayaran tersebut tidak diproses oleh Penyelenggara karena tidak didukung dengan dana yang cukup. = Rp1.150,69 17 Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Pembayaran pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 11.00. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 1 x 5% x Rp2.000.000,00 365 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah memberikan perintah transfer dana dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 dan rekeningnya telah didebit pada tanggal yang sama. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Pengiriman DKE Pembayaran dilakukan pada tanggal yang sama. Namun demikian, Peserta pengirim melakukan kesalahan yang mengakibatkan dana ditujukan kepada nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Transfer Dana yang baru pada tanggal 14 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 4 x 5% x Rp2.000.000,00 365 = Rp1.095,89 = Rp273,97 18 Ayat (2) Surat pernyataan pembebasan tanggung jawab (indemnity) paling sedikit berisi: a. pembebasan tanggung jawab Peserta penerima, termasuk seluruh karyawannya dan pihak lainnya yang terkait dengan pengembalian dana, terhadap kemungkinan gugatan atau tindakan hukum lainnya akibat pengembalian dana yang dilakukan oleh Peserta penerima; dan b. kesediaan Peserta pengirim untuk menanggung segala akibat hukum yang timbul akibat pengembalian dana oleh Peserta penerima. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan โ€œalasan tertentuโ€ antara lain Peserta pengirim melakukan kekeliruan dalam pengiriman DKE Pembayaran. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. 19 Ayat (4) Contoh: Peserta penerima memperoleh DKE Pembayaran dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima melakukan penerusan dana pada tanggal 13 Mei 2015 ke rekening nasabah penerima. Berdasarkan hal tersebut, Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis point selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œketentuan peraturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank; b. prinsip mengenal nasabah; dan c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 27 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. = Rp1.150,69 20 Huruf d Contoh: Peserta penerima memperoleh DKE Pembayaran dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Namun demikian, Peserta penerima melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta penerima melakukan penerusan dana kembali pada tanggal 14 Mei 2019 ke rekening nasabah penerima yang berhak. Berdasarkan hal tersebut, Peserta penerima wajib memberikan bunga kepada nasabah penerima yang berhak sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 basis points selama 4 (empat) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 4 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tanggapan kepada Peserta pengirim dilakukan dengan mempertimbangkan pembebasan tanggung = Rp1.534,25 jawab (indemnity) yang diterima dari Peserta pengirim dan kebijakan serta ketentuan internal Peserta penerima. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œmembantu penyelesaian pegembalian danaโ€ antara lain berupa memberikan data terkait dengan pengkreditan rekening nasabah penerima yang tidak berhak. Pasal 29 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c 21 Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan โ€œperaturan perundangan-undangan berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai: a. transfer dana; b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; dan c. prinsip mengenal nasabah. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kekeliruan dalam pengiriman DKE Penagihan dapat disebabkan oleh: 1. DKE Penagihan tidak sesuai dengan perintah transfer debit; atau 2. DKE Penagihan dikirim tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam perjanjian, sehingga DKE Penagihan ditolak oleh Peserta penerima. Huruf d Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. 22 Ayat (3) Contoh: Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 kepada Peserta pengirim. Peserta pengirim baru mengirimkan DKE Penagihan pada tanggal 13 Mei 2019. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas tagihan karena telah sesuai dengan standing instruction dan setelmen dana dilakukan pada tanggal yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œperaturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. penerapan prinsip mengenal nasabah; dan b. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh: Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 09 Mei 2019 pukul 10.00 kepada Peserta pengirim. Bunga = Rp1.150,69 23 rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta pengirim mengirimkan DKE Penagihan pada tanggal yang sama namun nominal penagihan tidak sesuai dengan perintah transfer debit yang disampaikan oleh nasabah pengirim maupun standing instruction sehingga ditolak oleh Peserta penerima. Peserta pengirim mengirimkan kembali DKE Penagihan tersebut pada tanggal 10 Mei 2019. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga sebesar 5% (lima persen) selama 1 (satu) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 1 x 5% x Rp2.000.000,00 365 Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Nasabah pengirim memberikan perintah transfer debit dengan nominal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) pada tanggal 10 Mei 2019 pukul 10.00 kepada Peserta pengirim. Bunga rekening tabungan nasabah yaitu sebesar 5% (lima persen) per tahun. Peserta penerima tidak melakukan penolakan atas tagihan karena telah sesuai dengan standing instruction dan Setelmen Dana dilakukan pada tanggal yang sama. Peserta pengirim melakukan kekeliruan sehingga mengakibatkan dana diterima oleh nasabah yang tidak berhak. Peserta pengirim melakukan penerusan dana kembali pada tanggal 13 Mei 2019 ke rekening nasabah pengirim yang berhak. Berdasarkan hal tersebut, Peserta pengirim wajib memberikan bunga kepada nasabah pengirim sebesar 5% (lima persen) ditambah 200 (dua ratus) basis points selama 3 (tiga) hari, dengan perhitungan sebagai berikut: 3 x (5% + 2%) x Rp2.000.000,00 365 = Rp1.150,69 = Rp273,97 24 Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œpihak yang berwenangโ€ antara lain kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan pengadilan. Huruf b Yang dimaksud โ€œperaturan perundang-undanganโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: a. pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh Bank; b. prinsip mengenal nasabah;, dan c. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan โ€œketentuan yang berlakuโ€ antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai: 1. transfer dana; dan 2. penyelenggaraan transfer dana dan kliring berjadwal oleh Bank Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. 25 Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/10/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> STANDAR LAYANAN NASABAH DALAM PELAKSANAAN TRANSFER DANA DAN KLIRING BERJADWAL MELALUI SISTEM KLIRING NASIONAL BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Mei 2019 </set_date> <effective_date> 1 September 2019 </effective_date> <replaced_reg> '17/14/DPSP|SE-BI/2015', '18/9/DPSP|SE-BI/2016' </replaced_reg> <related_reg> '17/9/PBI/2015', '21/8/PBI/2019' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/2/PADG/2020 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat, perlu dilakukan penyesuaian pemenuhan giro wajib minimum dalam valuta asing bagi bank umum konvensional; b. bahwa penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan untuk menambah ketersediaan likuiditas valuta asing perbankan dalam meningkatkan pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi oleh perbankan konvensional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam 2 Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6193); 2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/27/PADG/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tanggal 31 Mei 2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan 3 Unit Usaha Syariah yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur: a. Nomor 20/30/PADG/2018 tanggal 30 November 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; b. Nomor 21/14/PADG/2019 tanggal 26 Juni 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah; c. Nomor 21/27/PADG/2019 tanggal 26 Desember 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar rata-rata 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam valuta asing selama periode laporan tertentu, yang wajib dipenuhi: a. secara harian sebesar 2% (dua persen); dan b. secara rata-rata sebesar 2% (dua persen). 2. Ketentuan ayat (3) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 7 tidak berlaku bagi BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek. 4 (2) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam rupiah secara harian sebesar 5,5% (lima koma lima persen) dari DPK BUK dalam rupiah. (3) BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek wajib memenuhi GWM dalam valuta asing secara harian sebesar 4% (empat persen) dari DPK BUK dalam valuta asing. (4) Pemenuhan GWM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sejak tanggal aktivasi pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pelunasan pinjaman likuiditas jangka pendek. 3. Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran V diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, Lampiran IV, dan Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal 16 Maret 2020. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2020 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, DODY BUDI WALUYO TTD PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 22/2/PADG/2020 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH I. UMUM Untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat, Bank Indonesia senantiasa berupaya melakukan penyempurnaan kebijakan pengaturan GWM. Kebijakan pengaturan GWM diarahkan untuk menambah ketersediaan likuiditas valuta asing perbankan dalam pembiayaan ekonomi oleh perbankan konvensional. Kebijakan pengaturan GWM tersebut dilakukan dengan menurunkan besaran GWM dalam valuta asing BUK yang semula sebesar 8% (delapan persen) menjadi 4% (empat persen). Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/10/PADG/2018 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah. 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 7 Periode laporan tertentu DPK BUK dalam valuta asing dihitung dengan menggunakan hari kalender. Huruf a Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara harian dilakukan berdasarkan posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Huruf b Perhitungan pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata dilakukan berdasarkan rata-rata posisi saldo Rekening Giro Valas BUK di Bank Indonesia pada akhir hari, pada setiap akhir periode laporan tertentu. Periode laporan tertentu pemenuhan GWM dalam valuta asing secara rata-rata dihitung dengan menggunakan hari pada saat Bank Indonesia menyelenggarakan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia dan/atau sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Angka 2 Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan โ€œBUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendekโ€ adalah BUK yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai pinjaman likuiditas jangka pendek. Ayat (2) Cukup jelas. 3 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 22/2/PADG/2020 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/10/PADG/2018 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL, BANK UMUM SYARIAH, DAN UNIT USAHA SYARIAH </reg_title> <set_date> 10 Maret 2020 </set_date> <effective_date> 16 Maret 2020 </effective_date> <changed_reg> '20/10/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/30/PADG/2018', '21/14/PADG/2018', '21/27/PADG/2019' </extension_of> <related_reg> '21/27/PADG/2019', '20/3/PBI/2018', '20/10/PADG/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/21/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna penguatan kredibilitas pasar keuangan perlu dilakukan peningkatan kompetensi dan integritas pelaku pasar dengan penerapan kewajiban sertifikasi tresuri dan kode etik pasar; b. bahwa guna mendorong persaingan usaha yang sehat antarpelaku pasar di pasar uang dan pasar valuta asing diperlukan penguatan implementasi kode etik pasar melalui penyempurnaan prosedur internal pelaku pasar terkait kode etik pasar; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar; Mengingat : 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5909); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/5/PBI/2017 tentang Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6046); 3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/5/PADG/2017 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Tresuri dan Penerapan Kode Etik Pasar diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Kode Etik Pasar yang menjadi pedoman Direksi dan Pegawai, mengacu pada: a. market code of conduct yang diterbitkan oleh Indonesia Foreign Exchange Market Committee (IFEMC), untuk Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip konvensional; b. islamic financial market code of conduct yang diterbitkan oleh Indonesia Islamic Global Market Association (IIGMA), untuk Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip syariah; dan c. pedoman terkait pencegahan persaingan usaha tidak sehat yang diterbitkan oleh Global Foreign Exchange Committee (GFXC), untuk Direksi dan Pegawai Pelaku Pasar yang berdasarkan prinsip konvensional dan prinsip syariah. 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Direksi dan Pegawai harus memahami dan menerapkan Kode Etik Pasar. (2) Pelaku Pasar wajib memiliki prosedur internal untuk memastikan Direksi dan Pegawai memahami dan menerapkan Kode Etik Pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pelaku Pasar harus menyampaikan prosedur internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Bank Indonesia. (4) Prosedur internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk pertama kali disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat tanggal 14 April 2020. (5) Dalam hal terdapat perubahan atas prosedur internal yang telah disampaikan kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Pasar harus menyampaikan perubahan prosedur internal kepada Bank Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak terjadi perubahan. 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Prosedur internal Pelaku Pasar mengenai penerapan Kode Etik Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) paling sedikit memuat: a. kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar yang dilakukan secara berkala; b. penerapan Kode Etik Pasar; c. pengendalian penerapan Kode Etik Pasar; dan d. tata cara penyelesaian permasalahan penerapan Kode Etik Pasar. 4. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A (1) Pelaku Pasar dapat membuat pernyataan telah memahami dan menerapkan Kode Etik Pasar dengan mengacu pada contoh surat pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (2) Pelaku Pasar harus menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia untuk dipublikasikan pada laman resmi Bank Indonesia. 5. Ketentuan Pasal 24 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (5), sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Pelaku Pasar menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang terdiri atas: a. daftar Direksi dan Pegawai serta kepemilikan Sertifikat Tresuri posisi akhir tahun; b. laporan tindak lanjut terhadap Direksi dan Pegawai yang belum memenuhi ketentuan kewajiban Sertifikasi Tresuri; dan c. laporan daftar Direksi dan Pegawai yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran Kode Etik Pasar. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Bank Indonesia setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada Bank Indonesia setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari tahun berikutnya, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak Direksi atau Pegawai yang bersangkutan diberhentikan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. (5) Pelaku Pasar harus menyampaikan laporan kepemilikan Sertifikat Tresuri paling lambat tanggal 14 April 2020 dalam hal Direksi dan Pegawai dari Pelaku Pasar: a. berdasarkan prinsip konvensional yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan Aktivitas Tresuri berupa penjualan produk di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing beserta derivatifnya (sales); dan b. berdasarkan prinsip syariah yang bertanggung jawab dan/atau melaksanakan Aktivitas Tresuri, belum memenuhi ketentuan mengenai kepemilikan Sertifikat Tresuri sampai dengan tanggal 13 April 2020, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. 6. Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) disampaikan kepada Bank Indonesia secara online. (2) Penyampaian laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyampaian laporan secara online. (3) Dalam hal laporan secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, laporan disampaikan secara offline. 7. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dan lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 November 2019 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD DESTRY DAMAYANTI PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 21/21/PADG/2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR I. UMUM Pengembangan pasar keuangan perlu diimbangi dengan pembentukan pasar keuangan yang kredibel melalui upaya peningkatan kompetensi dan integritas Pelaku Pasar. Dalam hal ini Pelaku Pasar bertanggung jawab atas kompetensi dan integritas Direksi dan Pegawai yang melakukan Aktivitas Tresuri. Selanjutnya, guna mendorong persaingan usaha yang sehat antar- Pelaku Pasar baik di Pasar Uang maupun Pasar Valuta Asing, Pelaku Pasar perlu untuk menyempurnakan pedoman internal Pelaku Pasar dengan mengadopsi juga international best practice mengenai pedoman terkait pencegahan persaingan usaha yang tidak sehat yang diterbitkan oleh Global Foreign Exchange Committee (GFXC). Oleh karena itu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur yang mengatur mengenai pelaksanaan sertifikasi tresuri dan penerapan kode etik pasar. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 2 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4 Huruf a Contoh kegiatan untuk memahami Kode Etik Pasar yang dilakukan secara berkala antara lain dengan mengikuti pelatihan dan membuat surat pernyataan telah memahami dan mengerti Kode Etik Pasar oleh Direksi dan Pegawai secara berkala. Huruf b Contoh kegiatan penerapan Kode Etik Pasar yang dilakukan antara lain: 1) Pelaku Pasar harus menerapkan Kode Etik Pasar dalam melakukan Aktivitas Tresuri; dan 2) Pelaku pasar tidak melakukan tindakan yang mendukung dan/atau mendorong persaingan usaha yang tidak sehat antara lain price fixing agreements, boycotts, allocations of customers or market division, dan abuse of dominant position. Huruf c Kegiatan pengendalian penerapan Kode Etik Pasar dilakukan oleh atasan Pegawai dan unit kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal dan/atau unit kerja yang melaksanakan fungsi audit internal sesuai dengan ketentuan internal Pelaku Pasar antara lain: 1) melakukan monitoring dan evaluasi atas penerapan prosedur internal secara berkala; 2) melakukan evaluasi atas prosedur internal; dan 3) melakukan pengkinian atas prosedur internal dalam hal diperlukan. Huruf d Tata cara penyelesaian permasalahan penerapan Kode Etik Pasar juga termasuk mekanisme penunjukkan lembaga yang dipilih sebagai lembaga perantara seperti IFEMC, Association Cambiste Internationale The Financial Market Association Indonesia (ACI FMA Indonesia), atau IIGMA. Angka 4 Pasal 5A Ayat (1) Surat pernyataan merupakan bentuk komitmen dari Pelaku Pasar dalam menerapkan Kode Etik Pasar. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan dibuat untuk menyampaikan rencana kegiatan sampai dengan batas waktu pemenuhan kepemilikan sertifikat. Huruf c Laporan hanya disampaikan apabila terdapat pemberhentian Direksi dan/atau Pegawai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 24A Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 21/21/PADG/2019 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/5/PADG/2017 TENTANG PELAKSANAAN SERTIFIKASI TRESURI DAN PENERAPAN KODE ETIK PASAR </reg_title> <set_date> 27 November 2019 </set_date> <effective_date> 27 November 2019 </effective_date> <changed_reg> '19/5/PADG/2017' </changed_reg> <related_reg> '19/5/PBI/2017', '19/5/PADG/2017', '18/11/PBI/2016' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/28/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menerbitkan transaksi domestic non-deliverable forward sebagai salah satu instrumen operasi moneter; b. bahwa dengan diterbitkannya transaksi domestic non- deliverable forward sebagai instrumen operasi moneter, diperlukan pengaturan mengenai mekanisme pelaksanaan transaksi domestic non-deliverable forward tersebut; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka; 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/12/PBI/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6259) MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 ditambahkan 4 (empat) angka diantara angka 35 dan angka 36 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 4 11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 5 18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat 6 berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang 7 dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 36. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 37. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date). 38. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia 8 berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 39. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 40. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 41. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan secara bersamaan. 42. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 43. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 44. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai 9 penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 45. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Bab IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedua Belas, yang terdiri dari 5 (lima) Pasal, yakni Pasal 48A sampai dengan Pasal 48E sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Belas Transaksi DNDF Paragraf 1 Karakteristik Transaksi DNDF Pasal 48A Transaksi DNDF merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dengan cara: a. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia; atau b. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia. Pasal 48B Transaksi DNDF memiliki karakteristik sebagai berikut: a. jenis valuta asing yang digunakan yaitu dolar Amerika Serikat; b. waktu penyerahan dana (tenor) Transaksi DNDF dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender yang dihitung sejak tanggal spot sampai dengan tanggal setelmen; c. penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dengan Mekanisme Fixing; d. kurs DNDF dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang digunakan yaitu kurs JISDOR pada tanggal 10 tertentu yang ditetapkan dalam kontrak (fixing date) yang disepakati pada saat transaksi; e. penyelesaian Transaksi DNDF dilakukan dalam mata uang rupiah; dan f. Transaksi DNDF tidak dapat dilakukan perpanjangan transaksi (roll over), pengakhiran transaksi (unwind), dan percepatan penyelesaian transaksi (early termination). Paragraf 2 Mekanisme Transaksi DNDF Pasal 48C Transaksi DNDF dilakukan secara lelang atau secara nonlelang. Pasal 48D (1) Transaksi DNDF secara lelang dilakukan melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing dan/atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Transaksi DNDF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. harga tetap (fixed rate tender), dengan kurs DNDF pada Transaksi DNDF ditetapkan oleh Bank Indonesia; atau b. harga beragam (variable rate tender), dengan kurs DNDF pada Transaksi DNDF diajukan oleh Peserta OPT Konvensional. Pasal 48E (1) Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan Peserta OPT Konvensional secara langsung atau melalui Lembaga Perantara. (2) Transaksi DNDF secara nonlelang dilakukan melalui sistem otomasi lelang operasi moneter valuta asing 11 atau sarana transaksi lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 November 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/28/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui penerbitan Transaksi DNDF sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka yang mengatur mengenai karakterisktik Transaksi DNDF tersebut 2 II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 48A Cukup jelas. Pasal 48B Cukup jelas. Pasal 48C Cukup jelas. Pasal 48D Cukup jelas. Pasal 48E Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/28/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 7 November 2018 </set_date> <effective_date> 7 November 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg> <related_reg> '20/12/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b. bahwa untuk melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter yang salah satunya dilakukan melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah; c. bahwa dalam pelaksanaan operasi moneter baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah, Bank Indonesia perlu menetapkan kriteria dan persyaratan surat berharga yang digunakan dalam operasi moneter; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Dalam Operasi Moneter. 2 Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 3 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 11. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 12. Standing Facilities Konvensional adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada BUK dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUK di Bank Indonesia. 13. Standing Facilities Syariah adalah kegiatan penyediaan dana rupiah (financing facility) dari Bank Indonesia kepada BUS atau UUS dan penempatan dana rupiah (deposit facility) oleh BUS atau UUS di Bank Indonesia. 4 14. Peserta Operasi Moneter adalah peserta OMK dan peserta OMS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 15. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 16. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 17. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 18. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 19. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 20. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 21. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 22. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 5 23. Obligasi Negara adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto. 24. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 25. SBSN Jangka Panjang adalah SBSN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 26. SBSN Jangka Pendek atau Surat Perbendaharaan Negara Syariah adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto. 27. Zero Coupon Bond yang selanjutnya disingkat ZCB adalah Obligasi Negara tanpa kupon, dengan pembayaran bunga secara diskonto. 28. Obligasi Negara Ritel yang selanjutnya disingkat ORI adalah Obligasi Negara yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 29. SBSN Ritel yang selanjutnya disebut Sukuk Negara Ritel adalah SBSN yang pada pasar perdana dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual. 30. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 31. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia dengan janji 6 pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 32. Transaksi Repurchase Agreement SBIS yang selanjutnya disebut Transaksi Repo SBIS adalah transaksi pemberian pinjaman oleh Bank Indonesia kepada Peserta OPT Syariah dengan agunan SBIS. 33. Transaksi Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada BUK untuk OMK. 34. Transaksi Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada BUS dan/atau UUS untuk OMS. 35. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 36. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 37. Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS adalah Sistem BI- RTGS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 38. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 7 39. Sistem Bank Indonesiaโ€“Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 40. Rekening Surat Berharga adalah rekening surat berharga milik Bank pada BI-SSSS dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing yang ditatausahakan di Bank Indonesia untuk pencatatan kepemilikan dan setelmen atas transaksi surat berharga, transaksi dengan Bank Indonesia, dan/atau transaksi pasar keuangan. 41. Rekening Giro adalah rekening giro milik Bank di Bank Indonesia dalam mata uang rupiah dan/atau valuta asing. 42. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. BAB II SURAT BERHARGA YANG DIGUNAKAN DALAM OPERASI MONETER Pasal 2 Bank Indonesia menetapkan persyaratan surat berharga yang digunakan dalam Operasi Moneter. Bagian Kesatu Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Yang Digunakan dalam OMK Pasal 3 (1) Kriteria surat berharga dalam mata uang rupiah yang dapat digunakan dalam OMK diatur sebagai berikut: a. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia; b. tercatat di BI-SSSS; dan c. tidak sedang diagunkan. 8 (2) Kriteria surat berharga dalam valuta asing yang dapat digunakan dalam OMK diatur sebagai berikut: a. diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerja sama dengan Bank Indonesia; b. sesuai denominasi asal negara penerbit; c. tercatat pada aktiva peserta OMK yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta OMK di lembaga kustodian yang disepakati; d. memiliki peringkat investasi (investment grade); dan e. tidak sedang diagunkan. Pasal 4 Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas: a. SBI; b. SDBI; c. SBN, yang meliputi: 1. SUN, meliputi SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan 2. SBSN, yang meliputi SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan d. surat berharga dalam valuta asing jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh pemerintah negara lain (sovereign bond). Pasal 5 Surat berharga dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) hanya digunakan dalam Transaksi Repo OPT Konvensional. Pasal 6 Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut: a. untuk SBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; 9 b. untuk SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; c. untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; dan d. untuk surat berharga dalam valuta asing, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional. Bagian Kedua Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga Yang Digunakan dalam OMS Pasal 7 Kriteria surat berharga yang dapat digunakan dalam OMS diatur sebagai berikut: a. diterbitkan dengan memenuhi prinsip syariah; b. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia; c. diterbitkan dalam mata uang rupiah; d. tercatat di BI-SSSS; dan e. tidak sedang diagunkan. Pasal 8 Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 terdiri atas: a. SBIS; b. SBSN, yang meliputi: 1) SBSN Jangka Pendek; dan 2) SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel. Pasal 9 Surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi persyaratan sisa jangka waktu sebagai berikut: 10 a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Financing Facility; dan b. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing Facility. Bagian Ketiga Penggunaan SBN yang Diperoleh dari Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional dan Transaksi Reverse Repo OPT Syariah Pasal 10 (1) SBN yang diperoleh Peserta Operasi Moneter dari Bank Indonesia dalam Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional atau Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dapat digunakan kembali dalam transaksi di pasar sekunder. (2) Dalam hal Peserta Operasi Moneter melakukan transaksi di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transaksi dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. BAB III HARGA DAN HAIRCUT SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER Pasal 11 Bank Indonesia menetapkan harga dan haircut surat berharga yang digunakan dalam Operasi Moneter. Pasal 12 Penetapan harga surat berharga oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur sebagai berikut: a. harga SBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto 11 saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SBI, dan/atau variabel lainnya; b. harga SBIS ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) sejak tanggal penerbitan sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. harga SDBI ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan rata-rata tertimbang tingkat diskonto saat penerbitan, sisa jangka waktu setiap seri SDBI, dan/atau variabel lainnya; d. harga SBN ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis dan seri SBN dan/atau variabel lainnya; dan e. harga surat berharga dalam valuta asing ditetapkan oleh Bank Indonesia dengan mempertimbangkan harga pasar masing-masing jenis, seri surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond), dan/atau variabel lainnya. Pasal 13 (1) Haircut merupakan faktor pengurang terhadap harga surat berharga. (2) Haircut terhadap surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk SBI sebesar 0% (nol persen); b. untuk SBIS sebesar 0% (nol persen); c. untuk SDBI sebesar 0% (nol persen); d. untuk SBN yang terdiri atas: 1. SUN sebesar 5% (lima persen); 2. SBSN sebesar 6,5% (enam koma lima persen); dan e. untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond), besar haircut diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pelaksanaan transaksi. Pasal 14 Bank Indonesia dapat melakukan perubahan haircut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. 12 Pasal 15 Harga surat berharga yang digunakan dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 serta haircut surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diumumkan oleh Bank Indonesia di Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 16 (1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan SBN secara putus (outright) oleh peserta OMK karena kegagalan setelmen second leg pada Transaksi Repo OPT Konvensional atau Transaksi Lending Facility, harga SBN yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen transaksi penjualan SBN secara putus (outright) yaitu harga SBN pada tanggal transaksi penjualan SBN secara putus (outright) paling tinggi sebesar harga SBN pada transaksi first leg. (2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian SBN secara putus (outright) oleh Peserta OPT Konvensional karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, harga SBN yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian SBN secara putus (outright) yaitu harga SBN pada tanggal transaksi pembelian SBN secara putus (outright) paling rendah sebesar harga SBN pada transaksi first leg. (3) Dalam hal terjadi penjualan surat berharga dalam valuta asing oleh Peserta OPT Konvensional karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Konvensional, harga surat berharga yang digunakan dalam perhitungan yaitu harga penjualan surat berharga dalam valuta asing oleh Bank Indonesia pada tanggal penjualan. Pasal 17 (1) Dalam hal terjadi transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) oleh peserta OMS karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah atau Transaksi Financing Facility, harga SBSN yang digunakan dalam 13 perhitungan nilai setelmen transaksi penjualan SBSN secara putus (outright) yaitu harga SBSN pada tanggal transaksi first leg. (2) Dalam hal terjadi transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) oleh Peserta OPT Syariah karena kegagalan setelmen second leg Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, harga SBSN yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen transaksi pembelian SBSN secara putus (outright) yaitu harga SBSN pada tanggal transaksi first leg. BAB IV PERHITUNGAN NILAI SETELMEN TRANSAKSI OPERASI MONETER Bagian Kesatu Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, dan Transaksi Financing Facility Pasal 18 (1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan. (2) Nilai setelmen dana untuk setelmen first leg dihitung sebagai berikut: a. SBI, SDBI, SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek: Nilai Setelmen First Leg = Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan ร— ( Harga surat berharga โˆ’Haircut) b. SBIS Nilai setelmen first leg yaitu sebesar nilai nominal SBIS yang diagunkan. 14 c. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka Panjang Nilai Setelmen First Leg = [ Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan Keterangan: Harga surat berharga x ( Harga surat berharga - Haircut)] + Accrued Interest/ Imbalan : harga surat berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo Transaksi OPT Konvensional, Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Haircut : haircut sebagaimana diumumkan dalam Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada Transaksi Repo Transaksi OPT Konvensional, Lending Facility, OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Accrued Interest atau Imbalan : - hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen first leg 15 - perhitungan hak atas imbalan SBSN didasarkan pada jumlah hari yang sebenarnya (actual per actual) d. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka Panjang dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja setelah tanggal setelmen first leg Nilai setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” = [ Nominal surat berharga yang di-repo-kan atau di-reverse repo-kan Keterangan : Harga berharga x( Harga surat berharga โˆ’ Haircut)] โˆ’ Accrued Interest/ Imbalan surat : harga surat berharga sebagaimana diumumkan pada Sistem BI-ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo OPT Konvensional, Reverse Repo Konvensional, Lending Facility, Transaksi OPT Transaksi Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility Haircut : haircut sebagaimana diumumkan pada Sistem BI- ETP, BI-SSSS, dan/atau sarana lain pada tanggal Transaksi Repo Konvensional, Reverse Konvensional, Repo OPT Transaksi OPT Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility 16 Accrued Interest atau Imbalan : hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak tanggal setelmen first leg sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal setelmen first leg (3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: a. SBI, SDBI, SBN Nilai Setelmen Second Leg Nilai = Setelmen First Leg Bunga/ Nilai Marjin Transaksi Repo/ Transaksi Reverse Repo/ = Transaksi Lending Facility/ Transaksi Financing Facility + Bunga/Nilai Marjin Transaksi Repo/Reverse Repo/ Lending Facility/Financing Facility Nilai Setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” ร— Repo rate/ Reverse Repo rate/ Marjin Repo/ Marjin Reverse Repo Keterangan : Jangka waktu : jangka waktu Transaksi Repo OPT Konvensional, Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional, Transaksi Lending Facility, Transaksi Repo OPT Syariah, Transaksi Reverse Repo OPT Syariah, atau Transaksi Financing Facility b. SBIS Nilai setelmen second leg Nilai = setelmen first leg Biaya Transaksi Repo SBIS Nilai = setelmen ๐‘“๐‘–๐‘Ÿ๐‘ ๐‘ก ๐‘™๐‘’๐‘” x + Biaya Transaksi Repo SBIS ร— Jangka waktu 360 Tingkat Biaya Repo SBIS ร— Jangka waktu 360 17 Keterangan : Biaya Transaksi Repo SBIS : kewajiban membayar (gharamah) yang ditetapkan Bank Indonesia pada Transaksi Repo SBIS karena peserta OMS tidak menepati jangka waktu kesepakatan pembelian SBIS Bagian Kedua Perhitungan Nilai Setelmen Transaksi Pembelian atau Penjualan Surat Berharga Secara Putus (Outright) Pasal 19 (1) Nilai setelmen surat berharga yaitu sebesar nilai nominal surat berharga yang ditransaksikan secara putus (outright). (2) Nilai setelmen dana untuk transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) sebagai berikut: a. SPN, ZCB, dan SBSN Jangka Pendek: Nilai Setelmen Outright = Nominal surat berharga ร— Harga surat berharga b. Obligasi Negara termasuk ORI, dan SBSN Jangka Panjang: Nilai Setelmen Outright = [ Keterangan : Harga surat berharga Nominal surat ร— Harga surat berharga berharga ] + Accrued Interest/ Imbalan : harga surat berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) 18 dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga surat berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) dilakukan dengan mekanisme nonlelang Accrued Interest atau Imbalan : hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal pembayaran kupon atau imbalan terakhir sampai dengan tanggal setelmen transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) c. Obligasi Negara termasuk ORI dan SBSN Jangka Panjang, dalam hal terdapat pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal setelmen transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright): Nilai Setelmen Outright Keterangan : Harga surat berharga = [ Nominal surat ร— Harga surat berharga berharga ] - Accrued Interest/ Imbalan : harga surat berharga sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam hal transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) dilakukan dengan mekanisme lelang, dan/atau harga surat berharga berdasarkan kesepakatan para pihak dalam hal transaksi pembelian atau 19 penjualan surat berharga secara putus (outright) dilakukan dengan mekanisme nonlelang Accrued Interest atau Imbalan : hak atas kupon atau imbalan surat berharga yang dihitung sejak tanggal setelmen transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan surat berharga pada 1 (satu) Hari Kerja sesudah tanggal transaksi pembelian atau penjualan surat berharga secara putus (outright) Bagian Ketiga Perhitungan Accrued Interest atau Imbalan Pasal 20 Accrued interest atau imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dan huruf d serta Pasal 19 ayat (2) huruf b dan huruf c, dihitung dengan rumus perhitungan accrued interest atau imbalan per unit sebagai berikut: AI = N ร— C n Keterangan : AI N C n : : : : ร— a E Accrued Interest atau Imbalan per unit nominal surat berharga per unit yaitu Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) nilai kupon atau imbalan frekuensi pembayaran kupon atau imbalan 20 dalam setahun a E : : jumlah hari sebenarnya (actual days) jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal dimulainya periode kupon atau imbalan sampai dengan tanggal pembayaran kupon atau imbalan berikutnya Bagian Keempat Perhitungan Nilai Nominal Surat Berharga dan Nilai Setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional yang Menggunakan Surat Berharga dalam Valuta Asing Pasal 21 (1) Nilai nominal surat berharga dalam valuta asing yang diagunkan pada setelmen first leg dihitung sebagai berikut: Nilai nominal surat berharga dalam valuta asing yang diagunkan = Kurs transaksi ร— ( Harga surat berharga โˆ’Haircut) Nilai setelmen first leg Keterangan : Nilai setelmen first leg Kurs transaksi : besarnya nominal rupiah yang dimenangkan pada saat setelmen first leg : kurs tengah dari kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi Harga surat berharga : harga surat berharga sebagaimana diumumkan pada saat pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond) Haircut : haircut sebagaimana diumumkan oleh Bank Indonesia pada saat 21 pelaksanaan transaksi untuk surat berharga dalam valuta asing (sovereign bond) (2) Kurs yang digunakan dalam perhitungan nilai setelmen atas transaksi yang menggunakan surat berharga dalam valuta asing yaitu kurs transaksi Bank Indonesia pada tanggal transaksi. (3) Nilai setelmen dana untuk setelmen second leg dihitung sebagai berikut: Nilai setelmen = second leg Bunga = Transaksi Repo Nilai setelmen first leg Nilai setelmen first leg ร— Repo rate ร— + Bunga Transaksi Repo Jangka waktu 360 Keterangan : Jangka waktu : jangka waktu Transaksi Repo OPT Konvensional Bagian Kelima Pelunasan SBI Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Pasal 22 (1) Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan dalam hal terjadi: a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu; atau b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility jatuh waktu, yang menggunakan SBI. (2) Pelunasan SBI sebelum jatuh waktu (early redemption) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut: Nilai tunai early redemption = Nilai nominal ร— 360 360+(Tingkat diskonto ร— Sisa jangka waktu) 22 Keterangan : Nilai nominal Tingkat diskonto : nilai nominal SBI : rataโ€“rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SBI diterbitkan Sisa jangka waktu : jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi Operasi Moneter sampai dengan tanggal jatuh waktu SBI (maturity date) Bagian Keenam Pelunasan SBIS Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Pasal 23 (1) Dalam hal terjadi kegagalan setelmen Transaksi Financing Facility jatuh waktu yang menggunakan SBIS, nilai setelmen pelunasan SBIS sebelum jatuh waktu (early redemption) yaitu sebesar nilai nominal SBIS yang di-early redeem dan imbalan SBIS yang menjadi hak peserta OMS. (2) Imbalan SBIS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sampai dengan tanggal early redemption SBIS. Bagian Ketujuh Pelunasan SDBI Sebelum Jatuh Waktu (Early Redemption) Pasal 24 (1) Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption) dilakukan dalam hal terjadi: a. kegagalan setelmen Transaksi Repo OPT Konvensional jatuh waktu; b. kegagalan setelmen Transaksi Lending Facility jatuh waktu; atau c. transaksi antara BUK dengan pihak selain BUK, yang menggunakan SDBI. 23 (2) Pelunasan SDBI sebelum jatuh waktu (early redemption) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan perhitungan setelmen nilai tunai sebagai berikut: Nilai tunai early redemption = Keterangan : Nilai nominal Nilai nominal ร— 360 360 + (Tingkat diskonto ร— Sisa jangka waktu) : nilai nominal SDBI Tingkat diskonto : rata-rata tertimbang tingkat diskonto pada saat SDBI diterbitkan Sisa jangka waktu : jumlah hari sebenarnya (actual days) yang dihitung sejak 1 (satu) hari sesudah tanggal gagal setelmen transaksi OMK sampai dengan tanggal jatuh waktu SDBI (maturity date) BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku, ketentuan mengenai kriteria dan persyaratan surat berharga dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam: a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/29/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter; dan b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/17/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 24 Pasal 26 Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 April 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/8/PADG/2018 TENTANG KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER I. UMUM Dalam melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai tujuan Bank Indonesia, dilakukan pengendalian moneter yang salah satunya melalui pelaksanaan Operasi Moneter yang dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Dalam melaksanakan Operasi Moneter baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah tersebut, Bank Indonesia menetapkan kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. 2 Ayat (2) Huruf a Kerja sama antara bank sentral negara lain dengan Bank Indonesia antara lain dalam bentuk cross border collateral arrangement. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Pemenuhan prinsip syariah dinyatakan dalam bentuk pemberian fatwa dan/atau opini syariah oleh otoritas yang berwenang mengeluarkan fatwa dan/atau opini syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. 3 Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. 4 Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/8/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> KRITERIA DAN PERSYARATAN SURAT BERHARGA DALAM OPERASI MONETER </reg_title> <set_date> 30 April 2018 </set_date> <effective_date> 30 April 2018 </effective_date> <replaced_reg> '18/29/DPM|SE-BI/2016', '19/17/PADG/2017' </replaced_reg> <related_reg> '20/5/PBI/2018' </related_reg>
PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/34/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk memperkuat kerangka operasi moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah; b. bahwa sebagai salah satu instrumen operasi moneter berdasarkan prinsip syariah, diperlukan pengaturan karakteristik Sukuk Bank Indonesia; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka; Mengingat : Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6198) sebagaimana telah beberapa kali 2 diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/14/PBI/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6278); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/28/PADG/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka diubah sebagai berikut: 1. Di antara angka 15 dan angka 16 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 15A dan angka 42 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum konvensional, bank umum syariah, dan unit usaha syariah. 2. Bank Umum Konvensional yang selanjutnya disingkat BUK adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3 3. Bank Umum Syariah yang selanjutnya disingkat BUS adalah bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 5. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter, yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 6. Operasi Moneter Konvensional yang selanjutnya disingkat OMK adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan secara konvensional. 7. Operasi Moneter Syariah yang selanjutnya disingkat OMS adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 8. Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya disingkat OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak lain untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. 9. Operasi Pasar Terbuka Konvensional yang selanjutnya disebut OPT Konvensional adalah kegiatan transaksi di pasar uang dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUK dan/atau pihak lain. 10. Operasi Pasar Terbuka Syariah yang selanjutnya disebut OPT Syariah adalah kegiatan transaksi di pasar uang berdasarkan prinsip syariah dan/atau pasar valuta asing yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan BUS, UUS, dan/atau pihak lain. 4 11. Peserta OPT Konvensional adalah BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 12. Peserta OPT Syariah adalah BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta OMS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 13. Lembaga Perantara adalah pialang pasar uang rupiah dan valuta asing dan perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. 14. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 15. Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang selanjutnya disingkat SBIS adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan berjangka waktu pendek. 15A. Sukuk Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SukBI adalah sukuk yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga berdasarkan prinsip syariah milik Bank Indonesia. 16. Sertifikat Deposito Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat SDBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang dapat diperdagangkan hanya antar-BUK. 5 17. Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing yang selanjutnya disebut SBBI Valas adalah surat berharga dalam valuta asing yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 18. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 19. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat utang negara. 20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN adalah surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai surat berharga syariah negara. 21. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Konvensional adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional kepada Bank Indonesia, dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta OPT Konvensional sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 22. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Repo OPT Syariah adalah transaksi penjualan surat berharga oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dengan janji pembelian kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 23. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Konvensional adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Konvensional dari Bank Indonesia, dengan kewajiban penjualan kembali oleh Peserta OPT Konvensional 6 sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 24. Transaksi Reverse Repo Surat Berharga untuk OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Reverse Repo OPT Syariah adalah transaksi pembelian surat berharga oleh Peserta OPT Syariah dari Bank Indonesia, dengan janji penjualan kembali oleh Peserta OPT Syariah sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. 25. Penempatan Berjangka OPT Konvensional yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Konvensional adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam rupiah dan/atau valuta asing milik Peserta OPT Konvensional. 26. Penempatan Berjangka OPT Syariah yang selanjutnya disebut Transaksi Term Deposit OPT Syariah adalah penempatan dana secara berjangka di Bank Indonesia dalam valuta asing milik Peserta OPT Syariah. 27. Transaksi Spot adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 28. Transaksi Spot Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 29. Transaksi Spot Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 30. Transaksi Swap adalah transaksi pertukaran valuta asing terhadap rupiah melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan atau pembelian kembali secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 7 31. Transaksi Swap Beli Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi pembelian kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 32. Transaksi Swap Jual Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara tunai (spot) dengan diikuti transaksi penjualan kembali valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia secara berjangka (forward) yang dilakukan secara simultan dengan counterpart yang sama serta pada tingkat harga yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan. 33. Transaksi Forward adalah transaksi jual atau beli valuta asing terhadap rupiah dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 34. Transaksi Forward Jual Bank Indonesia adalah transaksi jual valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 35. Transaksi Forward Beli Bank Indonesia adalah transaksi beli valuta asing terhadap rupiah oleh Bank Indonesia dengan penyerahan dana dilakukan lebih dari 2 (dua) hari kerja setelah tanggal transaksi. 36. Transaksi Domestic Non-Deliverable Forward yang selanjutnya disebut Transaksi DNDF adalah transaksi derivatif valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 37. Mekanisme Fixing adalah mekanisme penyelesaian transaksi tanpa pergerakan dana pokok dengan cara menghitung selisih antara kurs Transaksi Forward 8 dan kurs acuan pada tanggal tertentu yang telah ditetapkan di dalam kontrak (fixing date). 38. Transaksi DNDF Jual Bank Indonesia adalah transaksi derivatif jual valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 39. Transaksi DNDF Beli Bank Indonesia adalah transaksi derivatif beli valuta asing terhadap rupiah yang standar (plain vanilla) oleh Bank Indonesia berupa transaksi forward dengan mekanisme fixing yang dilakukan di pasar domestik. 40. Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang selanjutnya disebut JISDOR adalah representasi harga spot dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dari transaksi antar Bank di pasar domestik, termasuk transaksi Bank dengan bank di luar negeri, yang informasi data transaksinya dapat diakses melalui Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai transaksi valuta asing terhadap rupiah antara bank dengan pihak domestik. 41. Delivery Versus Payment yang selanjutnya disingkat DVP adalah mekanisme setelmen transaksi dengan cara setelmen surat berharga dan setelmen dana dilakukan secara bersamaan. 42. Pelunasan atau Pencairan Sebelum Jatuh Waktu yang selanjutnya disebut Early Redemption adalah pelunasan SBI, SDBI, SukBI, SBBI Valas sebelum jatuh waktu atau pencairan Term Deposit OPT Konvensional atau Term Deposit OPT Syariah sebelum jatuh waktu. 43. Sistem Bank Indonesia-Electronic Trading Platform yang selanjutnya disebut Sistem BI-ETP adalah Sistem BI-ETP sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai 9 penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 44. Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disingkat BI-SSSS adalah BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan transaksi, penatausahaan surat berharga, dan setelmen dana seketika. 45. Hari Kerja adalah hari kerja Bank Indonesia, termasuk hari kerja operasional terbatas Bank Indonesia. 2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 OPT Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut: a. penerbitan SBIS dan/atau SukBI; b. Transaksi Repo OPT Syariah dan/atau Transaksi Reverse Repo OPT Syariah; c. transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder; d. Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing; dan/atau e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing. 10 3. Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab V disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kesatu A dan di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 52A sampai dengan Pasal 52E sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu A Penerbitan SukBI Paragraf 1 Karakteristik SukBI Pasal 52A Penerbitan SukBI merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang berdasarkan prinsip syariah. Pasal 52B (1) SukBI memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan underlying asset berupa SBSN; b. memiliki satuan unit sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); c. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; d. diterbitkan tanpa warkat (scripless) dan ditatausahakan di BI-SSSS; e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia; f. hanya dapat dibeli oleh BUS dan UUS di pasar perdana; g. dapat diperdagangkan (tradable) di pasar sekunder; h. hanya dapat dimiliki oleh Bank; dan i. hanya dapat ditransaksikan antar-Bank antara lain dengan cara pembelian dan/atau penjualan 11 secara putus (outright), pinjam-meminjam, repurchase agreement (repo), atau dijadikan agunan. (2) SukBI yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad al-musyarakah al-muntahiyah bi al-tamlik. (3) Bank Indonesia menetapkan nisbah bagi hasil SukBI untuk pemilik SukBI. (4) SukBI diterbitkan dan ditransaksikan di Sistem BI- ETP. (5) SukBI yang masih dalam status agunan tidak dapat diperdagangkan. Pasal 52C (1) Bank Indonesia melunasi SukBI sebesar nilai nominal pada saat jatuh waktu. (2) Bank Indonesia dapat melakukan Early Redemption atas SukBI, dalam hal: a. terdapat pertimbangan Bank Indonesia terkait strategi pengelolaan moneter; atau b. SukBI dimiliki oleh pihak selain Bank. (3) Early Redemption atas SukBI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan persetujuan pemilik SukBI. (4) Contoh perhitungan jangka waktu SukBI tercantum pada Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal 52D (1) Bank Indonesia membayar imbalan atas SukBI kepada Bank dengan ketentuan sebagai berikut: a. pada saat SukBI jatuh waktu; atau b. sebelum jatuh waktu, dalam hal Bank tidak dapat memenuhi kewajiban second leg transaksi repurchase agreement (repo) SukBI sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang 12 mengatur mengenai operasi pasar terbuka dan standing facilities. (2) Perhitungan imbalan SukBI dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: Nilai = Imbalan SukBI Nilai Nominal SukBI ร— ( Jangka Waktu SukBI 360 ) ร— Paragraf 2 Mekanisme Penerbitan SukBI Pasal 52E Penerbitan SukBI dilakukan dengan mekanisme lelang melalui Sistem BI-ETP. 4. Ketentuan dalam Pasal 54 huruf a diubah sehingga Pasal 54 berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 Transaksi Repo OPT Syariah memiliki karakteristik sebagai berikut: a. menggunakan akad al baiโ€™ (jual beli) yang disertai dengan janji (al waโ€™d) oleh Peserta OPT Syariah kepada Bank Indonesia, dalam dokumen terpisah, untuk membeli kembali SBSN dan/atau SukBI dalam jangka waktu dan harga tertentu yang disepakati; b. berjangka waktu paling singkat 1 (satu) hari kalender dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam hari kalender, yang dihitung sejak 1 (satu) hari kalender setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; c. margin repo diperhitungkan pada saat setelmen second leg Transaksi Repo OPT Syariah; dan d. hak penerimaan imbalan atas surat berharga yang di- repo-kan selama periode Transaksi Repo OPT Syariah tetap merupakan milik Peserta OPT Syariah. Tingkat Imbalan SukBI 13 5. Lampiran ditambahkan 1 (satu) lampiran, yakni Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini. Pasal II Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 2018 ANGGOTA DEWAN GUBERNUR, TTD ERWIN RIJANTO PENJELASAN ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/34/PADG/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA I. UMUM Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, telah diatur secara jelas bahwa tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk memperkuat kerangka Operasi Moneter, Bank Indonesia menerbitkan Sukuk Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen Operasi Moneter berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan kedua atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/5/PADG/2018 tentang Instrumen Operasi Pasar Terbuka. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. 2 Angka 2 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 52A Cukup jelas. Pasal 52B Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h BUK dapat memiliki SukBI melalui transaksi di pasar sekunder. Huruf i Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan โ€œakad al-musyarakah al- muntahiyah bi al-tamlikโ€ adalah kontrak syirkah 2 (dua) pihak atau lebih yang diikuti dengan pembelian porsi (hishshah) oleh 1 (satu) pihak dari pihak lain pada saat akhir kontrak atau jatuh waktu. Ayat (3) Cukup jelas. 3 Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 52C Cukup jelas. Pasal 52D Cukup jelas. Pasal 52E Cukup jelas. Angka 4 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas.
<reg_type> PADG </reg_type> <reg_id> 20/34/PADG/2018 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 20/5/PADG/2018 TENTANG INSTRUMEN OPERASI PASAR TERBUKA </reg_title> <set_date> 20 Desember 2018 </set_date> <effective_date> 20 Desember 2018 </effective_date> <changed_reg> '20/5/PADG/2018' </changed_reg> <extension_of> '20/28/PADG/2018' </extension_of> <related_reg> '20/14/PBI/2018', '20/5/PBI/2018' </related_reg>